Selasa, 27 Juni 2023

ULAT LULUT

 


Banten yg harus di persembahkan
Ulat lulut merupakan sebangsa binatang kecil-kecil seperti ulat. Di masyarakat bali biasanya sudah mengenal mengenai ulat lulut berada disuatu pekarangan rumah, ulat lulut ini berbentuk kecil-kecil jalannya berentetan seperti sebuah kalung dan memiliki warna yang berbeda-beda, ada yang berwarna putih, ada yang berwarna kuning keemasan, dan ada yang berwarna tembaga. Ulat lulut ini muncul merupakan suatu pertanda sebagai bahasa isyarat dari alam terhadap salah satu keluarga di tempat ulat lulut itu mencul.
Oleh karena itulah kita umat hindu menyebutnya dengan nama lulut, dan langsung menjadi kepercayaan umah hindu khususnya di bali, mungkin juga di tempat lainnya bila di dalam pekarangannya muncul lulut.
Cerita Mitos adanya Ulat lulut
Ada dua orang penghuni dewata loka, yaitu I Gudug Pasu, dan I Bawi Serenggi, pada suatu ketika mereka mendengar berita bahwa ada seorang Dewi penghuni Surga Loka yang bernama Bhatari Sri, beliau merupakan satu-satunya dewi yang paling cantik di seluruh Surga Loka. Ketika ke dua dewa penghuni Dewata Loka mendengar berita itu, kedua dewa itu sangat tertarik kepada Bhatari Sri, dan ingin mempersuntingnya. I Gudug Pasu dan I Bawi Serenggi yang sama keinginannya untuk mendapatkan Bhatari sri, dalam pertemuannya I Gudug Pasu mengatakan : “Hai sodaraku Bawi Serenggi, aku tahu apa yang tersimpan dalam hatimu setelah kita mendengar berita tentang kecantikan Bhatari Sri, begitu juga yang tersembunyi dalam hatiku. Yang sama-sama berkeinginan untuk mempersunting Bhatari Sri, sudah jelas Bhatari sri hanya seorang diri, sedangkan yang menyukainya kita berdua.jadi harus bagaimana kita bertindak sekarang, agar jangan kita nanti dihadapan Bhatari sri kita bertengkar, atau berlaku tidak senonoh, kita sama-sama penghuni Dewata Loka, sudah sewajarnya bersikeras mempertahankan mutu sifat kedewataan kita, menurut pendapatku dalam hal ini hanya ada satu jalan yaitu kita harus salah satu yang hidup, untuk tujuan itu, tidak ada jalan lain lagi kecuali berperang”.
I Bawi Serenggi setelah mendengar kata kawanya itu segera menjawab : “pendapatku juga demikian”. Akhirnya mereka bertarung untuk mendapatkan Bhatari sri, pertarungan mereka makin lama makin bertambah hebat, suara sentuhan senjata membisingkan, api yang timbul akibat sentuhan senjatanya tampak sebagai kilat membelah bumi, begitu hebat pertarungannya, sedikitpun pada sekujur tubuh mereka tiada bekas-bekas goresan senjata.karena begitu lama pertarungannya tidak ada yang kalah, akhirnya peperangan itu mereka hentikan, karena mereka sama-sama yakin bila di teruskan tak ada yang berakhir kalah dan menang. Setelah peperangan berhenti I gudug Pasu lalu berkata “saudaraku Bawi serenggi, oleh karena pertarungan kita tidak ada yang kalah dan menang. Sekarang baiklah kita teruskan saja usaha kita untuk dapat mengawini Bhatari Sri, marilah kita pergi saja ketempat Dewi Sri yaitu Sorga. Akan tetapi menurutku kepergian kita itu kita bagi. Kamu pergi menuju kearah barat laut dan aku sendiri menuju kearah timur laut”. Demikian perjanjian meraka yang sama-sama mentaatinya. Entah beberapa lamanya meraka dalam perjalan kini tersebutlah I Gudug Pasu yang mengambil arah ketimur laut tiba-tiba bertemu dengan Bhatara Siwa. Kepada Bhatara Siwa dia menjelaskan apa yang menjadi tujuannya sehingga dia sampai datang ke tempat ini. Bhatara Siwa setelah memahami maksud dan tujuannya I Gudug Pasu, beliau bersabda “ ya kalau itu yang kamu maksudkan, memang benar Bhatari Sri sangat cantik, tetapi sayang sekali Bhatari Sri kini tidak masih tinggal disini, Ia telah turun kedunia bersama kakaknya Batara Rambut Sedana untuk menguasai Dunia begitulah halnya dan sekarang teserah padamu” Sabda Bhatara Siwa. I Gudug Pasu setelah mendengar sabda Bhatara Siwa demikian, ia segera mohon pamit untuk meneruskan perjalanannya dalam mencari Bhatari Sri.
Kini tesebutlah seorang Raja yang menguasai daerah sebagaian dari dunia yaitu di Negara Maninte, Raja itu bermimpi bahwa Bhatari Sri sudah turun kedunia dan kini sedang berada dalam daerahnya,tapi entah dimana tempatnya. Berhalasan ini lah beliau segera memanggil seluruh rakyatnya untuk dimintainya penjelasan. Tetapi malang semua rakyatnya menjawab dengan tidak tau. Oleh karena mereka semua menjawab dengan tidak tahu akhirnya raja menitahkan agar seluruh rayatnya pergi mencari Bhatari sri diseluruh wilayahnya.

Bhatari Sri kini sedang perjalannya menuju dunia, sampailah beliau pada perbatasan negara yang menjadi kekuasaan Sang Raja Maninte, perjalanan Betari Sri diiringi oleh 2 orang abdinya masing-masing Ni Sri Tekong/ keladi dan Ni Sri Kuncung/ jagung) .
Sampainya Dewi Sri di dunia, beliau terkejut setelah ,melihat rakyat begitu banyak datang dan meraka siap menghadap dirinya, dengan tidak berpikir panjang, beliau segera menghilang dari tempat itu bersama kakanya lalu menuju hutan. Sampai dihutan beliau lalu berhenti di bawah sebatang kayu ketepung kuning yang rindang dahanya. Disanalah beliau berhenti sejenak untuk melepas lesunya. Pada saat itulah I Gudug Pasu dengan tidak sengaja dapat menjumpai Bhatari Sri, kegembiraan hatinya itu I gudug Pasu segera berkata “ Wahai jungjunganku Bhatari Sri syukurlah hamba bertemu dengan dewi di tempat ini. Ketahuilah wahai bhatariku, bahwa saya ini telah sekian lama sudah meninggalkan Sorga , untuk mencari Bhatariku, karena saya tidak akan senang bila belum dapat mempersunting bhatari ku”. Medengar kata –kata yang dihucapkan oleh I Gudug Pasu, Betari Rambut Sedana cepat menyelahnya “ Hai Gudug Pasu, kalau demikan kehendakmu aku sebagai kakanya belum iklas menyerahkan adiku begitu saja tanpa pembelahan. Hanya jiwakulah yang menjadi taruhanya”. I Gudug Pasu yang kehendaknya tak dapat di belokannya lagi, tahu akan dirinya, tak ada yang menyamai kesaktiannya, dengan tidak terduga-duga menyerang Betari Rambut Sedana untuk akan ditaklukannya. Pertarungan terjadi dengan dahsayatnya. Tak ada yang mengalami cedra selama pertarungan itu berlangsung. Saat pertarungan itu terjadi dengan hebatnya Betari Rambut sedana tiba-tiba mendengarkan suara dari langit “Hai dewa Rambut Sedana, bila dengan jalan ini membunuh I Gudug Pasu, pasti tak akan berhasil. Hanya dengan menangkapnya dan membuangnya ketengah samudra bisa mengalahkanya, hanya dengan jalan inilah akan berhasil usahamu untuk mengalahkannya” Betara Rambut Sedana tidak berpikir panjang lagi setelah mendengar sabda itu, dengan secepatnya ia lalu memancing I gudug Pasu kearah laut. Tiba dilaut Batara Rambut Redana Berhasil menangkap I Gudug Pasu dan segera melontarkan ketengah-tengah samudra yang luas. Setelah I Gudug Pasu berada dalam lautan sempat, ia mengeluarkan kata-katanya, kata-katanya itu jelas terdengar oleh betara rambut Sedana “hai Rambut Sedana apa dengan jalan beginikah kamu akan sanggup membunuh ku? Belum tentu. Tetapi ingat cita-citaku belum tersampaikan untuk mendapatkan Dewi Sri, aku akan terus berjuang sampai cita-citaku benar-benar terpenuhi”. Hilang suara itu, tiba-tiba mengapunglah dipermukaan air laut seekor ikan yang pada hakekatnya bahwa ikan itu adalah jelmaan I Gudug Pasu, dalam cerita disebut dengan Be Biwang uyah. Kini setelah I Gudug Pasu tiada lagi, Bhatara Rambut Sedana kembali menjumpai Bhatari Sri. Betapa girangnya hati Bhatari Sri melihat rakandanya datang dengan selamat.
Bhatara Rambut sedana bersabda “ adikku kini marilah kita turun ke medang Kemalean, untuk itu aku harap agar dinda tidak lagi menggunakan badan,melainkan sekarang ini dinda harus mempergunakan badan ulat kecil, begitu juga aku dengan memakai badan ulat juga, warna badanmu agar kuning dan aku warna kulit putih. Cara ini adalah suatu rahasia bagi kita untuk jangan kita sampai keliru mengingat kelak bila kita akan berjumpa, sehandainya barang siapa saja manusia didunia akan menjumpai kita supaya kita dipapag dengan upacara keagamaan sesuai dengan agama yang mereka anut. Bila dinda terlebih dahulu dijumpai agar mereka memapagnya dengan upacara yang terdiri dari: suti asoroh, dengan menggunakan daging ayam biying yang berbulu merah, tetebasan, peras lengkap dengan sesantunnya, penyeneng pelinggih, serta canang sekedarnya. Apabila aku di jumpainya, upacaranya sama saja hanya daging sucinya agar menggunakan ayam yang putih bulunya. Setelah dinda di papag, hendaknya ia cepat kembalikan ketempat padi ( lumbung) sedangkan aku agar ia kembalikan kegedong saren. Dalam hal ini memberikan kelonggaran bagi manusia yang menjumpainya, bila hari ini mereka menjumpai kita, lambat-lambatnya lagi tiga hari harus mereka buatkan upacaranya. Nah demikian lah pesanku, dan untuk itu aku harapkan dinda berangkat terlebih dahulu, karena aku ini masih dalam keadaan lelah”.
Kini tersebutlah I Gusti Makokowan, Raja yang menguasai Negara medang kemalean. Pada waktu itu beliau sedang sibuknya megadakan upacara, upacaranya yang memerlukan lubang tanah, raja segera menitahkan salah seorang dari abdinya untuk membuat lubang pada tanah sekitar yajnya diselenggarakannya, entah beberapa lamanya setelah yajnya itu berlalu maka tumbuhlah serumpun padi pada tempat cekung yang tanahnya pernah di gali semenjak di selenggarakannya yajnya tempo hari. Melihat itu alangkah girang hati Sang Raja, karena itu sungguh-sungguh kehadaan yang diluar dugaannya, begitulah keadaanya sehingga menjadi perhatian bagi seluruh rakyatnya.
Adapun kawan I Gudug Pasu yakni I Bawi Serenggi yang mengambil jalan arah kebarat laut,I Bawi Serenggi tidak memjumpai Dewi Sri maupun Bhatara Siwa, melainkan ia hanya menjumpai serumpun bambu gading ( ampel-gading)dia sangat kesal, karena tidak menemukan Dewi Sri, dengan tidak di sadari perbuatannya, maka cabang-cabang dari ampek gading itu di patah-patahkan, akibat perbuatannya tiba-tiba terdengarlah suara, setelah suara itu diselidikinya ternyata datang dari rumpun bambu itu, mengatakan “ O Bawi Serenggi, kenapa kau membuat aku seperti ini? Bukannya kamu akan mencari Dewi Sri? Kamu tidak tahu siapa aku ini sedangkan aku sediri telah mengetahuimu. Sekarang dewi Sri sudah terun di timur laut, carilah disana, nanti disana kamu akan jumpai cekung tanah, disanalah Bhatari Sri berada”. Begitulah terdengar suara dari rumpun bambu itu dan sekarang ia segera meninggalkan tempat itu, dan segera menuju tempat sebagaimana yang di tunjukan oleh suara tadi. Tetapi malang kedatangan I Bawi Serenggi, kedatangannya telah di ketahuinya terlebih tahulu oleh Bhatari Sri sehingga Bhatara Sri mengutuknya menjadikan babi yang begitu buas. Terhujudlah kutukan Bhatari Sri,kini I Bawi Serenggi sudah menjadi babi yang garang tanah-tanah di sekitar tempat itu dikacaukannya tempat itu sehingga berserakan.
Pohon-pohon diobrak-abriknya dengan sehendaknya, tingkah laku babi buas yang membabi buta itu, menimbulkan amarah Sang Raja. Sudah tentu Raja tidak membiarkan babi itu berbuat begitu semakin lama.Raja segera menangkapnya, tetapi babi itu melawan dengan sekuat-kuatnya sehingga terjadilah pertarungan yang hebat, keduanya sama-sama kuat, ketika pertarungan berlangsung sengit, tiba-tiba terdengar suara yang tidak dapat diketahui dari mana sumbernya yang maksudnya agar I gusti makokowan dalam usahnya membunuh babi itu tidak menggunakan senjata yang dipakainya itu, melanikan ia harus menggunakan bambu yang diruncingngi. I Gusti Makokowan segera melepaskan diri dari pertarungan itu, segera mengambil senjata bambu runcing. Dengan senjata inilah Raja menyerang babi buas itu dengan bertubi-tubi sehingga dengan senjata itulah baru tubuh babi itu terluka olehnya, darah yang tersembur kesana-kemari yang menandakan bahwa jiwanya akan segera meninggalkan jasadnya, sebelum jiwanya pergi meninggalkan tubuhnya sempat ia mengeluarkan kata-katanya ” hai Gusti Makokowan, sekarang kamu bisa membunuhku, tetapi ingat, cita-cita ku untuk memperistri Dewi Sri belum terwujud, selama keinginan ku belum terwujud, selama itu pula aku akan berjuang” . setelah selesai ia mengucapkan kata-katanya itu maka melayanglah jiwanya dan jasadnya menggeletek pada tempat itu. Apakah yang akan terjadi setelah babi itu tiada? dalam cerita ini disebutlah bahwa darah dari babi itu dikatakan menjelma menjadi candang api, nabasnya menjelma menjadi candang kubal, kukunya menjadi candang getep, dan ekornya menjadi candang kibul,
Begitulah disebutkan dalam ceritera kalulutan yang pada hikmatnya kami bahwa segala candang-candang yang disebut tadi adalah ia merupakan penyakit padi,misalnya semacam hama yang bisa disebut hama merah, hama mentek dan lain-lainnya, yang sulit bagi petani kita memeranginya, walaupun dengan jalan menggunakan bahan-bahan kimia yang modern.disamping kita sebagai petani memeranginya dengan jalan itu, ada baiknya kalau kami sarankan sesuai dengan kepercayaan kita sebagai umat Hindu, untuk menyertai usaha pembasmian itu dengan jalan mengadakan peneduhan-peneduhan pada tempat-tempat suci yang kita anggap bhatara yang beristana disana bercompeten dalam bidang itu.
Itulah yang dapat saya ketahui tentang cerita asal mula adanya lulut dan sampai sekarang masyarakat bali sangat percaya tentang adanya lulut.kita sebagai umat hindu khususnya di Bali tidak bisa membiarkan begitu saja jika ada muncul lulut di pekarangan kita, bahkan mereka yang pekarangan rumahnya kedatangan ulat lulut, akan segera mengadakan upacara bhuta yadnya sekurang-kurangnya tingkat Eka sata, sesuai dengan kepercayaannya. Sudah tentu upacara yang mereka lakukan berfungsi sebagai pemarisudha.
Dalam lontar Segara Bumi juga menjelaskan Ulat lulut ini muncul merupakan suatu pertanda sebagai bahasa isyarat dari alam terhadap salah satu keluarga di tempat ulat lulut itu mencul. Pertanda ini dapat dijelaskan sesuai petunjuk lontar “ Roga Segara Bumi” antara lain:
1. Kalau dipekarangan rumah muncul adanya ulat lulut yang berwarna kecoklatan, dikatakan lulut “tembaga” adalah sebagai pertanda bahwa upacara penyucian karanganya masih belum sempurna, sehingga adanya prawesa kedurmengalan berupa lulut warna coklat, akan dapat mengakibatkan adanya kejadian-kejadian labian amuk di pekarangan tersebut.
2. Kalau di pekarang rumahnya muncul adanya ulat lulut berwarna putih, disebut “Lulut Selaka “ maka hal itu merupakan pertanda bahwa ada salah satu dari leluhur di tempat itu mendapatkan kesengsaraan, masih keletuhan sehingga leluhur yang demikian meminta tolong kepada sentana agar dibuatkan upacara penyucian kembali, kalau tidak demikian, akan selalu mendapatkan mara bahaya.
3. Kalau di pekarangan rumahny muncul adanya ulat lulut berwarna kuning keemasan, disebut “ Lulut Emas” adalah merupakan pertanda bahwa di karang tersebut, dulunya ada salah satu pohon yag tumbuh di pekaranga tersebut disambar halilintar ( sinamberaning gelap), sehingga mengakibatkan tempat tersebut kedurmengalan, karena tidak pernah melakukan upacara pemarisudha durmengalan dari dulu. Hal ini dapat memberi pertanda bahwa setiap anggota keluarga silih berganti mengalami sakit dan dalam waktu lama tidak mengalami kesembuhan, boros, sering mengkibatkan perselisihan antar anggota keluarga, selalu menemukan bahaya.
Pertanda dengan adanya ulat lulut tersebut bagi umat hindu khusunya yang tinggal di bali sangat perlu di yakini, sesuai dengan petunjuk lontar roga sengara Bumi yang isi petunjuk lontarnya anatara lain :
Muah Yan Hana Uler, Lulut Kenaka, Rejata, Muang Temaga, Tumuwuh Ring Kadewatan Sira, Wenang Gaweyaken Pemarisudanta Sang Hyang Druwa Resi Maweh Wangsit, Ciri Palemahan Sira Manggih Lara Makweh Pangrubedania Luire : Yan Lulut Tmaga Ciri Nguni Hana Ri Palemahania Kekneng Sinambering Gelap Pangrubedania Lara Tan Kepegatan, Memehan Hana Kelabuan Amuk, Wanang Parisudana Sejeroning Wulan Pitung Dina, Warasa’ya.
Hana Muah Lulut Kenaka, Maka Ciri Hana Pitra Kewalunan Kekneng Soda Sengsara, Pangrubedania, Rug Ikang Sanak Kulawargania Ring Lemah, Sentania Makweh Cendek Tuwuh, Wenang Parisudanan, Waras’ya.
Hana Manih Katiben Lulut Rejata,Nga, Emas, Apan Manusa Maring Lemah Tan Wruh Ring Kawitania, Rug, Sanakuluwarga’ta Umaweh Lara, Umaweh Tan Pegatan Anemu Redut, Cendek Tuwuhnia, Oros Pedaging Umahnia, Wenang Pari Sudhanan, Waras’ya
Jika berbicara tentang filsafat,maka adanya binatang lulut di suatu pekarang rumah, merupakan pekarangan itu terkena leteh, dalam lontar “Roga Segara Bumi” sudah memberikan petunjuk bahwa sebagai bahasa isyarat dari alam terhadap salah satu keluarga di tempat itu, sehingga adanya prawesa kedurmengalan berupa lulut. Pengertian Durmangala adalah Durmangala berasal dari kata “Mala” yang maksudnya keletuhan, dan kata “dur” dapat diartikan telah kena, mendapat sisipan “Ng” menjadi kata “durmangala” yang memiliki arti Kena keletuhan. Dan kata Prawesa berasal dari kata “para” yang dapat diberikan arti “segala bentuk” dan kata “wesa” berasal dari kata “WASIBHUTA” yang artinya “ tersiksa” atau “Siksaan” ( Kamus Jawa Kuno, Hal 667). Maka arti secara keseluruhan adalah telah mengalami keletuhan dan siksaan dari kekuatan bhuta, sehingga merasakan kesedihan. Jika ulat lulut itu ditemukan di area persawahan yang di tananami padi, maka ulat lulut sebagai hama, dan jika ulat ulut di temukan di pekarangan rumah, maka pekarang rumah itu mengalami keletuhan dan siksaan dari kekuatan bhuta sesuai petunjuk Lontar Roga Segara Bumi.
Kita sebagai umat hindu khususnya di bali, banyak sekali kejadian-kejadian yang merupakan di luar nalar manusia dan juga sulit di jelaskan secara ilmiah, maka dari itu kita harus percaya dengan hal yang seperti itu. Apa lagi terjadi di pekarang rumah kita sendiri, kita harus menyikapi hal tersebut dengan upacara yang sesuai ketentuan. Agar terhindar dari kesengsaraan. Kita sebagai umat hindu harus menjaga keseimbangan sekala (jasmani) dan juga niskala (rohani) diperhatikan dan dikerjakan dengan baik. Sebab hidup yang baik adalah hidup yang seimbang, serasi dan harmonis dalam segala hal.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsana, I. B. Putu. 2009. Ajaran Agama Hindu Prawesa. Denpasar: Yayasan Dharma Acarya.

Sabtu, 24 Juni 2023

14 Ritual Hindu dari Masa Kehamilan Hingga Meninggal






Panglingsir Grya Ulon Jungutan, Ida Bagus Gunawan. (Dian Suryantini/Bali Express)

KARANGASEM, BALI EXPRESS – Dalam umat Hindu terdapat konsep upacara yang disebut dengan Panca Yadnya. Panca Yadnya diartikan sebagai lima persembahan suci kepada Tuhan. Adapun tingkatannya adalah Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya, Butha Yadnya, dan Pitra Yadnya.


Dewa Yadnya adalah persembahan yang ditujukan kepada Tuhan, Rsi Yadnya adalah persembahan yang ditujukan pada rsi (guru). Selanjutnya Manusa Yadnya adalah persembahan atau upacara penyucian secara spiritual kepada manusia. Sementara Bhuta Yadnya adalah persembahan yang ditujukan untuk para Bhutakala untuk menjaga keseimbangan alam. Dan yang terakhir adalah Pitra Yadnya, yakni persembahan kepada para leluhur.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Pada bagian Manusa Yadnya, terdapat 14 ritual yang harus ditempuh dalam kehidupan manusia. Yang pertama adalah upacara Ngrujak. Ngrujak merupakan upacara yang pertama dilaksanakan bagi seorang wanita yang sedang hamil muda. Upacara ini bertujuan untuk memperkuat kehamilan ibu dan mengurangi risiko keguguran. Juga bertjuan untuk pertumbuhan bayi yang sehat dan aman.


Bahan utama untuk Ngrujak adalah berbagai jenis pisang dan buah-buahan, seperti Delima, Pepaya, Mangga, Belimbing, Badung, Kecubung, juga Gula Aren (Juruh) dan Madu. Permata Rubby kecil (jika mungkin Delima Rubby) kemudian dimasukkan ke dalam campuran buah, diletakkan dalam batil atau gedah yang terbuat dari gelas, kemudian diberkati dengan mantra oleh pendeta.

“Poinnya dalam upacara ini adalah bagaimana bayi yang ada dalam kandungan itu sehat dan ibunya juga sehat. Caranya adalah dengan makan buah. Karena ibu yang hamil dan anak yang dikandung butuh asupan gizi, juga vitamin. Kalau secara ilmiahnya seperti itu. Akan tetapi dalam Hindu ini ada ritualnya. Dan, Ngrujak inilah upacaranya, kalau istilah Bali ini disebut apang tis,” jelas Panglingsir Puri Ulon Jungutan, Ida Bagus Gunawan, pekan kemarin.

Yang kedua adalah upacara Magedong-gedongan. Upacara ini untuk seorang ibu dengan usia kehamilan 3-6 bulan. Upacara ini adalah upaya untuk memurnikan dan menjaga keselamatan janin dan ibu, berharap bayi yang akan lahir tumbuh menjadi orang yang baik atau suputra dan memainkan peran penting, baik untuk keluarga maupun masyarakat.

Rangkaian upacaranya meliputi suami ditemani istrinya menyiapkan benang hitam, menyiapkan galah buluh. Bambu ini digunakan untuk menumbak daun kumbang (sejenis talas) dibentuk seperti bungkusan dan didalamnya diisi dengan ikan air tawar.

Selanjutnya istri menjunjung ceraken, kemudian dipuja mantra oleh pendeta dan pada saatnya tiba, istri kemudian menelan sepasang permata mirah (Mirah Delima).

“Ini upacara untuk wanita hamil 7 bulan, agar bayi yang dilahirkan kelak tumbuh menjadi anak yang baik dan berbakti. Makanya ada disebut menelan sepasang permata. Tapi ini bisa disimbolkan dengan buah Delima merah,” jelasnya.

Upacara yang ketiga yakni Nanem ari-ari. Upacara ini bertujuan untuk memohon permakluman kepada Hyang Ibu Pertiwi dan Hyang Akasa untuk menerima dan berkenan memberikan perlindungan, umur panjang serta keselamatan bagi si bayi.

Ari-ari pertama harus dicuci sampai bersih, dibungkus dengan kain kasa, diisi rempah-rempah, lalu dimasukkan ke dalam kelapa untuk selanjutnya ditanam. Di atas ari-ari diletakkan batu dengan permukaan datar dan pandan berduri, disampingnya ditempatkan baleman (bara api).

Baleman adalah simbol dari pembakar jasad. Lamanya membuat baleman adalah satu bulan tujuh hari (42 hari). “Apabila tidak dilakukan dengan benar maka tujuan membakar jasad tersebut tidak akan berhasil. Untuk penanaman ari-ari anak perempuan ditanam di sebelah kiri pintu masuk dan anak laki-laki di tanam di sebelah kanan pintu masuk,” tambahnya.

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Upacara selanjutnya adalah kepus wedel atau kepus pungsed. Upacara ini khusus ketika plasenta terlepas dari pusar bayi. Biasanya 5-15 hari setelah bayi lahir. Dalam kepercayaan orang Bali, kepus wedel menandai masuknya kekuatan spiritual Nyama Catur yang akan terus merawat bayi.

“Pratiti Mas sebagai penjaga bayi disiapkan. Pratiti ini seperti pasikepan dalam istilah Bali, terbuat dari daun kelapa, digulung sedemikian rupa lalu diikat dengan benang hitam, selanjutnya diikatkan pada pergelangan tangan kiri bayi,” sambungnya.

Ritual yang kelima adalah Mapag Rare. Ritual ini dilakukan ketika bayi berusia 12 hari. Tujuan dari upacara ini adalah untuk mengucapkan terima kasih kepada Sang Hyang Dumadi (yang lahir kembali), bahwa bayi itu lahir dengan selamat.

“Melalui upacara ini diharapkan yang dumadi memeroleh kehidupan yang sehat dan panjang usia. Sebelum ngayab saji Pamatang Rare, bayi itu diperciki dengan palukatan dan tirta,” imbuhnya.

Yang keenam adalah Ngeles Kakambuh. Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari. Kakambuh (penjaga) digantikan oleh penjaga (pangijeng) bayi yang berfungsi sebagai penjaga jiwa bayi, sehingga bayi akan panjang umur, bebas dari rasa sakit dan berbagai gangguan atau halangan.

Yang ketujuh upacara Nelu Bulanin atau tiga bulanan. Upacara ini dilakukan ketika bayi berusia tiga bulan atau 105 hari. Upacara ini bermakna untuk melepaskan pengaruh negatif yang dibawa oleh Nyama Catur atau empat saudara dan pada saat yang sama menyambut kedatangan untur-unsur Panca Maha Butha untuk menyatukan dan memperkuat fisik dan psikologis bayi. Pada upacara ini dipercaya bayi akan diberkati oleh Dewa Raditya atai Siwaditya.

Selanjutnya adalah Nganem Bulanin atau yang terkenal disebut Otonan atau Ngotonin. Pada upacara ini bayi dimohonkan restu dari Ida Bhatara Pertiwi agar dilimpahkan keharmonisan, kesehatan dan tidak terpengaruh oleh bencana dan hambatan.

Pada usia enam bulan, bayi diizinkan untuk menginjak tanah untuk pertama kalinya. “Upacara ini boleh dilakukan seterusnya kala hari otonannya tiba. Di Desa Jungutan sendiri pada umumnya banyak orang yang melakukannya sampai usia dewasa. Tapi ada pula yang melaksanakannya sekali saat usia enam bulan,” tuturnya.

Ritual kesembilan yakni Makutang Rambut atau Mapetik. Upacara ini menunjukkan bahwa bayi telah menjadi manusia yang sempurna. Kekotoran (leteh) bayi yang disebabkan oleh proses kelahiran telah sirna. Setelah upacara ini biasanya rambut bayi dicukur habis. Upacara ini dilakukan ketika bayi berusia enam bulan kalender Bali (210 hari) atau satu oton.

Usia aoton dipilih untuk upacara ini karena pada usia ini bayi dianggap telah memiliki sistem kekebalan tubuh yang cukup dan kesehatan bayi dalam tahap yang baik.

Upacara selanjutnya adalah upacara Semayut Maketus Lan Menek Kelih. Setelah anak kehilangan gigi pertamanya, sejak saat itu pikiran anak mulai dipengaruhi oleh Triguna. Seorang anak harus mulai belajar tentang kehidupan dan secara simbolis harus menindik telinganya. Upacara ini disebut Semayut Maketus.

Setelah anak meningkat remaja dan mulai menstruasi, ada upacara yang sebaiknya dilakukan untuk memurnikan faktor-faktor negatif yang melekat yang disebut dengan upacara Menek Kelih.

Ritual kesebelas adalah Matatah. Ritual ini hampir sama dengan upacara Menek Kelih. Upacara ini ditujukan kepada seorang anak yang telah berusia 16 tahun atau sudah bisa dianggap dewasa. Biasanya ritual ini dapat digabung dengan upacara Menek Kelih.

Kemudian setelah melaksanakan ritual Matatah, ada ritual Pawiwahan. Upacara ini juga terkadang dilakukan bersamaan dengan upacara Matatah. Upacara Pawiwahan ini tujuan utamanya adalah untuk menetralisasi kotoran (cuntaka) yang diakibatkan karena adanya pertemuan dua manusia (pria dan wanita).


Ritual ketiga belas adalah Ngaben. Ritual ini masuk dalam Pitra Yadnya. Upacara ini ditujukan untuk keluarga yang telah meninggal. Upacara ini merupakan pengorbanan yang tulus iklas yang ditujukan kepada roh leluhur. Pada lontar Yama Tattwa, filosofi Ngaben adalah mempercepat pengembalian unsur-unsur Panca Maha Butha ke asalnya.

“Ini juga menunjukkan bahwa Hinduisme tujuan akhir kehidupan bukanlah surga. Melainkan atma itu menyatu dengan Brahman atau Tuhan. Seperti yang sering didengar, tujuan akhirnya adalah moksa. Tidak terlahir kembali, tapi menyatu dengan Tuhan,” ucapnya.

Upacara yang terakhir adalah Atma Wedana. Setelah upacara Atiwa-tiwa, upacara terakhir yang dilakukan adalah Atma Wedana. Upacara ini dilakukan untuk memuliakan dan memurnikan roh/atma untuk dapat bersatu dengan Sang Pencipta.

Runtutan ritual yang dilalui manusia semasa hidup hingga meninggal ini diambil dari rujukan lontar Rare Angon dan lontar Gama Dewa Pati Urip. Selain itu, juga dari berbagai sumber, seperti para peranda dan narasumber yang ahli di bidang sastra. “Itu yang pokok sekali kami pakai rujukannya. Selain para peranda di Desa Jungutan, juga dari para Tapini serta para ahli pembaca lontar,” ungkapnya.



(bx/dhi/rin/JPR)

Cara dan Mantra Menanam Ari-ari Menurut Hindu






BATU BULITAN: Batu bulitan sebagai simbol anugerah panjang umur untuk bayi. (ISTIMEWA)


Bayi yang terlahir ke dunia tak sendirian. Berdasar kepercayaan Hindu, ada empat saudara yang mengikuti yang disebut Catur Sanak. Lantaran itu pula, ada prosesi ritual khusus, salah satunya menanam Ari-ari sang bayi.

Ari-ari merupakan bagian dari kehidupan sang bayi yang menjadi personifikasi dari Sang Catur Sanak, yakni Sang Anta Preta, Sang Kala , Sang Bhuta, dan Sang Dengen

Sang Anta Preta merupakan sebutan dari air ketuban atu yeh nyom sebagai personifikasi saudara tertua dari sang bayi karena air ketuban sebagai pengantar bayi lahir ke dunia. Sang Kala merupakan sebutan darah yang keluar a saat melahirkan sebagai sumber energi dari bayi, sehingga bayi bisa bergerak aktif untuk keluar dari perut Ibu. Selanjutnya Sang Bhuta, merupakan sebutan untuk selaput ari atau lamas yang membungkus tubuh bayi, berguna sebagai penetralisir suhu udara sebelum lahir maupun saat lahir, sehingga suhunya menjadi seimbang dan sekaligus sebagai sarana pelicin saat bayi lahir. Dan, yang terakhir adalah Sang Dengen, yakni sebutan untuk Ari-ari atau placenta yang ikut lahir.



Ida Pedanda Gede Manara Putra Kekeran yang saat walaka bernama Drs. Ida Bagus Putu Sudarsana, MBA, mengatakan, Ari-ari sangat berguna sebagai sumber kehidupan bayi dalam kandungan. Sebab, ari-ari merupakan transformator dan mediator zat-zat makanan dari ibu kepada bayi dalam pertumbuhannya sekaligus sebagai selimut dalam menjaga stabilitas suhu tubuh bayi terhadap suhu badan si ibu

Lebih lanjut dijelaskan, saat bayi lahir, ada upacara khusus yang harus dilakukan untuk mendem Ari - ari si bayi.

Saat si ibu dalam proses bersalin, maka disiapkan sebuah periuk tanah yang berisi tutup untuk tempat Ari-ari, setelah bayi lahir.

Ari-ari tersebut, dibawa pulang, dan setelah itu diletakkan di dalam baskom atau ember baru, dan ember itu tidak boleh dipakai lagi. Lalu, Ari – ari tersebut dicuci dengan air. Sang ayah harus membersihkannya dengan bersih, menggunakan kedua tangan, tanpa perasaan jijik dan dilakukan dengan perasaan penuh syukur dan kasih saying. Setelah bersih lalu dibilas dengan air kumkuman (air bunga). Siapkan sebuah kelapa ukuran besar yang masih lengkap dengan kulitnya, lalu dipotong dan dikeluarkan airnya. Pada bagian atas kelapa (bagian tutupnya) ditulis aksara Ah yang melambangkan Akasa, dan pada bagian bawahnya ditulis aksara Ang yang melambangkan Pertiwi.

"Jadi, penanaman Ari-ari memiliki tujuan untuk menyatukan pertiwi dan akasa guna memberikan keseimbangan perjalanan si bayi," imbuhnya.

Kemudian Ari-ari dimasukkan kedalam kelapa tersebut, diisi dengan 1 kwangen yang berisi 11 kepeng uang bolong yang diletakan di atas Ari - ari, 1 potong lontar atau ental yang ditulis aksara Ongkara, 1 ikat duri - durian (3 macam duri), Rempah - rempah (anget - angetan), wewangian dan boleh juga diisi pesan - pesan lain dari sang ayah dalam hal ini mengacu kepada Desa Kala Patra.

Tempat menanamnya sesuai dengan jenis kelamin si bayi. Kalau si bayi laki-laki, maka ditanam di sebelah kanan pintu balai, sedangkan kalau bayinya perempuan, maka Ari-arinya ditanam di sebelah kiri pintu balai (dilihat dari dalam rumah).

Di lain pihak, Mangku I Wayan Satra menjelaskan, sebelum mulai menanam Ari-ari, pertama harus menyalakan dupa untuk memohon perlindungan dan amertha ke hadapan Sang Hyang Ibu Pertiwi dengan mantra “ Om Ang sri basunari jiwa mertha, trepti paripurna ya namah suaha. Selanjutnya dengan ucapan “Pukulun Sang Hyang Ibu Pertiwi, pinakengulun aminta sih, ingsun angengkap pertiwi, ngulati amendem Ari-ari, tan kenang sira keletehan, rinaksanan denira Sang Catur Sanak, manadi pageh uripe di jabang bayi, Om sidhi rastu ya namah swaha.”

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Setelah mengucapkan mantra tersebut, lanjutnya, barulah membuat lubang, selanjutnya Ari-ari dicuci dengan air biasa sampai bersih. Sesudah itu diusapi dengan boreh gading sampai rata, kemudian dibilas dengan air kumkuman agar bersih. Semua air pencucinya dimasukkan ke lubang tersebut. Ari-ari dimasukkan ke dalam kelapa yang dibelah menjadi dua dan diisi ngad, lontar yang telah ditulisi aksara, kewangen yang berisi uang bolong 11 kepeng, duri-duri, isin ceraken, anget-anget, dan wangi-wangian dibungkus dengan serabut ijuk, serta diluar ijuk dibungkus dengan kain putih, dibuat simpul di atasnya, dan dipasangkan kwangen di atasnya. Masukkan Ari-ari ke dalam lobang atau bangbang dengan muka kwangen ke arah halaman rumah. Sambil meletakkan di dalam lubang, ucapkan mantra dalam hati

“Om presadha stiti sarisa sudha ya namah“ dan ucapakn "Ong sang ibu pertiwi rumaga bayu, rumaga amertha sanjiwani, ngamertanin sarwa tumuwuh, ( nama bayi ) mangda dirgayusa nutugang tuwuh.

"Artinya, Om Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai pertiwi, penguasa segala kekuatan, penguasa kehidupan, menghidupi segala yang lahir atau tumbuh, si anu (nama si bayi) semoga panjang umur.

Setelah ditanam, di atasnya ditanami pohon pandan dan batang kantawali, sebatang buluh guna memasukkan air nantinya ke ari-ari tersebut kemudian diletakkan sebuah batu hitam atau batu bulitan. Di atas batu diletakkan sebuah lampu Bali yang telah menyala dan dibiarkan tetap menyala sampai bayi kepus pusar, kemudian ditutup dengan sangkar ayam.

Di bagian hulu dari ari-ari, ditanam ditancapkan sebuah sanggah tutuan dihiasi dengan bunga merah, lengkap berisi sampian, gantung-gantungan, sebagai stana Sanghyang Maha Yoni.

Suguhkan segehan beralaskan daun taru sakti (dapdap) pada Ari-ari sebanyak empat tanding yang merupakan persembahan kepada Catur Sanak yakni, kepelan putih satu tanding, lauknya garam menghadap ke timur. Kepelan merah (bang) satu tanding, dengan lauk bawang menghadap ke selatan.

Kepelan kuning satu tanding, lauk jahe menghadap ke barat. Kepelan hitam (ireng) satu tanding, lauk uyah areng menghadap ke utara, dengan mantra "Ong sang butha preta, empu semeton jrone sang rare, mangde pageh angemit."

Kemudian percikkan tetabuhan berem dan arak, dan lakukan ritual menghaturkan segehan ini setiap rahinan jagat, kliwon serta petemuan dina kelahiran bayi. Selanjutnya setiap hari di atas batu bulitan atau batu hitam disajikan banten nasi segenggam di atas daun dapdap dengan lauk garam dan arang.

Setiap selesai memandikan bayi, siramkan air memandikan bayi tersebut di batu hitam tersebut. Menghaturkan soda putih kuning, canang sari pada sanggah tutuan, dengan mantra “Om pakulun paduka Sang Hyang Maha Yoni maka dewaning rare astana ring pelantaran, penyawangan, pinakengulun sang adruwe jabang bayi anganturaken bhakti seprakaraning penek putih kuning, maduluran kesuma, pinakengulun aminta nugeraha, kemit rareningulun rahina kelawan wengi, anulak sarwa ala, sakwehing joti maetmahan jati, Ang, Ah amertha sanjiwani ya namah swaha.”

Selain itu, ada beberapa makna yang terkandung dalam perlengkapan menanam Ari-ari, yakni batu bulitan mengandung makna sebagai permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi agar sang bayi dianugrahi panjang umur. Pohon pandan duri diwujudkan sebagai buaya putih sebagai penjaga bayi terhadap gangguan yang bersifat black magic. Lampu ini berbahan bakar minyak kelapa yang dicampur dengan minyak lampu wayang (tunasin ring jro dalang) serta minyak kelapa (nyuh surya). Lampu Bali yang menyala melambangkan Sanghyang Surya Candra, yaitu memiliki kekuatan Widia, oleh karena itu lampu tersebut ditatabkan atau ayab dengan mantra “Om Ang Ah surya candra gumelar ya namah swaha.“

Ini sebagai lambang kekuatan maya Sang Hyang Widhi dan sebagai Cakra Jala (batas pandang alam semesta), di mana Catur Sanak merupakan bagian mayanya Sang Hyang Widhi dan merupakan unit kehidupan maya di alam semesta, serta menjadi pelindung bayi. "Sanggah Tutuan merupakan simbol dari stananya Sang Hyang Maha Yoni sebagai Dewa pengasuh sang bayi," tutup Satra.



https://baliexpress.jawapos.com/read/2017/11/12/26172/ini-cara-dan-mantra-menanam-ari-ari-menurut-hindu

Etika Makan Cara Hindu; Hindari Ngeleklek, Nidik, hingga Nyilapin






Ilustrasi (ISTIMEWA)


DENPASAR, BALI EXPRESS - Makan tidak hanya diatur berdasarkan etika formal. Namun, di Hindu ada aturan khusus tata cara makan yang mengacu berdasarkan sejumlah kitab suci. Seperti apa aturannya?


Cara Simple mendapatkan penghasilan harian dari trading forex klik disini

Sikap makan dalam ajaran agama Hindu dapat ditemui dalam Kitab Manawa Dharma Sastra dan Lontar Tutur Lebur Gangsa. Dikatakan Pinandita Drs I Ketut Pasek Swastika, posisi ke arah mana makan pun juga mempunyai makna tersendiri, seperti dituangkan dalam Manawa Dharma Sastra II. 52.

"Seseorang yang menyantap makanan menghadap ke timur akan panjang umur. Jika menghadap ke selatan akan menjadi terkenal. Kalau seorang makan menghadap ke barat, maka akan makmur, dan jika menghadap ke utara, ia akan mendapat kebenaran," papar Pinandita Drs I Ketut Pasek Swastika, yang juga Wakil Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali ini kepada Bali Express ( Jawa Pos Group ) akhir pekan kemarin di Denpasar.



Tata cara makan, lanjutnya, hendaknya dimulai dengan doa sebelum mulai makan.
Selanjutnya seorang harus melihat makanannya dengan rasa suka cita. "Jangan merasa muak bila makanan yang sedang kita hadapi tiada berkenan. Jangan pula mencela makanan yang dihidangkan, bilamana makanan tersebut bukan menjadi kesukaan," paparnya.


Dikatakan Pinandita Ketut Pasek Swastika, penghormatan makanan walau tidak disukai ini, termuat dalam Manawa Dharma Sastra II.54 yang isinya 'Ia harus selalu menghormati makanan dan menyantapnya tanpa rasa muak, baik ketika ia melihat makanan itu hendaknya merasa bahagia dan menunjukkan rasa suka cita dan mendoakan akan selalu memerolehnya'.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

"Usai menyantap makanan, maka seseorang disarankan untuk membersihkan tangannya. Lalu memercikkan air ke ubun-ubun dengan harapan nantinya beliau memberi waranugraha atas apa yang telah dimakan. Terakhir barulah ditutup kembali dengan doa, agar kelak selalu diberikan hal yang sama berupa makanan," ujarnya.


Sebagai manusia hendaknya tidak menyantap makanan secara berlebihan. Hal ini tertuang dalam Manawa Dharma Sastra II.56, yang menyebutkan, janganlah menyantap makanan yang ditinggalkan seseorang dan jangan makan diantara dua waktu makan, hendaknya jangan makan berlebihan atau pergi kemanapun sesaat dan setelah makan sebelum membersihkan mulut.
Ditambahkannya, pada Lontar Tutur Lebur Gangsa perilaku cara menikmati makanan (nasi) juga dibahas. Hal ini pun mungkin sering didengar seseorang dalam nasihat orang tua pada anaknya ketika sedang makan.


Pinandita Ketut Pasek Swastika menjelaskan bahwa dalam Lontar Tutur Lebur Gangsa ada beberapa istilah cara makan yang sebaiknya tidak dilakukan. Mulai dari Nyeret yang artinya sikap seseorang makan nasi sambil berjalan, sehingga kurang pantas dilakukan karena tidak elok dilihat orang lain.


Tidak hanya itu, ada juga makan sambil melakukan pekerjaan atau kegiatan lain yang disebut dengan Ngeleklek, tidak pantas dilakukan karena menjadi tidak fokus. Kemudian ada istilah Nugtih, yaitu ketika makan sambil duduk kaki membujur terlilit ke depan. Berikutnya ada Ngeloklok, yakni makan dengan cara berjongkok, yang memang secara etika kurang enak dilihat orang lain.


Selain itu, ada juga disebut Leler, yakni gaya makan dengan berdiri. Hal ini tentu sering juga didengar secara umum bahwa makan berdiri sebaiknya dihindari karena secara kesehatan tidak baik. Selanjutnya ada Mamantet, yakni sikap makan dengan berdiri sambil menghadap ke barat. Kemudian ada Nidik, hampir sama dengan Mamantet, makan berdiri bedanya dilakukan sambil menghadap ke selatan.


Lebih lanjut lagi ada Ngamah. Ini adalah posisi makan sambil tiduran. Sebuah sikap yang tentu kurang sopan jika dilihat dan bisa juga menimbulkan asam lambung naik. Namun, tentu bagi orang yang sakit ini tidak menjadi larangan.


Lalu ada Mlokpok, yakni posisi makan dengan cara seperti binatang langsung memakai mulut. Terakhir ada yang dinamai Nyilapin. Gaya makan ini dengan cara duduk, tetapi lutut diberdirikan (bukan bersila).


Pinandita Ketut Pasek Swastika menjelaskan bahwa semua etika maupun larangan makanan itu ada maksudnya. Seperti nasihat dilarang makan di depan pintu, karena nantinya menghalangi orang yang mau keluar masuk lewat pintu tersebut.


Di tempat terpisah, tokoh spiritual kelahiran Padangtegal, Ubud, Gianyar, Rasa Acharya Praburaja Darmayasa mengatakan, tradisi leluhur Bali menyisihkan sedikit makanan di sisi piring sebelum makan, merupakan tradisi yang indah yang perlu diabadikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya sebagai orang yang menghormati dan mengerti ajaran leluhur. Selain ingin melestarikannya demi kesejahteraan hidup lahir batin. Ditambahkan murid tunggal maestro kundalini India, Acharya Kamal Kishore Goswami ini, terdapat pula tradisi tidak boleh berbicara jika sedang menghadapi makanan.

"Makanan dihormati sebagai amerta oleh leluhur dengan istilah nunas amerta,”'papar penulis buku spiritual berbahasa Hindi dan Inggris ini.

Dalam Padma PuraΓ‘¹‡a disebutkan bahwa orang hendaknya mencuci kelima anggota badannya terlebih dahulu sebelum makan. Dengan melakukan hal itu, orang akan bisa menikmati usia hidup yang panjang. Kelima anggota badan dimaksud adalah kedua kaki, kedua tangan, dan muka. Hal ini didukung pula oleh kitab Mahabharata, Santi Parwa 193.6; paΓ±cardro bhojanaΓ‘¹ bhunjyat. Tidak dianjurkan juga makan di tempat gelap atau sambil tidur.



Dikatakan pria yang tengah menjalankan misi memberikan sejuta buku Bhagawadgita kepada umat ini, leluhur menyebutkan makan dengan cara sangat indah yaitu Nunas Ajengan. "Istilah Nunas Ajengan mempunyai pengertian bahwa kita tidak memiliki makan, tetapi memohon makanan dari pemiliknya, yaitu Hyang Parama Iswhara. Kesadaran seperti ini sangat indah untuk diajegkan di dalam hati, mengingat memang sebenar-benarnya kita ini tidak mempunya apa-apa di dunia ini," ujar pemilik Ashram Meditasi Angka di Padanggalak, Sanur ini, akhir pekan kemarin.


Lahir ke dunia ini, lanjut Darmayasa, tidak membawa apa-apa, selain hanya tangisan yang keras dan nanti juga akan meninggalkan dunia ini tanpa membawa apa-apa. "Kesadaran yang diwujudkan dalam istilah Nunas Ajengan sangatlah bermakna. Ia sangat pantas untuk diajegkan, mulai dari dalam keseharian diri sendiri dan kemudia ditularkan kepada anak cucu " ujarnya. Paling tidak, lanjutnya, ajeg tradisi leluhur sesederhana itu dapat dilakukan oleh semua. Tidak ada alasan tidak mematuhinya.


"Bagi diri sendiri, tata cara ini sangatlah mulia. Kita memohon makanan karena makanan tersebut sudah bukan makanan lagi," bebernya. Ditegaskan Darmayasa, dalam ajaran Veda, orang memasak makanan bukanlah untuk diri sendiri, melainkan untuk persembahan kepada Tuhan. Makanan yang dimasak itu diyadnyakan kepada-Nya, dipersembahkan terlebih dahulu kepada-Nya. Oleh karena itu, makanan tersebut sudah bukan milik pemiliknya. Makanan yang dimasak dan dipersembahkan kepada Tuhan, tidak lagi berupa makanan, melainkan ia sudah berubah menjadi amerta (yajΓ±a-Γ…›iΓ‘¹£Γ‘¹­Γ„mΓ‘¹›ta bhujo), karunia Tuhan yang dinamakan lungsuran atau Prasadam. "Istilah ngejot, masaiban, dan yadnya seΓ‘¹£a merupakan tradisi indah mulia yang patut diajegkan," katanya.


Ditegaskannya, untuk memohon makanan atau Nunas Ajengan lungsuran Tuhan Yang Maha Esa itulah kita perlu mempersipakan diri dalam keaadan bersih. Panca Anga kita harus dibersihkan dengan air terlebih dahulu.


Menurut para orang tua, ketika orang mencuci Panca Anga sebelum Nunas Ajengan, kebiasaan indah itu dapat memperpanjang usia seseorang. Lantas, Apa hubungannya antara mencuci Panca Anga itu sebelum makan? Dijelaskannya, para saintis bisa menjelaskannya secara saintifik. Tangan yang bersih bebas dari kotoran akan memastikan makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak tercemar kotoran atau kuman penyakit.


Selain itu, ujung-ujung jari tangan mengandung titik saraf yang berhubungan dengan enzim yang berhubungan dengan pencernaan. Jari yang bersih menyebabkan saraf-saraf lebih peka merasakan tekstur dan suhu makanan. Informasi ini dikirim ke kelenjar untuk mempersiapkan jenis enzim yang diperlukan. Ini juga alasan mengapa makanan dengan jemari tangan lebih baik daripada dengan alat seperti sendok atau sumpit. "Kalau jari tangan bisa memegang makanan (suhunya tidak panas) artinya lidah juga bisa menerima, tidak akan melepuh. Pesan tersebut tidak bisa disampaikan oleh sendok, garpu atau sumpit," urainya.


Leluhur juga memberikan wanti-wanti tidak boleh mencela makanan. Apa pun dan bagaimanapun makanan di hadapan kita, itulah karunia Tuhan. Mengingat makanan merupakan amerta penghidup.


Mereka yang hendak memasak makanan, lanjutnya, hendaknya mandi terlebih dahulu agar badan dan pikiran menjadi lebih bersih serta damai. Badan dan pikiran yang bersih akan memudahkan mereka yang memasak makanan untuk memasukkan rasa kasih sayang ke dalam makanan. Dengan demikian, setiap anggota keluarga yang memakan makanan tersebut pasti akan terbantu kesadarannya terjaga menjadi lebih bersih dan damai.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Diuraikannya, Bhgawadgita mengajarkan bahwa orang saleh yang memakan makanan yang sudah dipersembahkan terlebih dahulu sebagai persembahan suci, terbebaskan dari segala dosa. Sedangkan mereka yang memasak makanan untuk kenikmatan diri sendiri, sesungguhnya mereka hanya memakan dosa.


Ditambahkannya, dalam Manawa Dharma Sastra disebutkan, dengan mempersembahkan kepada Tuhan (pΓ…«jita) maka makanan itu memberikan tenaga (bala) dan kekuatan (Γ…«rja). Tetapi, bila tidak dipersembahkan (apΓ…«jita) pastilah akan menghancurkan keduanya (tenaga dan kekuatan). "Jika orang berhasil melaksanakan kebiasaan tersebut dalam keseharaiannya, maka ia mendapatkan hasil dari pelaksanaan puasa," pungkas Darmayasa.

(bx/sue/yes/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2020/01/06/173435/etika-makan-cara-hindu-hindari-ngeleklek-nidik-hingga-nyilapin

Rabu, 21 Juni 2023

Pura Pingit Melamba


Pura Pingit Melamba terletak di desa Bunutin, kecamatan Kintamani, kabupaten Bangli, pura ini di tempuh kurang lebih satu setangah jam dari kota bangli, Pura Pingit Melamba jika ditinjau dari namanya yaitu “MELAMBA” berasal dari kata “METAMBA” yg artinya mengobati. Banyak orang yang berdatangan untuk melukat dan memohon kesembuhan di Pura Pingit Melamba ini. Pura Pingit Melamba terletak di sebelah selatan desa Bunutin tepat pada hulu sungai ayung yang merupakan batas antara kabupaten Bangli dan kabupaten Gianyar.

Pura Pingit Melamba merupakan pura yang sangat tua  terbukti dengan adanya tiga arca besar yang sangat tua di perkirakan sudah ada sejak abad ke IV,  ketiga arca tersebut di buat oleh Rsi terdahulu bertujuan untuk mempermudah mengajarkan orang orang bali mula tentang ajaran ketuhanan, yang sebelumnya menyembah batu yang besar atau pohon yang besar. meski pura ini belum begitu di kenal namun perlu diketahui pura ini memiliki tiga arca besar yang bersejarah yaitu Arca Gunamutri, Arca Siwa, dan Arca Ganesha. Arca-arca tersebut sudah ada sejak jaman dahulu, yang ditemukan oleh penglingsir jaman dahulu pada saat mencangkul dan membabat hutan untuk lahan perkebunan menurut dari cerita yang saya dengar.
Arca-arca di Pura Pingit Melamba
Arca Gunamutri yaitu merupakan arca ganesa berdiri bertangan delapan belas yang masing-masing tangannya memegang senjata dan memiliki makna dan arti masing-masing, saat ini kondisin acra tersebut bisa dikatakan sedikit usang namun dalam tahap renofasi.


Arca Siwa yaitu melambangkan kebesaran dewa Siwa yang mealambangkan kebesarnya sebagai Pelebur. dan Arca Ganesa yang melambangkan kesuburan dan pemberi jalan ke arah kebaikan dan simbolik dari pengetahuan. Arca Ganesha bertangan 18 yang memiliki atribut menggunakan gelang lengan (keyura), gelang tangan (kankana) berupa genitri polos, berkalung tengkorak manusia dengan bentuk yang tidak proposional dan melambangkan demonis. Arca Ganesha bertangan 18 menyiratkan pemujaan tantrayana yang mengedepankan upcara keduniawian.

Arca ganesha ini memiliki tinggi 119 cm, tebal 49 cm, lebar 57 cm. diperkirakan dibuat pada zaman bali kuna XIII-XIV Masehi dimana Bali dikuasai oleh seorang Raja Patih bernama Kebo Parud dibawah pemerintahan Singosari dengan rajanya yang berkuasa saat itu adalah Raja Kertanegara yang menganut aliran tantrayana. 
Selain itu di pura ini juga terdapat tempat pelukatan panca tirta dan kolam pemandian (gangga, sindhu, saraswati, yamuna, gando wari ) terdapat makna-makna tersendiri dari panca tirta tersebut

Makna dari kelima panca tirta tersebut yakini:
Gangga: disini untuk memohon kesucian bagi para penangkil yang hendak melukat atau penyucian diri dengan air suci. di bagian pancoran gangga ini para pemedek atau penangkil memohon pasa Ida Sang Hyang Widhi agar diberikan kesucian diri
Shindu: disini memiliki makna kesehatan, agar siapa yang melukat disini agar diberikan kesehatan dan keselamatan
Yamuna : disini memiliki makna agar diberikan keharmonisan antar manusia dengan tuhan sebagai pencipta, manusia dengan manusia lainya, dan manusi dengan alam sekitar sebagai bagian konsep dari Tri Hita Karana
Gandawarai: disini memiliki makna agar mendapat kemasyuran atau ketenaran, jadi biasanya dilakukan oleh para pejabat agar mendapatkan kewibawaan saat mengemban tugasnya.
Pura Pingit Melamba, Pura yang sangat tua, merupakan simbol peradaban di zaman dahulu dan merupakan Puranya leluhur orang Bali yang terletak di hulu sungai ayung yang menjadi perbatasan dari kota bangli dan gianyar.


Dipura Pingit Melamba ini terdapat dua upacara besar yang dilakukan satu tahun sekali dan enam bulan sekali, yaitu : Upacara ngusaba desa yang dilakukan satu tahun sekali biasanya dilakukan setelah panen padi yang bertujuan untuk mengucapkan rasa terimakasih atas hasil panen yang telah diberikan pada warga desa.  Upacara ngusaba desa ini biasanya masyarakat desa Bunutin menyebutnya dengan sebutan Pujawali Neduh, dimana upacara neduh ini hanya dilakukan satu hari penuh dari pagi sampai sore. Uniknya dalam tradisi neduh ini yaitu pada sehabis sembahyang masyarakat melakukan tradisi makan bersama di pura atau megibung pada setiap keluarga dengan memakan lungsuran atau prasadam, biasanya berapa jumlah keluarga sebanyak jumlah keluarga itulah memotong ayam yang dipakai untuk sesajen atau banten. Pada setiap upaca ngusaba desa ini semua masyarakat desa tidak diperkenankan membawa kendaraan, semua masyarakat desa berjalan kaki dengan menempuh jarak yang lumayan jauh kira-kira 10 km. Selain itu ada upacara piodalan ring pura yang dilakukan enam bulan sekali yang jatuh pada buda keliwon ugu yang jatuh pertengahan sebelum datangnya galungan.

Ritual Neduhin
Masyarakat Desa Bunutin masih menggelar upacara keagamaannya, seperti dilaksanakannya upacara pertanian yaitu ritual Neduhin, dalam sejarahnya para tokoh adat Desa Bunutin terdahulu telah melaksanakan ritual neduhin secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Ritual neduhin tersebut sebagai simbol meminta anugerah kepada Ida Betara sebelum dimulainya aktivitas pertanian. Ritual neduhin ini terdiri atas beberapa rangkaian tradisi di dalamnya, yang memiliki keunikan tersendiri dan tentunya berbeda dari ritual neduh yang biasanya bersifat insidental dikarenakan suatu musibah yang datang terusmenerus. Pada hari pertama di sore hari masyarakat melakukan tradisi neratas atau bersih-bersih, dilanjutkan dengan ritual ngusaba toya, kemudian pada keesokan paginya melaksanakan meiring-iringan atau mearak-arakan menuju ritual neduhin yang dilaksanakan di Pura Pingit Malambe. Di dalam ritual neduhin terdapat tradisi nunas tirtha oleh para teruna menggunakan sampian teteg, keesokan harinya harus bertepatan dengan rainan purnama sasih kepitu.


- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Saat bulan purnama masyarakat Desa Bunutin melaksanakan rerainan purnama seperti biasanya, kemudian keesokan malam harinya melanjutkan rangkaian acara ritual neduhin di Pura Desa/Pura Bale Agung. Saat itu, para teruna memiliki tugas duduk disekeliling penjor besar dan tinggi untuk membuat daha menjadi panik ketika tradisi ngodog lidi berlangsung.

Reference
1. Image : Ni Made Swanendri, April 2018 @ https://www.google.com/maps/ dan @ 2020 Google Earth Pro
2.Makhrofsi Zarah Afandi1*, Ni Luh Arjani2, I Ketut Kaler3 “Ritual Neduhin dalam Sistem Pertanian Masyarakat Desa Bunutin, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali”. Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 21.1 Nopember 2017: 37-45; Pura Pingit Melamba @ https://youtube.com dan https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali

Selasa, 20 Juni 2023

Kiamat dan Pralaya





Kiamat dan Pralaya

Kiamat merupakan istilah agama-agama rumpun Yahudi (Abrahamic religions) dari setiap agama tersebut berkembang makna hari kiamat yang cukup banyak baik menurut Islam, Kristen maupun Yahudi. Secara umum kiamat dapat diartikan hari kehancuran alam semesta.

”..matahari akan menjadi gelap, dan bulan tidak lagi bercahaya. Bintang-bintang akan jatuh dari langit, kuasa-kuasa langit akan goncang, dan para penguasa angkasa raya akan menjadi kacau-balau. [Matius 24:29, Markus 13:24-25]


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


”..pada matahari, bulan, dan bintang-bintang akan kelihatan tanda-tanda. Di bumi, bangsa-bangsa akan takut dan bingung menghadapi deru dan ge-lora laut. Manusia akan takut setengah mati menghadapi apa yang akan terjadi di seluruh dunia ini, sebab para pengu-asa angkasa raya akan menjadi kacau-balau. [Lukas:21:25-26]

Kiamat menurut Islam
Hari kebangkitan dari kubur dalam Al-Qur’an kadang-kadang disebut sebagai Yaumul Qiyamah (hari kebangkitan besar,Qs. 75:1), Yaumul Fashl (hari keputusan, Qs. 77:13), Yaumul Hisab (hari perhitungan, Qs. 38: 26), dan masih banyak lagi makna-makna kiamat tersebut dalam Al-Qur’an.Kedatangan hari kiamat hanya Allahlah yang tahu. Tidak ada yang dapat menjelaskan kapan kedatangannya melainkan hanya Allah SWT. Dan kiamat itu tidak akan datang melainkan dengan tiba-tiba. (Qs. 7: 187). Mengenai kedahsyatan hari kiamat ini dijelaskan dalam (Qs. 23: 101-114).Dan tanda-tanda kedatangan hari kiamat dan huru hara di saat datangnya kiamat itu tersebut dalam (Qs. 27: 82-93).

Hal-hal yang terjadi pada hari kiamat:

Pada hari ini akan ditimbang amalan-amalan yang baik dan perbuatan-perbuatan jahat. Mengenai hal ini disebut dalam Al-Qur’an surat 21 ayat 47 : “Dan Kami pada hari kiamat akan mengadakan timbangan yang adil sehingga seseorang tidak akan dirugikan barang sedikitpun, dan kalau ada (perbuatan) sebesar biji sawipun, niscaya akan Kami kemukakan kepadanya dan cukuplah Kami sebagai Penimbang.” Juga disebut dalam Qs. 21: 47.
Hari itu akan diperlihatkan pula kitab catatan perbuatan manusia. Hal ini tersebut dalam Qs. 13: 11, Qs. 43: 80, Qs. 45: 29, dan masih banyak yang lainnya.Demikianlah mengenai hari kiamat.

Terhadap mereka yang berbuat baik, pahalanya adalah sepuluh kali daripada yang dikerjakannya, malah diibaratkan, bahwa perbuatan baik itu sebagai sebutir biji gandum yang tumbuh sampai 7 bulir, sedang tiap-tiap bulir memuat 100 butir biji. Tetapi apabila manusia berbuat jahat, maka ia hanya mendapat siksaan setimpal dengan kejahatannya. (Qs. 6: 160, QS. 2: 261, Qs. 28: 84.)

Dalam keterangan lain yang ditulis Ibnu Katsir lewat kitab An-Nihayah, Muhammad menjelaskan kepada umatnya bagaimana orang-orang sholeh bisa hilang di akhir zaman. Imam Bukhari meriwayatkannya dengan sanad dari Mardas Al-Islami bahwa Muhammad berkata; “Orang-orang sholeh akan hilang satu per satu, sehingga tinggallah orang-orang sampah seperti gandum dan kurma serta Allah SWT sama sekali tidak mempedulikan keberadaan mereka.” Maksudnya yang tersisa hanyalah manusia yang tidak berguna.

Kiamat menurut Kristen.
Di sisi lain umat Kristen memandang hari kiamat (akhir Zaman) se-bagai rangkaian peristiwa yang dimulai dari pengangkatan (rapture), masa kesukaran (tribulation), munculnya anti-kristus (pendusta), kehadiran Jesus Kristus untuk kedua kalinya dan perang Armagedon serta sampai pada munculnya dunia baru.

Umat Kristiani meyakini bahwa Yesus akan menjadi hakim yang adil pada hari kiamat (kisah para rasul17:31), akan dihancurkannya salib, dibunuhnya babi serta dihapuskannya pajak.


Hari kiamat memiliki gambaran yang sangat mengerikan seperti gempa bumi yang dahsyat dan matahari menjadi hitam bagaikan karung rambut dan bulan menjadi merah seluruhnya bagaikan darah. Dan bintang-bintang di langit berjatuhan ke atas bumi.. Maka menyusutlah langit bagaikan gulungan kitab yang digulung dan tergeserlah gunung-gunung dan pulau-pulau dari tempatnya…[Wahyu 6:12-14].

Dari peta zaman tersebut dapat disimpulkan bahwa : zaman itu hanya berumur 7000 tahun (karena Tuhan menciptakan bumi ini hanya dalam waktu 6 hari dan hari ketujuh adalah hari pengkudusan (kej. 2: 1-3) sedangkan 1 tahun sama dengan 1 hari bagi Tuhan (petrus 3:8-12). Tahun 1998 adalah tahun munculnya banyak pendusta dan huru-hara sebagai tanda-tanda kemunculan hari kiamat.

Sejak tahun 500 sampai 1992 kiamat telah diramalkan segera tiba sebanyak 14 kali. Tidak, syukurlah, tidak pernah terjadi.

Pralaya dalam pandangan Hindu
BACA JUGA
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Dalam agama Hindu tak dikenal istilah hari kiamat seperti yang dikenal oleh rumpun agama-agama Abrahamistik. Tetapi setiap penciptaan selalu ada awal dan juga akhir (stiti, utpeti, pralina).
Agama Hindu mengenal istilah Mahapralaya.
Dalam Upanisad dianalogikan Tuhan mencipta dan mengakhiri ciptaannya seperti laba-laba yang menebar dan menarik jaring-jaring dari dan ke badannya. Semuanya berjalan sesuai hukum alam. Ini berarti kelahiran dan kematian (musnah) bisa terjadi kapanpun sesuai dengan hukum alam. Dan ini terjadi berulang-ulang.



Pralaya merupakan sinonim dari Samhara, satu dari 5 fungsi Siwa.
Pralaya (Sanskrit) artinya adalah berakhir, menyerap kembali alam di akhir jaman/kalpa; penghancuran dan Mati. Pralaya di terminologi Hindu:

Nitya pralaya berarti tidur, arti yang lebih luasnya adalah mati, terjadinya kematian tubuh.
Laya atau Yuga Pralaya, di akhir Maha Yuga (4 yuga), terjadinya banyak sekali kematian (misalnya perang, gempa dll).
Mavantara Pralaya, terjadi di setiap mavantara, jadi sebanyak 14 mavantara, berupa banjir besar yang mendahului adanya Manu ‘manusia’.
Dina (hari) Pralaya atau Naimittik Pralaya atau pralaya, terjadi di akhir kalpa (1 hari penuh Brahma = 1000 Maha yuga), hancurnya semesta, sorga dan neraka (3 dunia: bhur, bhuwah, swaha).
Mahapralaya, terjadi di akhir Maha Kalpa (100 Kalpa), atau di akhir usia Brahma, di mana 14 Dunia, 5 elemen (tatwa) 3 sifat (triguna) musnah. Jadi seluruh Brahmanda (telur yang mengembang, semesta dan segala isinya termasuk para deva) diserap kembali oleh Brahman.
Aatyantika Pralaya, ‘tercapainya perjalanan jiwa lepas dari roda samsara’, khusus arti yang ini, maka waktu terjadinya adalah relatif.
Filosofi Samkya menyatakan bahwa pralaya berarti ‘kosong, tiada apapun, keadaan yang dicapai ketiga triguna (satwam, rajas, tamas) berada pada kondisi yang seimbang, arti no 6 ini merupakan sinonim dari no 5. Waktu terjadinya adalah relatif.Jadi sejarah bumi saat ini berada di jaman Kaliyuga ke-28 pada tahun Brahma ke 51. Jaman Kaliyuga ini di mulai pada Februari 3102 SM (Manusmrithi 1:64-80; Surya Sidhantha 1:11-23) dan berakhir di 432.000 tahun kemudian.

Dalam ilmu fisika modern Letak matahari diperkirakan 150.000.000 kilometer jauhnya dari bumi.
Sinar matahari akan sampai ke bumi dalam waktu 8 menit 20 detik.
Para fisikawan telah menghitung energi matahari yang dipancarkan sama dengan 5,7×1000.000.000.000.000.000.000.000.000 kalori per menit dan mampu menyala selama 50 miliar tahun.

Dengan demikian, waktu menyala bagi matahari juga terbatas dan pada suatu hari nanti, matahari tidak akan bersinar lagi.

TRI NETRI KAITANYA DENGAN PENGHANCURAN ( KIAMAT )

Manusia telah mencari Tuhan hampir 2500 tahun setelah sorga dimana pada waktu berakhirnya sorga pada jaman dinasti chandra berkuasa dengan Rajanya "Rama" bertahta di Bharata ketika fase dunia memasuki 2500 tahun setelah sorga dan manusia perlahan mengalami penurunan dari sifatnya yang mulia seperti dewa dewi mulai mengambil racun kehidupan yang dikenal dengan Panca wikara (5 kejelekan); napsu, ego, marah, serakah dan keterikatan pada dunia material sebagai akibat hidup hanya memuaskan mata, hidung, mulut, kulit, sentuhan dll sehingga kita mulai terperosok pada kepalsuan hidup dan penuh dengan duka.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Seiring pertambahan manusia dengan kelahiran kembali/reinkarnasi mulai memadati planet bumi ini duhuluanya peradaban sorga adalah satu benua satu bangsa dan satu bahasa dewa dewi sehingga sampai sekarang kita sangat senang menyimpan dan memajang gambar gambar dewi dewi karena mereka adalah sosok manusia sempurna yang telah mengalahkan musuh dalam dirinya dan sosok panutan.

Agama mulai turun pada jamannya yang dibawa masing masing pendirinya yang diikuti ledakan popolasi masing masing pengikutnya sampai semua agama berkembang dengan irama dunia dan masanya hingga akhirnya kita berada pada puncak jaman besi penghujung jaman kali kita disuguhkan berbagai adegan bercampur dengan segala racun dan nestapa tangisan dunia dengan berbagai arena penghancuran bagaimanapun juga semua kitab suci tercipta untuk mengayomi semua penganut agama namun semuanya adalah karangan manusia yang masih belum sempurna dibandingkan pengetahuan Tuhan yang Maha Agung sebagai sutradara yang agung sang pencipta dan permainan drama dunia tak terbatas ini. seperti janji Beliau Tuhan Ciwa turun pada jaman puncak kegelapan manusia kini Beliu telah berada hampir 73 tahun di akhir jaman ini.

Tuhan memberikan semuanya berupa sari dan madu ilmu pengetahuan tentang diri Beliau dan ciptaan terkait dengan 3 aspek waktu masa lalu masa kini dan masa yang akan datang. saat inilah Tuhan Ciwa memberitahu kita segalanya tentang masa yang akan datang dimana sebentar lagi sorga akan muncul sebagai siklus abadi dari Jaman emas ( Satya yuga ) - Perak ( Treta Yuga ) - Perunggu ( Dwapara Yuga ) - Besi ( kali yuga ) inilah siklus waktu yang mengatur dunia ini selama 5000 tahun yang terus berputar abadi hal ini tak ada dalam kitab suci manapun saat ini adalah jaman transisi dimana apapun bisa terjadi kapanpun setiap detik. detik ini adalah waktu penanggalan pada keterikatan dunia karena manusia lahir tak membawa dan memiliki apapun termasuk badan kita sendiri bukanlah identitas sebenarnya dia hanya fana sementara kita adalah Atman /jiwa/roh yang berasal dari Shiwa Loka alam Tuhan dan para atma dalam keheningan serta melampui planet dan bintang. saudaraku ini adalah detik detik terakhir, berita akhir jaman adalah kebenaran sejati maka siap siagalah pada sang waktu, Tuhan Bapak Ciwa telah memnggil kita pada akhir jaman ini. kita semua telah lelah dan membangun berbagai tempat ibadah 2500 tahun belakangan ini, sang waktu telah memanggil kenalilah Tuhan yang sebenarnya dan segala keagungan serta belas kasihnya.

Tuhan tak pernah meminta apapun, semua kemuliaan akan kembali pada kredit karma kita sebagai konskwensi Hukum karma. barang siapa yang mengenal Tuhan dan mengagungkan kemuliannya dalam praktek nyata akan pulang dengan senyum dan kemenangan di akhir jaman ini.

Sumber: mediahindu.net