Selasa, 29 Agustus 2023

Bentuk dan Contoh Pemujaan Tri Purusa Dalam Agama Hindu



Tri Purusha adalah jiwa agung tiga alam semesta yakni Bhur Loka (alam bawah), Bhuwah Loka (alam tengah) dan Swah Loka (alam atas). Tuhan sebagai penguasa alam bawah disebut Siwa atau Iswara. Sebagai jiwa alam tengah, Tuhan disebut Sadha Siwa dan sebagai jiwa agung alam atas, Tuhan disebut Parama Siwa atau Parameswara.


Baca: Pengertian Tri Purusa dan Bagian-Bagiannya
.

Pura Tanah Lot (image; shiva_bali_tour)

Salah satu contoh tempat pemujaan Tri Purusha adalah Padmasana, Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih merupakan sarana untuk memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusha yaitu jiwa agung alam semesta. Purusha artinya jiwa atau hidup. Tuhan sebagai jiwa dari Bhur Loka disebut Siwa, sebagai jiwa Bhuwah Loka disebut Sadha Úiwa dan sebagai jiwa dari Swah Loka disebut Swah Loka. Pelinggih Padma Tiga sebagai media pemujaan Sang Hyang Tri Purusha yaitu Siwa, Sadasiwa dan Paramasiwa. Hal ini dinyatakan dalam Piagam Besakih dan juga dalam beberapa sumber lainnya seperti dalam Pustaka Pura Besakih yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali tahun 1988.



Padma Tiga - Pura Besakih

Pura Besakih adalah merupakan sumber kesucian, tempat pemujaan Tri Purusha. Pura Besakih banyak mengandung filosofi. Menurut Piagam Besakih, Pura Agung Besakih adalah Sari Padma Bhuwana atau pusatnya dunia yang dilambangkan berbentuk bunga padma. Oleh karena itu, Pura Agung Besakih dijadikan sebagai pusat untuk menyucikan dunia dengan segala isinya. Pura Besakih juga pusat kegiatan upacara agama bagi umat Hindu. Di Pura Agung Besakih setiap sepuluh tahun sekali dilangsungkan upacara Panca Bali Krama dan setiap seratus tahun diselenggarakan upacara Eka Dasa Rudra.


Pura Agung Besakih secara spiritual adalah sumber kesucian dan sumber kerahayuan bagi umat Hindu. Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih sebagai sarana untuk memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusha. Fungsi dan jenis pelinggih Padmasana yang memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu ruang. Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih, selain digunakan sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Bangunan yang paling utama di Pura Besakih adalah palinggih Padma (Padmasana) Tiga. Letaknya di Pura Penataran Agung Besakih. Palinggih tersebut terdiri atas tiga bangunan berbentuk padmasana berdiri di atas satu altar. Perkembangan awal dari Tri Purusha ini disebutkan bahwa ketika Dang Hyang Nirartha pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun caka 1411 atau 1489 M, dan ketika itu Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong, beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tri Purusha ini, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 267).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Bentuk bangunan suci Padma Tiga yang berada di Pura Agung Besakih adalah tempat pemujaan Tri Purusha yakni Siwa, Sada Siwa, dan Parama Siwa (Tuhan Yang Mahaesa). Piodalan di Padmasana Tiga dilangsungkan setiap Purnama Kapat. Ini terkait dengan tradisi ngapat. Sasih Kapat atau Kartika, merupakan saat-saat bunga bermekaran. Kartika juga berarti penedengan sari. Padmasana tersebut dibangun dalam satu altar atau yoni. Palinggih padmasana merupakan sthana Tuhan Yang Maha Esa. Padmasana berasal dari kata padma dan asana. Padma berarti teratai dan asana berarti tempat duduk atau singgasana. Jadi, padmasana artinya tempat duduk atau singgasana teratai.


Tuhan Yang Mahaesa secara simbolis bertahta di atas tempat duduk atau singgasana teratai atau padmasana. Padmasana lambang kesucian dengan astadala atau delapan helai daun bunga teratai. Bali Dwipa atau Pulau Bali dibayangkan oleh para Rsi Hindu zaman dulu sebagai padmasana, tempat duduk Tuhan Siwa, Tuhan Yang Maha Esa dengan asta saktinya (delapan kemahakuasaan-Nya) yang membentang ke delapan penjuru (asta dala) Pulau Bali masing-masing dengan Deva penguasanya. Deva Iswara berada di arah Timur, bersemayam di Pura Lempuyang. Brahma di selatan bersemayam di Pura Andakasa. Deva Mahadeva di barat (Pura Batukaru), Wisnu di utara (Pura Batur), Maheswara di arah tenggara (Pura Goa Lawah), Rudra di barat daya (Pura Uluwatu), Sangkara di barat laut (Pura Puncak Mangu), Sambhu di timur laut (Pura Besakih), Siwa bersemayam di tengah, pada altar dari Pura Besakih dengan Tri Purusa-Nya yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Tri Purusha tersebut dipuja di Padmasana Tiga Besakih. Palinggih Padmasana Tiga tersebut merupakan intisari dari padma bhuwana, yang memancarkan kesucian ke seluruh penjuru dunia. ‘’Karena itu, sumber kesucian tersebut penting terus dijaga, sebagai sumber kehidupan. Pembangunan Pura Agung Besakih dan Pura-pura Sad Kahyangan lainnya adalah berdasarkan konsepsi Padma Mandala, bunga padma dengan helai yang berlapis-lapis (Catur Lawa dan Astadala). Pura Besakih adalah sari padma mandala atau padma bhuwana. Pura Gelap, Pura Kiduling Kerteg, Pura Ulun Kulkul dan Pura Batumadeg adalah Catur Lawa. Sedangkan Pura Lempuyang Luhur, Goa Lawah,Andakasa, Luhur Uluwatu, Batukaru, Puncak Mangu, dan Pura Batur adalah Astadala. Pura-pura tersebut sangat disucikan dan merupakan satu kesatuan yang utuh. Pura-pura tersebut pusat kesucian dan kerahayuan bagi umat Hindu.


Pura Besakih sebagai huluning Bali Rajya, hulunya daerah Bali. Pura Besakih sebagai kepala atau jiwanya Pulau Bali. Hal ini sesuai dengan letak Pura Besakih di bagian timur laut Pulau Bali. Timur laut adalah arah terbitnya matahari dengan sinarnya sebagai salah satu kekuatan alam ciptaan Tuhan yang menjadi sumber kehidupan di bumi. Pura Besakih juga hulunya berbagai pura di Bali, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 268)


Di Padma Tiga ini Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusha, tiga manifestasi Tuhan sebagai jiwa alam semesta. Tuhan sebagai Tri Purusha adalah jiwa agung tiga alam semesta yakni Bhur Loka (alam bawah), Bhuwah Loka (alam tengah) dan Swah Loka (alam atas). Tuhan sebagai penguasa alam bawah disebut Siwa atau Iswara. Sebagai jiwa alam tengah, Tuhan disebut Sadha Úiwa dan sebagai jiwa agung alam atas, Tuhan disebut Parama Úiwa atau Parameswara.


Palinggih padma paling kanan tempat memuja Sang Hyang Parama Siwa. Bangunan ini biasa dihiasi busana hitam. Sebab, alam yang tertinggi (Swah Loka) tak terjangkau sinar matahari sehingga berwarna hitam. Bangunan padma yang terletak di tengah adalah lambang pemujaan terhadap Sang Hyang Sadha Siwa. Busana yang dikenakan pada padma tengah itu berwana putih. Warna putih lambang akasa. Sedangkan, bangunan padma paling kiri lambang pemujaan Sang Hyang Siwa yaitu Tuhan sebagai jiwa Bhur Loka. Busana yang dikenakan berwarna merah. Di Bhur Loka inilah Tuhan meletakkan ciptaan- Nya berupa stavira (tumbuh-tumbuhan), janggama (hewan) dan manusia. Jadi, palinggih Padma Tiga merupakan sarana pemujaan Tuhan sebagai jiwa Tri Loka. Karena itu dalam konsepsi rwa-bhineda, Pura Besakih merupakan Pura Purusha, sedangkan Pura Batur sebagai Pura Predana.


Busana hitam pada palinggih Padma Tiga bukanlah simbol Deva Wisnu, tetapi Parama Siwa. Dalam Mantra Rgveda dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan Yang Maha Esa yang memenuhi alam semesta ini hanya seperempat bagian. Selebihnya ada di luar alam semesta. Keberadaan di luar alam semesta ini amat gelap, karena tidak dijangkau oleh sinar matahari. Tuhan juga maha- ada di luar alam semesta yang gelap. Tuhan sebagai jiwa agung yang hadir di luar alam semesta yang disebut Parama Siwa. Parama Siwa adalah Tuhan dalam keadaan Nirguna Brahman atau tanpa sifat. Manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Kuasa itu.

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Padmasana yang berada di tengah, busananya putih-kuning sebagai simbol Tuhan dalam keadaan Saguna Brahman. Artinya Tuhan sudah menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera. Putih lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan. Sedangkan busana warna merah pada padma paling kiri bukanlah sebagai lambang Deva Brahma. Warna merah itu sebagai simbol yang melukiskan keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida untuk Utpati, Sthitti dan Pralina. Dalam hal inilah Tuhan Siwa bermanifestasi menjadi Tri Murti. Sementara di kompleks Pura Besakih, manifestasi Tuhan sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Kiduling Kreteg, Batara Wisnu di Pura Batu Madeg dan Batara Iswara di Pura Gelap, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 269)


Di tingkat Pura Padma Bhuwana, Batara Wisnu dipuja di Pura Batur, simbol Tuhan Maha Kuasa di arah utara. Bhatara Iswara dipuja di Pura Lempuhyang Luhur, simbol Tuhan di arah timur dan Batara Brahma dipuja di Pura Andakasa, simbol Tuhan Maha Kuasa di arah selatan. Demikianlah keberadaan Pelinggih Padma Tiga yang berada di Mandala kedua dari Pura Penataran Agung Besakih. Di Mandala kedua ini sebagai simbol bertemunya antara bhakti dengan sweca. Bhakti adalah upaya umat manusia atau para bhakta untuk mendekatkan diri pada Tuhan.

Sedangkan sweca dalam bahasa Bali maksudnya suatu anugerah Tuhan kepada para bhakta-nya. Sweca itu akan diterima oleh manusia atau para bhakta sesuai dengan tingkatan bhakti- nya kepada Tuhan. Bentuk bhakti pada Tuhan di samping secara langsung juga seyogianya dilakukan dalam wujud asih dan punia. Asih adalah bentuk bhakti pada Tuhan dengan menjaga kelestarian alam lingkungan dengan penuh kasih sayang. Karena alam semesta ini adalah badan nyata dari Tuhan. Sedangkan punia adalah bentuk bhakti pada Tuhan dalam wujud pengabdian pada sesama umat manusia sesuai dengan swadharma kita masing-masing.


Tuhan telah menciptakan Rta sebagai pedoman atau norma untuk memelihara dan melindungi alam ini dengan asih. Tuhan juga menciptakan dharma sebagai pedoman untuk melakukan pengabdian pada sesama manusia. Dengan konsep asih, punia dan bhakti itulah umat manusia meraih sweca-nya Tuhan yang dilambangkan di Pura Besakih di Mandala kedua ini. Di Mandala ketiga ini tepatnya di sebelah kanan Padma Tiga itu adalah bangunan suci yang disebut Bale Kembang Sirang. Di Bale Kembang Sirang inilah berlangsung upacara pedanaan saat ada upacara besar di Besakih seperti saat ada upacara Batara Turun Kabeh maupun upacara Manca Walikrama, apalagi Upacara Eka Dasa Ludra.


Upacara Pedanaan yang dipusatkan di Bale Kambang Sirang inilah sebagai simbol bahwa antara bhakti umat dengan sweca-nya Hyang Widhi bertemu. Di Pura Penataran Agung Besakih sebagai simbol Sapta Loka tergolong Pura Luhuring Ambal-Ambal. Ini dilukiskan bagaimana umat seyogianya melakukan bhakti pada Tuhan dan bagaimana Tuhan menurunkan sweca pada umat yang dapat melakukan bhakti dengan baik dan benar. Semuanya dilukiskan dengan sangat menarik di Pura Penataran Agung Besakih dan amat sesuai dengan konsep Veda, kitab suci agama Hindu.


Sementara di tingkat desa pakraman, Batara Tri Murti itu dipuja di Pura Kahyangan Tiga. Ajaran Agama Hindu demikian serius mengajarkan umatnya untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa itu dalam manifestasinya sebagai Deva Tri Murti. Salah satu ciri hidup manusia melakukan dinamika hidup. Memuja Tuhan sebagai Tri Murti untuk menuntun umat manusia agar dalam hidupnya ini selalu berdinamika yang mampu memberikan kontribusi pada kemajuan hidup menuju hidup yang semakin baik, benar dan tepat. Pemujaan pada Deva Tri Murti itu agar dinamika hidup manusia itu berada di koridor Utpati, Stithi dan Pralina. Maksudnya menciptakan sesuatu yang patut diciptakan disebut Utpati, memelihara serta melindungi sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan dilindungi disebut Stithi. Serta meniadakan sesuatu yang sudah usang yang memang sudah sepatutnya dihilangkan yang disebut Pralina, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 270-271).


Demikian umat Hindu di Bali memuja Tuhan, bagaimana dengan umat Hindu di luar Bali? Seiring dengan kemajuan zaman dan pengetahuan yang ada, terkait tentang sarana pemujaan kehadapan Tuhan oleh umat Hindu di luar Bali, dapat dinyatakan sudah mengalami kemajuan yang patut kita banggakan bersama. Di antara mereka juga sudah memiliki dan mempergunakan “Padmasana” sebagai tempat untuk memuja kebesaran Sang Pencipta. Berikut ini adalah tempat-tempat suci umat Hindu yang ada di luar Bali, antara lain:






RELATED:
Pengertian, Contoh dan Bagian-Bagian Tri Rna
Veda sebagai Sumber Hukum Hindu
Glosarium Materi Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas V
Renungan Atharvaveda XIX.41.1


"Bhadram icchanta åûayas tapo diksàm upanisedur agre,
tato ràstram balam ojaúca jàtam tadasmai devà upasamnamantu".


Terjemahan:


"Para rsi (futurelog) yang memikirkan tentang kemakmuran bangsa mendapatkan dua faktor, yakni kesetiaan dan pengabdian (dedikasi), Dengan menjalankan faktor-faktor itu bangsa ini menjadi kuat dan mulia. Maka dari itu faktor-faktor ini seharusnya dibina".


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/11/bentuk-dan-contoh-pemujaan-tri-purusa.html


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Tri Murti - Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa






- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Menurut arti katanya, Trimūrti adalah “Tiga Badan”, dan maksudnya adalah tiga kekuatan Brahman (Sang Hyang Widhi, sebutan Tuhan dalam agama Hindu) dalam menciptakan, memelihara, melebur alam beserta isinya.

Trimurti terdiri dari 3 yaitu:

Dewa Brahma


Fungsi: Pencipta / Utpathi
Sakti: Dewi Saraswati yang merupakan dewi ilmu pengetahuan
Senjata: Busur
Simbol: A (ang)
Warna: Merah



Dewa Wisnu


Fungsi: Pemelihara / Sthiti
Sakti: Dewi Laksmi atau Sri
Senjata: Cakram
Simbol: U (ung)
Warna: Hitam



Dewa Siwa


Fungsi: Penghancur / Pralina
Sakti: Dewi Durga, Uma, dan Parwati
Senjata: Trisula
Simbol: M (mang)
Warna: Manca Warna






Tapi akan berbeda posisinya saat kita membicarakan Dewata Nawa Sanga. Apabila simbol dari ketiga dewa tesebut digabungkan, maka akan menjadi AUM yang dibaca "OM" ( ॐ ) yang merupakan simbol suci agama Hindu.

Di antara ketiga dewa tertinggi itu hanya Wişņu dan Siwa yang mendapat pemujaan luar biasa. Hal ini adalah wajar mengingat bahwa yang dihadapi manusia adalah apa yang sudah tercipta. Oleh karena itu, dewa pencipta dengan sendirinya terdesak oleh kepentingan manusia, yang lebih memperhatikan berlangsungnya apa yang sudah tercipta itu. Pun kenyataan bahwa segala apa akan binasa karena waktu, selalu memenuhi perhatian manusia.

Di antara para pemeluk agama Hindu, separuhnya lebih-lebih memuja Wisnu, separuhnya lagi memuja Siwa. Para pemuja Wişņu (golongan Waşņawa) dan para pemuja Siwa (golongan Çaiwa) tidak mengingkari kedudukan Trimurti, tidak pula beranggapan bahwa Wişņu dan Siwa adalah dewa yang satu-satunya. Hanyalah ada pendapat bahwa bagi golongan Waişņawa, Siwa itu adalah Wişņu dalam bentuknya sebagai dewa pembinasa, sedangkan sebaliknya bagi golongan Saiwa, Wişņu adalah Swa sebagai pemelihara alam semesta.

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa dalam Trimūrti itu Siwa yang dianggap sebagai dewa tertinggi atau Mahadewa atau Maheçwara. Memang sebagai dewa waktu atau Mahakala, ia sangat berkuasa oleh karena waktulah yang sesungguhnya mengadakan, melangsungkan, dan membinasakan. Segala apa terikat kepada waktu, ada tidaknya sesuatu tergantung kepada waktu. Sifat-sifat keagungan dan kedahsyatan dalam ruang dan waktu yang tak terbatas itulah yang menundukkan manusia untuk menginsyafi kekecilannya di dalam alam semesta. Maka pemujaan kepada Siwa itu selalu disertai permohonan akan kemurahannya dan rasa takut tidak dapat dihindarkan.

Sesuai dengan beraneka macamnya sifat yang berpadu dalam Iswara sebagai Yang Maha Kuasa maka kecuali sebagai Mahadewa, Maheswara, dan Mahakala, Siwa juga dipuja sebagai Mahaguru dan Mahayogi; yang menjadi teladan serta pemimpin para pertapa. Serta, sebagai Bhairawa yang siap untuk merusak membinasakan segala apa yang ada.


Berlainan sekali sifatnya adalah Wi şņu. Dalam segala bentuk dan perwujudannya, ia tetaplah dewa yang memlihara dan melangsungkan alam semesta. Maka, sebagai penyelenggara dan pelindung dunia, ia digambarkan setiap saat siap untuk memberantas semua bahaya yang mengancam keselamatan dunia. Untuk keperluan ini, Wişņu turun ke dunia dalam bentuk penjelmaan yang sesuai dengan bahayanya sebagai awatara.

Kecuali Trimūrti, masih banyak dewa-dewa lainnya. Sebagian besar daripadanya adalah dewa-dewa yang sudah dikenal dari zaman Weda sebelumnya, beberapa diantaranya sudah berubah sifatnya. Sebagai contoh, Waruna yang tak lagi sebagai dewa angkasa seperti di zaman Weda, melainkan telah berubah menjadi dewa laut. Sebagian lagi adalah dewa-dewa yang mula-mula dipuja setempat-setempat.


Dewa Brahma

Brahma yang dikenal sebagai salah seorang dewa Trimūrti ini bila dibandingkan dengan dewa-dewa Trimūrti lainnya, yaitu Siwa dan Wişņu, tidaklah sebesar dan sepenting keduanya. Tidak ada kuil atau bangunan suci untuk memujanya, juga tidak ada aliran yang khusus memuja Brahma seperti yang terjadi pada aliran-aliran Siwait maupun Wişņuit.

Walaupun tidak ada bangunan suci yang diperuntukkan kepadanya, dalam relung-relung kuil-kuil untuk Siwa dan Wişņu, umumnya di relung utara diletakkan arca Dewa Brahma yang kadang-kadang juga dipuja.


Brahma adalah dewa yang menduduki tempat pertama dalam susunan dewa-dewa Trimūrti, sebagai dewa pencipta alam semesta.

Mitologi tentang Brahma muncul pertama kali dan berkembang pada zaman Brahmāna. Brahma dianggap sebagai perwujudan dari Brahman, jiwa tertinggi yang abadi dan muncul dengan sendirinya.

Menurut kitab Satapatha Brahmāna, dikatakan bahwa Brahmalah yang menciptakan, menempatkan, dan memberi tugas para dewa. Sebaliknya, di dalam kitab Mahabharata dan Purana dikatakan bahwa Brahma merupakan leluhur dunia yang muncul dari pusar Wisnu. Sebagai pencipta dunia, Brahma dikenal dengan nama Hiranyagarbha atau Prajapati.



Pencipta Dunia

Dalam ajaran-ajaran Weda dikatakan bahwa pada mulanya di saat dunia masih diselubungi oleh kegelapan, ketiak belum tercipta apa pun, Ia, makhluk yang ada dengan sendirinya yang tanpa awal dan akhir, berkeinginan mencipta alam semesta dari tubuhnya sendiri.

Mula-mula ia menciptakan air, kemudian menyebarkan bermacam-macam benih-benihan. Dari benih-benih ini kemudian muncul telur emas yang bersinar seperti cahaya matahari. Dari telur emas inilah Brahma lahir yang merupakan perwujudan dari Sang Pencipta itu sendiri. Menurut kitab Wişņu Purāna, telur emas itu merupakan tempat tinggal Sang pencipta selama ribuan tahun yang akhirnya pecah, dan muncullah Brahma dari dalamnya untuk mencipta dunia dengan segala isinya.

Brahma, seperti juga Siwa dan Wişņu, memiliki bermacam-macam nama sebutan, di antaranya adalah Atmabhu (yang ada dengan sendirinya), Annawūrti (pengendara angkasa), Ananta (yang tiada akhir), Bodha (guru), Bŗhaspat (raja yang agung), Dhātā (pencipta), Druhina (sang pencipta), Hiranyagarbha (lahir dari telur emas), Lokesha (raja seluruh dunia), Prajāpati (raja dari segala makhluk), dan Swayambhū (yang ada dengan sendirinya). Di dalam mitologi Hindu dikatakan bahwa wahana (kendaraan) Brahma adalah hamsa (angsa).

Binantang-binantang yang dijadikan sebagai kendaraan para dewa pada kenyataannya merupakan manifestasi dari sifat-sifat para dewa itu sendiri. Hamsa adalah simbol dari “kebebasan” untuk hidup kekal. Sifat seperti ini dimiliki oleh Brahma. Hamsa merupakan binatang yang dapat hidup di dua alam, dapat berenang di air, dan terbang ke angkasa. Di air ia dapat berenang semaunya dan di angkasa ia dapat terbang ke mana saja ia suka. Ia mempunyai kebebasan, baik di bumi (= air) maupun di angkasa.




Dewa Berkepala Empat

Brahma dikenal juga sebagai dewa berkepala empat dengan masing-masing muka menghadap keempat arah mata angin. Keempat muka Brahma merupakan simbol dari empat kitab Weda, empat Yuga, dan empat warna. Karena memiliki empat kepala, brahma juga dikenal sebagai catur anana atau catur mukha atau asta karna (delapan telinga).

Kitab Matsya Purana menyebutkan bahwa kepala Brahma berjumlah lima, tapi tinggal empat karena dipotong Siwa. Dalam kitab ini diceritakan bahwa Brahma mencipta seorang wanita dari tubuhnya sendiri yang diberinya lima buah nama; Satarupā, Sawitri, Saraswatī, Gāyatri, dan Brāhmani. Karena cantiknya, Brahma merasa tertarik, sehingga sang dewi terus dipandang. Satarupā yang merasa terus diperhatikan menghindar ke sebelah kanan.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dewa Brahma sebagai dewa besar malu untuk menoleh ke kanan dan karena itu muncul kepala Brahma ke dua di sebelah kanan. Begitu pula ketika Satarupā menghindar ke kiri, ke belakang, dan akhirnya muncul kepala Brahma yang kelima ketika Satarupā menghindar dengan terbang ke angkasa.

Menurut kitab Padma Purāna, ketika terjadi perselisihan antara Brahma dan Wişņu, Siwa datang melerai keduanya dengan mengabulkan permintaan keduanya. Brahma sangat gembira, sehingga lupa memberi penghormatan kepada Siwa. Siwa merasa kurang senang lalu menghampiri Brahma dan kemudian memotong salah satu kepalanya dengan kuku jari kirinya dan berkata’ “Kepala ini terlalu terang, akan memberikan kesulitan kapada dunia karena sinarnya yang terang melebihi seribu cahaya matahari.”



Dewa Wisnu

Dalam agama Hindu, Wişņu merupakan salah satu dewa Trimurti yang dianggap sebagai dewa pemelihara dunia. Dewa Wisnu pada zaman Brahmana dan purana menduduki tempat yang penting, sedangkan pada zaman Veda kurang berperan. Visnu dalam Veda adalah nama lain dari Dewa Surya. Secara lahiriah atau anthropomorphes sifat-sifat Visnu diungkapkan dengan kata-kata Vikrama, Urukrama, Urugaya, Trisadhastha dan lain-lain. Terakhir Visnu dering dipergunakan untuk Dewa Agni, sebagai dewa terpenting. Arti kata Visnu adalah sifat yang meresapi ciptaannya. Visnu adalah dewa yang berkuasa atas orde dan karena itu ia disebut sebagai pemelihara. secara lahiriah Dewa Wisnu ditafsirkan pula seperti matahari (surya) dan dikenal pula sebagai Suparna atau Guratman. didalam Purana, Suparna atau Garuda adalah wahana Dewa Wisnu dengan senjata cakram/cakra (lambang matahari), yang menunjukan karakter surya.

Wişņu mempunyai sifat sebagai matahari, dan telah mengunjungi tujuh bagian dunia. Ia mengelilingi dunia dengan tiga langkah (triwikrama).

Wişņu merupakan dewa yang menjelma dalam tiga wujud; api, halilintar, dan sinar matahari. Ketiga wujud ini menunjukkan tiga wujud perjalanan matahari; terbit, mencapai cakrawala (zenit), dan terbenam.

Kedudukan Wişņu sebagai dewa matahari dalam agama Hindu masih dikenal dalam bentuk samar-samar. Penyembahan pada Wişņu dalam bentuk matahari biasanya disebut Surya Narayana. Pemujaan Surya Narayana pada umumnya dilakukan pada hari Minggu dan pada hari-hari besar tertentu.


Dalam kitab Ŗig-Weda disebutkan bahwa Wişņu merupakan pelindung. Dari sinilah asal mula benih-benih yang kemudian berkembang menuju semakin tingginya kedudukan Wişņu di masa kemudian. Wişņu kadang-kadang dianggap sebagai korban yajŋa, sehingga ia disebut sebagai Yajŋa Narayana.

Tiga dewa serangkai yang disebut dalam kitab Weda sebagai prototype dari dewa Trimurti pada masa kemudian adalah Agni sebagai dewa dunia, Wayu sebagai dewa angkasa, dan Surya sebagai dewa langit. Hal itu didasarkan pada tugas Trimurti, yaitu membinasakan, yang biasa dilakukan oleh Siwa, yang intinya dapat ditemukan dalam kekuatan yang dimiliki oleh angin ribut (Wayu). Bersama dengan Dewa Wayu yang dianggap sebagai dewa angin, dipuja pula Dewa Indra sebagai dewa matahari atau dewa dari angkasa yang terang benderang. Angkasa yang terang benderang ini dikuasai oleh Wişņu dan Indra. Menurut kitab Weda, Wisnu menerima warna biru dari Indra. Berkat Indra pulalah Wişņu mendapat sebutan Wasudewa.

Demikian juga melalui Indra, dihubungkan dengan pahlawan dunia. Dari kitab Mahābhārata dapat diketahui pertumbuhan Wişņu yang semakin meningkat. Wişņu yang mula-mula sebagai dewa matahari, kemudian meningkat menjadi salah satu dewa Trimurti dan kemudian menjadi tokoh sentral.

Sejarah perkembangan kedudukan Wişņu dapat diikuti dengan jelas dalam kesusastraan India Kuno. Dalam epik Mahābhārata, Krsna dan Arjuna, meskipun tidak jelas hubungannya dengan Surya, dan berdasarkan sifat-sifat Indra yang menjadi dewa langit dapat diketahui dengan samar-samar hubungannya antara Surya dan Wişņu melalui Indra.

Kedudukan Wişņu yang tinggi dan anggapan bahwa Wişņu merupakan salah satu dari Dewa Trimurti dapat ditemukan dalam kitab-kitab Itihasa dan Purana serta kitab-kitab kesusastraan India yang membicarakan tentang ilmu arca.

Wişņu sebagai pemelihara dunia Wişņu sebagai pemelihara dunia kerap turun ke dunia untuk menolong dunia dari kehancuran. Dalam upaya menolong dunia, Wişņu turun ke dunia untuk beremanasi atau menjelma dalam bentuk manusia atau benda. Dalam penjelmaannya ini Wişņu dapat menjelma penuh, sebagai manusia dan berlangsung dalam jangka waktu lama (umumnya disebut ber-awatāra), sementara (umumnya disebut awesa), atau memancarkan sebagian kekuatannya pada benda-benda tertentu yang dianggap keramat (umumnya disebut amsa).

Awatāra Wişņu misalnya turun sebagai Rama, Arjuna, dan Kŗşna. Sementara, awesa Wişņu adalah sebagai Parasurama yang turun ke dunia untuk menindas pemberontakan para ksatria. Dalam waktu yang relatif pendek, Parasurama dapat menyelesaikan tugasnya. Tidak lama sesudah dapat menyelesaikan tugasnya, Parasurama bertemu dengan Raghurama, kepada siapa ia menyerahkan segala “kedewataannya”, sehingga ia tidak mempunyai tugas lagi dan tidak dimasuki kekuatan Dewa Wişņu lagi.

Wişņu pun dapat memancarkan sebagian kekuatannya untuk menolong dunia ke dalam bentuk senjata, misalnya sankha dan cakra. Kedua senjata itu diyakini dapat memberikan perlindungan seperti layaknya Dewa Wişņu itu sendiri. Kedua benda itu mempunyai sifat-sifat kedewataan yang dijelmakan ke dunia sebagai benda keramat.

Awatāra Wişņu Dalam beberapa kesusastraan, kita kenal bermacam-macam awatara Wişņu, diantaranya yang terkenal ada sepuluh yang lebih dikenal dengan sebutan Dasawatāra Wişņu, seperti yang terdapat dalam kitab Waraha Purana. Sebaliknya dalam kitab Bhagawata Purana disebutkan sebanyka 22 awatāra. Menurut kepercayaan Hindu India, dasawatāra dianggap berhubungan dengan sepuluh macam kejadian di dunia, ketika Wişņu bertugas menghancurkan berbagai rintangan yang menghalangi perputaran dunia. Kesembilan di antaranya sudah terjadi, sedangkan yang kesepuluh belum terjadi. Kesepuluh awatāra Wişņu menurut Waraha Purana itu adalah:


Matsya awatāra – Sebagai ikan (matsya), Wişņu menolong Manu, yaitu manusia pertama, untuk menghindarkan diri dari air bah yang menelan dunia.
Kurma awatāra – Sebagai kura-kura (kurma), Wişņu berdiri di atas dasar laut menjadi alas bagi Gunung Mandara yang dipakai oleh para dewa untuk mengaduk lautan dalam usaha mereka mendapatkan amrta atau air penghidup.
Waraha awatāra – Ketika dunia ditelan laut dan ditarik ke dalam kegelapan patala (dunia bawah), Wişņu menjadi babi hutan (waraha) dan mengangkat dunia kembali ke tempatnya.
Narasimha awatāra – Hiranyakasipu, seorang raksasa, dengan sangat lalimnya menguasai dunia. Kesaktiannya yang luar biasa menjadikan ia tak dapat dibununh oleh dewa, manusia, maupun binatang, tak dapat mati di waktu siang dan juga malam. Maka, untuk memberantasnya, Wişņu menjelma menjadi singa-manusia (narasimha) dan dibunuhnya Hiranyakasipu pada waktu senja.
Wamana awatāra – Wişņu menjelma sebagai orang kerdil (wamana) dan meminta kepada Daitya Bali yang denagn sangat lalim memerintah dunia supaya kepadanya diberikan tanah seluas tiga langkah. Setelah diizinkan maka dengan tiga langkah (tiwikrama) ini ia menguasai dunia, angkasa, dan surga. Di sini tampak Wişņu sebagai Dewa Matahari, yang “menguasai” dunia dengan tiga langkahnya; waktu terbit, waktu tengah hari, dan waktu terbenam.
Parasurama awatāra – Wişņu menjelma sebagai Rama bersenjatakan kapak (paraçu) dan menggempur golongan ksatria sebagai balas dendam terhadap penghinaan yang dialami oleh ayahnya, seorang brahmana, dari seorang raja (kasta ksatriya). Tampak suatu “reaksi” terhadap revolusi zaman Upanisad.
Rama awatāra – Rama titisan Wişņu ini adalah yang terkenal dari cerita Ramayana. Yang mengancam kerselamatan dunia adalah Rawana atau Dasamukha.
Kŗşna awatāra – Kŗşna ini terkenal dari Mahābhārata, sebagai raja titisan Wişņu yang membantu para Pandawa menuntut keadilan dari para Kurawa.
Buddha awatāra – Wişņu menjelma sebagai putra raja Sododana di Kapilawastu India dengan nama Sidharta Gautama yang berarti telah mencapai kesadaran yang sempurna. Budha Gautama menyebarkan ajaran Budha dengan tujuan untuk menuntun umat manusia mencapai kesadaran, penerangan yang sempurna atau Nirwana..
Kalkya / Kalki awatāra – Keadaan dunia saat ini sangat buruk dan akan tiba saatnya nanti kejahatan itu akan mencapai puncaknya, sehingga dunia terancam kemusnahan. Pada saat itulah maka Wişņu akan menjelma sebagai Kalki dan dengan menunggang kuda putih dan membawa pedang terhunus ia akan menegakkan kembali keadilan dan kesejahteraan di atas dunia ini.




Dewa Siwa

Siwa dalam mitologi Hindu dikenal sebagai dewa tertinggi dan banyak pemujanya. Mitos Siwa dapat dijumpai dalam beberapa kitab suci agama Hindu, yakni kitab-kitab Brāhmana, Mahābhārata, Purāna, dan Āgama.

Dalam kitab Hindu tertua, Weda Samhita, walaupun nama Siwa sendiri tidak pernah dicantumkan, tetapi sebenarnya benih-benih perwujudan tokoh Siwa itu sendiri telah ada, yaitu Rudra.

Dalam Ŗg-Weda salah satu Weda Samhita, disebutkan Rudra sebagai dewa perusak dan tergolong sebagai dewa bawahan. Rudra dikenal sebagai penyebab kematian, dewa penyebab dan penyembuh penyakit, juga dianggap sebagai desa yang menguasai angin topan. Untuk mencegah terjadinya hal-hal buruk itu maka Rudra dipuja secara istimewa dengan doa-doa khusus untuk menenangkan dan menghilangkan kemarahannya.

Namun, sebagai dewa rendahan, walaupun banyak dipuja, Rudra belumlah merupakan dewa tertinggi dan dianggap penting. Pada waktu itu yang dianggap sebagai dewa tertinggi dan dianggap penting adalah Indra. Baru pada kitab Brāhmana, Rudra diberi nama Siwa dan kedudukannya pun terus meningkat, sehingga menjadi dewa utama.


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Kelahiran Rudra

Kitab Satapatha-Brāhmana menceritakan tentang kelahiran Rudra. Diceritakan bahwa ada seorang kepala keluarga bernama Prajapati yang memiliki seorang anak laki-laki. Sejak lahir, anak itu menangis terus, dia merasa tidak terlepaskan dari keburukan karena tidak diberi nama oleh ayahnya. Kemudian Prajapati memberinya nama Rudra, yang berasal dari akar kata rud yang artinya menangis.

Kisah kelahiran Rudra ini bisa dijumpai pula dalam kitab-kitab Weda Samhita dan kitab Wişņu-Purāna. Tersebutlah Brahmā sedang marah kepada anak-anaknya yang diciptakannya pertama kali, yang tidak menghargai arti penciptaan dunia bagi semua makhluk. Akibat kemarahannya itu tiba-tiba dari kening Brahma muncul seorang anak yang bersinar seperti matahari. Anak yang baru “lahir” itu diberi nama Rudra. Dari tubuhnya yang setengah laki-laki dan setengah perempuan itu “lahir” anak berjumlah sebelas orang. Badan Rudra yang berjumlah sebelas itu, menurut kitab Wişņu-Purāna merupakan asal mula Ekadasa Rudra.

Riwayat kelahiran Rudra menurut Mārkandeya Purāna disebabkan oleh keinginan Brahmā untuk mempunyai anak yang menyerupai dirinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, Brahmā pergi bertapa. Tengah bertapa, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki berkulit merah kebiru-biruan menangis di pangkuannya. Ketika ditanya mengapa, anak itu menjawab bahwa ia menangis karena minta nama. Brahmā memberinya nama Rudra. Namun, ia tetap menangis dan meminta nama lagi. Itu dilakukannya hingga tujuh kali, sehingga Brahmā memberi tujuh nama, masing-masing Bhawa, Sarwa, Isāna, Pasupati, Bhîma, Ugra, dan Mahādewa, di samping Rudra. Kedelapan nama itu adalah nama-nama aspek Siwa dalam kelompok Murtyastaka. Kisah yang sama terdapat dalam Wisnu-Purāna.



Siwa Mahādewa

Dalam kitab Mahābhārata, Siwa lebih sering disebut sebagai Mahādewa, yaitu dewa tertinggi di antara para dewa. Kitab itu juga menjelaskan asal mula Siwa mendapatkan sebutan demikian. Pada suatu waktu, para dewa menyuruh Siwa membinasakan makhluk-makhluk jahat yang tinggal di Tripura. Untuk menghadapi makhluk-makhluk itu, Siwa diberi setengah kekuatan dari masing-masing dewa, dan setelah dapat memusnahkan makhluk-makhluk itu, Siwa dianggap sebagai dewa tertinggi.

Pertama kalinya Siwa atau Rudra disebut Mahadewa terdapat dalam Yajur-Weda putih. Dalam Mahābhārata bagian Bhismaparwa, Siwa yang digambarkan berada di Gunung Meru, dikelilingi Umā beserta pengikutnya itu disebut Pasupati (sloka 219b). Sementara, sebutan Maheswara ada dalam kitab Mahabharata sloka 222a. Sebutan lain untuk Siwa adalah Trinetra, yang artinya bermata tiga. Sebutan ini didapatkan Siwa ketika dari keningnya “muncul” mata ketiga untuk “mengembalikan” keadaan dunia seperti keadaan semula, yang “terganggu” karena kedua matanya tertutup oleh kedua tangan Parwati, yang ketika itu asyik bercengkerama dengan Siwa. Untuk mengembalikan keadaan dunia, Siwa menciptakan mata ketiga pada keningnya.




Siwa Trinetra

Uraian tentang Siwa Trinetra juga dijumpai dalam kitab Mahābhārata. Kitab Linga-Purana menjelaskan timbulnya mata ketiga Siwa. Sati, anak Daksa istri pertama Siwa bunuh diri dengan cara terjun ke dalam api karena ayahnya, Daksa tidak menghiraukan Siwa, suaminya. Karena peristiwa itu, Çiwa pergi bertapa di atas Gunung Himalaya. Parvati, anak Himawan yang jatuh cinta kepada Siwa sebenarnya adalah Sati “yang lahir kembali”. Sementara itu, makhluk jahat asura Tataka mulai mengganggu para dewa. Menurut ramalan, yang dapat membinasakan makhluk jahat itu hanyalah anak Siwa. Dalam kebingungan, para dewa memutuskan untuk “membangunkan” Siwa. Mereka sepakat meminta pertolongan Dewa Kāma. Dengan upayanya, berangkatlah para dewa disertai Parwati ke tempat Siwa bertapa. Karena keampuhan panah Dewa Kāma, Siwa “terbangun”. Siwa yang sedikit terusik oleh perbuatan Kama membuka mata ketiganya yang menyemburkan api. Api itu membakar Kāma hingga menjadi abu. Pada saat yang bersamaan karena keampuhan panah Kāma, Siwa “jatuh cinta” pada Parwati. Rati, istri Dewa Kāma yang mendengar kematian suaminya datang menghadap Siwa dan mohon untuk menghidupkan kembali Kāma. Untuk menghibur rati, Siwa berjanji bahwa Kāma kelak akan lahir kembali sebagai Pradhyumna. Kisahnya diakhiri dengan pernikahan Çiwa dan Parwati, serta kelahiran Kumara atau Subrahmanya yang dapat membunuh Tataka.




Siwa Nilakantha

Siwa disebut juga Nilakantha karena mempunyai leher yang berwarna biru. Diceritakan pada waktu diadakan pengadukan lautan susu untuk mendapatkan amrta, turut keluar racun yang dapat membinasakan para dewa. Untuk menyelamatkan para dewa, Siwa meminum racun itu. Parwati yang khawatir suaminya binasa, menekan leher Siwa agar racun tidak menjalar ke bawah. Akibatnya racun itu terhenti di tenggorokan dan meninggalkan warna biru pada kulit lehernya. Sejak itulah Siwa mendapatkan sebutan baru, Nilakantha.



Asal Mula Atribut Siwa

Kitab Suprabhedagama menguraikan mengapa Siwa mengenakan pakaian kulit harimau, hiasan berupa ular, kijang, dan parasu, serta memakai hiasan bulan sabit, dan tengkorak pada mahkotanya. Pada suatu waktu, Siwa pergi ke hutan dengan menyamar sebagai pengemis. Istri para pendeta yang kebetulan melihatnya jatuh cinta, sehingga para pendeta marah. Dengan kekuatan magisnya mereka menciptakan seekor harimau yang diperintahkan untuk menyerang Siwa, tapi dapat dibinasakan dan kulitnya dipakai Siwa sebagai pakaiannya. Melihat Siwa bisa mengalahkan harimau ciptaannya, mereka makin marah dan menciptakan seekor ular. Ular itu dapat ditangkap Siwa dan dibuat perhiasan. Setelah kedua usaha itu gagal, mereka menciptakan kijang dan parasu, tapi kali inipun Siwa dapat melumpuhkan serangan para pendeta itu. Sejak kejadian itu, kijang dan parasu menjadi dua di antara laksana (atribut) Siwa. Kitab Kurma Purana menjelaskan asal mula Siwa mendapat julukan Gajasura-samharamurti. Dikisahkan beberapa orang pendeta sedang bertapa diganggu makhluk jahat yang menjelma sebagai gajah. Siwa yang dimintai pertolongannya dapat membunuh gajah jelmaan itu. Siwa yang mengenakan pakaian kulit gajah yang dibunuhnya lalau dikenal sebagai Gajasurasamharamurti.




Kitab Kamikagama mengungkapkan mengapa dalam pengarcaannya, Siwa mengenakan hiasan bulan sabit pada jatāmakutanya (mahkota). Datohan, salah seorang putra Brahmā, menikahkan keduapuluh tujuh (=konstelasi bintang) anak perempuannya pada Santiran, Dewa Bulan. Dia minta agar menantunya memperlakukan semua istrinya sama dan mencintainya tanpa membeda-bedakan. Selama beberapa waktu, Santiran hidup bahagia bersama istri-istrinya, tanpa membeda-bedakan mereka. Dua di antara seluruh istrinya, Kartikai dan Rogini adalah yang tercantik. Lama-kelamaan, tanpa disadarinya, Santiran lebih memperhatikan keduanya dan mengabaikan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak diperhatikan, mereka mengadu pada ayah mereka. Datohan mencoba menasihati menantunya agar mengubah sikap, tapi tidak berhasil. Setelah berunlangkali Santiran diingatkan dan tidak mengindahkan, Datohan menjadi marah dan mengutuh menantunya; keenam belas bagian tubuhnya akan hilang satu per satu sampai akhirnya dia akan hilang, mati. Ketika bagian tubuhnya tinggal seperenam belas bagian, Santiran menjadi panik dan pergi minta tolong dan perlindungan Intiran. Intiran tidak dapat menolong. Dalam keadaan putus asa, dia menghadap dewa Brahmā yang menasihatinya agar pergi menghadap Siwa. Santiran langsung menuju Gunung Kailasa dan mengadakan pemujaan untuk Siwa. Siwa yang berbelas kasihan kemudian mengambil bagian tubuh Santiran itu dan diletakkan di dalam rambutnya sambil berkata, “Jangan khawatir, Anda akan mendapatkan kembali bagian-bagian tubuh Anda. Namun, itu akan kembali hilang satu per satu. Perubahan itu akan berlangsung terus.” Demikianlah dalam pengarcaannya rambut Siwa dihiasi bagian tubuh Santiran yang berbentuk bulan sabit di samping tengkorak (ardhacanrakapala). Selain mata ketiga dan hiasan candrakapala, Siwa juga dikenal mempunyai kendaraan banteng atau sapi jantan.




Sapi Jantan Wahana Çiwa

Kitab Mahābhārata menguraikan asal mula sapi jantan atau banteng menjadi kendaraan Çiwa dalam dua versi. Versi pertama, Bhisma menjelaskan kepada Yudistira mengenai asal mula sapi jantan menjadi wahana Çiwa. Daksa, atas perintah ayahnya, yakni Brahmā, menciptakan sapi. Çiwa yang sedang bertapa di dunia terkena susu yang tumpah dari mulut anak sapi yang sedang menyusu pada induknya. Untuk menjaga agar Çiwa tidak marah, Dakasa menghadiahkan seekor sapi jantan pada Çiwa. Çiwa sangat senang menerima pemberian itu dan dijadikannya kendaraan. Versi kedua, mirip cerita di atas, hanya peran Daksa dipegang oleh Brahmā. Di sini Çiwa menjawab pertanyaan Uma mengapa kendaraan Çiwa itu adalah banteng dan bukan binatang lain. Dikisahkan pada waktu penciptaan pertama, semua sapi berwarna putih dan sangat kuat. Mereka berjalan-jalan penuh kesombongan. Tersebutlah Çiwa sedang bertapa di Pegunungan Himalaya dengan cara berdiri di atas satu kaki dengan lengan diangkat. Sapi-sapi yang sombong itu berjalan bergerombol di sekeliling Çiwa, sehingga ia kehilangan keseimbangan. Atas kejadian itu, Çiwa sangat marah dan dengan mata ketiganya ia membakar sapi-sapi yang sombong itu, sehingga warna mereka berubah hitam. Itulah sebabnya ada sapi berwarna hitam. Banteng yang melihat kejadian itu mencoba melerai dan meredakan amarah Çiwa. Sejak itu banteng menjadi kendaraan Çiwa. Sapi-sapi yang melihat dan mengakui kehebatan dan kesaktian Çiwa sangat kagum dan mengangkatnya sebagai pemimpin, serat memberi julukan Gopari pada Dewa Çiwa

Menyingkap Misteri Dewa Brahma Jarang Dipuja






ANDAKASA : Pura Andakasa di Angantelu, Manggis, Karangasem, salah satu tempat pemujaan untuk Dewa Brahma. (ISTIMEWA)


Share this

Berita Terkait

KMHDI dan Dirjen Bimas Hindu Gagas Program Satu Anak Satu Buku
600 Personel dari Polda Bali dan 4 Polresta Amankan Demo Tuntut AWK


BALI EXPRESS, DENPASAR - Jika dibandingkan dengan Dewa Wisnu dan Dewa Siwa, Dewa Brahma yang paling jarang dipuja. Ada sejumlah purana yang membeber muasal Dewa Brahma akhirnya mendapat perlakuan beda umat Hindu. Benarkah seperti itu, dan seperti apa kisahnya?


Dalam Kurma Purana, Vayu Purana, dan Siwa Purana, dikisahkan pencarian oleh Dewa Brahma dan Dewa Wisnu untuk menemukan Anadi (awal) dan Ananta (akhir) dari Dewa Siwa, di mana kisahnya tertuang dalam Legenda Siwa Lingga (Lingodbhavamurthy).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Mengutip Hindualukta, bahwa legenda ini membuktikan kemahakuasaan Dewa Mahadewa lebih dari Dewa Hindu lainnya. Selain itu, juga menjelaskan mengapa lingga diyakini menjadi salah satu lambang yang paling ampuh untuk mencapai tujuan dalam Hindu.


Berdasar purana tersebut, dua dari Dewa Tri Murti, yakni Brahma dan Wisnu menunjukkan kemampuannya masing-masing . Lantaran keduanya punya kekuatan, dewa lainnya takut akan terjadi pertempuran yang kian sengit. Para dewa lainnya lantas meminta Siwa menjadi penengah. Dewa Siwa selanjutnya muncul berbentuk Lingga yang menyala di antara Brahma dan Wisnu, dan kemudian menantang keduanya dengan meminta mereka untuk mengukur panjang dari Lingga. Terpesona oleh besarnya, Brahma dan Wisnu memutuskan untuk mencari ujung Lingga itu. Dewa Brahma berubah bentuk menjadi Angsa dan melesat ke atas, sementara Dewa Wisnu mengambil bentuk Varaha (babi hutan) dan masuk ke tanah menuju ujung bumi. Keduanya mencari ribuan mil, tetapi tidak bisa menemukan ujung akhirnya. Pada perjalanannya ke atas, Brahma menemukan bunga Ketaki. Lantaran lelah dan bingung dengan pencariannya yang tak juga menemukan ujung teratas dari lingga yang berapi-api, Brahma lalu sepakat dengan bunga Ketaki untuk berbohong bahwa ia telah menemukan ujung teratas dan bunga itu berada.

Dewa Brahma lalu turun dan bertemu dengan Dewa Wisnu, dan menegaskan bahwa ia telah menemukan ujung Lingga itu. Namun, setelah pernyataan Brahma tersebut, tiba-tiba bagian tengah Lingga terbelah dan Siwa muncul. Dewa Brahma dan Wisnu kemudian membungkuk memberi hormat karena kemahakuasaan Dewa Siwa. Dalam kesempatan tersebut, Dewa Siwa juga menjelaskan kepada Brahma dan Wisnu, bahwa keduanya lahir dari dia dan kemudian dipisahkan menjadi tiga aspek kemahakuasaan Tuhan. Dewa Brahma sebagai pencipta, Dewa Wisnu sebagai pemelihara, dan Dewa Siwa sebagai pelebur (Pemralina). Namun, Dewa Siwa marah dengan Dewa Brahma karena telah berbohong. Kemudian Dewa Brahma dikutuk bahwa tidak seorang pun yang akan berdoa kepada-Nya. Dewa Siwa juga menghukum bunga Ketaki karena ikut berbohong dan melarang dia digunakan sebagai persembahan ibadah apa pun. Karena itu pada hari ke-14 (Bulan Gelap) bulan Phalguna, Dewa Siwa mengubah bentuk menjadi Lingga, dan pada hari itu pula diperingati sebagai Mahashivaratri , yakni malam pemujaan Siwa. Legenda ini sekaligus menjelaskan mengapa sedikit pemuja Brahma, termasuk minimnya Candi Brahma ditemui di India dan negara lainnya, termasuk juga di Bali.


Brahma di India memang jarang mendapatkan tempat khusus, meski masyarakat India didominasi agama Hindu. Masyarakat Hindu India lebih banyak memuja para Shakti atau Devi (Shaktiisme), Wisnu (Waisnawa), atau Siwa (Shaivanism). Bagaimana dengan di Bali?

Penganut Hindu Nusantara meninggalkan sejumlah jejak,bahwa memuja Dewa Brahma. Di Prambanan misalnya, Brahma dibuatkan candi khusus berdampingan dengan Wisnu. Di Bali ada Pura Andakasa di Angantelu, Kecamatan Manggis, Karangasem, yang dikhususkan bagi pemuja Dewa Brahma.

Jro Mangku Danu, mengatakan, sebenarnya bertalian dengan puja untuk Dewa Brahma sering dilakukan umat Hindu. Bahkan, untuk bisa memuja dewa lainnya termasuk Siwa dan Wisnu, lanjut Pamangku Pura Kawitan Dukuh Aji Patapan, Desa Kedisan, Kintamani ini, umat mesti terlebih dahulu memuja Brahma. “Setiap ucapan yang keluar sesungguhnya adalah ucapan dari Brahma. Setiap sabda atau suara adalah Brahma itu sendiri, dan di Veda dinyatakan Brahma berstana di lidah atau suara,” terang Jro Mangku Danu kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Rabu (16/11) kemarin

Bahkan, lanjutnya, pranawa suci OM (AUM) berawal dari huruf A yang bermakna Agni dan juga Brahma. Sementara U adalah Udaka yang bermakna Air yang juga Wisnu, sedangkan M berarti Marut, juga Bhayu yang juga Siwa.



Diakui Jro Mangku Danu, memang dalam puja mantram nama Brahma tidak disebut langsung, seperti halnya Dewa Siwa atau Wisnu. Akan tetapi setiap mamtram agar bertuah selalu diberkati oleh Brahma lewat kata Swaha. “Swaha adalah Sakti dari Agni yakni Brahma. Tanpa kata Swaha, mantram kehilangan tuahnya. Makanya, mantram diawali oleh OM ( AUM) dan ditutup dengan Swaha,” pungkas pamangku yang menekuni meditasi secara otodidak ini.

(bx/rin/yes/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/08/24/9520/menyingkap-misteri-dewa-brahma-jarang-dipuja

Mau Menikah, Padukan Wuku, Dina, dan Tanggal yang Baik

 


Setiap pasangan pengantin umumnya menginginkan saat yang terbaik dalam memilih tanggal pernikahannya. Tentu dengan tujuan agar kelak rumah tangganya berjalan harmonis, bahagia, dan lancar. Lantas, seperti apa pemilihan dewasa ayu yang tepat ?

Penyusun kalender Bali, DR Gede Sutarya menyampaikan, ada beberapa  hal yang harus diperhatikan untuk menentukan dewasa ayu yang bagus dalam penanggalan Bali. Di antaranya wuku, dina (hari), tanggal, dan sasih.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“Banyak hal yang harus diperhatikan, tidak boleh sembarangan kita memilih tanggal dan waktu untuk menikah. Jika kita salah memilih wuku atau sasih, maka akan berakibat fatal sepanjang pernikahan,” ujarnya.

Sutarya menjelaskan, yang harus ditentukan di awal adalah wuku. Banyak wuku dikategorikan baik untuk melaksanakan pernikahan, anatara lain wuku landep, ukir, kulantir, julungwangi, merakih, matal, uye, dan ugu. Sedangkan untuk menentukan dina atau hari yang baik untuk menikah adalah hari Senin, Rabu, Kamis, dan Jumat. 

“Hari senin identik dengan kebahagiaan bagi calon pengantin, hari rabu dikatakan sebagai hari yang sangat baik untuk menikah, lalu hari kamis dikatakan sebagai hari Kinasihaning Jana, yang artinya disayangi oleh masyarakat. Dan,  jumat dipercaya pengantin akan hidup mewah dan bahagia,” ujar nya.

Untuk pemilihan tanggal, Sutarya menyarankan beberapa tanggal yang baik untuk menikah, di antaranya ping 1, ping 2, ping 3, ping 5, ping 7, ping 10, dan ping 13. Ketujuh tanggal tersebut dikatakan sangat baik untuk menggelar pernikahan, karena masing – masing tanggal mengandung arti yang berbeda beda. “Jika memilih tanggal 1 pengantin dipercaya akan menemukan kebahagiaan, tanggal 13 hidupnya akan mewah dan bahagia selama masa perkawinan begitu juga tanggal – tanggal lainnya punya makna sendiri sendiri,” ujarnya.

Dalam pemilihan sasih, ia menekankan jika memungkinkan calon pengantin memilih sasih kadasa yang jatuh di akhir bulan Maret sampai dengan April. Karena pada sasih tersebut dikatakan paling memberi kebahagiaan pada para pengantin.

“Sasih yang baik sepanjang tahun adalah  Sasih kadasa, sasih kapat, sasih kapitu, sasih katiga, dan sasih kalima. Masing masing sasih memiliki keunggulan tersendiri,” ujarnya.



Sasih kalima umumnya jatuh di bulan November, sasih ini disebut juga sebagai Margasirsa. Pengantin yang memilih menikah di sasih ini dipercaya selama pernikahannya rezekinya lancar, hidupnya mewah. Sedangkan sasih katiga jatuh di bulan September atau disebut juga Asuji. Mereka yang memilih sasih ini dipercaya selama pernikahan akan dikaruniai banyak keturunan. Jika sasih kapat atau disebut juga Kartika, pernikahannya dipercaya akan murah rezeki. Di sasih kapitu yang jatuh Januari, umumnya pengantin akan langgeng hingga akhir hayat. Sedangkan mereka yang menggelar pernikahan di sasih kadasa, dipercaya akan berbahagia, sejahtera, dan langgeng.

“Dari dasar itulah, sasih kadasa dianggap sasih terbaik untuk melaksanakan pernikahan. Agar langgeng, sejahtera, dan dikaruniai banyak keturunan,”tandasnya. 

(bx/tya/yes/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2018/03/25/59736/mau-menikah-padukan-wuku-dina-dan-tanggal-yang-baik