Senin, 30 Mei 2022

Bhagavadgita Sifat Rohani Dan Sifat Jahat





Bhagavadgita Bab XVI - Sifat Rohani Dan Sifat Jahat

Bhagavad-gita 16.1-3
16.1-3 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; kebebasan dari rasa takut; penyucian kehidupan; pengembangan pengetahuan rohani; kedermawanan; mengendalikan diri; pelaksanaan korban suci; mempelajari veda; pertapan; kesederhanaan; tidak melakukan kekerasan; kejujuran; kebasan dari amarah; pelepasan ikatan; ketenangan; tidak mencari-cari kesalahan; kasih sayang terhadap semua mahkluk hidup; pembebasan dari loba; sifat lembut; sifat malu; ketabahan hati yang mantap; kekuatan; mudah mengampuni; sifat ulet; kebersihan; kebebasan dari rasa iri dan gila hormat- sifat-sifat rohani tersebut dimiliki oleh orang suci yang diberkati dengan sifat rohani, wahai putera Bharata.

Bhagavad-gita 16.4
16.4 Sikap bangga, sikap sombong, sikap tak peduli, amarah, sikap kasar, dan kebodohan-sifat-sifat ini dimiliki oleh orang yang bersifat jahat, wahai putera prtha.

Bhagavad-gita 16.5
16.5 Sifat rohani menguntungkan untuk pembebasan, sedangkan sifat jahat mengakibatkan ikatan. Wahai putera pandu, jangan khawatir, sebab engkau dilahirkan dengan sifat-sifat suci.

Bhagavad-gita 16.6
16.6 Wahai putera prtha, di dunia ini ada dua jenis makhluk yang diciptakan. Yang satu disebut suci dan yang lain jahat. Aku sudah menerangkan sifat-sifat suci kepadamu secara panjang lebar. Sekarang dengarlah dari-Ku tentang sifat-sifat jahat.




Bhagavad-gita 16.7
16.7 Orang jahat tidak mengetahui apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak seharusnya. Kebersihan, tingkah laku yang pantas dan kebenaran tidak dapat ditemukan dalam diri mereka.

Bhagavad-gita 16.8
16.8 Mereka mengatakan bahwa dunia ini tidak nyata, tidak ada dasarnya dan tidak ada Tuhan yang mengendalikan. Mereka mengatakan bahwa dunia ini dihasilkan dari keinginan untuk hubungan kelamin, dan tidak ada sebabnya selain nafsu birahi.

Bhagavad-gita 16.9
16.9 Dengan mengikuti kesimpulan-kesimpulan seperti itu, orang-orang jahat, yang sudah kehilangan dirinya dan tidak memiliki kecerdasan sama sekali, menekuni pekerjaan yang tidak menguntungkan dan mengerikan dimaksudkan untuk menghancurkan dunia.

Bhagavad-gita 16.10
16.10 Dengan berlindung kepada hawa nafsu yang tidak dapat dipuaskan, terlena dalam rasa sombong dan kemasyuran yang palsu, orang jahat yang berkhayal seperti itu selalu bertekad melakukan pekerjaan yang tidak bersih, sebab mereka tertarik kepada hal-hal yang tidak kekal.

Bhagavad-gita 16.11
Bhagavad-gita 16.12
16.11-12 Mereka percaya bahwa memuaskan indria-indria adalah kebutuhan utama peradaban manusia. Karena itu, sampai akhir hidupnya, kecemasan mereka tidak dapat diukur. Mereka diikat oleh jaringan beratus-ratus ribu keinginan dan terikat dalam hawa nafsu dan amarah. Mereka mendapat uang untuk kepuasan indria-indria dengan cara-cara yang melanggar hukum.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Bhagavad-gita 16.13
Bhagavad-gita 16.14

Bhagavad-gita 16.15
16.13-15 Orang jahat berpikir; “Sekian banyak kekayaan kumiliki hari ini, dan aku akan memperoleh kekayaan lebih banyak lagi menurut rencana-Ku. Sekian banyak kumiliki sekarang, dan jumlah itu bertambah semakin banyak pada masa yang akan datang. Dia musuhku, dan dia sudah kubunuh, dan musuh-musuhku yang lain juga akan terbunuh. Akulah penguasa segala sesuatu. Akulah yang menikmati. Aku sempurna, perkasa dan bahagia. Aku manusia yang paling kaya, diiringi oleh keluarga yang bersifat bangsawan. Tiada seorang pun yang seperkasa dan sebahagian diriku. Aku akan melakukan korban suci, dan memberi sumbangan, dan dengan demikian aku akan menikmati” Dengan cara seperti inilah, mereka dikhayalkan oleh kebodohan.

Bhagavad-gita 16.16
16-16 Dibingungkan oleh berbagai kecemasan seperti itu dan diikat oleh jala khayalan, ikatan mereka terhadap kenikmatan indria-indria menjadi terlalu keras dan mereka jatuh ke dalam neraka.

Bhagavad-gita 16.17
16.17 Malas dalam diri sendiri dan selalu kurang sopan, berkhayal karena kekayaan dan penghormatan palsu, kadang-kadang mereka melakukan korban suci secara bangga hanya dalam nama saja, tanpa mengikuti aturan dan peraturan sama sekali.

Bhagavad-gita 16.18
16. 18 Orang jahat dibingungkan oleh keakuan palsu, kekuatan, rasa bangga, hawa nafsu dan amarah sehingga mereka menjadi iri terhadap kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, yang bersemayam di dalam badan mereka sendiri dan juga di dalam badan orang lain, dan mereka menghina dharma yang sejati.

Bhagavad-gita 16.19
16.19 Orang yang iri dan nakal, manusia yang paling rendah, untuk selamanya kubuang ke dalam lautan kehidupan material, di dalam berbagai jenis kehidupan yang jahat.

Bhagavad-gita 16.20
16.20 Setelah dilahirkan berulang kali di tengah-tengah jenis-jenis kehidupan yang jahat, orang seperti itu tidak pernah dapat mendekatiku, wahai putera Kunti. Berangsur-angsur mereka merosot hingga mencapai jenis kehidupan yang paling menjijikan.

Bhagavad-gita 16.21
16.21 Ada tiga pintu gerbang menuju neraka tersebut-hawa nafsu, amarah, dan loba. Setiap orang waras harus meninggalkan tiga sifat ini, sebab tiga sifat ini menyebabkan sang roh merosot.

Bhagavad-gita 16.22
..16.22 Orang yang sudah bebas dari tiga gerbang neraka tersebut melakukan perbuatan yang menguntungkan untuk keinsafan diri dan dengan demikian berangsur-angsur ia mencapai tujuan yang paling utama, wahai putera Kunti.

Bhagavad-gita 16.23
16.23 Orang yang meninggalkan aturan kitab suci dan bertindak menurut kehendak sendiri tidak mencapai kesempurnaan, kebahagiaan maupun tujuan tertinggi.

Bhagavad-gita 16.24
16.24 Karena itu, seharusnya seseorang mengerti apa itu kewajiban dan apa yang bukan kewajiban menurut peraturan kitab suci. Dengan mengetahui aturan dan peraturan tersebut, hendaknya ia bertindak dengan cara supaya berangsu-angsur dirinya maju ke tingkat yang lebih tinggi.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Bhagavadgita Bentuk Semesta





Bhagavadgita Bab XI - Bentuk Semesta

Bhagavad-gita 11.1
11.1 Arjuna berkata; Dengan mendengar wejangan tentang mata pelajaran yang paling rahasia ini yang sudah Anda berikan kepada hamba atas kemurahan hati Anda, khayalan hamba sekarang sudah dihilangkan

Bhagavad-gita 11.2
11.2 O Krsna yang mempunyai mata seperti bunga padma, hamba sudah mendengar dari Anda secara terperinci tentang muncul dan menghilangnya setiap makhluk hidup dan hamba sudah menginsafi kebesaran Anda yang tidak pernah dibinasakan.

Bhagavad-gita 11.3
11.3 O kepribadian yang paling mulia, bentuk yang paling utama, walaupun hamba melihat Anda berdiri di sini di hadapan hamba dalam kedudukan Anda yang sejati, sesuai dengan uraian Anda tentang Diri Anda, hamba ingin melihat bagaimana Anda masuk dalam manifestasi alam semesta ini. Hamba ingin melihat bentuk Anda tersebut.

Bhagavad-gita 11.4
11.4 Kalau Anda berpikir hamba sanggup memandang bentuk semesta Anda, sudilah kiranya Anda memperlihatkan bentuk semesta Diri Anda yang tidak terhingga itu kepada hamba, o Tuhan yang hamba muliakan, penguasa segala kekuatan batin.

Bhagavad-gita 11.5
11.5 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Wahai Arjuna yang baik hati, wahai putera prtha, sekarang lihatlah kehebatan-Ku, beratus-ratus ribu jenis bentuk rohani yang berwarna-warni.

Bhagavad-gita 11.6
11.6 Wahai yang paling baik di antara para Bharatha, lihatlah di sini berbagai perwujudan para Aditya, vasu, Rudra, Asvini-kumara dan semua dewa lainnya. Lihatlah banyak keajaiban yang belum pernah dilihat atau didengar oleh siapapun sebelumnya.

Bhagavad-gita 11.7
11.7 Wahai Arjuna apapun yang ingin engkau lihat, lihatlah dengan segera dalam badan-Ku ini! Bentuk semesta ini dapat memperlihatkan kepadamu apapun yang engkau ingin lihat sekarang dan apapun yang engkau ingin lihat pada masa yang akan datang. Segala sesuatu- baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak-berada di sini secara lengkap, di satu tempat.




Bhagavad-gita 11.8
11.8 Tetapi engkau tidak dapat melihat-Ku dengan mata yang engkau miliki sekarang. Karena itu, Aku memberikan mata rohani kepadamu. Lihatlah kehebatan batin-Ku.

Bhagavad-gita 11.9
11.9 Sanjaya berkata; Wahai paduka Raja, sesudah bersabda demikian, Tuhan Yang Mahakuasa, penguasa segala kekuatan batin, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, memperlihatkan bentuk semesta-Nya kepada Arjuna.

Bhagavad-gita 11.10
Bhagavad-gita 11.11
11.10-11 Dalam bentuk semesta itu, Arjuna melihat mulut-mulut yang tidak terhingga, mata yang tidak terhingga, dan wahyu-wahyu ajaib yang tidak terhingga. Bentuk tersebut dihiasi dengan banyak perhiasan rohani dan membawa banyak senjata rohani yang diangkat. Beliau memakai kalung rangkaian bunga dan perhiasan rohani, dan banyak jenis minyak wangi rohani dioleskan pada seluruh badan-Nya. Semuanya ajaib, bercahaya, tidak terbatas dan tersebar kemana-mana.

Bhagavad-gita 11.12
11.12 Kalau beratus-ratus ribu matahari terbit di langit pada waktu yang sama, mungkin cahayanya menyerupai cahaya dari kepribadian yang paling utama dalam bentuk semesta itu.

Bhagavad-gita 11.13
11.13 Pada waktu itu, dalam bentuk semesta Tuhan, Arjuna dapat melihat perwujudan-perwujudan alam semesta yang tidak terhingga terletak di satu tempat walaupun dibagi menjadi beribu-ribu.

Bhagavad-gita 11.14
11.14 Kemudian Arjuna kebingungan dan kagum, dan bulu romanya tegak berdiri. Arjuna menundukkan kepalanya untuk bersujud, lalu mencakupkan tangannya dan mulai berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Bhagavad-gita 11.15
11.15 Arjuna berkata; Sri Krsna yang hamba muliakan, di dalam badan Anda hamba melihat semua dewa dan berbagai jenis makhluk hidup yang lain. Hamba melihat Brahma duduk di atas bunga padma, bersama Dewa Siva, semua resi dan naga-naga rohani.

Bhagavad-gita 11.16
11.16 O penguasa alam semesta, o bentuk semesta, di dalam badan Anda hamba melihat banyak lengan, perut, mulut dan mata, tersebar ke mana-mana, tanpa batas,. Hamba tidak dapat melihat akhir, pertengahan, maupun awal di dalam Diri Anda.

Bhagavad-gita 11.17
11.17 Bentuk Anda sulit dilihat karena cahaya-Nya yang menyilaukan, tersebar ke segala sisi, seperti api yang menyala atau cahaya matahari yang tidak dapat diukur. Namun hamba melihat bentuk ini yang bernyala di mana-mana dihiasi dengan berbagai jenis mahkota, gada, dan cakra.

Bhagavad-gita 11.18
11.18 Anda adalah tujuan pertama yang paling utama. Andalah sandaran utama seluruh jagat ini. Anda tidak dapat dimusnahkan, dan Andalah yang paling Tua. Andalah pemelihara dharma yang kekal, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Inilah pendapat hamba.

Bhagavad-gita 11.19
11.19 Anda tidak berawal, tidak ada masa pertengahan bagi Anda dan Anda tidak berakhir. Kebesaran Anda tidak terhingga. Jumlah lengan Anda tidak terbilang. Matahari dan bulan adalah mata Anda. Hamba melihat Anda dengan api yang bernyala keluar dari mulut Anda. Anda sedang membakar seluruh jagat ini dengan cahaya pribadi Anda.

Bhagavad-gita 11.20
11.20 Walaupun Anda adalah satu, Anda berada di mana-mana di seluruh angkasa, planet-planet dan antariksa antar planet-planet. O kepribadian yang Mulia dengan melihat bentuk yang mengagumkan dan mengerikan ini, semua susunan planet goyah.

Bhagavad-gita 11.21
11.21 Semua kelompok dewa menyerahkan diri di hadapan Anda dan masuk ke dalam diri Anda. Beberapa di antaranya sangat ketakutan dan mereka mempersembahkan doa pujian sambil mencakupkan tangannya. Banyak resi yang mulia dan makhluk-makhluk yang sempurna yang sedang berseru, “semoga ada segala kedamaian!” sedang berdoa kepada Anda dengan menyanyikan mantra-mantra veda.

Bhagavad-gita 11.22
11.22 Segala manifestasi dari Dewa Siva, para Aditya, para vasu, para Sandya, para Visvedeva, dua Asvi, para Marut, para Leluhur, para Gandharva, para Yaksa, para Asura dan dewa-dewa yang sempurna memandang Anda dengan rasa kagum.

Bhagavad-gita 11.23
11.23 O kepribadian yang berlengan perkasa, semua planet dengan dewa-dewanya goyah ketika melihat bentuk Anda yang maha Agung, dengan banyak muka, mata, lengan, paha, kaki, dan perutnya, dan banyak gigi Anda yang mengerikan; karena itu, mereka goyah, dan hamba juga goyah.

Bhagavad-gita 11.24
11.24 O Visnu yang berada di mana-mana, ketika hamba melihat Anda dengan berbagai warna Anda yang bercahaya dan menyentuh langit, mulut-mulut Anda yang terbuka lebar dan mata Anda yang besar dan menyala, pikiran hamba goyah karena rasa takut. Hamba tidak dapat memelihara sikap mantap maupun keseimbangan pikiran lagi.

Bhagavad-gita 11.25
11.25 O penguasa para dewa, pelindung dunia-dunia, mohon memberi karunia kepada hamba. Hamba tidak dapat memelihara keseimbangan ketika melihat Anda seperti ini dengan wajah-wajah Anda yang menyala seperti maut dan gigi yang mengerikan. Di segala arah hamba kebingungan.

Bhagavad-gita 11.26
Bhagavad-gita 11.27
11.26-27 Semua putera Dhrtarastra, bersama raja-raja yang bersekutu dengan mereka, Bhisma, Drona, Karna dan – semua pemimpin kesatria di pihak kita – lari masuk ke dalam mulut-mulut Anda yang mengerikan. Hamba melihat beberapa di antaranya tersangkut dengan kepala-kepalanya hancur di antara gigi-gigi Anda.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Bhagavad-gita 11.28
11.28 Bagaikan ombak-ombak banyak sungai mengalir ke dalam lautan, seperti itu pula semua kesatria yang hebat ini menyala dan masuk ke dalam mulut-mulut Anda.

BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Bhagavadgita Bab XVII - Golongan - Golongan Keyakinan


Bhagavad-gita 11.29
11.29 Hamba melihat semua orang lari dengan kecepatan penuh ke dalam mulut-mulut Anda, bagaikan kupu-kupu yang terbang menuju kehancuran di dalam api yang menyala.

Bhagavad-gita 11.30
11.30 O Visnu, hamba melihat Anda menelan semua orang dari segala sisi dengan mulut-mulut Anda yang mengeluarkan banyak api. Anda menutupi seluruh alam semesta dengan cahaya Anda, Anda terwujud dengan sinar-sinar yang mengerikan dan menganguskan.

Bhagavad-gita 11.31
11.31 O penguasa semua dewa, yang mempunyai bentuk yang begitu ganas, mohon beritahukan kepada hamba siapa Anda? Hamba bersujud kepada Anda; mohon memberi karunia kepada hamba. Anda adalah Tuhan Yang Maha Esa yang asli. Hamba ingin mengetahui tentang Anda, sebab hamba tidak mengetahui apa maksud Anda.

Bhagavad-gita 11.32
11.32 Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Aku adalah waktu, penghancur besar dunia-dunia, dan Aku datang ke sini untuk menghancurkan semua orang. Kecuali kalian [para Pandava], semua kesatria di sini dari kedua belah pihak akan terbunuh.


Bhagavad-gita 11.33
11.33 Karena itu, bangunlah. Siap-siap untuk bertempur dan merebut kemasyuran. Kalahkanlah musuhmu dan menikmati kerajaan yang makmur. Mereka sudah dibunuh oleh apa yang telah Ku-atur, dan engkau hanya dapat menjadi alat dalam pertempuran, wahai Savyasaci.

Bhagavad-gita 11.34
11.34 Drona, Bhisma, Jayadratha, Karna, dan kesatria-kesatria besar lainnya sudah Ku-hancurkan. Karena itu, bunuhlah mereka dan jangan merasa goyah. Bertempur saja, dan engkau akan memusnahkan musuh-musuhmu dalam pertempuran.

Bhagavad-gita 11.35
11.35 Sanjaya berkata kepada Dhrtarastra; wahai Baginda Raja, sesudah mendengar kata-kata ini dari kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Arjuna yang sedang gemetar menghaturkan sembah sujud berulang kali dengan mencakupkan tangannya. Hati Arjuna penuh rasa takut dan dia berkata kepada Sri Krsna dengan suara yang tersendat-sendat, sebagai berikut.

Bhagavad-gita 11.36
11.36 Arjuna berkata; O penguasa indria-indria, dunia menjadi riang dengan mendengar nama Anda, dan dengan demikian semua orang menjadi terikat kepada Anda. Kendatipun makhluk-makhluk sempurna bersujud kepada Anda dengan hormat, para raksasa ketakutan sehingga mereka lari ke sana ke mari. Segala hal ini memang patut terjadi.

Bhagavad-gita 11.37
11.37 O Yang Mahabesar, lebih tinggi daripada Brahma, Anda adalah pencipta yang asli. Karena itu, bukankah seyogyanya mereka bersujud dengan hormat kepada Anda? O kepribadian yang tidak terhingga, Tuhan yang disembah oleh semua dewa, pelindung alam semesta! Anda adalah sumber yang tidak dapat dikalahkan, sebab segala sebab, yang melampaui manifestasi alam material ini.

Bhagavad-gita 11.38
11.38 Anda adalah kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, yang paling tua, pelindung utama alam semesta yang terwujud. Andalah yang Mahatahu, dan Andalah segala sesuatu yang dapat diketahui. Andalah pelindung tertinggi, Anda berada di atas sifat-sifat material. O bentuk yang tidak terhingga Anda berada di mana-mana di seluruh manifestasi alam semesta ini!

Bhagavad-gita 11.39
11.39 Andalah udara, dan Andalah Yang Mahakuasa! Anda adalah api, Anda adalah air, dan Anda adalah bulan! Anda adalah Brahma, makhluk hidup yang pertama, Anda adalah kakek moyang semua makhluk. Karena itu hamba bersujud dengan hormat kepada Anda seribu kali, kemudian berulang kali lagi.

Bhagavad-gita 11.40
11. 40 Hamba bersujud kepada Anda dari depan, dari belakang dan dari segala sisi! O kekuatan yang tidak terbatas, Anda penguasa kewibawaan yang tidak terhingga! Anda berada di mana-mana, karena itu Andalah segala sesuatu!

Bhagavad-gita 11.41
Bhagavad-gita 11.42
11.41-42 Oleh karena hamba menganggap Anda sebagai kawan, hamba terlalu berani dan menyapa kepada Anda “hai krsna”, “hai yadava”, “hai kawanku,” tanpa mengetahui kebesaran Anda. Mohon mengampuni apapun yang sudah hamba lakukan karena kebodohan atau karena cinta kasih. Berulang kali hamba kurang hormat kepada Anda, bercanda pada waktu kita sedang istirahat, berbaring di ranjang yang sama, duduk atau makan bersama-sama kadang-kadang sendirian, dan kadang-kadang di depan banyak kawan. O kepribadian yang tidak pernah gagal, ampunilah segala kesalahan itu yang hamba lakukan.

Bhagavad-gita 11.43
11.43 Anda adalah ayah seluruh manifestasi alam semesta ini, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Anda adalah pemimpin jagat yang patut disembah, guru kerohanian yang paling utama. Tiada seorang pun yang sejajar dengan Anda, dan tidak mungkin seseorang bersatu dengan Anda. Karena itu, bagaimana mungkin ada seseorang yang lebih agung daripada Anda di dalam seluruh tiga dunia ini, o penguasa yang memiliki kekuatan yang tidak terhingga.

Bhagavad-gita 11.44
11 44 Anda adalah Tuhan Yang Maha Esa yang patut disembah oleh setiap makhluk hidup. Karena itu, hamba bersujud dengan hormat kepada Anda dan mohon karunia Anda. Seperti halnya seorang ayah membiarkan keberanian puteranya, seorang kawan membiarkan sikap kurang sopan dari kawannya, atau seorang istri membiarkan sikap akrab suaminya, mohon memaafkan kesalahan yang mungkin hamba lakukan terhadap Anda.

Bhagavad-gita 11.45
11.45 Sesudah melihat bentuk semesta ini yang belum pernah hamba lihat sebelumnya, hamba goyah karena ketakutan. Karena itu, mohon memberi karunia Anda kepada hamba dan sekali lagi memperlihatkan bentuk Anda sebagai kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, o Tuhan yang disembah oleh semua dewa, pelindung alam semesta.

Bhagavad-gita 11.46
11.46. o bentuk semesta, Tuhan Yang Maha Esa yang berlengan seribu, hamba ingin melihat Anda dalam bentuk Anda yang berlengan empat, dengan mahkota pada kepala Anda dan gada, cakra, kerang, dan bunga padma pada tangan-tangan Anda. Hamba ingin melihat Anda dalam bentuk itu.

Bhagavad-gita 11.47
11.47 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Arjuna yang baik hati, atas kekuatan dalam dari Diri-Ku, dengan senang hati bentuk semesta yang paling utama di dunia material sudah kuperlihatkan kepadamu. Sebelum engkau, belum pernah ada orang yang melihat bentuk yang abadi ini, yang tidak terhingga dan penuh cahaya yang menyilaukan.

Bhagavad-gita 11.48
11.48 Wahai kesatria kuru yang paling baik, sebelum engkau, belum pernah ada orang yang melihat bentuk semesta-Ku ini, sebab Aku tidak dapat dilihat dalam bentuk ini di dunia material. Baik melalui cara mempelajari veda, melakukan korban suci, kedermawanan, kegiatan saleh, maupun pertapaan yang keras.


Bhagavad-gita 11.49
11.49 Engkau sudah menjadi goyah dan bingung dengan melihat ciri-Ku yang mengerikan ini. Sekarang itu semua akan berakhir. Penyembah-Ku, sekarang engkau bebas lagi dari segala gangguan. Dengan pikiran yang tenang, sekarang engkau dapat melihat bentuk yang engkau inginkan.

Bhagavad-gita 11.50
11.50 Sanjaya berkata kepada Drtarastra; setelah kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Krsna bersabda seperti itu kepada Arjuna, Beliau memperlihatkan bentuknya yang sejati yang berlengan empat, dan akhirnya memperlihatkan bentuknya yang berlengan dua. Dengan demikian, Beliau memberi semangat kepada Arjuna yang sedang ketakutan.

Bhagavad-gita 11.51
11.51 Ketika Arjuna melihat Krsna seperti itu dalam bentuk-Nya yang asli, dia berkata; o Janardana, dengan melihat bentuk ini yang seperti manusia dan sangat tampan, pikiran hamba sudah tenang, dan hamba kembali pada sifat hamba yang asli.

Bhagavad-gita 11.52
11.52 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Arjuna yang baik hati, bentuk-Ku yang sedang engkau lihat sulit sekali dipandang. Para dewa pun senantiasa mencari kesempatan untuk melihat bentuk ini yang sangat tercinta.

Bhagavad-gita 11.53
11.53 Bentuk yang sedang engkau lihat dengan mata rohanimu tidak dapat dimengerti hanya dengan mempelajari veda, melakukan pertapaan yang serius, melalui kedermawanan maupun sembahyang. Bukan dengan cara-cara ini seseorang dapat melihat Aku dalam bentuk-Ku yang sebenarnya.

Bhagavad-gita 11.54
11.54 Arjuna yang baik hati, hanya melalui bhakti yang murni dan tidak dicampur dengan kegiatan yang lain Aku dapat dimengerti menurut kedudukan-Ku yang sebenarnya, yang sedang berdiri di hadapanmu, dan dengan demikian Aku dapat dilihat secara langsung. Hanya dengan cara inilah engkau dapat masuk ke dalam rahasia pengertian-Ku.

Bhagavad-gita 11.55
11.55 Arjuna yang baik hati, orang yang menekuni bhakti yang murni kepada-Ku, bebas dari pengaruh kegiatan yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil atau pahala dan pengaruh angan-angan, yang bekerja demi-Ku, menjadikan Aku sebagai tujuan utama dalam hidupnya, dan ramah terhadap semua makhluk-dia pasti datang kepada-Ku.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Minggu, 29 Mei 2022

Benarkah Sugihan Jawa-Bali Terkait Asal Orang Bali?

 



BALI EXPRESS, DENPASAR – Enam hari menjelang Hari Raya Galungan, umat Hindu mengadakan upacara yang disebut Sugian. Dalam pelaksanaannya, Sugihan dibagi menjadi dua waktu berbeda, yakni Sugihan Jawa pada Wheraspati wage sungsang, sedangkan Sugihan Bali pada Jumat kliwon wuku sungsang. Lantas, benarkah yang merayakan Sugihan Bali adalah keturunan Bali asli, sedangkan yang melaksanakan Sugihan Jawa keturunan pelarian Majapahit?

Secara umum Sugihan Jawa dan Bali, pelaksanaannya dilakukan sebagai simbolisasi pembersihan alam semesta (Bhuana Agung) hingga Bhuana Alit, sehingga pelaksanaan Galungan berjalan sesuai dengan harapan, terwujudnya harmonisasi alam semesta beserta isinya.

Jika dilihat dari arti katanya, Sugian Jawa berasal dari urat kata Sugi, yang artinya membersihkan, dan Jawa artinya luar. Jadi, Sugihan Jawa dapat diartikan sebagai suatu upacara yang berfungsi untuk membersikan Bhuana Agung atau alam semesta (makrokosmos), baik sekala maupun niskala. Sedangkan Sugihan Bali, disebutkan berasal dari kata ‘wali’ yang artinya ‘bagian dalam’. Secara harfiah, artinya ‘pembersihan bagian dalam diri manusia’ (pembersihan dari dalam diri sendiri).



Dalam Lontar Sundarigama dijelaskan, ketika Wuku Sungsang, yakni Kamis Wage Sungsang dinamakan Parerebwan atau disebut juga Sugihan Jawa. Dalam lontar tersebut juga dijelaskan pula mengapa hari itu disebut Sugihan Jawa. “Mitos yang selama ini berkembang di masyarakat itu, tidak sepenuhnya benar. Bukan karena hari khusus bagi mereka yang berasal dai Jawa Majapahit,” ujar Sastrawan yang juga Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr.Drs.I Nyoman Suarka, M. Hum, ketika ditemui Bali Express ( Jawa Pos Group) di sela – sela seminar Calonarang di Art Center pekan lalu.

Dijelaskan Suarka, latar belakang dinamakan Sugihan Jawa karena merupakan hari suci bagi para Bhatara untuk melakukan rerebu di Sanggar dan di Parhyangan, disertai pangraratan dan pangresikan untuk Bhatara serta kembang wangi.

Menurutnya, hari yang jatuh pada Kamis Wage, Wuku Sungsang tersebut sangat baik digunakan untuk kegiatan spiritual. “Hari itu adalah hari di mana para Bhatara dan Sasuhunan kita pulang, dan turun ke dunia. Bagi yang mengetahui, pasti mereka akan memanfaatkannya untuk melaksanakan meditasi dan kegiatan spiritual lainnya. Karena secara niskala dalam lontar dikatakan itu adalah hari yang sangat baik,” ujar Suarka.

Bahkan, dalam Lontar Sundarigama dipaparkan, Sungsang, wrehaspati wage ngaran parerebwan, sugyan jawa kajar ing loka, katwinya sugyan jawa ta ngaran, apan pakretin bhatara kabeh arerebon ring sanggar mwang ring parhyangan, dulurin pangraratan, pangresikan ring bhatara, saha puspa wangi. Kunang wwang wruh ing tatwa jnana, pasang yoga, sang wiku anggarga puja, apan bhatara tumurun mareng madyapada, milu sang dewa pitara, amukti banten anerus tekeng galungan

“ Jelas diuraikan, tentang betapa murninya hari itu. Karena Bhatara turun ke dunia diiringi dewa serta leluhur untuk ikut menikmati sesajen persembahan umat, hingga sampai pada hari Galungan,” ujarnya.


Ia juga menjelaskan, dalam Lontar Sundarigama, Sugihan Jawa diartikan sebagai pasucian dewa kalinggania pamrastista Bhatara kabeh (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua Bhatara). Sedangkan Sugihan Bali bermakna, Kalinggania amrestista raga tawulan, yang artinya oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-masing (mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan atau panglukatan.

Jika ditarik garis perbedaannya, Sugihan Jawa dan Bali sama – sama hari yang dtujukan sebagai hari pembersihan dalam rangka menyambut Hari Raya Galungan sebagai hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Perbedaannya terletak dalam filosofi maknanya.

“Jadi, di hari Sugihan Jawa kita semua diajarkan untuk melakukan ritual pembersihan di eksternal diri kita, pembersihan palinggih atau tempat-tempat suci yang digunakan sebagai tempat pemujaan,” ungkapnya.

Selain itu, ia menambahkan, pembersihan bisa dilakukan dengan melakukan pacaruan ekasata di rumah masing-masing. Bila tidak sempat melakukan pacaruan, maka cukup dengan bungkak nyuh gading yang dipercikkan ke semua penjuru rumah atau pekarangan yang sebelumnya sudah dihaturkan agar dapat menjadikan rumah dan lingkungan menjadi bersih.

Sedangkan Sugihan Bali adalah panyucian Bhuana Alit atau diri sendiri (mikrokosmos), sehingga bersih dari perbuatan-perbuatan yang ternoda atau pembersihan lahir dan batin. Pembersihan dapat dilakukan dengan panglukatan, sarananya dapat menggunakan bungkak nyuh gading. Dengan adanya kesucian lahir dan batin itu, umat lebih bisa memaknai Hari Suci Galungan, sebagai kemenangan dharma. Umumnya Sugihan jatuh pada hari yang berbeda. Sugihan Bali dilaksanakan keesokan hari setelah Sugihan Jawa.

Ketika ditanya, Apakah dilaksanakan salah satu atau keduanya secara bergiliran? Sastrawan Jawi Kuno ini mengatakan, dalam mitologi Bhutakala diceritakan bahwa dalam menyambut hari Raya Galungan, Dewa Siwa menugaskan para Bhuta untuk menggoda manusia. Untuk mencegah hal itu, disarankan untuk melakukan pembersihan Bhuana Agung pada Sugihan Jawa dan pembersihan diri sendiri (Bhuana Alit) pada Sugihan Bali. Dengan begitu, akan mampu lebih menjauhkan diri dari godaan para Bhuta yang dapat merugikan diri.

Sehingga, pada Hari Galungan nanti akan lebih mampu memahami akan arti kemenangan dharma melawan adharma. “ Ya sebaiknya dilaksanakan keduanya. Ini kan pembersihan Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Jika hanya dilaksanakan salah satunya, tentu akan terasa kurang. Ini bukan lagi soal asal usul kita, tapi soal pembersihan kita menyambut Hari Raya Galungan,” ujarnya.

Bebantenan dan Tatacara Upacara Sugihan

Berdasarkan Lontar Sundarigama, Sugihan Jawa diartikan sebagai pasucian dewa, yakni hari panyucian semua Bhatara. Apa saja bebantenan yang digunakan dalam melaksanakan Sugihan Jawa?

Dalam Lontar Sundarigama dijelaskan bebantenan yang digunakan adalah Banten Pangresikan, yaitu Pabyakaonan, Durmanggala, Prayascita dan Pangulapan. Banten Pasucian, Wangi – wangian,Tigasan, Toya(Tirta), Sesayut,Tutwan, Sodan (Rayunan).

Sesuai Lontar Sundarigama, banten tersebut dihaturkan di merajan serta lingkungan rumah tempat tinggal.

“Banten itu sesungguhnya sebagai simbolis saja, simbol dari pembersihan Bhuana Agung, yang dilanjutkan dengan malukat keesokan harinya. Sebagai simbol dari pembersihan bhuana Alit. Jadi baiknya harus dilakukan keduanya secara beriringan,” ujar Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr.Drs.I Nyoman Suarka, M. Hum.

(bx/tya/yes/JPR) –sumber


Makna dan Ritual Saat Hari Pemacekan Agung

 



BALI EXPRESS, DENPASAR – Pemacekan Agung adalah hari raya umat Hindu sebagai pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Prameswara, yang dirayakan setiap Soma Kliwon Wuku kuningan. Hal itu dilaksanakan dengan menghaturkan yadnya untuk memohon keselamatan.

“Sore hari (sandikala) menghaturkan segehan di halaman rumah dan di muka pintu pekarangan rumah yang ditujukan kepada Sang Kala Tiga Galungan beserta pengiringnya agar kembali dan memberi keselamatan,” ujar Dekan Fakultas Pendidikan Agama dan Seni UNHI, Dr. I Made Yudabakti, S.sp, M.Si yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group).

Lebih lanjut dijelaskan, kata Pemacekan Agung berasal dari kata Pacek yang dapat diberikan arti Tapa. Sedangkan kata Agung berarti kuat atau teguh. Dengan demikian, makna pelaksanaan hari suci Peemacekan Agung yakni karena telah kuat tapanya para umat Hindu terhadap godaan Sang Kala Tiga, sehingga Sang kala Tiga dapat di-somya dan kembali ke sumbernya.


Pemacekan Agung jatuh pada hari kelima setelah perayaan Hari Suci Galungan Pemacekan berarti ‘saat menancapkan sesuatu’ dan kata Agung berarti ‘besar, mulia, utama’. Secara filosofis Pemacekan Agung mengandung makna, bahwasanya hari ini manusia diingatkan agar ‘kemenangan’ yang telah ia peroleh melalui pertempuran melawan adharma dijadikan sebagai ‘tonggak’ kebangkitan kesadaran diri, sebagai ‘pengukuhan’ komitmen untuk selalu menjaga martabat kemanusiaan, dan menghindarkan diri dari ‘momo angkara’.

Di lain pihak, Ida Pedanda Gde Menara Putra Kekeran yang saat walaka bernama Drs Ida Bagus Sudarsana, menjelaskan, pada hari Suci Pemacekan Agung umat Hindu melaksanakan upacara kecil, berupa menghaturkan banten soda pada masing-masing palinggih dan melaksanakan persembahyangan sampai selesai metirtha. Sesudah selesai metirtha sebagian tirtha tadi diperciki ke seluruh pekarangan pemerajan dan perumahan.

Hal itu tiada lain adalah untuk menetralisir pengaruh Sang Kala Tiga. Etika dalam melaksanakan Pemacekan Agung adalah dengan memerciki tirtha ke arah Ngider Kiwa. Kemudian menghaturkan segehan agung di lebuh yang disertakan dengan api takep, tetabuhan arak berem. Dengan demikian selesailah pelaksanaan Hari pemacekan Agung.

Dalam lontar Dharma Kahuripan disebutkan: “Pamacekan Agung nga, panincepan ikang angga sarira maka sadhanang tapasya ring Sanghyang Dharma” (Pemacekan Agung, namanya demikian adalah pemusatan diri dengan sarana tapa kepada Sanghyang Dharma). Pemacekan Agung adalah sebuah ‘tapasya’ atau janji diri untuk selalu mengedepankan dharma dalam setiap tindak-tanduk kita mengisi hidup-sehingga kemenangan yang telah kita raih tidak tersapu oleh godaan ahamkara.

Pemacekan Agung adalah saat dimana panji-panji dharma ditancapkan dan ditegakkan. “Sehingga semua bentuk musuh baik yang berasal dari luar diri, pun yang bersumber dari dalam diri tidak memiliki kesempatan dan kekuatan melemahkan jati diri kita sebagai manusia (manusa sane masesana),” katanya.

(bx/gus /ima/yes/JPR) –sumber


Jumat, 27 Mei 2022

Sistem Ulu Apad

 

adalah pembagian tugas adat yang terdiri dari 6 tingkatan yang terbagi menjadi dua sisi yaitu sisi kanan dan sisi kiri atau Kebot Tengawan. Sistem ini dipimpin oleh Jero Kubayan .
Jero Kubayan yang bertugas sebagai pemimpin segala upacara Jero Kebawu tugasnya sama seperti Jero Kubayan menghaturkan persembahyangan hanya sifatnya sebagai pengganti apabila Jero Kubayan berhalangan,
Jero Singgukan sebagai asisten Jero Kubayan dalam jalannya upacara,
Juru Saih Nem (Ke-6 juru).
Selanjutnya 3 di bawahnya ini ada
Jero Penyarikan mengurus ternak-ternak peliharaan,
Juru Pemalungan sebagai juru balungan,
Juru Penguan bertugas membuat sarana upakara di Pura,
Hal yang menarik dari Sistem Ulu Apad ini adalah sistem pergantian jabatan yang ditentukan apabila salah satu pewaris ke-6 Ulu Apad tersebut menikah,


Contohnya :apabila putra dari Jero Kubayan menikah maka Jero Kebawu naik tingat menjadi Jero Kubayan, dan putra dari Jero Kubayan sebelumnya yang mengisi posisi paling bawah, begitu juga berlaku untuk putra-putra dari ke-6 Ulu Apad tersebut, jadi dapat dikatakan tugas seorang Jero Kubayan berakhir apabila anaknya sudah menikah.
pada sistem Ulu Apad jika anaknya sudah menikah maka yang orang tua anak tersebut akan pensiun, jika sudah menikah jero yang dibawah naik menjadi Jero Kubayan begitu seterusnya diikuti dengan kedudukan – kedudukan dibawahnya, bisa juga berganti jika salah satunya meninggal,

JENIS PAMANGKU




 Menurut Lontar Raja Purana Gama. Ekajati yang tergolong pamangku dibedakan jenisnya, sesuai dengan tempat dan kedudukannya, dimana beliau ini melaksanakan tugasnya, yaitu:

1. Pamangku Kahyangan (Pemangku Kusuma Dewa) Pamangku Kahyangan adalah Pamangku yang bertugas pada Kahyangan yang meliputi Kahyangan Tiga, Kahyangan Jagat maupun Sad Kahyangan. Masing-¬masing pura ini memiliki seorang atau lebih Pamangku pemucuk dan mengemban tugas dan bertanggung jawab terhadap segala kegiatan pada pura yang, diemongnya. Selain itu memahami tentang keberadaan pura serta upacara dan upakara yang semestinya dilaksanakan. Pemangku tersebut sering juga disebut Mangku Gde/Mangku Pemucuk. Seperti Pemangku Desa, Dalem, Puseh serta sesungsungan desa lainnya, Kahyangan Jagat serta. Dangkahyangan.

2. Pamangku Pamongomong (Pembantu Pemangku Kusuma Dewa) Pamangku Pamongmomg juga disebut dengan sebutan Jro Bayan, atau dengan sebutan Mangku alit, yang memiliki tugas sebagai pebantu dari Pemangku Gde di suatu pura, yang sering juga disebut Pamangku alit, dengan tugas pokok mengatur tata pelaksanaan dan jalannya upacara, dan hal-hal lainnya sesuai dengan perintah Pemangku Gde.

3. Pamangku Jan Banggul Pamangku Jan Banggul juga disebut dengan sebutan Jro Bahu, disebut juga Pamangku alit, yang bertugas sebagai pembantu Pemangku Gde, dalarn menghaturkan atau ngunggahang bebanten, menurunkan arca pratima, memasang bhusana pada pelingih, nyiratan wangsuh pada dan memberikan bija kepada umat yang sembahyang, serta hal-hal lainnya sesuai dengan perintah / waranuggraha Pemangku Gde pada pura tersebut.


4. Pamangku Cungkub Pamangku Cungkub yaitu: Pamangku yang bertugas di Mrajan Gde yang memiliki jumlah Palinggih sebanyak sepuluh buah atau lebih.

5. Pamangku Nilarta Pamangku Nilarta adalah Pamangku yang bertugas pada pura yang berstatus sebagai pura Kawitan atau pura Kawitan dari keluarga tertentu.

6. Pamangku Pandita Pamangku Pandita memiliki tugas muput yadnva seperti Pandita. Adanya Pemangku jenis ini didasarkan atas adanya tradisi atau purana pada daerah tertentu yang tidak diperkenankan menggunakan pemuput Pandita. Sehingga segala tugas, menyangkut pelaksanaan Panca Yadnya diselesaikan oleh pemangku tersebut, dengan mohon tirtha pamuput dengan jalan nyelumbung.

7. Pamangku Bhujangga Pamangku Bhujangga adalah pamangku yang bertugas pada pura yang berstatus sebagai paibon.

8. Pamangku Balian Pamangku ini hanya bertugas melaksanakan swadharma Balian, dapat nganteb upacara atau upakara hanya yang berhubungan pengobatan terhadap pasiennya.

9. Pamangku Dalang Pamangku yang melaksanakan swadharma sebagai Dalang, dapat nganteb upacara atau upakara yang hanya berhubungan dengan swadharma Pedalangannya saja, seperti mabayuh pawetonan atau Nyapuh Leger.

10. Pamangku Tapakan / lancuban Pamangku ini hanya bertugas apabila pada suatu pura melaksanakan kegiatan nyanjan atau nedunan Bhatara nunas bawos, untuk kepentingan pura tersebut untuk, memohon petunjuk, dari dunia niskala.

11. Pamangku Tukang Pamangku ini juga disebut Pamangku Undagi, pamangku yang paham akan ajaran Wiswakarma serta segala pekerjaan tukang, seperti Undagi, Sangging, Pande dan sejenisnya, dapat nganteb upacara atau upakara hanya sebatas yang berhubungan dengan tugas beliau sebagai tukang.

12. Pamangku Sang Kulputih Pamangku Sang Kulputih swadharmanya sebagai pemangku yang memakai gagelaran Sang Kulputih dalam pemujaannya.

13. Pamangku Sang Kulpine Pamangku yang memakai gagelaran Sang Kulputih dan Kusuma Dewa dalam swadharmanya sebagai pembantu Pamangku Sang Kulputih.

14. Pamangku Kortenu, Pamangku Kortenu adalah Pemangku yang bertugas di Pura Prajapati, selain nganteb di Pura yang di emongnya, juga dapat nganteb upacara yang berhubungan dengan Pitra Yadnya, seperti Ngulapin Pitra pada saat akan melaksanakan upacara Atiwa-tiwa dan lain sebagainya.

Kamis, 26 Mei 2022

DEVI UMA




 DEVI UMA adalah dari Sakti Deva Siva diberi nama sesuai dengan perwujudannya yang ganda, yaitu berwujud “santa” atau tenang, dan bersifat “raudra” atau “krodha”.

Ketika dalam wujud santa, sakti Deva Siva ini disebut dengan Parvati, yaitu seorang devi dengan penuh kecantikan dan kasih sayang. Selain disebut dengan Parvati, juga disebut dengan Devi Uma atau dewi Kedamaian.

Didalam kitab Purana disebutkan Devi Parvati pada penjelmaan pertamanya adalah Daksayani, yaitu putri dari Daksa dan Prasuti dan menikah dengan Siva. Karena tidak mampu memahami keagungan Siva, Daksa memakinya dan mulai membencinya. Ketika Daksa melakukan suatu upacara Yajna Agung, salah satu tamu yang tak diundang adalah Siva. Sangat bertentangan dengan saran pasangannya, Daksayani pergi ke tempat upacara tanpa diundang dan mengakhiri hidupnya dengan membakar diri dalam api yoga. Oleh sebab itu, kemudian ia dikenal dengan sebutan Sati yang tak berdosa.


Berikutnya dia terlahir kembali menjadi Parvati, putri dari Himawan dan Mena. Setelah melakukan tapa yang mendalam, dia mampu menyenangkan Siva dan membuat Siva dapat menerimanya kembali sebagai pendampingnya.
Selama Parvati melakukan pertapaan, dia menolak untuk makan dan minum, walau daun kering sekalipun. Sehingga dia memperoleh penampakan Aparna Ibunya Mena yang tidak tega menyaksikan putri kesayangannya menderita dalam melakukan tapa, dan berusaha mencegahnya dengan kata-kata “Uma, sayangku janganlah berbuat seperti ini” yang kemudian nama Uma menjadi nama lainnya.

Seperti pendamping Siva, Parvati juga memiliki dua aspek yang berbeda, yaitu aspek lemah lembut, penyayang, dan berparas cantik, serta satu aspek lain adalah aspek menakutkan dan mengerikan.

Sebagai Parvati atau Uma dia dinyatakan dengan aspek yang lemah lembut, penyayang, penuh cinta kasih. Dimana dalam aspek ini, dia selalu bersama dengan Siva. Kemudian dalam aspek ini dia memiliki dua tangan, yang kanan memegang teratai biru, dan yang kiri menggantung bebas disebelahnya. Bila dinyatakan secara mandiri (Parvati Tunggal/tanpa Siva), dia tampak dengan empat tangan, dua tangan memegang taratai merah dan biru, sedangkan dua tangan yang lain memegang Varada dan Abhaya Mudra.

Semoga penjelasan singkat ini bermanfaat bagi pemahaman dan Sraddha Bhakti kita semua. Manggalam astu.

Om Santih Santih Santih Om
Kontributor: I Wayan Sudarma –sumber



Sebelum Bharata Yuda, Arjuna Meminta Restu Dewi Durga

 


Sebelum maju ke medan pertempuran, atas saran Krisna Arjuna terlebih dahulu memuja Dewi Durga. Ini dikisahkan pada bagian Bisma Parwa agar pada saat peperangan Dewi Durga menganugerahkan kemenangan bagi pihak pandawa.

Berkat Dewi Durga Arjuna dapat mengalahkan pihak-pihak yang membela korawa sehingga Pandawa mampu memenangkan pertempuran selama delapan belas hari di hamparan medan perang Kuru Ksetra.

Dewi Durga merupakan Dewi Shakti yang merupakan istri dari Siwa. Dewi Durga diwujudkan dalam bentuk Dewi yang cantik dengan memiliki delapan belas lengan yang masing-masing membawa senjata. Dewi Durga digambarkan dengan menunggangi harimau.

 - JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Wujud Durga adalah kemarahan, dimana Durga Dewi juga merupakan Parvati Dewi atau Uma. Kemarahan dari Durga merupakan kemarahan ilahi yang bertujuan untuk menghancurkan kejahatan dan pertentangan terhadap kebenaran.

Pada perang Bharata Yuda yang merupakan perang besar wangsa Kuru merupakan bentuk pertentangan dua kubu besar, antara Pandawa dan Korawa atau perang antara kebenaran melawan ketidakbenaran. Hal ini kemudian menyebabkan Krisna memberikan saran kepada Arjuna untuk memuja Durga untuk memberikan anugrah menghancurkan kejahatan Korawa.

Durga dalam wujud menyeramkan dan kekuatan dikenal sebagai Dewi kematian yang merupakan pedamping Dewa Siwa yang juga sebagai Dewa pelebur. Segala tatanan kehidupan yang telah melewati batas kebenaran maka Durga akan menghancurkan ketidakbenaran sehingga kembali pada jalan kebenaran. (SB-Skb) –sumber






Selasa, 24 Mei 2022

Upacara Napak Sithi

 



Pawetonan atau Otonan dan upacara turun ke tanah yang juga disebut Napak Sithi, merupakan kelanjutan dari pelaksanaan upacara tiga bulanan. Upacara ini dilaksanakan tepat saat bayi berusia 210 hari. Bagaimana sejatinya upacara ini?

Otonan atau pawetonan berasal dari bahasa Jawa kuna, yakni ‘wetu’ atau ‘metu’ yang artinya keluar, lahir atau menjelma. Dari kata ‘wetu’ menjadi ‘weton’ dan selanjutnya berubah menjadi ‘oton’ atau “’otonan’.

Demikian pula kata ‘piodalan’ dari kata ‘wedal’ berubah menjadi ‘odal’ atau ‘odalan’ yang juga mengandung makna yang sama dengan ‘weton’ . “Di dalam bahasa Sanskerta kata yang mengandung pengertian kelahiran adalah ‘janma’dan kata ‘janmadina’ atau ‘janmastami’ mengandung makna ‘hari kelahiran’ atau hari ulang tahun,” ujar Mangku I Wayan Satra kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Rabu (1/2).

Selain itu, ada juga yang mengatakan Otonan berasal dari kata ‘pawetuan’, yaitu peringatan hari lahir menurut tradisi agama Hindu di Bali yang didasarkan pada sapta wara, panca wara, dan wuku. Dalam kalender Bali otonan dirayakan setiap 210 hari (setiap 6 bulan).

Jadi, secara etimologi Otonan adalah hari kelahiran bagi umat Hindu yang datang dan diperingati setiap 210 hari sekali berdasarkan perhitungan sapta wara, panca wara dan wuku yang berbeda dengan pengertian hari ulang tahun pada umumnya yang didasarkan pada perhitungan kalender atau tahun Masehi. Misalnya orang yang lahir pada hari Rabu, Keliwon Sinta, selalu otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis seperti itu, yang datangnya setiap enam bulan sekali

 - JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Dalam menentukan hari Otonan yang harus dijadikan patokan adalah sistem kalender Saka-Bali. Yang mana dalam pergantian hari atau tanggal, yaitu ketika matahari terbit (sekitar jam 6 pagi).

Jika untuk bayi, Otonan pertama kali dilakukan ketika sudah berumur 105 hari atau tiga bulanan, karena organ tubuh dianggap sudah berkembang sempurna dan semua panca indra sudah aktif, di mana panca indra anak itu dapat membawa dampak positif dan negatif pada kesucian jiwa, sehingga harus dilakukan Otonan.

“Jika belum dilakukan Otonan atau diupacarai tiga bulanan, maka anak itu masih cuntaka atau belum suci,” imbuhnya.

Upacara Pawetonan atau Otonan untuk bayi memiiki dua sudut pandang. Sudut pandang sekala (duniawi) dan sudut pandang filsafat agama. Jika dipandang dari sudut duniawi, seoarang bayi boleh diturunkan ke tanah setelah menginjak umur enam bulan. Bayi tersebut belum dianggap penuh waktunya beradaptasi dengan alamnya, sehingga belum secara penuh mendapat kekebalan pada tubuhnya,

Dijelaskan lebih lanjut Mangku Satra, jika diteliti dari sudut pandang filsafat agama, pelaksanaan upacara pawetonan dan napak sithi menggunakan pedoman angka 210 hari. Angka tersebut merupakan petunjuk angka Samkhya, sebagai dasar tattwa dengan menjumlahkan angka tersebut, dari penjumlahan tersebut didapat angka tiga. Angka tiga merupakan simbol mulai aktifnya Tri Pramana (Bayu, Sabda dan Idep) bayi terhadap rangsangan dari luar. Sehingga, dalam keadaan demikianlah dimohonkan kepada Ida Sang Hyang Widi melalui pelaksanaan upacara Pawetonan dan Napak Sithi.

Jika dilihat dari kata enam bulan, akan mendapatka angka Samkhya, dengan angka enam yang mengandung makna sebagai simbol Sad Ripu. Dengan adanya sifat Sad Ripu yang dibawa bayi sejak lahir, maka upacara Pawetonan atau dan Napak Sithi harus dilaksanakan agar dapat meminimalisasi kekuatan Sad Ripu yang ada dalam diri si bayi.

Dalam upacara Otonan yang sederhana, sarana cukup banten pajati (untuk Bhatara Guru/Kemulan), dapetan (sebagai tanda syukur) dan sesayut pawetuan (untuk Sang Manumadi), segehan (untuk Bhuta) dan dapat diisi kue taart di atasnya dikasi canang sari dan dupa, kemudian didoakan.

Otonan tidak mesti dibuatkan upacara yang besar dan mewah, yang terpenting adalah nilai rohaninya, sehingga nilai tersebut dapat mentransformasikan pencerahan kepada setiap orang yang melaksanakan Otonan. Tidak ada gunanya Otonan yang besar, namun si anak tidak pernah diajarkan untuk sungkem dan hormat pada orang yang lebih tua. Akan sia-sia upacara Otonan itu, jika hanya untuk pamer kepada tetangga. Otonan harus dapat mengubah perilaku yang tidak benar menjadi tindakan yang santun, hormat, bijaksana dan welas asih, baik kepada orang tua, saudara, dan masyarakat. Otonan yang dilaksanakan dengan sadhana akan mengarahkan orang tersebut kepada realisasi diri yang tertinggi. Karena dalam upacara Otonan terkandung makna bahwa kita berasal dari Brahman dan harus kembali kepadaNya.

Dalam prosesi Otonan, terdapat sebuah simbolis, yaitu pemasangan gelang di tangan berwarna putih. Kenapa menggunakan benang? karena benang mempunyai konotasi ‘beneng’. Dalam bahasa Bali halus dapat diartikan dua hal, pertama, karena benang sering dipergunakan sebagai sepat membuat lurus sesuatu yang diukur. Ini maksudnya agar hati yang Otonan selalu di jalan yang lurus dan benar. Kedua, benang memiliki sifat lentur dan tidak mudah putus sebagai simbol kelenturan hati yang Otonan dan tidak mudah patah semangat. Khusus untuk bayi yang baru pertama kali melaksanakan upacara Otonan, biasanya menggunakan sarana banten yang lebih besar, yakni Udel Kurenan yang disertai upacara natab ke Bale Agung, dilanjutkan dengan madagang-dagangan, serta dilanjutkan dengan membopong bayi menyentuh tanah untuk pertama kalinya. Upacara inilah yang disebut Napak Sithi dan dipuput oleh pemangku.

Sarana upacaranya pun banyak, atara lain adalah menggunakan Rerajahan Badawang Nala yang merupakan simbol kekuatan pertiwi yang tak lain adalah pijakan semua mahluk hidup di bumi. Sangkar Ayam yang merupakn simbol akasa untuk memberikan kehidupan di alam semesta. Yuyu, ikan nyalian dan udang, merupakan simbol Tri Pramana. Pane dan air merupakan simbol angga sarira dan pikiran manusia. Megogo-gogoan merupakan cerminan permohonan kehadapan Sang Hyang Widi agar dianugerahkan kesempurnaan Tri Pramana.

“Khusus untuk ritual ini yang memangku sang bayi harus seorang anak yang belum maketus atau giginya belum tanggal, karena diyakini masih memiliki sifat Dewata dan pikiran yang bersih.” tutup Satra.

(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber