Selasa, 29 November 2022

Ini Acuan Baik dan Buruk Hari Bila Mau Menikah

 






PAWIWAHAN: Upacara Pawiwahan yang dilangsungkan umat Hindu Bali beberapa waktu lalu. (dok Bali Express)





Pandemi Covid-19 yang masih merebak di tahun 2021 ini tidak menyurutkan niat umat Hindu, khususnya di Bali untuk menggelar upacara (yadnya), termasuk Pawiwahan atau pernikahan. Selain mesti ketat melaksanakan protokol kesehatan, juga harus memperhatikan hari baik (Dewasa Ayu), agar biduk rumah tangga berjalan dengan baik. Apa saja acuan menentukan baik buruknya hari pernikahan?


Ada sejumlah padewasaan yang bisa menjadi rujukan dalam upacara Pawiwahan. Pertimbangannya memperhatikan ala ayuning dewasa, lantaran pawiwahan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis. Tetapi juga bertujuan mendapatakan keturunan yang suputra.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI




Penyusun Kalender, Bali Gede Marayana mengatakan, penentuan dewasa Pawiwahan didasari oleh perhitungan berbagai unsur. Diantaranya wewaran, pawukon, tanggal, sasih, dan dauh. Atau biasa diistilahkan dengan Wapatangsada.


“Artinya wewaran harus baik, pawukon harus baik, tanggalnya juga baik, sasih harus baik, dan dauhnya juga baik,” ujar Gede Marayana kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Kamis (3/4) siang.

Wewaran yang baik dikatakan Gede Marayana, adalah menitikberatkan pada Saptawara atau hari-hari dalam seminggu. Diantara Saptawara yang dipilih adalah Senin, Rabu, Kamis, dan Jumat. “Hari-hari itu diyakini mengandung unsur kebaikan,” ungkapnya.

Sedangkan perhitungan Pawukon yang wajib dihindari, jika ingin menggelar upacara Pawiwahan adalah Ingkel Wong, Was Panganten, Rangda Tiga, Nguncal Balung, dan paling dihindari adalah Wuku Wayang.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

“Itu wajib dihindari. Apalagi Wuku Wayang dianggap cemer (kotor) untuk Pawiwahan,” imbuhnya.

Sedangkan Rangda Tiga merupakan wuku tertentu yang dianggap buruk untuk melangsungkan pernikahan. Wuku-wuku itu yakni Wariga, Warigadean, Pujut, Pahang, Menail, dan Prangbakat. Ada keyakinan, jika menikah pada saat Rangda Tiga, perkawinan bisa berakhir dengan perceraian.

“Rangda itu artinya janda atau duda. Rangda Tiga artinya tiga kali menjadi janda atau duda. Artinya pernikahan akan selalu gagal,” beber Marayana.

Kemudian Was Panganten merupakan hari-hari tertentu, seperti Minggu Kliwon dan Jumat Pon wuku Tolu, Minggu Wage dan Sabtu Kliwon wuku Dungulan, Minggu Umanis dan Sabtu Pahing wuku Menail, serta Minggu Pon dan Sabtu Wage wuku Dukut. Hari-hari ini juga dianggap kurang baik untuk melangsungkan pernikahan.

Sedangkan Nguncal Balung, yakni hari sepanjang 35 hari, sejak Buda Pon Sungsang atau sehari sebelum Sugihan Jawa atau seminggu sebelum Galungan, hingga Buda Kliwon Wuku Pahang yang juga kerap disebut sebagai Buda Kliwon Pegat Wakan.

Marayana menegaskan, pada hari itu, umat Hindu biasanya dipantangkan untuk melaksanakan upacara-upacara besar, utamanya yang bersifat ngawangun, seperti Ngaben dan pernikahan.

Begitupun dengan Ingkel Wong, artinya hari-hari naas bagi manusia. “Karenanya, saat itu tidak baik melaksanakan kegiatan atau upacara yang berkaitan dengan manusia termasuk pernikahan,” imbuhnya.

Selain itu, perhitungan sasih tidak boleh diabaikan dalam menentukan hari baik melaksanakan upacara perkawinan. Disebutkan Marayana, dari 12 sasih dalam setahun, umat Hindu di Bali meyakini pelaksanaan upacara Panca Yadnya hanya boleh dilaksanakan dari Sasih Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kaulu, Kasanga, dan Kadasa.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Sedangkan Sasih Jyestha dan Sadha dikatakan sasih sebel, sehingga dihindari untuk menggelar upacara Panca Yadnya, termasuk Pawiwahan.

Tetapi untuk melaksanakan Pawiwahan, sasih yang direkomendasikan adalah Sasih Katiga, Kapat, Kalima, Kapitu, dan Kadasa.

“Sasih Katiga itu bulan Agustus-September, Kapat itu bulan September-Oktober, Sasih Kalima adalah Oktober-November. Lalu untuk Sasih Kapitu adalah Desember-Januari, dan Sasih Kadasa antara bulan Maret-April,” beber Marayana.

Kemudian terkait perhitungan dauh untuk menentukan padewasaan. “Dauh itu hanya satu hari saja. Jadi sering diabaikan,” pungkasnya.

Senin, 28 November 2022

Kajang Pada tradisi kematian di Hindu

 


Pada tradisi kematian di Hindu di Bali ada namanya kajang.
Kajang = Penutup
Sehingga Kajang bisa juga diartikan sebagai Baju bagi roh yang dimohonkan oleh keturunan mendiang kepada Brahmana atau kepada Pedeta/Pemangku Kawitannya.
Kajang ini adalah berupa kain mori yang dituliskan berbagai simbol-simbol yang kemudian melalui upacara termasuk menghidupkannya hingga oleh Dewi Saraswati. Sehingga dalam prosesnya wajib menyertakan banten Saraswati.
Pada Kajang terdapat simbol atau encryptions tertentu ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus yang datang dari Bhisama keluarga dll., jadi simbol-simbol ini menandakan juga sebagai simbol “genetik” keturunan.

Diatas kajang ini kemudian akan ditempatkan ukur bambu dan ukur kepeng maupun ukur perak dan atau emas. Ukur ini bisa diibaratkan miniatur tubuh manusia yang kemudian di jarit dengan tusukan jarum pada tiap bagiannya sehingga menyatu dengan enkripsi kajang.
Simbol Kajang ini umumnya terdiri dari tiga lapis kain yang berisi enkripsi. Yang pertama adalah Kajang inti yang berisi simbol-simbol rerajahan utama, kemudian ada namanya rurub kajang atau kain penutupnya atasnya yang juga berisi encripsi dan yang terakhir adalah pengulu atau tutup kepala yang juga berisi simbol rerajahan atau enkripsi.
Kajang sebenarnya bisa juga diartikan sebagai hadiah keturunannya kepada mendiang yang sudah meninggal sehingga diluar kajang inti (yang menjadi dasar bagi ukur untuk di jarit menyatu dengan jarum (ngajum)) bisa terdapat juga lebih dari satu rurub kajang. Bahkan ada juga yang memakai sejumlah 21 lembar total keseluruhan.
Jadi Kajang adalah juga bisa dimaknai sebagai salah satu simbol bhakti dari keturunan mendiang yang akan di kremasi.
-adaptasi dari penjelasan Mangku Merajan Kawitan-

Ada brp kajang? Kajang Siwa n kajang kawitan?
kajang itu tetap satu. Ada yang tidak mengetahui kawitannya maka cukup Kajang dari Ida Sulinggih.
Yang menjadi 21 lembar nike adalah kajang beserta rurub kajangnya yang extra. Kajang itu pasti satu yang menjadi dasar dari penempatan ukur. Setelahnya adalah rurub dan pengulu (kerudung atau tutup kepala).
Jadi bila nunas dari Trisadakapun bisa. Bila dilakukan maka akan ada empat kajang bukan lagi dua (termasuk kajang kawitan).
Nggih yang umum terlihat adalah memakai dua kajang satu yang khusus dari kawitan dan lagi satu dari Ida Sulinggih (Siwa/Surya).
Tapi yang tidak mengetahui kawitannya maka Kajang dari Griya sudah cukup dan sempurna.

4 Jalan Menuju Moksa



Pada postingan sebelumnya yakni Pengertian dan Tingkatan Moksa, penulis telah membahas bahwa moksa merupakan tujuan akhir dari umat Hindu. Moksa juga merupakan bagian dari Catur Purusa Artha yaitu dharma, artha, kama, dan Moksa. Bahandur dalam Kondra (2015:38) menjelaskan bahwa moksa atau manunggalnya Atman dengan Brahman, menurut kitab-kitab Upanisad dapat dicapai dalam kehidupan di dunia atau pada saat penjelmaan ini ataupun setelah seseorang meninggal dunia.



Foto; Istimewa

Dalam ajaran agama disebutkan ada empat jalan untuk mencapai “moksartham jagadhita ya ca iti dharma” atau mencapai jagadhita (kesejahteraan jasmani) atau moksa (ketentraman abadi atau kehidupan abadi) (Suhardana, 2010: 65). Ada pun ke empat cara tersebut dikenal dengan Catur Marga Yoga. Catur marga yoga yaitu empat jalan (cara) umat Hindu untuk menuju Sang Hyang Widhi Wasa (Brahman).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

1. Bhakti Marga (Bhakti Yoga)


Adalah jalan menuju moksa dengan cara melakukan kebaktian yang tekun Kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Brahman) dengan landasan pengabdian yang tulus iklas, pasra, penuh cinta kasih serta menyerahkan diri kepada Hyang Widhi sepenuhnya.


Jalan Bhakti Marga dikenal juga dengan nama Bhakti Marga Yoga. Bakti sendiri berarti hormat, taat, sujud, menyembah, persembahan, kasih (Ngurah Dwaja dan Mudana, 2015: 12). Orang yang menempu jalan ini disebut Bhakta. Untuk mencapai jalan ini maka dia wajib memegang teguh ajaran Tat Twam Asi, menebarkan rasa kasih sayang tanpa batas kepada semua mahkluk hidup, dan menghilangkan rasa kebencian, kekejaman, iri dengki dan kegelisahan atau keresahan. Semua hal-hal negatif harus dihilangkan.


Suhardana (2010 : 35 - 36) dalam bukunya “Moksa Brahman Atman Aikhyam” mengutip Bhagavadgita bab 12 sloka 19, 20 dan 55 mengatakan bahwa “ia yang menganggap sama celaan dan pujian, menerima apa saja yang datang tanpa diikuti oleh tempat yang tetap dan teguh dalam pikiran, yang berbakti demikian adalah kecitaan Ku (tuhan).



Mereka yang penuh kepercayaan menetapkan Tuhan (Brahman) sebagai tujuannya yang tertinggi, mengikuti pengetahuan yang abadi, berbakti, mengetahui Tuhan yang sebenarnya, pada hakekatnya akan mencapai moksa dikemudian hari.


Dapat disimpulkan bahwa seorang bhakta hendaknya selalu berusaha melenyapkan kebenciannya kepada semua makhluk dan selalu berusaha mengembangkan sifat-sifat Maitri, Karuna, Mudita dan Upeksa (Catur Paramita) sehingga terbebas dari belenggu keakuan (ahamkara).


2. Karma Marga (Karma Yoga)


Adalah jalan menuju moksa dengan cara bekerja atau berkarya. Jalan ini dikenal juga dengan nama Karma Marga Yoga. Seseorang yang menempuh jalan ini, harus bekerja dengan ketulusan hati tanpa terikat pada pahala yang dikerjakan atau kerja tanpa pamrih (tyaga-bhakti) (Kondra, 2015 : 28).


Inti dari ajaran Karma Marga Yoga adalah melepaskan semua hasil dari segala perbuatan. Dalam Bhagawadgita III.19 dijelaskan bahwa orang yang melaksanakan segala pekerjaan sebagai bentuk dari kewajiban tanpa terikat pada hasilnya, orang itu sesungguhnya akan mencapai yang utama (Brahman).


Ngurah Dwaja dan Mudana, (2015: 14-15), mengatakan bahwa seorang karma yogi dengan menyerahkan keinginan akan pahala, ia akan menerima pahala yang berlipat ganda. Masyarakat yang tinggal bersamanya akan merasa bahagia. Sebab orang yang telah mencapai tingkatan tersebut, memiliki aura kesucian yang dapat memancar dari segala tubuhnya. Karma Yoga adalah aktivitas kerja yang positif di dasari dengan niat yang tulus iklas tanpa pamrih.




3. Jnana Marga (Jnana Yoga)


Adalah jalan menuju moksa dengan cara menekuni ilmu pengetahuan kerohanian. Jalan ini dikenal juga dengan Jnana Marga Yoga. Jalan ini dilaksanakan oleh mereka yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi dan daya cinta kasih yang mendalam kepada Tuhan (Suhardana, 2010: 34).



Dalam Bhagavad Gita IV.33 dijelaskan bahwa orang yang mempersembahkan ilmu pengetahua, lebih bermutu dari pada persembahan materi. Secara keseluruhan, semua kerja berpusat pada ilmu pengetahuan. Sebab, dengan pengetahuan seseorang dapat mengarungi lautan kejahan (BG. IV.36). Bahkan dalam Bhagawadgita V.38 dikatakan bahwa tidak ada di dunia ini menyamai kesucian kebijaksanaan (ilmu pengetahuan).


Jnana Yoga sendiri berasal dari kata Jnana yang artinya pengetahuan (kebijaksanaan filsafat) sedangkan Yoga berasal dari kata Yuj yang artinya menghubungkan. Jadi Jnana Yoga artinya mempersatukan Atman (jiwatman) dengan Brahman (paramatman) yang dicapai dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan (Ngurah Dwaja dan Mudana, 2015: 15).


Kebebasan ikatan keduniawian dengan menempu jalan ini dapat dilakukan dengan mengarahkan segala pikiran kita, memaksanya kepada kebiasaan-kebiasaan suci, dan memusatkan pikiran kepada-Nya (dhyana yoga).


4. Yoga Marga (Raja Yoga)


Adalah jalan menuju moksa dengan cara melalui pengendalian diri dan melaksanakan ajaran Astangga Yoga. Jalan ini dikenal juga dengan nama Raja Marga Yoga. Inti dari ajaran ini adalah pemusatan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan), melalu meditasi dan Samadhi. Pelaksanaan Yoga Marga melalui tahapan-tahapan Astangga Yoga (Suhardana, 2010: 35). Sloka yang berkaitan dengan Raja Yoga dapat dilihat pada Bhagavadgita VI.31 dan 32.

Seseorang yang ingin menempuh jalan ini diwajibkan memiliki guru, sebab jalan Raja Yoga sangat berat dan mistik (rohani). Untuk mencapai ajaran ini, ada tiga jalan pelaksanaan yang ditempuh oleh para Yogin yaitu melakukan tapa-brata (pengedalian emosi atau nafsu yang ada dalam diri kita ke arah yang positif) dan samadhi yaitu latihan untuk dapat menyatukan sang Jiwa dengan Brahman.


Demikianlah ke empat jenis Yoga di atas mempunyai nilai yang sama, artinya bahwa tidak ada yang lebih dominan atau lebih rendah. Semuanya dapat dipilih sesuai dengan kemampuan masing-masing orang.




Referensi


Kondra, I Nengah. 2015. Kamus Istilah Dalam Agama Hindu. Bandung:
Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Suhardana, Komang. 2010. Moksa Brahman Atman Aikyam. Surabaya: Paramita.

Warangka Manjing Curiga

 



Memasuki tubuh untuk menemukan tapaking kuntul anglayang di pusat hati bukanlah hal yang mudah. Tubuh ibarat hutan belantara yang tidak mudah dijelajahi. Ada banyak tempat dan jalur rahasia yang tidak mudah dimasuki. Dan untuk menemukan tapaking kuntul anglayang di dalam diri, kita mesti memasuki banyak nadi di dalam tubuh.
Bagi yang masih awam dengan tema Sêdulur Papat, pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah, bagaimana kita bisa memasuki tubuh? Untuk menjawabnya, saya perlu mengutip sebuah ungkapan yang sering dijadikan pedoman bagi para penekun ajaran ini, yakni “warangka manjing curiga”, yang bermakna “warangka yang masuk ke dalam bilah keris”. Bagaimana bisa? Bukannya itu terbalik, yaitu bilah keris yang masuk ke dalam warangka atau sarungnya? Sesungguhnya ungkapan itu mengandung makna mistik yang susah dicerna pikiran awam, dan untuk memahaminya butuh kematangan dan ketajaman batin.

Dalam ungkapan “warangka manjing curiga”, tubuh diibaratkan warangka dan bilah keris diibaratkan jiwa yang pada hakikatnya suwung. Artinya, laku untuk menemukan suwung di dalam diri adalah laku membawa kesadaran tubuh ke dalam kesadaran suwung. Di dalam warangka tubuh, ada bilah keris yang selalu bercahaya dan itulah jiwa yang hakikatnya suwung.
Untuk mengantarkan warangka tubuh ke dalam jiwa yang suwung hingga lebur ke dalam penyatuan yang sempurna, masukkanlah kekuatan Ratu Wayan Têbêng (transformasi dari Sêdulur Papat Gêtih kita) di jagat raya ke dalam tubuh. Proses memasukkan kekuatan Ratu Wayan Têbêng ke dalam tubuh ini diibaratkan seperti memasukkan warangka ke dalam bilah keris. Proses itu dapat dilakukan dengan cara terhubung kepada kawisesan Ratu Wayan Têbêng, tapaking kuntul anglayang, melalui praktik pasuk-wêtu (memasukkan dan mengeluarkan) energi Ratu Wayan Têbêng.
SÊDULUR PAPAT KALIMA PANCÊR
(Pre-Order s.d. 20 November 2022)
Penulis: @ketut.sandika
14x21 cm | Hard Cover | 340 hlm. (8 hlm. full color)
Harga Pre-Order: Rp120.000 (dari Rp150.000)
Pemesanan via WA: 0812-8765-4445 klik https://bit.ly/Po-SPKLP
Akun Tokopedia & Shopee: Javanicabooks


SÊDULUR PAPAT dan PERNIKAHAN YANG SAKRAL

 



Ada uraian di salah satu lontar Kanda Pat bahwa Sêdulur Papat sang jabang bayi sesungguhnya sudah tercipta dalam bentuk energi ketika mata bapa beradu dengan mata ibu dalam rasa cinta yang mendalam bahkan sebelum mereka menikah dan bersanggama. Energi Sêdulur Papat tersebut menjadi lebih sempurna ketika bapa dan ibu bersanggama setelah menjalani ritual pernikahan. Energi Sêdulur Papat tidak akan sempurna sebelum sperma bapa bertemu ovum ibu melalui sanggama rasa, dan energi tersebut akan tetap berada di ruang kala (waktu) sembari menunggu sanggama rasa terjadi.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Ajaran Sêdulur Papat Kalima Pancêr adalah puncak spiritualitas Nusantara yang memungkinkan kita untuk hidup selaras dengan alam, melebur emosi rendah ke dalam emosi luhur melalui proses menyalakan nar (api) untuk mendapatkan nur (cahaya), serta menciptakan keajaiban dan keberlimpahan dalam hidup keseharian. Didasarkan pada 44 lontar warisan leluhur Jawa dan Bali, buku ini membahas:
.
• Proses kejadian Sêdulur Papat dan sang jabang bayi.
• Transformasi Sêdulur Papat Kalima Pancêr: Pancabhuta, Pancaratu, Pancadewata.
• Kawisesan Sêdulur Papat: Sêgara tanpa Têpi, Tapaking Kuntul Anglayang, Galihing Kangkung, Isining Buluh Bumbang, Lontar tanpa Tulis.
• Ilmu kematian dan mati sajêroning urip (mati di dalam hidup).
• Meditasi Kanda Pat untuk mengakses kekuatan Sêdulur Papat.
• Ritual untuk terhubung dengan Sêdulur Papat.
• Perlindungan dan penyembuhan dengan energi Sêdulur Papat.
.
Penulis: I Ketut Sandika
14x21 cm | Hard Cover | 340 hlm. (8 hlm. full color)
Harga Pre-Order: Rp135.000 (dari Rp150.000) PLUS TANDA TANGAN PENULIS
.
Pemesanan via WA: 085 337 588 732

.
Lantas, jika ada laki-laki bertemu perempuan dan beradu pandang, kemudian muncul rasa cinta tetapi tidak sampai menikah, apa yang terjadi dengan energi Sêdulur Papat itu? Energi itu akan tetap tersimpan di ruang kala dan menunggu hingga laki-laki dan perempuan itu terlahir kembali, dipertemukan oleh karma, dan pada akhirnya menikah. Selama belum menikah, mereka masih akan memiliki hubungan dengan energi Sêdulur Papat tersebut. Mereka memiliki utang karma dengan energi tersebut, dan kadang utang tersebut menjadi penyebab penderitaan. Juga, selama itu pula keduanya berada dalam siklus kelahiran yang berulang.
.
Karena itu, pernikahan adalah peristiwa sakral agar kita dapat melunasi utang karma terhadap energi Sêdulur Papat. Jangan sampai utang karma ini kita bawa dalam setiap kelahiran, yang akan menjadi beban penderitaan bagi jiwa kita. Pernikahan disebut “pajatuh karma” atau takdir untuk melunasi utang karma dalam setiap kelahiran.
.
Demikian pula yang terjadi ketika laki-laki bertemu perempuan dan muncul cinta pada pandangan pertama, lalu mereka menjalin hubungan lebih dalam tetapi kandas di tengah jalan. Kemudian keduanya justru menemukan pasangan masing-masing dan akhirnya menikah. Hubungan mereka pupus sebab sudah mempunyai pasangan masing-masing.
.
Sejatinya hubungan mereka tidak pupus sepenuhnya sebab masih diikat oleh energi Sêdulur Papat yang berada di dalam ruang kala. Ketika muncul rasa cinta di awal pertemuan, energi Sêdulur Papat sudah terbentuk dan mengikat mereka. Ikatan tersebutlah yang dapat memunculkan cinta pada keduanya ketika bertemu kembali, baik di kehidupan sekarang maupun mendatang. Ini sering terjadi sehingga ada ungkapan “cinta lama bersemi kembali”. Ketika itu terjadi, si laki-laki dan si perempuan yang lama terpisah tetapi sudah sama-sama memiliki pasangan akan berhasrat untuk melanjutkan hubungan asmara mereka sebelumnya. Dalam hubungan itu, biasanya muncul dorongan kuat untuk menumpahkan nafsu sehingga terjadilah perselingkuhan.
.
Beberapa kasus perselingkuhan yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh energi Sêdulur Papat yang tercipta dalam hubungan percintaan pelaku perselingkuhan sebelumnya. Energi tersebutlah yang mengacaukan hubungan suami-istri sehingga secara energetik mereka menjadi tidak selaras lagi. Dalam salah satu lontar, ada uraian singkat tentang energi Sêdulur Papat yang belum sempurna. Energi tersebut digerakkan oleh Sang Anta Prêta dan bersifat destruktif. Ia akan merasuki hati suami-istri sehingga merusak hubungan mereka. Energi destruktif tersebut dapat dinetralisir dengan ruwatan khusus agar hubungan mereka harmonis kembali. Ada pula ruwatan khusus untuk menyempurnakan energi Sêdulur Papat agar Sang Anta Prêta tidak mengarahkan energi itu ke hati pasangan suami-istri tersebut.

SÊDULUR PAPAT dan PERJALANAN JIWA MANUSIA

 



Dalam ajaran Sêdulur Papat disebutkan bahwa hakikat manusia sesungguhnya adalah atmasunya, lapisan terdalam jiwa, yang juga disebut sukma sejati. Atmasunya tidak bisa dicerap oleh pancaindra. Atmasunya eksis sebagai zat terhalus yang menyusupi semuanya (wyapi-wyapaka), termasuk manusia, yang terlahir dari sunya atau suwung. Atmasunya adalah cikal-bakal benih yang mendiami seluruh eksistensi, dan dalam ajaran Sêdulur Papat ia disebut manik (benih kehidupan).

.
Ketika atmasunya mengada, ia terkena pengaruh prakêrti (kekuatan material halus) sehingga diselubungi oleh unsur material. Atmasunya kemudian bercampur dengan prakêrti sehingga tidak lagi disebut atmasunya, tetapi atma atau jiwa. Atmasunya adalah intisari jiwa, sementara jiwa adalah atmasunya yang sudah terbungkus oleh unsur material. Lapisan-lapisan yang membungkus atmasunya adalah citta (pikiran), buddhi (kecerdasan akal dan budi), dan ahangkara (keakuan).
.
Atmasunya berwujud cahaya murni. Cahaya tersebut bersumber dari sunya atau energi kesadaran murni yang memenuhi akasa jagat raya. Ketika cahaya murni terpancar dari sunya dan melewati dimensi bumi, ia kemudian terikat oleh prakêrti. Prakêrti ini begitu kuat menarik atmasunya untuk berada dalam lapisan material.
.
Atmasunya yang sudah terbungkus oleh prakêrti dalam lontar-lontar Kanda Pat disebut Sang Maya Siluman—jiwa yang mengambil wujud tubuh layaknya siluman. Jiwa harus menempati tubuh dan terlahir untuk bisa hidup di dimensi bumi. Tetapi ia tidak selamanya berada di bumi, sebab ia akan melanjutkan perjalanannya ke dimensi-dimensi lain melalui kematian.
.
Setelah jiwa berada di alam kematian, bisa saja ia melanjutkan perjalanan menuju dimensi-dimensi lain atau kembali terlahir ke bumi untuk menuntaskan karma yang masih melekat padanya. Sebelum terlahir, sang jiwa masih berada di akasa, menunggu rahim yang cocok untuk melahirkannya kembali. Ia akan memilih rahim ibu yang memiliki ikatan karma dengannya. Melalui sanggama bapa dan ibu hingga sperma membuahi ovum, jiwa kemudian masuk ke dalam penyatuan sperma dan ovum tersebut di rahim ibu. Idealnya selama sembilan bulan ia bertapa di dalam rahim nan gelap ditemani Sêdulur Papatnya, baru kemudian terlahir sempurna sebagai bayi. Sêdulur Papatlah yang memberikan kehidupan, perlindungan, dan kekuatan kepada jiwa untuk terlahir menjadi bayi.
.
Jika kita mampu memahami dan menyadari perjalanan jiwa kita, tentu kita akan mengingat keberadaan Sêdulur Papat kita. Ketika kita mampu mengingat mereka setiap saat, kita akan mensyukuri keberadaan kita dan kehidupan yang kita jalani. Kita pun tidak perlu merasa takut dengan kematian, sebab sebelumnya kita telah mengalaminya berkali-kali. Tetapi jarang kita mengingat kembali perjalanan panjang dari jiwa kita. Jiwa semacam itu disebut sedang turu (tidur). Karena turu, ia lupa akan sumber kelahirannya dan Sêdulur Papat yang turut membantu dirinya mendapatkan tubuh.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

SÊDULUR PAPAT KALIMA PANCÊR: Ilmu Rahasia Kelahiran dan Kematian
.
Leluhur Nusantara memahami jagat raya tercipta melalui sanggama energi Bapa Akasa dan Ibu Pêrtiwi. Dari sanggama itu terlahirlah pancamahabhuta (lima elemen alam): tanah, air, api, udara, akasa. Manusia pun tercipta melalui sanggama energi Bapa Akasa dan Ibu Pêrtiwi yang menyusup ke dalam sperma bapa dan ovum ibu. Dari sanggama itu terlahirlah kita dan empat saudara kita, yang dikenal dengan Sêdulur Papat Kalima Pancêr, yaitu Kakang Kawah (ketuban) penguasa elemen tanah, Gêtih (darah) penguasa elemen air, Adhi Ari-Ari (plasenta) penguasa elemen api, Pusêr (tali pusar) penguasa elemen udara, dan Pancêr (diri kita) penguasa elemen akasa. Sêdulur Papatlah yang membentuk tubuh kita; tanpa mereka kita tak akan pernah terlahir ke dunia. Melalui mereka pulalah kita bisa mengalami kematian sempurna hingga manunggal dengan Sangkan Paraning Dumadi (Tuhan).
.
Ajaran Sêdulur Papat Kalima Pancêr adalah puncak spiritualitas Nusantara yang memungkinkan kita untuk hidup selaras dengan alam, melebur emosi rendah ke dalam emosi luhur melalui proses menyalakan nar (api) untuk mendapatkan nur (cahaya), serta menciptakan keajaiban dan keberlimpahan dalam hidup keseharian. Didasarkan pada 44 lontar warisan leluhur Jawa dan Bali, buku ini membahas:
.
• Proses kejadian Sêdulur Papat dan sang jabang bayi.
• Transformasi Sêdulur Papat Kalima Pancêr: Pancabhuta, Pancaratu, Pancadewata.
• Kawisesan Sêdulur Papat: Sêgara tanpa Têpi, Tapaking Kuntul Anglayang, Galihing Kangkung, Isining Buluh Bumbang, Lontar tanpa Tulis.
• Ilmu kematian dan mati sajêroning urip (mati di dalam hidup).
• Meditasi Kanda Pat untuk mengakses kekuatan Sêdulur Papat.
• Ritual untuk terhubung dengan Sêdulur Papat.
• Perlindungan dan penyembuhan dengan energi Sêdulur Papat.
.
Penulis: I Ketut Sandika
14x21 cm | Hard Cover | 340 hlm. (8 hlm. full color)
Harga Pre-Order: Rp135.000 (dari Rp150.000) PLUS TANDA TANGAN PENULIS
.
Pemesanan via WA: 085 337 588 732

Minggu, 27 November 2022

Makna dan Filosofis Segehan dalam Agama Hindu

 



BALI EXPRESS, DENPASAR – Setiap sarana upakara di Bali tentunya bukan sesuatu yang ada begitu saja. Tentu setiap komponen atau unsur yang digunakan selalu disertai dengan makna filosofisnya. Bagaimana sejatinya makna dari unsur yang terdapat pada Segehan?

Setiap unsur-unsur dari segehan sejatinya memiliki makna filosofi di dalamnya. Mulai dari penggunaan alas dari daun atau taledan kecil yang berisi tangkih di salah satu ujungnya. Taledan segi empat yang melambangkan arah mata angin. Nasi putih dua kepal, yang melambangkan rwa bhineda. Jahe, secara imiah memiliki sifat panas.

Semangat dibutuhkan oleh manusia, tapi tidak boleh emosional. Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat, tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek).

“Garam adalah sebuah bumbu yang memiliki PH-0, artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisasi berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin),” ujar Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) beberapa waktu lalu.

Selanjutnya, tepat di atasnya disusun canang genten. Tetabuhan arak, berem, tuak, berbagai jenis alkohol ini diyakini secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran.

“Matabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang dan mati,” tutup Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran .

(bx/gus /yes/JPR) –sumber