Selasa, 27 April 2021

Jasa tukang bangunan dan borongan Bali

 






MENYEDIAKAN JASA BANGUNAN YANG PROFESIONAL & TERPERCAYA UNTUK KEBUTUHAN ANDA.
- RENOVASI RINGAN, SEDANG DAN BERAT
- BANGUN BARU RUMAH, KANTOR, KIOS, RUKO, APARTEMEN, GEDUNG BERTINGKAT, KONTRAKAN, KOST-KOSTAN, CLUSTER, KAVLING, PASAR.
- INSTALASI AC
- INSTALASI SISTEM PIPA DLL

Hubungi : 0821-4684-7793

Rabu, 21 April 2021

Hindu tidak mengenal Tauhid?

 



Eggy Sudjana pernah mendaftarkan gugatan MK untuk membubarkan Hindu sebab disebutkan tidak sesuai dengan sila pertama dari Pancasila. Sehingga menurut yang bersangkutan Hindu dan yang lainnya yang serupa layak dibubarkan.
Penjelasan “Tauhid” di Hindu sangat banyak dan beragam serta kompleks sebab menggunakan istilah beragam. Misal yang Maha Tinggi yang non dual bisa dijelaskan dengan istilah Rudra yang bermakna penyebab dari keberadaan atau material atau kebendaan dan yang mendayagunakan alam semesta melalui sifat meresap dan membungkusnya (Wyapi Wyapaka) dan bukan sekedar penciptanya melainkan juga pelindungnya dan pembimbingnya.

Ia disebut juga Krshna karena gelap tak tersentuh, tak terjelaskan, tak terpikirkan, tak dapat dimengerti, dst...atau juga diistilahkan Acintya (Tak Terpikirkan dan Terbayangkan). Ia adalah Tunggal dan sekaligus Ia adalah kegandaan yang disebut dengan Purusa dan Prakerti. Ketika kegandaan mampu diatasi dan ketunggalan mampu dilampaui maka Ia akan mampu disadari....inilah kompleksnya tauhid Hindu.
Pradana atau jagat semesta beserta isinya ini bukanlah hal yang terpisah dan atau berdiri sendiri melainkan terangkai satu dan terlihat bagai atom didalamNya dan Iapun mampu mengisi hal yang lebih kecil dari atom sehingga tanpa batas dan alam semesta ini meski Tunggal juga adalah dalam kegandaan bagaikan Jagad Raya yang tersusun dalam ribuan atom dan atom yang tunggal yang diperbesar kembali terdapat didalamnya Jagat Raya dan Atom. Sehingga hal ini disimbolkan dengan simbol Iconic Hindu yang populer disebut Ouroboros (Tanpa batas dan tanpa akhir). Hal ini juga dapat diibaratkan ketika kita berdiri diantara dua cermin dimana bayangan kita terlihat tanpa batas. Ia juga disebut Mayin sebab pencipta dunia yang maya dimana ini mengembang terus bagai bayangan kita yang tunggal pada cermin menjadi banyak dan terus berganda bila diamati satu persatu.
Ini adalah salah satu penjelasan beragam mengenai Tauhid Hindu. Yang Maha Esa sendiri disebut dalam berbagai nama dan tetap merujuk Esa (Eko Narayana Na Dwiyo).
Ano Badrah Kartawo Yantu Wiswatah 🙏
Agus Wirawan Sudewa R

Sabtu, 17 April 2021

Jual Ayam caru (bersih dan meblulangan)

 



Kami menyediakan
Ayam caru (bersih dan meblulangan)
Daging ayam kampung (bersih dgn berat 750-800 gr)
Bebek bersih
harga sangat terjangkau dan melayani COD.

Minat wa 0882-9209-6763

Selasa, 13 April 2021

Es Puter Bali

  




ICE CREAM dan ES PUTER PESTA

Menjual dan menerima pesanan Ice Cream dan Es puter untuk keperluan Ulang tahun, Pernikahan, Otonan, Melaspas, Metatah, Anniversary, 3 bulanan, Arisan, Catering, Aqiqah, dll.

Pilihan rasa untuk Ice cream ada 6 : Vanila, Coklat, Durian, Strawberry, Capucino Dan Kacang Ijo.
Pilihan rasa untuk Es puter ada 10 : Mangga, alpukat, nangka, kelapa, capucino, coklat, vanilla, durian, kacang ijo dan strawberry.


Hubungi kami di:
Telp, Sms, Whatsapp
08985713790
Follow Instagram
raranchocobali
Alamat
Jln. Sedap malam No 117a. Banjar Kebonkuri Tengah Denpasar Timur, Bali.










#cake #birthdaycake #birthday #foodphotography #bali #ubud #canggu #kuta #denpasar #nusadua #whipcreamcake #ulangtahun #kueulangtahun #kueultah #cakebali #cakemurah #esputerbali #kuliner #hits #kekinian #delicious #culinary #denpasarviral #badung #specialcake #cakedesign #esputer #icecreambali #icecreamdenpasar #esputerbali #esputerdenpasar #eskrimpestabali #eskrimdenpasar #eskrimbali #eskrimpestadenpasar #dessertbali #dessertpesta #dessertdenpasar #eskrimweddingbali #eskrimpernikahandibali #cateringbali #icecreamweddingdenpasar #icecreamweddingbali #preweddingbali #eskrimdibali #pernikahandibali #3bulananbali #metatah #otonan #melaspas #metatah #weddingbali

Jumat, 09 April 2021

SINOPSIS DAN SLOKA KAKAWIN SUTASOMA

 




KAKAWIN SUTASOMA



Kitab Sutasoma digubah oleh Mpu Tantular dalam bentuk kakawin (syair) pada masa puncak kejayaan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk (1350 – 1389) atau +/- abad ke-14. Kitab yang berupa lembaran-lembaran lontar ini demikian masyhur dalam khazanah sejarah negeri ini karena pada pupuh ke-139 (bait V) terdapat sebaris kalimat yang kemudian disunting oleh para ‘founding fathers’ republik ini untuk dijadikan motto dalam Garuda Pancasila lambang Negara RI. Bait yang memuat kalimat tersebut selengkapnya berbunyi:

Hyāng Buddha tanpāhi Çiva rajādeva

Rwāneka dhātu vinuvus vara Buddha Visvā,

Bhimukti rakva ring apan kenā parvvanosĕn,

Mangka ng Jinatvā kalavan Çivatatva tunggal,

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Terjemahan bebasnya:

Hyang Buddha tiada berbeda dengan Syiwa Mahadewa

Keduanya itu merupakan sesuatu yang satu

Tiada mungkin memisahkan satu dengan lainnya

Karena hyang agama Buddha dan hyang agama Syiwa sesungguhnya tunggal

Keduanya memang hanya satu, tiada dharma (hukum) yang mendua.

Dengan demikian pernyataan bhinneka tunggal ika tersebut sebenarnya merupakan bagian amat kecil dari buah karya Mpu Tantular. Sebagai bagian yang amat kecil, tak ada yang istimewa pada kata tersebut, apa lagi kemuliaan, bahkan arti harfiahnya pun sangatlah sederhana: berbeda itu satu itu (bhinne = berbeda; ika = itu; tunggal = satu; ika = itu). Lain dari itu, kalimat tersebut pun adalah bagian dari konsep beragama, samasekali jauh hubungannya dengan konsep politik seperti pada pengertian sekarang.

Motto atau semboyan Indonesia tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini. Kakawin ini mengenai sebuah cerita dengan pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya. Amanat kitab ini mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha. Kakawin ini digubah oleh mpu Tantular pada abad ke-14.
SINOPSIS KAKAWIN SUTASOMA

Dikisahkan pada zaman kaliyuga di kerajaan Hastina, memerintahlah raja Mahaketu dengan permaisurinya Prajnyadhari. Mereka berdua sedang bersusah hati karena belum mempunyai keturunan, namun mereka tidak hentinya berdoa kepada sang Budha agar diberikan keturunan. Hingga akhirnya suatu saat sang Budha menampakkan dirinya dan berkata bahwa Beliau akan lahir sebagai putra dari Raja Mahaketu.

Beberapa lama kemudian lahirlah putra dari sang raja yang diberi nama Sutasoma, dia adalah pangeran yang sangat tampan dan juga cerdas. Sesudah pangeran dewasa, raja dan seluruh punggawa kerajaan meminta agar pangeran bersedia menjadi raja, namun tanpa disangka pangeran menolak menjadi raja dan memilih untuk menjadi pertapa. Tentu saja keinginan pangeran ini ditentang oleh raja dan ratu dan juga oleh para punggawa kerajaan. Semuanya silih berganti menasehatinya, namun pangeran tetap berkeras dengan keinginnanya.

Keesokan harinya, pangeran pergi meninggalkan istana untuk menjadi pertapa tanpa diketahui oleh siapapun dan tentu saja seisi Istana menajdi panik mencarinya dan raja dan ratu sangat berduka. Dikisahkan perjalanan pangeran ke hutan menuju gunung semeru, diperjalanan dia bertemu dengan para pertapa, dan sekali lagi para pertapa ini juga mengingatkan pangeran agar kembali ke istana untuk menjadi raja yang akan memberikan kedamaian pada dunia. Mengingat keadaan dunia yang sedang kacau akibat tingkah seorang raja yang bernama Purusada. Kemudian diceritakan juga asal-usul Purusada yang pada kehidupan sebelumnya bernama Suciloma yaitu seorang raksasa yang sangat sakti, namun akhirnya bisa dikalahkan oleh Agrakumara yang merupakan titisan Budha. Suciloma kemudian menjadi seorang pertapa dan kemudian wafat. Suciloma lahir kembali menjadi putra dari raja Sudasa yang bernama Sudanda, pada awalnya dia adalah raja yang tekun dalam melakukan ajaran agama, dia kemudian diberi gelar Jayantaka. Akan tetapi setelah diberikan sebuah anugerah oleh Rudra, dia berubah menjadi raja yang bengis. Adapun sebab berubahnya sifat raja tesebut karena dia menyantap daging manusia secara tidak sengaja yang disiapkan oleh juru masak instana. Sejak saat itu Jayantaka selalu ingin memakan daging manusia, dan dia menjadi penganut Bhairawa dan menjadi raja dari para raksasa serta menciptakan kekacauan di dunia. Oleh karena Jayantaka merupakan kelahiran dari Suciloma dan Sutasoma adalah titisan Budha maka hanya Sutasoma yang mampu mengalahkannya. Namun, Sutasoma tetap menolak untuk menjadi raja dan berperang, dia lebih memilih untuk menjadi pertapa.

Kemudian Sutasoma melanjutkan perjalanannya, dimana dia bertemua raksasa berkepala gajah yang menyerangnya, namun oleh kesucian pikirannya akhirnya raksasa yang bernama gajawaktra itupun tunduk kepadanya dan bersedia menjadi biksu pengikut Sutasoma. Ditengah perjalanan mereka kembali dihadang oleh seekor naga, namun akhirnya naga ini pun berhasil dikalahkan dan akhirnya menjadi pengikut Sutasoma juga. Di suatu tempat mereka bertemu dengan macan betina yang hendak memangsa anaknya karena susahnya mencari makanan di hutan itu. Oleh Sutasoma, dia merelakan dirinya untuk dimangsa oleh Macan betina tersebut asalkan anak macan tersebut dibebaskan. Macan tersebut setuju dan akhirnya Sutasoma dimakan oleh Macan tersebut dan dia pun meninggal. Setelah itu macan betina menjadi menyesal setelah membunuh orang yang baik hati, yang berhati mulya dan penuh cinta kasih. Oleh dewa Indra, Sutasoma dihidupkan kembali. Namun Sutasoma manjadi sedih hidup kembali, karena tujuannya adalah memang bersatu kembali dengan sang Budha. Namun Dewa Indra berkata bahwa pengorbanan Sutasoma adalah bentuk cinta kasihnya kepada kehidupan, dan dunia membutuhkan orang sepertia dia. Kemudian diceritakan Sutasoma memberikan wejangan agama kepada para pengikutnya yaitu gajawaktra, sang naga dan macan betina mengenai ajaran dharma yaitu jalan Siwa dan Budha.


Diceritakan kemudian mengenai pertapaan Sang Sutasoma, para dewa kemudian mengirim bidadari untuk menggoda tapa dari Sutasoma, namun itu tidak berhasil. Akhirnya kembali Dewa Indra turun ke dunia menjadi bidadari dan menggoda tapa Sutasoma namun tidak berhasil juga. Sutasoma kemudian berubah menjadi Wairocana (perwujudan Budha). Indra kemudian memberikan sembahnya dan mengingatkan kembali bahwa tujuan kelahiran Budha kembali bukanlah untuk menjadi pertapa melainkan untuk menegakkan kebenaran dan memberikan kedamain di dunia yaitu dengan menaklukan Purusada. Indra juga menceritakan bahwa saat ini Purusada sedang terluka dan dia berkaul kepada Bhatara Kala, jika dia sembuh dia akan menghaturkan 100 orang raja kepada Bhatara Kala. Akhirnya Sutasoma terbangun dari tapanya dan menyadari tugasnya di dunia ini dan dia memutuskan kembali ke kerajaannya.

Dalam perjalanan pulang, kembali dia bertemu dengan raksasa yang bernama Sudahana. Raksasa ini merupakan pengikut dari Purusada. Sudahana sedang terluka setelah diserang oleh Raja Dasabahu yang merupakan sepupu dari Sutasoma. Raksasa ini memohon agar diberikan pengampunan oleh Sutasoma dan berjanji akan menjalankan ajaran Budha setelah sembuh. Sutasoma mengabulkan permintaan raksasa tersebut, namu tiba-tiba datanglah Raja Dasabahu yang berkeinginan membunuh Sudahana, dia berpikiran bahwa Sutasoma adalah pelindungnya oleh karenanya dia menyerang Sutasoma.

Manggala
Pada Kakawin Sutasoma terdapat sebuah manggala. Manggala ini memuja Sri Bajrajñana yang merupakan intisari kasunyatan.Jika beliau menampakkan dirinya, maka hal ini keluar dalam samadi sang Boddhacitta dan bersemayam di dalam benak. Lalu beberapa yuga disebut di mana Brahman, Wisnu dan Siwa melindungi. Maka sekarang datanglah Kaliyuga di mana sang Buddha datang ke dunia untuk membinasakan kekuasaan jahat.


Pengarang, waktu penulisan, dan Hal yang Terkait dengan Sutasoma :

Dalam sastra kakawin yang berasal dari jaman Kediri, pengaruh Budhisme hampir tidak ada, baik dalam pemilihan tema, cara pembahasan, manggala maupun deskripsinya. Dalam Arjunawijaya, Budha disebutkan pada bagian perjalanan Arjuna Sasrabahu beserta permaisurinya, dimana mereka menjumpai candi Budha. Sedangkan pada Sutasoma, jelas sekali terlihat yaitu penyebutan Sutasoma sebagai titsan Budha.

Sutasoma dapat dikatakan sebagai kakawin yang menggabungkan unsur Budha dan Hindu menjadi satu (kemanunggalan) serupa dengan situasi dan kondisi saat itu, yaitu agama pada masa kerajaan Majapahit (Budhisme Mahayana dan Siwaisme). Ada kemungkinan Raja Sutasoma merupakan raja Kertanegara yang beragama Budha Tantra, raja ini dinobatkan sebagai Jina (Dhyani Budha) hal ini disebutkan dalam Negarakertagama (Siwabudhaloka). Kemanunggalan antara agama Hindu dan Budha dapat dilihat dari inti cerita kisah ini, yaitu Sutasoma (mewakili ajaran Budha) berseteru dengan raksasa Purusada (mewakili Siwa (Hindu)), Purusada sebagai penganut Siwaisme tidak menyukai Sutasoma yang merupakan titisan Budha, pada akhirnya Purusada (siwa) ‘ditundukkan’ oleh kewelas asihan Sutasoma (Budha) Siwa merupakan Budha dan begitupun sebaliknya mereka adalah satu dan sama. Menurut saya pribadi, cerita ini dimaksudkan untuk menyatukan penganut Budha dan Hindu (Siwaisme) pada masa kerajaan Majapahit, supaya tetap bersatu tanpa ada perselisihan karena kedua ajaran itu pada intinya bermuara pada satu tujuan yang sama yaitu mencapai kemanunggalan (menjadi Budha atau Siwa). Sampai saat ini kakawin Sutasoma sangat digemari di pulau Bali, atau sekurang-kurangnya dalam kalangan tertentu yang menempatkannya di atas kakawin lain. Bahkan di suatu forum diskusi, Sutasoma masih menjadi topik yang menarik untuk dibahas, terutama oleh penganut Budha. Nama mpu Tantular saat ini lebih dikenal sebagai nama museum di Surabaya.
ALIH AKSARA KAKAWIN SUTASOMA

1). Çrî Bajrajñâna çûnyâtmaka parama sirânindya ring rat wiçesa

lîlâ çuddha pratis.t.hêng hredaya jaya-jayângken mahâswargaloka

ekacchattrêng çarîrânghuripi sahananing bhur bhuwah swah prakîrn.a

sâks.ât candrârka pûrn.âdbhuta ri wijilira n sangka ring Boddhacitta

2). Singgih yan siddhayogîçwara wekasira sang sâtmya lâwan bhatâra

Sarwajñâmûrti çûnyâganal alit inucap mus.t.ining dharmatattwa

Sangsipta n pèt wulik ring hati sira sekung ing yoga lâwan samâdhi

Byakta lwir bhrântacittângrasa riwa-riwaning nirmalâcintyarûpa

3 ). Ndah yêka n mangkana ng çânti kineñep i tutur sang huwus siddhayogi

Pûjan ring jñâna çuddhâprimita çaran.âning miket langwa-langwan

Dûrâ ngwang siddhakawyângitung ahiwang apan tan wruh ing çâstra mâtra

Nghing kêwran déning ambek raga-ragan i manah sang kawîrâja çobha

4 ). Pûrwaprastâwaning parwaracana ginelar sangka ring Boddhakâwya

Ngûni dwâpâra ring treat kretayuga sirang sarwadharmânggaraksa

Tan lèn hyang Brahma Wisnwîçwara sira matemah bhûpati martyaloka

Mangké n prâpta ng kali çrî Jinapati manurun matyana ng kâla murkha

5). Sambandhan sri mahâketu kurukula sirânak nirâng korawângsa,

Dewi prajnadhari kâsih-ira pinuji ring rât putus ring kahaywan,

Ngkâneng râjyâdhimkeng hastina siniwi tkap ning mahâwira sangghya,

Sakweh-kweh sang watek bhupati sira mararem bhakti ring sri narendra.

6). Sobhang râjyâ halep lwir smara bhawana leyep sarwwa dibyâprameya,

Dwâranyâ marppat atyâbhuta kanaka murub lwir gunung bahni muntab,

Sok rangkang mas manindre dalem-ika kumnar râtna sangghyânya muncar,

Diptâng wâratri denyâ rahina sama hidep ning wwang-ing jro kadatwan..

7). Kintu pwekang sarat durbbhala kinarana ning daitya len râksasâkweh,

Kirnnâglar sok penuh ring wanacala nikanang râtna kandâdirâjya,

Kruramrp kuwwa mungpang mamirurut anawan wanwasancurnna denya,

Wrin-wrin sakwehwatek bhâratakula karuhun sang tapvswi nagâgra.

8). Nâ hetu sri narendrângutus i sahanan ning wira yodhâdbhuteng prang,

Mwang sang yogiswarângampeha ri panasing detya kâlâgni tulya,

Ndatân mantuk jugânghing suta haji karengo bhasmya ning satru sakti,

Mangkâ ling sang munindrâkira-kira ri hajeng sri mahâketu raja.

9). Warnnan sang sri narendrâdhipa sira maharep mânakâ mwang sudewi,

Hetunyân boddhi cittenulah-ulah-ira ring sthâna sang hyang jinârcca,

Rep prâtang ratri tistis marengi hning-ikang jnana cândropamanya,

Ngkâ tâ sri boddhisatwâja ri gati nira yan sunwa sang sri narendra.

10). Tustâmbek sri mahâketu manemu paramânugrahâ hyang jinendra,

Sighron ampeh nirang yoga wkasan-umijil sobha sangkeng pahoman,

Prapte ngkaneng sudewi sira mawara-warah yan huwus labda kâryya,

Byaktang rât swastha curnnang kali helem-iwijil sri mahâsakya snghâ.

11). Ndah sighrang kâla tandwângidam-ika sira sang sri maharaja putri,

Hârsâmbek sri narendrângariwuwus ri manah sang sdeng kesyanâmrat,

Pujâ mantra stuti mwang sayu-sayut-iniwohoma yajnânukâri,

Sakweh sang bhiksukâcâryya nagara humiring yoga sang sri narendrâ.

12). Ndah sakweh-kweh nikang stri dalem-ika rumngo garbbhini sri supatni,

Wrddhâ lek sighra molah wteng-ira matutur sang haneng garbha dibya,

Lindu tang bumi tejâ narawata dumilah trus tekeng swargaloka,

Hung hung ning dewa sangghyeng langit-ajaya-jayan sottaning budha janma.

Pupuh nomor 148

Nâhan tântyanikang kathâtiçaya Boddhacarita ng iniket

Dé sang kawy aparab mpu Tantular amarn.a kakawin alangö

Khyâtîng rat Purus.âdaçânta pangaranya katuturakena

Dîrghâyuh sira sang rumengwa tuwi sang mamaca manulisa

Bhras.t.a ng durjana çûnyakâya kumeter mawedi giri-girin

Dé çrî râjasa raja bhûpati sang angd.iri ratu ri Jawa

Çuddhâmbek sang aséwa tan salah ulah sawarahira tinut

Sök wîrâdhika mêwwu yêka magawé resaning ari teka

Ramya ng sâgara parwatêki sakapunpunan i sira lengeng

Mwang tang râjya ri Wilwatikta pakarâjyanira n anupama

Kîrn.êkang kawi gîta lambing atuhânwam umarek i haji

Lwir sang hyang çaçi rakwa pûrn.a pangapusnira n anuluhi rat

Bhéda mwang damel I nghulun kadi patangga n umiber i lemah

Ndan dûra n mad.anêka pan wwang atimûd.ha kumawih alangö

Lwir bhrân.tâgati dharma ring kawi turung wruh ing aji sakathâ

Nghing sang çrî Ran.amanggalêki sira sang titir anganumata.
TERJEMAHAN KAKAWIN SUTASOMA

1). -Sri Bajrajñana, manifestasi sempurna Kasunyatan adalah yang utama didunia.

-Nikmat dan murni teguh di hati, menguasai semuanya bagai kahyangan agung.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

-Ia adalah titisan Pelindung tunggal yang menganugrahi kehidupan kepada tri buwana bumi, langit dan sorga – seru sekalian alam.

-Bagaikan terang bulan dan matahari sifat yang keluar dari batin orang yang telah sadar.

2). -Ia yang diterangi, yang manunggal dengan Tuhan, memang benar-benar Raja kaum Yogi yang berhasil.

– Perwujudan segala ilmu Kasunyatan baik kasar ataupun halus, diajikan dalam sebuah doa dan puja yang khusyuk.

-Singkatnya, mari mencari-Nya dengan betul dalam hati, didukung dengan yoga dan samadi penuh.

-Persis bagaikan seseorang yang merana hatinya merasakan rasa kemurnian Yang Tak Bisa Dibayangkan.

3). -Maka itulah ketentraman hati yang dituju seorang yogi sempurna.

-Biarkan aku memuja dengan kemurnian dan kebaktian tak tertara sebagai sarana untuk menulis syair indah.

-Mustahil aku akan berhasil menulis kakawin sebab tiada tahu akan tatacara bersastra.

-Namun, sungguh malu dan terganggu oleh pikiran akan sebuah penyair sempurna di ibukota.

4). -Pertama dari semua cerita yang saya gubah diturunkan dari kisah-kisah sang Buddha.

– Dahulukala ketika dwapara-, treta- dan kretayuga, dia merupakan perwujudan segala bentuk dharma.

-Tiada lain sang hyang Brahma, Wisnu dan Siwa. Semuanya menjadi raja-raja di Mercapada (dunia fana).

-Dan sekarang pada masa Kaliyuga, Sri Jinapati turun di sini untuk menghancurkan kejahatan dan keburukan.

5). kemampuan sri mahâketu kurukula sirânak pirang korawângsa,

Dewi prajnadhari mengira kasih memuji jagat di kahaywan,

Ngkâneng râjyâdhimkeng hastina siniwi tkap ning mahâwira sangghya,

Banyaknya kebiasaan siapapun berbakti kepada sri narendra

6). Setiap jagat cinta yang indah dan segala kelebihan raja

Seperti emas yang menyala murka seperti gunung yang mengeluarkan api ,

Sok melata penyangga Dalem itu seperti intan yang memancar,

Bagus menyinari malam di hari sampai pikiran suci dan jernih orang di kerajaan

7). Sarat pancaran kelemahan ketika memperlihatkan sosok raksasa

Menjadi raja hutan seperti intan diraja,

Kruramrp kuwwa mungpang yang menawan seperti dewa

Sangat takut keluarga bharata kedatangan sang tapswi nagagra

8). sri narendrâ mengutus para prajurit ke medan peperangan,

Dan sang yogiswarâ dibuat marah oleh raksasa Kalagni tulya,

Dan anak haji karengo kembali setelah membasmi musuh yang sakti,

Padahal sang munindrâk menduga-duga dihadapan Raja sri mahâketu

9). sang sri narendrâdhipa sira mengharapkan angan-angan dengan sudewi,

Memikirkan kesadaran itu di tempat Sang Hyang Jinaracca,

Kemasyuran malam menemani kesunyian itu pengetahuan bulan

Sri |boddhisatwa penting sekali sunwa sang narendra

10). Utusan sri mahâketubertemu paramânugrahâ hyang jinendra,

Sighron ampeh nirang yoga wkasan-umijil sobha sangkeng pahoman

Kedatangan sudewi memberitahu keberhasilan kerja,

Byaktang didunia keluar sri mahâsakya snghâ

11). Waku segera tanda itu siapa sang sri putrid maharaja

Keinginan sri narendra sudah memikirkan berat sang sdeng

Dan melantumkan puja-puji mantram pengharapan yajna

Banyak sang bhiksu bijaksana di neraga pemujaan sang sri narendra

12). Banyak istri dalem itu mengandung sri Supatni,

Bertuturkata belas kasih sang haneng dirumah utama,

Lindu bumi panas sinar bercahaya merata di alam sorga,

Ohh dewa penyangga langit selalu menang dan jaya budha jaina.

Terjemahan Pupuh penutup nomor 148

-Maka inilah akhir dari sebuah cerita indah dan digubah dari kisah sang Buddha.

-Oleh seorang penyair bernama mpu Tantular yang menggubah kakawin indah.

-Termasyhur di dunia dengan nama Purusadasanta (pasifikasi raja Purusada).

-Semoga semua yang mendengarkan, membaca dan menyalin akan panjang umurnya.

-Hancur lebur para durjana, tak berdaya, gemetar, takut karena ngeri.

-Oleh Sri Rajasa yang bertakhta di Jawa.

-Para abdinya berhati murni dan melaksanakan segala perintahnya tanpa salah.

-Sungguh banyak para pahlawan unggul, jumlahnya ada ribuan yang memberikan rasa takut kepada para musuh.

-Indahlah laut dan gunung di bawah penguasaannya.

-Dan ibukota Wilwatikta (= Majapahit) sungguh indah di luar bayangan.

-Banyaklah jumlah para penyair, tua dan muda yang menggubah nyanyian dan kakawin yang menghadap sang ratu.

-Bagaikan Dewa Candra kekuasaannya menyinari dunia.

-Berbeda dengan karyaku bagaikan gajah yang terbang di atas tanah.

-Mustahillah menyamai karena orang bodoh yang seolah-olah menulis kakawin indah.

-Seperti seseorang yang bingung mengenai kewajiban seorang penyair tidak mengenal peraturan bersyair.

-Namun Sri Ranamanggala juga yang menjadi panutanku.






KAKAWIN SUTASOMA



Tugas Mata Kuliah : Sastra Hindu II (Bahasa Jawa Kuno)

Dosen : Prof. Dr. Drs. I Made Suweta, M.Si..

Oleh :

÷ med yud hsßr.

I Made Yuda Asmara.

(14.1.2.5.2.0775)

INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR

PROGRAM PASCA SARJANA

DHARMA ACARYA

2015

Rabu, 07 April 2021

Makna Canang Sari, Daksina, Peras, Pejati, Ajuman, Sesayut

 



Makna Canang Sari

Canang Sari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih.Canang sari ini dalam persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista=inti). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap banten atau yadnya apa pun selalu berisi Canang Sari. Canang sari sering dipakai untuk persembahyangan sehari-hari di Bali. Canang sari juga mengandung salah satu makna sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa yaitu memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) untuk Bhuwana Alit maupun Bhuwana Agung.

Canang berasal dari kata “Can” yang berarti indah, sedangkan “Nang” berarti tujuan atau maksud (bhs. Kawi/Jawa Kuno), Sari berarti inti atau sumber. Dengan demikian Canang Sari bermakna untuk memohon kekuatan Widya kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala. Dalam dokumen tersebut juga dijelaskan mengenai bentuk dan fungsi canang menurut pandangan Hindu Bali ada beberapa macam sesuai dengan kegiatan upakara yang dilaksanakan. Di bawah ini penjabaran mengapa canang dikatakan sebagai penjabaran dari bahasa Weda, hal ini melalui simbol-simbol sebagai berikut :
Canang memakai alas berupa “ceper” (berbentuk segi empat) adalah simbol kekuatan “Ardha Candra” (bulan).
Di atas ceper ini diisikan sebuah “Porosan” yang bermakna persembahan tersebut harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya.
Di atas ceper ini juga berisikan seiris tebu, pisang dan sepotong jaja (kue) adalah sebagai simbol kekuatan “Wiswa Ongkara” (Angka 3 aksara Bali).
Kemudian di atas point 2 dan 3 di atas, disusunlah sebuah “Sampian Urasari” yang berbentuk bundar sebagai dasar untuk menempatkan bunga. Hal ini adalah simbol dari kekuatan “Windhu” (Matahari). Lalu pada ujung-ujung Urasari ini memakai hiasan panah sebagai simbol kekuatan “Nadha” (Bintang).
Penataan bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian Urasari diatur dengan etika dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran (tempat) Panca Dewata. Untuk urutannya saya menggunakan urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah Timur ke Selatan.

Bunga berwarna Putih (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara agar memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian skala niskala.

Bunga berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan.

Bunga berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi.

Bunga berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.

Bunga Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Siwa agar memercikkan Tirtha Maha mertha untuk menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa).

Bunga canang, kembang rampe, porosan adalah simbol dari Tarung / Tedung dari Ong Kara (isi dari Tri Bhuwana (Tri Loka) = Bhur-Bwah-Swah).
Konsep penyatuan Sivasiddhanta dalam canang sari

Canang Genten/canang sari, bentuknya : memakai alas yang berupa ceper atau yang berupa reringgitan,disusun dengan plawa(daun), Porosan yang berupa sedah berisi apuh dan jambe diikat dengan tali porosan, disusun dengan tempat minyak,bunga dan pandan arum yang bermakna penyatuan pikiran yang suci untuk sujud bhakti kehadapan Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Brahma Wisnu dan Iswara.
Mantra Canang Sari.

Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)

Oṁ tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha

Oṁ shri Deva Devi Sukla ya namah svaha
BANTEN DAKSINA

Daksina berasal dari kata Sansekerta. Daksina bisa berarti upah, daksina juga bisa bermakna selatan dan nama sebuah banten. Dalam kitab Yayur Veda XXXX.1 ada disebutkan bahwa Sthana Hyang Widhi Wasa adalah alam semesta atau Bhuana Agung. Hyamh Widhi berada pada alam yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Tidak ada bagian bhuana agung ini tanpa kehadiran Hyang Widhi. Demikian pula dalam kitab Ayur Weda pada bagian terakhir mantra yang disebutkan bahwa nama Hyang Widhi pertama adalah OM dan badannya adalah alam semesta atau bhuana agung ini. Hyang Widhi juga disebut parama atma. Sebagai jiwa dari bhuana alit beliau disebut atman. Banten daksina disamping lambang penghormatan juga sebagai lambang Bhuana Agung Sthana Hyang Widhi Wasa. Hal ini disebutkan dalam puja pengantar daksina sebagai berikut: Om pakulun bhattara Visnu alingga haneng daksina sesantun dan seterusnya.

Daksina adalah tapakan dari Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga merupakan buah daripada yadnya. Hal ini dapat kita lihat pada berbagai upacara yang besar, di mana kita lihat banyak sekali ada daksina. Kalau kita lihat fungsi daksina yang diberikan kepada yang muput karya (Pedanda atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut sebagai ucapan tanda “terima kasih” kepada sekala-niskala. Begitu pula kalau daksina itu kita haturkan kehadapan Hyang Widhi sebagai pelengkap aturan kita dan sembah sujud kita atas semua karunia-Nva

Daksina sebagai lambang Bhuana Sthana Hyang Widhi Wasa nampak dalam bahan-bahan yang membentuk daksina tersebut. Beberapa unsur penting yang membentuk Daksina, yaitu :
Bebedogan, dibuat dari daun janur yang sudah hijau yang bentuknya bulat panjang serta ada batas pinggirnya pada bagian atasnya. Bebedogan ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas.
Serobong Daksina, disebut juga sebagai Serobong Bebedogan dibuat juga dari daun janur yang sudah hijau tanpa tepi maupun dibawahnya. Serobog Daksina ini menjadi lapisan pada bagian tengah dari bebedogan, segala bahan daksina ini masuk kedalam serobong daksina. Serobong daksina ini lambang Akasa yang tanpa tepi.
Tampak, dibuat dari empat potong helai janur berbentuk seperti kembang teratai bersegi delapan. Bentuk tampak ini melambangkan arah atau kiblat mata angin yang mengarah pada delapan penjuru. Pada dasar daksina diisi tetampak dari janur sebagai tanda Swastika, yang mempunyai makna semoga baik, juga sebagai dasar dari pengider. Ke atas menuju Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping menuju arah kehidupan alam sekitar, tetampak dibubuhi beras sejumput.
Telor itik/telor bebek, dibungkus dengan Urung Ketipat Taluh. Telor itik yang dibungkus ketipat taluh ini lambang Bhuana alit yang menghuni bumi ini. Telur itik juga sebagai lambang dari sifat-sifat satwam.
Beras, beras merupakan simbolis dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan umat manusia di alam raya ini.
Benang Tukelan (benang Bali) adalah sebagai simbolis dari penghubung Jiwataman yang tidak akan berakhir samapai terjadinya pralina. Sebelum pralina atman yang berasal dari paratman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina.
Uang Kepeng, berjumlah 225 kepeng adalah simbol Bhatara Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan. Angka 225 itu kalau dijumlahkan menjadi angka sembilan angka suci lambang Dewata nawa sanga yang berada di sembilan penjuru alam Bhuana Agung.
Pisang, Tebu dan Kekojong, adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari alam ini,. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan ajaran Tri Kaya Parisudha.
Porosan dan Kembang, porosan adalah lambang pemujaan pada Hyang Tri Murti. Sedangkan kembang adalah lambang niat suci dalam beryajna pada Hyang Tri Murti. Tujuan bakti pada Hyang Tri Murti agar manusia mendapatkan tuntunan dalam menciptakan sesuatu yang patut diciptakan dari Hyang Brahma. Tuntunan dari Hyang Visnu pada saat memelihara sesuatu yang aptut dan wajar untuk dipelihara. Dari Hyang Rudra untuk menuntun umat manusia saat meniadakan sesuatu yang patutdan wajar dihilangkan.


Gegantusan, unsur upakara ini lambang didunia ini mahluk lahir berulang-ulang sesuai dengan tingkatan karmanya.
Pesel-peselan dan Bija Ratus, unsur upakara ini merupakan lambang hidup bersama di dunia ini untuk menyatukan berbagai bibit. Bija Ratus adalah lambang suatu kerjasama dalam menelorkan suatu ide bersama. Sebelum ide bersama itu muncul sebagai suatu kesepakatan. Setiap pihak wajib mengeluarkan ide-idenya. Ide-ide inilah yang di sebut bija yang harus diratus menjadi satu ide bersama.
Kelapa, sebagai unsur yang paling utama dalam Banten Daksina. Buah kelapa dari kulit dengan seluruh isinya adalah lambang Bhuana Agung. Unsur-unsur buah kelapa itu semuanya melambangkan sapta patala dan sapta loka. Mengapa buah kelapa yang dipakai daksina harus dikupas dan dibersihkan kulitnya hingga kelihatan batoknya. Serabut kelapa itu adalah lambang pengikat indria. Karena Daksina itu lambang Bhuana Agung Sthana Hyang Widhitentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat. Karunia Hyang widhi akan dapat kita capai apabila kita mampu melepaskan diri dari ikatan indria. Kitalah yang harus mengikat indria sebagai alat untuk melakukan perbuatan yang bijaksana.

Mytologi adanya kelapa

Kelapa memiliki manfaat yang demikian banyak dalam kehidupan umat manusia dan mahluk hidup lainya. Sampai kelapa itu dimitoskan dalam cerita-cerita yang dicukil dari purana. Samapai ada beberapa versi cerita tentang adanya kelapa. Diceritakan ada dua orang raksasa kembar bernama Sunda Upasund. Dua raksasa ini bertapa untuk menguasai sorga, tapanya sangat tekun. Dewa-dewa disurga menugaskan Dewa Wiswakarma untuk mengujinya. Dewa Wiswakarma menciptakan bidadari yang sangat cantik dari Bunga Ratna dan Biji Wijen. Sebelum bidadari ini bertugas menggoda raksasa tersebut, Bidadari itu berkeliling disorga. Saat Dewa Brahma melihat bidadari yang sangat cantik itu, Dewa Brahma sangat terperanjat hingga beliau berkepala lima. Sedangkan Dewa Indra menjadi bermata seribu saat menyaksikan kecantikan bidadari tersebut. Karena demikian cantiknya itupun turun kedunia menggoda raksasa kembar tersebut. Kedua raksasa itupun kedua-duanya mati bertempur memperebutkan bidadari yang cantik itu. Selanjutnya yang menjadi cerita adalah kepala Dewa Brahma yang lima itu. Putra Dewa Siwa mengatakan Dewa Brahma berkepala empat sedangkan Putra Dewa Indra mengatakan lima. Kedua putra Dewa ini bertaruh. Siapa yang kalah harus menjelma kedunia sebagai manusia sengsara, mendengar hal ini diam-diam Dewa Siwa melepaskan panah untuk memotong satu di antara lima kepala Dewa Brahma sehingga Dewa Brahma menjadi berkepala empat. Dengan demikian Dewa Brahma pun disebut Pala Dewa Catur Mukha. Dengan demikian putra Dewa Siwa dapat mengalahkan putra Dewa Indra. Yang menjadi cerita selanjutnya adalah kepala Dewa Brahma yang putus itu jatuh kedunia. Dunia menjadi digoncang gempa akibat potongan kepala Dewa Brahma jatuh ke bumi. Dewa Siwapun bertanggung jawab atas kejadian itu. Kepala Dewa Brahma diambilnya dan dibuangnya kelaut. Lautpun menjadi goncang pula. Akhirnya kepala Dewa Brahma itu diambil lagi oleh Dewa Siwa dan ditanam ditepi pantai. Lama kelamaan kepala Dewa Brahma yang ditanam itupun tumbuh menjadi kelapa. Semenjak itulah ada kelapa di dunia. Kelapa itulah yang sampai sekarang menjadi salah satu tumbuhan yang sangat berperan dalam penyelenggaraan upacara Yajna di kalangan Umat Hindu.

DENGAN DAKSINA MEMBINA HIDUP TERHORMAT

Hidup terhormat adalah hidup yang dijalankan di atas relnya Dharma. Rejeki yang didapatkan untuk membiayai hidup itu diperoleh secara terhormat. Demikian pula status sosial atau kedudukan terhormat itu dicapai melalui cara-cara yang terhormat pula. Dipergunakan banten Daksina dalam upacara Yajna dimaksudkan juga untuk memebina tumbuhnya kesadaran spiritual agar selalu dapat berbuat terhormat dalam hidup ini. Hidup terhormat bukan untuk dipamerkan didepan halayak ramai. Artinya kalau didepan halayak ramai barulah kita tampil terhormat. Kalau tidak ada yang menyaksikan berprilaku terhormat itu tidak diupayakan. Membina hidup terhormat bukanlah berarti hidup yang gila hormat. Seoramg akan terhormat apabila dalam menjalani hidup ini selalu menempuh jalan hidup diatas norma-norma yang dibenarkan baik oleh norma agama maupun norma-norma lainnya yang berlaku. Di dalam kitab Ayur Veda XX.25 disebutkan bahwa untuk mencapai kehidupan yang terhormat itu (Daksina) harus diawali dengan perjuangan diri yang penuh disiplin. Perjuangan yang penuh disiplin itu disebut dengan Brata. Brata artinya janji diri yaitu suatu disiplin hidup timbul dari niat diri sendiri untuk melakukan sesuatu disiplin hidup. Disiplin hidup itu tidak berasal dari orang lain. Disiplin hidup ini bertujuan untuk mewujudkan cita-cita hidup. Disiplin hidup itu ditempuh samapai mencapai tujuan yang suci itu. Brata itu meliputi disiplin hidup yang bersifat jasmaniah dan disiplin hidup rohaniah. Brata bertujuan untuk mencapai ilmu engetahuan tentang kehidupan keduniawi dalam artian yang positif (Apara Vidya) dan pengetahuan Rokhaniah (Para Vidya). Kedua ilmu itu bertujuan membangun hidup yang seimbang lahir dan batin. Perpaduan dua ilmu tersebut untuk diarahkan mengendalikan indria terutama lidah. Lidah dikendalikan agar jangan mengucapkan kata-kata yang mengandung kejahatan, kebohongan, fitnah dan tidak mengeluarkan kata-kata kasar. Dari Brata pikiran dan kata-kata dilanjutkan dengan Brata prilaku. Brata prilaku itu meliputi tidak mencuri, tidak membunuh, dan tidak berjianah. Dari Brata ini diharapkan mencapai Diksa. Diksa itulah puncaknya Brata. Suatu study yang telah mencapai hasil yang disebut tamat. Kalau sudah mencapai Diksa itu barulah boleh menikmati Daksina. Daksina itu adalah suatu hasil berupa materi dan non materi. Dewasa ini banyak orang mendapatkan suatu perolehan yang tidak berupa Daksina. Artinya mendapatkan materi maupun non materi secara tidak terhormat. Memenuhi kebutuhan hidup dengan hasil yang tidak diperoleh secara terhormat maka orang tersebut akan sulit menyampaikan pesan-pesan suci Veda. Orang yang hidup dengan hasil yang diperoleh secara tidak terhormat jiwanya akan ditutupi oleh avidya yang ditimbulkan oleh hasil yang diperoleh secara tidak terhormat itu. Orang yang hidupnya dari hasil Daksina akan hidup keyakinan yang mantap tanpa dibayang-bayangi oleh rasa berdosa. Hidup yang demikian itulah disebut Sraddha yaitu hidup dengan keyakian. Karena itulah marilah banten Daksina dipakai sebagai simbol keagamaan yang sakral untuk mencari penghidupan yang disebut Daksina.

Mengapa kelapa Daksina serabutnya dikerik bersih

Salah satu bahan pokok untuk membuat Daksina adalah buah kelapa. Buah kelapa yang dipakai untuk membuat Daksina serabutnya harus dikerik bersih. Behkan Daksina untuk banten Nuntun Dewa hyang harus dikerik lebih bersih lagi dan dinyaki dengan minyak sukla (suci). Swami Satya Narayana mengatakan kelapa yang dipakai bahan pokok pembuatan banten daksina serabutnya harus dikerik. Serabut kelapa itulah adalah lambang indria yang mengikat. Daksina sebagai lambang Sthana Tuhan dan lambang penghormatan harus bersih dari ikatan indria yang sangat pambrih itu. Suatu kerja yang didasarkan pada kenikmatan indria tidaklah pantas mendapatkan penghormatan Daksina. Demikian pula pemberian yang terhormat yang disebut daksina tidak pantas kalau masih disertai dengan pambrih-pambrih yang bersifat indriawi. Hal ini berarti Tuhan akan bersthana pada mereka yang mampu melepaskan diri dari ikatan indriawi. Ini bukanlah berarti orang harus merusak indrianya. Indria itu adalah alat. Ia tidak boleh dirusak bahkan harus dipelihara dengan sebaik-baiknya agar ia dapat dijadikan alat yang baik. Yang dimaksudkan disini adalah janganlah kita diperalat oleh indria kata Upanisad menyebutkan indria itu ibarat kuda penarik kereta. Budhi ibarat kusir kereta, pikiran ibarat tali kekang kereta. Atman ibarat pemilik kereta, badan ibarat kereta itu sendiri dan jalan adalah obyek indria. Kalau ingin kereta itu larinya cepat dan terarah maka kuda itu harus sehat dan kuat. Sehat dan kuatnya kuda tetap harus berada dibawah kendali pikiran dan budhi jadinya serabut kelapa yang harus dibersihkan itu adalah lambang daya pengikat indria yang dapat menyesatkan sang diri dari samsara. Dalam upacara-upacara besar banten Daksina digunakan daksina yang besar pula. Misalnya upacar penebusan Oton yang bertujuan untuk melindugi seseorang dari asfek negatif dari hari kelahiran. Setiap hari menurut perhitungan kalender Hindu selalu ada bain buruknya. Agar seeorang terhindar dari aspek burukya maka diadakan upacara penebusan Oton. Inti upacara penebusan Oton itu menggunakan daksina gede. Daksina gede itu tergantung Neptu (urip) dari kelahiran tersebut. Misalnya neptunya 5 maka daksina gedenya Sarwa lima. Kelapanya lima butir, telornya lima butir, pisangnya lima butir, dan yang lainnya juga berjumlah lima.


Banten Daksina menurut Lontar Parimbon Bebanten dalam bentuk uang ada sembilan jenis yaitu, Utamaning Utama 160.000, Madyaning Utama 80.000, Nistaning Utama 40.000, Utamaning Madya 50.000, Madyaning Madya 25.000, Nistaning Madya 16.000, Utamaning Nista 15.000, Madyaning Nista 8.000, Nistaning Nista 4.000. ini adalah sembilan gambaran umum tentang tingkat Daksina. Dalam bentuk banten Daksina dapat dibagi menjadi lima yaitu :
Daksina Alit untuk upacara sehari-hari. Isinya adalah satu porsi dari masing- masing unsur, banyak sekali dipergunakan, baik sebagai pelengkap banten yang lain, maupun berdiri sendiri sebagai banten tunggal.
Kalau isinya dilipatkan dua kali disebut Daksina pakala-kalaan. Isi daksina dilipatkan dua kali dengan ditambah dua tingkih dan dua pangi. Digunakan pada waktu ada perkawinan dan untuk upacara bayi / membuat peminyak-penyepihan.
Kalau isinya dilipatkan tiga kali disebut Daksina Krepa, Daksina yang isinya dilipatkan tiga kali. Kegunaannya lebih jarang, kecuali ada penebusan oton / menurut petunjuk rohaniwan atau sesuai petunjuk lontar khusus misalnya guna penebusan oton atau mebaya oton.
Kalau empat kali disebut Daksina Gede atau Daksina Pamogpog. Isinya dilipatkan 5 (lima) kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan yang lain yaitu: Dasar tempat daksina sebuah sok yang berisi srobong dan pada dasarnya diberi tetampak taledan bundar.
Kalau isinya dilipatkan lima kali disebut Daksina Galahan, demikian beberapa jenis Daksina dalam bentuk uang dan dalam bentuk Banten. Isinya dilipatkan 5 (lima) kali, juga dilengkapi dengan tetandingan-tetandingan yang lain yaitu:
Dasar tempat daksina sebuah sok yang berisi srobong dan pada dasarnya diberi tetampak taledan bundar.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Penyatuan Siva Sidhanta yang terdapat di dalam daksina adalah penyatuan sekte- sekte yang yang pada umumnya telah terdapat di dalam bahan pembuatan daksina tersebut. Sebenarnya didalam daksina ini telah terjadi penyatuan sekte Siwa sidantha tetapi yang lebih dominan terlihat adalah sekte Brahma kalau kita kaji dari bahan yang digunakan misalnya bahan Kelapa dan telur itu merupakan lambang dari buana agung dan didalam proses suatu penciptaan alam semesta sehingga Dewa Brahma yang lebih berperan didalam hal ini.
BANTEN PERAS
PENGERTIAN PERAS

Kata “Peras” berarti “Sah” atau “Resmi”, dengan demikian penggunaan banten “Peras” bertujuan untuk mengesahkan dan atau meresmikan suatu upacara yang telah diselenggarakan secara lahir bathin. Secara lahiriah, banten Peras telah diwujudkan sebagai sarana dan secara bathiniah dimohonkan pada persembahannya. Disebutkan juga bahwa, banten Peras, dari kata “Peras” nya berkonotasi “Perasaida” artinya “Berhasil”. Dalam pelaksanaan suatu upacara keagamaan, bilamana upakaranya tidak disertai dengan Banten Peras, maka penyelenggaraan upacara itu dikatakan “Tan Paraside”, maksudnya tidak akan berhasil atau tidak resmi/sah. Makna banten peras tersebut adalah sebagai lambang kesuksesan. Artinya dalam banten peras tersebut terkemas nilai-nilai berupa konsep hidup sukses. Konsep hidup sukses itulah yang ditanamkan ke dalam lubuk hati sanubari umat lewat natab banten peras. Dalam banten peras itu sudah terkemas suatu pernyataan dan permohonan untuk hidup sukses serta konsep untuk mencapainya.

Dalam Lontar “Yadnya Prakerti” disebutkan bahwa Peras dinyatakan sebagai lambang Hyang Triguna Sakti demikian juga halnya dalam penyelenggaraan “Pamrelina Banten” disebutkan Peras sebagai “Pamulihing Hati” artinya kembali ke Hati, yaitu suatu bentuk Sugesti bagi pikiran telah berhasil melaksanakan suatu keinginan serta mencapai tujuan yang diharapkan.
PERLENGKAPAN PERAS

Banten Peras terdiri dari beberapa komponen/ bagian berupa Jejahitan / Reringgitan / Tetuasan, antara lain :
Taledan / Tamas / Ceper

Sebagai dasar dari semua bagian jejahitannya, pemakaian taledan sebanyak 2 lembar, yang mana taledan pertama hanya dibingkai/sibeh yaitu dibawah dan atas (arahnya sama). Sedangkan taledan satunya lagi berbingkai (sibeh) keseluruhan sisinya. Makna dari Tamas lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). Ceper/ Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga).
Tampelan, Benang Tukelan dan Uang

Ini berupa dua lembar sirih yang telah diisi pinang dan kapur diletakkan berhadapan lalu dilipat dan dijahit, disebut Tampelan atau Base Tampelan disatukan meletakkannya dengan Benang Tukelan warna putih dan Uang. Makna dari Tampelan ini adalah (poros – pusat) yang merupakan lambang tri murti. Makna dari Benang Tukelan adalah kesucian dan alat pengikat sifat satwam, merupakan lambang bahwa untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan yang benar. Dan Makna dari Uang adalah lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan.
Tumpeng

Dibagian depan dari Base Tampelan, Benang Tukelan dan Uang diletakkan Tumpeng Dua buah (simbol rwa bhineda – baik buruk) lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan) harus disatukan baru bisa berhasil (Prasidha), Tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada Tuhan. Tumpeng terbuat dari nasi yang dibentuk mengkerucut besarnya seukuran kojong terbuat dari janur dan daun pisang. Fungsi dari Tumpeng adalah sebagai suguhan kehadapan Hyang Widhi. Bentuk kerucut yang letak lancipnya di atas adalah melambangkan Tuhan itu Tunggal adanya dan tempatnya tinggi di atas tiada terbatas, yang oleh umat-Nya akan dituju dengan jalan pemusatan pikiran yang suci melalui pengendalian hawa nafsu.
Rerasmen


Rerasmen (lauk pauk) terdiri dari kacang-kacangan yang digoreng, saur, sambal ikan (telur, ayam, teri), terung, kecarum, mentimun dan lainnya disesuaikan dengan Desa Kala Patra. Sebagai alasnya dapat dipergunakan Tangkih / Celemik atau Ceper kacang yang ukurannya lebih kecil dari Ceper canang. Pada suatu daerah dipergunakan sebagai tempat Rerasmen adalah Kojong Rangkada yaitu berupa satu taledan berbentuk segitiga ukurannya agak besar dan didalamnya diletakkan empat buah kojong janur masing-masing dijahit agar tidak terlepas. Memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Mengenai sisi pokok Rerasmen yaitu : Kacang dan Ikan, dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” dijelaskan sebagai berikut :
Kacang nga ; ngamedalang pengrasa tunggal, komak nga; sane kekalih sampun masikian. Artinya : Kacang-kacangan itu menyebabkan perasaan menjadi satu, Kacang Komak yang terbelah dua itupun melambangkan kesatuan.
Ulam nga; iwak nga; ebe nga; rawos sane becik rinengo. Artinya : Ulam itu ikan yang dipakai sebagai Rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
Buah

Dibagian belakang tumpeng dan rerasmen diletakkan buah-buahan seperti mangga, apel, salak atau bisa buah-buahannya disesuaikan dengan keadaan setempat. Dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” disebutkan sebagai berikut :

Sarwa Wija nga; sakalwiring gawe, nga; sane tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan.

Artinya : Segala macam dan jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaitu perbuatan yang tiga macam (Tri Kaya Parisudha), yang menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan.
Jajan

Jajan ada banyak jenis dan macamnya. Penggunaannya juga disesuaikan dengan jenis banten yang akan disajikan. Jajan untuk banten Peras, dipergunakan Jaja Begina, Uli, Dodol, Wajik, Bantal, Satuh dan lainnya. Untuk jajan ini ditegaskan dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” sebagai berikut :

Gina/ bagina nga; wruh, Uli abang putih nga; Iyang apadang nga; patut ning rama rena, Dodol nga; pangan, pangganing citta satya, Wajik nga; rasaning sastra, Bantal nga; pahalaning hana nora, Satuh nga; tempani, tiru, tiruan.

Artinya :

Gina lambang mengetahui, Uli merah/putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru Rupaka, Dodol lambang pikiran menjadi setia, Wajik adalah lambang kesenangan akan belajar sastra, Bantal adalah lambang hasil dari kesungguhan dan tidak kesungguhan hati, Satuh lambang dari patut ditirukan, Satuh sama dengan patuh.
Sampyan Peras

Berupa sampyan khusus yang dipergunakan hanya untuk Peras, disebut juga “Sampyan Metangga”, jenisnya ada 2 macam yaitu : pertama berbentuk kecil dan sederhana yang biasa dipergunakan pada banten sorohan dan kedua bentuknya agak besar yang dipergunakan pada pejati wujudnya bertingkat, karena itulah disebut sampyan metangga. Dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” disebutkan : Sampyan nga; ulahakena, tegesnia pelaksanane, artinya : segala perbuatan. Perlengkapan dari sampyan ini adalah porosan dengan sirih, kapur dan pinang. Dimana porosan secara keseluruhan mencerminkan saktinya Tri Murthi. Buah pinang disebut juga dengan “Sedah Woh” disebutkan dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” sebagai berikut :

Sedah woh nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matutalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” sebagai berikut :

Sedah woh nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih.

Artinya : Sirih dan pinang itu perlambang dari yang membuatnya kesejahteraan dan kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaannya, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan.

Demikianlah adanya arti dan makna daripada beberapa bagian dari banten Peras. Dalam kehidupan keagamaan Peras sebagai sarana persembahan rasa bhakti dan hormat umat manusia kehadapan Hyang Widhi, yang berfungsi sebagai sarana untuk mensahkan dan atau meresmikan dan juga sebagai ungkapan hati untuk memohon kehadapan Hyang Widhi atas keberhasilan suatu tujuan.

Dalam setiap akhir persembahan dari Peras ini, dilakukanlah “Natab Peras” dan dengan menarik beberapa bagian dari tiga lembar janur yang dilipat ujungnya saat menjahitnya dengan posisi dijajarkan dan dijahit pada alas banten Peras.

Adapun mantra Peras adalah sebagai berikut :

Om Suddha bumi suddha akasa

Om Suddha dewa suddha manusa

Om Siddhir astu tad astu

Om Ksama sampurna ya namah swaha

Om Mili mili maha amrtham

Suksma parama siwa ya namah

Om Ung ung Om Ang Ung Mang.

Om Ekawara, Dwiwara, Triwara

Caturwara, Pancawara

Peras prasiddhanta

Parisudha ya namah swaha, Om.
PENGGABUNGAN PERAS DENGAN BANTEN PEJATI
BANTEN PEJATI

Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa-”. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati, yang menegaskan makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh. Jadi, Banten Pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.


Banten Pejati sering juga disebut “Banten Peras Daksina”. Ketika pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah tempat suci, begitu pula jika seseorang memohon jasa Pemangku atau Pedanda, “meluasang” kepada seorang balian/seliran, atau untuk melengkapi upakara, banten pejati sering dibuat. Oleh karena itu, pejati dipandang sebagai banten yang utama, maka di setiap set banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati dapat dihaturkan di mana saja, dan untuk keperluan apa saja.
UNSUR DAN MAKNA FILOSOFI
Adapun unsur-unsur banten pejati serta dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu:
Sarana yang Lain
Daksina terdiri atas:
Daksina, kepada Sanghyang Brahma
Banten Peras, kepada Sanghyang Isvara
Banten Ajuman Rayunan/Sodaan, kepada Sanghyang Mahadeva
Ketupat Kelanan, kepada Sanghyang Visnu
Penyeneng/Tehenan/Pabuat
Pesucian, manusia harus menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani
Segehan alit, lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan
Daun/Plawa; lambang kesejukan.
Bunga; lambang cetusan perasaan
Bija; lambang benih-benih kesucian.
Air; lambang pawitra, amertha
Api; lambang saksi dan pendetanya Yajna.
bakul/serembeng, simbol arda candra
kelapa dengan sambuk maperucut, simbol brahma dan nada
bedogan, simbol swastika
kojong pesel-peselan, simbol ardanareswari
kojong gegantusan, simbul akasa/ pertiwi
telur bebek simbol windu dan satyam
tampelan, simbol trimurti
irisan pisang, simbol dharma
irisan tebu, simbol smara-ratih
benang putih, simbol siwa

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan menyelimuti manusia.
FUNGSI BANTEN PEJATI

Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu
Daksina kepada Sanghyang Brahma
Peras kepada Sanghyang Isvara
Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu
Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva
CARA MEMBUAT

Banten Pejati ini terdiri dari 4 macam tetandingan yaitu :
DAKSINAterdiri dari wakul daksina yang dibuat memakai janur/slepan yang di dalamnya dimasukkan tapak dara beras, dan kelapa yg sudah dihilangkan sabutnya, lalu diatas kelapa diisi 7 kojong yg terbuat dari janur/slepan, yg masing-2 kojong diisi telor itik, base tampelan, irisan pisang tebu, tingkih, pangi, gegantusan, pesel-peselan lalu di atasnya diisi benang putih dan terakhir letakkan canang burat wangi di atasnya.
PERAS: memakai alas taledan lalu di atasnya diisi kulit peras yg diisi beras+ benang+base tampelan, lalu di atas kulit peras diletakkan 2 buah tumpeng nasi putih, raka-raka (jaja dan buah-buahan) selengkapnya, ditambah kojong rangkadan yang terbuat dari janur/slepan yang berisi kacang saur, gerang/terong goreng, garam, bawang goreng, timun, lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan peras.
SODAAN/AJUMAN RAYUNAN: memakai tamas dari janur/slepan yang di dalamnya diisi 2 buah nasi penek, raka-raka secukupnya, ditambah dengan dua buah clemik berisi rerasmen seperti kacang saur, teri, gerang dan lain-lain. Lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan Plaus/sampiyan Soda.
TIPAT KELAN: memakai tamas sama seperti Sodaan, cuma di dalamnya diisi ketupat nasi sebanyak 6 biji, lalu dilengkapi dengan 2 buah clemik yang berisi rerasmen. Di atasnya diisi canang dan sampiyan Plaus/Soda. Utk melengkapi Pejati perlu juga dibuatkan Pesucian yang terbuat dari ceper bungkulan yang di dalamnya dijahitkan 5 buah clemik, yang masing-masing berisi boreh miik, irisan pandan wangi yang dicampur minyak rambut, irisan daun bunga sepatu, sekeping begina metunu, seiris buah jeruk nipis dan 1 buah takir untuk tirta, reringgitan suwah serit dan base tampel. Untuk pelengkapnya juga perlu dibuatkan segehan putih kuning dua tanding bila pejati untuk dibawa ke Pura/Tempat suci.

Untuk melengkapi banten Pejati juga perlu dibuatkan Penyeneng yang dibuat dari 3 potong janur lalu kita bentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai tiga bentuk kojong yang disatukan dan berdiri tegak, di mana masing-masing kojong diisi dengan beras, tepung tawar (beras+daun dapdap+kunir ditumbuk) dan irisan bunga cepaka dan jepun dicampur boreh miik, jagan lupa diisi benang putih.

Mantra Pejati :

Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ Siva sutram yajna pavitram paramam pavitram
Prajapatir yogayusyam
Balam astu teja paranam
Guhyanam triganam trigunatmakam

Oṁ namaste bhagavan Agni
Namaste bhagavan Harih
Namaste bhagavan Isa
Sarva bhaksa utasanam
Tri varna bhagavan Agni Brahma Visnu Mahesvara
Saktikam pastikanca raksananca saiva bhicarukam.

Oṁ Paramasiva Tanggohyam Siva Tattva Parayanah
Sivasya Pranata Nityam Candhisaya Namostute
Oṁ Naividyam Brahma Visnuca
Bhoktam Deva Mahesvaram
Sarva Vyadi Na Labhate
Sarva Karyanta Siddhantam.
Oṁ Jayarte Jaya mapnuyap
Ya Sakti Yasa Apnoti
Siddhi Sakalam Apnuyap
Paramasiva Labhate ya namah svaha
BANTEN AJUMAN

Ajuman disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut “perangkat atau perayun” yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper /ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain.

Yang menjadi unsur-unsur banten Ajuman/Soda:
Alasnya tamas/taledan/cepe; berisi buah, pisang dan kue secukupnya, nasi penek dua buah, rerasmen/lauk-pauk yang dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan plaus/petangas, canang sari. Sarana yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi (ngajum, menghormat, sujud kepada Hyang Widhi)
Nasi penek atau “telompokan” adalah nasi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk bundar dan sedikit pipih, adalah lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar manusia tetap eksis.
Sampyan Plaus/Petangas; dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga berbentuk seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah siap. Kadang sampyan plaus/petengas bisa disebut “sampyan kepet-kepetan”. dan dapat pula dilengkapi dengan canang genten/ canang sari/ canang burat wangi.
beberapa jenis jajan, buah-buahan, lauk pauk berupa serondeng atau sesaur, kacang-kacangan, ikan teri, telor, terung, timun, taoge (kedelai), daun kemangi (kecarum), garam, dan sambal.

Ajuman disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut “perangkat atau perayun” yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper /ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain.

Nama ANJUMAN originalnya berasal dari bahasa Sangsekerta / Hindu. Nama spesial tersebut memiliki definisi dan arti Nama Tempat. Ide menarik dalam memberikan nama bayi dengan nama ANJUMAN lebih pantas untuk bayi / anak berjenis kelamin Laki-Laki
SESAYUT

Pengertian Sesayut

Menurut Wijayananda, dalam bukunya Tetandingan Lan Sorohan Banten (2003: 8) menjelaskan bahwa banten sesayut berasal dari kata “sayut” atau “nyayut” dapat diartikan mempersilakan atau mensthanakan, karena sayut disimbulkan sebagai lingga dari Ista Dewata, sakti dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sedangkan menurut Dunia dalam Kata Pengantar bukunya Nama-Nama Sesayut (2008: vi) menjelaskan bahwa sesayut berasal dari kata “sayut” yang berarti tahan, cegah (Zoetmulder, 1995; 1063). Untuk menahan, mencegah orang agar terhindar dari mala, gangguan yang merusak, kemalangan, atau penyakit maka dibuatkanlah sesaji atau sejajen yang disebut sesayut (Kamus Bali-Indonesia, 1978; 506). Walaupun tidak semua sesayut berbentuk seperti banten. Namun berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Ketut Wiana dalam bukunya Suksmaning Banten (2009; 53) menguraikan bahwa sesayut berasal dari kata “ayu” yang berarti selamat atau rahayu. Kata “ayu” mendapat pengater Dwi Purwa lalu menjadi Sesayu, kemudian mendapat reduplikasi “t” menjadi sesayut yang artinya menuju kerahayuan.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sesayut merupakan sthna dari Ista Dewata untuk memohon kerahayuan agar orang yang melaksanakan yadnya itu terhindar dari mala, gangguan, atau penyakit dan sebagainya. Kulit sesayut bentuknya sama dengan tamas, hanya bedanya di tengah-tengah kulit sesayut terdapat isehan. Ada dua jenis sampian sesayut, yaitu sampian sesayut untuk banten yang menggunakan tamas, dan sesayut yang menggunakan nampan atau ngiu. Sampian sesayut untuk banten tamas hampir sama dengan sampian plaus yang kedua tangkihnya digabungkan, sehingga berbentuk huruf V berjumlah dua buah lalu digabungkan. Sedangkan sesayut yang menggunakan nampan bentuknya bundar dengan menggunakan potongan jejahitan sebanyak 8 buah.
 
CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Adapun beberapa jenis sesayut sebagai berikut :
Sesayut Mertya Dewa

Sesayut ini terdiri dari sebuah kulit sesayut, di atasnya diisi penek dan beras kuning, dialasi dengan takir (terbuat dari daun kelapa), dilengkapi dengan lauk-pauk, jajan, buah-buahan, sampian naga sari, penyeneng dan canang ganten atau canang jenis lainnya.
Sesayut Sida Karya

Seperti yang telah dijelaskan di atas, sesayut digunakan untuk memohon kerahayuan agar terhindar dari mala, gangguan, penyakit, dan sebagainya sehingga pelaksanaan yadnya dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dalam bukunya Majejahitan dan Metanding yang ditulis oleh Raras (2006; 193) memaparkan bahwa Banten Sesayut Sidha Karya ditujukan kehadapan Para Dewa pada saat melaksanakan upacara Yadnya dalam bentuk permohonan agar kegiatan yang dilaksanakan tidak menemui kegagalan. Banten sesayut Sidha Karya ini digunakan dalam upacara Panca Yadnya ataupun dalam bentuk pribadi sifatnya. Ada yang secara pribadi menghaturkan banten ini di Sanggah Kemulan atau di Pura Desa. Ada pula yang digunakan pada saat hari kelahirannya atau otonannya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Jro Mangku Anom (Ketut Agus Nova), salah satu mahasiswa IHDN Kampus Singaraja. Beliau memaparkan bahwa Sesayut Sidha Karya memang digunakan dalam Panca Yadnya seperti misalnya Odalan, Ngenteg Linggih, Mlaspas, Ngaben, Topeng Sida Karya dan lain-lain. Di mana ‘Sidha’ berarti puput, dan ‘karya’ berarti yadnya. Apabila banten ini tidak ada dalam suatu upacarra tersebut, maka dikatakan suatu upacara itu belum dikatakan selesai. Jadi, Banten ini dapat dikatakan sebagai pemuput dalam suatu rangkaian upacara yajna.

Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, dalam bukunya Tataning Tetandingan Banten Sesayut (2006; 3) menyebutkan bahwa Sesayut Sidha Karya ditujukan untuk Bhatara Mahesora dimana untuk peletakan banten ini melihat arah mata angin yaitu arah ‘kelod-kangin’ (tenggara). Hal senada juga diungkapkan oleh Putu Bangli dalam bukunya Warnaning Sesayut Lan Caru (2006; 31) juga menyebutkan bahwa banten Sesayut Sidha Karya ditujukan kehadapan Bhatara Mahesora.

Ini adalah salah satu Cara pembuatan Sesayut Sidha Karya yang terdapat dalam buku Majejahitan dan Metanding yang ditulis oleh Niken Tambang Raras (2006; 194).

Alat dan Bahan:
– Kulit Sesayut
– Segehan bentuk segi empat
– Tumpeng kecil
– 4 buah kwangen
– 2 buah tulung berisi nasi
– Raka-raka (jajan-jajan dan buah-buahan)
– Daun sirih dan pinang
– Sampian Sesayut

Cara Menatanya:

Kulit sesayut diletakkan di atas nampan atau nare, di atasnya diisi segehan segi empat dan ditengah-tengah segehan diisi tumpeng kecil. Di sampingnya ditancapi kwangen 4 buah. Ujung tumpeng ditancapi bunga tunjung. Di sampingnya diisi raka-raka (buah dan jajan) serta dua buah tulung berisi nasi yang dibawahnya dialasi dengan daun sirih dan pinang lalu diatasnya diberi sampian sesayut.
c. Sesayut Sida Purna

Sesayut Sidha Purna dihaturkan oleh seseorang dengan tujuan menentramkan dirinya. Apabila seseorang tiba-tiba diliputi rasa takut dan cemas, was-was yang tidak diketahui penyebabnya, maka sesayut ini dibuat sambil memohon ke hadapan Ida Hyang Widi agar jiwanya ditentramkan agar terhindar dari mala petaka dan bencana.. Banten ini biasanya dihaturkan di Sangah Kemulan lalu ditaruh di atas pelangkiran rumah (Raras, 2006: 196). Banten Sesayut Sidha Purna juga digunakan pada saat pelaksanaan Manusa Yadnya baik itu pada saat otonan, mesangih dan yang lainnya. (Jro Anom).

Cara Pembuatan

Alat dan Bahan:
– Kulit Sesayut
– nasi 3 bulung
– telur itik rebus dibagi 3
– bunga tunjung
– raka-raka (buah dan jajan)
– sampian nagasari

Cara menatanya:

Untuk alasnya bisa digunakan nampan atau nare. Diisi 3 bulung nasi, dipinggirnya diisi telur itik yang dibagi 3. Di atas nasi ditancapi bunga tunjung, disampingnya diisi raka-raka (bunga dan buah) dan terakhir disusun dengan sampian nagasari di atasnya. (Raras, 2006; 196)
d. Sesayut Langgeng Amukti Sakti.

Sesayut ini terdiri dari kulit sesayut yang diisi sebuah penek. Penek tersebut disisipi sebuah kalpika dan muncuk dapdap. Kemudian perlengkapan lainnya sama dengan kelengkapan sesayut lainnya.



Banten-banten yang disebutkan diatas merupakan sarana upakara yang dipergunakan oleh umat umat Hindu di Bali khususnya dalam pelaksanaan upacara panca yadnya. Bnaten-banten tersebut merupakan kristalisasi dari sekte-sekte yang ada Di Bali, yang dilihat sarana yang dipergunakan dalam pembuatan banten tersebut. Seperti pada contoh diatas semua banten menggunakan bahan pokok yaitu porosan yang merupakan penyatuan sekte Siwa, Brahma, dan Wisnu yang dikenal dengan nama Tri Murti. Dalam Daksina juga menggunakan bahan pokok yaitu kelapa yang di bersihkan hingga halus merupakan cerminan atau simbol dari Dewa Brahma. Bentuk-bentuk sesayut yang dipaparkan di atas merupakan cirri-ciri dari Wisnu yang merupakan Dewa yang dipuja oleh Sekte Wainawa. Penggunaan uang kepeng yang di Bali lumbrah disebut “Pis Bolong” dalam berbagai upacara yadnya. Kata “Pis Bolong” secara harfiah berarti uang yang berlubang, mengingat bentuknya di tengah-tengah berlubang. Pada permukaan uang kepeng (pis bolong) terdapat tulisan huruf Cina. Warisan selanjutnya dari sekte ini adalah adanya Pendeta Buddha dalam eksistensi Tri Sadhaka di Bali