Sabtu, 29 April 2023

Mengenal kata NGEREBONG.







(Warisan Budaya tak benda yang sudah diakui oleh UNESCO - Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa).

Bagi masyarakat Kota Denpasar sudah tidak asing lagi kata yg satu ini.
Sebuah tradisi unik yang ada ditengah Kota yakni di Desa Adat Kesiman.
NGEREBONG = NGEREBU = BERKUMPUL.
N G E R E B O N G merupakan sebuah tradisi yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Bali sebagai bagian dari warisan leluhur, dan khususnya oleh masyarakat yang ada di Desa Kesiman, Denpasar. Tidak hanya itu, tradisi ini juga menjadi daya tarik lain para wisatawan. Ngerebong sendiri merupakan bahasa Bali yang memiliki arti berkumpul. Pada saat tradisi Ngerebong diadakan, dipercaya jika para dewa sedang berkumpul. Tradisi Ngerebong akan diadakan setiap 6 bulan sekali sesuai dengan penanggalan Bali, yaitu setiap 8 hari setelah Hari Raya Kuningan, pada hari Minggu / Redite Pon Wuku Medangsia.

Pusat diadakannya Tradisi Ngerebong Bali berada di Pura Petilan, yang terletak di daerah Kesiman. Sebelum dimulainya acara puncak, biasanya masyarakat sudah memenuhi area acara. disana juga sudah terdapat beberapa suguhan seperti alunan musik tradisional, bunga-bungaan dalam tempayan cantik, serta penjor-penjor. Sebelum upacara dimulai, para pecalang atau yang biasa disebut polisi adat akan mengosongkan jalanan atau menutup jalan. Jalanan ditutup sebab upacara dan serangkaian tradisi ngerebong memang sakral.Untuk mengawali upacara ini, masyarakat akan sembahyang di Pura Petilan. Kemudian acara akan semakin ramai, karena dilanjutkan dengan adanya acara adu ayam di wantilan. Wantilan merupakan bangunan yang menyerupai bale-bale. Setelah itu masyarakat mengarak barong yang merupakan lambang kebaikan bagi masyarakat pennganut Hindu dan diarak menuju Pura Pengerebongan. Kemudian masyarakat juga keluar dari pura dan mengelilingi tempat adu ayam atau wantilan tadi sebanyak tiga kali.




"Ngerebong adalah sebuah pangilen yang dilaksanakan di Pura Agung Petilan untuk menciptakan keseimbangan dunia,” ujar salah satu tokoh sekaligus budayawan Desa Kesiman, I Gede Anom Ranuara. Lebih lanjut dijelaskannya, tradisi ini sudah dipatenkan sejak tahun 1937, namun telah dilaksanakan dengan kapasitas yang lebih kecil di area Kerajaan atau Puri Kesiman. Ada beberapa rangkaian yang wajib dilaksanakan sehubungan dengan Ngerebong. Yakni Ngerebek yang dilaksanakan pada Umanis Galungan, dilanjutkan dengan Pamendakan Agung pada Paing Langkir, dan terakhir adalah Ngerebong.

Tradisi ini melibatkan semua Mangku Pepatih yang merupakan wilayah Desa Kesiman terdahulu. Dahulu diyakini Puri Kesiman memiliki wilayah yang sangat luas, hingga ke Desa Sanur dan Pemogan. “Jadi, yang tangkil ke Pura Agung Petilan saat pelaksanaan pangerebongan adalah Sesuhunan yang merupakan warih Puri Kesiman,” tutur Anom Ranuara.Dalam pelaksanaan Ngerebong, yang unik adalah Keris, Ngurek dan Penjor yang megah. Dalam tradisi ini, sejumlah pamedek trance (kasurupan) dengan menusukkan keris ke tubuhnya. Bahkan ada yang menusukkan di bagian matanya.

Berdasarkan buku hasil penelitian Sejarah Pura yang dilakukan IHD (kini UNHI) Denpasar tahun 1979, upacara Pangerebongan tergolong upacara bhuta yadnya atau pacaruan. Sehingga, upacara Pangerebongan itu bertujuan untuk mengingatkan umat Hindu melalui media ritual sakral untuk memelihara keharmonisan hubungan antarmanusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan sesama umat manusia dan dengan alam lingkungannya.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Prosesi upacara Pangerebongan dilakukan Redite Pon Medangsia sejak pagi, dan dilakukan upacara tabuh rah. Tujuannya untuk membangkitkan guna rajah untuk di-somia atau diharmoniskan agar patuh dengan arahan guna sattwam. Dengan demikian guna rajah menjadi bersifat positif, memberi semangat untuk kuat menghadapi berbagai gejolak kehidupan.

Selanjutnya para manca dan prasanak pengerob Pura Petilan di Kesiman dengan pelawatan berupa Barong dan Rangda semuanya diusung ke Pura Petilan untuk mengikuti upacara Pangerebongan. Sebelum ke Pura Petilan didahului dengan upacara panyucian di Pura Musen di sebelah timur Pura Petilan di pinggir barat Sungai Ayung. Selanjutnya, setelah kembali ke pura barulah upacara Pangerebongan dimulai.

Diawali dengan upacara Nyanjan dan Nuwur. Tujuan upacara ini untuk memohon kekuatan suci Bhatara-Bhatari agar turun melalui pradasar-nya dari para umat dari para manca dan prasanak pangerob. Umumnya para pengusung rangda dan pepatihnya setelah dilakukan upacara Nyanjan dan Nuwur itu dalam keadaan trance (karauhan). Selanjutnya semua pelawatan Barong dan Rangda serta para pepatih yang trance itu keluar dari Kori Agung, terus mengelilingi wantilan dengan cara prasawia tiga kali.

Mengelilingi dengan cara prasawia itu adalah para pelawatan Barong Rangda dan pepatihnya bergerak dari timur ke utara, ke barat, ke selatan dan kembali ke timur. Terus demikian sampai tiga putaran.

Saat melakukan prasawia itu, para pepatih melakukan ngunying atau yang dipakai ngurek itu keris tajam yang sungguhan, dada para pepatih itu tak sedikit pun terluka. Kalau sudah acara prasawia ini selesai semuanya kembali ke Gedong Agung dengan upacara Pengeluwuran. Mereka yang trance kembali seperti semula.

Setelah upacara Pangeluwuran itu, maka dilanjutkan dengan upacara Maider Bhuwana Bhatara-Bhatari para Manca dan Prasanak Pangerob dengan semua pengiringnya kembali mengelilingi wantilan tiga kali dengan cara Pradaksina. Mengelilingi dengan cara Pradaksina berlawanan dengan cara Prasawia tadi. Selanjutnya upacara mengelilingi wantilan dengan cara Pradaksina atau mengikuti arah jarum jam.

Pradaksina ini dilakukan tiga kali sebagai simbol pendakian hidup dari Bhur Loka menuju Bhuwah Loka dan yang tertinggi menuju Swah Loka, yaitu alam kedewatan. Karena itulah upacara ini disebut upacara Maider Bhuwana mengelilingi alam semesta. Setelah selesai mengelilingi wantilan dengan Pradaksina semuanya kembali ke Jeroan Pura. Adanya prosesi Prasawia dan Pradaksina dalam upacara Pengerebongan di Pura Petilan Kesiman ini sangat menarik untuk dipahami makna filosofinya. Prosesi Prasawia bermakna untuk meredam aspek Asuri Sampad atau kecenderungan keraksasaan, sedangkan Pradaksina sebagai simbol untuk menguatkan Dewi Sampad, yaitu kecenderungan sifat-sifat kedewaan. Kalau kecenderungan keraksasaan (Asuri Sampad) berada di bawah kekuasaan Dewi Sampad, maka manusia akan menampilkan perilaku yang baik dan benar dalam kehidupan kesehariannya.

Sumber : Dinas Kebudayaan Kota Denpasar
Kesiman Petilan Kelurahan Kesiman Kesiman Kertalangu


Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya

 


Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya adalah Pura Kahyangan Jagat yang merupakan tempat untuk nuur atau nunas tirta.
Dalam Buku Babad Sidakarya yang disusun oleh I Nyoman Santun dan I Ketut Yadnya tahun 2003, menceritakan mengenai sejarah pura ini.
Diceritakan, terdapat seorang brahmana yang berasal dari Kerajaan Keling, Jawa Timur. Brahmana Keling ini memiliki hubungan keluarga dengan Raja Dalem Waturenggong.
Brahmana Keling bermaksud akan menjumpai saudaranya dengan penampilannya yang lusuh, untuk mengutarakan keinginannya membantu jalannya upacara tersebut. Namun masyarakat yang berada di sekitar lokasi tidak memercayainya, bahwa Brahmana Keling memiliki hubungan kekeluargaan dengan raja.


Brahmana Keling diusir dengan cara yang hina. Dengan perasaan jengkel dan sambil meninggalkan lokasi upacara, ia mengeluarkan kutukan (pastu).
Singkat cerita, Raja Dalem Waturenggong memerintahkan I Gusti Tegeh Kori, yang merupakan Raja Badung, untuk mendirikan sebuah pura di lokasi peristirahatan Dalem Sidakarya. Pura ini pada awalnya bernama Pura Dalem Sidakarya.
Karena pemujaan Sad Kahyangan terpusat menjadi satu, maka pura ini kemudian diberi nama Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya. Mutering memiliki makna pusat, Jagat berarti alam atau dunia, sedangkan Dalem Sidakarya adalah gelar dari Brahmana Keling.
Untuk menghormati jasa Brahmana Keling, Raja Dalem Waturenggong mengeluarkan sabda bahwa Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya adalah Pura Kahyangan Jagat yang merupakan tempat untuk nuur atau nunas tirta atau memohon air suci jika masyarakat melaksanakan upacara di tingkat madya, hingga utama atau besar.
Piodalan di Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya jatuh pada hari Sabtu, Saniscara Kliwon Wuku Landep, atau bertepatan dengan Hari Tumpek Landep. Selama piodalan di pura ini, biasanya akan dipentaskan sebuah tari sakral bernama Tari Telek, yang diikuti dengan Ida Sesuhunan berwujud Barong dan Rangda mesolah napak pertiwi (Menari).

Jumat, 28 April 2023

BANTEN SEBAGAI YANTRA

 




 MPU Klutuk dengan tegas menyatakan bahwa dalam membuat Banten ada maksud untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia dalam berkeyakinan..yang didasari atas Yadnya dalam.makna luas tanpa menuntut sesuatu dari Yadnya itu...Yadnya juga harus didasari oleh SADHANA yang terjalin dalam catur Marga, Tri Hita Karana, Tri Mandala dsb.sebagai aplikasi nilai nilai filsafat wedanta..

BANTEN SEBAGAI YANTRA
bukti fisik permohonan melalui mantra yang disimbolkan dari penyucian diri
Tiga element yang luruh dalam kehidupan berkeyakinan di Hindu Dresta Bali meliputi TANTRA ( ajaran suci ) , MANTRA ( doa suci ) dan YANTRA ( simbol suci ) yang saling terkait dan melengkapi. Yang termaktub dalam tiga kerangka dasarnya yang meliputi Tatwa ( keyakinan) , Susila /Etika( tingkah laku yang baik ) and Upakara.( upa berarti dekat, kara berarti cara..cara yang terdekat dalam berkomunikasi dengan- Nya melalui kegiatan relegi .


Banten sebagai Yadnya ( yaj- memuja mempersembahkan ) ,adalah persembahan yang suci yang didasari pemurnian diri yang berupa Tapa ( tiada tergoda ), Brata ( mampu mengendalikan diri ) , Yoga ( pemusatan pikiran ) , Dyana ( pengendalian pikiran) dan Samadhi ( pengendalian indria ). Ini semua terlaksanakan dalam kegiatan persiapan dan pelaksanaan dalam menghaturkan suatu Banten sebagai Yadnya.
Terkait dengan Yadnya, ada Tiga element personal dalam Yadnya yang meliputi Sulinggih yang muput sesajian atau bebantenan, Krama atau prajuru sebagai saksi pelaksanaan Yadnya dan Pelaku Yadnya itu sendiri..
Bagi pelaku Yadnya , dalam hal ini harus menjalankan dan memahami Tiga Dharmaning Yadnya yaitu ; Dharma Kriya ( mengerti akan swadharma sebagai manusia ) , Dharma Jati ( menyelami kata hati atau intuisi ) dan Dharma Putus ( mampu berpikir, berkata dan berbuat yang baik dalam menjalankan Yadnya dengan tanpa mengharapkan hasil )..Inilah yang akan menjadi penguat dalam pelaksanaan Yadnya.
Dalam pelaksanaan Yadnya didasari juga oleh empat pelaksanaan dasar Yadnya ( Catur Polahing Yadnya ) meliputi
Sastra ( mengetahui makna dan tujuan dari Yadnya).Aksara ( kesucian diri dalam pelaksanan Yadnya yang mendasari jiwa ),.Aji ( adanya pemikiran dan konsentrasi yang baik dalam pelaksanaan Yadnya ), Saraswati ( kata hati yang paling dalam dengan pemikiran yang positif ). Dengan dasar ini maka pelaku Yadnya akan memahami hakikat Banten sebagai sesajian suci yang dihaturkan dalam.yadnya..Dengan ini pula dapat menentukan jenis dan tingkatan Yadnya dan bantenya sesuai dengan kemampuan ( Dharmaning Kahuripan ). Pilihan Yadnya itu ada tiga yaitu Nista , Madya , Utama..dimana masing masing tingkatan ini juga dibagi tiga lagi misalnya Nistaning Nista, Nistaning Madya dan Nistaning Utama, begitu juga untuk tingkatan mandya ; madyaning nista, madyaning madya, madyaning utama, dan Utama..; utamaning nista, utamaning.madya dan utamaning utama
Yadnya adalah ketulusan untuk menghaturkan segala bentuk korban suci ( materi, waktu, tenaga, dan perasaan ) kepada Ida Sang Hyang Parama Kawi ( Brahman yang dipuja dan disembah ) tidak boleh dikurangi atau dilebihkan. Namun boleh membuatnya menjadi GENEP TANDING SURUD KUANG ) /.cukup untuk dibuat Banten namun boleh kurang untuk disurud /makan - semua sarana Banten adalah simbol atau yantra yang harus lengkap adanya sebagai sarana komunikasi kepadaNya.
Jadi jangan sekali kali mengganti sarana upakara dalam Banten dengan menggunakan simbol atau gambar gambar yang tidak mewakili Yantra..Yadnya yang salah malah justru membawa petaka bagi pelakunya..


Jadi dapatlah dikatakan bahwa Banten adalah Yadnya yang didasari oleh kesucian jiwa dan pikiran untuk dapat menyatakan doa-doa harapan melalui simbol-simbol suci yang tertuang dalam bentuk, isi dari banten itu. Menghaturkan Banten sama halnya dengan mengucapkan mantra mantra dimana Banten memiliki keistimewaan sendiri dibandingkan hanya dengan ujar japa atau mantra saja.
Dalam pembuatan Banten ada empat jalan yang diaplikasikan ; meliputi..Bhakti Marga ( persembahan yang tulus ), Karma Marga ( didasari atas kehendak, perbuatan yang tulus ), Raja /yoga marga ( mengaplikasikan ajaran Weda dalam bentuk simbol suci ) dan JNANA marga.( Banten dibuat dengan pikiran yang jernih dengan konsentrasi yang tertuju kepada Nya )
Jadi stop memojokan Banten sebagai pemborosan ritual atau mengganti simbol simbol suci dengan bentuk gambar ..
Jangan pernah katakan tenggelam dalam lautan tradisi..karena pada hakikatnya semua dalam kehidupan ini dibangun dari element elemnt tradisi yang membentuk budaya dan peradaban manusia...
Rahayu, mulyaning lan KERTANING Jagad manut ring Tata Titi Dharma

Luan Teben

 

Luan Teben sebuah konsep yang udah dipake sama orang Bali zaman dahulu banget dalam kehidupan sehari-hari. Konsep Luan Teben sampai saat ini masih digunakan sama masyarakat Bali dalam praktek-praktek kehidupan sehari-hari, seperti posisi tidur kepala harus berada pada posisi Lunan /Kaja, begitu juga pada setiap pembangunan rumah, Sanggah (Merajan) harus berada pada posisi di Lunan /Kaja dan juga pada banyak praktek kehidupan lainnya.

Ternyata Luan Teben ini ada hubungannya sama arah mata angin. Mz sedikit ulas ya soal mata angin dalam konsep orang Bali. Kaja berarti Utara, Kelod berarti Selatan, Kangin berati Timur dan Kauh berati Barat.

 

Itu kan baru dari sisi mata anginnya, tapi ada yang lebih dari itu. Buat anak Bali jaman now, perlu kamu tahu, kalau “Kaja” tidak selalu identik atau berarti “Utara”. Demikian juga “Kangin” tidak selalu indentik atau berarti “Timur”. Demikian juga “Kaja-Kangin” bukan selalu berarti “Timur-Laut”.

Dari konsep tata ruang Bali, ternyata “Kaja” berarti simbol “Gunung” dan kata “Kangin” berarti mewakili simbol “Matahari”. Lah kok gitu? Menurut kepercayaan orang Bali jaman dulu, Gunung itu tempat suci atau tempat tinggal para Dewa yang dilandasi juga dengan konsep Mandala. Praktek konsep Mandala ini juga bikin daerah Bali Selatan dan Bali Utara beda pendapat dalam penyebutan arah mata angin. Arah ke gunung bagi masyarakat Bali Utara adalah ke Selatan dan Utara bagi masyarakat Bali Selatan.

Prakteknya itu udah dilaksanakan sama orang Bali udah turun-temurun dan dari generasi ke generasi saat ini.

Emang unik dah konsep Luan Teben atau Kaja Kelod orang Bali dah. Sebagai orang Bali patutnya berbangga punya sesuatu kepercayaan yang terus dilestarikan, karena itu merupakan salah satu aset yang berharga banget dalam penerapan kehidupan sehari-hari agar ga salah arah. Makanya dibuatlah konsep kayak gitu biar tetap ingat sama Tuhan. –sumber

PASUPATI

  


Sang Hyang Siwa beryoga dalam wujud Sang Hyang Pasupati menganugrahkan ketajaman (lelandepan) kepada manusia untuk mempermudah hidupnya.
Ke bhuwana alit Ida menganugrahkan "ketajaman pikiran/intuisi" untuk memudahkan di dalam menelaah, didalam menentukan jalan kebenaran.
Ke bhuwana agung Ida menganugrahkan peralatan/senjata tajam untuk menunjang pelaksanaannya.
Dihari suci ini, sebaiknya diisi dengan renungan-renungan yang bertujuan mempertajam pikiran/intuisi untuk menegakkan Dharma.
Malam hari.... Tidak boleh melakukan pekerjaan yang menggunakan senjata/peralatan tajam atau yang terbuat dari logam termasuk kendaraan. Itulah waktunya untuk mendekatkan diri kepada beliau guna memohon kekuatan pikiran/intuisi ataupun kekuatan senjata tajam agar bertuah.

SELAMAT HARI RAYA TUMPEK LANDEP. SEMOGA DIANUGRAHKAN KEKUATAN PIKIRAN/INTUISI DAN KEKUATAN SENJATA YANG DIKEHENDAKI.
"OM PASUPATI URIP,
BRAHMA URIP
WISNU URIP
SIWA URIP
URIP URIP URIP
OM KSAMA SAMPURNA YA NAMAH SWAHA"
"Om Sanghyang Pasupati Ang-Ung Mang ya namah svaha
Om Brahma astra pasupati, Visnu astra pasupati,
Siva astra pasupati, Om ya namah svaha
Om Sanghyang Surya Chandra tumurun maring Sanghyang Aji Sarasvati-tumurun maring Sanghyang Gana, angawe pasupati maha sakti, angawe pasupati maha siddhi, angawe pasupati maha suci, angawe pangurip maha sakti, angawe pangurip maha siddhi, angawe pangurip maha suci, angurip sahananing raja karya teka urip, teka urip, teka urip.
Om Sanghyang Akasa Pertivi pasupati, angurip........
Om eka vastu avighnam svaha
Om Sang-Bang-Tang-Ang-Ing-Nang-Mang-Sing-Wang-Yang
Ang-Ung-Mang,
Om Brahma pasupati,
Om Visnu Pasupati,
Om Siva sampurna ya namah svaha"

Tri Hita Karana

 


Sering kali muncul pertanyaan “Pak/Bu itu Pohon-nya kenapa disembahyangi atau di-ikatkan kain warna Hitam & Putih (poleng) ? Apakah ada Penunggunya ya, kok serem banget dan jadi takut lewat sana” jawab orang bali , Nah sebagai Orang Bali & tinggal di Bali, wajib hukumnya kita paham dan bisa memberikan penjelasan yang benar, agar makna gambar diatas tidak multitafsir
.
Kita kembali ke dasar falsafah/hakekat dari ajaran Hindu Bali adalah Tri Hita Karana, yang berasal dari kata tiga penyebab terciptanya kebahagiaan manusia. Terciptanya kebahagiaan manusia ini adalah adanya hubungan yang selaras antara Manusia dengan Tuhan, Manusia dengan Alam, serta sesama Manusia. Bagi pohon yang besar seperti beringin termasuk dalam kriteria hubungan Manusia dengan Alam, dimana fungsi pohon adalah sebagai penyaring udara dengan menghasilkan oksigen, sebagai penyedia makanan bagi hewan herbivora, menjaga kesuburan tanah, serta menahan laju air dan erosi, dan menjadikan lingkungan lebih nyaman

.
Sedangkan kain Htam-Putih (poleng) dalam #BudayaBali merupakan simbol/expresi dari penghayatan Rwa Bhineda suatu konsep keseimbangan baik dan buruk. Jika kembali ke pertanyaan kenapa pohon besar diselimuti kain hitan putih & diberi sesajen, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut adalah bentuk penghormatan Manusia kepada Alam sekitar dengan memperhatikan dampak baik buruknya perlakuan manusia terhadap alam dengan symbol pepohonan tersebut
.
Apabila Alam dihancurkan dengan penebangan liar, akan mengakibatkan banjir, polusi, dan kepunahan berbagai habitat didalamnya, dan akan berdampak juga terhadap manusia itu sendiri, sehingga keseimbangan ini harus dijaga dengan bentuk penghormatan, serta diberikan symbol kain hitam putih pada pohon, dan juga pada benda benda tertentu
.
Demikianlah konsep dari tri hita karana yang selalu di agung agungkan masyarakat Bali dalam menghadapi perkembangan globalisasi. Mungkin saja dahulu masyarakat Bali menggampangkan jawaban dengan megatakan ada penunggunya, dan tenget (angker) dengan tujuan agar manusia tidak merusak/menebang pohon, sehingga kelestarian alam dapat terpelihara
.
Dirangkum dari Blog Laksana Pendit
Artwork by @pinsianart –sumber

TRADISI MEPEED DI SUKAWATI BALI

 


Bagi wisatawan asing maupun lokal yang pernah liburan dan berkunjung ke Bali, tentunya Desa Sukawati sudah tidak asing lagi bagi mereka.

Desa yang terkenal Memiliki pusat perbelanjaan oleh-oleh khas Bali juga menjual beragam kerajinan tangan yang menjadi tujuan tour wajib selama liburan di pulau Dewata Bali.

Selain populer karena Pasar Sukawati sebagai pusat oleh-oleh, desa adat ini memiliki warisan budaya dan tradisi unik dan menarik yaitu Tradisi Mepeed atau Mapeed. Di Bali tidak semua desa menggelar tradisi atau ritual tersebut, namun demikian Mepeed tentunya bukan sesuatu hal baru lagi.

Desa Sukawati sendiri berada dalam wilayah kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali. Mepeed yang digelar di Sukawati ini adalah salah satu bagian warisan budaya dan tradisi unik dari leluhur yang masih bertahan sampai saat ini di Bali.

Sebagai tujuan wisata tentunya menambah daya tarik kawasan Sukawati, dan Bali pada umumnya, sehingga memantapkan Bali sebagai destinasi wisata dunia yang wajib dikunjungi.

Budaya dan tradisi yang dimiliki pulau Dewata Bali memang berkaitan dengan kegiatan ritual ataupun prosesi upacara agama, sehingga Bali bisa memiliki taksu atau karisma di mata para pelancong.

Tradisi Mepeed di Sukawati Bali

Di Bali sendiri, tradisi mepeed atau mapeed sudah tidak asing lagi dan digelar di sejumlah tempat, seperti diketahui biasanya mepeed adalah parade yang diikuti oleh para perempuan Bali.

Mereka berjalan dalam satu baris ke belakang dengan mengusung sebuah gebogan yaitu sebuah sesajian (banten upakara) dengan rangkaian buah dan jajanan tradisional Bali yang diatur bersusun (bertingkat) berikut hiasan dari rangkaian janur, tingginya bisa mencapai hingga 1 meter.

Namun berbeda ketika saat anda menyaksikan mepeed di Sukawati yang digelar setiap enam bulan sekali ini, mereka di rias menggunakan busana pakaian atau payas agung yang dipadukan dengan pakem busana desa adat setempat.

Para peserta saat tradisi Mepeed di Sukawati Gianyar ini tidak mengusung gebogan seperti pada umumnya, dan juga tidak terbatas pada kaum ibu saja, ratusan warga yang ikut dalam ritual mepeed tersebut diikuti oleh semua kalangan, baik itu laki-laki maupun perempuan mulai dari anak-anak, remaja, dewasa bahkan lansia.


Merekapun secara antusias berjalanan kaki beriringan atau berparade mulai dari pura Dalem Sukawati hingga sampai Pura Beji Cengcengan yang merupakan wilayah perbatasan desa Sukawati dengan wilayah desa Guwang.

Para peserta dirias dengan pakaian tradisional Bali model payas Agung, walupun sekarang berkembang jenis pakaian payas agung modifikasi, namun mereka tetap bertahan dengan pakaian tradisonal dengan pakem khas Sukawati.

Jika anda ingin menyaksikan Tradisi Mepeed di Sukawati Gianyar tentunya harus pada waktu yang tepat karena ritual tersebut hanya digelar setiap 6 bulan sekali, dan dalam rangkaian pujawali atau piodalan di Pura Dalem Gede Sukawati yang jatuh setiap Anggara Kliwon, wuku Tambir (kalender Bali).

Jika anda kebetulan sedang liburan, bisa menanyakan juga kepada tour guide atau agen perjalanan anda, karena dalam kalender masehi setiap tahunnya, tradisi tersebut tidak jatuh pada waktu ataupun tanggal yang sama.

Bagi wisatawan yang ingin lebih dekat dengan budaya Bali atau mereka yang hobi fotografi tentu momen istimewa tersebut tidak bisa dilewatkan begitu saja.

Upacara Pujawali di Pura Dalem Gede Sukawati nyejer (digelar) dalam waktu selama empat hari berturut-turut dan selama 4 hari lamanya juga Tradisi Mepeed akan terus dilaksanakan oleh penduduk Desa Sukawati, Gianyar.

Pada pagi hingga siang akan diadakan gelar pujawali di Pura Dalem Gede Sukawati dan pada menjelang sore hari krama banjar yang termasuk ke dalam Desa Sukawati yang mendapat giliran mepeed akan bersiap-siap dengan tubuh yang dibalut parade payas agung untuk memulai tradisi ini.

Desa adat Sukawati di kabupaten Gianyar ini terbagi kedalam 12 banjar,  dan akan dibagi menjadi empat kelompok, sehingga masing-masing kelompok terdiri dari 3 banjar.

Pembagian menjadi 4 kelompok ini supaya penduduk Desa Sukawati yang ingin ngayah (menjadi peserta mepeed) terbagi dengan rata, mereka dikenal sebagai krama Penyatusan yang terbagi 4 diantaranya satusan Tebuana, satusan Palak, satusan Telabah, satusan Gelumpang.

Maka setiap harinya pengayah atau peserta mepeed terdiri dari orang-orang yang berasal dari banjar yang berbeda. Para pengayah Tradisi mepeed ini pun dapat dari kalangan apa saja dari anak-anak hingga lansia dapat ikut serta dalam meramaikan tradisi ini, dengan demikian para pengayah Tradisi Mepeed ini tidak pernah dalam jumlah sedikit.

Tradisi Mepeed di Sukawati

Menurut penduduk setempat yang sudah pernah terlibat dalam Tradisi Mepeed, pada saat berlangsungnya tradisi ini mereka selalu merasakan kegembiraan karena menurut mereka Tradisi Mepeed ini merupakan bentuk sujud bhakti kepada Hyang Widhi atas segala sesuatu yang diberikan beliau kepada Desa Sukawati.

Saat tradisi ini berlangsung, tentu busana adat Bali dengan pakem Desa Sukawati akan bisa terus dipertahankan. Selain itu dalam rangkaian upacara pujawali Pura Dalem Gede Sukawati, tradisi Mepeed ini bertujuan untuk nunas toya (air suci) ke Beji Cengengan untuk digunakan pada saat berlangsungnya pujawali.

Tradisi Mepeed ini berciri khas lelengisan yang memiliki arti kesederhanaan. Walaupun dalam ini terlihat megah karena menggunakan parade payas agung namun unsur kesederhanaan dari Tradisi Mepeed ini tidak boleh dihilangkan, seperti ciri khas kancut belakang untuk pengayah putri.

Di jaman sekarang pernah terjadi modifikasi terhadap busana yang digunakan pada saat Mapeed, menyebabkan banyak pesertMapeed yang meninggalkan unsur kesederhanaan, untuk membatasi hal itu agar tidak meluas, maka warga desa Sukawati di Gianyar ini tetap menggunakan busana yang benar dan itu bisa disaksikan saat Tradisi Mepeed berlangsung.

Terlihat barisan indah dengan busana payas agung membuat yang menyaksikanya terkagum-kagum, apalagi wisatawan yang jarang menemukan suguhan budaya seperti ini.

Barisan terdepan diawali dengan pemuda yang membawa artibut lelontekan, tedung dan sarana lain. Selanjutnya diikuti dengan ibu-ibu yang membawa perlengkapan beserta pemangku yang akan mengambil air suci.

Setelahnya baru pengayah anak-anak hingga lansia yang sudah mepayas agung, biasanya diurut dengan rendah ke tinggi atau dari anak-anak hingga dewasa. Tradisi Mepeed juga diiringi dengan baleganjur yang berada pada barisan paling belakang.


Para pengayah yang ikut dalam Tradisi Mepeed harus berjalan dengan jarak kurang lebih 1,5 km dengan tidak menggunakan alas kaki baik sandal maupun sepatu.

Dimulainya perjalanan dari Pura Dalem Gede Sukawati yang mana pada saat perjalanan akan melewati pusat pembelanjaan yang terkenal di Desa Sukawati yaitu pasar seni Sukawati.

Banyak orang-orang yang berbelanja disana terutama wisatawan yang pertama kali menjumpai tradisi ini merasa terpukau melihatnya dan mereka tidak lupa untuk mengabadikan momen dengan cara berfoto dengan para pengayah.

Setelah berjalan dengan jarak kurang lebih 1,5 km para pengayah sampailah di tujuan yaitu di Pura Beji Cengceng untuk nunas tirta (air suci) yang nantinya akan digunakan pada saat upacara pujawali.

Setelah pengambilan air suci selesai akan dilanjutkan untuk kembali ke Pura dalem Gede Sukawati. Walaupun berjalan tanpa menggunakan alas kaki tidak membuat para pengayah mengeluh dalam prosesi Tradisi Mepeed ini.

Setelah para pengayah sampai pura, ibu-ibu yang sudah mendapat bagian untuk ngayah nari akan segera bersiap-siap. Tarian permas adalah tarian yang biasanya mereka tarikan dan selama 4 hari saat upacara pujawali di pura Dalem Gede Sukawati dilangsungkan.

Penduduk setempat yakin, dengan melaksanakan Tradisi Mepeed ini prosesi upacara pujawali akan berjalan dengan lancar dan mereka yakin nantinya akan datang keberkahan untuk mereka.

Budaya dan tradisi unik memang sangat menarik, bahkan menjadi salah satu atraksi wisata yang bisa dinikmati wisatawan saat liburan, apalagi Sukawati lokasinya strategis berdekatan dengan pusat-pusat pariwisata, seperti Ubud, Sanur,  Kuta dan Nusa Dua, sehingga saat berlangsung cukup banyak wisatawan menikmatinya.