Selasa, 28 Maret 2023

Misteri Pohon Angker di Jembrana

 



Memasuki di kawasan Banjar Pakraman Beratan, Desa Pekraman Yeh Kuning, Kecamatan/Kabupaten Jembrana, Bali, tampak sebuah pohon kepuh menjulang tinggi. Pohon itu berada di tengah jalan desa. Dua palinggih yaitu di sebelah utara dan satunya lagi berada di bawah pohonnya sebagai stana dari Ida Bhatara Siwa-Buddha.


Bagi warga setempat, pohon kepuh yang diperkirakan usianya sudah mencapai ratusan tahun dengan tinggi sekitar 75meter lebih dan diameter sekitar 7meter ini dipercaya dangat angker. Kelian Banjar Pekraman Beratan, I Nyoman Astawa, mengatakan, pohon kepuh sudah ada jauh sebelum kehidupan kakek-neneknya. Hingga kini, warga percaya jika pohon kepuh ini memiliki nuansa angker yang sangat kental sehingga warga yang melintas di sekitarnya selalu membunyikan klakson sebagai tanda permis.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Pohon ini dipercaya dijaga sesosok penjaga gaib berupa Macan Gading (Harimau kuning keemasan). “Warga di sekitar sini sering melihat ada penampakan makhluk halus tinggi besar dan binatang-binatang aneh juganya” kata ia. Selain penampakan, warga juga sering dilanda kesambet saat berbuat yang tidak-tidak. Seperti meludah sembarangan, berkata kasar atau kotor saat melintas atau merabas ranting dari pohon kepuh tersebut.

 

Sehingga, tak jarang warga kesisipan akhirnya menghaturkan sesajen berupa banten penebusan di sekitar pohon kepuh tersebut. I Made Sujana, pemangku di Pura pohon kepuh mengatakan, hingga saat ini tidak diketahui sejak kapan pohon kepuh tersebut ada. Namun, sebagian masyarakat terutama pendahulunya meyakini jika pohon kepuh itu sudah ada sekitar abad 14 dulu, dan berkaitan dengan kedatangan Dang Hyang Dwijendra yang beristarahat usai perjalanan dari Gunung Rawung, Jawa.

 

Menurut Sujana, pohon ini memberi aura positif yang mampu menyejukkan hati setiap warga yang mau menghaturkan persembahyangan. Terbukti, kini pohon kepuh ini sudah sering dikunjungi para pemedek yang juga berasal dari luar Kabupaten Jembrana, puncaknya pada purnama sasih kapat. Bahkan orang dulu sempat memakai pohon ini untuk bersemedi di ruang mirip goa yang ada di bawahnya,” pungkas Sujana.


Tutur Kamoksan - Jalan Menuju Penyatuan Atma

  





Tutur Kamoksan merupakan petuah - petuah yang berhubungan dengan kematian, penyatuan diri manuasia kepada asalnya yaitu Tuhan. berikut akan dipaparkan sekilas tentang petuah tersebut. tulisan ini hanyalah gambaran luarnya saja, untuk lebih lengkap mempelajari tutur kamoksan ini di anjurkan untuk mencari pembimbing yang kompeten dan perlu pengorbanan yang cukup besar, yaitu waktu dan kebiasaan.

Tujuan utama orang hindu adalahmenuju moksa (Nirwana),
tetapi pada jaman sekarang ini terasa sangat sulit untuk mencapai hal tersebut. Na.. tar ta share sedikit pengetahuan tentang tutur kamoksan, dimana tutur ini sudah saya ringkas yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Sebenarnya sih bukan saya yg ngumpulin dulunya tapi hanya sebatas melanjutkan saja.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Sebelum lebih jauh mari simak beberapa pengertian Moksa menurut para sesepuh and penulis buku barat..

Arti MOKSA;
“Moksa/mukti berarti kebebasan atau kemerdekaan” dalam Mahanirvana Tantra Moksa dikatakan “Bebas dari ikatan samsara dengan berakhir persatuan dengan jiwatman dengan paratman”, dalam lain buku disebutkan bahwa “Emansipasi libration realize from deat final or eternal emancipation” lain pula yang ditemukan dalam salah satu lontar bali “Niyan tutur pamoka margining mulih pitara ring sunya loka” Artinya ; inilah tutur pamoksa jalan atma menuju alam sunia. Oleh Sir. Monier Williams, kamus Sanskrit-inggris disebutkan bahma yang dimaksud dengan Moksa adalah Ingin untuk membebaskan diri sendiri, mencari kebebasan.

Mungkin dari beberapa ungkapan anda sudah bias mengerti maksud dari arti kata moksa itu sendiri. Dengan kata lain moksa itu kehidupan di alam yang berbeda yang lebih baik dari alam kita sekarang ataupun sorga, ini berarti moksa dapat dicapai setelah kematian kita…

Trus kematian yang bagaimana dapat dikategorikan jalan menuju moksa,??

yang jelas bukan karena kematian salahpati ataupun ngulah pati tetapi proses kematian yang diawali dengan meditasi ataupun yang dapat menjalankan langkah2 berikut ini;
BACA JUGA
Jalan Menuju Penyatuan - Moksa
Tujuan Agama Hindu Adalah Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma
Kamus Hindu Bali
“mempersatukan Sang Bapak dengan Sang Ibu, kemudian memasukan Sang Ibu ke dalam Sang Bapak. setelah persatuan sempurna, ia memasukan Sang Atma di tengah – tengah otak terlebih dahulu. Di tempat Sang Tunggal Sang Hyang Atma berusaha menunggal dengan Sang Hyang Tunggal. kemudian berusaha agar Sang Hyang Tunggal meninggalkan tubuh melalui wunwunan dan masuk ke dalam sunia agar tidak kembali menjelma. ia dapat menikmati kebahagiaan langgeng, sekalipun dalam hidupnya melakukan kejahatan – kejahatan, karena ia tahu : Manjing Sang Hyang Tunggal dalam tubuh”.

Nah.. sebelum kita menemui jalan moksa hendaknya kita harus menjalankan perbuata yang sejalan dengan ajaran Dharma dan mengamalkan JnanaBala.

Adapun kegiatan JnanaBala tersebut antara lain:

Pranayama.
Sthanakanda puja, tri purusa diatas wunwunan 12 jari.
Ucapkan Sad Aksara ditempatnya masing-masing dengan memancarkan sinar (bayangan) [Semua itu difokuskan di Telenging Lelata].
Diikuti dengan mantram Gayatri, dengan cara; mata tidak berkedip, bait-bait sloka diucapkan dengan tidak bernafas.
Yakini bahwa itu berkekuatan tidak ada tandingannya, baik dalam kesucian maupun dalam bidang megic.
Jauhkan diri dari; Moha, Mada dan Kasmala.
Kegunaannya untuk; kesucian, kedamaian dan penyembuhan.Setelah mejalankan ajaran diatas sekarang saya share pertanda datangnya dewa Kematian;

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI



Jika denyut darah Si Sakit lemah padahal penyakitnya tidak berat dan orang mendengar gersik dalam usus muda dan usus tua menjelang waktu tidur, terus menerus kembali terdengar.
Saluran – saluran mata lemak (megenyi) nampaknya si sakit merasa ada asap pada wunwunannya itu pertanda 1 bulan lagi akan mati.
Jika orang melihat bibirnya menyerengai, 10 hari lagi akan mati.
Bibir pucat dan terasa ada semut berjalan didalam badan, 7 hari lagi akan mati.
Jika pada ujung lidah ada perasaan manis yang beberapa kali hilang adanya rasa itu, disertai “ air putih” keluar dari kerongkongan, besok akan mati.
Setiap benda dilihat si sakit berupa kembar, 5 hari lagi akan mati.
Gersik mengalun atau mendesing dalam telinga sebagai lanjutan mendesah, 6 hari lagi akan mati.
Merasa seolah – olah tempurung kepala retak dan punggung terbelah, 4 hari lagi akan mati.
Jika ada bunyi anjing menggonggong dan meraung, 3 hari lagi akan mati.
Jika seseorang berpusing – pusing berjalan dan warnanya nampak kuning, mata bagian yang putih nampak keruh, bulu matanya melengket, ia tinggal hidup 3 hari saja, 2 hari mengalami mencret dan muntah – muntah, tak dapat dan tak mau makan, pada hari ke-3 menderita ketegangan pada ulu hati, sekalipun ia dapat bercakap – cakap dan berjalan tetapi toh akan mati.
Jika bulu – bulu mata dan pelupuk – pelupuk mata tengah tertutup, bulu alisnya berdiri, rambutnya kelemak – lemakkan, orang demikian pasti mati.Tanda – tanda kematian lainnya (Sang Hyang Widhi) di Sarira/Tubuh :

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Jika tubuh dicubit tidak merasa sakit, Dewa Daging sudah meninggalkan tubuh dan masuk kembali ke Pertiwi.
Tidak mendengar apapun waktu meraba dan mengusap – usap tubuh si sakit, Dewa Pelindung Darah sudah kembali ke dalam air.
Pada waktu mata si sakit yang tertutup ditekan, tidak ada terlihat kesan cahaya, maka Dewa Pelindung Mata sudah pergi dan kembali ke api.
Lidah tidak terasa sakit waktu tergigit, Dewa Pelindung Lidah telah kembali ke udara.
Jika bayangannya sendiri seluruh pelosuk tubuhnya nampak berubah dalam air, Dewa Pelindung tubuh telah kembali ke angkasa. Kalau bayangan tubuh dalam air dan tidak berubah, orang tak usah takut.Si sakit sendiri tau datangnya kematiannya dengan cara :

Berada di pekarangan waktu tengah malam, tutup kedua liang telinga. Jika terdengar suara berbunyi ; Teg, Tog, Ser, Sek, artinya: dewa pelindung rambut menangis.
Jika bunyi gersesik terdengar sebagai suara maka dewa wunwunan menangis, 2 hari lagi akan mati.
Jika suara genta didengar, dewa pelindung otak menangis, besok harinya akan menangis.
Jika segala sesuatunya hening (sunyi/sepi) dan tidak mendengar suara apapun, sang hyang pramana (hidup orang) sudah bersembunyi, dan pada setiap waktu orang bisa mati.
Jika orang ingin pada bulan mana akan mati, ia harus pada tengah hari berada pada pekarangan rumahnya dan memandang langit selama seperempat jam.Jika orang melihat sesuatu benda hitam, yang besarnya sebagai roda kereta (dokar) yang seolah-olah bergantung pada awang-awang :

Empat depa, empat bulan akan mati.
Tiga depa, tiga bulan akan mati.
Dua depa, dua bulan akan mati.
Satu depa, satu bulan akan mati.
Jarak kecil, lima hari tinggal hidup.
Jika benda itu hampir menyentuh tubuh orang itu sewaktu-waktu akan mati.
Jika tidak melihat apa-apa, tidak usah takut.Tetenger (tanda-tanda) kematian berdasarkan pancawara. Dengan cara memandang matahari dengan mata kanan:

Matahari tampak jauh di timur, umanis mati.
Matahari tampak jauh di selatan, paing mati.
Matahari tampak jauh di barat, pon mati.
Matahari tampak jauh di utara, wage mati.
Matahari tampak jauh di tengah, kliwon mati.
Tidak melihat apa-apa, tak usah takut.Nah sekian dulu kutipan dari ajaran Kemoksan, mudah2an dapat berguna bagi segenap umat sedharma. Om Santih, Santih, Santih, Om

Sumber : cakepane.blogspot.com

Pengertian dan Makna Simbol Atribut Dewi Saraswati



Secara etimologi Dewi Saraswati berasal dari dua kata yakni Dewi dan Saraswati. Dewi yaitu sosok perempuan yang suci atau bentuk feminim dari kata Dewa yang biasa disebut sakti. Dan Saraswati dalam bahasa sanskerta yang terdiri dari kata “saras” yang berasal dari urat kata “sr” yang artinya mata air, sesuatu yang terus mengalir. Sedangkan “wati” artinya yang memiliki. Jadi Saraswati dapat diartikan sesuatu yang memiliki sifat terus mengalir (air kehidupan dan Ilmu pengetahuan), (PHDI.2006. Online).


Saraswati (Susila. Dkk. 2009) dijelaskna bahwa terdiri dari kata “Saras” yang artinya sesuatu yang mengalir, ucapan. Sedangkan “Wati” yang berarti memiliki. Jadi Saraswati adalah sesuatu yang mempunyai sifat mengalir, sumber pengetahuan dan kebijaksanaan dengan gelar kehormatan-Nya adalah Dewi Saraswati, (Susila.dkk.2009:227).




Foto; Mutiarahindu.com
Kemudian Agastia (1997:6) menjelaskan bahwa Saraswati dalam bahasa sanskerta bermakna sesuatu yang mengalir, percakapan, kata-kata. Di dalam kitab suci weda dipuja sebagai dewi sungai dengan permohonan mendapatkan vitalitas hidup dan kesehatan. Posisinya sebagai Wach atau Dewa Kata-kata baru ditemui dalam kitab-kitab Brahmana, Ramayana, dan Mahabharata. Belakangan Saraswati dikenal sebagai “sakti” dewa Brahma atau Dewi kata-kata atau Dewi Ilmu Pengetahuan. Nama lain dari Saraswati adalah Bharati, Brahmi, Putkari, Sarada, Wagiswari (John Dowson, 1979: 285; Davane, 1968).


Di Bali, Dewi Saraswati disebut Hyangyangning Pangaweruh atau Dewa ning Pangaweruh yaitu dewa yang menguasai ilmu pengetahuan yang linggastana di Aksara atau huruf. Dewi saraswati yang dipuja sebagai penguasa ilmu pengetahuan yang linggastana-Nya adalah aksara, mempunyai berbagai keutamaan. Di dalam pustaka suci Weda terdapat beberapa puja dan pujian mengenai keutamaan Beliau. Seperti misalnya dalam Reg Veda I.3.10 yang berbunyi demikian.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“Pavaka nah Saraswati Vajebhir Vajinivari Yajnam vastu dhiyavasuh”


Terjemahan:


“Semoga Saraswati, yang menyucikan, yang amat kaya, yang memiliki sumber ilmu pengetahuan, mendatangi persembahan kami”. (Agastia.1997:52)


Arti Simbol Atribut Dewi Saraswati



Di Indonesia, Dewi Saraswati digambarkan sebagai seorang puteri yang sangat Cantik, anggun dan menarik. Beliau membawa wina/rebab, ganitri, pustaka suci, teratai, duduk diatas angsa dan disampinynya terdapat burung merak (mayura). Adapun arti dan makna simbol-simbol tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Dewi, melambangkan kekuatan yang indah, dan lemah lembut.
Ganitri melambangkan bahwa ilmu pengetahuan tidak ada habisnya untuk dipelajari sepanjang zaman.
Pustaka suci melambangkan sarana untuk mengabadikan ilmu-ilmu tersebut, sehingga dapat diwariskan ke generasi-generasi berikutnya.
Wina/rebab melambangkan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi dan memperluas rasa estetika dan keindahan.
Teratai melambangkan ilmu pengetahuan itu suci. Mengapa bunga teratai, karena meskipun tubuhnya di dalam lumpur, ia tetap bersih. Selain itu teratai atau Padma ini akarnya di tanah, batang daunya di air dan bunganya di udara, melambangkan kemampuan hidup di tiga alam (bhur-bhuah-swah).
Angsa melambangkan kekuatan di tiga dunia (bhur-bhuah-swah), sebab ia dapat hidup pada ketiga unsur alam (di air, darat dan udara). Demikianlah ilmu-ilmu pengetahuan menguasai ketiga alam tersebut. Selain itu angsa juga melambangkan kearifan/kebijaksanaan untuk membedakan yang baik dan mana yang buruk. Meskipun ia mencari makan di tempat-tempat yang keruh, ia dapat membedakann mana yang boleh ia makan dan mana yang tidak. Angsa juga peka terhadap rangsangan dari luar. Demikian diharapkan bagi mereka yang berilmu.
Burung merak melambangkan kewibawaan. Burung merak itu memang terlihat anggun dan berwibawa. (Ngurah Nala dan Sudharta. 2009:177)

Mengenai makna simbol-simbol dan atribut Dewi saraswati juga dijelaskan dalam Kamus Istila Dalam Agama Hindu (Kondra.2015:121-122). Dikatakan bahwa Hari Saraswati atau Hari Dewanya Ilmu Pengetahuan juga sebut hari Pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati. Beliau dilambangkan dengan seorang Dewi membawa wina, genitri, pustaka suci, serta duduk diatas angsa. Adapun arti simbul-simbul tersebut antara lain:

Dewi adalah simbol kekuatan yang indah, cantik, menarik, lemah lembut, dan mulia sebagaimana sifat dari ilmu pengetahuan itu.
Alat Musik (wina) adalah simbul seni budaya yang agung.
Genitri adalah simbul dari kekekalan dan tak terbatasnya ilmu pengetahuan itu.
Pustaka Suci adalah simbul dari ilmu pengetahuan suci.
Teratai adalah simbul kesucian ilmu pengetahuan yang bersumber dari Sang Hyang Widhi.
Angsa adalah simbul dari kebijaksanaan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk.

Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa ilmu-ilmu kesucian dan pengetahuan tidak ada habis-habisnya. Meskipun manusia mampu mengumpulkan berbagai ilmu sebanyak-banyaknya sepanjang hidupnya, tetapi itu hanya sekelumit saja dari yang ada. Jadi kemampuan manusia hanya terbatas. Oleh karena itu, janganlah manusia menyia-nyiakan kehidupanya sebagai manusia. Kumpulkan sebanyak-banyaknya ilmu-ilmu yang menjadi minatnya, tidak hanya ketika manusia masih dalam masa brahmacarya, tetapi seterusnya, hingga tiba saatnya ke asalnya.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


RELATED:
Pengertian, Rangkaian dan Makna Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan dan Kuningan
Makna Filosofis Hari Suci Siwaratri dalam Ajaran Agama Hindu
Pengertian, Makna Dan Tujuan Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan
Semua pengetahuan kesucian dan ilmu pengetahuan adalah suci, sangat menarik, lemah-lembut, indah memperluas rasa aestetika, mengasah akal/kecerdasan, mempertinggi kemampuan bertindak arif/bijaksana, mendidik, berwibawa, dapat diteruskan ke generasi-generasi yang akan datang, tidak ada habis-habisnya sepanjang saman. Dengan demikian diharapkan, manusia akan makin mampu mewujudkan kehidupan Jagadhita tersebut.




Referensi: https://www.mutiarahindu.com/2018/03/pengertian-dan-makna-simbol-atribut.html
Agastia. 1997. Saraswati Simbol Penyadaran dan Pencerahan. Denpasar: Warta Hindu Dharma.
Kondra, I Nengah. 2015. Kamus Istilah Dalam Agama Hindu. ….:…
Ngurah Nala, I Gusti dan Sudharta, Tjokorda Rai. 2009. Sanatana Hindu Dharma. Denpasar: Widya Dharma.
Susila, I Nyoman. Dkk. 2009. Materi Pokok Acara Agama Hindu Modul 1-9. Jakarta: Depag RI Bimas Hindu

Senin, 13 Maret 2023

Brahma Muhurtha

 



Di dalam Bhagawadgita 4.11
Jelas menyebutkan :
Dengan cara apapun engkau menyembah diriku , aku akan terima .
Karena itu merupakan jalanku ""
Brahman adalah tidak terbatas
dan aspekNya pun tak terbatas .
Oleh karena itu tak terbatas pula untuk mencapaiNya .
Bhagawadgita menjelaskan bahwa melaksanakan ajaran agama kepada pilihan dan keyakinan seseorang .
Menyimak yang disebutkan di dalam Bhagawadgita .
Apa yang sebenarnya kita peributkan dan bahkan saling mencela .
Kita sebagai manusia sangat terbatas dan sangatlah kecil dibandingkan dengan kebesaran Brahman tanpa batas
Tetapi karena begitu angkuhnya yang namanya manusia dan lupa akan ajaran siapa diri kita .

Hanya manusia berpikir sempit selalu mempeributkan apa keyakinan orang lain dan belum mengerti siapa dirinya .
Manusia yang Ideal dalam dunia ini adalah manusia yang tahu budi pekerti , harmonis dengan lingkunganya, Humanisme , Emansipasi , Menghargai pendapat orang lain , Bekerja keras , dan Memiliki Pengetahuan Tentang Atman dan berbakti kepada Brahman .
Selalu berjalan berdasarkan Dharma .


Simbolisasi dan Makna Wadah, Bade, dan Lembu

 


BALI EXPRESS, DENPASAR – Upacara Ngaben adalah ritual mengantar arwah keluarga atau orang yang disayangi menuju ke alam sunia. Dalam prosesinya, selain menggunakan Wadah, Bade, juga disertai Lembu. Apa makna sesunggungnya Wadah, Bade, dan Lembu itu?

Wadah, Bade, dan Lembu umumnya memiliki fungsi yang sama sebagai perlengkapan untuk melaksanakan ritual Ngaben di Bali. Namun, penggunaan Wadah biasanya digunakan oleh seseorang yang tidak berkasta. Sedangkan Bade dan Lembu digunakan oleh mereka yang memiliki kasta lebih tinggi. “Dalam filosofinya, Wadah dan Bade merupakan simbol dari bagian bawah dari Gunung Maliawan,” papar Undagi yang juga Ketua Yayasan Gases Bali, Dr. Komang Indra Wirawan,S.sn kepada Bali Express (Jawa Pos Group) akhir pekan kemarin di Denpasar.

Tak disanggahnya belakangan ada kecenderungan melaksanakan pangabenan secara berlebihan, bahkan dianggap menyalahi makna Ngaben itu sendiri.

Dikatakan Indra, adanya fenomena melaksanakan pangabenan secara mewah dan besar – besaran, dengan membeli Wadah yang lengkap dan besar dengan tujuan agar atman dapat lebih mudah tiba di Nirwana merupakan stigma yang keliru.

Menurutnya Wadah, Bade, dan Lembu hanya sarana pangabenan, bukan penentu seseorang itu akan mudah masuk surga atau tidak.

“Atman dimudahkan menuju Suargan atau Nirwana, bukan karena Wadah yang digunakan, tapi tergantung seperti apa karma sang atman itu,” bebernya.



Kadang orang salah kaprah, lanjutnya, ketika orang tuanya telah tiada mereka seolah membayar utang mereka dengan menyelenggarakan upacara Ngaben secara jor – joran. “Wadah harus yang paling mahal dan lengkap, baju yang digunakan layonnya harus baju yang terbaik ketika dibakar. Padahal, itu semua tidak perlu. Itu semua tidak dapat memengaruhi sang atman sampai ke Nirwana,” ujarnya.

Indra menyebutkan, secara fisik, Wadah dan Bade memiliki perbedaan yang mencolok. Bade umumnya memiliki tumpang, jumlah atap tumpangnya dibuat menyesuaikan kasta orang yang akan melaksanakan upacara pangabenan. Sedangkan, jika tak memiliki tumpang, atau hanya berbentuk tempat jenazah biasa yang menjulang tinggi disebut Wadah. “Memang berbeda, meski fungsinya sama, yaitu untuk membawa dan membakar jenazah ketika ngaben, namun secara riilnya berbeda,” urainya.

Bentuk Wadah yang paling sederhana bertumpang satu. Wadah ini, bentuknya seperti keranda tanpa penutup, dan diusung oleh empat orang. Lalu ada pula Wadah yang disebut dengan Papageh. Papageh umumnya sudah berbentuk seperti Wadah, namun lebih kecil ukurannya. Selain itu, ada juga Wadah (batur sari), yakni Wadah umumnya yang sering digunakan oleh masyarakat kebanyakan. Dan, terakhir ada Bade. “Nah Bade merupakan prasaranan yang paling lengkap. Biasanya menggunakan boma, angsa, Bedawang Nala,Garuda, dan Meru atau tumpang,” ujar pria yang akrab disapa Komang Gases ini.

Dikatakan pria yang usianya berkepala tiga ini, penggunaan Bade umumnya memiliki aturan khusus . Bade biasanya ada beberapa jenis, ada yang tumpang sembilan, tumpang solas (sebelas), tumpang pitu (tujuh), tumpang lima dan seterusnya. Nah masing – masing tumpang sudah ditentukan kasta apa yang dapat menggunakannya. Contohnya keturunan Dalem, biasanya diperbolehkan menggunakan Bade tumpang sebelas (11) lengkap dengan Naga Banda dan kelengkapan upakara lainnya.

Indra memaparkan, memang benar dalam tiap inci bagian yang ada pada Bade maupun Wadah memiliki arti dan filosofi khusus. Dalam Lontar Dharma Laksana, dijelaskan makna dari bagian – bagian Bade. “Bade dan Wadah umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu bagian kepala, badan, dan kaki. Dalam undagi biasanya disebut ornamen parta punggel. Itu biasanya berbentuk ornamen simbol,” ujarnya.


Ornamen – ornamen yang ada pada Bade merupakan simbol. Dikatakan Indra, dalam teori Widi Tattwa menyebutkan, agama Hindu di Bali dalam setiap segmen kehidupan, menggunakan media simbol, simbol sebagai sebuah tanda dalam makna kehidupan. Semua tradisi dan kepercayaan di Bali merupakan simbol. Contohnya banten itu simbol, canang itu juga simbol, segehan juga simbol. Begitu juga Wadah dan Bade adalah simbol. “Jadi, bukan berarti dengan menggunakan Wadah bertumpang solas, orang tersebut bisa lebih mudah tiba di Nirwana,” ujarnya.

Dalam Bade ada simbol Bedawang Nala. Wa dalam Bedawang Nala artinya tanah pertiwi. “Jika ditilik dari makna filosofinya, Bedawang Nala merupakan simbolisasi dari rwabhineda, yang artinya manusia harus dapat memilah mana yang baik dan buruk dalam hidup,” ujarnya. Selain itu, ada juga ornamen Naga. Ornamen ini, bisa diartikan sebagai simbol ‘Kamerta pangurip jagat’. Naga identik dengan niat rakus atau momo. Simbol ini menggambarkan, manusia diikat oleh rasa tamasika. “Diletakkannya simbol naga pada Bade diharapkan sifat tamasika orang yang meninggal akan dilebur dan tidak terbawa ke alam sunia. Naga ini merupakan simbolisasi dari Naga Basuki.

Selanjutnya ada juga ornamen yang disebut Boma. Boma merupakan gambaran kepala raksasa yang memiliki caling (taring) dengan mulut terbuka. Boma merupakan simbol perwatakan wujud manusia dari rasa tidak pernah puas. “Boma itu kan simbolisasi seorang manusia dengan hasrat tidak pernah puasnya hidup di dunia. Contohnya mereka yang gila harta, seberapa pun penghasilan yang didapat, mereka tetap merasa kurang dan terus menginginkan lebih,” tuturnya.

Selain itu, terdapat juga ornamen Garuda dalam Bade. Bungsu dari tiga bersaudara ini menjelaskan, Garuda merupakan simbol dari kendaraan Dewa Wisnu. Garuda dipercaya akan membantu menerbangkan segala sesuatu yang masih mengikat sang atman di Mercapada. Kemudian ada juga Angsa yang dinilai simbol istimewa. Sebab, Angsa berarti kembalinya sang atman pada yang kuasa. “Nah sampai di alam sunia, yang bisa dipertanggungjawabkan adalah karma. Jadi, seberapa pun mahalnya Wadah tak akan bisa mengurangi dosa karma kita di Mercapada ini,” ujarnya

Dalam upacara pangabenan banyak tahapan yang harus dilakukan, salah satunya adalah tradisi unik memberi bekal kepada yang meninggal yang hingga kini terus dipertahankan.
“Fenomena memberi bekal berupa uang dan benda – benda berharga bagi jenazah yang akan dibakar, tindakan salah kaprah, ” ujarnya.

Menurutnya, apa yang mereka lakukan adalah hal yang percuma. Sebab, orang yang meninggal tidak membawa benda – benda itu ke alam Nirwana. “ Daripada memberi mereka uang berjuta – juta ketika sudah mati, lebih baik mereka memberinya ketika orang tersebut masih hidup. Ini mereka jor – joran memberi ketika orangnya sudah tiada. Ketika masih hidup, justru mereka menyia – nyiakannya,” paparnya.

(bx/tya/bay/yes/JPR) –sumber

Minggu, 12 Maret 2023

Makna dan Tujuan Banten Pawedangan dan Ajengan

 


BALI EXPRESS, DENPASAR – Pernahkah Anda memperhatikan orang tua kita sering kali menghaturkan banten kopi maupun Ajengan di Bale Delod ataupun di Sanggah? Kebiasaan tersebut bahkan tak hanya dilakukan pada hari hari tertentu, namun dilakukan setiap hari.  Untuk apa dan kepada siapa persembahan itu ditujukan?

Nitya Karma atau disebut juga Nitya Yadnya, merupakan upacara yang harus dilakukan setiap hari dan bersifat sederhana. Salah satu pelaksanaannya adalah banten Pawedangan atau banten kopi,  ajengan atau jotan.

Dijelaskan Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Yaska Charya Manuaba, Nitya Karma dibagi menjadi Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya dan Rsi Yadnya. Dalam pelaksanaannya,
lanjut sulinggih yang juga  dosen Institute Hindu Dharma Negeri Denpasar ini,
mabanten Pawedangan dan Ajengan termasuk dalam Dewa Yadnya. Banten Pawedangan yang berupa kopi dan roti, biasanya dihaturkan di beberapa tempat, seperti Sanggah Kemulan, Rong Telu, Panunggun Karang, Pelangkiran rumah, serta Bale Delod atau Bale Dangin.



Menurutnya, Nitya Karma adalah salah satu bentuk yadnya yang harus dilakukan sebagai upaya untuk menghubungkan Sang Atman dengan Sang Pencipta.  “Secara teoritis, Nitya berarti sehari – hari dan yadnya yang berasal dari kata yaj’ yang berarti memuja, sehingga Nitya Yadnya berarti pengorbanan dilandasi kesucian hati dan ketulusan yang dilaksanakan pada kehidupan sehari – hari,” bebernya kepada Bali Express (Jawa Pos Group).

Dijelaskanya, banten Pawedangan itu hanya salah satu dari beberapa implementasi yadnya. Tujuannya sebagai sarana untuk penyatuan Atman kepada Sang Pencipta atau salah satu cara menuju Moksa. Dan, ini hanya salah satu caranya saja.

Ida Pandita memaparkan, dalam pelaksanaan Nitya Karma (yadnya) pada Dewa Yadnya, diwujudkan dengan mabanten Pawedangan di sanggah. Banten  Pawedangan itu biasanya berisi kopi dan roti. Lalu di Rong Telu, banten Pawedangan tersebut berupa kopi, air, roti beserta nasi saur.  Selain itu,  juga dihaturkan di dapur serta di sumur atau sumber air. “Nah satu lagi, jangan lupa untuk mabanten Pawedangan di Panunggun Karang. Biasanya Pawedangan yang dihaturkan berupa kopi, rokok, dan roti,” ungkapnya.

Hal itu juga sesuai dengan kitab Manawa Dharma Sastra yang memaparkan ada beberapa tempat yang dianggap penting dalam pelaksanaan Nitya Yadnya, yaitu bungut paon atau perapian dapur, sumur atau sumber mata air, atap rumah, pekarangan, sanggah/merajan dan Panunggun Karang. “Tempat – tempat tersebut diaggap penting karena dipercaya merupakan stana Dewa. Dapur merupakan stana Dewa Brahma, Sumur identik dengan air,  simbolisasi dari Dewa Wisnu,”ungkapnya. Nitya Yadnya, lanjutnya, bisa dalam berbagai bentuk,  dan banten Pawedangan hanya salah satu cara.

“Ingat, ini hanya satu dari seribu perwujudan Nitya Yadnya. Artinya tak harus mabanten Pawedangan setiap hari. Biasanya disesuaikan dengan desa kala patranya. Kalau bisa dilaksanakan tiap hari alangkah bagusnya. Cara lain melaksanakan Nitya Yadnya yaitu dengan Trisandya dan mabanten Saiban,” ujarnya.

Ketika ditanya, apakah benar Banten Pawedangan adalah persembahan kepada leluhur ? Mantan dosen Universitas Udayanan, ini menjelaska, banten Pawedangan merupakan wujud syukur kepada Tuhan atas rezeki yang berupa makanan.

“Sama seperti banten Saiban, banten Pawedangan juga merupakan perwujudan syukur kita kepada Sang Pencipta. Namun, hanya bentuknya saja yang berbeda. Adanya kepercayaan persembahan terhadap leluhur, itu kembali lagi kepada masing – masing personal dan desa kala patranya,” ujarnya.

Ida Pandita menjelaskan, pelaksanaan Nitya Yadnya  dianggap penting. Dalam kitab Bhagavadgita III.12-13 disebutkan :

Istan bhoan hi vo deva,
Dasyante yajna – bhavitah,
Tair dattan apradayaibhyo,
Yo bhunkte stena eva sah,
Yadnya sishtasinsah santo,
Mucnyante sarva kilbishail,
Bhujante te tv agham papa,
Ye pacanty atma karamat.

Artiya: Sesungguhnya keinginan untuk mendapatkan kesenangan telah diberikan kepadamu oleh para Dewa karena yadnyamu. Sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yadnya sesungguhnya adalah pencuri. Ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi diri sendiri sesungguhnya dosa.

“Dari sloka itu kita bisa mengerti pelaksanaan Nitya Yadnya itu penting. Karena tidak melaksanakan yadnya artinya kita berdosa,” ujarnya.

Terakhir ia nyampaikan agar masyarakat mengerti mana yadnya yang memang harus dijalankan, mana yadnya yang hanya terpaku pada gengsi. “Sesungguhnya yadnya yang harus dijalankan yaitu yadnya sederhana seperti ini, seperti banten Saiban, banten Pawedangan ataupun Ajengan. Namun, belakangan ini masyarakat justeru terpaku pada yadnya yang wah. Harus banten ini dan itu, harus menggunakan buah impor dan mahal. Padahal tidak demikian, itu hanya ego kita sebagai manusia yang ingin terlihat wah,” ungkapnya.

(bx/tya/rin/yes/JPR) –sumber

Makna, Tujuan dan Cara Penggunaan Benang Tri Datu

 



Agama Hindu di Bali memiliki banyak simbul dalam menjalankan agamanya. misalnya ada ritual yang membuat orang Hindu Bali menggunakan gelang benang Tri Datu. Namun benang merah, hitam dan putih ini bak menjadi trend fashion. Karena tak hanya orang Bali, atau orang hindu. Namun non hindu juga “nyaman” menggunakan gelang Tri Datu.

Menurut pandangan Ketua PHDI Provinsi Bali, Prof I Gusti Ngurah Sudiana, bagi umat Hindu Bali, benang Tri Datu atau juga sering disebut Sri Datu, secara etimologi, berasal dari dua kata yakni kata tri yang berarti tiga, dan datu yang berarti kekuatan, jadi Tri Datu berarti tiga kekuatan. Tiga kekuatan ddi sini adalah kekuatan dari tiga Dewa utama dalam agama Hindu. “Yakni Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa,” jelasnya.

Tri Datu yang memiliki tiga wrna yakni merah, putih dan hitam ini menjadi lambang tiga kekuatan. Yakni Dewa Brahma dengan aksara suci Ang, memiliki urip 9 dengan sakti Dewi Saraswati, disimbolkan dengan warna merah. Dewa Wisnu dengan aksara suci Ung, memiliki urip 4 dengan sakti Dewi Sri, dengan simbol warna hitam.



Dan Dewa Siwa dengan aksara suci Mang, memiliki urip 8 dengan sakti Dewi Durga, disimbolkan dengan warna putih. “Ketiga aksara ini yaitu Ang, Ung, Mang bila disatukan akan menjadi aksara AUM yang bila diucapkan menjadi OM. Aksara pranawa OM merupakan aksara suci umat Hindu serta memiliki nilai magis yang luar biasa sebagai simbol dari Ida Sanghyang Widi Wasa,” lanjut dosen IHDN ini.

Sehingga pada hakikatnya, dikatakan Sudiana, benang Tri Datu merupakan salah satu aktualisasi diri dalam konteks Tri Murti. Dalam ajaran agama Hindu Tri Murti adalah tiga kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa dalam menciptakan, memelihara, dan mengembalikan pada asalnya alam beserta isinya.

Salah satu sastra yang membahas tentang penggunaan benang Tri Datu dalam ritual keagamaan Hindu adalah Lontar Agastya Parwa. Dimana dalam lontar Agastya Parwa disebutkan Sudiana, benang Tri Datu untuk manusia yakni Umat Hindu Bali digunakan sebagai sarana perlindungan dari kekuatan negatif. Sehingga manusia bisa terhindar dari hal-hal negatif dan bisa berfikir lebih bijaksana.



Dijelaskan Sudiana untuk jalinan benang ini bisa dikatakan benar bila ukuran benangnya, besar benangnya sama dijalin saling ikat bukan terlepas begitu saja, atau bukan dijalin seperti jalinan rambut. “Benang Tri Datu bagi masyarakat Hindu juga difungsikan sebagai sarana dan prasarana upacara keagamaan,” tambahnya.

Jika dilihat dilihat dari sejarah penggunaan benang Tri Datu, sebelum menjadi tren seperti saat ini, dikatakan Sudiana, hampir semua kegiatan keagamaan yang terangkum dalam Panca Maha Yajna dalam pelaksanaannya memakai benang Tri Datu. Mulai dari upacara Dewa Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai sarana nuntun Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya.

Selain itu, benang sebagai alat atau media penghubung antara pemuja dan yang dipuja, sehingga benang Tri Datu pada awalnya adalah sebuah pica (Anugrah) dari beberapa pura seperti Pura dalem Ped yang berlokasi di Nusa Penida. “Bisa dikatakan Pura Dalem Ped inilah yang pertama kali menganugrahkan gelang Tri datu kepada pemedek yang tangkil ke Pura, selanjutnya seiring dengan perkembangan, akhirnya hampir seluruh Pura di Bali saat ini menganugrahkan benang Tri datu kepada umatnya,” urainya.

Dalam upacara Butha Yajna, benang Tri Datu dipakai pamogpog (pelengkap) atas kekurangan persembahan yang dilaksanakan. Untuk pelaksanaan upacara Rsi Yajna juga memakai benang Tri Datu yang digunakan sebagai slempang pada tubuh yang di diksa atau winten sebagai pawitra dari nabe kepada sisya.

Sedangkan pada upacara Manusa Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai lambang panugrahan. Memakai benang pawitra berwarna Tri Datu bermakna pengikatan diri terhadap norma-norma agama. “Sedangkan pada upacara Pitra Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai panuntun atma yang telah meninggal,” paparnya.

Lantas bagaimana dengan benang Sanga Datu dan benang Panca Datu yang bisa didapat di Pura watu Klotok untuk Panca Datu dan Pura Besakih untuk Sanga Datu?

Hingga saat ini Sudiana mengaku jika belum ada literature yang menjabarkan tentang penggunaan Sanga Datu dan Benang Panca datu untuk digunakan sebagai gelang atau kalung oleh umat. “Untuk Sanga Datu dan panca Datu ini, belum ada literature yang menyebutkan tentang penggunaan kedua benang ini untuk gelang bagi manusia,” tambahnya.

Dengan latarbelakang ini, Prof Sudiana mengatakan tidak ada masalah jika umat non hindu menggunakan gelang benang Tri Datu tidak salah. “Selain itu memang tidak ada larangan bagi umat non Hindu untuk menggunakan benang Tri datu ini, sepanjang penggunaannya pada tempat yang tepat,” jelasnya.

Adapun masud tempat yang tepat ini seperti digunakan untuk gelang tangan dan kalung dan bukan gelang kaki. Karena jika digunakan di kaki tanpa adanya tujuan dan ritual yang jelas, maka penggunaan tersebut bisa dianggap sebagai pelecehan, karena mengunakan simbul Tri Murti bukan pada tempatnya. “Posisinya tepat, sehingga tidak menjadi pelecahan terhadap simbol Hindu. Tidak masalah jika digunakan umat lain,” urainya.

(bx/gek/bay/yes/JPR) –sumber