Minggu, 28 Mei 2023

WARIGA (Wariga gemet lebih banyak ketepatannya)

 

Semut sedulur n kala gotongan
Dalam kepercayaan tentang semut sedulur dan kala gotongan terungkap bahwa hari-hari dimana perhitungan gabungan antara Sapta Wara dan Panca Wara menghasilkan bilangan angka "13" dan terjadi berturut-turut selama 3 hari maka itu dianggap sebagai hari tidak baik (pantangan) untuk melakukan upacara Pitra Yajna (ngaben/Atiwa- tiwa) sebab sesuai artinya akan membawa akibat pada kematian yg berturut-turut di lingkup krama/ braya setempat.
Bagaikan semut yg selalu berjalan beriringan begitu pula masyarakat memahami makna "Semut Sedulur" sebagai isyarat akan adanya iringan mayat bersusulan. Oleh sebab itu ketika perhitungan hari jatuh pada semut sedulur seperti: Sukra-Pon (6+7=13), Saniscara-Wage (9+4=13), dan Redite-Kliwon (5+8=13) maka akan dihindari untuk melaksanakan upacara Pitra Yajna (ngaben/Atiwa-tiwa).

Kala Gotongan jumlah urip gabungannya adalah "14" dan terjadi berturut-turut selama 3 hari seperti: Sukra Kliwon (6+8=14), Saniscara umanis (9+5=14) dan Redite Pahing (5+9=14). Kalau hasil perhitungan jumlah jumlah urip Sapta Wara dan Panca Wara hanya sekali terjadi bilangan "13" atau "14" tentu tidak dapat disebut "Semut Sedulur" atau "Kala Gotongan".

Ingkel wong
Ingkel = lung/pegat
Wong= manusa/manusia. Jadi ingkel wong tidak baik untuk pedewasan yg melibatkan manusia. Mesakapan potong gigi upacara manusa yadnya.


Penuntun wariga dewasa,dan wariga siwamandala, dalam kalender ada yg disebut ingkel = pantangan untuk melakukan suatu pekerjaan/yadnya
1.ingkel wong,wong =manusia.tidak baik melakukan upacara manusa yadnya
Ingkel sato = patangan untuk mulai memelihara ternak,ingkel mina = tidak baik mulai memelihara ikan,tambak,telaga dan sejenisnya.Ingkel manuk = tidak baik untuk mulai memelihara bangsa unggas,: bebek,angsa,ayam,dan burung.Ikel taru = tidak baik menanam pohon"an,mencari kayu untuk bangunan rumah.Ingkel buku = tidak baik menanam/ menebang tanaman yg berbuku misalnya tebu,bambu dan sejenisnya.
Ingkel itu berlangsung selama 7 hari mulai hari minggu - hari sabtu,jadi pantangan berlangsung selama 1minggu sesuai ingkel saat itu.
Pantangan yg tergolong dlm upacara manusa yadnya ada 13 macam :
1.upacara megedong- gedongan
2.upacara bayi baru lahir,
3.upacara kepus puser
4.upacara bayi 12 hari,
5 upaca bayi42 hari,
6.upcara bayi 3 bulan,
7,upacara bayi 6 bulan ( otonan ),
8.upcara tumbuh gigi,
9.upacara tanggal gigi,
10. Upacara mewinten saraswati,
11.upacara enek kelih ( ngrajaswala )
12.Upacara potong gigi,
13.dan upacara pernikahan. 

Ingkel = lung/pegat
Wong= manusa/manusia. Jadi ingkel wong tidak baik untuk pedewasan yg melibatkan manusia. Mesakapan potong gigi upacara manusa yadnya.
Penuntun wariga dewasa,dan wariga siwamandala, dalam kalender ada yg disebut ingkel = pantangan untuk melakukan suatu pekerjaan/yadnya
1.ingkel wong,wong =manusia.tidak baik melakukan upacara manusa yadnya
Ingkel sato = patangan untuk mulai memelihara ternak,ingkel mina = tidak baik mulai memelihara ikan,tambak,telaga dan sejenisnya.Ingkel manuk = tidak baik untuk mulai memelihara bangsa unggas,: bebek,angsa,ayam,dan burung.Ikel taru = tidak baik menanam pohon"an,mencari kayu untuk bangunan rumah.Ingkel buku = tidak baik menanam/ menebang tanaman yg berbuku misalnya tebu,bambu dan sejenisnya.
Ingkel itu berlangsung selama 7 hari mulai hari minggu - hari sabtu,jadi pantangan berlangsung selama 1minggu sesuai ingkel saat itu.
Pantangan yg tergolong dlm upacara manusa yadnya ada 13 macam :
1.upacara megedong- gedongan
2.upacara bayi baru lahir,3.upacara kepus puser,4.upacara bayi 12 hari,5 upaca bayi42 hari,6.upcara bayi 3 bulan,7,upacara bayi 6 bulan ( otonan ),8.upcara tumbuh gigi,9.upacara tanggal gigi,10. Upacara mewinten saraswati,11.upacara enek kelih ( ngrajaswala )12.Upacara potong gigi,13.dan upacara pernikahan.


Rabu, 24 Mei 2023

SATE RENTENG/ GAYAH/ SATE MADAN

 


Sate Renteng terdiri dari beberapa jenis, yakni:
.
1. Sate Renteng Puspusan yang menggunkan kelapa sebagai alasnya. Di mana didalamnya terdapat 13 buah tusuk sate, namun tidak menggunakan bagia Pulekerti.
.
2. Sate Renteng Sari. Dalam sate ini terdapat Bagia Pulekerti, namun tetap berpatokan kepada 13 buah tusuk sate.
.
3. Sate Renteng Utuh, jenis sate Renteng yang tergolong tinggi, sebab pada alasnya menggunakan kepala babi utuh.
.
4.Sate Renteng Durga Dewi yang tertinggi. Hal yang membedakan adalah penggunaan kepala babi yang disertai dengan cabai merah melambangkan taring Dewi Durga.

.
Beberapa komponen yang harus dilengkapi ketika hendak membuat Sate Renteng, yakni Sate Asem, Sate Serapah, Sate Lamat, Kekuwung, Bagia Pulekerti, Senjata Dewata Nawa Sanga, Penyelah, Aling-aling, Lawang, Japit Balung, dan Japit Babi.
.
Susunan dalam merangkai Sate Renteng hendaknya selalu memperhatikan Tattwa, di mana ada beberapa komponen wajib yang harus ada di dalam Sate Renteng.
.
Bagian dasar terdapat rangkaian tulang belulang babi, inilah yang dinamakan gayah. Selain itu, terdapat cabe merah yang merupakan simbol Banaspati yang berkaitan erat dengan Dewi Durga.
.
Kunyit juga terdapat dalam rangkaian Sate Renteng, yang merupakan penguat rangkaian agar kulit babi yang dirangkai tidak jatuh.
.
Yang tak kalah penting adalah penggunaan Paru-paru di arah timur, Hati di arah selatan, Empedu di arah barat, Limpa di arah utara, dan di tengah adalah ginjal. Komponen ini hendaknya harus terdapat dalam rangkaian Sate Renteng. “Karena penggunaan ini merupakan simbol kanda pat yang tak lain merupakan ancangan Dewi Durga”.
.
Sumber: baliexpress.jawapos. com
Gambar: berbagai jenis sate renteng. Dari tokopedia dan detik. com


MELUKAT DENGAN AIR SAWAH

 


(anugrah Bhatara Dalem)
==========================================
Lontar Bhuana Kosa sebagai teks rujukan Siwa Siddhanta Tertua di Nusantara bab VII sloka 2-3 menyebutkan ada lima sarana yan dapat digunakan sebagai SOCA yaitu upaya pembersihan bhatin. Meliputi PATRA (dedaunan), PERTIWI (tanah), JALA (air), BHASMA (abu suci), JNANA (pengetahuan suci).
JALA (unsur air) sebagai sarana (soca) pembersihan diri memiliki beragam jenis meliputi TOYA SEGARA (air laut), TOYA DANU (air danau), TOYA CAMPUHAN (pertemuan air dari sungai berbeda), TOYA SUMUR (air sumur), TOYA PANCORAN (air pancuran), TOYA TABAH (air sungai), TOYA BULAKAN (air menggenang) TOYA CARIK (air sawah).
TOYA CARIK atau TOYA UMA sangat penting digunakan sebagai sarana SOCA (pembersihan diri). Bahkan ada kisah seorang pendeta yang membuat Tirta Pangentas (air suci pembebas roh) dari air sawah, karena diragukan oleh yang nunas (memohon) tirta kemudian menyiramkan pada bangkai anjing. Ajaib, bangkai anjing tiba-tiba hidup seperti semula. Kisah kesaktian tirta dari air sawah ini popluer di wilayah desa Tegalalang, Gianyar.

Lontar Tutur Gong Besi menguraikan bagaimana manifestasi Bhatara Dalem berevolusi diwilayah berbeda dengan nama berbeda.
=========================================
“sah ida saking pangkung tukad, malinggih ida ring gaga sawah, dadi Ida Bhatari Uma, nga” (tutur Gong Besi). Artinya Beranjak beliau dari jurang dan sungai, berstana beliau di tegalan dan sawah, berwujud Bhatari Uma”
=========================================
Tutur Gong Besi menjelaskan bahwa SAWAH itu adalah tempat SUCI, air yang mengalir dari sawah tiada lain adalah manifestasi Bhatara Dalem sebagai Bhatari Uma.
Lalu pada berbagai teks lontar yang memuat upaya Soca (pembersihan batin) ada porsesi PANGLUKATAN (ruwatan) yang dilakukan disawah diiringi mantra khusus yang disebut UMA-GEMANA.
=============================


Dasaksara, organ hati berdiam tiga aksara

 


Ada yang bertanya kenapa dalam Dasaksara, organ hati berdiam tiga aksara, yakni aksara Ang, Ing, dan Yang. Saya jawab, tidak saja ketiga aksara tersebut, tetapi banyak aksara. Di dalam lontar Rwa Bhineda Ring Jero menyebutkan bahwa pada akhirnya semua aksara bermuara pada organ hati. Karena itu organ hati disebut Tumpuking Ati, Susuning Ati, Hredaya Padma, Windu Rahasya, Pangesengan, Catus Patha Sarira, dan banyak lagi.
.
Semua itu menandakan bahwa pada hati cinta dan welas asih itu berada. Ia adalah tempat berdiamnya sukma dan rasa sejati yang tidak ternoda oleh apa pun. Hanya hati yang dipenuhi cinta dan welas asih kepada semua makhluk yang akan dapat memekarkan kesadaran agar sampai pada pencerahan diri sempurna. Dan siapa pun yang senantiasa dapat mengolah Dasaksara di dalam hati, maka ia bisa menempatkan cinta dan welas asih pada hati dan memekarkan kesadarannya. Dalam ajaran Kawisesan, laku ini disebut Pengasih Agung.
~ sandi reka ~


PRANAYAMA GAYATRI MANTRA

 



HANYA 15 MENIT MELAKUKAN PRANAYAMA GAYATRI MANTRA DUA KALI SEHARI UNTUK MENDAPATKAN KESEHATAN YANG PRIMA.

Tidak perlu kemana mana lakukan dirumah saja dg baik dan benar niscaya akan mampu mencegah dan menyembuhkan penyakit, begitulah kebenaran dan fakta nya.
Pranayama Gayatri mantra disabdakan dalam Regveda X,137,3 untuk usadha. Ini Kitab Suci bukan dikarang sendiri dibuat sendiri. Sebagai seorang pemeluk Hindu semestinya memahaminya jangan sebaliknya meragukan kebenaran nya.
KALAU SUDAH MELAKUKAN PRANAYAMA GAYATRI MANTRA BELUM MENDAPATKAN MANFAAT YANG PARIPURNA PENYEBAB NYA ADALAH PELAKSANAAN NYA BELUM BAIK DAN BENAR, begitulah arif menyikapi nya.

Pager Wesi

 


Pager Wesi mari bentengi diri. Agar terhindar dari potensi Hukuman atas DOSA-DOSA KITA -- diuraikan dalam GARUDA PURANA*
Orang berdosa dikirim ke Berbagai Neraka oleh Dewa
Yama menurut jenis dan berat
Dosa mereka.
Ada total 28 jenis tempat, wilayah Naraka:-
(1) *Tamisram (Hukum cambuk berat)* - Mereka yang merampok milik orang lain
diikat dengan tali oleh para Pelayan Yama dan dilemparkan
ke Naraka dikenal sebagai Tamisram. Di sana, mereka dihukum cambuk
meronta-ronta, bersimbah darah, hingga pingsan. Ketika mereka mulai pulih, kembali mereka
Dipukuli. Ini dilakukan sampai waktunya tiba untuk hukuman berikutnya
*(2)Andhatamtrsam hukuman cambuk lainya)* - Neraka ini disediakan bagi
Suami atau Istri yang hanya memperlakukan pasangannya dengan baik ketika
mereka diuntungkan saja atau menerima sebatas kesenangan bagi dirinya. Begitu juga Mereka yang meninggalkan,
istri atau suami tanpa alasan yang jelas juga yang selingkuh membohongi pasangan mereka dihukum
Di Sini. Hukumannya hampir sama dengan tamisram, tapi
rasa sakitnya yang jauh lebih luar biasa keras, yang
segera membuat jatuh pinsan. Dan saat tersadar hukuman kembali diulangi.

*(3) Rauravam(siksaan ular)*- Ini adalah neraka bagi para pendosa
yang merebut dan menikmati properti atau sumber daya orang lain.
Orang-orang ini dilempar ke neraka ini, pendosa yang curang, berhadapan dengan wujud "Ruru", ular yang mengerikan. Ular-ular itu akan menyiksa mereka sampai hampir mati karena demikian kerasnya siksaan yang dialami.
*(4) Mahararuravam (kematian oleh ular)*- Di sini juga ada Ruru
ular tapi lebih ganas. Mereka yang mengingkari
ahli waris, warisan, dan menikmati harta benda orang lain
akan diremas dan digigit tanpa henti oleh ular yang mengerikan ini, yang
membelit mereka sedemikian kerasnya. Mereka yang merampas istri orang lain
juga dibuang ke sini.
*(5) Kumbhipakam (dimasak dengan minyak)* - Ini neraka bagi mereka
yang membunuh binatang untuk kesenangan semata. Di sini minyak direbus dalam
bejana besar dan orang berdosa dicelupkan ke dalam bejana ini, digoreng.


BENARKAH AGNIHOTRA SESAT??




 Kutipan Hindu Times

Om Swastiastu
Tatkala anda mendengar Agnihotra mungkin bagi sebagian orang hindu upacara sacral dan terpenting dalam weda ini terkesan baru. Lebih ekstrim lagi upacara suci ini dianggap bertentangan dengan budaya atau malah sesat. Ketika kita menganggap sesuatu sesat harusnya kita memiliki referensi atau dasar yang abash mengenai mana yang benar. Apabila klaim sesat tersebut hanya berdasarkan asumsi pribadi atau sekelompok orang saja, berdasarkan sikap apriori, maka itu adalah sebuah kesalahan berpikir. Biasanya kesalahan berpikir seperti ini terjadi karena kurangnya wawasan kita atau sikap sentiment kita terhadap betapa luasnya peradaban ini.
Apakah Agnihotra merupakan upacara sesat sebagaimana menurut anggapan sekelompok orang terhadap tradisi luhur weda ini.
Kita mungkin sering melihat upacara Agnihotra di film-film India, di komunitas hindu India atau pernah menyaksikannya secara langsung. Faktanya berdasarkan kitab Darmasastra, Agnihotra senantiasa harus dilaksanakan dalam setiap upacara yang dilakukan oleh manusia, mulai dari upacara kehamilan, kelahiran, pernikahan, hingga kematian. Dengan kata lain Agnihotra atau Homa adalah ritual inti dalam upacara-upacara suci weda. Dalam kitab-kitab weda mulai dari kitab Catur Weda, Upanisad, Purana, Ithiasa dan Darmasastra, dinyatakan bahwa upacara Api Suci sangatlah sacral dan sistem pelaksanaan upacara ini diturunkan sejak awal penciptaan dari Dewa Brahma sendiri. Pada manuantara pertama tatkala alam semesta ini baru tercipta, Tuhan sendiri turun sebagai Indra. Pada saat itu beliau turun dengan nama Yagna (baca Yadnya). Pada jaman itu Tuhan secara langsung memperkenalkan sistem ritual api suci Agnihotra. Sistem ritual ini kemudian diteruskan oleh para brahmana dan Rsi yang Agung untuk tujuan-tujuan yang spesifik Tidak hanya dalam upacara-upacara biasa saja, Agnihotra juga dilakukan demi tujuan-tujuan khusus lain pada masa lampau. Sebagai contoh Raja Dasarata memohon putra dengan menyelenggarakan korban suci Agnihotra. Pada saat itu dari dalam api suci Dewa Agni sendiri muncul memberikan sekendi nasi manis kepada Maharaja, untuk dibagikan kepada ketiga istrinya agar hamil. Dalam kisah sejarah weda yang lain, Rsi Tuastri, seorang brahmana agung menyelenggarakan korban suci agnihotra untuk membalas kematian putranya yakni Wiswarupa yang dipenggal oleh Dewa Indra. Karena salah mengucapkan satu suku kata mantra saja, dari api suci tersebut keluarlah makhluk kuat yang menyeramkan yang dikenal sebagai Ritrasura. Maharaja Pancala pada jaman Dwapara Yuga, juga memohon putra melalui korban suci Agnihotra. Dari apisuci tersebut keluarlah dua anak yaitu Drupada dan Drupadi. Maharaja Pururawa seorang raja pada jaman Treta Yuga, dari dinasti Candra Wamsa menyelenggarakan upacara suci Agnihotra agar bisa naik ke planet-planet surga dan bertemu kekasihnya yakni Uruwasi. Raja Pradiota salah satu keturunan Maharaja Yudistira juga melaksanakan upacara Agnihotra yang sangat besar untuk mengurangi kekuatan kegelapan di awal jaman Kaliyuga.

Tidak hanya dalam sejarah weda, di jaman Nusantara kunopun Upacara Agnihotra terdapat diberbagai peninggalan sejarah, cerita rakyat maupun kesusastraan. Manik Angkeran contohnya, menurut kisah dalam Babad, putra Danghyang Sidimantra ini dilahirkan dari kobaran api suci Upacara Agnihotra atau Homa yang dilakukan oleh ayahnya. Pahlawan legendaris Bali Kuno yang kita kenal sebagai Kebo Iwa, juga lahir dari api yadnya Upacara Agnihotra yang dilakukan oleh kedua orang tuanya yang lama tidak mendapatkan keturunan. Didalam Pura Kehen terdapat peninggalan kuno berupa Kunda Apia tau Altar tempat menyalakan Api Suci. Peninggalan serupa juga dapat ditemukan di desa sembiran, di Pura Gunung Kawi dan tempat-tempat suci kino disekitar Kintamani. Bahkan beberapa prasasti penting jaman Bali Kuno, seperti prasasti Bebetin, menyebutkan dengan jelas bahwa terdapat kuil Dewa Apia tau Hyang Api didekat pantai utara Bali pada abad ke 11 hingga abad ke 12.
Apa sesungguhnya Upacara Agnihotra, secara singkat Agnihotra adalah Upacara Suci Pokok yang termuat dalam Kitab Suci Weda. Dalam Upacara ini, seorang Brahmana atau Pendeta. Yajamana atau Penyelenggara Upacara dan Peserta Upacara mempersembahkan biji-bijian, kacang-kacangan dan minyak gee kedalam api suci disertai dengan pengucapan mantra untuk Ista Dewata yang ingin dipuja. Minyak yang dituangkan dalam Upacara Agnihotra adalah minyak yang khusus diperas dari susu sapi bukan dari bahan-bahan lain apalagi minyak sawit. Dikatakan dalam kitab suci weda, bahwa minyak gee atau minyak samin, disebut sebagai hawi yang adalah makanan bagi para dewa. Makanan bagi para dewa berupa mentega murni , gee, susu, olahan susu, dan kacang-kacangan. Makanan ini disebut sebagai Payasa atau Hawi. Juga disebutkan dalam kitab suci weda, apabila seseorang memuaskan Tuhan Yang Maha Esa dengan Yadnya, maka seluruh dewa yang ada dengan sendirinya terpuaskan. Itulah sebabnya satu-satunya tujuan Yadnya apapun adalah untuk memuaskan Tuhan. Dalam kitab suci weda Bhagawadgita bab 3 disebutkan adanya siklus semesta yang disebut Prawartitam Cakram. Siklus ini sesungguhnya adalah siklus kehidupan di alam semesta yang memungkinkan semua makhluk hidup mendapatkan kesejahteraan. Inti dari siklus ini adalah adanya korban suci Agnihotra. Dari Korban Api Suci, dimana biji-bijian dan minyak gee dituangkan, akan muncul asap yang mujur dalam sifat satwam atau kebaikan. Asap yang membubung ke angkasa ini dapat memurnikan atmosfir dan mengubah sifat awan menjadi satwam. Dari awan-awan satwam yang berkumpul tersebut munculah titik-titik hujan dengan air yang berkualitas satwika. Titik-titik hujan yang bersifat satwika ini adalah kendaraan bagi roh atau atma yang akan lahir ke bumi melalui sentuhan dengan tanah atau pertiwi. Disinilah bukti nyata adanya kontak antara elemen purusa dan predana di alam ini sebagaimana yang kita yakini sebagai umat Hindu. Roh-roh atau atma yang ingin mendapatkan badan kasar melalui kelahiran kembali di dunia ini turun dengan mengendarai butiran-butiran air hujan. Apabila awan-awan hujan disucikan dengan asap korban suci Upacara Agnihotra kualitas roh atau atma yang turun akan bersifat satwam. Dari atma yang dibungkus sifat satwam ini akan muncul berbagaimacam makhluk hidup berkualitas baik. Karena itulah kita sering mengaitkan hujan dengan kesuburan. Dari tanah yang subur akan tumbuh tanaman pangan yang subur. Roh-roh yang jatuh melalui hujan itu berkembang dan masuk menjadi biji-bijian yang dapat tumbuh. Itulah sebabnya orang dapat menumbuhkan biji menjadi individu baru karena didalam biji tersebut terkandung atma atau roh. Apabila biji-bijian atau kacang-kacangan ini dimakan oleh makhluk hidup heterotroph, atma didalam biji-bijian tersebut akan ditransfer kedalam badannya dan menjadi benih untuk menghasilkan keturunan yang baru. Apabila seseorang makan biji-bijian yang satwika maka tubuhnya dan juga keturunannya akan menjadi satwika. Ini yang menjadi alas an mengapa umat Hindu selalu mempersembahkan makanan kepada Tuhan sebelum dimakan. Makanan yang suci, akan menyebabkan munculnya generasi-generasi yang suci. Dari generasi manusia yang suci dan religious, yadnya akan terus dilakukan lagi sehingga siklus yadnya akan berputar terus menerus sepanjang jaman. Karena itulah siapapun yang tidak ikut memutar siklus yadnya, dinyatakan hidup dalam dosa, karena dia tidak mengambil kesempatan untuk menyucikan diri melalui korban suci dan kedermawanan. Dengan demikian melaksanakan korban suci dan memberikan sumbangan kepada orang suci adalah salah satu kewajiban manusia, terutama bagi mereka yang berumah tangga.
Berdasarkan uraian tersebut, kita sedikit tidaknya memahami bahwa Upacara Agnihotra adalah ritual sacral dalam Hindu. Permasalahan bahwa sebagian orang menganggapnya asing adalah karena Upacara sacral ini memang telah lama menghilang terutama di Nusdantara. Hal ini dikarenakan situasi politik yang tidak menentu sejak akhir keruntuhan Majapahit dan memudarnya sistem aguron-guron, atau garis perguruan rohani, sistem weda ini makin dilupakan. Sekarang ini sebagian orang kaget dengan munculnya Sampradaya, Agnihotra dan lagu-lagu Rohani Bhajan, tetapi sesungguhnya itu adalah budaya lama yang rupa-rupanya kembali hidup setelah 500 tahun mati suri. Upacara Agnihotrapun telah lama mati suri dalam perjalanan Hindu di Nusantara. Ada baiknya apabila kita mencoba mempelajari dan memahaminya, sebagai salah satu warisan peradaban Hindu dari jaman leluhur kita yang telah lampau. Karena Agnihotra melibatkan api suci, mantra suci, persembahan gee, biji-bijian dan kacang-kacangan maka Upacara Agnihotra tidak sama dengan pasepan atau dupa. Dengan kata lain upacara ini sesungguhnya tidak bisa digantikan dengan asap saja. Barangkali ada suatu peristiwa di masa lalu yang menjadi alas an mengapa Upacara Agnihotra dilupakan. Konon karena peristiwa kebakaran yang terjadi di Istana Gelgel, tatkala Upacara Agnihotra sedang berlangsung. Itu barangkali yang menjadi sebab mengapa Agnihotra tidak begitu dikenal di Nusantara. Upacara Agnihotra sesungguhnya bukan hal yang baru, apalagi bagi leluhur umat Hindu di Nusantara. Dalam rontal Rogha Sanghara Bhumi disebutkan bahwa upacara Homa atau atau api suci harus dilakukan apabila terjadi bencana besar atau wabah disebuah negara. Upacara Api Suci Agnihotra harus dilakukan apabila ada tanda-tanda yang tidak mujur disuatu desa. Demikianlah para leluhur Nusantara telah mencatat Upacara Agnihotra sebagai upacara sacral yang suci. Upacara Agnihotra bukan hal yang baru, namun kebudayaan dan tradisi Hindu lama yang dibangkitkan kembali sebagai salah satu tanda Kebangkitan Hindu. Sebelum kita menuduh suatu ritual adalah sesat, atau tidak sesuai dengan pakem, kita hendaknya mempelajarinya terlebih dahulu. Paling tidak ini akan menyelamatkan kita pada gagal paham yang parah dan berujung pada perpecahan internal umat beragama. Walau nampaknya sederhana ternyata Upacara Agnihotra menyimpan siklus alam yang ajaib. Inilah Bukti betapa ilmiahnya pengetahuan weda dan betapa luasnya pengetahuan rohani. Mari kita merenung daripada mempermasalahkan tatacara persembahyangan atau upacara. Kita hendaknya mempelajari lebih dalam tentang apa yang kita yakini, termasuk juga belajar memahami apa yang orang lain yakini.

Minggu, 21 Mei 2023

Bentuk-bentuk Tantra, Yantra, dan Mantra yang Dipergunakan dalam Praktik Kehidupan Sesuai Ajaran Agama Hindu



Tantra adalah konsep pemujaan Ida Sanghyang Widhi Wasa di mana manusia kagum pada sifat-sifat kemahakuasaan-Nya, sehingga ada keinginan untuk mendapatkan sedikit kesaktian. Tantra adalah suatu kombinasi yang unik antara mantra, upacara dan pemujaan secara total. Ia adalah agama dan juga philosopy, yang berkembang baik dalam Hinduisme maupun Budhisme. Tantra adalah cabang dari Agama Hindu. Kebanyakan kitab-kitab Tantra masih dirahasiakan dari arti sebenarnya dan yang sudah diketahui masih merupakan teka-teki. Ada baiknya diantara kita mulai belajar mendiskusikan ajaran tantra berlandaskan makna ajaran tersebut yang sesungguhnya, dengan demikian kita akan dapat mengetahui dan melaksanakan dengan bentuknya yang baik dan benar.


Secara umum dapat dinyatakan bahwa yantra dan mantra adalah bentuk- bentuk ajaran tantra yang sudah dilaksanakan oleh masyarakat pengikutnya guna memuja kebesaran Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur semua yang ada ini. Namun demikian pelaksanaannya masih perlu disesuaikan dengan kemampuan dan keadaan pelaksananya, sehingga mereka dapat terhindar dari sesuatu yang tidak kita inginkan bersama.



Foto; laddu_gopal_sofa

Yantra


Di dalam pemujaan yantra adalah sarana tempat memusatkan pikiran. Yantra adalah sebuah bentuk geometrik. Bentuk yantra yang paling sederhana adalah sebuah titik (Bindu) atau segi tiga terbalik. Disamping ada bentuk yantra yang sederhana, ada juga bentuknya yang sangat rumit (simetris dan non-simetris) yang semuanya itu dapat disebut Yantra. Semua bentuk-bentuk ini didasarkan atas bentuk-bentuk matematika dan metode-metode tertentu. Yantra tersebut dipergunakan untuk melambangkan para Deva seperti Siwa, Wishnu, Ganesha, dan yang lainnya termasuk Sakti. Keadaan mantra dan yantra adalah saling terkait. Pikiran dinyatakan dalam bentuk halus sebagai satu mantra dan pikiran yang sama dinyatakan dalam bentuk gambar sebagai sebuah Yantra. Dinyatakan terdapat lebih dari sembilan ratus Yantra. Salah satu dari Yantra yang terpenting adalah Sri Yantra, atau Navayoni Chakra, melambangkan Siwa dan Sakti. Yantra itu dapat dicermati dari berbagai praktik aliran atau pengikut Sakti (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:191)
Adapun bentuk-bentuk yantra yang dapat dikemukakan dalam tulisan ini adalah;
1. Banten


Banten adalah salah satu bentuk Yantra, sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Yadnya Parakerti. Banten itu memiliki arti yang demikian dalam dan universal. Banten dalam upacara agama Hindu adalah wujudnya sangat lokal, namun di dalamnya terkandung nilai-nilai yang universal. Banten itu adalah bahasa untuk menjelaskan ajaran Agama Hindu dalam bentuk simbol. Banten menurut Lontar Yadnya Prakerti menyatakan sebagai simbol ekspresi diri manusia. Misalnya; banten caru sebagai lambang penetralisir kekuaan negatif, banten peras sebagai lambang permohonan untuk hidup sukses dengan menguatkan Tri Guna ‘Peras Ngarania Prasidha Tri Guna Sakti’ artinya hidup sukses itu dengan memproporsikan dan memposisikan dengan tepat dinamika Tri Guna (Sattwam Rajas Tamas) sampai mencapai Sakti.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

2. Susastra


Dalam tradisi Hindu, yantra umumnya digunakan untuk melakukan upakara puja dengan mengikut-sertakan bija mantra sesuai yantra tersebut. Banyaknya jenis puja dan setiap puja menggunakan yantra maka penggunaan mantra juga menjadi berbeda. Adapun bentuk-bentuk yantra dalam kesusteraan Hindu antara lain:


a. Bhu Pristha yantra; adalah yantra yang biasanya dibuat secara timbul atau dipahat pada suatu bahan tertentu. Bhu Pristha yantra biasanya hanya ditulis pada selembar kertas atau kain.
b. Meru Pristha yantra; adalah yantra yang berbentuk seperti gunung atau piramid dimana di bagian dasar penampangnya dibuat lebar atau besar semakin keatas semakin mengecil misalnya bentuk meru pada bangunan pelinggih yang ada di Bali.
c. Meru parastar yantra; adalah bentuk yantra yang dipotong sesuai garis yantra tersebut atau dipotong bagian tertentu.
d. Ruram Pristha yantra; adalah yantra dimana bagian dasarnya membentuk mandala segi empat dan diatasnya dibentuk sebuah bentuk tertelungkup atau seperti pundak kura-kura
e. Patala yantra: adalah yantra yang di bagian atas bentuknya lebih besaran dari pada bentuk bagian bawahnya yang ‘kecil’. Bentuk ini kebalikan dari meru Pristha yantra (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:192).


Setiap Yantra baik dari segi bentuk maupun goresan yang tertera pada Yantra tersebut akan mempunyai arti yang berbeda serta tujuan yang berbeda pula. Karena yantra mempunyai tujuan dan manfaat yang berbeda. Bentuk-bentuk yantra dikembangkan dan diberi sentuhan artistik modern sehingga yantra tidak lagi kelihatan seperti barang seni atau sebuah perhiasan belaka, tetapi disesuaikan dengan makna dan ciri yantra serta kebutuhan si pemakainya. Sesuai perkembangan jaman sekarang banyak sekali yantra dibentuk kecil, misalanya dalam bentuk kalung, gelang dan cincin. memang sebaiknya yantra tersebut diusahakan selalu dekat dengan si pemakainya, dengan kedekatan itu maka energi yang ada dalam yantra dan energi pemakai menjadi saling menyesuaikan. Yantra dapat diibaratkan sebagai polaritas energi positif yang secara terus menerus mempengaruhi si pemakainya sehingga dalam waktu singkat fungsi yantra yang dikenakan dapat dirasakan manfaatnya atau hasilnya.

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Siwa lingga adalah bagian dari Tantrisme. Dewasa ini hampir di semua tempat suci (Pura) seseorang dapat melihat Siwalingga yang diwujudkan dengan lingga – yoni. Menurut Siwa Purana, itu melambangkan ruang di mana alam semesta menciptakan dan melenyapkan dirinya berulang-kali. Sedangkan menurut Tantra mewujudkannya dengan phalus dan yoni sebagai perlambang dari sifat laki-laki dan wanita. Ia juga melambangkan prinsip- prinsip kreatif dari kehidupan. Siwalingga bisa bersifat Chala (bergerak) atau Achala


(tidak bergerak). Chala Lingga dapat ditempatkan di Pura atau rumah atau dapat dibuat secara sementara dari tanah liat atau adonan atau nasi. Achala Linga biasanya ditempatkan di Pura, terbuat dari batu.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Bagian terbawah dari Siwalingga disebut Brahmabhaga yang melambangkan Brahma, bagian tengah yang berbentuk segi delapan disebut Wishnubhaga yang melambangkan Wishnu, dan bagian menonjol yang berbentuk silinder disebut Rudrabhaga, serta pemujaan kepadanya disebut Pujabhaga (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:193)


Mandala artinya “lingkaran.” Ia sesungguhnya bentuk yantra yang paling rumit. Ia berwujud dalam segala bentuk dan sifatnya sangat artisitik. Dalam agama Hindu, mandala digunakan sebagai alat bantu meditasi. Keindahan dari tempat-tempat suci (Pura) Hindu terletak dalam jumlah mandala yang dipahat di batu-batu di dinding Pura. Sebuah mandala terdiri dari satu pusat titik, garis-garis dan lingkaran-lingkaran yang diletakkan secara geometrik di sekeliling lingkaran. Pusatnya biasanya adalah sebuah titik (Bindu). Kita juga dapat melihat mandala di Wihara Buddha. Dibalik setiap mandala terdapat sejumlah besar pikiran-pikiran. Kadang-kadang melihat sebuah mandala sepertinya kita melihat melalui sebuah kaleidoskop.



Sri Chakra adalah satu dari yantra yang paling kuat dalam ajaran agama Hindu, yang biasanya digunakan oleh penganut sakti Devi ibu, dalam pemujaan-Nya. Sri Chakra adalah simbol dari Lalitha aspek dari Ibu Suci. Ia terdiri dari sebuah titik (Bindu) pada pusatnya, yang dikelilingi oleh sembilan Trikona, lima dari padanya dengan puncak menghadap ke bawah dan empat yang lain menghadap ke atas. . Interseksi


atau persinggungan dari sembilan segi tiga ini menghasilkan empat puluh tiga segi tiga secara total. Ini dikelilingi oleh lingkaran konsentris dari delapan daun bunga teratai dan juga oleh tiga lingkaran konsentris. Akhirnya pada sisi paling luar, ada sebuah segi empat (Chaturasra) yang dibuat dari tiga garis, garis yang satu ada di dalam garis yang lain, membuka ditengah-tengahnya masing-masing sisi sebagai empat gerbang.


Mandala dalam konsep Agama Hindu adalah gambaran dari alam semesta. Secara harafiah mandala berarti “lingkaran.” Mandala ini terkait dengan kosmologi India kuno yang berpusatkan Gunung Mahameru, sebuah gunung yang diyakini sebagai pusat alam semesta. Di dalam Tantrayana mandala juga menggambarkan alam kediaman para makhluk suci, yang sangat penting bagi ritual atau sadhana Tantra (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:194)

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Saat berlangsungnya sadhana, sadhaka akan menyusun ulang mandala ini baik secara nyata ataupun visualisasi. Sesungguhnya semua orang diantara kita setiap hari telah menyusun mandalanya masing-masing. Mandala adalah melambangkan cakupan karya dan medan pemikiran seseorang. Menurut ajaran Vajrayana, mandala hendaknya disusun secara cermat. Ini menandakan bahwa dalam berkarya seseorang hendaknya cermat dan melakukan yang sebaik-baiknya.


3. Doa (Mantra)


Maharsi Manu yang disebut sebagai peletak dasar hukum yang digambarkan sebagai orang yang pertama memperoleh mantra. Beliau mengajarkan mantra itu kepada umat manusia dengan menjelaskan hubungan antara mantra dengan objeknya. Demikianlah mantra merupakan bahasa ciptaan yang pertama. Mantra-mantra digambarkan dalam bentuk yang sangat halus dari sesuatu, bersifat abadi, berbentuk formula yang tidak dapat dihancurkan yang merupakan asal dari semua bentuk yang tidak abadi. Bahasa yang pertama diajarkan oleh Manu adalah bahasa awal dari segalanya, bersifat abadi, penuh makna.


Bahasa Sansekerta diyakini sebagai bahasa yang langsung barasal dari bahasa yang pertama, sedang bahasa-bahasa lainnya dianggap perkembangan dari bahasa Sansekerta (Majumdar, 1916, p.603). Sebagai asal dari bahasa yang benar, merupakan ucapan suci yang digunakan dalam pemujaan disebut mantra. Kata mantra berarti “bentuk pikiran”. Seseorang yang mampu memahami makna yang terkandung di dalam mantra dapat merealisasikan apa yang digambarkan di dalam mantra itu (Danielou, 1964, 334).


Bentuk abstrak yang dimanifestasikan itu berasal dan diidentikkan dengan para deva (devata). Mantra merupakan sifat alami dari deva-deva dan tidak dapat dipisahkan (keduanya) itu. Kekuasaan para Deva merupakan satu kesatuan dengan nama-Nya. Aksara suci dan mantra, yang menjadi kendaraan gaib para deva dapat menghubungkan penyembah dengan devata yang dipuja. Dengan mantra yang memadai mahluk-mahluk halus dapat dimohon kehadirannya. Mantra, oleh karenanya merupakan kunci yang penting dalam aktivitas ritual dari semua agama dan juga digunakan dalam aktivitas bentuk-bentuk kekuatan gaib.

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Pustaka Yamala Tantra menjelaskan sebagai berikut; “sesungguhnya, tubuh devata muncul dari mantra atau bijamantra”. Masing-masing devata digambarkan dengan sebuah mantra yang jelas, dan melalui bunyi-bunyi yang misterius. Arca dapat disucikan dengan mantra dan arca tersebut menjadi ‘hidup’. Demikianlah kekuatan sebuah mantra yang menghadirkan devata dan masuk ke dalam arca, sebagai jembatan penghubung dunia yang berbeda, dimana, mantra-mantra sebagai instrumen, sehingga dapat dicapai sesuatu di luar kemampuan logika manusia (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:195)


“Sebuah mantra; dinamakan demikian karena membimbing pikiran (manana) dan hal itu merupakan pengetahuan tentang alam semesta dan perlindungan (trana) dari perpindahan jiwa, dapat dicapai” (Pingala Tantra) “Disebut sebagai sebuah mantra karena pikiran terlindungi” (Mantra Maharnava, dikutip oleh Devaraja Vidya Vacaspati) Sumber: http://ngarayana.web.ugm.ac.id/2010/10/ tantra/.


Persepsi yang pertama tentang sebuah mantra selalu ditandai sebagai hubungan langsung antara umat manusia dengan deva. Mantra, diperoleh pertama kali oleh seorang rsi. “karenanya seorang rsi adalah yang pertama merapalkan mantra” (Sarvanukramani). Selanjutnya, mantra ditegaskan dengan karakter matrik (irama) dihubungkan dengan karakter garis-garis lurus berkaitan denga yantra; kenyataannya ini merujuk kepada sesuatu yang dimiliki oleh mantra. Mantra menggambarkan devata tertentu yang dipuja dan dipuji; “mantra itu membicarakan devata” (Sarvanukramani). Selanjutnya pula, seseorang melakukan tindakan dan untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan mantra itu.


Unsur-unsur bunyi digunakan dalam semua bahasa untuk membentuk “ucapan suku kata” atau varna-varna yang dibatasi oleh kemampuan alat-alat wicara manusia kecerdasan membedakannya melalui pendengaran. Unsur-unsur ini adalah umum dalam setiap bahasa, walaupun umumnya bahasa-bahasa itu adalah sebuah bagian dari padanya. Unsur-unsur bunyi dari bahasa sifatnya sungguh-sungguh permanen, bebas dari evolusi atau perkembangan bahasa, dan dapat diucapkan sebagai sesuatu yang tidak terbatas dan abadi.


Kitab- kitab Tantra melengkapi hal itu sebagai eksistensi yang bebas dan digambarkan sebagai yang hidup, kekuatan kesadaran bunyi, disamakan dengan deva-deva. Kekuatan dasar dari bunyi (mantra) berhubugan dengan semua lingkungan dari manifestasinya. Setiap bentuk dijangkau oleh pikiran dan indria yang seimbang dengan pola-pola bunyi, sebagai sebuah nama yang alami. Dasar mantra satu suku kata disebuat sebagai bijamantra atau vijamantra (benih atau bentuk dasar dari pikiran) Danielou, 1964: 335.


Mantra disusun dengan menggunakan aksara-aksara tertentu, diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk bunyi, sedang huruf-huruf itu sebagai perlambang-perlambang dari bunyi tersebut. Untuk menghasilkan pengaruh yang dikehendaki, mantra harus disuarakan dengan cara yang tepat, sesuai dengan “svara” atau ritme, dan varna atau bunyi. Mantra mempunyai getaran atau suara tersendiri, karena itu apabila diterjemahkan ke alam bahasa lain, mantra itu tidak memiliki warna yang sama, sehingga terjemahannya itu hanya sekedar kalimat (Avalon, 1997: 85) (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:196)


Mantra itu mungkin jelas dan mungkin pula tidak jelas artinya. Vijra (vijaksara) mantra seperti misalnya Aim, Klim, Hrim, tidak mempunyai arti dalam bahasa sehari-hari. Tetapi mereka yang sudah menerima inisiasi mantra mengetahui bahwa artinya itu terkandung dalam perwujudnnya itu sendiri (svarupa) yang adalah perwujudan devata yang sedemikian itulah mantra-Nya, dan bahwa vija mantra itu adalah dhvani yang menjadikan semua aksara memiliki bunyi dan selalu hadir di dalam apa yang diucapkan dan yang didengar, karena itu setiap mantra merupakan perwujudan (rupa) dari Brahman.




Dari manana atau berpikir didapatkan pengertian terhadap kesejatian yang bersifat Esa, bahwa substansi Brahman dan Brahmanda itu satu dari man yang sama, dan mantra datang dari suku pertama manana, sedangkan tra berawal dari trana, atau pembebasan dari ikatan samsara atau dunia fenomena ini. Dari kombinasi man dan tra itulah disebut mantra yang dapat memanggil datang (matrana) catur varga atau empat tujuan dari mahluk-mahluk luhur.


Mantra adalah daya kekuatan yang mendorong, ucapan berkekuatan (yang buah dari padanya disebut mantra-siddhi) dan karena itu sangat efektif untuk menghasilkan catur varga, persepsi kesejatian tunggal, dan mukti. Karena itu dikatakan bahwa siddhi merupakan hasil yang pasti dari Japa. Dengan mantra devata itu dicapai (Sadhya). Dengan siddhi yang terkandung di dalam mantra itu terbukalah visi tri bhuvana. Tujuan dari suatu puja (pemujaan), patha (pembacaan), stava (himne), homa (pengorbanan), dhyana (kontemplasi) dan dharana (konsentrasi) serta Samadhi adalah sama. Namun yang terakhir yaitu diksa mantra, sadhana sakti bekerja bersama-sama dengan mantra.


Sakti yang memiliki daya revelasi dan api dengan demikian lalu memiliki kekuatan yang luar biasa. Mantra khusus yang diterima ketika diinisiasi (diksa) adalah vija mantra, yang ditabur di dalam tanah nurani seorang sadhaka. Terkait dengan ajaran tantra seperti sandhya, nyasa, puja dan sebagainya merupakan pohon dari cabang-cabang, daun-daunnya ialah stuti, vandana bunganya, sedangkan kavaca terdiri atas mantra adalah buahnya (Avalon, 1997: 86).


Nitya Tantra menyebutkan berbagai nama terhadap mantra menurut jumlah suku katanya. Mantra yang terdiri dari satu suku kata disebut Pinda, tiga suku kata disebut Kartari. Mantra yang terdiri dari empat sampai sembilan suku kata disebut Vija mantra. Sepuluh sampai dua puluh disebut mantra, dan mantra yang terdiri lebih dari 20 suku kata disebut Mala. Tetapi biasanya istilah Vija diberikan kepada mantra yang bersuku kata tunggal. Mantra-mantra Tantrika disebut Vija mantra, disebut demikian karena mantra-mantra itu merupakan inti dari sidhhi, dan mantra-mantra Tantrika itu adalah saripatinya mantra. Mantra-mantra Tantrika pada umumnya pendek, tidak dapat dikupas lagi secara etimologi, seperti misalnya Hrim, Srm, Krim, Hum, Am, Phat dan sebagainya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:197)


Setiap devata memiliki vija. Mantra primer satu devata disebut mula mantra. Kata mula berarti jasad sangat halus dari devata yang disebut Kamakala. Mengucapkan mantra dengan tidak mengetahui artinya atau mengucapkan tanpa metode tidak lebih dari sekedar gerakan-gerakan bibir. Matra itu tidur. Beberapa proses harus dilakukan sebelum mantra itu diucapkan secara benar, dan proses-proses itu kembali menggunakan mantra-mantra, seperti usaha penyucian mulut ‘mukhasodhana’, penyucian lidah ‘jihvasodhana’, dan penyucian terhadap mantra-mantra itu sendiri ‘asaucabhanga’, kulluka, nirvana, setu, nidrabhanga ‘menbangunkan mantra’, mantra chaitanya atau memberi daya hidup kepada mantra dan mantrarthabhavana, yaitu membentuk bayangan mental terhadap devata yang menyatu di dalam mantra itu.


Terdapat 10 samskara terhadap mantra itu. Mantra tentang devata adalah devata itu sendiri. Getaran-getaran ritmis dari bunyi yang dikandung oleh mantra itu bukan sekedar bertujuan mengatur getaran yang tidak teratur dari kosa-kosa seorang pemuja, tetapi lebih jauh lagi dari irama mantra itu muncul perwujudan devata, demikianlah kesejatiannya. Mantra sisshi ialah kemampuan untuk mebuat mantra itu menjadi efektif dan mengasilkan buah, dalam hal itu mantra itu disebut siddha (Avalon. 1997: 87). Berikut ini adalah beberapa mantra yang dikutip dari buku Doa sehari-hari menurut Hindu, dapat dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh umat sedharma, sebagai berikut:


Doa, bangun pagi:


Om jagrasca prabhata kalasca ya namah swaha.


Terjemahan:


Oh Hyang Widhi, hamba memuja-Mu, bahwa hamba telah bangun pagi dalam keadaan selamat.


Doa, membersihkan diri (mandi) :


Om gangga amrtha sarira sudhamam swaha, Om sarira parisudhamam swaha.


Terjemahan:



Ya Tuhan, Engkau adalah sumber kehidupan abadi nan suci, semoga badan hamba menjadi bersih dan suci.


Doa, di waktu akan menikmati makanan:


Om Ang Kang kasolkaya ica na ya namah swaha, swasti swasti sarwa Deva bhuta pradhana purusa sang yoga ya namah (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:198)


Terjemahan:


Oh Hyang Widhi yang bergelar Icana (bergerak cepat) para Deva bhutam, dan unsur Pradhana Purusa, para Yogi, semoga senang berkumpul menikmati makanan ini.


Doa, memohon bimbingan:


Om asato ma sadyamaya tamaso ma jyoti gamaya mrtyor ma amrtam gamaya, Om agne brahma grbhniswa dharrunama syanta riksam drdvamha, brahmawanitwa ksatrawani sajata, wahyu dadhami bhratrwyasya wadhyaya.


Terjemahan:


Tuhan yang maha suci, bimbinglah hamba dari yang tidak benar menuju yang benar, bimbinglah hamba dari kegelapan menuju cahaya pengetahuan yang terang, lepaskanlah hamba dari kematian menuju kehidupan yang abadi, Tuhan yang Maha Suci, terimalah pujian yang hamba persembahkan melalui Veda mantra dan kembangkanlah dan kembangkanlah pengetahuan rohani hamba agar hamba dapat menghancurkan musuh yang ada pada diri hamba (nafsu). Hamba menyadari bahwa engkaulah yang berada dalam setiap insani (Jiwatman), menolong orang terpelajar, pemimpin negara dan para pejabat. Hamba menuju Engkau semoga melimpahkan anugerah kekuatan kepada hamba (Ngurah, IGM. dan Wardhana, IB. Rai. 2003 : 7 – 17).


Demikian dapat diuraikan beberapa bentuk-bentuk Yantra, Tantra dan Mantra yang dipergunakan dalam praktik kehidupan berdasarkan ajaran Agama Hindu dalam tulisan ini. Menjadi kewajiban umat sedharma untuk mempraktikannya, sehingga apa yang menjadi tujuan bersama dapat diwujudkan dengan baik (damai) (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:199)
Renungan RV.VI.47.11
“Tràtàram indram avitàram handraýhavehave suhavaý úuram indram, hvayāmi úakram puruhūtam indraý svasti no maghavā dhātvindrah".


Terjemahan:


"Tuhan sebagai penolong, Tuhan sebagai penyelamat, Tuhan yang maha kuasa, yang dipuja dengan gembira dalam setiap pemujaan, Tuhan, maha kuasa, selalu dipuja, kami memohon, semoga Tuhan, yang maha pemurah, melimpahkan rahmat kepada kami".


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/09/bentuk-bentuk-tantra-yantra-dan-mantra.html


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015