Selasa, 24 November 2020

MASYARAKAT BALI MENYIMPAN HASIL SAWAHNYA DI DALAM LUMBUNG PADI ATAU DI BALI DI SEBUT "JINENG"TAHUN 1930AN

 


Lumbung adalah bangunan tradisional Bali yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan padi. Lumbung dapat dibedakan menjadi empat jenis, antara lain: Jineng, Kelumpu,Gelebeg, dan Kelingking.

Jineng atau lumbung itu adalah sebagai tempat menyimpan padi bukan beras dan juga menyimpan sumber bahan makanan yang lainnya seperti jagung dan padi-padian lainnya. Hal ini melambangkan agar penggunaan hasil kekayaan yang diusahakan dari bumi ini digunakan secara hemat dan tepat. Menyimpan dalam bentuk padi itu bertujuan untuk menghemat secara tepat. Agar jangan menggunakan hasil kekayaan bumi ini dengan cara yang tidak benar.


Sesungguhnya adanya jineng itu jangan dilihat dari fungsi nyata (sekala) dewasa ini. Jineng di Pura Banua itu hendaknya dilihat dari sudut niskala sebagai simbol sakral. Simbol sakral berupa jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif dan hemat kepada umat. Ke depan ada baiknya jineng itu dibangun kembali untuk dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar ia bisa hidup produktif dan hemat sebagai cara membangun hidup yang makmur secara berkelanjutan. (https://sudarmadakaripura.wordpress.com/)

Dalam Tri Mandala Pura Besakih, Jineng di Pura Banua sebagai hulunya lumbung di Bali.

Pura Banua Hulunya Lumbung di Bali
Vaisyah krsivalah karyo-
gopah sasya bhrtvratah,
vartayukto grhopatah-
ksetra palo tha Vaisyah.
(Slokantara, 37)

Maksudnya:
Swakarma vaisya varna adalah bertani, mengembala ternak mengumpulkan padi-padian, berdagang, mengusahakan rumah penginapan dan menjadi pelindung ladang.

BERTANI dan beternak merupakan mata pencaharian awal dari manusia sebelum adanya perkembangan industri barang maupun industri jasa. Dari bertani dan beternak itulah munculnya usaha dagang sebagai lapangan pekerjaan untuk melangsungkan kehidupan. Orang yang bekerja di sektor ekonomi ini disebut Vaisya Varna dalam sistem profesi untuk mendapatkan mata pencaharian berdasarkan Weda.

Dagang Banten Bali


Tugas petani sebagai Vaisya Varna di samping memproduksi hasil-hasil tersebut agar dapat digunakan sehemat mungkin. Tentunya tidak sampai mengurangi fungsinya untuk membangun hidup sehat sejahtera lahir batin. Memproduksi sumber-sumber kebutuhan hidup sehari-hari itu dan juga menggunakannya agar hemat dan tepat guna bukan pekerjaan yang dapat dilakukan begitu saja.

Pekerjaan itu harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan dan juga ketenangan hati. Membina sikap hidup produktif yang hemat tepat guna dapat dilakukan dengan memulainya dari pemujaan pada Tuhan. Pemujaan ini untuk menumbuhkan bahwa pemahaman bahwa Tuhan menghendaki agar semua ciptaan-Nya ini tidak ada yang tersia-siakan. Swami Satya Narayana menyatakan bahwa ada empat hal yang tidak boleh diboroskan. Empat hal ini adalah rezeki, makanan, tenaga, dan waktu.

Hidup produktif dan hemat itu ditanamkan juga dalam sistem pemujaan pada Tuhan oleh umat Hindu di Bali. Karena hidup produktif dan hemat itu salah satu cara untuk membangun hidup yang sejahtera. Hal itu dikembangkan di salah satu kompleks Pura Besakih yang disebut Pura Banua. Di pura ini Tuhan dipuja sebagai Dewa Sri, Sakti Dewa Wisnu sebagai Dewi Kemakmuran.

Pura Banua ini salah satu kompleks Pura Besakih yang juga berkedudukan sebagai hulunya lumbung di Bali. Pura ini terletak bersebelahan dengan Pura Basukian di kanan jalan menuju Pura Penataran Agung Besakih. Kata ”banua” dalam bahasa Bali kuno artinya desa menurut pengertian sekarang. Banua dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu wilayah pemukiman untuk membina kerja sama membangun dan memelihara kesejahteraan hidup bersama yang produktif dan hemat. Pelinggih atau bangunan suci yang paling utama di pura ini adalah sebuah pelinggih berbentuk Gedong sebagai stana pemujaan Batari Sri sebagai sakti atau power-nya Dewa Wisnu sebagai Dewa Kemakmuran.


Di pura ini ada sebuah jineng dalam ukuran besar yaitu lumbung padi menurut tradisi umat Hindu di Bali. Sayang lumbung yang disebut jineng itu setelah rusak tidak diperbaiki lagi sehingga bangunan tersebut terhapus. Di lumbung besar itulah hasil-hasil tanah laba Pura Besakih disimpan.

Umat Hindu di Bali kalau memanen padi di sawah umumnya menyisihkan seikat kecil padinya terus diupacarai dan distatuskan sebagai simbol Dewa Nini. Dewa Sri yang dalam hal ini disebut Dewa Nini. Seikat padi yang disimbolkan sebagai Dewa Nini inilah yang distanakan di bagian hulu atau keluwan di ruangan dalam lumbung yang ada di Pura Banua tersebut. Mungkin karena kurang paham akan makna jineng atau lumbung itu maka saat rusak tidak lagi diperbaiki karena saat ini tidak ada lagi orang menyimpan padi dengan cara tradisi seperti dahulu.

Sesungguhnya adanya jineng itu jangan dilihat dari fungsi nyata (sekala) dewasa ini. Jineng di Pura Banua itu hendaknya dilihat dari sudut niskala sebagai simbol sakral. Simbol sakral berupa jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif dan hemat kepada umat. Ke depan ada baiknya jineng itu dibangun kembali untuk dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar ia bisa hidup produktif dan hemat sebagai cara membangun hidup yang makmur secara berkelanjutan.

Untuk masyarakat awam ajaran agama yang abstrak itu divisualisasikan dalam bentuk simbol. Dengan simbol itulah berbagai hal bisa dijelaskan secara lebih mudah kepada umat kebanyakan. Apa lagi simbol tersebut terkait dengan pemujaan pada Dewi Sri, Sakti Dewa Wisnu manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kemakmuran. Kehadiran Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran diwujudkan sebagai Dewi Sri di pelinggih Gedong dan sebagai Dewa Nini di lumbung pura.


Dewi Sri lambang Tuhan dalam spirit kemakmuran, sedangkan Dewa Nini dalam wujud kongkretnya. Dewi Sri ibarat jiwa atau Purusa-nya, sedangkan Arca Dewa Nini sebagai wujud fisik atau Pradana-nya. Demikianlah dapat diumpamakan. Karena itu Dewa Nini itu disimbolkan dengan seikat padi. Padi yang dijadikan simbol Dewa Nini itu tentunya padi dari pilihan yang terbaik sehingga menjadi contoh produksi untuk diupayakan oleh masyarakat petani mempertahankan kualitas produknya.

Ini artinya seikat padi terpilih sebagai simbol arca itu, di samping bermakna sebagai simbol sakral ia juga memiliki nilai sebagai simbol material untuk dijadikan contoh oleh pada petani dalam mempertahankan dan mengembangkan kualitas produknya.

Di Pura Banua ini di samping ada Gedong dan Jineng stana Dewi Sri dan Dewa Nini ada juga Balai Pesamuan yang terletak di sebelah kiri Gedong Dewi Sri. Balai Pesamuan ini bertiang delapan dan dibagi menjadi dua bagian yang disekat dengan sebilah papan. Balai Pesamuan ini sebagai tempat bertemunya para pemimpin masyarakat Desa Besakih dengan telah ditentukan tempat duduknya masing-masing.

Balai Pesamuan ini sebagai simbol bahwa dalam membangun kehidupan ekonomi agraris itu tidak bisa para petani berjalan sendiri-sendiri. Apa lagi kehidupan petani sangat tergantung pada iklim dan musim yang ditentukan oleh dinamika alam. Para petani harus mendapat tuntunan dari para akhli dan praktisi astronomi yang dalam ajaran Weda disebut Jyothisa.

Di samping ditentukan oleh musim bertani itu juga ditentukan oleh hari baik atau dewasa menanam padi. Yang juga amat menentukan adalah manajemen irigasi. Hal-hal inilah yang akan menjadi pembahasan umat petani dalam mengembangkan kemakmuran bersama. Hidup bersama itu harus dikembangkan berbagai kebijakan melalui suatu musyawarah agar semua informasi yang ada dapat ditata sesuai dengan fungsi dan profesi yang dimiliki oleh masyarakat bersangkutan.* i ketut gobyah
http://www.babadbali.com/

#BALITEMPOEDULOE #TROPENMUSEUM # #SEJARAH # #BALILAWAS # #BALIAGE #KEUNIKANBALI #ADATTRADISI #ADATBUDAYA #

Sabtu, 21 November 2020

Sejarah Pura Aditya Jaya Rawamangun, Jakarta Timur



Siapa yang tidak kenal dengan Pura Aditya Jaya Rawamangun. Sebuah pura terbesar di Jakarta dan merupakan pusat perkumpulan umat Hindu Sejabotabek. Pura yang lebih populer dikalangan anak mudah dengan nama PAJ ini, terletak di Jalan Daksinapati Raya, RT.11/RW.14, Rawamangun, RT.11/RW.14, Rawamangun, RT.11/RW.14, Rawamangun, Kota Jakarta Timur.



Foto: Mutiarahindu.com
Sejarah Pura Rawamangun

Menurut sejarah, pada tahun 1960 an, umat Hindu DKI Jakarta yang tergabung dalam Suka Duka Hindu Bali (SDHB) {yang telah berganti menjadi Suka Duka Hindu Dharma (SDHD)} berniat untuk membangun tempat ibadah Pura dan Yayasan Pitha Maha di Jakarta. Kala itu, masa kepemimpinan Presiden pertama Republik Indonesia, Dr. Ir. H. Soekarno (periode 1945–1966).

Akhirnya Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu, Ida Bagus Mantra dan Ida Bagus Manuaba (ketua Pitha Maha yang juga anggota Dewan Konstituante), Menteri Koordinator I Gusti Subania, anggota DPRD DKI Jakarta I Nyoman Wiratha menyampaikan niat baik tersebut ke Presiden.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Menanggapi hal itu, pria yang akrab disapa Bung Karno tersebut, langsung menyambut baik dan menawarkan tanah di Lapangan Banteng bagi umat Hindu. Namun entah kenapa pembangunnan pura di Banteng dinyatakan Batal. Dua tahun kemudian yakni tahun 1962-an, presiden kembali menawarkan tanah yang berbeda yakni di Ancol, tetapi tawaran tersebut langsung ditolak oleh umat Hindu. Sebab pada saat itu, daerah Ancol berlupur serta berbau tak sedap, tidak seperti sekarang ini.

Tahun 1972, Menteri Pekerjaan Umum (PU), Ir Sutami kembali menawarkan tanah Dept. PU cq Ditjen Bina Marga di Jakarta Timur tepatnya Jalan Daksinapati Raya, Rawamangun depan Lapangan Golf . Dengan pertimbangan yang matang, umat hindu akhirnya memutuskan bahwa lokasi tersebut tepat untuk pembangunan Pura Aditya Jaya Rawamangun yang sekarang dapat kita lihat. Keputusan ini diperkuat dengan surat No. 36/KPTS/1976 tentang izin penggunaan tanah Dept. PU cq Ditjen Bina Marga yang diterbitkan oleh Ir Sutami di dukung Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta kala itu.



Peletakan Batu Pertama Pura Aditya Jaya Rawamangun


Pembangunan Pura Aditya Jaya Rawamangun melewati 7 tahap. Peletakan batu pertama dimulai pada tahun 1972, dan baru selesai pada tahun 1997. Pura Aditya Jaya, dibagi menjadi tiga bagian yakni Nista Mandala yaitu daerah paling luar, Madya Madala yaitu bagian tengah dan Utama Mandala atau bagian Tengah.

Dibagian luar (Nista Mandala) digunakan sebagai tempat kegiatan seperti memasak, cuci tangan dan kaki sebelum sembahyang dan beberapa kegiatan lainya. Kemudian pada bagian tengah atau Madya Madala digunakan sebagai tempat dupa, bunga, sentang dan beberapa kegiatan lainya. sedangkan pada Utama Mandala atau bagian Tengah digunakan khusus untuk persembhayangan.



RELATED:
Daftar Pura di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan dan Lombok
Profil Pura Anjasmoro Jombang Jawa TimurPura Aditya Jaya memiliki dua pintu masuk yang pertama di Jalan Daksinapati Raya No 10 dan di pintu Depan Jalan Tol Cawang-Tanjung Priok.

Sumber: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/sejarah-pura-aditya-rawamangun-jakarta.html

Tugas Kelompok STAH DNJ (Wawancara)
Pemuda balkar, 2015. Sejarah Pura Aditya Rawamangun, Online. Diakses. 22 Pebruari 2018 Pukul 13:22 Wib.


Rabu, 11 November 2020

Asta Brata di Keraton Surakarta Hadiningrat Solo

Pada mulanya kraton Surakarta Hadiningrat dibangunsecara bertahap, tiap raja yang memerintah sesudah Paku Buwono II mengganti, menambah atau mengubah bangunan yang dirasa kurang cocok, disamping menambah beberapa perlengkapan yang belum ada. Panggung SONGGO BUWONO dibangun oleh raja Paku Buwono III terletak di dalam kompleks kraton serta berdekatan dengan Kori Sri Manganti. Pendirian Panggung Songgo Buwono bersamaan dengan pembangunan Kori Brojonolo dan Kori Sri Manganti. Panggung Songgo Buwono ditandai dengan titi mangsa yang menjadi tetenger atau tanda Sengkala yang terdapat dibagian atas bangunan tersebut sebagai "Nogo Muluk Tinitihan Jamna" disamping itu pada bagian atap terdapat hiasan "Nogo/ular dinaiki manusia" Sekala tulisan Jawa tersebut berarti : Nogo = 8, Muluk = 0, Nitih = 7, Jamna/manusia = 1, angka yang terkumpul adalah 8071 akan tetapi untuk dapat dipergunakan sebagai angka petunjuk tahun susunan tadi harus di balik menjadi 1708 tahun jawa atau 1782 tahun Masehi. Nama panggung Songgo Buwono tersebut juga merupakan suatu Candra Sengkala tersendiri yaitu : panggung = 8, duwur = 0, sangga = 7, buwono = 1 sehingga didapatkan 8071 dan harus di balik jika dipergunakan seabagai angka petunjuk tahun yaitu 1708 Jawa atau tahun 1782 Masehi, (Sudharta, 2015:viii).




Pura Tirtha Dang Kahyangan Luhur Rambut Siwi

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Panggung Songgo Buwono merupakan penggambaran dari 8 sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang raja yang berkuasa agar dapat menjalankan pemerintahan secara baik. Kedelapan sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang raja tersebut terkenal sebagai ASTA BRATA yang merupakan suatu ajaran dari Prabu Ramawijaya kepada Bharata sebelum diwisuda menjadi raja. Asta Brata merupakan 8 pedoman pokok yang sangat ideal bagi raja yang berkuasa, kedelapan ajaran utama tersebut adalah:

1. Watak Matahari: matahari mempunyai sifat panas dan berfungsi sebagai pemberi sarana kehidupan. Seorang raja harus dapat berfungsi sebagai matahari yang dapat memberikan semangat dan kehidupan bagi rakyatnya.

2. Watak Bulan: Bulan berwujud indah serta menerangi dalam kegelapan. Seorang raja harus dapat berfungsi seperti bulan yaitu memberi penerangan serta dapat membimbing rakyatnya yang berada dalam kegelapan.

3. Watak Bintang: Bintang mempunyai bentuk yang manis serta dapat menjadi pedoman bagi mereka yang kehilangan arah. Dalam hal ini raja harus dapat berfungsi sebagai contoh/teladan serta menjadi panutan bagi masyarakat.

4. Watak Angin: Angin bersifat mengisi ruangan kosong. Seorang raja harus dapat bertindak secara teliti dan bijaksana disamping harus dapat menyelami kehidupan masyarakat.

5. Watak Mendung: Mendung merupakan sifat menakutkan akan tetapi bila hujan telah turun dapat bermanfaat bagi masyarakat. Seorang raja harus dapat berwibawa kepada rakyatnya.

6. Watak Api: api mempunyai sifat tegak serta dapat membakar apa saja. Seorang raja harus dapat bertindak adil, mempunyai prinsip disiplin, tegas dalam bertindak.

7. Watak Mamudra: Samudra bersifat luas dan mampu menampung segala macam bentuk isi. Seorang raja harus memiliki pandangan yang luas serta sanggup menerima segala macam persoalan.

8. Watak Bumi : Bumi memiliki sifat suci serta sentosa. Dalam hal ini seorang raja harus mempunyai sifat yang jujur, berbudi luhur serta mau memberi anugerah kepada siapa saja yang telah berjasa kepada negara.

Demikianlah 8 asas kepemimpinan yang terdapat dalam Asta Brata yang memiliki makna mendalam bagi setiap raja, sebab bila seorang raja tidak melaksanakan ASTA BRATA berarti dia sebagai raja yang tak bermahkota dan ini berarti dia sebagai raja yang tidak baik.

Pendirian Panggung Songgo Buwono erat sekali hubungannya dengan ajaran Asta Brata ini, karena pendirian bangunan ini mengandung suatu tujuan untuk mengingatkan kepada raja yang memerintahkan akan adanya 8 sifat utama yang harus dimiliki. Pada bagian atas bangunan Panggung Songgo Buwono terdapat suatu ruangan yang disebut "Tutup Saji" di tempat ini merupakan tempat pertemuan antara raja Paku Buwono dengan Nyai Roro Kidul, (Sudharta, 2015:ix).

Dengan adanya perkawinan mistis tersebut kewibawaan raja menjadi bertambah besar. Adanya perkawinan ini telah menempatkan raja bukan hanya sebagai manusia biasa melainkan manusia yang memiliki kekuatan gaib "supra natural". Pembangunan Panggung Songgo Buwono tersebut erat sekali hubungannya dengan mithos tentang perkawinan antara Nyai Roro Kidul dengan raja-raja yang berkuasa di Surakarta. 

Dagang Banten Bali


Demikianlah antara lain isi Kakawin Ramayana secara ringkas yang tidak sedikit mengandung ajaran-ajaran kesusilaan dan kebajikan. Di dalam 2.771 baitnya tersimpan ajaran-ajaran hidup yang sangat bernilai dalam bidang politik pemerintahan, strategi perang, amanat penderitaan rakyat, kehidupan sosial serta ajaran etika dan agama yang semuanya disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa wiracarita Ramayana merupakan satu sumber kepribadian bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat Prof. Dr. Poerbatjaraka yang menyatakan bahwa dalam Ramayana "banyak pelajarannya, indah-indah perhiasannya, lagi gagah bahasanya. Seumur hidup belum pemah saya membaca kitab Jawa (Kuna) yang memadai kitab Ramayana", (Sudharta, 2015:ix).

Referensi:

Sudharta, Dr. Tjok Rai. 2015. Asta Brata di Abad Millenium. Denpasar: ESBE buku.

Minggu, 08 November 2020

Korupsi Menurut Perspektif Hindu Dan Hukumnya

Secara etimologi Korupsi dalam bahasa Yunani berarti “corruplate” yang artinya mengambil atau mencuri barang orang lain tampa ijin sang pemilik. Dalam bahasa latin Korupsi sama dengan “Corruptio” yang artinya rusak atau busuk atau menyogok, memutar balikkan, menggoyahkan.


Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI.Online) Korupsi yaitu penyelewengan atau penyalagunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. (KBBI Daring, Online. Diakses tanggal 14 Februari. Pukul 12:58 Wib)




Foto: Mutiarahindu.com
Dari penjelasan diatas, mutiara hindu dapat menyimpulkan bahwa Korupsi adalah tindakan mencuri, mengambil, merusak, barang orang lain tampa sehingga merugikan orang lain.


Korupsi Menurut Pandangan Hindu


Korupsi dalam agama hindu dapat dipandang sebagai tindakan yang melawan Dharma atau Hukum Rta. Dalam konsep Tri Kaya Parisudha, maka korupsi adalah tindakan yang tidak benar karena melanggar Manacika (berfikir yang benar), Wacika (berkata yang benar) dan Kayika (berbuat yang benar).


Kemudian jika kita memperhatikan etimologi diatas korupsi adalah bagian dari Panca Ma yaitu lima tindakan (perbuatan) yang dapat menjauhkan manusia dari jalan dharma sehingga terjerumus kedalam kegelapan. Ada pun dari kelima bagian-bagian Panca Ma adalah (1) Madat (mengisap candu seperti narkoba), (2) Memunyah (mabuk-mabukan akibat minuman keras atau sejenisnya), (3) Metoh atau juga disebut Memotoh yaitu perbuatan Judi, (4) Madon (gemar bermain perempuan, memitra atau bersina), dan Mamaling (mencuri atau korupsi).


Mamaling sama halnya dengan korupsi yaitu mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan sang pemilik. Mamaling juga dapat diartikan tindakan yang melanggar hukum negara maupun hukum rta sebab merugikan orang lain.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Korupsi dalam agama hindu juga merupakan tindakan yang melanggar Catur Purusa Artha dimana seseorang harus mengutamakan Dharma (kebenaran) untuk memperoleh Artha (harta benda) dan Kama (keinginan) demi mencapai tujuan hidup yakni Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma (kebahagian di dunia dan akhirat).


Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah kondisi yang terbangun karena melawan hokum kerja (rta) dimana sang koruptor ingin mendapatkan sesuatu bukan dari hasil kerja keras sehingga merugikan negara. (Sri Wedari.2015:14)


Penyebab Orang Korupsi Menurut Hindu


Perbuatan korupsi di Indonesia saat ini sangat banyak terjadi di kalangan pemerintah negara. Hal ini terjadi karena penggunaan wewenang dan kebijakan diluar hukum. Dampak dari hal ini adalah negara mengalami kerugian sehingga pembangunan sumber daya manusia semakin terhambat. Tindakan seperti ini tentunya tidak sesuai dengan ideology negara yakni mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.


Tindakan kejahatan seperti ini, bukan hal yang biasa, dalam kitab suci agama hindu telah diprediksi bahwa di Jaman Kali Yuga ini, kejahatan akan lebih banyak dari pada kebaikan dimana kejahatan 75 persen sedangkan kebaikan hanya 25 persen. Selain itu, penyebab orang korupsi yakni tidak adanya pengendalian terhadap Sad Ripu yang ada dalam diri setiap manusia. Ke enam musuh tersebut yakni (1) kama yaitu nafsu atau keinginan yang berlebihan sehingga melampau batas kemampuan; (2) Tamak atau sifat rakus yang ada pada diri manusia; (3) Krodha yaitu sifat marah yang terlalu berlebihan; (4) Moha yaitu sifat bingung atau awidya; (5) Mada yaitu sifat mabuk baik karena harta mau pun keinginan atau minuman; dan (6) Matsarya yaitu sifat dengki atau iri hati.


Ke enam sifat diatas dapat mengakibatkan runtuhnya kemulian (seperti Korupsi) manusia. Selain itu dugaan lain yang dapat membuat orang korupsi yakni, bahwa karena tingginya tingkat materialisme tanpa adanya kendali kerohanian ataupun sentuhan spiritual. Untuk itu, perlu adanya penegakan “dharma”. Sebab, Tanpa dharma, maka korupsi akan terus terjadi. Tanpa dharma maka manusia yang menyimpang dari undang-undang, peraturan dan sebagainya. Manusia akan berhadapan dengan polisi, jaksa, hakim dan pejabat justisi lainnya.


Hukum Pelaku Korupsi Menurut Pandangan Hindu


Telah dijelaskan diatas bahwa korupsi adalah tindakan yang melawan hukum rta atau dharma. Sehingga perlu adanya penegakan kembali seperti disebutkan dalam Bhagavad Gita IV.8 bahwa untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran dan menegakkan kembali kebenaran (dharma), maka Tuhan sendiri akan turun kedunia.


Dari sloka diatas dapat dijelaskan bahwa pelaku korupsi akan mendapatkan hukuman dari Tuhan itu sendiri. Namun, belum dipastikan kapan dia akan mendapat hukuman itu. Sebab dalam agama Hindu dikenal adanya tiga jenis karma yaitu sebagai berikut:

Sancita Karmaphala yaitu perbuatan kita yang lalu masih ada sehingga menentukan hidup kita sekarang. Misalnya dahulu anda melakukan korupsi yang merugikan negara sangat banyak, sehingga anda dipenjara, dan akhirnya meninggal di dalam penjara. Pada kehidupan hari ini anda hidup menderita sebab hukuman terhadap anda dahulu belum selesai dan harus ditanggung dikehidupan sekarang.
Prarabdha Karmaphala yaitu perbuatan sekarang hasilnya dinikmati sekarang. Contoh konkrit yang dapat kita lihat yakni banyak video di media social menampilkan seseorang melakukan perampokan dan pada saat lari menyelamatkan diri justru ditabrak kendaraan.
Kriyamana Karmaphala yaitu perbuatan kita hari ini atau sekarang hasilnya akan dinikmati pada kehidupan mendatang. Misalnya saat ini, anda melakukan korupsi tetapi karena kelicikan anda akhirnya lolos dari hukuman. Pada kelahiran berikutnya anda akan mendapatkan kesengsaraan seperti kekurangan ekonomi dan lainnya atau bisa saja menjadi orang hina.

Dagang Banten Bali


Ketiga jenis karma diatas diperkuat dengan kayakinan umat Hindu dengan adanya Hukum Karma Phala yaitu hokum sebab akibat setiap karma (perbuatan) akan mendatangkan hasil atau buah, apabila karma yang diperbuat adalah karma baik maka buah atau phala yang diperoleh adalah kebaikan. Demikian pula sebaliknya bila karma yang dibuat adalah karma yang buruk maka buah Karma Phala yang diterima adalah karma buruk yang diterimah adalah hasil keburukan.


Kemudian di dalam Sarasamuccaya 267 dikatakan bahwa


“biarpun orang berketuruna mulia, jika berkeinginan merampas kepunyaan orang lain, maka hilanglah kearifanya karena kelobaannya; apabila telah hilang kearifannya itu itulah menghilangkan kemuliaanya, keindahannya dan seluruh kemegahanya”.


Sloka diatas mempertegas bahwa hukuman terhadap pelaku korupsi tidak memandang status social seseorang, baik itu raja, presiden, menteri atau keturunan dari orang terpandang jika melakukan korupsi, maka kemuliannya akan hilang. Hal ini dipertegas lagi di dalam Sarasamuccaya 149 yang berbunyi demikian:


“Jika ada orang yang merampas kekayaan orang lain dengan berpegang kepada kekuatannya dan banyak pengikutnya, malahan bukan harga kekayaan hasil curianya saja yang terampas darinya, tetapi juga dharma, artha dan kamanya itu turut terampas oleh karena perbuatanya, (yang mencuri malahan kehilangan lebih banya)”.



RELATED:
Pandangan Hindu Mengenai Kehamilan dan Kelahiran
Konsep Arca Menurut Veda dan Susastra Veda
Perang Asimetris Dari Mahabharata Hingga Kini
Sloka Sarasamuccaya 149 mempertegas bahwa seseorang yang mengambil barang orang lain atau korupsi akan mendapatkan hukuman yang lebih berat dari yang dilakukan. Dikatakan berat karena bukan saja hartanya yang terampas tetapi juga, kehormatanya, keinginannya dan kepercayaanya. Contoh kecilnya dapat kita lihat sekarang yakni pejabat korupsi yang akhirnya kehilangan jabatan, kekuasaan dan kepercayaannya setelah tertangkap kpk.


Di dalam hukum Hindu memang tidak ada hukum yang tertulis yang langsung menjatuhkan vonis hukuman kepada para pelaku namun hukuman tersebut sifatnya niskala yang kita tidak tahu kapan dan bagaimana hukuman itu kita terima, bisa saja pada kehidupan sekarang bisa secara langsung dan bisa juga pada kehidupan yang akan datang.


Hukuman dalam veda adalah Rta dan Dharma yang keduanya merupakan hukum dalam ilmu hukum Hindu, Rta adalah hukum alam yang bersifat abadi sedangkan dharma adalah hukum duniawi baik ditetapkan maupun tidak ditetapkan.


Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hendaknya seseorang tidak melakukan korupsi sebab akan berdampak pada luka yang mendalam. Dalam mencari artha dan kama harus mengutamakan dharma sebab tidak ada artinya artha yang diperoleh menyimpang dari jalan dharma.


Reff: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/korupsi-menurut-perspektif-hindu-dan.html
Sri Wedari, Ni Nengah. 2015. Hukum Pelaku Korupsi Menurut Hindu. Dempasar: IHDN
Yani, Komang Sri. 2015. Hukum Pelaku Korupsi dalam Hindu.Mataram: STAH GDE PUDJA.
¬_. 1991. Sarasamuccaya. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.

Selasa, 03 November 2020

Pandangan Hindu Mengenai Kehamilan dan Kelahiran



Pernikahan menyatuhkan seorang pria dan wanita dan meraka memulai sebuah hidup baru dimana mereka saling melengkapi. Hindu percaya bahwa baik pria maupun wanita tidaklah lengkap. Bersama-sama mereka menciptkan gambar yang utuh. Ini adalah langkah pertama dalam membentuk keluarga.


Tujuan terpenting dari pernikahan adalah untuk menghasilkan anak-anak. Setiap pasangan ingin memiliki anak-anak yang cakap, sehat, cerdas, yang memiliki nilai-nilai moral yang tinggi dan memberi kebanggaan dan kebahagiaan (Bhalla, 2010 : 159).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Merupakan hal yang alami bila pria dan wanita intim secara fisik, pada saat tertentu sang wanita akan mengandung dan melahirkan anak. Tetapi tidak semua anak memiliki kualitas yang diinginkan orang tuanya.



Foto: Caturyudiantara

Dipercaya bahwa bila seorang pria dan wanita menginginkan seorang anak yang cakap itu harus direncanakan dengan baik.


Perencanaan tidak hanya menyangkut tentang waktu yang tepat saat pasangan tersebut sudah siap untuk memiliki anak, tetapi juga keselarasan fisik dan emosi antara keduanya.


Keduanya harus mencita-ciatakan sebuah keluarga bahagia. Keselarasan emosi inni akan menurun pada anak. Adalah karena alasan ini Hindu mennnyebut putra sebagai atmaj dan seorang putri sebagai admaja, yang mana keduanya berasal dari kata atma (jiwa) atau diri. Baik putra maupun putri berhubungan dengan diri.



Dalam Smriti Sangrah ada sebuah referensi mengenai kehamilan yang berbunyi demikian:


“Sebuah penyatuan yang direncanakan pada pasangan, akan memastikan kehamilan yang pantas sehingga akan menghasilkan anak yang cakap. Kualitas-kualitas negative dalam semen dan ovum akan menjadi tidak efektif. Sebuah kehamilan yang baik adalah hasil dari pengertian dan perencanaan mutual”.


Penelitian medis telah menyatakan bahwa keadaan mental pria dan wanita saat melakukan hubungan intim mempengaruhi karakteristik yang dibawa melalui semen dan ovum. Seorang anak merupakan cerminan dari ikatan emosional ayah dan ibunya, (Bhalla, 2010 : 160).
Dalam Sushrat Samhita, Sharir, 2/46/50, dikatakan:


“Tergantung pada diet, temperamen, dan kelakuan pria dan wanita saat melakukan hubungan intim, putra yang terlahir dari penyatuan seperto itu juga akan memiliki temperamen yang sama”.


Dewa Dhanvantri mengatakan bahwa tergantung pada jenis pria yang bagaimana yang diinginkan wanita saat melakukan hubungan intim di antara siklus menstruasi, ia akan dianugerahi dengan seorang putra.


Bila seorang putra ingin agar anaknya cakap seperti suaminya. Atau gagah berani seperti Abhimanyu, ia harus membayangkan mereka.


Bila ia ingin anaknya berbakti seperti Dhruva, atau memiliki pengetahuan jiwa seperti Janak atau murah hati seperti Karan, ia harus melihat gambar-gambar orang-orang hebat ini.


Dengan pikiran murni ia harus memikirkan mereka dan melakukan hubungan intim pada saat yang tepat. Cipercaya bahwa saat yang paling tepat untuk melakukan hubungan intim adalah antara jam 12 malam sampai jam 3 pagi. Seorang anak dihasilkan pada waktu ini akan menjadi anak religious dan berbakti kepada Brahman.

Dagang Banten Bali


Berseberangan dengan banyak keyakinan, dalam jalan hidup Hindu, hubungan seksual antara pasangan dianggap sebagai sebuah tanggung jawab suci. Pasangan harus memikirkan Dewa dan Dewi pujaan mereka serta meminta anugrah mereka. Dengan demikian, mereka akan dianugerahi anak-anak yang baik Bhalla, 2010 : 161).


Dalam Brihadaranyak, 6/4/21, disarankan bahwa sebelum melakukan hubungan intim dengan tujuan untuk memperoleh kehamilan, Brahmin, Kshatriya dan Vaishya harus membaca mantra:


“Wahai Dewa Siniwali! Wahai Dewi Prathustuka yang berbokong besar! Anugerahilah wanita ini agar ia bisa mengandung. Semoga kehamilannya disucikan oleh kedua Ashvani Kumar dan dihiasi dengan rangkaian bunga teratai”.


Agar dapat dianugrahi dengan anak-anak baik, beberapa larangan juga harus diterapkan dalam hubungan fisik antara pasangan. Sebagai contoh, seorang tidak boleh melakukan hubungan intim saat ia tidak bersih atau selama siklus mestruasi.


Juga dikatakan bahwa melakukan hubungan intim di pagi hari atau sore hari tidaklah baik. Juga dianjurkan agar seseorang tidak mengandung pada saat khawatir, takut, marah, dan dalam keadaan mental yang tidak stabil. Anak-anak yang dikandung pada keadaan yang disebutkan di atas akan memiliki watak dan kebiasaan yang buruk.



RELATED:
Peran Ibu Sebagai Penyelenggara Aktivitas Agama Menurut Perspektif Hindu
Konsep Arca Menurut Veda dan Susastra Veda
Perang Asimetris Dari Mahabharata Hingga Kini
Raksasa Hiranyakashipu, putra Kashyap dan istrinya Diti, terlahir sebagai raksasa karena ia dikandung pada sore hari. Hubungan fisik juga dilarang pada saat hari-hari shraddh, saat upacara religious dilaksanakan atau pada saat maam muda Bhalla, 2010 : 162).


Hubungan seksual yang baik merupakan sesuatu yang penting dalam jalan hidup Hindu. Dalam Bhagavad Gita 7.11 dijelaskan:


“Balam Balavatam Caham Kama-Raga-Vivarjitam Dharmaviruddho bhutesu kamo ‘smi bharatarsabha”


Artinya:


“Aku juga adalah kekuatan dari orang-orang perkasa, bebas dari nafsu dan keinginan. Dan, wahai yang terbaik dalam keturunan bangsa Bharata, Aku adalah hawa nafsu yang ada dalam diri setiap makhluk yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip suci".


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/06/padangan-hindu-mengenai-kehamilan-dan.html


Darmayasa. 2014. Bhagavad-gita (Nyanyian Tuhan). Denpasar: Yayasan Dharma Sthapanam.
Bhalla. Prem P. 2010. Tata Cara, Ritual dan Tradisi Hindu (Editor: I Ketut Donder/ Alih Bahasa: Diah Sri Pandewi). Surabaya: Paramita.

Senin, 02 November 2020

Peran Ibu Sebagai Penyelenggara Aktivitas Agama Menurut Perspektif Hindu

Peran ibu sebagai penyelenggara Aktivitas Agama, dalam keluarga Hindu sangat jelas Tampak, karena sebagaian besar dilaksanakan oleh para wanita atau kaum ibu-ibu. Akan hal ini sesuai dengan tuntunan petunjuk suci pustaka Manawadharmasastra III dalam sloka 55, 56, 57, 58, menyatakan sebagai berikut:



Pitrbhir bhratrbhic



Caitah patibhir dewarais tatha

Pujya bhusayita wyacca

Bahu kalyanmipsubhin.

Terjemahan:

Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayah-ayahnya, kakak-kakaknya, suami dan ipar-iparnya yang menghendaki kesejahteraan sendiri.

Kemudian Sloka 56 berbunyi demikian:

Yatra naryastu pujyante

Ramante tatra dewatah

Yatraitastu na pujyante

Sarwastaraphalah kriyah

Terjemahan:

Dimana wanita dihormati, disanalah para Dewa-Dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berphala.

Berikutnya Sloka 57 berbunyi demikian:

Cocanti jamayo yatra

Winacyatyacu tatkulam

Na cocanti tu yatraita

Wardhate taddhi sarwada

Terjemahan:

Dimana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan hancur, tetapi dimana wanita itu tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia.

Selanjutnya Sloka 58 berbunyi demikian:

Jamayo yani gehani

Capantya patri pujitah

Tani krtyahatanewa

Winacyanti samantatah

Terjemahan:

Rumah diaman wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya, seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib.

Berdasarkan pada tuntunan pustaka suci tersebut, bila disesuaikan dengan kenyataannya, memang besar kebenaranya, karena sebagain besar aktivitas agama, ditangani oleh para ibu-ibu.

Lebih jauh dalam pustaka suci Manusmerti XI sloka 28, juga ada dinyatakan sebagai berikut:

Apatyam dharmakaryanicucrusaaratiruttama

Daradhinastathaaswargahgahpitrinam atmanacca ha.

Terjemahan:

Anak-anaka, upacara agama, pengabdian kebahagian rumah tangga, surge untuk leluhur maupun untuk diri sendiri (semua) didukung oleh istri.

Pengamalan dari tuntuna-tuntunan pustaka suci tersebut, dalam kehidupan ibu sebagai penyelenggara aktivitas agama pada keluarganya, diwujudkan dalam pelaksanaan-pelaksanaan upacara, misalnya setelah selesai memasak di dapur sebelum makan, diselengarakan upacara Jadnya Sesa dengan mempersembahkan banten jotan atau saiban, yang terdiri dari hasil masakan berupa sesuap nasi lengkap dengan lauk pauknya. Upacara adalah salah satu kerangka agama Hindu yang paling kongkrit kegiatannya, yaitu merupakan suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan dirinya dengan Hyang Widhi Wasa melalui suatu persembahan berupa Yadnya. 

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Essensi daripada agama adalah Yadnya, yaitu suatu persembahan atau korban suci yang didasari dengan pikiran yang tulus ikhlas terhadap Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya. Semua upacara itu dibuat berdasarkan Susila/Etika dan mempunyai inti hakekat yang terkandung di dalamnya yang disebut dengan Tattwa. Dengan demikian, maka pada setiap pelaksanaan upacara agama Hindu, sebenarnya ketiga kerangka agama yang terdiri dari Tattwa, Susila/Etika dan Upacara telah menyatu dilaksanakan, karena ketiga-tiganya itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak dapat dipisah-pisahkan. Bila dikaji secara mendalam, dalam pelaksanaan upacara Yadnya Sesa/Masaiban atau Ngejot itu, maka pelaksanaan Ngejot adalah upacara, yang diwujudkan berupa banten, sekaligus berfungsi sebagai alat atau sarana. Adapun waktu untuk mempersembhakannya yaitu setelah selesai memasak sebelum makan adalah susila atau etikanya, itu mempunyai makna mendahulukan Hyang Widhi Wasa/manifestasi-Nya yang telah membantu penyelesaian proses dari bahan mentah hingga menjadi masak dan siap untuk dimakan.

Kerangka Tattwanya terletak pada makna dan tujuan dari pelaksanaan upacara Yadnya Sesa itu, yaitu berfungsi sebagai uacapan terimah kasih manusia atas karunia Hyang Widhi/manifestasi Beliau, telah membantu dengan selamat kepada umatNya berupa perlindungan dalam bentuk makanan, untuk kesegaran dan kesehatan perkembangan tubuhnya.

Selain itu, juga bermakna untuk memohon maaf atas segala kesalahn, kekurangan yang mungkin diperbuat selama melaksanakan proses tersebut. Disamping itu juga Persembahan atau Yadnya itu merupakan wakil atau saran wujud nyata dari manusia untuk mengucapkan rasa terimah kasihnya, yang kesemuanya itu juga sarananya berasal dari segala ciptaan Beliau. Dengan demikian, maka fungsi pokok dari pelaksanaan upacara dan upakara itu adalah secara lahir untuk mewujudkan keseimbangan antara yang memberi dengan yang menikmati dan secara batin merupakan pengendalian hwa nafsu dari manusia terhadap Tuhan selaku sumber-Nya.

Pelaksanaan ini didasarkan atas tuntunan pustaka suci Bhagawadgita III dalam ajaran Karmayoga, yang termuat dalam sloka 10, 11,12,13,14 yang berbunyi sebagai berikut:

Sloka 10:

Pada jaman dahuku kala prajapati menciptkan manusia dengan Yadnya dan bersabda; dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.

Sloka 11:

Dengan ini kamu memelihara para Dewa dan dengan ini pula para Dewa memelihara dirimu, jadi dengan saling memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi.

Sloka 12:

Dipelihara oleh yadnya, para dewa akan memberi kamu kesenangan yang kau ingini. Ia yang menikmati pemberian-pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepada-Nya adalah pencuri.

Sloka 13:

Orang-orang yang baik yang makan apa yang tersisa dari Yadnya, mereka itu terlepas dari segala dosa. Akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan untuk kepentingan sendiri mereka itu adalah makan dosanya sendiri.

Sloka 14:

Dari makanan makhluk menjelma, dari hujan lahirnya makanan dan dari yadnya muncullah hujan dan dari yadnya lahir dari pekerjaan.

Demikian dasar-dasar dari pelaksanaan upacara-upacara yang dilaksanakan dengan yadnya, sehingga bila hal itu disimpulkan, bahwa hidup ke dunia ini adalah merupakan yadnya, maka itu harus ditempuh dengan beryadnya pula, karena Hyang Widhi yang merupakan sumbernya ini melaksanakan semua yang ada di muka bumi ini beserta segala isinya, adalah melalui Yadnya pula.

Mengenai tempat-tempat mempersembahkan banten jotan, saiban atau yadnya sasa itu, dalam pustaka suci Manawadharmasasstra III sloka 68 dan 69 dijelaskan bahwa:

Sloka 68:

Seorang kepala keluarga mempunyai lima macam tempat penyembelihan yaitu tempat masak, batu pengasah, sapu, lesung dengan alunya, tempayan tempat air, dengan pemakaian mana ia diikat oleh belenggu dosa.

Sloka 69:

Untuk menebus dosa yang ditimbulkan oleh pemakaian kelima alat itu, para Maha resi telah menggariskan untuk para kepala keluarga agar setiap harinya melakukan Panca Yadnya.

Melalui pengamalan upacara Yadnya Sesa/Masaiban atau Ngejot itu, tiap keluarga setiap harinya telah melaksanakan secara rutin, dan malahan jumlah yang dipersembahkan bukan lima buah saja, kadang-kadang keluarga yang kecil saja bisa sampai membuat di atas dua puluh lima buah, apalagi kalau keluarga yang besar, sudah tentu lebih banyak dari jumlah itu, sampai satu tempeh atau satu nyiru. Banten jotan itu dipersembahkan berkeliling di semua tempat yang diyakini membantu dalam kehidupannya, yaitu dari tempat suci, tempat hidup, bekerja sampai ke tempat-tempat pembuangan sampah/Song Sombah yaitu saluran air keluar dari rumah pekarangan keluarga.

Penyelenggaraan upacara agama tersebut umumnya ditempuh melalui jalan Bakti Marga dan Karma Marga. Dilain pihak juga bagi mereka yang batinnya sudah kuat dan pengendalian dirinya sudah tinggi, maka jalan Jnana Marga dan Raja Marga ada pula pula yang melaksanakan, yaitu melalui berdoa dan memakai mantra. Ajaran agama Hindu memang sangat luwes, dapat dilaksanakan sesuai dengan Desa (tempat), Kala (waktu) dan Patra (keadaan) dan dalam tingkatan yang kecil (nista), Madia (menengah) dan Utama ( besar), karena ajarannya mengatasi ruang dan waktu sifatnya. Untuk keluwesan ini pustaka suci Bhagawadgita Bab IV sloka 11 menyebutkan sebagai berikut:

"Dengan jalan bagaimana pun orang-orang mendekati, dengan jalan yang sama itu juga, Aku memenuhi keinginan mereka. Melalui banyak jalan manusia mengikuti jalanKu, O Partha.

Berikut ini untuk tuntunan beberapa mantra atau doa untuk pelaksanaan makan, setelah mempersembahkan Yadnya Sesa, patut pula diberikan oleh para ibu dan dilatihkan pada anak-anaknya secara berkelanjutan, adalah sebagai berikut:

Mantra Saat Duduk Menghadapi Makanan/Hidangan

"Om purnam adah purnam idam

purnat purnam udasyate

purnasya purnam adaya

purnam evawasisyate"

Terjemahan:

"Om Hyang Widhi yang Maha Sempurna dan yang membuat alam ini sempurna. Engkau Maha Kekal. Hamba dapat Makanan yang cukup berkat anugrahMu, hamba menghanturkan terimah kasih".

Mantra Sebelum Memulai Mencicipi Makanan

"Om Anugraha Amrtadi Sanjiwani ya Namah Swaha"

Terjemahan:

"Om Hyang Widhi, semoga makanan ini menjadi penghidup hamba lahir dan batin serta suci".

Mantra Selesai Makan

"Om dirghayur astu, awighnamastu, subham astu,

Om Criyam bhawantu, sukham bhawantu, purnam

bhawantu, ksama sampurna ya namah swaha.

Om Santi Santi Santi Om"

Terjemahan:

"Om Hyang Widhi, semoga makanan yang masuk ke dalam tubuh hamba, memberikan kekuatan dan keselamatan, panjang umur dan tidak mendapatkan sesuatu halangan apapun. Om Hyang Widhi damai di hati, damai di dunia dan damai selamanya.

Swadharma Ibu sebagai Penyelenggara Aktivitas Agama adalah sangat dominan yaitu dari membuat, mempersembahkan dengan doa atau mantra, yang pada dasarnya adalah untuk memohon keselamatan diri pribadi dan keluarga serta leluhur di dalam keluarganya tiap-tiap hari.

Di samping melaksanakan mesaiban/ngejot, juga pelaksanaan upacara persembahyangan Trisandhya yaitu sebanyak tiga kali sehari pada pagi, siang dan soreh/malam hari. Untuk menuntunya di sekolah juga telah dilaksanakan oleh Bapak/Ibu Guru, namun untuk di rumah juga perhatian dari ibunya sangat diperlukan, karena kesemuanya itu adalah bertujuan untuk memohonkan keselamatan atas segala ciptaan beliau di dunia tiga lain, yaitu di atas, tengah dan bawah, yang merupakan lingkungan hidupnya manusia, agar tetap diberikan kedamaian sepanjang masa.

Dagang Banten Bali


Selain itu juga swadharma ibu di keluarga menyelenggarakan aktivitas agama untuk upacara-upacara yang sifatnya berkala, misalnya setiap kliwon yaitu Masegeh (mempersembahkan korban suci berupa suguhan nasi dengan lauk pauk bawang merah, jahe dan garam) kepada para Bhutakala, yang mungkin mengganggu kelalaian manusia dalam kehidupannya. Di samping itu juga upacara-upacara Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem, Anggara Kasih, Buda Kiliwon, Buda Cemeng, Tumpek, Saraswati, Pagerwesi, Galungan, Kuningan, Tawur Ka Sanga menjelang hari Raya Nyepi dan lain sejenisnya, sesuai dengan Desa, kala dan Patra.

Untuk perwujudan upacara-upacara tersebut, sudah tentu didahului dengan berbagai persiapan-persiapan seperti membuat jajan, majajahitan, matanding (mengatur semua sarana upakara menjadi banten) dan langsung mempersembahkan sampai selesai.

Untuk kesemarakan pelaksanaannya, disertai pula dengan Kidung Wargasari, yang juga sebagian besar didukung oleh para ibu-ibu dan kaum wanita lainnya seperti yang masih remaja-remaja. Untuk kelangsungannya juga kepada generasi penerus, patut di bimbing oleh para kaum ibu di masing-masing keluargannya.

Khusus untuk upacara yang erat kaitannya dengan manusia dari lahirnya hingga dewasa dan tua, ada beberapa upacara penting yang patut diselenggarakan oleh ibu-ibu terhadap anak atau anggota keluargannya yang disebut daur ulang atau Manusa Yadnya itu adalah:

1. Upacara bayi lahir.

2. Upacara Kepus puser/Panelahan.

3. Upacara bayi 12 hari/ngelepas hawon.

4. Upacara Turug Kambuhan/42 hari.

5. Upacara Nyambutin/3 bulan.

6. Upacara Oton.

Upacara Oton ini diwajibkan setiap enam bulan sekali supaya tetap diperingati, karena bertepatan dengan hari lahir yang tepat dengan hari, (sapta wara), Pancawara dan Wuku, untuk mohon tuntunan kehadapan Hyang Widhi/manifestasi-Nya dari leluhur kepada yang turun menjelma.

Semua upacara-upacara tersebut, bertujuan untuk membersikan dan menyucikan diri pribadi secara lahir dan batin yang dimohonkan kehadapan Hyang Widhi sebagai sumber-Nya.

Demikianlah Swadharma Ibu sebagai Penyelenggara Aktivitas Agama, yang selalu sibuk dalam kehidupannya sehari-hari, semata-mata untuk mengabdikan dirinya kepada keluarganya secara lahir dan batin.




Referensi: https://www.mutiarahindu.com/2020/10/peran-ibu-sebagai-penyelenggara.html



Sri Arwati, Dra Ni Made.2016. Ibu dalam Keluarga Hindu. Denpasar: ESBE buku.