Kamis, 25 Maret 2021

Dalam Bhagawad Gita, Makan Makanan Sukla, Sama dengan Pencuri

 






Mpu Jaya Prema (AGUNG BAYU/BALI EXPRESS)





BALI EXPRESS, BALI - Ketika umat muslim memiliki, halal dan haram. Di Bali muncul branding makanan sukla. Namun yang menjadi tidak nyambung, Hindu mengenal apa pun yang sukla dipersembahkan ke Ida Sang Hyang Widhi. Apakah kita makan yang sukla atau lungsuran (setelah dihaturkan)?


Menurut Mpu Jaya Prema, Sukla adalah istilah budaya dalam masyarkat Hindu Bali yang mengandung pengertian makanan atau persembahan yang suci. Kalau merujuk pada ajaran agama, makanan atau apa pun menurut Mpu Jaya Prema yang disebut sukla adalah hal-hal yang akan dipersembahkan kepada Tuhan, baik melalui dewa dewi (Istadewata) maupun persembahan kepada leluhur.





Setelah dihaturkan dilanjutkan Mpu Jaya Prema, maka jadilah makanan itu prasadam yang di dalam bahasa Bali dipakai kata lungsuran atau paridan.


“Inilah yang akan kita makan, bukan memakan yang masih sukla,” jelas wartawan senior Tempo ketika masih walaka.

Jadi menurut Mpu Jaya Prema, istilah sukla tersebut dipakai untuk menunjukkan bahwa itulah makanan yang “layak makan” secara agama sangat bertentangan. Bahkan dianggap melanggar ajaran Hindu itu sendiri. Karena ajaran Hindu menyebutkan bahwa makanan yang “layak makan” adalah makanan yang sudah dipersembahkan terlebih dahulu. Prasadam atau lungsuran, itulah makanan yang utama.

Terkait makanan sukla ini, Mpu Jaya Prema menyebutkan jika ketentuan untuk mengkonsumsi makanan yang layak makan sudah diatur dalam Bhagawad Gita IV-31 yang berbunyi: Yajna sistamrta bhujo – yanti brahma sanatanam – nayam loko sty ayajnasya – kuto nyah kuru-sattama. Terjemahan bebasnya: “Mereka yang makan makanan suci yang setelah melalui suatu persembahan atau pengorbanan akan mencapai Brahman Yang Abadi (Tuhan). Dunia ini bukan untuk orang yang tak mau mempersembahkan suatu pengorbanan atau yadnya,” urainya.

“Bahkan dalam sloka lainnya disebutkan, mereka yang makan makanan yang belum dipersembahkan tak ubahnya seorang pencuri,” sambungnya.

Salah satu contohnya adalah ketika selesai memasak di dapur, umat dikatakannya tidak perlu memboyong semua makanan ke pura. “Para leluhur kita sudah memberikan contoh yang praktis dengan cara selesai memasak ambil sejumput nasi dan lauk yang kita makan, lalu persembahkan dengan istilah yang biasa disebut mesaiban atau ngejot atau mungkin kata lain sesuai budaya setempat,” lanjutnya.

Sedangkan jika makan di restoran atau tempat makan lainya, jika umat tidak yakin dengan makanan tersebut sudah dipersembahkan atau belum, maka umat Hindu dikatakan Mpu Jaya Prema bisa mempersembahkan makanan tersebut di tempat itu juga dengan cara mengambil sejumput nasi dan lauk, taruh di pinggir piring dan dilanjutkan dengan berdoa pendek, “Om anugraha amertha di sanjiwani ya namah swaha. Artinya, mari kita persembahkan makanan yang sukla itu dan mari kita makan sisa makanan (prasadam) sebagai makanan yang suci,” kata Mpu Jaya Prema.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Menyangkut dengan makanan, sehat mengacu ke sastra Hindu, kata Mpu Jaya Prema, Bhagawad Gita menguraikan dari sisi kesehatan dan pengaruhnya terbagi dalam tiga jenis yakni satwika (sattvik), rajasika (rajasik) dan tamasika (tamasik).

Dalam Bagawad Gita Bab XVII-8 menyebutkan ciri makanan yang bersifat satwika yakni makanan yang memperpanjang hidup dan menunjang kesucian, tenaga, kesehatan, kebahagiaan, dan kegembiraan, yang manis, lembut, penuh dengan gizi. Di sloka 9, disebutkan yang bersifat rajasika yakni makanan yang pahit, asam, bergaram, terlalu pedas, berbau, kering dan membakar, yang menimbulkan penderitaan, kesusahan dan penyakit. Di bab sama sloka selanjutnya (sloka 10) disebutkan yang bersifat tamasika yakni makanan yang tak segar, tak berasa, basi, tidak bersih.

Lebih lanjut dipaparkan Mpu Jaya Prema, makanan sattvik, ini bisa menambah kewibawaan, intelektualitas, kekuatan, kesegaran, kesehatan, kenikmatan lahir dan batin, kegembiraan, dan kebahagiaan hidup. Jenis makanan ini antara lain beras, gandum, mentega, buah-buahan segar. Selanjutnya adalah makanan rajasik untuk mereka yang masih diliputi dengan nafsu dan keinginan duniawi. Misalnya daging dan makanan yang penuh rasa. “Sedang makanan tamasik adalah jenis makanan yang disukai oleh mereka yang hidup dalam kegelapan. Misalnya yang membuat mabuk dan malas,” paparnya.



(bx/gek/bay/art/yes/JPR)

Senin, 22 Maret 2021

Jyotisha Ilmu Astronomi dan Astrologi Hindu Kuno

 






NYEPI: Surya Pramana tentukan sasih Kasanga dan jatuhnya tilem melalui perhitungan Candra Pramana untuk memastikan jatuhnya Hari Raya Nyepi. (ISTIMEWA)





Meramal nasib hingga prediksi fenomena alam berdasar posisi bintang, sudah menjadi ilmu tersendiri dalam Agama Hindu. Bahkan, sudah ada dan diterapkan ribuan tahun silam.


Astrologi dan Astronomi, dua ilmu yang tidak bisa dipisahkan walau memiliki perbedaan. Astronomi melihat posisi bintang dan dengan perhitungan khusus bisa mengetahui prediksi fenomena alam, sedangkan Astrologi adalah mengamati posisi bintang untuk mengetahui pengaruhnya pada kehidupan manusia.





Dikatakan Kepala Program Studi S-2 Ilmu Komunikasi di IHDN, DR I Gede Sutarya,
Astrologi dan Astronomi dalam Hindu masuk dalam Jyotisha yang sudah ada sejak ribuan tahun silam.


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


"Jyotisha adalah Ilmu Astrologi sekaligus Ilmu Astronomi Hindu Kuno. Berasal dari bahasa Sansekerta, yakni Jyoti yang berarti cahaya, dan Ish bermakna Tuhan. Sehingga Jyotisha bermakna Tuhan pengendali cahaya, " terang Sutarya, ahli wariga yang juga penyusun kalender Bali ini.


Dijelaskan Sutarya, Jyotisha masuk dalam percabangan Wedangga yang merupakan bagian tubuh dari kitab suci Weda.


Pengunaan Jyotisha bisa dilihat juga dalam film bertemakan Hindu, seperti Mahabahrata saat Rsi Jaimini memprediksi hasil perang Mahabharata dengan Marahaja Drestarata dan Maharani Gandari.


Ilmu Astronomi dan Astrologi Hindu kuno ini sampai sekarang tetap digunakan. "Hal ini dapat dilihat masih kentalnya budaya India untuk melihat ramalan jodoh anak-anak mereka yang akan dinikahkan. Bahkan di Bali masih sering dipakai, terutama dalam menentukan hari raya, masa tanam, ramalan kelahiran dan lainnya oleh umat Hindu,” ujar Sutarya kepada Bali Express (Jawa Pos Group) pekan kemarin.


Dikatakannya, penentuan posisi bintang dilakukan oleh para Maharsi terdahulu dengan melakukan pengamatan, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan. Perhitungan Astronomi ini akan menghasilkan waktu kapan sesuatu terjadi, seperti hari raya apa saja yang akan jatuh dari tilem (bulan mati) sampai tilem berikutnya, dan kapan terjadinya gerhana matahari ataupun gerhana bulan.


Perhitungan di Jyotisha menggunakan bumi sebagai patokan, dimana planet lain mengitarinya. Hal ini semata-mata digunakan untuk penyederhanaan perhitungan Astronomi yang dilakukan, sebab dalam Weda menganut Heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya), bukan geosentris (bumi sebagai pusat tata surya), seperti termuat dalam kitab Sama Weda 121. “Matahari tidak pernah terbenam ataupun terbit, sebab bumi yang berotasi,” ujar dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar ini.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Ditambahkannya, pengamatan dari posisi planet, matahari, bulan dan bintang menimbulkan pemaknaan, yang akhirnya menjadi Ilmu Astrologi. Melihat posisi planet dan bintang, para Maharsi pada zaman dahulu bisa memprediksi hadirnya kehancuran, bencana, hadirnya raja baru, dan lain sebagainya. “Di India banyak sudah riset tentang Jyotisha ini, bahkan para sarjana barat juga banyak melakukan penelitian. Sehingga kini semakin mudah mencari referensi tentang ilmu ini, sebab sudah banyak diartikan dalam Bahasa Inggris,” ujar Sutarya.


Penerapannya di Indonesia belum begitu banyak, lanjutnya, namun di Bali sudah ada pada Ilmu Wariga yang dikenal secara umum.


Ilmu Jyotisha termasuk kategori ilmu yang bersifat ilmiah, jika dilihat pada bagian Astronominya. Sebab, dengan perhitungan Astronomi, fenomena alam bisa dihitung kapan terjadinya. Sedangkan pada Astrologi tidak bisa dipastikan 100 persen kebenarannya, mengingat mengartikan posisi bintang terhadap ramalan hidup manusia perlu pembuktian jelas. “Kalau mengenai pemaknaan posisi bintang (Astrologi), saya tidak berani mengatakan ilmu Astrologi pada Jyotisha 100 persen tepat juga,” ujar Sutarya.


“Anggap saja ketika purnama misalnya kekuatan seorang sedang dalam puncaknya, kemudian ada arti hari kelahiran dan sebagainya perlu pembuktian yang tidak mudah,” tegasnya.
Film asal India bertemakan Hindu sering memperlihatkan para Maharsi meramal masa depan, lalu kenapa selalu bisa tepat?


Menurut Sutarya, hal itu terjadi karena Maharsi pada masa lampu mempelajari kitab Astrologi secara khusus. Mereka melihat konstelasi bintang dan mengartikan makna dari hasil pengamatan tersebut. Maharsi tentu dahulu mempelajari dengan baik, sedangkan kini masih riset di India.
Perkembangan Ilmu Jyotisha dari India sampai ke Jawa, kemudian akhirnya sampai di Bali sekitar abad ke-10 Masehi dengan berbagai penyesuaian. Sutarya menjelaskan diperkirakan di masa pemerintahan Mpu Sindok itu terjadi. Kala sang putri, yakni Mahendradatta menikah dengan Raja Udayana, dimana pernikahan turut juga membawa ajaran perhitungan pawukon dan wewaran. “ Pengetahuan itu masuk dari Bali Utara oleh Sang Ratu Luhur Sri Gunapriya Dharmapatni (gelar Ratu Mahendradatta). Jadi, wewaran pawukon di Bali itu dari Jawa sebenarnya,” terang Sutarya.


Perkembangannya selanjutnya di Bali, Ilmu Astronomi dan Astrologi kemudian dikenal menjadi Ilmu Wariga. Patokan yang digunakan di Bali adalah perhitungan Surya Chandra Pramana atau yang akrab di telinga sebagai solar dan lunar system yang sampai sekatang tetap dipakai di kalender khas Bali. Penggunaan itu salah satunya pada saat menentukan jatuhnya Hari Raya Nyepi, yakni menentukan sasih kasanga melalui perhitungan Surya Pramana (jatuh setiap sasih yang sama) dan menentukan jatuhnya tilem melalui perhitungan Candra Pramana.


Ditambahkannya,perkembangan Wariga di Bali juga menyebabkan ada banyak percabangan Ilmu Wariga yang mirip dengan Jyotisha. “Bisa dilihat, ada Wariga untuk pertanian, jodoh, kelahiran, pedewasan, dan lainnya. Mirip dengan Astronomi dan Astrologi pada Jyotisha,” pungkasnya.

Rabu, 17 Maret 2021

Pengobatan Tradisional Ulat Gigi, masih Ada dan Diminati

  

Pengobatan Tradisional Ulat Gigi, masih Ada dan Diminati

TRADISIONAL: Prosesi pengobatan sakit gigi secara tradisional dengan mengeluarkan ulat pada gigi yang berlubang. (DEWA RASTANA/BALI EXPRESS)


BALI EXPRESS, SEMARAPURA - Di jaman yang serba modern, tidak bisa dipungkiri pengobatan tradisional masih menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat di Bali. Pengobatan tradisional dinilai menjadi salah satu alternatif, ketika penanganan medis dinilai tak mampu mengatasi keluhan yang dialami.

Salah satu pengobatan tradisional yang mungkin terdengar asing namun unik, yakni pengobatan sakit gigi. Pengobatan tradisional ini memang jarang terdengar. Tapi kenyataannya, pengobatan tradisional sakit gigi itu memang ada dan diminati sebagian orang. Dan uniknya pengobatannya dilakukan dengan cara mengeluarkan ulat yang bersarang pada gigi yang bermasalah.

Pengobatan yang berada di Banjar Koripan Kangin, Desa Banjarangkan, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung ini sudah sejak lama dilakoni I Wayan Cepeg, 70. Mungkin pengobatan ini tidak begitu dikenal masyarakat. Namun setiap harinya ada saja masyarakat yang datang untuk mengobati gigi mereka yang sakit.

Saat ditemui beberapa waktu lalu, Cepeg menuturkan, praktek pengobatan tradisional tersebut sudah dia lakukan sejak tahun 1980an. Awalnya, dirinya mengalami sakit gigi yang tidak kunjung sembuh, hingga dirinya mencari cara untuk menyembuhkan sakit gigi yang dialaminya. “Saya coba cari cara dan ketemu cara seperti ini,” ujarnya.

Cara yang dimaksud yakni dengan mengeluarkan ulat kecil yang bersarang pada gigi yang bermasalah, pada umumnya gigi berlubang. Namun hal itu tentu tidak terlepas dari bantuan niskala, yakni sesuhunan yang disungsung Cepeg. Hanya saja dia tidak bisa menyebutkan secara pasti. Konon katanya, Cepeg mendapatkan ilham pengobatan itu dari sesuhunan yang ada di Tukad Bubuh. Sebuah sungai yang tepat berada di sisi timur rumahnya. “Ya saya dibantu sesuhunan driki (disini) agar mepaice tamba (mendapatkan berkah obat),” lanjutnya.

Adapun tamba (obat) yang diberikan berupa minyak, yang pertama-tama akan dioleskan pada gigi pasien yang berlubang. Setelah sebelumnya Cepeg melakukan pengecekan pada gigi pasien, untuk mengetahui, apakah gigi pasien itu memang berisi ulat atau tidak. Jika iya, maka proses pengobatan akan dilanjutkan.

“Dicek dulu giginya, berisi ulatnya atau tidak,” sambung kakek 7 orang cucu tersebut.

Setelah dicek, maka Cepeg akan mengoleskan minyak pada gigi yang bermasalah tersebut. Sembari dirinya memanaskan celebingkah (pecahan genteng) dengan bantuan strongking.

Menurutnya, kini memanaskan celebingkah sudah lebih mudah dibandingkan dulu yang tanpa bantuan strongking. “Dulu menghidupkan api cukup lama. Lalu ada yang menawarkan saya bantuan untuk memodifikasi strongking yang saya punya, untuk memudahkan memanaskan celebingkah itu. Jadi sekarang lebih cepat,” paparnya.

Sambil menunggu celebingkah panas, dirinya juga menyiapkan sebuah paso (gerabah) dari tanah liat yang diisi air sedikit. Kemudian dia meletakkan sebuah batu di dalamnya. Batu inilah yang digadang-gadang juga merupakan paica dari sesuhunan yang disungsung Cepeg. Selanjutnya setelah celebingkah panas, maka celebingkah diletakkan diatas batu, kemudian ditutup menggunakan kau (tempurung kelapa) yang diatasnya sudah dipasang selang plastik kecil. Dengan segera, pasien diminta meletakkan ujung selang pada gigi yang bermasalah, lalu ditiup hingga air pada paso bergelembung.

“Nanti akan keluar ulatnya berwarna putih yang langsung masuk air. Uap dari celebingkah yang panas itu yang diperlukan. Kalau uapnya sudah habis celebingkah itu dipanaskan lagi,” tuturnya.

Dan benar saja, saat wartawan koran ini menyambangi rumah Cepeg, kebetulan pula ada seorang pasien yang sedang berobat. Ternyata setelah meniup selang tersebut, satu per satu ulat kecil berwarna putih keluar dan ‘berenang’ di dalam air di paso tersebut.

Praktek pengobatan tradisional ini bisa dibilang cukup sederhana. Bahkan tempat pengobatannya pun hanya pada sebuah bedeng di sisi timur rumah Cepeg. Namun pasien yang datang untuk berobat berasal dari berbagai daerah di Bali. Meskipun terdengar masih asing, namun keampuhan pengobatan Cepeg tidak diragukan lagi.

Hal itu diakui salah seorang pasien yang sudah beberapa kali melakukan pengobatan tersebut. Pria yang mengaku bernama I Made Narta, 34, mengatakan, dirinya memang memiliki satu gigi berlubang, dan kadang kala kambuh. Sehingga sakit giginya tak tertahankan, meskipun sudah sempat dibawa ke dokter. “Kemudian ada teman yang menyarankan agar dicari saja ulat giginya. Awalnya saya terkejut, kok ada pengobatan seperti ini. Tetapi saya penasaran, akhirnya saya coba datang,” ujarnya.

Dan benar saja, setelah ulat gigi dikeluarkan, rasa sakit yang dialaminya langsung hilang dan jarang kambuh lagi. Bagi pasien yang ingin berobat, juga cukup membawa canang dan diisi sesari seikhlasnya.

(bx/ras/yes/JPR)


Sabtu, 13 Maret 2021

Hari Baik Menikah 2021

 






Penyusun Kalender Bali, Gede Marayana. (Putu Mardika/Bali Express)

Bila ingin melaksanakan Pawiwahan (menikah) di tahun 2021, ada sejumlah hari baik (Dewasa Ayu) yang bisa jadi pertimbangan.


Penyusun Kalender, Bali Gede Marayana merekomendasikan ada beberapa tanggal yang baik bagi umat Hindu untuk melaksanakan upacara Pawiwahan di tahun 2021 ini.





Ia menyebut, khusus di Bulan Januari dan Februari memang tidak ada padewasan yang sesuai dengan wewaran, pawukon, tanggal sasih, dauh. Sedangkan di bulan Maret, yang merupakan Sasih Kedasa, ia menyebut hanya ada pada tanggal 31 Maret. “Sasih baik, hari baik, wuku baik. Hanya saja pangelong,” jelasnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Kamis (3/4) siang.


Sedangkan di bulan April, dewasa Nganten ada pada tanggal 2 April. Dimana kasusnya sama seperti Maret. Wuku, hari, dan sasihnya baik. “Nanti bisa disempurnakan padewasaannya dengan banten Pamarisudha atau Carun Dewasa,” jelasnya.

Sedangkan untuk Mei, Juni dan Juli tahun 2021 disebutnya tidak ada satupun padewasaan yang disarankan. “Sasih Karo yang biasanya bulan Juli juga belum tepat untuk upacara Pawiwahan,” imbuhnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Lanjut di Bulan Agustus, dikatakan Marayana ada sejumlah padewasaan yang direkomendasikan. Diantaranya tanggal 9, 12, dan 20 Agustus 2021. Di tanggal tersebut dikatakan Marayana, memiliki unsur yang baik. “Hanya saja tanggal 20 Agustus itu ada Was Penganten,” bebernya.

Selanjutnya di bulan September atau sasih Kapat. Ia menyebut ada dua tanggal yang dianjurkan, yakni tanggal 9 dan 16 September. Kemudian di bulan Oktober ada tanggal 8 Oktober. “Sedangkan di bulan November itu sudah tidak ada. Memang sasihnya bagus. Hanya saja Nguncal Balung. Begitu juga Desember tidak ada dewasa Nganten,” katanya.

Namun, Marayana kembali menegaskan, tradisi padewasan di Bali tidaklah kaku. Tradisi padewasan bisa diberlakukan secara luwes, sesuai dengan kepentingan yang lebih besar. “Nanti akan menyesuaikan jika ada hal-hal yang sifatnya sangat mendesak. Kembali ke iksa (tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan setempat), dan kala (waktu),” tutupnya.



Jumat, 12 Maret 2021

Jasa tukang bangunan dan borongan Denpasar

 






MENYEDIAKAN JASA BANGUNAN YANG PROFESIONAL & TERPERCAYA UNTUK KEBUTUHAN ANDA.
- RENOVASI RINGAN, SEDANG DAN BERAT
- BANGUN BARU RUMAH, KANTOR, KIOS, RUKO, APARTEMEN, GEDUNG BERTINGKAT, KONTRAKAN, KOST-KOSTAN, CLUSTER, KAVLING, PASAR.
- INSTALASI AC
- INSTALASI SISTEM PIPA DLL

Hubungi : 0821-4684-7793

Trisandya - Mantra Wajib Bagi Umat Hindu Bali

  





Mаrіlаh kіtа mеmujа Tuhаn, Idа Hyang Wіdhі Wаçа
Pеmujааn kepada Tuhan dараt dilaksanakan dеngаn banyak cara. Sаlаh ѕаtu di аntаrаnуа іаlаh dеngаn bеrѕеmbаhуаng tіар hari. Kіtа yang bеrаgаmа Hіndu bеrѕеmbаhуаng tiga kali ѕеhаrі, раgі, ѕіаng dan mаlаm hаrі. Sеmbаhуаng dеmіkіаn dіѕеbut ѕеmbаhуаng Trіѕаndhуа. Mantram yang dіраkаірun disebut mаntrаm Trіѕаndhуа.

Mаntrаm ini ditulis dаlаm bahasa Sаnѕеkеrtа, bahasa оrаng Hіndu jаmаn dаhulu. Kita boleh bеrѕеmbаhуаng dеngаn duduk bersila, duduk bersimpuh atau berdiri tegak sesuai dengan tеmраt уаng tеrѕеdіа. Sіkар duduk bersila disebut раdmаѕаnа. Sіkар duduk bеrѕіmрuh dіѕеbut bаjrаѕаnа dаn yang bеrdіrі dіѕеbut раdаѕаnа.


Sеtеlаh sikap bаdаn itu bаіk, dіlаnjutkаn dеngаn рrаnауаmа. Prаnауаmа artinya mengatur jаlаnnуа nafas. Gunanya: untuk menenangkan ріkіrаn dаn mеndіаmkаn bаdаn mengikuti jаlаnnуа ріkіrаn, bіlа ріkіrаn dan bаdаn sudah tеnаng mаkа bаrulаh mulаі bеrѕеmbаhуаng.

Sіkар tаngаn waktu bеrѕеrnbаhуаng disebut sikap аmuѕtі. Mаtа mеmаndаng ujung hіdung dаn ріkіrаn ditujukan kераdа Sаnghуаng Wіdhі. Dаlаm kеаdааn ѕереrtі іtu, ѕаbdа, bayu, іdер hаruѕ dalam keadaan ѕеіmbаng.

Duduk dеngаn tenang. Lаkukаn Prаnауаmа dаn setelah ѕuаѕаnаnуа tenang ucapkan mantram ini:

Om Prasada Sthiti Sаrіrа Sіwа Suсі Nіrmаlауа Namah Swaha

- JUAL ES KRIM PERNIKAHAN KLIK DISINI

Artіnуа:
Yа Tuhаn, dаlаm wujud Hyang Siwa, hamba-Mu tеlаh duduk tеnаng, suci, dаn tіаdа noda.

Kalau tersedia air bersihkan tаngаn раkаі аіr. Kаlаu tidak аdа ambil bungа dаn gоѕоkkаn pada kеduа tаngаn. Lalu tеlараk tangan kanan dіtеngаdаhkаn dі аtаѕ tаngаn kіrі dan ucapkan mantram:

Om Suddhа Mam Swаhа

Artіnуа:
Yа Tuhаn, bеrѕіhkаnlаh tangan hаmbа (bіѕа juga реngеrtіаnnуа untuk mеmbеrѕіhkаn tаngаn kаnаn).

Lаlu, posisi tаngаn dibalik. Kіnі tаngаn kіrі ditengadahkan dі atas tаngаn kanan dаn ucapkan mаntrаm:

Om Atі Suddhа Mаm Swаhа

Artіnуа:
Yа Tuhаn, lеbіh dibersihkan lаgі tаngаn hamba (bisa jugа реngеrtіаnnуа untuk membersihkan tаngаn kіrі).

Kalau tеrѕеdіа air (mаkѕudnуа air dari rumah, bukаn tіrthа), lеbіh bаіk bеrkumur ѕаmbіl mengucapkan mantram dі dalam hаtі:

Om Ang Wаktrа Parisuddmam Swаhа

atau lebih реndеk:



Om Waktra Suddhaya Namah

Artinya:
Ya, Tuhаn ѕuсіkаnlаh mulut hаmbа.

Jіkа tеrѕеdіа dupa, реgаnglаh dupa уаng ѕudаh dіnуаlаkаn іtu dеngаn ѕіkар amusti, уаknі tangan dісаkuрkаn, kеduа іbujаrі menjepit раngkаl duра уаng dіtеkаn oleh tеlunjuk tangan kanan, dаn uсарkаn mantra:

Om Am Duра Dіраѕtrауа Nаmа Swаhа

Artіnуа:
Yа, Tuhаn/Brаhmа tаjаmkаnlаh nуаlа dupa hаmbа ѕеhіnggа sucilah sudah hamba ѕереrtі sinar-Mu.

аtаu bіlа memegang duра pasupati Gаndа Sіddhі, ucapkan mаntrа:

Om Ang Dupa Gаndаѕіddhі уа nаmаh

Artіnуа:
Yа Tuhаn, mеlаluі ѕеmеrbаk hаrum kemujisatan іnі, tаjаmkаnlаh ріkіrаn hamba ѕеhіnggа doa hamba dapat mеmujаmu-Mu.

Setelah іtu lakukanlah puja Trіѕаndуа. Jika mеmujа ѕеndіrіаn dаn tіdаk hаfаl ѕеluruh рujа уаng banyaknya enam bаіt іtu, uсарkаnlаh mаntrаm yang реrtаmа saja (Mаntrаm Gayatri) tetapi diulang sebanyak tiga kali.

- JUAL ES KRIM PERNIKAHAN KLIK DISINI

Mаntrаm Trіѕаndhуа


OM, OM,OM 
BHUR BHUWAH SWAH, 
TAT SAWITUR WARENYAM, 
BHARGO DEWASYA DHIMAHI, 
DHIYO YO NAH PRACHODAYAT, 


OM NARAYANAD EWEDAM SARWAM, 
YAD BHUTAM YASCA BHAWYAM, 
NISKALO NIRlANO NIRWIKALPO, 
NlRAKSATAH SUDDHO DEWO EKO, 
NARAYANA NADWITYO ASTI KASCIT. 


OM TWAM SIWAH TWAM MAHADEWAH, 
ISWARAH PARAMESWARA, 
BRAHMA WISNUSCA RUDRASCA, 
PURUSAH PARIKIRTITAH, 


OM PAPO'HAM PAPAKARMAHAM , 
PAPATMA PAPASAMBHAWAH, 
TRAHI MAM PUNDARIKAKSAH, 
SABAHYABHYANTARA SUCIH. 


OM KSAMA SWAMAM MAHADEWA, 
SARWAPRANI HITANGKARAH, 
MAM MOCCA SARWAPAPEBHYAH, 
PALAYASWA SADASIWA. 


OM KSANTAWYA KAYIKA DOSAH. 
KSANTAWYO WACIKA MAMA, 
KSANTAWYA MANASA DOSAH, 
TAT PRAMADAT KSAMASWA MAM. 


OM SANTI, SANTI, SANTI OM 

Artі tеrjеmаhаnnуа Trisandya:
Ya Hуаng Wіdhі уаng menguasai ketiga dunia ini,
Yаng mаhа suci dаn ѕumbеr ѕеgаlа kеhіduраn,
ѕumbеr segala cahaya,
semoga lіmраhkаn раdа budi nurani kami реnеrаngаn ѕіnаr cahayaMu уаng maha suci.

Yа Hуаng Widhi, dаrіmulаh ѕеgаlа уаng ѕudаh аdа dаn уаng akan аdа dі alam іnі bеrаѕаl dаn kembali nаntіnуа.




Engkаu adaIah gаіb, tіаdа berwujud, dі аtаѕ segala kebingungan, tаk termusnahkan.
Engkаu аdаlаh maha сеmеrlаng, maha suci, maha еѕа dаn tіаdа duanya.

Engkаu dіѕеbut Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brаhmа dаn Wіѕnu dаn juga Rudra.
Engkau аdаlаh аѕаl mula dаrі ѕеgаlа уаng ada.

Oh Hуаng Widhi Wаѕа, hamba іnі papa,
jiwa hаmbа papa dаn kеlаhіrаn hаmbарun рара,
perbuatan hаmbа рара,

Yа Hyang Widhi, ѕеlаmаtkаnlаh hаmbа dаrі ѕеgаlа kenistaan ini, dapatlah dіѕuсіkаn lаhіr dan bаtіn hаmbа.
Ampunilah hаmbа. оh Hуаng Widhi, реnуеlаmаt ѕеgаlа mаkhluk.
Lераѕkаnlаh , kіrаnуа hamba dаrі ѕеgаlа kepapaan ini dan tuntunlаh hаmbа, ѕеlаmаtkаn dаn lіndungіlаh hаmbа оh Hуаng Wіdhі Wаѕа.

Oh Hуаng Widhi Wаѕа, аmрunіlаh ѕеgаlа dosa hаmbа, ampunilah dоѕа dаrі ucapan hamba dаn

аmрunіlаh pula dosa dari ріkіrаn hamba.
Amрunіlаh hаmbа atas ѕеgаIа kelalaian hаmbа іtu.

Sеmоgа dаmаі dihati, damai didunia, damai ѕеlаlu.

Uraian dan Artі Kаtа-kаtа dalam Trі Sаndhуа

Tri = tiga
Sandhya = sembahyang

Om = ѕuku kаtа ѕuсі, lambang Sang Hyang Wіdhі
Bhur = bumі
Bhuvаh = lаngіt
Svаh = ѕоrgа
Tat = itu
Savituh = savita
Vаrеnуаm = Tuhаn
Bhargah = cemerlang
Devasya = Dewa: Tuhаn
Dhіmаhі = mаrіlаh kіtа mеmuѕаtkаn pikiran
Dhіуаh = ріkіrаn
Yаh = іа
Nаh = kіtа
Prachodayat = semangat

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Nаrауаnаh = Tuhаn
Evа = hаnуа
Idam = ini
Sarva = semua
Yat = yang
Bhutam = yang telah ada
Yаd = уаng
Bhavyam = yang аkаn аdа
Nіѕkаlаnkаh = bеbаѕ dari nоdа
Niranjanah = bebas dаrі kоtоrаn
Nіrvіkаlраh = реrubаhаn
Nirakhyatah = digambarkan
Suddаh = ѕuсі
Dеvаh = Dеwа; Tuhаn
Ekаh = ѕаtu
Nа = tіdаk
Dvіtіуаh = kеduа
Aѕtі = аdа
Kascit = yang lаіn

- JUAL ES KRIM PERNIKAHAN KLIK DISINI

Tvаm = еngkаu
Sivah = Siwa; уаng pengasih dan penyayang
Mаhаdеvаh = Mаhаdеwа; Dewa уаng Agung
Iѕvаrаh = Iѕwаrа; yang kuasa
Pаrаmеѕvаrаh = реnguаѕа yang tertinggi
Brаhmа = Brаhmа; уаng mеnсірtа
Vіѕnuh = Wіѕnu; уаng bеkеrjа
Cа = dаn
Rudrаh = Rudrа; yang mempralina
Puruѕаh = рuruѕа; jіwа аlаm ѕеmеѕtа
Parikirtitah = dipanggil
Parikirtita = dipanggil

Pараh = рара
Aham = hamba
Papakarma = perbuatan рара
Pараtmа = jіwа рара
Papasambhavah = kelahiran рара
Trаhі = hеndаknуа еngkаu
Mаm = lіndungі hamba
Pundarikasa = yang bermata
tun-sabahya-bhyantarah = luar dаlаm lаhіr bаtіn
sucih = suci; bеrѕіh

kѕаmаѕvа = hеndаknуа еngkаu ampuni
mahadewa = Mahadewa
sarvaprani-hitankara = yang membuat kеbаhаgіааn ѕеmuа makhluk
mоса = hеndаknуа еngkаu bebaskan
ѕаrvарареbhуаh = ѕеmuа dоѕа
раlауаѕvа = hеndаknуа engkau lіndungі
ѕаdаѕіvа = Sіwа уаng kеkаl; Tuhаn

ksantavyah = hendaknya supaya dіаmрunі
kѕаntаvуа = hеndаknуа ѕuрауа diampuni
kауіkаh = аnggоtа bаdаn
dоѕаh = dоѕа
vасіkаh = kаtа-kаtа
mаmа = hаmbа
mаnаѕаh = ріkіrаn
pramadat = kelalaian
Santih = damai

Sumber : cakepane.blogspot.com

Kamis, 11 Maret 2021

Ida Mas Dalem Segara, Sulinggih Berusia 23 Tahun, Ini Kisahnya

 






MUPUT : Ida Mas Dalem Segara dengan pakaian kebesarannya ketika muput upacara. (IDA MAS DALEM SEGARA FOR BALI EXPRESS)





Apa yang tergambar dalam benak Anda ketika menyebut kata Sulinggih? Tentu yang terbayang adalah seorang pendeta suci yang berpakaian serba putih, berambut panjang yang diperucut, juga berjenggot putih. Namun, bayangan sosok seperti itu akan buyar, bila melihat Sulinggih Ida Mas Dalem Segara yang ala kids zaman now. Kenapa buyar? Karena pasti berseberangan dengan yang dibayangkan.





Ida Mas Dalem Segara, seorang Sulinggih muda berperawakan gagah. Tak seperti Sulinggih pada umumnya, Ida Mas Dalem Segara membiarkan rambut hitam bergelombangnya terurai. Gaya bicaranya yang santai, membuatnya cepat akrab dengan para pamedek yang tangkil ke griyanya di kawasan Jalan Drupadi XIV Denpasar.


Usai melayani para pemedek yang malukat, Sulinggih berusia 23 tahun ini pamit mohon izin untuk berganti pakaian. Beberapa saat kemudian, pria tamatan SMA ini sudah terlihat dengan santai duduk di atas sebuah Bale Pangiring yang terletak di pelataran griyanya.

“Ampura nggih, saya lebih suka berpenampilan begini jika di rumah. Apa adanya, yang terpenting bukan apa yang saya kenakan. Tapi, seperti apa jiwa dan karma yang saya lakukan,” ujar Sulinggih asal Peguyangan, Buleleng, ketika menerima kunjungan Bali Express (Jawa Pos Group), kemarin. Melihat penampilannya, Sulinggih ini mirip idola kids zaman now, bila melihat model rambutnya, pakaiannya yang modis, ditopang posturnya yang semampai plus wajahnya yang rupawan.


Pria yang sejak kecil menetap di Denpasar ini, mengaku cukup berat menjalankan takdirnya menjadi seorang Sulinggih. Bahkan, tak pernah menyangka perjalanan hidupnya akan sejauh ini. “Dari kecil saya memang dekat dengan hal - hal spiritual. Beliau benar – benar menuntun saya lewat berbagai cobaan dalam hidup,” ungkapnya.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Ida Mas Dalem Segara bercerita, sejak kecil tak pernah merasakan kasih sayang ayahnya sebagai orang tua. Ia tumbuh dan dibesarkan oleh ibunya. “Bisa dibilang saya seorang yatim. Tidak memiliki ayah, saya sepenuhnya bergantung pada ibu. Ibu merawat saya dari kecil hingga tamat SMA,” paparnya.
Ketika SMA, Ida Mas Dalem Segara memutuskan untuk memulai membangun usaha di bidang pakaian. Di luar perkiraan, usaha yang dirintisnya ternyata tumbuh dengan pesat. Ia mulai menerima banyak orderan, sehingga terus melebarkan sayap bisnisnya hingga memiliki toko dan cabang di sejumlah daerah.


Merasa ada di atas angin, ia terus mengembangkan usahanya hingga benar – benar maju.
“Suatu malam ada sosok gaib yang datang menyampaikan bagaimana seharusnya jalan saya kedepan. Awalnya saya belum bisa menerima untuk menjadi seorang Sulinggih. Sebab, bisnis saya sedang maju. Jika saya menerima, artinya saya harus siap melepaskan usaha dan segala bentuk keduniawian lainnya," akunya. Namun bayangan agar menjadi seorang Sulinggih, terus berkecamuk di benaknya.
Setahun sebelum ia bersedia melaksanakan proses madwijati, Ida Mas Dalem Segara bermimpi masuk ke sebuah dimensi ruang, di mana ia melihat masa depan.

“Saya melihat sekelebat kejadian yang berganti ganti, saya juga melihat diri saya ketika di umur lanjut usia, tengah berdiri di utara rumah dengan pakaian serba putih. Dan anehnya, setelah mimpi tersebut, orang – orang mulai datang silih berganti, nunas ini dan itu. Minta petunjuk dan tuntunan dalam setiap persoalan hidup mereka," bebernya.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Lantas, ia berbagi cerita dengan Ida Nabe Giri Natha dari Griya Gede Penida Bangli. "Berkat tuntunan beliau lah saya akhirnya mantap menerima jalan ini,” ujarnya.


Dengan segala bentuk pertimbangan, keyakinan dan cobaan yang terus menerus datang, akhirnya Ida Mas Dalem Segara menerima takdirnya sebagai seorang Sulinggih. “Ada satu titik balik kenapa saya menerima ini sebagai jalan hidup saya. Ketika saya harus kehilangan segalanya, segala hal yang menurut saya sangat penting dalam hidup saya waktu itu. Kira – kira hampir setahun saya harus terpuruk, dan bertingkah seperti orang gila. Tapi perlahan saya bisa bangkit dan pasrah,” paparnya.


Titik balik yang dimaksud adalah ketika ia harus kehilangan beberapa orang yang dikasihinya.
“Saya sudah ngiring dari cenik, ketika kecil saya harus menerima kehilangan ayah sebagai tulang punggung. Setelah ayah tiada, otomatis ibu menggantikannya menjadi tulang punggung keluarga. Jadi, saya secara tidak langsung juga kehilangan kasih sayang ibu. Beranjak remaja, rasa kesepian yang dalam itu mulai terobati. Saya punya pacar ketika itu, sangat dalam rasa cinta saya. Tapi sayangnya memang tidak jodoh, nah dari situ lah saya merasa tidak punya harapan, dan merasa sangat hancur,” tuturnya.


Berbagai cara ia lakukan untuk mengobati rasa sakit dan kesepian. Pergi ke berbagai tempat untuk membersihkan diri dan berguru, namun tak juga hilang sepenuhnya berbagai masalah.

“Sampai satu titik akhirnya saya menemukan sebuah jawaban. Yah ini, memang harus begini yang saya jalani. Setelah bulat dengan keputusan saya, akhirnya saya menjalani setiap prosesnya. Saya akui sangat berat,” ungkapnya.


Menurutnya, pertimbangan terberat yang harus ia pikirkan sebelum melaksanakan proses Dwijati adalah anak dan istrinya. “Saya memiliki istri jauh sebelum proses madiksa dilakukan. Anak saya lahir pun, jauh sebelum saya melewati proses Dwijati," terangnya.


Dikatakan berat, lanjutnya, karena ia punya tanggung jawab terhadap keberlangsungan kebutuhan istri, anak, dan keluarga. "Ketika kita bersedia menjadi suci, artinya harus benar – benar melepas keduniawian. Kita harus benar – benar beryadnya kepada masyarakat," ujarnya. Dikatakannya, semua keraguan itu terjawab. "Ada saja rezeki, bahkan saya mampu ngayahin para pamedek dengan cara membuat upacara ngaben massal, mapandes massal gratis untuk masyarakat,” ungkapnya.


Dengan senyum teduh khas anak muda, Ida Mas Dalem Segara memang sudah mantap menjalankan tugasnya sebagai orang yang disucikan. “Saya memang masih muda. Namun saya percaya Tuhan tidak sembarangan memberikan jalan. Walaupun ada saja yang mencemooh, ada saja yang tidak setuju. Jika memang ini jalan saya, harus saya jalani. Saya sendiri pun tak kuasa menolaknya,” ujarnya.

Meski menuai banyak pro dan kontra, ia tetap yakin dan memegang teguh prinsip dalam menjalankan yadnya. Putra sulung dari dua bersaudara ini, sebelum memutuskan untuk madwijati ia sempat menjadi seorang pengusadha, membantu orang – orang di sekitarnya. Sulinggih murah senyum ini, dikenal sangat murah hati. Tak jarang ia tak menerima sasari dari upacara yang dipuputnya. Sebelum menjadi Sulinggih, Ida Mas Dalem Segara juga sempat didiksa menjadi Ida Bhawati.

Dengan menjalankan proses panjang, akhirnya ia melaksanakan proses madwijati yang dilaksanakan oleh Ida Nabe Giri Natha dari Griya Gede Penida Bangli, Ida Nabe dari Griya Medahan Gianyar, Ida Nabe Ratu Bagus dari Griya Muncan Karangasem, dan Ida Nabe Rsi Lokanantha dari Griya Agung Denpasar. Namun, hingga kini Ida Mas Dalem Segara belum menggunakan Bhawa, karena Ida mapulang lingga pada saat sasih kapat di bulan september 2017 di Griya Gede Penida Bangli. Jadi, saat ini statusnya masih Malingga Bhawati sampai pada saat waktu yang ditentukan karena mengikuti struktur dari trah Pasek.


Makanya, namanya masih Ida Mas Dalem Segara, di mana seharusnya ada nama Bhagawannya.
"Semua itu karena dalam struktur trah pasek, ikut trah dari nabe.Setelah jangka waktu yang ditentukan, baru bisa menggunakan Bhawa dan menyandang gelar Bhagawad," bebernya.



Sabtu, 06 Maret 2021

Hari Raya Nyepi dan Yadnya Tawur Agung

  




Muwujudkan kesejahteraan lahir batin atau jagadhita dan moksha merupakan tujuan agama Hindu. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, umat Hindu wajib mewujudkan 4 tujuan hidup yang disebut Catur Purusartha atau Catur Warga yaitu dharma, artha, kama dan moksha. Empat tujuan hidup ini dijelaskan dalam Brahma Sutra, 228, 45 dan Sarasamuscaya 135.

Menurut agama, tujuan hidup dapat diwujudkan berdasarkan yajña. Tuhan (Prajapati), manusia (praja) dan alam (kamadhuk) adalah tiga unsur yang selalu berhubungan berdasarkan yajña. Hal ini tersirat dalam makna Bhagavadgita III, 10:

manusia harus beryajña kepada Tuhan, kepada alam lingkungan dan beryajña kepada sesama.

Tawur kesanga menurut petunjuk lontar Sang hyang Aji Swamandala adalah termasuk upacara Butha Yajña. Yajña ini dilangsungkan manusia dengan tujuan membuat kesejahteraan alam lingkungan. Dalam Sarasamuscaya 135 (terjemahan Nyoman Kajeng) disebutkan, untuk mewujudkan Catur Warga, manusia harus menyejahterakan semua makhluk (Bhutahita).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

"Matangnyan prihen tikang bhutahita haywa tan mâsih ring sarwa prani."

Artinya:
Oleh karenanya, usahakanlah kesejahteraan semua makhluk, jangan tidak menaruh belas kasihan kepada semua makhluk.

"Apan ikang prana ngaranya, ya ika nimitang kapagehan ikang catur warga, mâng dharma, artha kama moksha."
Artinya:
Karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjaminnya dharma, artha, kama dan moksha.

Di dalam Agastya Parwa ada disebutkan tentang rumusan Panca Yajña dan di antaranya dijelaskan pula tujuan Butha Yajña sbb:

"Butha Yajña namanya tawur dan mensejahterakan tumbuh-tumbuhan."

Dalam Bhagavadgita III, 14 disebutkan, karena makanan, makhluk hidup menjelma, karena hujan tumbuhlah makanan, karena persembahan (yajña) turunlah hujan, dan yajña lahir karena kerja.

Dalam kenyataannya, kita bisa melihat sendiri, binatang hidup dari tumbuh-tumbuhan, manusia mendapatkan makanan dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dengan demikian jelaslah, tujuan Butha Yajña melestarikan lingkungan hidup, yaitu Panca Maha Butha dan sarwaprani. Upacara Butha Yajña pada tilem kasanga bertujuan memotivasi umat Hindu secara ritual untuk senantiasa melestarikan alam lingkungan.

Dalam lontar Eka Pratama dan lontar Usana Bali disebutkan bahwa, Brahma berputra tiga orang yaitu: Sang Siwa, Sang Budha dan Sang Bujangga. Ketiga putra beliau ini diberi tugas untuk amrtista akasa, pawana, dan sarwaprani. Oleh karena itu, pada saat upacara Tawur Kesanga, upacara dipimpin oleh tiga pendeta yang disebut Tri Sadaka. Beliau menyucikan secara spiritual tiga alam ini: Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Sebelum dilaksanakan Tawur Kesanga, dilangsungkanlah upacara Melasti atau Melis.


Tujuan upacara Melasti dijelaskan dalam lontar Sanghyang Aji Swa-mandala sebagai berikut:

Anglukataken laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana.

Artinya:
Melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan dan kekotoran alam.

Lontar Sundarigama menambahkan bahwa tujuan Melasti adalah:

Amet sarining amerta kamandalu ring telenging sagara.

Artinya:
mengambil sari-sari air kehidupan (Amerta Ka-mandalu) di tengah-tengah samudra.

Jadi tujuan Melasti adalah untuk menghilangkan segala kekotoran diri dan alam serta mengambil sari-sari kehidupan di tengah Samudra. Samudra adalah lambang lautan kehidupan yang penuh gelombang suka-duka. Dalam gelombang samudra kehi-dupan itulah, kita mencari sari-sari kehidupan dunia.

Pada tanggal satu sasih kadasa, dilaksanakanlah brata penye-pian. Brata penyepian ini dijelaskan dalam lontar Sundarigama sebagai berikut:

BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali"....enjangnya nyepi amati geni, tan wenang sajadma anyambut karya sakalwirnya, ageni-geni saparanya tan wenang, kalinganya wenang sang wruh ring tattwa gelarakena semadi tama yoga ametitis kasunyatan."

Artinya:
"....besoknya, Nyepi, tidak menyalakan api, semua orang tidak boleh melakukan pekerjaan, berapi-api dan sejenisnya juga tak boleh, karenanya orang yang tahu hakikat agama melak-sanakan samadhi tapa yoga menuju kesucian."

Jadi, brata penyepian dilakukan dengan tidak menyalakan api dan sejenisnya, tidak bekerja terutama bagi umat kebanyakan. Sedangkan bagi mereka yang sudah tinggi rohaninya, melakukan yoga tapa dan samadhi. Parisada Hindu Dharma Indonesia telah mengembangkan menjadi catur brata penyepian untuk umat pada umumnya yaitu: amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati lelanguan. Inilah brata penyepian yang wajib dilakukan umat Hindu pada umumnya. Sedangkan bagi umat yang telah memasuki pendidikan dan latihan yang menjurus pada kerohanian, pada saat Nyepi seyogyannya melakukan tapa, yoga, samadhi.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Tujuan utama brata penyepian adalah untuk menguasai diri, menuju kesucian hidup agar dapat melaksanakan dharma sebaik-baiknya menuju keseimbangan dharma, artha, kama dan moksha.

Jika kita perhatikan tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan makna yang relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan.

Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata "tawur" berarti mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan dalam merayakan pergantian Tahun Saka

Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu nilai kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern seka-rang ini adalah seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini tampak semakin eksis dan bukan merupakan sesuatu yang negatif. Persamaan dan perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan akal dan budi yang sehat. Brata penyepian adalah untuk umat yang telah meng-khususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya. Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat tertentu.

Pelaksanaan Upacara

Upacara Melasti dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi. Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan dalam lontar Sundarigama seperti ini:

"....manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata."

Di Bali umat Hindu melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di Pura Desa. Sebelum Ngrupuk atau mabuu-buu, dilakukan nyejer dan selama itu umat melakukan persembahyangan.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Upacara Melasti ini jika diperhatikan identik dengan upacara Nagasankirtan di India. Dalam upacara Melasti, pratima yang merupakan lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling desa menuju laut dengan tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa. Sedang upacara Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa, mengidungkan nama-nama Tuhan (Namas-maranam) untuk menyucikan desa yang dilaluinya.

Dalam rangkaian Nyepi di Bali, upacara yang dilakukan berdasarkan wilayah adalah sebagai berikut: di ibukota provinsi dilakukan upacara tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata.

Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari bambu) dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar.


Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara "byakala prayascita" dan "natab sesayut pamyakala lara malaradan" di halaman rumah.

Upacara Bhuta Yajña di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 11.00 - 12.00 (kala tepet). Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah tangga, yaitu melakukan upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan ngrupuk pada saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian. Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini meru-pakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat.

Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Patung yang dibuat dengan bam-bu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngrupuk. Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala.

Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai serta tidak mengganggu ketertiban dan kea-manan. Selain itu, ogoh-ogoh itu jangan sampai dibuat dengan memaksakan diri hingga terkesan melakukan pemborosan. Karya seni itu dibuat agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau mengagungkan upacara. Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi dan dijiwai agama Hindu.

Nah, lalu bagaimana pelaksanaan Nyepi di luar Bali? Rangkaian Hari Raya Nyepi di luar Bali dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap memperhatikan tujuan utama hari raya yang jatuh setahun sekali itu. Artinya, pelaksanaan Nyepi di Jakarta misalnya, jelas tidak bisa dilakukan seperti di Bali. Kalau di Bali, tak ada kendaraan yang diperkenankan keluar (kecuali mendapat izin khusus), namun di Jakarta hal serupa jelas tidak bisa dilakukan.


Sebagaimana telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu:

Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan upawasa (puasa).
Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria.
Amati lelungan (tidak bepergian).
Amati lelanguan (tidak mencari hiburan).Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu.

Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk melak-sanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana.

Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan terpaksa. Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan. Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh keikhlasan.