Jumat, 29 April 2022

Buda Kliwon Matal dan Kajeng Kliwon

  


#Buda Kliwon Matal merupakan hari suci umat Hindu yang dirayakan dan jatuhnya setiap 6 bulan sekali untuk memuja Sang Hyang Ayu atau Sang Hyang Nirmala Jati guna memohon keselamatan serta anugrah rejeki yang melimpah dsb.
Buda Kliwon Matal merupakan pertemuan antara Sapta wara Buda yang berstana dibarat dengan lambang warna kuning, panca wara Kliwon yang berstana ditengah dengan lambang warna panca warna dan
wuku matal.
Dan pada saat hari Buda Kliwon Natal yang bertepatan juga dengan jatuhnya hari kajeng Kliwon.
#Kajeng Kliwon merupakan hari suci bagi umat Hindu yang jatuhnya pada setiap15 hari sekali, Kajeng Kliwon merupakan pertemuan dari dua unsur triwara dengan unsur pancawara.
Kajeng merupakan bagian dari unsur triwara sedangkan Kliwon merupakan bagian dari unsur pancawara.
#Kajeng merupakan hari prabhawanya dari Sang Hyang Durga Dewi yang merupakan perwujudan dari Ahamkara yang merupakan manifestasi dari kekuatan Bhuta, Kala dan Durga yang ada di muka bumi.
#Sedangkan Kliwon merupakan hari prabawanya Sang Hyang Siwa sebagai kekuatan dharma yang merupakan manifestasi dari kekuatan Dewa.
#Dan pada saat hari Kajeng Kliwon sering dikaitkan dengan
hal - hal yang berbau mistis dan diyakini oleh umat Hindu sebagai harinya Sang Hyang Siwa untuk melaksanakan yoga semadinya untuk
keselamatan dunia.
#Untuk itu setiap umat diharapkan pada saat Kajeng Kliwon untuk melakukan penyucian diri dan bersikap lebih berhati - hati karena kekuatan negatif cenderung lebih besar dari pada kekuatan yang positif, dan itu semua dapat mempengaruhi kehidupan manusia
dimuka bumi ini.



#Karena pada saat hari Kajeng Kliwon umat meyakini bahwa Sang Tiga Bhucari memohon restu dari Sang Durga Dewi untuk menggoda manusia yang melanggar atau berbuat kesalahan juga membuat mara bahaya, mengundang semua desti, teluh, terang jana guna menggoda orang yang tidak menjalan ajaran dharma ataupun
orang yang tidak berbuat baik.
#Dengan demikian sudah sepatutnya dan sudah menjadi kewajiban kita sebagai umat Hindu untuk menghaturkan persembahan dimerajan, pura dan tempat suci lainnya
kehadapan Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Durga Dewi berupa canang sari, canang raka, puspa harum, tipat dampulan, segehan kepelan, segehan cacahan, segehan putih kuning, segehan panca
warna dsb.
#Semua itu hendaknya disesuaikan dengan tempat atau keadaan dan kemampuan dari masing - masing umat.
#Dan dengan kita menghaturkan semua persembahan dan segehan itu diharapkan agar bisa mewujudkan keseimbangan alam niskala dari alam Bhuta menjadi alam Dewa.
#Semua jenis Banten atau upekara adalah merupakan simbul diri kita, lambang kemaha - kuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung.
(Lontar Yajna Prakrti)
#Banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya bawang merah, jahe, garam dan juga dipergunakan api takep dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda (+) atau swastika disertai beras dan tetabuhan berupa air, arak serta berem.
#Segehan dihaturkan kepada para Bhutakala agar tidak mengganggu ,
dinatar merajan dihaturkan segehan panca warna ditujukan pada Sang Bhuta Bhucari, dinatar pekarangan rumah dihaturkan pada Sang Kala Bhucari, didepan pintu pekarangan rumah atau angkul - angkul dihaturkan pada Sang Durga Bhucari dan juga ditempat lainya, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah atau kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun
waktu tertentu.
#Dan dengan sarana segehan ini diharapkan nantinya dapat untuk menetralisir dan dapat untuk menghilangkan pengaruh negatip dari limbah tersebut. #Segehan juga dapat dikatakan sebagai lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).
Segehan ini biasanya dihaturkan setiap hari atau pada saat rahinan dan hari - hari tertentu.
#Setiap kepala keluarga hendaknya agar melaksanakan upacara Bali atau suguhan makanan kepada alam
dan menghaturkan persembahan ditempat - tempat terjadinya pembunuhan seperti pada ulekan, sapu, kompor, asahan pisau, dan talenan.
(Manavadharmasastra)






Kamis, 28 April 2022

Pengertian Asta Aiswarya





Pengertian Asta Aiswarya dan Bagian-bagianya

HINDUALUKTA-- Asta Aiswarya berasal dari bahasa sansekerta, yang terdiri dari kata "asta" yang berarti delapan dan kata "aiswarya" yang berarti kemahakuasaan. Jadi asta aiswarya yaitu delapan sifat kemahakuasaan dari Ida Sang Hyang Widhi.

Asta Aiswarya juga biasa disebut sebagai bentuk dan sifat ke-Maha-Kuasa-an Sanghyang Widhi skala dan niskala, yang terdiri dari delapan kekuatan, sehingga Aiswarya sering pula disebut Asta Aiswarya. Adapun dari kedelapan bagian tersebut yakni sebagai berikut:
Anima: sangat halus
Laghima: sangat ringan
Mahima: sangat besar dan sangat luas, tak terbatas
Prapti: dapat mencapai segala tempat
Isitwa: melebihi segala-galanya
Prakamya: kehendak-Nya selalu tercapai
Wasitwa: sangat berkuasa
Yatrakamawasayitwa: kodrati tidak dapat diubah
Dalam Hindu, dari kedelapan bentuk dan sifat ini dipercaya bersemayam pada-Nya yang dilambangkan sebagai Singhasana meliputi seluruh alam semesta, terpusat pada empat kekuatan aktif, yaitu: Dharma (hukum), Jnyana (pengetahuan), Wairagya (kesempurnaan), dan Aiswarya atau kekuasaan.



Niyasa (lambang) Singhasana (singa) ini disebut pula Catur Aiswarya karena dihubungkan dengan empat jenis bentuk Sakti-Nya yang berkedudukan disetiap sudut Anantasana, yaitu:
Dharma berkedudukan di tenggara (agneya) sebagai singa putih
Jnyana berkedudukan di barat-daya (nairity) sebagai singa merah
Wairagya berkedudukan di barat-laut (wayabya) sebagai singa kuning
Aiswarya berkedudukan di timur-laut (airsaniya) sebagai singa hitam
Mengapa menggunakan niyasa Singha? Karena Singha (singa) adalah mahluk alam yang paling kuat dan berkuasa. Sehingga niyasa singha berarti pula symbol kekuatan dan kekuasaan.
Keempat niyasa shakti-shakti Sanghyang Widhi itu akan membawa kebaikan bagi manusia bila dalam pemujaan menggunakan mudra dan bija- mantra yang tepat yakni Untuk singha putih dengan mudra Sara, dan bija-mantra Reng, menimbulkan perasaan mendalam dan aktif. Untuk singha merah dengan mudra Sikha, dan bija-mantra Rreng, memberi kepuasaan. Untuk singha kuning dengan mudra Kawaca, dan bija-mantra Leng, memberi kesejahteraan seluruh alam


Untuk singha hitam dengan mudra Parasu, dan bija-mantra Ling, menimbulkan rasa kagum.Yang dimaksud dengan kebaikan bagi manusia, seperti yang disebutkan di atas, adalah perasaan yakin dan dekat kepada Sanghyang Widhi, sehingga dapat mengharapkan Aiswarya Atman pada diri manusia setidak-tidaknya menyerupai atau mendekati kesamaan dengan Aiswarya Brahman (Sanghyang Widhi).




Jumat, 22 April 2022

Bhagavadgita Pengabdian Suci Bhakti





Bhagavadgita Bab XII - Pengabdian Suci Bhakti

Bhagavad-gita 12.1
12.1 Arjuna bertanya; yang mana dianggap lebih sempurna; orang yang selalu tekun dalam bhakti kepada Anda dengan cara yang benar ataukah orang yang menyembah Brahman, yang tidak bersifat pribadi dan tidak terwujud?

Bhagavad-gita 12.2
12.2 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Orang yang memusatkan pikirannya pada bentuk pribadi-Ku dan selalu tekun menyembah-Ku dengan keyakinan besar yang rohani dan melampaui hal-hal duniawi Aku anggap paling sempurna.

Bhagavad-gita 12.3
Bhagavad-gita 12.4
12.3-4 Tetapi orang yang sepenuhnya menyembah yang tidak terwujud , di luar jangkauan indria-indria, yang berada di mana-mana, tidak dapat dipahami, tidak pernah berubah, mantap dan tidak dapat dipindahkan-paham tentang kebenaran Mutlak yang tidak mengakui bentuk pribadi Tuhan-dengan mengendalikan indria-indria, bersikap yang sama terhadap semua orang, dan sibuk demi kesejahteraan semua orang, akhirnya mencapai kepada-Ku.

Bhagavad-gita 12.5
12.5 Orang yang pikirannya terikat pada aspek Yang Mahakuasa yang tidak berwujud dan tidak bersifat pribadi sulit sekali maju. Kemajuan dalam disiplin itu selalu sulit sekali bagi orang yang mempunyai badan.




Bhagavad-gita 12.6
Bhagavad-gita 12.7
12.6 -7 Tetapi orang yang menyembah-Ku, menyerahkan segala kegiatannya kepada-Ku, setia kepada-Ku tanpa menyimpang, tekun dalam pengabdian suci bhakti, selalu bersemadi kepada-Ku, dan sudah memusatkan pikirannya kepada-Ku- cepat Kuselamatkan dari lautan kelahiran dan kematian, wahai putera Prtha.

Bhagavad-gita 12.8
12.8 Pusatkanlah pikiranmu kepada-Ku, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, dan gunakanlah segala kecerdasanmu dalam Diri-Ku. Dengan cara demikian, engkau akan selalu hidup di dalam Diri-Ku, tanpa keragu-raguan.

Bhagavad-gita 12.9
12.9 Arjuna yang baik hati, perebut kekayaan, kalau engkau tidak dapat memusatkan pikiranmu kepada-Ku tanpa menyimpang, ikutilah prinsip-prinsip yang mengatur bhakti-yoga. Dengan cara demikian, kembangkanlah keinginan untuk mencapai kepada-Ku.

Bhagavad-gita 12.10
12.10 Kalau engkau tidak sanggup mengikuti latihan aturan bhakti- yoga, cobalah bekerja untuk-Ku, sebab dengan bekerja untuk-Ku, engkau akan mencapai tingkat yang sempurna.

BACA JUGA
Bhagavadgita Bab XVII - Golongan - Golongan Keyakinan
Bhagavadgita Bab XVI - Sifat Rohani Dan Sifat Jahat
Bhagavadgita Bab XV - Yoga Berhubungan dengan Kepribadian Yang Paling Utama

Bhagavad-gita 12.11
12.11 Akan tetapi, kalau engkau tidak sanggup bekerja sambil sadar kepada-Ku seperti ini, cobalah bertindak dengan melepaskan segala hasil dari pekerjaanmu dan berusaha menjadi mantap dalam diri sendiri.

Bhagavad-gita 12.12
12.12 Kalau engkau tidak sanggup mengikuti latihan tersebut, tekunilah pengembangan pengetahuan. Akan tetapi, semadi lebih baik daripada pengetahuan, dan melepaskan ikatan terhadap hasil perbuatan lebih baik daripada semadi, sebab dengan melepaskan ikatan seperti itu seseorang dapat mencapai kedamaian jiwa.



Bhagavad-gita 12.13
Bhagavad-gita 12.14
12.13-14 Orang yang tidak iri tetapi menjadi kawan baik bagi semua makhluk hidup, tidak menganggap dirinya pemilik, bebas dari keakuan palsu, bersikap sama baik dalam suka maupun duka, bersikap toleransi, selalu puas, mengendalikan diri, tekun dalam bhakti dengan ketabahan hati, dengan pikiran dan kecerdasannya dipusatkan kepada-Ku- penyembah-Ku yang seperti itu sangat Ku-cintai.

Bhagavad-gita 12.15
12.15 Aku sangat mencintai orang yang tidak menyebabkan siapapun dipersulit, tidak digoyahkan oleh siapapun dan bersikap yang sama, baik dalam suka, duka, rasa takut maupun kecemasan.

Bhagavad-gita 12.16
12.16 Aku sangat mencintai penyembah-Ku yang tidak bergantung pada jalan kegiatan yang biasa, yang suci, ahli. Bebas dari rasa prihatin, bebas dari segala dukacita, dan tidak berusaha memperoleh suatu hasil atau pahala.

Bhagavad-gita 12.17
12.17 Orang yang tidak bersenang hati atau bersedih hati, tidak menyesalkan atau menginginkan, dan melepaskan ikatan terhadap hal-hal yang menguntungkan dan tidak menguntungkan- seorang penyembah seperti itu sangat Ku- cintai.

Bhagavad-gita 12.18
Bhagavad-gita 12.19
12.18-19 Orang yang bersikap sama terhadap kawan dan musuh, seimbang dalam penghormatan dan penghinaan, panas dan dingin, suka dan duka, kemasyuran dan fitnah, selalu bebas dari pergaulan yang mencemarkan, selalu diam dan puas dengan segala sesuatu, yang tidak mempedulikan tempat tinggal apapun, mantap dalam pengetahuan dan tekun dalam bhakti-orang seperti itu sangat ku-cintai.

Bhagavad-gita 12.20
12.20 Aku sangat mencintai orang yang mengikuti jalan bhakti yang kekal ini, tekun sepenuhnya dengan keyakinan, dan menjadikan Aku sebagai tujuan tertinggi

Sumber : cakepane.blogspot.com

Bhagavadgita Karma Yoga





Bhagavad-gita Bab III - Karma Yoga

Bhagavad-gita 3.1
3.1 Arjuna berkata; O Janardana, o Kesava, mengapa Anda ingin supaya hamba menjadi sibuk dalam perang yang mengerikan ini, kalau Anda menganggap kecerdasan lebih baik dari pekerjaan yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil?

Bhagavad-gita 3.2
3.2 Kecerdasan hamba dibingungkan oleh pelajaran Anda yang mengandung dua arti. Karena itu, mohon beritahukan kepada hamba dengan pasti mana yang paling bermanfaat untuk hamba.

Bhagavad-gita 3.3
3.3 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; o Arjuna yang tidak berdosa, Aku sudah menjelaskan bahwa ada dua golongan manusia yang berusaha menginsafi sang diri. Beberapa orang berminat mengerti tentang hal itu melalui angan-angan filsafat berdasarkan percobaan, sedangkan orang lain berusaha mengerti tentang hal itu melalui bhakti.

Bhagavad-gita 3.4
3.4 bukan hanya dengan menghindari pekerjaan seseorang dapat mencapai pembebasan dari reaksi, dan bukan hanya dengan melepaskan ikatan saja seseorang dapat mencapai kesempurnaan.

Bhagavad-gita 3.5
3.5 Semua orang dipaksakan bekerja tanpa berdaya menurut sifat-sifat yang telah diperolehnya dari sifat-sifat alam material; karena itu, tiada seorangpun yang dapat menghindari berbuat sesuatu, bahkan selama sesaatpun.

Bhagavad-gita 3.6
3.6 Orang yang mengekang indria-indria yang bekerja tetapi pikirannya merenungkan obyek-obyek indria pasti menipu dirinya sendiri dan disebut orang yang berpura-pura.

Bhagavad-gita 3.7
3.7 Di pihak lain, kalau orang yang tulus ikhlas berusaha mengendalikan indria-indria yang giat dengan pikiran dan mulai melakukan karma yoga (dalam kesadaran Krisna ) tanpa ikatan, ia jauh lebih maju.

Bhagavad-gita 3.8
3.8 Lakukanlah tugas kewajibanmu yang telah ditetapkan, sebab melakukan hal demikian lebih baik daripada tidak bekerja. Seseorang bahkan tidak dapat memelihara badan jasmani tanpa bekerja.




Bhagavad-gita 3.9
3.9 Pekerjaan yang dilakukan sebagai korban suci untuk visnu harus dilakukan. Kalau tidak, pekerjaan mengakibatkan ikatan di dunia material ini. Karena itu lakukanlah tugas-kewajibanmu yang telah ditetapkan guna memuaskan Beliau, Wahai putera Kunti. Dengan cara demikian, engkau akan selalu tetap bebas dari ikatan.

Bhagavad-gita 3.10
3.10 Pada awal ciptaan, penguasa semua mahluk mengirim generasi-generasi manusia dan dewa, beserta korban- korban suci untuk visnu, dan memberkahi mereka dengan bersabda; Berbahagialah engkau dengan yadna (korban suci) ini sebab pelaksanaannya akan menganugerahkan segala sesuatu yang dapat diinginkan untuk hidup secara bahagia dan mencapai pembebasan.

Bhagavad-gita 3.11
3.11 Para dewa, sesudah dipuaskan dengan korban-korban suci, juga akan memuaskan engkau. Dengan demikian, melalui kerja sama antara manusia dengan para dewa, kemakmuran akan berkuasa bagi semua.

Bhagavad-gita 3.12
3.12 Para dewa mengurus berbagai kebutuhan hidup. Bila para dewa dipuaskan dengan pelaksanaan yajna (korban suci), mereka akan menyediakan segala kebutuhan untukmu.Tetapi orang yang menikmati berkat-berkat itu tanpa mempersembahkannya kepada para dewa sebagai balasan pasti adalah pencuri.

Bhagavad-gita 3.13
3.13 Para penyembah Tuhan dibebaskan dari segala jenis dosa karena mereka makan makanan yang dipersembahkan terlebih dahulu untuk korban suci. Orang lain, yang menyiapkan makanan untuk kenikmatan indria-indria pribadi, sebenarnya hanya makan dosa saja.

Bhagavad-gita 3.14
3.14 Semua badan yang bernyawa hidup dengan cara makan biji-bijian, yang dihasilkan dari hujan. Hujan dihasilkan oleh pelaksanaan yajna (korban suci) dan yajna dilahirkan dari tugas kewajiban yang sudah ditetapkan.

Bhagavad-gita 3.15
3.15 Kegiatan yang teratur dianjurkan di dalam veda dan veda diwujudkan secara langsung dari kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, yang melampaui hal-hal duniawi dan berada di mana-mana untuk selamanya dalam perbuatan korban suci.

Bhagavad-gita 3.16
3.16 Arjuna yang baik hati, orang yang tidak mengikuti sistem korban suci tersebut yang ditetapkan dalam veda pasti hidup dengan cara yang penuh dosa. Sia-sialah kehidupan orang seperti itu yang hanya hidup untuk memuaskan indria-indria.

Bhagavad-gita 3.17
3.17 Tetapi orang yang bersenang hati di dalam sang diri, yang hidup sebagai manusia demi keinsafan diri, dan berpuas hati di dalam sang diri saja, puas sepenuhnya-bagi orang tersebut tidak ada tugas kewajiban.



Bhagavad-gita 3.18
3.18 Orang yang sudah insaf akan dirinya tidak mempunyai maksud untuk dipenuhi dalam pelaksanaan tugas-tugas kewajibannya, dan dia juga tidak mempunyai alasan untuk tidak melaksanakan pekerjaan seperti itu. Dia juga tidak perlu bergantung pada makhluk hidup manapun.

Bhagavad-gita 3.19
3.19 Karena itu hendaknya seseorang bertindak karena kewajiban tanpa terikat terhadap hasil kegiatan, sebab dengan bekerja tanpa ikatan terhadap hasil seseorang sampai kepada Yang Mahakuasa.

Bhagavad-gita 3.20
3.20 Raja-raja yang seperti Janaka mencapai kesempurnaan hanya dengan pelaksanaan tugas-tugas kewajiban yang telah ditetapkan. Karena itu, untuk mendidik rakyat umum, hendaknya engkau melakukan pekerjaanmu.

Bhagavad-gita 3.21
3.21 Perbuatan apapun yang dilakukan orang besar, akan diikuti oleh orang awam. Standar apa pun yang ditetapkan dengan perbuatannya sebagai teladan, diikuti oleh seluruh dunia.

Bhagavad-gita 3.22
3.22 Wahai putera prtha, tidak ada pekerjaan yang ditetapkan bagi-Ku dalam seluruh tiga susunan planet. Aku juga tidak kekurangan apapun dan Aku tidak perlu memperoleh sesuatu, namun Aku sibuk melakukan tugas-tugas kewajiban yang sudah ditetapkan.




Bhagavad-gita 3.23
3.23 Sebab kalau Aku pernah gagal menekuni pelaksanaan tugas-tugas kewajiban yang telah ditetapkan dengan teliti, tentu saja semua orang akan mengikuti jalan-Ku, wahai putera Partha.

Bhagavad-gita 3.24
3.24 Kalau Aku tidak melakukan tugas-tugas kewajiban yang sudah ditetapkan, maka semua dunia ini akan hancur. Kalau Aku berbuat demikian, berarti Aku menyebabkan penduduk yang tidak diinginkan diciptakan, dan dengan demikian Aku menghancurkan kedamaian semua makhluk hidup.

Bhagavad-gita 3.25
3.25 Seperti halnya orang bodoh melakukan tugas-tugas kewajibannya dengan ikatan terhadap hasil, begitu pula orang bijaksana dapat bertindak dengan cara yang serupa, tetapi tanpa ikatan, dengan tujuan memimpin rakyat dalam menempuh jalan yang benar.

Bhagavad-gita 3.26
3.26 Agar tidak mengacaukan pikiran orang bodoh yang terikat terhadap hasil atau pahala dari tugas-tugas kewajiban yang telah ditetapkan, hendaknya orang bijaksana jangan menyuruh mereka berhenti bekerja. Melainkan, sebaiknya ia beker ja dengan semangat bhakti dan menjadikan mereka sibuk dalam segala jenis kegiatan (untuk berangsur-angsur mengembangkan kesadaran Krisna)

Bhagavad-gita 3.27
3.27 Sang roh yang dibingungkan oleh pengaruh keakuan palsu menganggap dirinya pelaku kegiatan yang sebenarnya dilakukan oleh tiga sifat alam material.

Bhagavad-gita 3.28
3.28 Orang yang memiliki pengetahuan tentang kebenaran mutlak tidak menjadi sibuk dalam indria-indria dan kepuasan indria-indria, sebab ia mengetahui dengan baik perbedaan antara pekerjaan dalam bhakti dan pekerjaan yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil atau pahala, Wahai yang berlengan perkasa.

Bhagavad-gita 3.29
3.29 Oleh karena orang bodoh dibingungkan oleh sifat-sifat alam material, maka mereka sepenuhnya menekuni kegiatan material hingga menjadi terikat. Tetapi sebaiknya orang bijaksana jangan menggoyahkan mereka, walaupun tugas-tugas tersebut lebih rendah karena yang melakukan tugas-tugas itu kekurangan pengetahuan.

Bhagavad-gita 3.30
3.30 O Arjuna, karena itu, dengan menyerahkan segala pekerjaanmu kepada-Ku, dengan pengetahuan sepenuhnya tentang –Ku, bebas dari keinginan untuk keuntungan, tanpa tuntutan hak milik, dan bebas dari sifat malas, bertempurlah.

Bhagavad-gita 3.31
3.31 Orang yang melakukan tugas-tugas kewajibannya menurut perintah-perintah-Ku dan mengikuti ajaran ini dengan setia, bebas dari rasa iri, dibebaskan dari ikatan perbuatan yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil.

Bhagavad-gita 3.32
3.32 Tetapi orang yang tidak mengikuti ajaran ini secara teratur karena rasa iri dianggap kehilangan segala pengetahuan, dijadikan bodoh, dan dihancurkan dalam usahanya untuk mencari kesempurnaan.




Bhagavad-gita 3.33
3.33 Orang yang berpengetahuanpun bertindak menurut sifatnya sendiri, sebab semua orang mengikuti sifat yang telah diperolehnya dari tiga sifat alam. Karena itu apa yang dapat dicapai dengan pengekangan?

Bhagavad-gita 3.34
3.34 Ada prinsip-prinsip untuk mengatur ikatan dan rasa tidak suka berhubungan dengan indria-indria dan obyek-obyeknya. Hendaknya seseorang jangan dikuasi oleh ikatan dan rasa tidak suka seperti itu, sebab hal-hai itu merupakan batu-batu rintangan pada jalan menuju keinsafan diri.

Bhagavad-gita 3.35
3.35 Jauh lebih baik melaksanakan tugas-tugas kewajiban yang sudah ditetapkan untuk diri kita. Walaupun kita berbuat kesalahan dalam tugas-tugas itu, daripada melakukan tugas kewajiban orang lain secara sempurna. Kemusnahan sambil melaksanakan tugas kewajiban sendiri lebih baik daripada menekuni tugas kewajiban orang lain, sebab mengikuti jalan orang lain berbahaya.

Bhagavad-gita 3.36
3.36 Arjuna berkata; Apa yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan yang berdosa, walaupun dia tidak menginginkan demikian, seolah-olah dia dipaksakan untuk berbuat begitu?

Bhagavad-gita 3.37
3.37 Kepribadiaan Tuhan Yang Maha Esa bersabda: Wahai Arjuna, hanya hawa nafsu saja; yang dilahirkan dari hubungan dengan sifat nafsu material dan kemudian diubah menjadi amarah, yang menjadi musuh dunia ini. Musuh itu penuh dosa dan menelan segala sesuatu.

Bhagavad-gita 3.38
3.38 Seperti halnya api ditutupi oleh asap, cermin ditutupi oleh debu, atau janin ditutupi oleh kandungan, begitu pula mahluk hidup ditutupi oleh berbagai tingkat hawa nafsu ini.

Bhagavad-gita 3.39
3.39 Seperti itulah kesadaran murni mahluk hidup yang bijaksana ditutupi oleh musuhnya yang kekal dalam bentuk nafsu, yang tidak pernah puas dan membakar bagaikan api.

Bhagavad-gita 3.40
3.40 Indria-indria, pikiran dan kecerdasan adalah tempat duduk hawa nafsu tersebut. Melalui indria-indria, pikiran dan kecerdasan hawa nafsu menutupi pengetahuan sejati mahluk hidup dan membingungkannya.

Bhagavad-gita 3.41
3.41 Wahai Arjuna, yang paling baik diantara para Bharata, karena itu, pada awal sekali batasilah lambang dosa yang besar ini ( hawa nafsu ) dengan mengatur indria-indria, dan bunuhlah pembinasa pengetahuan dan keinsafan diri ini.

Bhagavad-gita 3.42
3.42 Indria-indria yang bekerja lebih halus daripada alam yang bersifat mati. Pikiran lebih halus daripada indria-indria; kecerdasan lebih halus lagi daripada pikiran; dan Dia (sang roh ) lebih halus lagi daripada kecerdasan.

Bhagavad-gita 3.43
3.43 Dengan mengetahui dirinya melampaui indria-indria material, pikiran dan kecerdasan, hendaknya seseorang memantapkan pikiran dengan kecerdasan rohani yang bertabah hati ( kesadaran Krsna ), dan dengan demikian- melalui kekuatan rohani, mengalahkan hawa nafsu, musuh yang tidak pernah puas, wahai Arjuna yang berlengan perkasa.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Kamis, 21 April 2022

BEBANTENAN DI TEMPAT MENANAM ARI ARI DAN MAKNA DARI BATU GULITAN DAN PANDAN.

 



BEBANTENAN
Setelah ari-ari ditanam, di atasnya ditanami pohon pandan (ada juga ditambah batang kantawali dan sebatang buluh).
.
Kemudian diatas tanah, diletakkan sebuah batu hitam atau batu bulitan. Di atas batu diletakkan sebuah lampu Bali (sentir) yang menyala. Sentir dibiarkan tetap menyala sampai bayi kepus pusar. Terakhir, ditutup dengan guungan.
.
Di bagian hulu dari tempat nanam ari-ari, ditancapkan sebuah sanggah tutuan dihiasi dengan bunga merah. Sanggah dilengkapi sampian, gantung- gantungan. Sanggah ini sebagai stana Sanghyang Maha Yoni.
.
Aturang segehan beralaskan daun taru sakti (dapdap) pada Ari-ari sebanyak empat tanding yang merupakan persembahan kepada Catur Sanak.



.
Kepelan putih satu tanding, lauknya garam menghadap ke timur.
Kepelan merah (bang) satu tanding, dengan lauk bawang menghadap ke selatan.
Kepelan kuning satu tanding, lauk jahe menghadap ke barat.
Kepelan hitam (ireng) satu tanding, lauk uyah areng menghadap ke utara
.
Saat mesegehan ayat sang butha preta. Untuk membantu fokus saat ngayat, bisa pakai sesontegan "Ong sang butha preta, empu semeton jrone sang rare, mangde pageh angemit." Kemudian percikkan tetabuhan berem dan arak.
.
Lakukan ritual menghaturkan segehan ini setiap rahinan jagat, kliwon serta petemuan dina kelahiran bayi.
.
Untuk harian, setiap hari di atas batu bulitan atau batu hitam disajikan banten nasi segenggam di atas daun dapdap dengan lauk garam dan arang.
.
Setiap selesai memandikan bayi, siramkan air memandikan bayi tersebut di batu hitam tersebut.
.
Pada sanggah Tutuan, haturkan soda putih kuning, canang sari.

.
MAKNA PERLENGKAPAN MENANAM ARI ARI
Batu Gulitan
Mengandung makna sebagai permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi agar sang bayi dianugrahi panjang umur.
.
Pohon pandan duri
Merupakan simbol wujud buaya putih sebagai penjaga bayi terhadap gangguan yang bersifat black magic.
.
Sentir
Lampu ini berbahan bakar minyak kelapa yang dicampur dengan minyak lampu wayang (tunasin ring jro dalang) serta minyak kelapa (nyuh surya).
.
Lampu Bali yang menyala melambangkan Sanghyang Surya Candra, yaitu memiliki kekuatan Widia, oleh karena itu lampu tersebut ditatabkan atau ayab dengan mantra "Om Ang Ah suryya candra gumelar ya namah swaha".
.
Ini sebagai lambang kekuatan maya Sang Hyang Widhi dan sebagai Cakra Jala (batas pandang alam semesta), di mana Catur Sanak merupakan bagian mayanya Sang Hyang Widhi dan merupakan unit kehidupan maya di alam semesta, serta menjadi pelindung bayi.
.
Sanggah Tutuan
Merupakan simbol dari stananya Sang Hyang Maha Yoni sebagai penjaga si Bayi.
.
SEKIAN
Sumber teks: baliexpress.jawapos. com
Gambar: sanggah tutuan dan guungan. Sumber mantrahindu. com
Batu gulitan dan pandan medui. Sumber kb.alitmd.com




Rabu, 20 April 2022

Alasan Kenapa Banten Bayakaon Gunakan Andong Merah

 


Hampir di setiap upacara yadnya, menggunakan banten Beakala atau Bayakaon. Entah itu Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya hingga Dewa Yadnya. Penggunaan banten Beakala wajib ada sebagai sarana penyucian lahiriah.

Banten Bayakaon berasal dari kata Baya dan Kaon. Baya artinya segala sesuatu yang membahayakan. Marabahaya yang bisa terjadi pada setiap upakara yadnya, pralingga, badan manusia, yang menyebabkan gejolak negatif ketika berpikir, berucap dan berprilaku yang bersumber dari egoisme. Sedangkan kata Kaon artinya menghilangkan. Bahkan, dalam Lontar Rare Angon tersurat jelas : “Banten Bayakaon inggih punika maka sarana ngicalang sekancanin pikobet-pikobet sane nenten becik, dumugi sidha galang apadang.”

Maksudnya, banten Bayakaon berfungsi sebagai sarana untuk menghilangkan semua gejolak negatif yang bersumber dari egoisme.

Ketut Agus Nova, S.Fil.H, M.Ag yang akrab disebut Jro Anom menjelaskan, sesuai dengan namanya banten Bayakaon mengandung makna simbolis, yakni bertujuan untuk menjauhkan kekuatan Bhutakala (kekuatan negatif) yang mengganggu umat manusia. “Banten Beakala berfungsi untuk menetralisasi sang Bhutakala. Itu bisa dikatakan sebagai lelabaan (santapan) Sang Bhutakala,”ujar Jro Anom kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Selasa (26/12) lalu di Buleleng.



Jro Anom menyebut, banten Bayakaon dipergunakan sebagai manggala (upacara pendahuluan), selaku upacara penyucian, baik untuk unsur Bhuana Agung maupun Bhuana Alit. Tujuannya untuk mencapai keseimbangan antara lahir dan bhatin. Secara niskala, untuk menghilangkan kekuatan-kekuatan buruk Bhutakala serta mengembalikan ke sumbernya agar tidak mengganggu jalannya upacara.

Dikatakan Jro Anom, penyucian itu meliputi dua macam. Ada penyucian yang bermakna lahiriah dan ada penyucian yang bermakna rohaniah. Banten Byakala adalah banten yang melambangkan upacara penyucian lahiriah. Sedangkan upacara penyucian rohaniah dilaksanakan dengan menggunakan upakara atau banten Prayascitta. “Banten Bayakaon ini dipergunakan sebagai banten pendahulu, di semua jenis upacara panca yadnya. Itu wajib ada. Jika banten Bayakaon itu untuk penyucian lahiriah, maka penyucian rohanian mempergunakan banten Prayascita,” terangnya. Karena itu, lanjutnya, banten Prayascita ini selalu menyertai banten Bayakaon, agar penyucian secara jasmani dan rohani bisa dilakukan.

Menurutnya, ada beberapa komponen yang menyusun banten Bayakaon. Ada Sidi (ayakan bambu) yang di atasnya diletakkan Kulit Sasayut, Kulit Peras Pandan Berduri, Nasi Matajuh dan Matimpuh. Kemudian ada Lis Bayakaon, sampian Padma, Pabersian Payasan dan Sampian Nagasari dari daun Andong Merah berisi Plawa, Porosan, Bunga, Rampe dan Boreh Miyik.

Dikatakan Jro Anom, penggunaan Sidi atau ayakan ini sangat jelas fungsinya dalam kehidupan sehari-hari. Ayakan ini alat untuk menyaring tepung beras untuk mendapatkan tepung yang halus. Hal ini melambangkan tujuan banten Byakala ini adalah untuk menyaring wujud yang kasar menjadi lebih halus.

“Upacara Bayakaon itu untuk meningkatkan sifat-sifat Bhutakala dari yang kasar menjadi lebih halus, untuk membantu manusia dalam menangani berbagai perkerjaan dalam rangka beryadnya,” ungkap pria yang juga dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja ini.

Di atas ayakan itu kemudian diletakan Kulit Sasayut. Kulit Sesayut dibuat dari daun janur yang masih hijau yang disebut Selepan. Jro Anom mengatakan, Sasayut memiliki arti menuju karahayuan. “Dengan Kulit Sasayut itu telah tergambar bahwa tujuan banten Byakala itu adalah mengubah keadaaan dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Dari yang kotor menjadi bersih dan suci tahap demi tahap,” terangnya.

Banten Byakala dilengkai dengan Nasi Matajuh dan Nasi Matimpuh. Nasi ini dibuat dengan nasi dan garam dan lauk pauk lainya. Nasi kemudian dibungkus dengan daun pisang sedemikian rupa, sehingga ada yang berbentuk segi empat (Nasi Matajuh) dan Segi Tiga (Nasi Matimpuh).

- JUAL ES KRIM PERNIKAHAN KLIK DISINI

“Membungkus nasi dengan lauk pauknya dalam dua bentuk tadi dengan menggunakan daun pisang,” ujarnya. Nasi dalam dua bentuk itu, lanjutnya, melambangkan isi alam yang dibutuhkan oleh manusia sehari-hari. “Isi alam tersebut patut dilindungi dari pencemaran Bhutakala. Daun pisang yang dijadikan pembungkus itu lambang perlindungan dari pengaruh Bhutakala” imbuhnya.

Banten Byakala juga menggunakaan Sampian yang disebut Lis Alit atau Lis Bebuu sebagai Lis Pabyakalaan. Sampian Lis Bebuu ini lambang alam dalam keadaan seimbang. Dalam Sampian Lis ini terdapat beberapa Sampian jejahitan seperti tangga menek, tangga tuwun, jan sesapi, ancak bingin, alang-alang, tipat pusuh, tipat tulud, basang wayah basang nguda, tampak, tipat lelasan, tipat lepas, dan yang lainnya.

“Menurut mantram, tujuan pernggunaan Lis Bebuu ini untuk menghilangkan Dasa Mala, yaitu sepuluh perbuatan yang kotor yang tidak layak dilakukan,” paparnya.

Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah penggunaan sarana daun Andong Merah yang wajib ada saat pembuatan banten Bayakaon. Jro Anom menyebut dalam konsep banten Bayakaon, daun Andong Merah merupakan simbol dari Dewa Brahma.

“Dalam Lontar Taru Pramana dijelaskan, jika daun Andong tersebut memang wajib ada di banten Bayakaon. Jika ada banten Bayakaon yang tidak terdapat panyeneng Andong Merah, maka banten tersebut bukanlah banten Bayakaon. Karena daun Andong tersebut berperan sebagai penolak bala,” tegasnya. Selain sebagai sarana upacara, daun Andong Merah, lanjut Jro Anom, sangat cocok ditanam di pekarangan rumah untuk menolak bala. “Daun Andong Merah cocok untuk penetralisasi pekarangan rumah, karena dapat menolak segala kekuatan negatif yang hendak menyerang rumah,” tutupnya.

(bx/dik/rin/yes/JPR) –sumber




FILOSOFI CATUR VARNA DAN KONSEP DASAR PROFESIONALISME

 Filosofi Catur Varna dan Konsep Dasar Profesionalisme di zaman modern atau saat ini - Pada pembahasan materi agama Hindu kali ini mengenai Filosofi Catur Varna dan Konsep Dasar Profesionalisme yang merupakan salah satu dari bagian dari 4 Catur Varna dalam agama Hindu, untuk lebih mudah dipahami dapat kalian simak dalam penjelasan singkat berikut ini!


Catur Varna dan Profesionalisme di Zaman Modern

Ajaran Catur Varna ini sesungguhnya filosofi profesionalisme menurut Hindu. Sayang ajaran yang sangat mulia dan luhur ini dikotori oleh bintik-bintik hitam sejarah masa lampau yang menjungkirbalikan secara total ajaran Catur Varna itu menjadi kasta. Hal ini membuat terpuruknya citra Hindu di mata masyarakat luas.

Oleh karena itu dalam Pesamuan Agung PHDI, 26-29 Oktober 2002 di Mataram ini, ajaran Catur Varna itu akan dikembalikan pada fungsinya yang semula sesuai perkembangan dan tuntutan masyarakat.
Filosofi Catur Varna dan Konsep Dasar Profesionalisme
Filosofi Catur Varna dan Konsep Dasar Profesionalisme

Pada Pesamuan Agung tahun 2000 di Denpasar masalah pengembalian ajaran Catur Varna ini sudah pernah diajukan kepada sabha pandita untuk ditetapkan menjadi bhisama. Usul itu tinggal usul sampai akhirnya datang Maha Sabha VIII, bhisama tersebut tidak disidangkan oleh sabha pandita saat itu. Karena sesuai dengan Anggaran Dasar PHDI yang berhak mengeluarkan bhisama hanyalah sabha pandita.

Karena sabha pandita-lah sebagai unsur yang tertinggi dalam susunan kelembagaan PHDI. Hal ini memang sesuai dengan makna kitab suci Manawa Dharmasastra. Pada Pesamuan Agung PHDI di Mataram, ini diajukan lagi rancangan bhisama tentang Catur Varna ini sebagaimana diamanatkan oleh Maha Sabha VIII PHDI 2001 lalu.

Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat pada Pesamuhan Agung Tanggal 29 Oktober 2002. Menetapkan antara lain; Catur Varna adalah ajaran agama Hindu tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat atas “guna” dan “Kama” dan tidak terkait dengan Kasta atau Wangsa. Bhisama tentang Pengamalan Catur Varna ini sebagai pedoman yang sepatutnya dipatuhi oleh seluruh umat Hindu. Menugaskan kepada Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat untuk memasyarakatkan Bhisama Tentang Pengamalan Catur Varna ini, beserta penjelasannya dalam lampiran Bhisama ini kepada scluruh umat Hindu di Indonesia.



Memahami Teks

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa dalam Bhagavadgītā dan kitab-kitab Hindu lainnya disebutkan Tuhan hanya menciptakan empat profesi atau Catur Varna padahal kita melihat dewasa ini banyak sekali jenis profesi yang berkembang?

Dapatkah semua jenis profesi itu dikelompokkan menjadi empat kelompok profesi? Hal inilah yang perlu dibahas sehingga Catur Varna itu menjadi lebih jelas perannya dalam pembangunan masyarakat.

Catur Varna itu adalah empat profesi yang diciptakan oleh Tuhan. Di dunia ini, yang kekal abadi adalah Tuhan. Semua ciptaannya dapat berubah-ubah atau mengalami penyempurnaan-penyempurnaan sesuai dengan tuntutan zaman.

Menurut ajaran Hindu zaman itu akan berubah-ubah, setiap perubahan membawa ciri-ciri tertentu. “satu hari Brahman” dibagi menjadi empat belas masa, setiap masa dibagi menjadi empat zaman. Ke empat zaman itu adalah: Kertha Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga, dan Kali Yuga. Ciri-ciri tiap-tiap Yuga ini dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra I, 85 dan 86 sebagai berikut:

Anye krtayuge dharmās
Tretāyām dvāpare pare,
anye kaliyuga nŕnām
yuga hrāsānu rūpatah

Terjemahan:
Suatu macam tertentu dari kewajiban-kewajiban yang ditentukan bagi manusia di zaman Kertha, adalah berbeda dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan di zaman Treta, berbeda pula dengan zaman Dwapara dan demikian pula pada zaman Kali, sesuai dengan panjangnya masa semakin berkurang.

Tapah param krta yuge
Tretāyām jňānam ucyate
dvāpare yajňam evāhur
dānam ekam kalau yuge

Terjemahan:
Pada zaman Kertha Yuga yang menjadi puncak dari kewajiban adalah pelaksanaan tapa, brata, semadhi, dalam zaman Treta pengetahuan suci, pada zaman Dwapara adalah upacara Yadnya, pada zaman Kali yang paling utama adalah dana atau pemberian harta benda.

Pada sloka 81 s/d 83 dalam kitab Manawa Dharmaśāstra, dijelaskan dengan jelas ciri-ciri setiap zaman. Pada zaman Kertha dikatakan Dharma berkaki empat manusia dengan sempurna tanpa cacat, mendapatkan kewajiban tidak ada kecurangan, tidak ada kejahatan. Sedang pada zaman berikutnya Dharma sudah mulai digerogoti secara bertahap sampai pada zaman Kali, dimana kejahatan dan kebohongan merajalela. Pada zaman Kertha, manusia bebas dari berbagai penyakit sehingga dapat berumur sampai empat ratus tahun, setiap zaman umur manusia makin berkurang.

Perbedaan setiap zaman inilah yang menyebabkan perbedaan penekanan profesi atau Varna yang dibutuhkan. Pada zaman Kertha manusia berumur panjang dan penuh dengan kebajikan, maka yang paling utama adalah melakukan tapa, brata dan semadhi. Pada zaman ini profesi atau Varna Brāhmaṇalah yang paling dibutuhkan.

Karena Varna Brāhmaṇa yang paling dibutuhkan maka wajarlah secara sosio-logis Varna Brāhmaṇa yang dianggap paling utama. Pada zaman Kerta kesucianlah yang dianggap paling penting.

Pada zaman Treta kesaktian atau kepintaran yang dianggap paling penting. Pada zaman ini orang memuja-muja kemampuan (kesaktian). Zaman Treta profesi Kṣatriya menjadi paling menonjol, karena itu Varna Kṣatriyalah yang dianggap paling utama.

Pada zaman Dwapara, Yadnya yang dianggap paling utama. Upacara Yadnya yang besar akan menghabiskan dana yang besar, karena itu Varna Waisyalah yang dianggap paling utama. Pada zaman Kali yang dianggap paling utama adalah pemberian harta benda. Sumber harta benda adalah Varna Waisya dan Śudra, karena itu Varna Waisya dan Śudralah yang dianggap paling menonjol.




Kedudukan utama pada masing-masing Varna yang didapatkan pada setiap zaman hanyalah merupakan pkamungan sosiologis saja. Kalau ditinjau secara filosofis, semua Varna adalah penting pada setiap zaman dan pada setiap orang.

Menurut Prof. Dr. I. B. Mantra, Catur Varna secara filosofis ada pada setiap orang. Dalam bercita-cita hendaknya seseorang itu menjadikan dirinya seorang Brāhmaṇa, dalam mengembangkan cita-citanya seseorang hendaknya menjadi seorang Kṣatriya. Dalam hal memelihara kemakmurannya hendaknya ia menjadi seorang Waisya, melayani semua itu hendaknya ia menjadi seorang Śudra. Keempat Varna atau profesi itu unsur-unsur dasarnya ada pada diri setiap orang. Idealnya keempat profesi itu dapat ditumbuhkan secara seimbang dan profesional.

Pertumbuhan unsur-unsur Varna atau profesi dalam diri setiap orang tidaklah terlalu sama. Ada pada diri seseorang, yang lebih kuat pengaruh dan pertumbuhannya bakat kerohanian, orang ini akan menjadi seorang Brāhmaṇa. Ada yang lebih dominan pertumbuhan bakatnya dalam kepemimpinan, orang ini akan menjadi Varna Kṣatriya.

Demikian pula yang lebih dominan pertumbuhan bakatnya dalam bidang ekonomi, orang inipun akan menjadi seorang Varna Waisya. Sedangkan mereka yang hanya mampu menumbuhkan tenaga fisiknya, diapun akan menjadi Varna Śudra.


Yang menjadi persoalan dewasa ini, cukup relevankah hanya empat Varna ini sebagai lkamusan filosofis pembangunan profesi?

Pada dunia modern dewasa ini ada berbagai profesi, dapatkah semua profesi ini dikelompokkan ke dalam empat kelompok profesi atau Varna? Hal inilah yang harus diberikan jawaban yang setepat-tepatnya. Untuk mencari jawaban tersebut, kita berangkat dari tujuan pembangunan pada zaman modern dewasa ini. Pembangunan bertujuan membangun manusia seutuhnya dan seluruhnya. Seutuhnya dimaksudkan membangun manusia dalam segala totalitasnya.

Membangun manusia seluruhnya dalam pengertian tidak ada satupun manusia yang ditinggalkan dalam pembangunan. Konsep pembangunan modern dewasa ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan konsep pembangunan kualitas manusia menurut pkamungan Hindu. Kalau kita ringkas keberadaan diri manusia itu memang dapat dibagi dua aspek, aspek rohani dan aspek jasmani. Untuk melayani dua aspek besar pembangunan manusia yang bersifat iniversial ini, nampaknya secara mendasar dapat dilayani oleh empat profesi saja.

Pembangunan non-fisik manusia dapat dilaksanakan oleh Varna Brāhmaṇa. Pembangunan fisik material dapat dilaksanakan oleh Varna Waisya. Penataan semua aspek pembangunan atau manajemen pembangunan dapat dilaksanakan oleh Varna Kṣatriya.

Pelayanan tenaga fisik pada semua aspek pembangunan dapat dilaksanakan oleh Varna Śudra. Semua profesi di dunia modern ini pada dasarnya dapat dibagi menjadi empat profesi atau Catur Varna itu. Setiap profesi yang penekanannya pada pembangunan spiritual atau non-fisik lainnya dapat digolongkan Varna Brāhmaṇa.

Setiap profesi yang penekanannya pada kesejahtraan fisik material dapat digolongkan pada Varna Waisya. Sedangkan profesi yang bertujuan untuk menata atau menekankan pada “managerial skill” dapat digolongkan pada Varna Kṣatriya. Profesi yang menekankan pada pelayanan tenaga fisik dapat digolongkan pada Varna Śudra.

Catur Varna pada dasarnya landasan filosofis untuk mengembangkan profesionalisme dalam rangka mendapatkan peranan dan fungsi dalam pembangunan manusia dan masyarakat. Dalam konsepsi Varna Brāhmaṇa, sebenarnya cukup jelas ruang dan peluang yang disediakan agar profesi keBrāhmaṇaan menjadi berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Fungsi Varna Brāhmaṇa menjaga dan mempelajari Veda dapat dilihat aktualisasinya menjadi penyucian diri dan menyucikan orang lain.

Belajar dan mengajar dengan tulus ikhlas demikian bentuk nyata dari pengalaman Varna Brāhmaṇa. Mengatur pemerintahan, menata masyarakat, melayani masyarakat adalah bentuk pengamalan Varna Ksatriya. Bergerak dalam bidang distribusi dan produksi barang-barang ekonomi untuk memenuhi kebutuhan konsumen adalah wujud dari pengamalan profesi Varna Waisya. Membantu dengan tenaga fisik adalah pengamalan dari Varna Śudra.

Keempat Varna itu akan dapat saling isi mengisi antara satu dengan yang lainnya. Pengelompokan masyarakat ke dalam empat Varna itu akan menumbuhkan hubungan sosial yang saling membutuhkan. Keretakan di antara profesi itu akan dapat merugikan semua pihak.

  Glosarium  
  • Advaita Vedanta : bagian dari ajaran Hindu yaitu Darsana
  • Agni : api yang sangat erat kaitannya dengan upacara atau Dewa pelindung yang selalu dipuja oleh umat Hindu
  • Agni Hotra : persembahan terhadap Dewa Agni, nama suatu upacara yang sangat penting di dalam ajaran Veda
  • Ahimsa : tidak melakukan kejahatan dan membunuh
  • Akasa : Angkasa, ether. Dewa yang dipuja saat membangun rumah.
  • Ambika : ibu dari alam semesta, yang senang membunuh. Korban raksasa siluman. Nama Dewi Padi, Durga, dan Parwati.
  • Asvameda : upacara korban kuda yang dilakukan oleh golongan Hindu zaman dahulu
  • Avidya : kebodohan. Penyebab atman terikat pada kehidupan dunia atau neraka.
  • Ayodhya : kota kuno di tepi sungai Gogra yang diperintah oleh Iksvaku atau Manu dari dinasti Surya.
  • Bhagavadgita : nyanyian Tuhan. Ajaran Sang Krsna dalam Mahabharata
  • Bakti : persembahan atau penyerahan diri menurut petunjuk agama dalam usaha mencapai kebebasan jiwa.
  • Candra : bulan atau Dewi Bulan.
  • Carvaka : nama salah satu darsana yang membicarakan masalah materialis yang bersumber pada ajaran Barhaspati Sutra.
  • Catur Warna : empat profesi kehidupan manusia berdasarkan keahlian “guna dan karma”, yang terdiri atas: Brahmana Varna, Ksatriya Varna, Waisya Varna, dan Sudra Varna.
  • Daitya : Raksasa, Danawa, Asura keturunan Diti yang merupakan lawan dari para Dewa.
  • Daksina : pemberian yang diberikan kepada pendeta yang menyelesaikan suatu upacara. Kekuatan atau sakti dari upacara Yajna.
  • Dandaka : hutan tempat Sang Rama, Laksmana dan Dewi Sita berkelana
  • Dewasa Ayu : hari baik