Sabtu, 30 Juli 2022

Salya Tantra Ilmu Pengobatan Bedah Menurut Ayurveda



Di dalam kitab Sushruta Samhita dikatakan bahwa salya atau pembedahan merupakan terapi atau chikitsa yang paling baik, cepat dan berhasil untuk menanggulangi penyakit tertentu yang memerlukan pengangkatan atau menghilangkan bagian tubuh yang menyebabkan terjadinya penyakit. Menurut istilah Ayurveda, pengobatan dengan cara pembedahan dilakukan terhadap penyakit yang diakibatkan oleh penumpukan unsur tri dosha, dhatu dan mala di dalam tubuh. Dengan cara dibedah akan memberikan kesempatan kepada tubuh untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisannya kembali. Salya atau pembedahan tidaklah hanya menyangkut pembedahan atau operasi saja, tetapi termasuk juga bagairnana menegakkan diagnosis, persiapan mengenal metode yang dipergunakan, ukuran, operasi, alat bedah, metode penanganan pasca bedah, dan mengembalikan kesehatan agar kesehatan kembali normal kembali. Cara yang biasa dipergunakan dalam pembedahan menurut Ayurveda adalah:

Dengan cara dibedah akan memberikan kesempatan kepada tubuh untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisannya kembali. Salya atau pembedahan tidaklah hanya menyangkut pembedahan atau operasi saja, tetapi termasuk juga bagairnana menegakkan diagnosis, persiapan mengenal metode yang dipergunakan, ukuran, operasi, alat bedah, metode penanganan pasca bedah, dan mengembalikan kesehatan agar kesehatan kembali normal kembali. Cara yang biasa dipergunakan dalam pembedahan menurut Ayurveda adalah:
DAHA
Daha adalah cara menghilangkan bagian kecil tubuh yang tumbuh mengganggu (biasanya berupa tonjolan di daerah kulit) dengan cara pembakaran. Untuk membakar bagian tubuh ini dapat dipergunakan larutan kimia (ksara) atau langsung dipanasi (agni).
KSARA
Ksara atau kauterisasi merupakan cara menghilangkan dengan mempergunakan cairan, getah, larutan atau penggunaan bahan larutan kimia (alkali) untuk membakar, khusus pada penyakit tertentu, dianggap lebih baik bila dibandingkan dengan diobati mempergunakan cara pembedahan biasa. Terutama untuk penyakit kulit, ambeien, fistula terbakar dan lamakelamaan menimbulkan luka yang sulit sembuh berbekas setelah sembuh. Atau dengan mempergunakan getah batang kayu suranga (jeruk) yang belum kering betul. Batang ini dibakar, dan ujung yang tidak terbakar akan keluar getah berbuih. Getah yang masih hanyat ini dioleskan beberapa kali pada kulit yang ada benjolannya setiap hari.

Larutan alkali pada umumnya dibuat dari bahan tumbuh-tumbuhan, terutama dari abu kayu tertentu yang dibakar. Cara membuat larutan ini harus melalui prosedur tertentu. Misalnya, seorang vaidhya, tabib atau balian akan membuat larutan alkali ini. Terlebih dahulu harus menyucikan badannya pada musim gugur (sarat). Kemudian mendaki sebuah bukit atau gunung untuk mencari tanaman ashita mushka (ghanta parula) yang setengah umur. Melalui suatu upacara homa (api), dengan mempergunakan bunga putih dan merah, vaidhya memotong pohon tersebut menjadi potongan kecil-kecil, ditempatkan di tempat yang tidak berangin. Kemudian kayu ini dibakar dan abunya diambil. Dengan cara yang sama dibakar sampal menjadi abu dan daun, akar dan buah dan tanaman agnimantha, apamarga, argvadha, saptachchhada, snuhi, tilvaka, vibhitoka (vrisha) dan jenis lainnya.
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Kemudian dicelupkan seukuran 8 pala (1 pala = 48 gram) bahan shankhanabhi dalam air bersama dengan abu dan tanaman agnimantha dan yang lainnya, lalu dimasak dan diaduk terusmenerus. Setelah dianggap cukup kental, dituangkan ke dalam kendi dan besi dan ditutup rapat. Hasilnya merupakan larutan alkali dengan kategori potensi ringan. Untuk membuat larutan alkali yang berpotensi sedang, harus ditambahkan bubuk obat yang dikenal dengan nama chitraka, danti, dravanti, hingu, vacha, vidha, visha dan lain-lainnya. Jika menginginkan larutan alkali dengan potensi kuat, hendaknya ditambah dengan masingmasing bahan sebanyak 8 tola (1 tola = 12 gram).

Larutan alkali yang berkualitas baik ialah yang berwarna putih, bening dan licin serta begitu ditempatkan pada bagian tubuh yang akan diobati, dengan cepat dapat membakar bagian tubuh tersebut yang menyebabkan sakit. Tempat yang diberikan larutan alkali akan kelihatan seperti terbakar, berwarna kehitaman dan meninggalkan bekas cekungan. Bila tidak tampak seperti ini, jika warnanya kemerahan seperti tembaga atau terasa sakit, gatal dan sebagainya, berarti tempat ini belum terbakar sepenuhnya. Harus diulangi lagi dengan meneteskan larutan alkali. Kalau tempat tersebut berdarah, apalagi orangnya sampai pingsan, ada rasa terbakar dan panas, berarti kelebihan larutan alkali.

Ada beberapa kontra indikasi atau hal yang harus dihindari dalam mempergunakan larutan alkali ini terutama pada penyakit tertentu. Misalnya orang yang lemah, bayi, orang tua, orang yang takut terhadap pengobatan ini, orang yang sakit perut karena busung air, wanita hamil, haid, demam tinggi, sakit pada lubang kemaluan, sakit paru kronik, orang yang menderita hus abnormal (trt, trsa), laki-laki impoten, wanita dengan peranakan terganggu, tidak dianjurkan untuk melakukan pengobatan mempergunakan larutan alkali.

Juga dilarang untuk melakukan pengobatan alkali ini pada pembuluh darah balik atau vena, saraf, sendi, tulang rawan, suturan (pertemuan dua tulang di kepala), pusar, alat kelamin, bagian tubuh yang ditutupi selaput tipis (bibir, rongga mulut, lubang telinga dan lain-lainnnya), bagian dalam kuku, bagian tubuh yang lunak, mata (kecuali kelopak mata).
AGNI
Mengobati dengan cara agni atau membakar, kadang-kadang jauh lebih baik hasilnya dibandingkan dengan cara ksara pada penyakit tertentu. Menurut isi kitab Sushruta Samhita, penyakit yang akan diobati dengan cara agni hendaknya diketahui betul bahwa penyakit tersebut memang tidak mungkin diobati dengan cara lain, tidak mempan dioperasi, sudah pasrah untuk diobati dengan cara agni.

Agni atau pembakaran (kauterisasi) dengan panas, terutama dilakukan terhadap penyakit tumor, fistula, pembengkakan pada testis (buah pelir), kaki bengkak (kaki gajah), pembengkakan pada kelenjar, kulit kehilangan warna, ulkus kronik, sakit kepala, wasir (ambeien) dan beberapa penyakit lainnya.

Pembakaran dapat dilakukan dengan mempergunakan besi panas yang membara dari berbagai bentuk, mempergunakan varti (tongkat obat pembakar), godantha (gigisapi), surya kanta (batu kristal berbagai bentuk). Cairan seperti madu, sirup, minyak dan lilin yang telah masak, dengan panas tertentu juga sering dipergunakan sebagai agni. Bentuk kauterisasi atau agni dapat berupa lingkaran titik, garis atau seluruh permukaan, tergantung indikasi dan kontra-indikasinya.

Setelah bagian tertentu yang dikehendaki untuk dibakar selesai, hendaknya diolesi dengan ghee dan madu. Sebaiknya segera diolesi dengan minyak yang ringan dan dingin pada tempat yang teiah terbakar tersebut. Suatu pembakaran dianggap berhasil, bila bagman tubuh yang dibakar itu tampak ada lasika (serum), ada terdengar bunyi seperti terbakar, warna seperti buah paimira masak, atau pendarahan terhenti, tidak merasa sakit setelah pengobatan.

Yang merupakan kontra-indikasi pada pengobatan pembakaran ini adalah sama dengan seperti pada penyakit atau keadaan pada pemakaian larutan alkali. Terutama pada mereka yang mengalami perdarahan dalam tubuh, usus atau organ pecah dan mereka yang menderita ulkus. WHD No. 451 Agustus 2004.

Oleh : Ngurah Nala
Universitas Hindu Indonesia

Jumat, 29 Juli 2022

Pura Goa Raja Besakih

 



Pura Goa Raja ini terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem.

.
Masih berada sangat dekat dengan Kompleks pura Besakih. Pura Goa Raja merupakan stana dari Ida Batara Rambut Sedana.
.
Di pura ini terdapat sebuah sungai dan pada tebingnya ada sebuah goa besar. Tapi sekarang goa tersebut sudah tertimbun runtuhan tanah longsor pada saat Gunung Agung meletus 1962.
.
PASAMUHAN SANG HYANG NAGA TIGA
Pura Goa Raja diyakini merupakan tempat bertemunya Sang Hyang Naga Tiga yaitu Hyang Naga Ananthaboga, Sang Hyang Naga Basuki dan Sang Hyang Naga Taksaka.
.
Di dalam Lontar Prekempa Gunung Agung ditulis Sang Hyang Tri Murti untuk menjaga bumi menjelma menjadi Sang Hyang Naga Tiga.
.
Dimana Dewa Brahma turun menjelma menjadi Naga Ananta Bhoga. Dewa Wisnu menjelma sebagai Naga Basuki. dan Dewa Iswara menjadi Naga Taksaka.
.
Naga Basuki bagian kepalanya ke laut menggerakan samudara agar menguap menjadi hujan, Ekornya menjadi gunung dan sisik ekornya menjadi pohon-pohonan yang lebat di hutan.
.
Kepala Naga Basuki itulah yang disimbolkan dengan Pura Goa Lawah dan ekornya menjulang tinggi sebagai Gunung Agung. Pusat ekornya itu di Pura Goa Raja.

.
STANA BHATARA RAMBUT SEDANA
.
Pura Goa Raja merupakan stana dari Ida Batara Rambut Sedana atau Bhatara Sri Sedana. Ide dipuja sebagai Dewi Kesejahteraan
.
Ide diyakini sebagau yang menganugerahkan harta kekayaan. emas-perak (sarwa mule), permata dan uang (dana) kepada manusia.
.
Piodalan di pura Goa Raja pada hari Buda Wage Klawu atau Buda Cemeng Klawu pada hari itu masyarakat Hindu sesuai tradisi Bali (entah yang sudah gengsi mempraktikkan Bali) melakukan pemujaan kepada Tuhan sebagai wujud syukur atas harta yang diberikan sebagai hasil kerja keras yang sudah dilakukan.
Fb.wayan abian

Melaspas, Satukan Unsur Berbeda Secara Niskala

 


Setelah rampung membangun rumah, umat Hindu wajib melaksanakan ritual Melaspas. Jika belum, bangunan baru tersebut dinilai belum layak ditempati.

Jero Mangku I Wayan Satra mengatakan, tujuan Melaspas untuk membersihkan dan menyucikan benda atau pun bangunan baru secara niskala sebelum digunakan atau ditempati. Upacara Melaspas juga dilakukan dengan tujuan agar terciptanya ketenangan dan kedamaian bagi anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut, serta terhindar dari hal-hal yang tidak diiginkan.

Melaspas terdiri dari dua suku kata, yaitu Melas dan Pas. Melas berarti pisah dan Pas artinya cocok. Jadi, penjabaran arti Melaspas yaitu sebuah bangunan dibuat terdiri dari unsur yang berbeda, ada kayu ada pula tanah (bata) dan batu, kemudian disatukan terbentuklah bangunan yang layak (cocok) untuk ditempati. “Baik untuk manusia yang kita kenal sebagai rumah, maupun untuk para Dewa yang dinamai pslinggih,” ujar Jro Mangku I Wayan Satra kepada Bali Express (Jawa Pos Group).

Dalam pelaksanaanya, lanjut Mangku Satra, upacara Melaspas terdiri dari beberapa tingkatan sesuai kemampuan umat. Tingkatan upacara Melaspas, seperti halnya upacara-upacara lainnya, yaitu Kanista, upacara yang dilakukan paling sederhana. Madya, upacara yang dilakukan tergolong sedang. Utama, upacara yang dilakukan tergolong besar.

Sebelum upacara Melaspas, yang dilakukan terlebih dahulu adalah macaru. “Hal ini memiliki tujuan untuk nedunang Bhutakala atau mengundang sang Bhutakala untuk dhaturkan Labaan (sesajen). Dengan harapan agar Bhutakala tersebut kembali ke tempatnya masing-masing atau mengembalikan berbagai roh-roh yang tadinya tinggal atau mendiami bangunan tersebut ke tempat asalnya.

“Kemudian menghadirkan Dewa Ghana yang diyakini sebagai Dewa Rintangan yang bertujuan untuk menghalangi hadirnya roh-roh pengganggu,” imbuhnya.

Setelah Pacaruan selesai, baru dilanjutkan dengan rangkaian dari upacara Melaspas, yaitu mengucapkan orti pada mudra bangunan sebagai permohonan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Orti adalah simbol komunikasi, sebagai permohonan dalam perlengkapan upacara dalam pemakuhan atau pamelaspasan.

Selanjutnya memasang ulap ulap pada bangunan. Ulap ulap yang dipasang tergantung jenis bangunan ( ulap ulap kertas yang ditulis dengan hurup rajahan ). Bila bangunan tersebut tempat suci, maka dasar banguan digali lobang untuk tempatkan padagingan. Jika bangunan tersebut adalah bangunan pokok atau utama, diisi dengan padagingan pada puncak dan madya bangunan, berapa padma dari emas. Selanjutnya pangurip urip, arang bunga digoreskan pada tiap tiap bangunan (melambangkan Tri Murti, Brahmana, Wisnu, Iswara).

“Jadi, umat Hindu Bali percaya bahwa bangunan yang didirikan tersebut menpunyai daya hidup,” terangnya.

Kegiatan berikutnya adalah ngayaban banten ayaban dan ngayaban pras pamelaspas yang didahului memberikan sesajen pada sanggah surya yang terbuat dari turus lumbung. Dilanjutkan dengan ngayaban caru prabot ngeteg-linggih, bila yang dipelaspas adalah tempat suci (palinggih). Upacara ini biasanya dipuput oleh pemangku, namun tak jarang untuk pura dipuput oleh sulinggih.

Selain sarana tersebut, lanjutnya, sering dijumpai saat upacara Melaspas menggunakan siku-siku yang ditempelkan di dinding bangunan. Hal ini bertujuan agar bangunan tersebut memiliki sikut atau ukuran yang benar. Alasan digunakannya siku-siku karena salah satu alat pertukangan tersebut memiliki keistimewaan. “Bentuknya tidak lurus, namun dapat meluruskan bangunan. Ketika membangun tidak menggunakan siku-siku dapat menyebabkan bangunan tidak beraturan. Dan, yang lebih fatal lagi adalah konflik akibat tanah yang lebih,” tutur Mangku Satra.

Selain penggunaan siku-siku, ada juga simbol tapak dara. Tapak dara merupakan simbol keseimbangan antara pawongan, palemahan, dan parahyangan, dengan harapan nantinya bangunan yang telah dipelaspas senantiasa seimbang dan tidak mudah roboh. Dalam Upacara Pamelaspasan yang dipuja adalah Dewa Pemelaspas, yaitu Bhatara Bhagawan Biyasa dan Dewa Pamakuh, yaitu Bhatara Bhagawan Siwakarma. Pamakuh adalah rangkaian upacara yang terdapat pada upacara pamelaspasan. Pamakuh berasal dari kata kukuh yang artinya kuat.

“Upacara Pamakuh bertujuan untuk menguatkan bangunan secara niskala agar kokoh. “Kedua dewa inilah yang memberikan anugerah keseimbangan terhadap bangunan yang telah dipelaspas.

Agar senantiasa memberikan perlindungan dan keselamatan pada bangunan yang akan ditempati, sekaligus terhindar dari segala hal negatif yang berniat tidak baik,” tutup Mangku Satra.

(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber


Selasa, 26 Juli 2022

MENCARI RUMAH DI SCBD


dari semua unggahan tentang nakAnak citayam... ini yang pAling menyentuh dan beRempati... 

***

MENCARI RUMAH DI SCBD
~ Nur Hafsah ~

Sudah lebih dari seminggu, namun hiruk pikuk Citayem Fashion Week masih jauh dari reda. Bukan hanya politisi numpang elektabilitas nampang di sana, bahkan sepasang artis serakah mematenkan nama CFW menjadi hak milik intelektualnya. Sungguh tak bermuka.

Terlepas dari para pengejar voter  dan pemburu cuan, gemuruh CFW dan SCBD selalu menarik saya pada kisah Jeje. 

Bukan kisah baru. Sudah banyak bertebaran di media online. Tapi beberapa penuturannya tentang detail peristiwa yang ia alami, seperti menghantam saya, lagi, tentang realita betapa anak-anak -terlebih perempuan, tidak bisa aman bahkan ketika di rumah. 

Berkulit bersih (sampe ke ketek-ketek) Jeje memang beda dengan Kurma (yang suka dibecandai sebagai Kurang Mandi) atau Bonge (Bocah Bojonggede dengan rambut Stock-on-You). 

Body Jeje juga asoy. Jadi kegemarannya memamerkan tali kolor tidak bikin sakit mata. 

Teman cowok Jeje menyebutnya “sasinem”, sana-sini nempel. Dan kalau melihat video dia dengan pacar-pacarnya sih kelihatannya begitu. 

Jeje menampilkan dirinya lenjeh, manja-manja agresif -dengan suara melengking, kolokan sekaligus galak. 

Kesan berbeda justru muncul ketika dia bicara di beberapa podcast. Gaya bicaranya tenang, teratur, tata bahasanya rapi, bahasa Inggrisnya tidak ngasal. Mengingat umurnya yang baru 16 tahun dan sekolah hanya sampai kelas 2 SMP, ini agak luar biasa sih. 

Pada sebuah kesempatan Jeje malah dengan sabar makan lauk ayam menggunakan garpu dan sendok. Sementara pemilik acara sudah tidak tahan dengan paha ayam yang loncat kesana kemari, sehingga memilih main comot saja -makan pakai tangan. 

Menurut pengakuan Jeje, dia berasal dari Kemang. Daerah mahal. Lantas kok bisa bergabung dengan anak-anak SCBD yang kalau tak punya uang akhirnya tidur di terowongan? 

Mungkin sudah banyak yang melihat wawancaranya di podcast Atta. Tanpa ditanya dan tanpa diminta dia menceritakan asal mula kabur dari rumah. 

Bukan rumah orang tua. Karena ayah-ibunya sudah berpisah. Ayahnya tinggal di Belanda. Ibunya di Jakarta. Masing-masing dengan keluarga baru mereka. 

Bagaimana Jeje? 

Dia tertinggal di rumah nenek. 

Di rumah itu juga dia mendapatkan perlakuan biadab dari tukang kebun neneknya. Dia diperkosa.

Itulah sebab dia kabur. Tidur di bawah rel kereta Tanah Abang. Numpang di rumah teman. Di rumah pacar. Atau kleleran di Sudirman. 

“Papa mama kamu tau?”

“Semua orang rumah sudah tau...”

“Orangnya dipecat?

“Nggak…

“Mama sama Nenek aku dulu itu punya pemikiran… kayak… ‘Kamu bukan korban… Kamu sendiri yang mengundang.’ 

“Emang pakaian aku suka terbuka ya Kak… kalau di rumah pakai celana pendek. Kaosan… Jadi dikiranya… aku yang memikat dan mengundang dia untuk melakukan itu…”

Atta yang baru punya anak perempuan meringis mendengar penuturan Jeje. 

Masih dengan suara lembut, tersendat tapi tertata, Jeje mengeluarkan pembelaan diri. 
“Tapi sebetulnya bagi aku sendiri kayak… Nggak… Nggak kayak gitu maksudnya…”

Atta kebingungan. Tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Pengakuan Jeje memang tidak disangka-sangka. Dan dia menuturkannya dengan tenang. Tanpa emosi meledak. 

Saya yang nonton juga kebingungan. Seringan itukah? 

Melihat penuturannya yang runut, juga detail waktu, sulit menuduhnya mengada-ada.

Satu jawaban atas pertanyaan Atta mengunci kecurigaan bahwa dia hanya mengarang-ngarang. 

“Waktu akhirnya aku pulang lalu cerita kejadian itu sama nenekku, dia nangis…”

“Terus… Habis nenek kamu tahu?”

“Akhirnya ditanya… ke orang yang ngelakuin.”

“Orangnya ngakuin?”

“Iya.”

Atta pun terhenyak. 

Jadi sebetulnya kasus itu terang benderang. Tidak ada penyangkalan. 

Tetapi kok ya bisa tidak ada yang memperkarakan? Bahkan sang nenek yang menjadi wali (juga ibunya) malah menganggap hal itu wajar terjadi gara-gara cara berpakaian? 

Jeje menolak seandainya ada yang mau membantu mengkasuskan peristiwa tersebut. Dia bahkan mencegah keluarga ayahnya yang hendak melabrak. 

Baginya, yang lalu biarlah berlalu. Jadi pembelajaran saja. Sekarang buka lembaran baru. 

Dunia berputar kembali seperti biasa. Ibunya dengan bayi yang baru lahir, ayahnya kembali ke Belanda, tukang kebun tetap bekerja di rumah neneknya. Hanya Jeje yang terbuang. Melarikan diri. 

Dari rumah yang tidak aman. Dari ayah dan ibu yang meninggalkan. Dari nenek yang menyalahkan (meskipun Jeje sendiri menolak menyalahkan neneknya. Bagi dia peristiwa itu terjadi karena dirinya dan nafsu si pelaku). 

Jeje memilih jalanan.

“Kamu ga takut diapa-apain di jalanan?”

“Aku dulu tu mikirnya… Ah, gua udah kotor… Kalau ada orang yang jahatin gua terus ngotorin gua lagi ya udah…”

Sumpah, nangis hatiku di situ. Kasihan sekali anak perempuan. Sudahlah dia dituduh mengundang dan memikat nafsu laki-laki, lalu dia pula yang dianggap kotor. 

Semua argumentasi melawan pelaku pelecehan tumpah di kepala saya. Deras seperti hujan badai. 

Tapi terasa sunyi, sudah tak  bersuara lagi. Seperti pesawat TV yang di-mute.

Saya hanya terdiam mendengar penuturan Jeje. 

Anak yang lahir ke dunia karena keinginan orangtua -tanpa ia sendiri meminta. Tapi ketika orang tua bercerai justru dia yang ditinggalkan. 

Ketika manusia berjiwa iblis menjahatinya di usia sangat belia, justru dia yang disalahkan. 

Saya greget dengan orang-orang yang menganggap bikin anak itu kayak prestasi. Giliran mengasuh, membimbing, menjaga, ga becus, pada kabur dari tanggung jawab. 

Ya gak heran kalau anak-anak juga kabur dari rumah dan lari ke jalanan. Mereka berusaha menemukan keluarga sendiri, membangun rumah sendiri. Tidur beratap langit, menyambung hidup dari hari ke hari. 

“Ga diusir sama petugas?” tanya Thoriq. 

“Kita sudah CS-an Bang,  sama Satpamnya.”

“Mantaap… Starling gratis. Satpam CS-an. Su.dir.man.pride..!”

Entah kalau SCBD ini bubar. Baik karena dibubarkan maupun karena tren-nya lewat. Anak-anak yang kehilangan rumah, akan selalu mencari keluarga yang menerimanya. Bahkan bila itu di jalanan sekalipun.

...

Bentuk, Isi, serta Makna Sepuluh Canang yang Digunakan di Bali








BALI EXPRESS, DENPASAR - Bali memiliki tiga tingkatan upakara, yakni Nista, Madya dan Utama. Ketiga tingkatan inilah yang mendasari umat Hindu dalam beryadnya sesuai kemampuan, agar yadnya yang dilakukan tidak memberatkan.

Upakara dengan kwantitas terkecil dikenal dengan istilah Nista, di mana salah satunya cukup dengan sarana upakara berupa canang. Canang berasal dari sukukata ‘Ca’ yang artinya indah, sedangkan kata ‘Nang’ artinya tujuan.

“Dapat didefinisikan canang merupakan sarana untuk mencapai tujuan yaitu keindahan (Sundharam) kehadapan Ida Sang Hyang widhi Wasa,” Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran kepada Bali Express (Jawa Pos Group).

.

Lebih lanjut dijelaskan Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran , canang yang dialasi sebuah ceper adalah simbol Ardha Candra, sedangkan canang yang dialasi sebuah tamas kecil merupakan simbol Windhu. Di dalam ceper terdapat porosan silih asih yang memiliki makna welas asih dalam melaksanakan upakara. Selai porosan, di dalam ceper juga berisi jajan, tebu dan pisang yang merupakan simbol ‘Tedong Ongkara’ yang menjadi perwujudan kekuatan Utpeti, Stiti, dan Pralin. Di atas raka-raka tadi disusunkan sebuah sampian urasari yang merupakan simbol windhu, sedangkan ujungnya merupakan simbol nadha.

Di atas sampian urasari disusun bunga dengan susunan sebagai berikut, bunga putih diletakkan di arah timur yang merupakan simbol Sang Hyang Iswara. Bunga Merah diletakakan di arah selatan yang merupakan simbol Dewa Brahma. Bunga Kuning diletakkan di arah barat yang merupakan simbol Dewa Mahadewa. Bunga biru atau hijau diletakkan di arah utara yang merupakan simbol Dewa Wisnu.

“Dan, yang terakhir adalah Kembang Rampai yang diletakkan di tengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata,” jelasnya.

Dengan demikian, canang mengandung makna sebagai permohonan umat Hindu kehadapan Sang Hyang Widhi (berwujud Ongkara), bahwa umatnya memohon kekuatan agar Beliau bermanifestasi menjadi Ista Dewata.

Berikut Beberapa jenis canang yang dikenal di Bali:
1. Canang Sari


Canang Sari (ISTIMEWA)


Canang Sari adalah sebuah canang yang alasnya menggunakan ceper atau tamas kecil dan sampian urasarinya membentuk astadala, sehingga bentuknya bundar yang berfungsi sebagai sarining yadnya.

Canang sari terdiri dari dua jenis, yaitu Canang Sari Ageng dengan sampian urasari berbentuk astadala dan Canang Sari Alit yang pada sampian urasarinya menunjuk empat arah mata angin, namun maknanya tetap sama.
2. Canang Genten


Canang Genten (ISTIMEWA)


Canang Genten, pada intinya sama dengan canang sari hanya ditambahkan dengan jajan kiping, pisang mas dan bubur sesuruh merah dan putih. Di masing-masing bubur tersebut dibungkus dengan janur yang digiling menyerupai sebatang rokok serta diletakkan di bawah sampaian urasari.

Fungsi canang ini adalah untuk memohon anugerah keremajaan, sehingga sering digunakan pada saat upacara matatah atau menek kelih (beranjak dewasa).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

3. Canang Pesucian

Canang Pesucian yang dialasi dengan sebuah taledan kecil yang berbentuk segi empat panjang dan memiliki satu sibeh pada bagian pangkalnya. Di atas taledan ini dijahitkan lima buah celemik dengan posisi tempatnya di atas yang berisi tepung tawar, merupakan simbol kekuatan Sang Hyang Iswara.

Di kanan yang berisi lenga wangi yang telah dicampur dengan kapas berisi minyak wangi yang merupakan simbol Sang Hyang Brahma. Di bawah berisi daun dapdap yang merupakan simbol Sang Hyang Mahadewa. Di kiri berisi sisig yang merupakan simbol kekuatan Sang Hyang Wisnu dan di tengah berisi burat wangi yang merupakan simbol kekuatan Sang Hyang Siwa.



4. Canang Gantal

Pada prinsipya hampir sama dengan canang pesucian. Hanya, di tengahnya ditambahkan base tubungan matungkas. Kata ‘Gantal’ berasal dari kata Gana yang mengandung arti pertemuan, sedangkan kata ‘Tal’ dapat diartikan bersatu. Dengan demikian, Canang Gantal memiliki makna permohonan kedamaian kepada Tuhan.
5. Canang Pangrawos


Canang Pangrawos (ISTIMEWA)


Model lainnya adalah Canang Pangrawos, yang pada prinsipnya memiliki kesamaan dengan canang gental, hanya di tengahnya mempergunakan sebuah takir berisi lima buah lekesan. Hal ini bertujuan untuk memohon kebulatan pendapat berdasarkan ketenangan hati untuk mencapai kedamaian.

Canang ini biasa digunakan saat rapat ataupun pengajuman.
6. Canang Tubungan


Canang Tubungan (ISTIMEWA)


Model selanjutnya yakni Canang Tubungan. Canang ini pada prinsipnya sama dengan canang pangerawos, bedanya hanya terdapat pada lekesannya saja. Kalau di canang pangerawos terdapat lima, sedangkan di canang tubungan hanya satu.

Canang ini merupakan penghormatan terhadap Ida Sang Hyang Widi agar dianugerahkan kekuatan. Canang ini biasanya digunakan saat upacara nuntun atau mamendak. 



7. Canang Raka


Canang Raka (ISTIMEWA)


Selanjutnya Canang Raka, yang pada prinsipnya sama dengan canang sari. Pada canang raka tedapat buah-buahan sebanyak lima macam yang merupakan simbol permohonan pengeleburan panca mala. Baik terhadap bhuwana agung maupun bhuwana alit. Selain itu, canang ini juga bertujuan agar dianugerahkan Panca Amertha, yakni Amertha Sanjiwani yang disimbolkan dengan pisang kayu, Amertha Kamandalu yang disimbolkan dengan buah salak, Amertha Kundalini yang disimbolkan dengan buah yang berwarna kuning, Amertha Pawitra yang disimbolkan dengan buah manggis, dan Amertha Maha Mertha yang disimbolkan dengan buah jeruk.

Canang ini biasa dugunakan saat upacara Panca Yadnya, khususnya saat mendem pedagingan dan nyejer.

8. Canang Tadah Sukla

Pada prinsipnya sama dengan membuat Canang Payasan, hanya isi celemiknya yang berbeda. Pada canang ini isi celemiknya masing-masing, yakni celemik pada bagian kiri atas berisi kacang ijo, celemik pada bagian kanan atas berisi kacang komak, celemik pada bagian kiri bawah berisi ubi lima iris, celemik pada bagian kanan bawah berisi keladi lima iris, dan celemik pada bagian tengah bersisi kacang botor dan pisang kayu mentah sebanyak lima iris. Kemudian di atasnya diletakkan canang sari.

Canang ini merupakan simbol kekuatan iman, kesucian dan kesejahteraan. Canang ini biasa digunakan saat upacara pebersihan.
9. Canang Pangengkeb


Canang Pangengkeb (ISTIMEWA)


Canang ini pada prinsipnya sama dengan Canang Payasan, hanya ditengahnya berisi dua bua takir dengan posisi tempat kanan dan kiri. Yang di kanannya berisi beras kuning dengan satu buah base tubungan, sedangkan takir yang kiri berisi cendana.

Canang ini bertujuan agar dianugerahkan kekuatan kewibawaan atau taksu dalam berkesenian. Canang ini biasa digunakan saat pementasan tarian sakral.
10. Canang Saraswati


Canang Saraswati (ISTIMEWA)


Canang ini menggunakan tamas kecil atau sebuah ceper sebagai alasnya. Di dalamnya berisi jajan, pisang, tebu, porosan, sampian plaus yang diletakkan pada bagian hulunya. Kemudian dipasangkan lima buah celemik. Celemik bagian atas berisi jajan suci bungan temu putih kuning, celemik di bagian kanan berisi jajan suci karang putih kuning, celemik di bagian bawah berisi jajan suci kekuluhan putih kuning, di bagian kiri berisi jajan karna putih kuning, di bagian tengah berisi jajan suci candigara putih kuning.

Di atas tetandingan jajan suci tadi disusunkan lagi sebuah ceper yang merupakan ceper kedua yang di dalamnya berisi lima buah celemik. Masing-masing celemik berisi pala bungkah dan pala gantung. Kemudian di atas panca ini disusun sebuah ituk-ituk yang berisi eteh-eteh tetukon. Selanjutnya ituk-ituk ini diisi dengan jajan saraswati yang dialas dengan daun beringin, selanjutnya di atas jajan saraswati diisi dengan pesucian dan canang sari.

Canang ini bertujuan untuk memohon anugerah kepintaran dan biasa digunakan saat hari Suci Saraswati.

(bx/rin/gus /yes/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/12/03/31018/ini-bentuk-isi-serta-makna-sepuluh-canang-yang-digunakan-di-bali

Usai Mawinten Pantang Makan Daging Suku Empat

 


Ada sejumlah pantangan untuk orang yang telah Mawinten. Salah satunya adalah pantang makan daging berkaki empat.

Welaka Ida Bagus Gede Suragatana mengatakan, pantangan seseorang yang selesai Mawinten sesuai kemampuannya. Selain itu, niat dari seseorang yang melaksanakan Pawintenan tersebut. “Kalau saya tidak boleh makan daging suku empat, tidak boleh makan dari upacara Pangabenan. Tetapi semua itu tergantung dari niat. Jika itu dilanggar maka akan sangat gampang sakit,” tutur pria yang akrab disapa Gus Suragatana ketika diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) di rumahnya Desa Kelusa, Kecamatan Payangan, Gianyat, pekan kemarin.



Gus Suragatana mengaku saat Pawintenan berjanji menjadi walaka yang menjaga astika asti, yakni arah utara, selatan, timur, dan barat. Sehingga, ketika makan daging suku empat dirinya akan tidak tahu arah. Tetapi, jika makan tidak disengaja, lanjutnya, bisa nunas pangampura (mohon maaf) dengan upakara Prayascita.

“Yang menentukan itu semua adalah janji dan pikiran sendiri. Prayascita itu dilaksanakan dengan syarat pantangan tersebut dilanggar dengan tidak disengaja. Bila sengaja dilanggar, maka upacara tersebut tidak ada gunanya,” imbuhnya.

Gus Suragatana menambahkan, bahan yang digunakan untuk merajah saat Pawintenan berupa sirih dan madu. Di mana di antara kedua kening dirajah dengan aksara suci Yang, di dada dengan aksara suci Dang, kedua bahu dengan aksara suci Bang, di tunggir dengan aksara Sang, di telapak tangan dengan aksara Tang, di tengah lidah dengan aksara Ing, dan pada ujung lidah dengan aksara Ong.

Gus Suragatana menjelaskan, beberapa sarana upakara yang digunakan untuk mawinten, supaya rentetan prosesi Pawintenan berjalan lancar tanpa halangan apapun. “Pertama harus melakukan prayascita sebagai pembersihan, banten durmanggala, banten pangulapan, pangenteb bayu, banten atma rauh, pangenteb hati. Tetapi paling awal harus melakukan natab biyukawonan,” jelasnya.

Setelah melakukan biyukawoanan, baru dilaksanakan majaya-jaya yang harus dipuput oleh sulinggih. Selanjutnya menghaturkan banten kehadapan sasuhunan yang malinggih di merajan. Setelah itu, baru melaksanakan natab Pawintenan. “Banten setelah dihaturkan di merajan ditunas dan ditatab saat Mawinten. Di sana ada yang disebut dengan tebasan guru, baru dirajah badannya,” tandasnya.

Setalah pelaksanaan Pawintenan ada upacara Padambelan yang menggunakan bebek dan ayam. “Ayam menyimbolkan bhuta dan bebek menetralisasikan leteh sebelum diwinten. Rentetan upcara tersebut dilaksanakan sesuai Pawintenan apa yang dibutuhkan saat itu,”pungkasnya.

(bx/ade/yes/JPR) –sumber

Selasa, 19 Juli 2022

Sad rasa

 


1) Dharma Wiku,
Olahan yang memiliki “rasa lawana” atau asin, olahan ini berupa urab yang berwarna putih, biasanya disuguhkan disamping untuk upakara juga untuk para Wiku,
.
2). Bima Krodha,
Olahan yang dibuat memiliki rasa “ketuka” atau pedas, olahan ini berupa lawar berwarna merah, selain untuk upakara juga bisa untuk di konsumsi bagi semua orang kecuali Wiku,
.
3). Jayeng Satru,
Rasa olahan yang dibuat memiliki rasa “kesaya” atau sepet, dimana olahan ini berupa gegecok/penyon berwarna kuning, disuguhkan untuk bahan upakara dan para Wiku,
.
4). Gagar Mayang,
Rasa olahan yang dibuat memiliki rasa “tikta” atau pahit, biasanya olahan ini berupa gegode berwarna hijau disuguhkan untuk upakara dan para Wiku,

.
5). Nyunyur Manis,
Rasa olahan yang dibuat memiliki rasa “madhura” atau manis, dimana olahan ini berupa olahan campuran berwarna brumbun, disuguhkan untuk upakara dan juga bisa bagi semua orang kecuali Sang Wiku,
.
6). Galang Kangin,
Rasa olahan yang dibuat dengan memiliki rasa “amla” atau masam (asam), olahan ini berupa penyon, dibuat dari buah belimbing yang diiris tipis dan telah masak, dicampur kalas, berisi daging halus yang telah di masak, disuguhkan untuk upakara dan juga boleh untuk Sang Wiku.
.
Selanjutnya kita bicarakan hubungan simbolis antara Sad (6) Rasa dengan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit.
============!!!!============
Sumber: IB. Purwa Sidemen, S.Ag., M.Si, denpasarinstitute.com


Senin, 18 Juli 2022

Memuja Tuhan Melalui Arca (Archanam Sarva Pujanam)

 



Orang-orang yang kurang cerdas, sering menertawakan dan mencela umat Hindu yang memuja Tuhan melalui Arca dan menganggapnya sebagai tahayul bahkan tak jarang diberi label musryik dan menyembah berhala. Padahal kita juga sama-sama tahu bahwa tidak ada satu agama atau keyakinan apapun yang ada di dunia ini yang tidak memuja Tuhan melalui simbol; seperti menggunakan arah/kiblat, suara, cahaya, arca, bangunan, gambar, bendera/panji-panji.

Umat Hindu yang melakukan pemujaan melalui berbagai simbol atau niyasa/pratika termasuk melalui Arca-memiliki keyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Ada juga bersemayam dalam simbol dihadapannya. Bagi umat Hindu arca bukanlah sekedar objek/sarana tambahan, tetapi merupakan bagian dari mekanisme batin dalam bhakti dan keyakinan.
Tentu saja semua puja yang dilakukan dengan gagasan bahwa arca tersebut hanyalah kayu/logam yang tidak bernyawa; benar-benar konyol dan amat membuang waktu. Tetapi bila hal ini dilakukan dengan penuh keyakinan bahwa arca itu hidup penuh kesadaran dan kekuatan, bahwa Tuhan Yang Maha Segalanya, berada dimana-mana (vyapi vyapaka), meresapi segala yang ada (isvara sarva bhutanam) dan mengejawantah dalam tiap keberadaan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak (visva virat svarupa), dan dengan keyakinan bahwa Tuhan merupakan kenyataan batin bagi semuanya berada didalamnya, maka pemujaan arca benar-benar bermanfaat dan membangunkan kesadaran Tuhan.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Seorang “Wamana” selama bertahun-tahun tidak pergi ke tempat ibadat manapun dan ia menertawakan orang-orang yang menganggap arca sebagai simbol Ketuhanan. Ketika putrinya meninggal, pada suatu hari ia memegang fotonya sambil menangisi kehilangan tersebut. Tiba-tiba saja ia tersadarkan bahwa bila foto itu dapat menyebabkan kesedihan padanya dan membawa air mata kerinduan-maka arca itu juga dapat menimbulkan kegembiraan dan membawa air mata bhakti pada mereka yang mengerti keindahan dan kemuliaan Tuhan. Simbol-simbol itu adalah alat untuk mengingatkan bahwa Tuhan hadir dimana-mana dan dalam segala sesuatu.

Hindu yang Ajarannya sangat Logis dan paling masuk akal, tentu memiliki banyak pijakan atau dasar Sastra, mengapa pemujaan Arca tersebut menjadi sahih. Penjelasan tentang archanam atau tatacara pemujaan arca sangat jelas disebutkan dalam Srimad Bhagavatam seperti yang dinyatakan Uddhava kepada Shri Krshna;

Śrīmad Bhāgavatam 11.27.2:

“etad vadanti munayo
muhur niḥśreyasaḿ nṛṇām
nārado bhagavān vyāsa
ācāryo ‘ńgirasaḥ sutaḥ.”

Artinya:
Semua orang bijak/Rsi -Rsi mulia berulang kali menyatakan bahwa penyembahan semacam itu (archanam) membawa manfaat terbesar yang mungkin ada dalam kehidupan manusia. Inilah pendapat Nārada Muni, Vyāsadeva yang agung dan guru spiritual saya, Brhaspati (angirasah sutah).

Śrīmad Bhāgavatam 11.27.3-4:

“niḥsṛtaḿ te mukhāmbhojād
yad āha bhagavān ajaḥ
putrebhyo bhṛgu -mukhyebhyo
devyai bhagavān bhavaḥ
etad vai sarva – varṇānām
āśramāṇāḿ ca sammatam
śreyasām uttamaḿ manye
strī – śūdrāṇāḿ ca māna – da.”

Artinya:
Wahai Tuhan yang paling murah hati, pernyataan tentang proses penyembahan dalam bentuk arca ini dipancarkan dari bibir teratai Anda. Kemudian disampaikan oleh Brahmā yang hebat kepada putra-putranya yang dipimpin oleh Bhṛgu , Śiva menyampaikannya kepada saktinya, Pārvatī . Tatacara pemujaan seperti ini (archanam) diterima oleh semua lapisan masyarakat/warna dan semua tingkat kehidupan/asrama (sarwa-varnam asramanam). Oleh karena itu, saya menganggap penyembahan kepada Anda dalam bentuk arca menjadi yang paling bermanfaat dari semua praktik spiritual, bahkan untuk wanita dan pelayan.


kemudian dipertegas lagi oleh pernyataan Krishna dalam sloka berikutnya :

Śrīmad Bhāgavatam 11.27.9

“arcāyāḿ sthaṇḍile ‘gnau vā
sūrye vāpsu hṛdi dvijaḥ
dravyeṇa bhakti -yukto ‘rcet
sva – guruḿ mām amāyayā.”

Artinya:
Seseorang yang telah didwijati harus menyembah-Ku dengan sepenuh hati, mempersembahkan berbagai perlengkapan persembahan yang sesuai dalam pengabdian penuh kasih kepada bentuk KeilahianKu sebagai arca atau bentuk DiriKu yang muncul di atas tanah, di api, di bawah sinar matahari, di air atau di dalam hati pemuja itu sendiri.

Jadi dengan Simbol atau Pengarcaan umat Hindu bisa menjumpai Tuhan Yang Maha Esa.

Semoga bermanfaat bagi Keluasan pemahaman kita. Dan menguatkan Sraddha-Bhakti kita di jalan Dharma. Manggalamastu.

Om Santih Santih Santih Om
I Wayan Sudarma (Jero Mangku Danu) –sumber