Selasa, 30 November 2021

HAK WARIS WANITA DALAM HINDU


Perkembangan kehidupan yang kian maju tidak membuat kedudukan wanita setara dengan pria. Bahkan di Bali, dalam sistem pewarisan, masih ada diskriminasi. Ada pandangan di masyarakat Hindu, khususnya di Bali, yang menganggap anak pria saja yang berhak mewaris. Namun jika diperhatikan lebih jauh pasal-pasal hukum Hindu mengenai warisan, ternyata masih ada ketentuan lain yang memungkinkan anak wanita sebagai pewaris.



Dalam Manawa Dharmasastra IX. 127-139 diuraikan bahwa anak wanita juga berhak sebagai pewaris, yaitu :

a. Jika anak wanita itu diangkat statusnya ke status pria (putrika), anak itu akan berhak sebagai pewaris seperti anak pria. Hal ini terkait dengan upacara sraddha (pitra yajna). Upacara ini secara tradisi dilakukan oleh anak pria, tetapi jika tidak ada anak pria dalam keluarga, perubahan status dari anak wanita ke status pria dianggap perlu dilakukan. Jadi perubahan status ini bukan karena warisan. Demikian juga untuk meneruskan keturunan. Jika keluarga tidak mempunyai keturunan pria sebagai penerus, orang tuanya dapat merubah status anak wanitanya. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi bentuk perkawinannya yaitu patrional menjadi matrional.




b. Anak wanita yang belum kawin harus diberi warisan sebesar seperempat bagian perolehan anak pria. Norma ini diuraikan dalam Manawa Dharmasastra IX. 118, yang pada hakekatnya hal itu dianggap memberikan kedudukan bagi anak wanita untuk memperoleh haknya secara pasti asalkan anak itu belum kawin saat pembagian warisan. Anak wanita yang sudah kawin dianggap "keluar". Sebab itu dia tidak berhak memperoleh perolehan itu, kecuali harta pemberian yang diberikan kepada pewaris, baik sebelum kawin maupun sebagai hadiah perkawinan; atau diperoleh dari saudara-saudaranya.

c. Ibu dan nenek (wanita) bisa menjadi pewaris. Dalam Manawa Dharmasastra IX. 217. yo. 257 disebutkan, wanita sebagai pewaris, yakni ibu sebagai pewaris; jika anaknya meninggal tanpa turunan. Jika Si ibu tidak ada (meninggal) maka harta warisan akan diwarisi neneknya.

Maka dapat dikatakan, ada dua pendapat hukum dalam bidang pewarisan Hindu. Pertama, pendapat bahwa wanita tidak berhak mewaris. Kedua, pendapat anak wanita juga berhak mewaris sebagaimana anak pria lainnya, hanya besaran perolehannya tidak sama. Dalam Manu Smerti, bab IX. 105 di sebutkan kekuasaan diberikan orang tua kepada anak pria tertua sebagai penggantinya. Adik-adiknya harus tunduk pada kakaknya itu sebagaimana mereka tunduk pada orang tuanya ketika masih hidup. Hal itu harus ditafsirkan bahwa kedudukan anak tertua sebagai pengganti orang tua; ia sebagai pemegang kuasa. Dalam hukum adat Bali ini disebut hukum mayorat (kebapaan).


Dalam bab IX. 104 dan 111 diuraikan, untuk kebahagiaan maka harta benda harus dibagi. Kekuasaan dapat diberikan kepada anak pria lainnya yang lebih muda. Jika sifat anak sulung itu meragukan, orang tua berkuasa menentukan kepada siapa yang akan mengurus harta benda tersebut kelak setelah ia meninggal. Dalam hukum Hindu berbagi warisan atau tidak, tergantung atas kemanfaatannya. Jika dengan berbagi itu akan lebih bermanfaat bagi anggota yang berhak, berbagi itu akan lebih baik daripada tidak berbagi. Jadi asas mayorat tidaklah mutlak.

Manu Smerti IX. 139, menguraikan asas parental juga berlaku dalam pembagian waris. Diuraikan, anak cucu dari anak pria maupun cucu dari anak wanita, tidak ada perbedaan, karena cucu dari anak wanita itupun akan menyelamatkan dirinya seperti halnya cucu dari anak pria. Hukum Hindu dalam warisan tidak menganut asas manunggal, melainkan masih memungkinkan berlaku kedua asas kekeluargaan itu.

Tidak semua harta warisan bisa dibagi, sebab dikenal berbagai jenis harta yaitu harta warisan yang tidak boleh dibagi (harta pusaka yang bernilai ekonomi atau tidak seperti tempat suci, benda-benda sakral). Harta warisan yang boleh dibagi adalah harta warisan berwujud dan harta warisan tidak berwujud, yakni semua harta warisan yang dibawa dalam perkawinan. Juga ditegaskan harta bapak yang diwariskan kepada anak pria sedangkan harta ibu diwariskan kepada anak wanita. Terhadap harta bapak yang dibawa ke dalam perkawinan, baik pusaka atau tidak, anak wanita berhak mewarisinya saat ia masih gadis, jika terjadi pembagian waris, walaupun hanya seperempat bagian anak pria. Tetapi jika anak wanita kawin, pembagian itu berdasarkan sukarela.

Perlu dipahami, perkawinan dalam Hindu menempatkan istri sebagai yang tak terpisahkan dari suami. Itu berarti apa yang diwarisi atau dimiliki suami adalah juga hak dan milik istri. Harta waris yang berfungsi sebagai penanggung beban, sepatutnya tidak diberikan pada anak wanita yang kawin (bukan sentana rajeg).

Selama ini sering orang salah menilai kedudukan wanita Bali. Umumnya kedudukan wanita Bali baik yang sudah kawin maupun belum, tidaklah hina dalam kekeluargaan yang bersifat kebapaan.

Foto : Hanya sebagai pemanis.

OM Shanti.




Sabtu, 27 November 2021

Sumber Hukum Hindu Menurut Veda

Hukum Hindu adalah sebuah tata aturan yang membahas aspek kehidupan manusia secara menyeluruh yang menyangkut tata keagamaan, mengatur hak dan kewajiban manusia baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, dan aturan manusia sebagai warga negara ( tata negara).


Hukum Hindu juga berarti perundang–undangan yang merupakan bagian terpenting dari kehidupan beragama dan bermasyarakat, ada kode etik yang harus dihayati dan diamalkan sehingga menjadi kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian pemerintah dapat mempergunakan hukum ini untuk mengatur tata pemerintahan dan pengadilan, dan dapat juga mempergunakannya sebagai hukuman bagi masyarakat yang melanggarnya.



Foto; @ganpatimaaza

Baca: Pengertian dan Perkembangan serta Aliran Hukum Hindu


Sumber Hukum menurut Veda

Dalam sloka II.6 kitab Manawadharmasastra ditegaskan bahwa, yang menjadi sumber hukum umat sedharma “Hindu” berturut-turut sesuai urutan adalah sebagai berikut:


Sruti
Smrti
Sila
Sadacara
Atmanastuti (Pudja dan Sudharta, 2004:31).
P.N. Sen, dan G.C. Sangkar, menyatakan bahwa sumber-sumber hukum Hindu berdasarkan ilmu dan tradisi adalah:


Sruti
Smrti
Sila
Sadacara
Atmanastuti
Nibanda (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 77).
Nibanda adalah nama kelompok buku atau tulisan yang dibuat oleh para ahli pada zaman dahulu yang isinya bersifat pembahasan atau kritik terhadap materi hukum yang terdapat dalam kitab-kitab terdahulu. Sruti sebagai sumber hukum Hindu pertama, sebagaimana kitab Manawadharmasastra II.10 menyatakan bahwa; sesungguhnya Sruti adalah Veda, Smrti itu Dharmasastra, keduanya tidak boleh diragukan apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber dari pada hukum. Selanjutnya mengenai Veda sebagai sumber hukum utama, sebagaimana dinyatakan dalam kitab Manawadharmasastra II.6 bahwa; seluruh Veda sumber utama dari pada hukum, kemudian barulah smrti dan tingkah laku orang-orang baik, kebiasaan dan atmanastuti.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Pengertian Veda sebagai sumber ilmu menyangkut bidang yang sangat luas sehinga Sruti dan Smrti diartikan sebagai Veda dalam tradisi Hindu. Sedangakan ilmu hukum Hindu itu sendiri telah membatasi arti Veda pada kitab Sruti dan Smrti saja. Kitab-kitab yang tergolong Sruti menurut tradisi Hindu adalah : Kitab Mantra, Brahmana dan Aranyaka. Kitab Mantra terdiri dari : Rg Veda, Sama Veda, Yajur Veda dan Atharwa Veda.


Smrti merupakan kitab-kitab teknis yang merupakan kodifikasi berbagai masalah yang terdapat di dalam Sruti. Smrti bersifat pengkhususan yang memuat penjelasan yang bersifat autentik, penafsiran dan penjelasan ini menurut ajaran Hukum Hindu dihimpun dalam satu buku yang disebut Dharmasastra. Dari semua jenis kitab Smrti yang terpenting adalah kitab Dharmasastra, karena kitab inilah yang merupakan kitab Hukum Hindu. Ada beberapa penulis kitab Dharmasastra antara lain:

Dagang Banten Bali


Manu
Apastambha
Baudhayana
Wasistha
Sankha Likhita
Yanjawalkya
Parasara
Dari ketujuh penulis tersebut, Manu yang terbanyak menulis buku dan dianggap sebagai standar dari penulisan Hukum Hindu itu. Secara tradisional Dharmasastra telah dikelompokkan manjadi empat kelompok menurut zamannya masing-masing yaitu:


Zaman Satya Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Manu.
Zaman Treta Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Yajnawalkya.
Zaman Dwapara Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Sankha Likhita.
Zaman Kali Yuga, berlaku Dharmasastra yang ditulis oleh Parasara (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 78).
Sila berarti tingkah laku, susila berarti tingkah laku orang-orang yang baik atau suci. Tingkah laku tersebut meliputi pikiran, perkataan dan perbuatan yang suci. Pada umumnya tingkah laku para maharsi dijadikan standar penilaian yang patut ditauladani. Kaidah-kaidah tingkah laku yang baik tersebut tidak tertulis di dalam Smrti, sehingga sila tidak dapat diartikan sebagai hukum dalam pengertian yang sebenarnya, walaupun nilai-nilainya dijadikan sebagai dasar dalam hukum positif.


Sadacara dipandang sebagai sumber hukum Hindu positif. Dalam bahasa Jawa Kuno Sadacara disebut dåûta yang berarti kebiasaan. Untuk memahami pemikiran hukum Sadacara ini, maka hakikat dasar Sadacara adalah penerimaan Drsta sebagai hukum yang telah ada di tempat mana Hindu itu berkembang. Dengan demikian sifat hukum Hindu adalah fleksibel.


Atmanastuti artinya rasa puas pada diri sendiri. Perasaan ini dijadikan ukuran untuk suatu hukum, karena setiap keputusan atau tingkah laku seseorang mempunyai akibat. Atmanastuti dinilai sangat relatif dan subyektif, oleh karena itu berdasarkan Manawadharmasastra II.109 dan 115 menjelaskan bahwa; bila memutuskan kaidah-kaidah hukum yang masih diragukan kebenarannya, keputusan diserahkan kepada majelis yang terdiri dari para ahli dalam bidang kitab suci dan logika agar keputusan yang dilakukan dapat menjamin rasa keadilan dan kepuasan yang menerimanya.


Nibanda merupakan kitab yang berisi kritikan, gubahan-gubahan baru dengan komentar yang memberikan pandangan tertentu terhadap suatu hal yang telah dibicarakan.


Nibanda dijadikan pedoman dalam memberikan definisi dari suatu hukum atau tingkah laku sosial antar umat beragama Hindu. Istilah lain Nibanda adalah Bhasya yaitu jenis-jenis rontal yang membahas pandangan tertentu yang telah ada sebelumnya, dengan demikian Kuttaramanawa, Manusasana, Putrasasana, Rsisasana dan lain-lain, semuanya termasuk ke dalam kelompok Nibandha.

Referensi

https://www.mutiarahindu.com/2018/09/sumber-hukum-hindu-menurut-veda.html

RELATED:
Bagian-Bagian Dasa Nyama Brata atau Bratha
Tujuan dan Manfaat Ajaran Dasa Nyama Bratha (Brata) dalam Pembentukan Kepribadian dan Budi Pekerti yang Luhur
Contoh Penerapan Dasa Nyama Brata (Bratha) dalam KehidupanNgurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015



Contoh Bentuk Penerapan Ajaran Astangga Yoga Untuk Mencapai Hidup Bahagia Sesuai Ajaran Hindu



Untuk mewujudkan tujuan hidup umat Hindu yakni “moksartham jagadhita ya ca iti dharma” atau mencapai "jagadhita" (kesejahteraan jasmani) atau "moksa" (ketentraman abadi atau kehidupan abadi) (Suhardana, 2010: 65), kitab suci agama Hindu menyediakan berbagai macam jalan. Seperti misalnya menjalankan catur marga yaitu empat jalan untuk mewujudkan kesejahteraan dan Kebahagiaan hidup manusia.



Foto; Istimewa

Adapun bagian-bagian dari catur Marga Yoga yakni karma marga yoga, bhakti marga yoga, jnana marga yoga, dan raja marga yoga. Karma Marga Yoga atau jalan Karma yoga yaitu jalan dengan cara melaksanakan kebaikan (dharma) dengan melaksanakan pekerjaan. Bhakti yoga yaitu jalan dengan cara sujud dan bakti berdasarkan cinta kasih kepada Tuhan. Jnana yoga yaitu jalan dengan cara mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran suci sebagai bentuk bakti kepada Tuhan. Dan Raja yoga yaitu jalan dengan cara melakukan pengedalian diri melalui tapa brata Yoga dan Samadhi (Suhardana, 2010. 31-35).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Terkhusus pada para pengikut Raja Marga Yoga berkewajiban untuk mengimplementasikan ajaran Astangga Yoga guna mewujudkan tujuan hidup manusia dan tujuan agama Hindu. Ada pun ke delapan contoh penerapan ajaran Astangga Yoga untuk mencapai tujuan hidup umat Hindu diantaranya adalah sebagai berikut:


1. Yama



Yama yaitu suatu bentuk pengendalian diri pada tingkatan fisik (jasmani). Dalam tahapan ini tedapat lima bentuk larangan yang harus dilakukan diantaranya, ahimsa (dilarang membunuh), satya (dilarang berbohong), asteya (pantang mengingini sesuatu yang bukan miliknya), brahmacari (tidak melakukan hubungan seksual) dan aparigraha (tidak menerima pemberian dari orang lain). Kelima bagian diatas dikenal juga dengan nama Panca Yama. (Sloka Berkaitan ada di Sarasamuccaya 142 dan 259) (Ngurah Dwaja dan Mudana, 2015: 20).

2. Nyama

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI


Nyama yaitu bentuk pengendalian diri pada tingkatan Rohani. Dalam tahapan ini terdapat lima bentuk yang disebut dengan Panca Nyama. Ada pun bagian-bagian dari Panca Nyama adalah Akrodha (tidak dikuasai kemarahan), Guru Susrusa (taat pada guru), Sauca (suci lahir bathin), Aharalaghawa (mengatur macam dan waktu makan serta tidak berfoya-foya, dan Apramada yaitu taat tanpa ketakaburan mempelajari dan mengamalkan ajaran suci (Kondra, 2015: 67). Kemudian Ngurah Dwaja dan Mudana (2015: 20-21) menjelaskan pengendalian diri pada tingkatan Rohani terdapat empat yakni a). Sauca (tetap suci lahir batin), b). Santosa (selalu puas dengan apa yang datang), c). Swadhyaya (mempelajari kitab-kitab keagamaan) dan Iswara pranidhana (selalu bakti kepada Tuhan). (Sloka berkaitan Sarasamuçcaya, 260)


3. Asana


Asana yaitu sikap-sikap atau posisi duduk dalam ajaran Astangga Yoga seperti misalnya Sila Sana, bajrasana, padmasana dan sukhasana. Asana dalam ajaran yoga bukan hanya pada sikap duduk tetapi juga termaksud gerakan-gerakan tubuh manusia.


4. Pranayama


Pranayama yaitu sikap menarik (puraka), menahan nafas (kumbhaka) dan mengeluarkan nafas (recaka). Proses ini dilakukan dalam posisi asana yang benar seperti sikap sila sana, bajrasana, padmasana dan sukhasana. Sehingga pikiran menjadi tenang dan seimbang.

5. Pratyahara,


Pratyahara yaitu proses pengontrolan dan pengendalian indria dari ikatan objek duniawi, sehingga dapat melihat hal-hal suci (terbebas dari ikatan maya).


6. Dharana,


Dharana yaitu proses penyatuan pikiran dengan sasaran yang diinginkan pada tingkatan rohani.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

7. Dhyana


Dhyana yaitu proses pemusatan pikiran yang lebih tenang. Pada tingkatan ini, Pikiran tidak tergoyahkan kepada suatu objek. Dhyana dapat dilakukan pada Ista Devata.

Dagang Banten Bali


8. Samadhi,

Samadhi yaitu penyatuan sang diri sejati (Atman) dengan Tuhan (Brahman). Tingkatan ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang melakukan latihan yoga dengan teratur dan sungguh-sungguh. (Sloka berkaitan Bhagavadgita, VI.10).


Catur purusartha atau empat tujuan hidup manusia yang utama dalam agama hindu dapat dicapai dengan menjalankan ajaran Astangga Yoga yaitu delapan tahapan Yoga. Sebab dengan yoga seseorang dapat mencapai ketenangan jiwa. Untuk itu, mari kita melatih diri untuk melaksanakan ajaran Astangga Yoga dengan tuntunan seorang guru yang telah memiliki kemampuan dalam hal tersebut.


Catatan:

Moksa yaitu terlepasnya jiwa atau Atman dari ikatan maya (bebas dari pengaruh karma dan punarbhawa/kelahiran kembali) dan akhirnya bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Catur purusartha adalah empat tujuan hidup manusia yang utama terdiri dari; dharma, artha, kama, dan Moksa.


Referensi


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Suhardana, Komang. 2010. Moksa Brahman Atman Aikyam. Surabaya: Paramita.
Kitab Sarasamuccaya.
Kondra, I Nengah. 2015. Kamus Istilah Dalam Agama Hindu. Bandung: -



Rabu, 17 November 2021

Agama Hindu Memuja Arca/Patung?

Jika ada yang bertanya apakah agama Hindu memuja arca atau patung? Katakan TIDAK ! Agama Hindu Memuja Tuhan Melalui Arca (Archanam Sarva Pujanam). Orang-orang yang kurang cerdas, sering menertawakan dan mencela umat Hindu yang memuja Tuhan melalui Arca dan menganggapnya sebagai tahayul bahkan tak jarang diberi label musryik dan menyembah berhala. Padahal kita juga sama-sama tahu bahwa tidak ada satu agama atau keyakinan apapun yang ada didunia ini yang tidak memuja Tuhan melalui simbol; seperti menggunakan arah/kiblat, suara, cahaya, arca, bangunan, gambar, bendera/panji-panji.

Image by: Koleksi Pribadi. Besakih 08 April 2018.
Umat Hindu yang melakukan pemujaan melalui berbagai simbol atau niyasa/pratika termasuk melalui Arca-memiliki keyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Ada juga bersemayam dalam simbol dihadapannya. Bagi umat Hindu arca bukanlah sekedar objek/sarana tambahan, tetapi merupakan bagian dari mekanisme batin dalam bhakti dan keyakinan.
Tentu saja semua puja yang dilakukan dengan gagasan bahwa arca tersebut hanyalah kayu/logam yang tidak bernyawa; benar-benar konyol dan amat membuang waktu. Tetapi bila hal ini dilakukan dengan penuh keyakinan bahwa arca itu hidup penuh kesadaran dan kekuatan, bahwa Tuhan Yang Maha Segalanya, berada dimana-mana (vyapi vyapaka), meresapi segala yang ada (isvara sarva bhutanam) dan mengejawantah dalam tiap keberadaan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak (visva virat svarupa), dan dengan keyakinan bahwa Tuhan merupakan kenyataan batin bagi semuanya berada didalamnya, maka pemujaan arca benar-benar bermanfaat dan membangunkan kesadaran Tuhan.
Seorang “Wamana” selama bertahun-tahun tidak pergi ke tempat ibadat manapun dan ia menertawakan orang-orang yang menganggap arca sebagai simbol Ketuhanan. Ketika putrinya meninggal, pada suatu hari ia memegang fotonya sambil menangisi kehilangan tersebut. Tiba-tiba saja ia tersadarkan bahwa bila foto itu dapat menyebabkan kesedihan padanya dan membawa air mata kerinduan-maka arca itu juga dapat menimbulkan kegembiraan dan membawa air mata bhakti pada mereka yang mengerti keindahan dan kemuliaan Tuhan. Simbol-simbol itu adalah alat untuk mengingatkan bahwa Tuhan hadir dimana-mana dan dalam segala sesuatu.
Dagang Banten Bali

Hindu yang Ajarannya sangat logis dan paling masuk akal, tentu memiliki banyak pijakan atau dasar Sastra, mengapa pemujaan Arca tersebut menjadi sahih. Penjelasan tentang archanam atau tatacara pemujaan arca sangat jelas disebutkan dalam Srimad Bhagavatam seperti yang dinyatakan Uddhava kepada Shri Krshna;
“etad vadanti munayo
muhur niḥśreyasaḿ nṛṇām
nārado bhagavān vyāsa
ācāryo ‘ńgirasaḥ sutaḥ.” | Śrīmad Bhāgavatam 11.27.2:
 Artinya: Semua orang bijak/Rsi -Rsi mulia berulang kali menyatakan bahwa penyembahan  semacam itu (archanam) membawa manfaat terbesar yang mungkin ada dalam kehidupan manusia. Inilah pendapat Nārada Muni, Vyāsadeva yang agung dan guru spiritual saya, Brhaspati (angirasah sutah).
“niḥsṛtaḿ te mukhāmbhojād
yad āha bhagavān ajaḥ
putrebhyo bhṛgu -mukhyebhyo
devyai bhagavān bhavaḥ
etad vai sarva – varṇānām
āśramāṇāḿ ca sammatam
śreyasām uttamaḿ manye
strī – śūdrāṇāḿ ca māna – da.” |Śrīmad Bhāgavatam 11.27.3-4:
Artinya: Wahai Tuhan yang paling murah hati, pernyataan tentang proses penyembahan dalam bentuk arca ini dipancarkan dari bibir teratai Anda. Kemudian disampaikan oleh Brahmā yang hebat kepada putra-putranya yang dipimpin oleh Bhṛgu , Śiva menyampaikannya kepada saktinya, Pārvatī . Tatacara pemujaan seperti ini (archanam) diterima oleh semua lapisan masyarakat/warna dan semua tingkat kehidupan/asrama (sarwa-varnam asramanam). Oleh karena itu, saya menganggap penyembahan kepada Anda dalam bentuk arca menjadi yang paling bermanfaat dari semua praktik spiritual, bahkan untuk wanita dan pelayan.
kemudian dipertegas lagi oleh pernyataan Krishna dalam sloka berikutnya:
“arcāyāḿ sthaṇḍile ‘gnau vā
sūrye vāpsu hṛdi dvijaḥ
dravyeṇa bhakti -yukto ‘rcet
sva – guruḿ mām amāyayā.” | Śrīmad Bhāgavatam 11.27.9
Artinya: Seseorang yang telah didwijati harus menyembah-Ku dengan sepenuh hati, mempersembahkan berbagai perlengkapan persembahan yang sesuai dalam pengabdian penuh kasih kepada bentuk KeilahianKu sebagai arca atau bentuk DiriKu yang muncul di atas tanah, di api, di bawah sinar matahari, di air atau di dalam hati pemuja itu sendiri.
Jadi dengan Simbol atau Pengarcaan umat Hindu bisa menjumpai Tuhan Yang Maha Esa.
Semoga bermanfaat bagi Keluasan pemahaman kita. Dan menguatkan Sraddha-Bhakti kita dijalan Dharma. Manggalamastu.
** Oleh: I Wayan Sudarma (Jero Mangku Danu)

Selasa, 16 November 2021

Cara Memilih Hari Baik Menurut Tradisi di Bali


Cara memilih hari baik menurut tradisi di bali didasarkan pada perhitungan wariga dan dewasa. adapun perhitungannya lumayan rumit, sehingga jarang masyarakat bali yang hafal cara menggunakan wariga dan dewasa tersebut. tapi untunglah, dengan kelihaian seseorang dalam perhitungan wariga dan dewasa beliau menyusun wariga yang dimodifikasi kalender internasional yang kemudian dikenal dengan kalender bali yang sering dipakai masyarakat bali saat ini. orang tersebut adalah (alm.) Bambang Gde Rawi, kelahiran desa cemengon, yang penyusunan kalender tersebut diwariskan kepada keluarga beliau.
dalam setiap bulannya, kalender bali umumnya terdiriatas beberapa bagian penting, diantaranya;

Bagian kepala; yang berisi Nama Bulan dan Tahun (seperti normalnya kalender internasional)
Badannya; berisikan tanggalan (seperti kalender internasional) dan beberapa tanda, diantaranya; Titik merah artinya Bulan Purnama, Titik Hitam artinya Bulan Tilem/Mati; lingkaran merah artinya hari raya besar agama hindu dan tanggal merah untuk hari libur nasional.
Bagian lengan kanan; berisikan daftar istilah wariga berdasarkan tanggal, yang berisikan juga keterangan hari-hari baik melakukan kegiatan/usaha/yadnya.
Bagian lengan kiri; berisikan nama-nama hari
Bagian kaki; berisikan daftar hari raya agama, daftar Odalan/upacara pura-pura besar di bali serta beberapa hari baik lainya.Dengan adanya kalender bali tersebut, orang bali tidak akan susah untuk menentukan hari baik berdasarkan wariga dan dewasa ayu. tetapi apabila ingin mempelajari secara manual, tentu ada rumus baku untuk wariga tersebut. dibawah ini akan diberikan sekilas perhitungannya, dan bila ingin mendalaminya tentu memerlukan materi yang lebih mendalam. dibawah ini hanya kulit luarnya saja, tapi sudah bisa digunakan untuk kegiatan sehari – hari. adapun cara mempelajarinya adalah sebagai berikut;

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

PEDEWASAN,
mula – mulanya dapat dibagi dua bagian antara lain;
Pedewasan Sehari – hari yang hanya berdasarkan perhitungan;

Pawukon (Ingkel, Rangda Tiga, Tanpa Guru, Was Penganten dll)
Tri wara (Pasah untuk memisahkan, Beteng untuk mempertemukan, Kajeng untuk wasiat)
Sapta wara (Soma/senin, Budha/rabu dan Sukra/jumat, yang lainya termasuk kurang baik)
Sanga wara ( yang terbaik adalah Tulus dan Dadi)
Dauh Inti, berlaku pada waktu/jam tertentu saja, dari jam sekian sampai dengan sekian saja.Pedewasan Inti berdasarkan Perhitungan yang terperinci, antara lain; Ayu nulus, Dauh ayu, Ayu badra, Mertha yoga, Mertha masa, Mertha dewa, Mertha danta, Sedana yoga, Subacara, Dewa ngelayang, dengan tidak melupakan hal – hal yang tersebut diatas serta dihubungkan dengan baiknya SASIH dan Penanggal.

Selanjutnya mari kita ikuti perumusan – perumusan berikutnya;

Urip Panca wara; Umanis (5), Pahing (9), Pon (7), Wage (4), Kliwon (8).
Urip Sapta wara; Redite/Minggu (5), Soma/Senin (4), Anggara/Selasa (3), Budha/Rabu (7), Wraspati/Kamis (8), Sukra/Jumat (6), Saniscara/Sabtu (9).
Bilangan Sapta wara; Redite (0), Soma (1), Anggara (2), Budha (3), Wraspati (4), Sukra (5), Saniscara (6).
Bilangan Wuku; Sita (1), landep (2), ukir (3), kilantir (4), taulu (5), gumbreg (6), wariga (7), warigadean (8), julungwangi (9), sungsang (10), dunggulan (11), kuningan (12), langkir (13), medangsia (14), pujut (15), Pahang (16), krulut (17), merakih (18), tambir (19), medangkungan (20), matal (21), uye (22), menial (23), prangbakat (24), bala (25), ugu (26), wayang (27), klawu (28), dukut (29) dan watugunung (30).RUMUS PERHITUNGAN WARIGA



Ingkel (pantangan) mulai dari Redite/Minggu dan berakhir pada Saniscara/Sabtu (7 hari).
bilangan wuku dibagi 6, sisa;

= Wong / yang berhubungan dengan Manusia.
= Sato / yang berhubungan dengan Hewan.
= Mina / yang berhubungan dengan Ikan.
= Manuk / yang berhubungan dengan Burung/Unggas.
= Taru / yang berhubungan dengan Tumbuhan Berkayu.
= Buku / yang berhubungan dengan Tumbuhan Berbuku.

Eka Wara ; Urip Pancawara + Urip Saptawara = Ganjil = Luang (tunggal/padat)

Dwi Wara ; Urip Pancawara + Urip Saptawara =

Genap = menga (terbuka).
Ganjil = pepet (tertutup)

Tri Wara ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 3 = sisa

= Pasah (ditujukan kepada Dewa)
= Beteng (ditujukan kepada Dewa)
= Kajeng (ditujukan kepada Bhuta)

Catur Wara ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 4 = sisa

= Sri (makmur)
= Laba (pemberian/imbalan)
= Jaya (unggul)
= Menala (sekitar daerah)

dari Redite Sinta sampai dengan Redite Dunggulan + 2, Soma Dunggulan + 1, sebelum dibagi. ini disebabkan adanya Jaya Tiga pada Wuku Dunggulan berturut – turut dari redite, selanjutnya rumus berlaku seperti biasa.

Panca Wara ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 5 = sisa

= Umanis (penggerak)
= Paing (pencipta)
= Pon (penguasa)
= Wage (pemelihara)
= Kliwon (pemusnah/pelebur)

Sad Wara ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 6 = sisa

= Tungleh (tak kekal)
= Ariang (kurus)
= Urukung (punah)
= Paniron (gemuk)
= Was (kuat)
= Maulu (membiak)

jejepan ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 6 = sisa

= Mina (ikan)
= Taru (kayu)
= Sato (hewan)
= Patra (tumbuhan merambat/menjalar)
= Wong (manusia)
= Paksi (burung/unggas)

Astha Wara ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 8 = sisa

BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali = Sri (makmur)
= Indra (indah)
= Guru (tuntunan)
= Yama (adil)
= Ludra (peleburan)
= Brahma (pencipta)
= Kala (nilai)
= Uma (pemelihara)

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

dari Redite Sinta sampai Redite Dunggulan + 2, Soma Dunggulan +1, sebelum dibagi. selanjutnya rumus berlaku sebagai biasa.

Sanga Wara ; (Bilangan WUKU x 7 + bilangan Saptawara yang dicari) : 9 = sisa

= Dangu (antara terang dan gelap)
= Jangur (antara jadi dan batal)
= Gigis (sederhana)
= Nohan (gembira)
= Ogan (bingung)
= Erangan (dendam)
= Urungan (batal)
= Tulus (langsung)
= Dadi (jadi)

dari Redite Sinta sampai Redite Dunggulan + 2, Soma Dunggulan +1, sebelum dibagi. selanjutnya rumus berlaku sebagai biasa.

Dasa Wara ; (urip Pancawara + Urip Saptawara yang dicari + 1) : 10 = sisa

= Pandita (bijaksana)
= Pati (dinamis)
= Suka (periang)
= Duka (jiwa seni / mudah tersinggung)
= Sri (kewanitaan)
= Manuh (taat / menurut)
= Manusa (sosial)
= Eraja (kepemimpinan)
= Dewa (berbudi luhur)
= Raksasa (keras)

Dasawara berarti watak agung (karakter)

Watek Madia ; (urip Pancawara + Urip Saptawara yang dicari) : 5 = sisa

= Gajah (besar) - hewan
= Watu (kebal) - keras
= Bhuta (tak nampak) - jerat
= Suku (berkaki) - meja
= Wong (orang) – pembantu

Watek Alit ; (urip Pancawara + Urip Saptawara yang dicari) : 4 = sisa

= Uler (beranak banyak)
= Gajah (besar)
= Lembu (kuat)
= Lintah (kurus)

Dagang Banten Bali


Tanpa Guru ; dalam satu WUKU tidak terdapat GURU (Astha Wara), yang artinya tidak baik untuk memulai suatu usaha terutama mulai belajar.

Was Penganten ; dalam satu WUKU terdapat dua WAS (Sad Wara), baik untuk membuat benda tajam, tembok, pagar dan membuat pertemuan.

Semut Sadulur ; Urip Pancawara + Urip Sapthawara = 13 dan berturut – turut tiga kali, pantangan untuk atiwa – tiwa (menguburkan mayat). tetapai sangat baik untuk membentuk organisasi.

Kala Gotongan ; Urip Pancawara + Urip Sapthawara = 14 dan berturut – turut tiga kali, pantangan untuk atiwa – tiwa (menguburkan mayat). tetapai sangat baik untuk memulai suatu usaha.

Mitra satruning Dina (segala usaha/acara penting)
(Urip Saptawara + Pancawara Kelahiran) + (Urip Saptawara + Pancawara memulai Usaha/acara) = sisa
= Guru (tertuntun)
= Ratu (dikuasai)
= Lara (terhalang)
= Pati (batal)

Sumber : cakepane.blogspot.com