Rabu, 27 September 2023

Tata Cara Malukat yang Benar Menurut Reg Veda

 






MELUKAT: Warga Malukat mencari sumber air yang diyakini punya tuah untuk membersihkan secara sekala dan niskala. (I PUTU MARDIKA BALI EXPRESS)





BALI EXPRESS, DENPASAR - Dewasa ini banyak orang berduyun - duyun datang ke sumber mata air atau pun griya untuk Malukat. Agar tak tergerus tren, ada tata cara Malukat sederhana yang benar.




Banyak alasan yang mendorong orang untuk Malukat di sumber mata air yang diyakini punya tuah khusus, diantaranya karena sakit berkepanjangan, sakit akibat ilmu hitam ataupun untuk dimudahkan jodohnya. Dan, tak sedikit mereka datang berbekal niat dan keyakinan. Agar lebih klop, sebaiknya dipahami bagaimana tata cara membersihkan diri skala niskala ini.


Menurut Ida Sri Bhagawan Narendra Acharya Daksa Manuaba, Malukat berasal dari kata Sulukat, Su berarti baik, dan Lukat berarti penyucian. Melukat biasanya dilakukan di sumber mata air, tempat suci ataupun di sebuah griya.


Dijelaskannya, dalam Reg Veda II. 35.3 disebutkan, Tamu sucim sucayo didivansam, Apam napatam parithasthur apah. Yang berarti bahwa air suci murni yang mengalir, baik dari mata air maupun dari laut mempunyai kekuatan yang menyucikan.


Sulinggih yang juga dosen Institute Hindu Dharma Indonesia (IHDN) Denpasar, mengatakan Malukat merupakan suatu kegiatan spiritual yang berfungsi sebagai ritual penyucian serta pembersihan jiwa dan pikiran.


"Pembersihan tak hanya dilakukan secara skala (fisik), namun juga dilakukan secara niskala. Malukat itu kan berasal dari kata Selukat yang berarti penyucian. Nah, yang disucikan adalah pikiran, tubuh juga jiwanya, baik secara skala maupun niskala,” ujarnya kepada Bali Express (Jawa Pos Group), pekan kemarin.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Selain itu, ia juga menambahkan, Melukat juga merupakan upaya penyeimbangan antara Bhuana Alit (tubuh manusia) dan Bhuana Agung (Alam Semesta). “ Energi Bhuana Alit harus diseimbangkan dengan Bhuana Agung. Karena energi yang terbesar dan selalu positif adalah energi alam. Energi yang ada pada Bhuana Alit (tubuh manusia) biasanya dipengaruhi banyak hal, makanya berubah menjadi negatif. Perubahan energi itulah yang membuat kita kadang merasa gelisah, uring – uringan, bahkan mengidap sakit tahunan,” papar Ida Sri Bhagawan Narendra Acharya Daksa Manuaba.


Dalam prosesi Panglukatan, tempat melukat dianggap penting. Sesuai yang dipaparkan dalam Reg Veda, ada tiga kategori tempat Panglukatan yang dikatakan baik, yaitu tempat Panglukatan yang memiliki mata air sekaligus disucikan seperti Patirtaan, Beji, Campuhan, dan Laut, yang memiliki vibrasi positif.
Panglukatan umumnya menggunakan prasarana seperti Nyuh Gading, Pajati, Prayascita dan Rayuan. “Semuanya tergantung tempat yang didatangi untuk Malukat. Jika mereka datang Malukat di Beji atau Campuhan misalnya, tidak harus menggunakan Nyuh Gading. Namun, jika mereka Malukat di griya atau pura yang tidak memiliki Beji, semestinya membawa nyuh gading sebagai sarana pembersihan,” ujar sulinggih yang berpakaian serba orange ini.


Diakuinya Malukat secara rutin memang penting. “Malukat itu sangat penting, apalagi bagi mereka yang terlahir khusus, seperti Mamelik. Karena Malukat tak hanya tubuh yang dibersihkan, jiwa, pikiran juga dibersihkan,” paparnya.


Ditekankannya, Malukat sesungguhnya tidak mengenal hari baik. Tergantung kesiapan diri dalam melakukan pembersihan. “Sebenarnya kapan pun baik melakukan Panlukatan. Tak harus ketika rahinan Purnama ataupun Tilem, yang terpenting adalah kesiapan yang Malukat. Jika pikiran dan batin kita tak siap, ya sama saja bohong. Meskipun Malukatnya pada saat hari terbaik dalam setahun sekalipun,” paparnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Tatacara yang benar Malukat diawali dengan menghaturkan Pajati ataupun banten yang dibawa. “Ada baiknya Malukat harus dipimpin oleh pemangku ataupun sulinggih jika melukat di griya. Pemangku akan menyampaikan tujuan pamedek yang datang Malukat. Sebab, setiap orang yang datang memiliki tujuan yang berbeda. Ada yang bertujuan untuk kesembuhan, ada pula yang ingin enteng jodoh,” paparnya.


Setelah menghaturkan banten, lanjutnya, sebaiknya pamedek segera bersiap untuk melakukan panglukatan, yakni mandi di bawah mata air langsung atau diguyur menggunakan Nyuh Gading. “Kalau di griya biasanya akan dipimpin seorang sulinggih.


Berbeda jika Malukatnya di Beji atau tempat Patirtaan, pamedek dituntut lebih mandiri. Jadi bisa langsung mandi,” ujarnya.


Sebelum mandi, Ida Rsi menyarankan yang Malukat mengucapkan mantra atau memohon doa. “Di dalam Reg Veda disebutkan ada sebuah mantra khusus Panglukatan. Tapi jika tidak memungkinkan atau tidak hafal, ucapkan Mantram Gayatri saja sudah cukup,” jelasnya.


Dalam Reg Veda X. 17.10 dijelaskan sebuah mantram yang digunakan sebelum melakukan Panglukatan yaitu: Apo asman matarah Sundhayantu, Ghrtena no Ghrtapvah punantu, Visvam hi ripram pravahanti devir, Ud id abhyah sucir a puta emi. Yang berarti, semoga air suci yang merupakan berkah dari alam semesta ini, menyucikan diri serta pikiran kami, agar kami bercahaya dan gemerlap. Semoga air suci ini melenyapkan segala kekotoran. Kami akan bangkit dari kegelapan (kotor) dan memperoleh kesucian.
Setelah usai mandi dan membersihkan tubuh, pamedek disarankan untuk mengganti pakaian dengan pakaian yang bersih. “Setelah Malukat, selalu diakhiri dengan persembahyangan. Namun, pamedek wajib mengganti pakaiannya dengan yang lebih bersih. Pasalnya, setelah Malukat diibaratkkan kita telah bersih, dan harus diikuti dengan pakaian yang bersih pula.



"Dalam Veda, Malukat sebaiknya dilakukan tanpa busana. Dalam Reg Veda disebutkan, air suci yang mengalir langsung sebaiknya mengenai seluruh bagian tubuh. Tak hanya mengenai bagian tubuh yang terlihat seperti kepala, atau lengan dan kaki saja. Di beberapa pura sudah menerapkan isi Veda tersebut. Namun, di beberapa tempat masih merasa hal tersebut sangat tabu,” paparnya.


Dalam Reg Veda I. 23. 23 menyebutkan, Apo Adyanv acarisam rasena sam agasmahi, payasvan agna a gahi sam prayaya sam ayusa. “Jadi, sangat penting dalam proses Panglukatan ini seluruh badan, termasuk badan yang tersembunyi harus terkena air suci tersebut," ulasnya. Mengenai teknis, lanjutnya, pamedek bisa saja giliran malukatnya atau diatur oleh pengelola tempat Malukat.



(bx/tya/yes/JPR)

MENGENAL TARI BARIS POLENG / TEKOK JAGO

 






Tari ini sangat jarang di jumpai sampai saat ini. tari ini biasanya di jumpai di desa darmasaba badung dan tangguntiti denpasar.
Tari ini biasanya di pakai sebagai upacara tertentu seperti manusa yadnya dan pitra yadnya.
Tari baris ini biasanya di tarikan berkelompok dan di iringi gambelan khas baris ketekok jago atau baris poleng.
Bicara tentang tarian dan fingsinya sekarang kita akan bahas sejarah tari baris poleng atau tari baris ketekok jago ini.
SEJARAH :Literatur tertua yang mengungkap tentang Baris adalah Lontar Usana Bali yang menyatakan : setelah Mayadanawa dapat dikalahkan maka diputuskan mendirikan empat buah kahyangan di Kedisan , Tihingan, Manukraya dan Kaduhuran.
Begitu kahyangan berdiri megah, upacara dan keramaian pun diadakan dimana para Widyadari menari Rejang, Widyadara menari Baris dan Gandarwa menjadi penabuh.
Legenda Mayadanawa tersebut terjadi pada saat Bali di perintah Raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa sebagai raja keempat dari Dinasti Warmadewa yang memerintah dari tahun 962 hingga 975.


Dengan demikian dapat disimak bahwa pada abad X sudah ada Tari Baris, namun bentuknya apakah sama dengan Baris upacara yang ada sekarang, memerlukan perenungan lebih mendalam.
Fungsi :Untuk kepentingan upacara Pitra Yadnya dan bahkan juga untuk upacara Dewa Yadnya.Sebagian besar masyarakat menanggap tarian ini menjadi pengiring jenazah ke alam nirwana.
Sementara tarian sakral itu lebih menonjolkan makna yang tersirat ketika para penari melakoninya.Para penari pun tak sembarangan menggerakkan tangan dan kakinya.
Struktur Pertunjukan :Pelaku/Penari Jumlah penari seluruhnya 20 (dua puluh) orang,semuanya laki-laki. Seperti halnya, di tempat lain, maka dari sejumlah penari tersebut dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yakni: sebagian menjadi angsa dan sebagiar besar lainnya menjadi burung gagak.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Nama “Tekok Jago ” berasal dari peran yang dibawakan oleh penari yang merupakan jenis burung dan unggas.Tata Busana ,Busana atau kostum yang dipergunakan pada waktu menari terdiri dari ,Gelungan Celana panjang warna putih tetapi pada bagian bawahnya ada strip strip hitam putih (poleng).
Baju lengan panjang pada badan warna hitam putih kotak-kotak, lengan berwarna lurik (putih, kuning, hijau, dan hitam).Kain Putih Saput, warna hitam putih (poleng) Badong; hiasan leher Iringan Tari Baris Tekok Jago menggunakan instrumen, kecuali gambelan terompong.
Adapun jenis jenis gambelan/instrumen yang dipakai adalah :Kendang 2 (dua) buahSuling ,Cengceng Giying / pengugalPemade 4 (empat) buah Kantil 4 (empat) buah Jublag 2 (dua) buah Kajar Kenong Reong Jegogan 2 (dua) buah Kempur dan gong Sedangkan lagu-lagu yang dipergunakan adalah :Lagu Omang, Lagu Barong, Lagu Kale, Lagu Pengeset Jauh luh.

PAHAM KETUHANAN DALAM AGAMA HINDU

 


DEWA BUKANLAH TUHAN
Sampai sekarang paham Ketuhanan dalam agama Hindu masih belum dimengerti benar. Telah lama agama Hindu menjadi bulan-bulanan sebagai agama polytheis. Agama Hindu sebagaimana halnya dengan agama lainnya, adalah agama yang monotheis. Kadang-kadang tampak kepada kita bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Hindu pun menunjukkan ajaran yang monistis.
Sangat disayangkan hal-hal yang dimaksud itu disalah mengertikannya dan karena itu telah mengakibatkan tumbuhnya pengertian yang salah dan pemahaman yang keliru, dengan menganggap agama Hindu sebagai agama yang polytheis.
Menurut agama Hindu, Tuhan adalah "Esa", Maha Kuasa dan Maha Ada dan menjadi sumber dari segala yang ada dan tiada. Dewa-dewa adalah ciptaan-Nya.
Dewa berasal dari bahasa Sanskerta, urat kata "DIV" yang berarti sinar cahaya (sinar suci Tuhan). Sampai sekarang masih banyak yang salah mengartikannya dan beranggapan Dewa adalah Tuhan. Ajaran filsafat ketuhanan dalam agama Hindu hendaknya jangan mempersamakan kedua pengertian itu karena di dalam filsafat (Darsana), jangankan Dewa-dewa, semua ini tentu adalah Brahman (Tuhan), ini adalah konsepsi ajaran monitis di dalam agama Hindu.
Segala yang diciptakan ini bukan Tuhan. Dewa-dewa diciptakan sebagaimana alam semesta ini, untuk mengendalikan alam semesta itu. Dewa bukanlah Tuhan.
Dewa-dewa dihubungkan untuk satu aspek tertentu dan khusus dari phenomena alam semesta ini. Tiap aspek dikuasai oleh satu Dewa atau lebih dengan ciri-ciri atau lambang-lambang yang khusus pula.
Perbedaan Dewa dengan Brahman (Tuhan). Selama ini banyak orang sulit membedakan antara Dewa dengan Tuhan. Dewa keberadaannya dialam material, Dewa ditugaskan oleh Tuhan sebagai administrator alam material. Mengatur segala sesuatu dialam material. Alam Tuhan kekal, tidak pernah pralaya, sedangkan alam Dewa pralaya secara periodik. Tuhan pengendali alam rohani dan material, Dewa administrator alam material, Dewa tidak dapat memberi pembebasan, Tuhan dapat memberikan pembebasan. Tuhan adalah yang Maha Kuasa, Pengendali Tertinggi, sebab dari segalanya, tidak ada awal tidak ada akhir, bentuk yang kekal, penuh pengetahuan dan kebahagiaan. Memang masih banyak yang masih tidak paham perbedaan Dewa dengan Tuhan.

Tiap Dewa mempunyai "Sakti" yang tidak terpisah dari padanya sebagaimana halnya antara suami dengan istri. Sakti inilah yang diwujudkan dalam bentuk Dewi, dianggap sebagai istri Dewa. Hubungan antara Dewa saktinya banyak merupakan pokok dalam agama Hindu dan karena itu janganlah cepat menyimpulkan bahwa kepercayaan tentang ke-Tuhanan dalam agama adalah berkisar pada kepercayaan pada dewa-dewa dan dewi-dewi saja.
Tuhan menurut Hindu itu tidak laki maupun tidak perempuan dan juga tidak banci. Kita tidak bisa mengukur Tuhan yang bersifat tidak terbatas dengan ukuran-ukuran yang terbatas. Laki, perempuan dan banci itu hanya ukuran makhluk nyata dan terbatas. Ukuran itu hanyalah untuk membantu manusia dalam memahami sesuatu yang abstrak dan tak terbatas. Sebenarnya kekuatan hakikih Tuhan itu adalah purusa dan prakerti. Maka Tuhan juga dikatakan sebagai Ardhanareswari.
Sifat-sifat dan karakter Tuhan itu sangat banyak. Kalau dalam kenyataan bahwa kisah Dewa dalam Hindu ada laki atau perempuan itu hanyalah metode awam untuk menjelaskan sesuatu yang abstrak dan tak terbatas. Malah dalam Upanisad dikatakan bahwa Tuhan itu Neti-neti yang artinya bukan ini dan bukan itu. Atau Tuhan itu jauh tetapi juga dekat. Tuhan itu memenuhi segala ruang. Beliau bersifat Wyapi Wyapaka, meresapi segala. Tidak ada suatu tempatpun yang Beliau tiada tempati. Beliau berada di sini dan berada di sana. Tuhan itu ada di mana-mana.

Tuhan yang di dalam agama Hindu merupakan Acintya (tak terpikirkan oleh akal manusia) melalui Nyasa (simbolisme) wujud-Nya dapat dihayalkan menurut fantasi manusia. Melalui Nyasa inilah idealisasi untuk tidak terhayalkan. Sifat rahasia karena esensi-Nya diluar kemampuan pikir manusia ia tersembunyi dalam kabut rahasia pengetahuan manusia. Sifat-sifat rahasia itu dipikirkan ke dalam bentuk Nyasa dengan cara-cara simbolis yang disebut Maya Sakti.
Mencapai yang tak terpikirkan sangat sulit bagi kita yang terbatas ini. Sedangkan wujud-Nya tak tergambarkan, karena pikiran tak mampu mencapai-Nya dan kata-kata tak dapat menerangkan-Nya. Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata-kata hanyalah produk pikiran hingga tak dapat digunakan untuk menggambarkan kebenaran-Nya. Karena Tuhan sifatnya Acintya (tak terpikirkan dan tak berwujud). Sehingga kita membutuhkan simbol dan makna dari fungsi Tuhan itu sendiri untuk memudahkan pemahaman.
Tuhan Yang Maha Kuasa juga disebut " Hana Tan Hana" yaitu wujud yang ada tetapi tidak ada. Karena kita tidak mampu melihat wujud Tuhan. Namun sebenarnya Tuhan itu ada. Beliau disebut Sang Hyang Acintya artinya Tuhan tak dapat dibayangkan oleh manusia.
Tuhan itu tidak nampak oleh mata, namun dirasakan, diyakini ada, seperti nafas di dalam tubuh kita sendiri. Ia ada namun, bagaimana rupanya?


Sampai saat ini belum ada wujud patung dari Tuhan atau Brahman atau Sang Hyang Widhi, karena Beliau sifatnya Acintya (tak terpikirkan dan tak berwujud) yang ada adalah patung dari sinar suci Brahman (Tuhan) yang disebut dengan Dewa.
Patung Dewa-dewi itu menandakan bahwa fungsi Tuhan yang disebut Dewa berasal dari kata "DIV" yang artinya sinar. Sinar inilah yang digambarkan sesuai dengan fungsi Beliau.
Tuhan (Parama Siwa, Sang Hyang Widhi, Sang Sangkan Paraning Dumadi, Sang Hyang Titah, Sang Hyang Licin, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Acintya, dan sebutan lain) dipuja dalam manifestasi-manisfestasi tertentu sesuai dengan keinginan pemujanya (bhakta). Dewa-dewa yang dipuja dan ingin dihadirkan saat pemujaan tersebut disebut Ista Dewata. Banyaknya sebutan bukanlah cermin politheisme. Seperti halnya seseorang mempunyai sebutan lebih dari satu, misalnya sebutan di rumah, di kantor, di masyarakat, nama kecil, nama samaran, dan sebagainya bukanlah berarti orangnya banyak, melainkan hanya satu.
Bagi seorang yang masih sederhana jalan pikirannya tidaklah mungkin dengan mudah dapat mengenal-Nya. Lain halnya dengan menambahkan, tetapi namanya apa? Setiap orang akan memberi nama dan gelar kepada-Nya dengan nama-nama pilihan secara subyektif.
Mulai dari saat manusia menginginkan dan menghayalkan-Nya Ia diberi nama menurut pikiran manusia.
Yatrakama Wasayitwa adalah nama sifat Tuhan Yang Maha Kuasa itu juga. Yatrakama Wasayitwa artinya kehendak dan sifat kemahakuasaannya itu tidak dapat dihitung banyaknya. Pendeknya sifat dan kodratnya sangat banyak sehingga manusia tidak dapat menyebutkan satu persatu.
Dari uraian diatas jelas bahwa sifat Tuhan itu banyak. Tuhan Yang Maha Esa dengan sifat yang amat banyak. Manusia memberi nama sifat-sifat itu menurut pengertian manusia. Para Maha Rsi yang mula-mula memberi nama sifat-sifat itu. Nama-nama itu diberikan oleh para Maha Rsi pada zaman dahulu. Sejak Wahyu diturunkan. Waktu wahyu diturunkan manusia tidak dapat memberi nama kepada-Nya. Baru kemudian saja para Maha Rsi memberi nama kepada Tuhan yang tak bernama.
Kalau kita menamakan Tuhan itu warnanya merah tidak berarti Tuhan tidak mempunyai warna lain. Ia juga mempunyai warna yang putih. Ia juga mempunyai warna jingga. Ia juga mempunyai warna hijau. Semua warna ada padanya. Begitulah akhirnya Ia memiliki banyak nama. Apakah dengan nama yang banyak berarti Tuhan itu banyak? Tentu tidak bukan. Ia tetap Esa. Yang Maha Tunggal.
Sistem pemberian banyak nama kepada Tuhan sesuai peranan-Nya, dalam agama Hindu disebut "Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti" artinya "Tuhan itu satu tetapi para bijak menyebut-Nya dengan banyak nama".
Demikian Para Rsi menamakan Tuhan itu. Para Rsi itu disebut Vipra. Orang yang arif bijaksana. Orang yang ahli dan pandai.

Kanda Pat - Saudara Kandung Manusia






Kanda pat yang merupakan saudara yang akan menemani manusia sejak lahir hingga meninggal nanti.

Kanda Pat adalah Empat Teman: Kanda = teman, Pat = empat, yaitu kekuatan-kekuatan Hyang Widhi yang selalu menyertai roh (Atman) manusia sejak embrio sampai meninggal dunia mencapai Nirwana.


Menurut Kitab Suci Lontar Tutur Panus Karma, nama-nama Kanda Pat berubah-ubah menurut keadaan/ usia manusia:

Kanda Pat Rare;
Embrio; Karen, Bra, Angdian, Lembana.
Kandungan 20 hari; Anta, Prata, Kala, Dengen.
Kandungan 40 minggu; Ari-ari, Lamas, Getih, Yeh-nyom.
Lahir, tali pusar putus; Mekair, Salabir, Mokair, Selair.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Kanda Pat Butha;
Bayi bisa bersuara; Anggapati, Prajapati, Banaspati, Banaspatiraja.


Kanda Pat Sari;
14 tahun; Sidasakti, Sidarasa, Maskuina, Ajiputrapetak.
Bercucu; Podgala, Kroda, Sari, Yasren.


Kanda Pat Atma;
Meninggal dunia; Suratman, Jogormanik, Mahakala, Dorakala.

Kanda Pat Dewa;
Manunggal (Moksa); Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa, Suniasiwa.

Bentuk-bentuk kandapat yang dapat dilihat dan diraba secara nyata adalah ari-ari, lamas, getih dan yeh-nyom. Setelah mereka dikuburkan (segera setelah bayi lahir) maka perubahan selanjutnya adalah abstrak (tak berwujud) namun dapat dirasakan oleh manusia yang kekuatan bathinnya terpelihara.


Bagan di atas dapat juga dibaca terbalik dengan pengertian sebagai berikut:
Hyang Widhi mewujudkan diri menjadi empat manifestasi, kemudian keempatnya itu yaitu:

Hyang Siwa selanjutnya mewujudkan dirinya menjadi ari-ari
Hyang Sadasiwa mewujudkan diri sebagai lamas
Hyang Paramasiwa mewujudkan diri menjadi getih, dan
Hyang Suniasiwa mewujudkan diri menjadi Yeh-nyom.
Keempat teman yang abstrak ini menyertai terus sampai manusia mati dan rohnya menghadap ke Hyang Widhi. Mereka juga menjaga dan melindungi roh, serta mencatat sejauh mana atman (roh) terpengaruh oleh indria keduniawian. Semua pengalaman hidup di record oleh Sang Suratman yang dahulu berbentuk ari-ari. Inilah catatan subha dan asubha karma yang menjadi penilaian dan pertimbangan kesucian roh untuk menentukan tercapainya moksa (bersatunya atman-brahman) ataukah samsara (menjelma kembali). Kandapat ada dalam diri/ tubuh manusia, namun ketika tidur, kandapat keluar dari tubuh. Maka mereka perlu dibuatkan pelinggih berupa "pelangkiran" di kamar tidur, tempat bersemayamnya kanda pat ketika kita tidur pulas.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Demikian sekilas kanda Pat - Saudara Kandung Manusia, semoga bermanfaat.

Sumber : cakepane.blogspot.com


Caru Dalam Pembuatan Bangunan Suci (Kahyangan Tiga, Padma, Meru)

  



Om Swastyastu,

Ampura semeton Hindu, sebagaimana dikutip dari Buku Caru dalam Upacara di Bali,...disebutkan bahwa uraian mengenai upacara ini tidaklah begitu banyak bedanya dengan Keputusan Maha Sabha Parisada Hindu Dharma ke II di Denpasar Tahun 1968. Pemakaiannya dapatlah kiranya disesuaikan dengan keadaan.
Untuk pembuatan suatu bangunan suci diperlukan upakara-upakara dan alat-alat sebagai berikut:
2.1. Caru pengeruak”, yaitu “Caru ayam brumbun” lengkap dengan runtutannya dan uripnya adalah 33, serta letaknya “amancadesa” (di timur 5 “tanding”). di Selatan 9 “tanding” di Barat 7 “tanding”, di Utara 4 “tanding”, di Tengah 8 “tanding” beralas sengkwi bersayap sedangkan segehan-agung, kawisan, kulitnya dan lain-lainnya ditaruh di tengah.
a. Byakala” (“byakaon”) “durmangala” dan “prayascita” masing-masing satu buah.
b. Sebuah “segehan-agung” lengkap dengan “penyambleh.
c. Tanten Pemakuhan yang terdiri dari “peras penyeneng”, “ajuman” putih kuning ikannya ayam “betutu”, “maukem-ukem” (di belah dari punggung) “daksina” yang berisi uang 227 “canang lenge wangi-buratwangi”, “canang satu tanding raka nyahnyah gula kelapa” dan tipat kelanan. Banten ini ditaruh di sebuah “sanggar” yang ada di hulu dari bangunan yang akan dibuat (diluanan).
d. Banten untuk “dasar bangbang” adalah “tumpeng” merah dua buah, dilengkapi dengan jajan, buah-buahan, lauk-pauk dengan ikannya “ayam biying” yang dipanggang, “sampiannya/sampian tangga”. Banten ini dialasi dengan “kulit peras”.


e. “Canang-Pendeman” adalah “canang burat-wangi”, pengeraos “canang-tubungan”, dan “pesucian”, masing-masing satu “tanding.
f. Alat “penyujug” terdiri dari sebuah cabang dadap yang bercabang tiga, sebuah mangkuk kecil, cincin bermata mirah dan kalau mungkin sebuah keris.
g. Untuk bangunan yang berupa “pelinggih” yang besar-besar, dipakai batu dengan tulisan aksara. Sebuah batu merah, yang berisi gambar “bedawangnala” di punggungnya diisi tulisan “Ang-kara”.
h. Sebuah batu merah yang lain, diisi gambar “padma” disertai dengan tulisan “dasaaksara” (di luar 8 huruf, dan ditengah 2 huruf yang dimaksud dengan “dasa-aksara” adalah Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya.
i. Sebuah “batu bulitan” (batu yang hitam) diisi dengan tulisan 'Triaksara” yaitu ANG, UNG, MANG.
j. Sebuah “kelungah” berisi tulisan “Ong-kara”. Kalau dapat dipakai “kelungah kelapa gading”. “Kelungah” itu “dikasturi”, airnya dibuang, lalu ke dalamnya dimasukkan wangi-wangian seperti lengawangi”, “burat-wangi” “menyan” dan sebagainya, serta sebuah “kewangen” “keraras” (daun pisang yang sudah tua) yang berisi uang 11 kepeng; “kelungah” beserta perlengkapannya dibungkus dengan kain putih diikat dengan benang merah, putih, hitam dan kuning, lalu dipuncaknya diisi sebuah kewangen yang berisi uang 33.
k. Sebuah “kewangen” yang berisi tulisan “ONGKARA MERTA” dengan uangnya 11 kepeng.
l. Alat persembahyangan lengkap dengan “kewangen” dan dupa.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

m. Tata Pelaksanaan upacara dan susunan dasarnya.
Terlebih dahulu dilakukan upacara Ngeruak dengan upacara caru Pengeruak lalu menghaturkan banten Durmengala dan prayascita ke hadapan Sang Bhuta Buwana, dilanjutkan dengan menghaturkan segehan-agung, ke hadapan Sang Bhuta Dengen.
Mantranya:
Pakulun Sang Kala Nungkurat, Sang Kala Tahun, Sang Kala Badawang jenar, Sang Kala Durmerana, Sang Kala Wisesa makadi sira ranini Bhatari Durga den suka anadah caru aturane mami. Om sampurna ya namah svaha.
Kemudian halaman dan tempat-tempat bangunan yang direncanakan diukur menurut “asta bumi” dilanjutkan dengan menggali lubang (bangbang). Setelah lubang itu dianggap selesai digali, lalu diupakarai dengan “byakala”, “durmengala” dan “prayascita”, selanjutnya diukur dalamnya (jugjugin, dikeruk, serta disapu dengan cincin tadi).
Para penyungsung bangunan itu lalu bersembahyang di depan lubang itu yaitu ke hadapan “ibu pertiwi” (Sanghyang lemah), “Sanghyang Bayu” dan “Sanghyang Anantaboga”. Bunga dibuang ke bangbang tadi, diganti dengan yang baru, bersembahyang ke hadapan “Sanghyang Akasa”, “Sanghyang Siwa”. Sanghyang Bhuwana Kemulan” dan Sanghyang Prajapati”. Bunga dibuang ke dalam lubang sebagai dasar dari bangunan tersebut. Selanjutnya di atas bunga-bunga itu ditaruhlah “tumpeng merah” yang berisi ikan ayam “biying” (sub. e) kemudian ditindihi dengan bata-merah” yang berisi gambar “Bedawangnala” (sub. h) disusuni kelungah kelapa gading yang dibungkus dengan kain putih (sub. k), lalu ditimbuni sedikit (supaya agak rata). Di atasnya disusuni dengan bata merah yang berisi gambar padma serta tulisan “Dasa-aksara” (sub. i), kemudian disusuni batu bulitan yang berisi tulisan “triaksara”. Di atasnya diisi “kewangen” yang berisi tulisan “Ongkara-amerta”. Disertai Tanang pendeman” (sub. 1 dan f) dan akhirnya ditimbuni sampai rata, lalu dilanjutkan dengan pembangunan seterusnya.
1. Untuk bangunan yang kecil-kecil “batu-dasarnya” dapatlah disederhanakan yaitu:
Sebuah bata merah berisi gambar “bedawang-nala”, dan sebuah “kewangen” yang berisi uang 11 kepeng, dilengkapi dengan “burat-wangi”, “canang-sari”, “mereka” “nyahnyah” “gula kelapa”, “kekiping”, “pisang mas”, dan “porosannya” adalah “base tubungan putih hijau mererepe” (tangkai sirih itu dibiarkan), (bila tidak ada bata-merah, dapat diganti dengan “paras”).
Catatan
Setelah bangunan itu selesai lalu diupakarai dengan “durmengala”; “prayascita”, “pengambyan”, “solasan ketengan 22 tanding, “tumpeng guru”, ikannya itik putih diguling, “tumpeng putih kuning” “tipat kelanan”, “daksina” dan canang pesucian” selengkapnya “burat wangi” serta “suci” satu “soroh”.
Dengan demikian bangunan itu baru dapat dihatur “canang” dan “daksina” selengkapnya. Upacara selanjutnya adalah “upacara Melaspas”, “Mepedagingan”, “ngenteg” dan seterusnya. Upacara-upacara ini (“Melaspas”, “mepedagingan” dan sebagainya) sebenarnya termasuk upacara “Dewa-yadnya”, oleh karenanya dalam tulisan ini tidak diuraikan secara mendetail.
Catatan:
Pada pohon kayu yang akan diupacarai diberi kain “caniga”, “gantung-gantungan”, dan sasap dari janur,untuk hal tersebut biasanya dipilih pohon kayu yang dianggap paling berguna di dalam rumah tangga seperti kelapa, wani dan sebagainya.

Dewi Gayatri - Ibu Segala Mantra


Semua literatur kitab Weda menyatakan bahwa Gayatri merupakan Dewi segala mantra. Namun keberadaan sang Dewi belumlah tenar di lingkungan masyarakat Hindu Bali, sebab untuk membentuk personalitas serta siapa dan bagaimana Beliau, serta dalam hal apa saja Beliau dipuja, masyarakat Hindu Bali belum banyak yang paham. Untuk itulah melalui artikel ini mencoba membedah Dewi Ilmu ini dengan sedikit ulasan yang terkesan back to India.

Ada banyak Dewi dalam ikonografi Hindu yang mewakili Ilmu Pengetahuan dan mantra suci. Kesemuanya memegang banyak atribut yang melambangkan hal tersebut. Namun dari sekian banyak Dewi, Gayatri adalah yang utama. Bergesernya Beliau sebagai Dewinya Ilmu Pengetahuan secara murni oleh Bhatari Hyang Aji Saraswati, mungkin disebabkan karena Gayatri lebih menekankan pada aspek Ilmu Pengetahuan secara apuruseya, mantra Weda yang transcendental. Sedangkan untuk Dewi Saraswati, Beliau meramu seluruh Ilmu yang ada, baik para widya dan apara widya.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Dewi Gayatri banyak dipuja di bharatawarsa dan lengkap dengan segala bentuk sadhana yang khusus ditujukan untuk menghormati Beliau. Dalam wujud Dewi Gayatri sering terlihat berkepala lima dan dengan mengenakan mahkota yang berkilauan. Namun mahkota yang tengah-tengah berhiaskan bulan sabit sangat mirip dengan bulan sabit yang dikenakan oleh Bhtara Siwa.

Beliau terlihat dengan sepuluh tangan yang masing-masing memegang; sankha kala, kapak cemeti, genitri, cakra, bunga padma, sakhu kamandalu, gada, sedangkan dua tangan yang berada di depan terlihat dengan posisi abhaya mudra, memberkati setiap pemuja-NYA dengan lembut dan penuh kasih. Beliau duduk di atas bunga padma berwarna merah, dan kepala Beliau yang paling depan ditengah-tengah tepatnya di selaning lelata (antara alis) Beliau terdapat mata ketiga layaknya mata Bhatara Siwa. Dewi Gayatri juga sering terlihat dengan sekelompok angsa yang mengitari.

Inilah mhamantra Gayatri yang pertama kali diturunkan…
Om bhur, Om bhvah, Om svah,
Om maha, Om janah, Om tapah, Om satyam,
Om tatsavitur varenyam,
Bhargo devasya dhimahi,
Dhiyo yo nah pracodayat,
Om apo jyotih,
Raso mritam brahma,
Bhur bhuah svah Om.

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Mantra ini awalnya terdapat di dalam kitab Reg Veda Samhita III. 62. 10. setelah itu pada kitab Yayur Veda Samhita dan Sama Veda Samhita. Dewi Gayatri sering disamakan dengan Dewi Savita yang secara harafiah memiliki arti matahari. Ini sebuah hal yang menunjukan bahwa Tuhan adalah bersinar dan Dewi Gayatri adalah Dewinya mantra yang memberikan kecemerlanghan pikiran.

Namun secara umum, mantra Gayatri yang diterima dewasa ini adalah hanya diucapkan sampai kata bhur, bvah, svah, kata maha, janah, tapah, satyam tidak dikumandangkan sama sekali. Secara terperinci ada banyak mantra Gayatri untuk setiap Dewata yang berbeda. Dengan demikian, ini menunjukan bahwa Dewi Gayatri adalah Dewi yang merangkum semua mantra pujian untuk setiap Dewata. Maka ini juga yang menjadikan bahwa Dewi Gayatri desebut dengan Dewinya mantra Weda.

Dalam beberapa pujian untuk Beliau disebutkan;
Ya sandhyamandalagata ya tri murti-svarupini
Sarasvati ya savitri tam vande veda mataram.
Artinya;
“oh Dewi yang berada pada lingkaran sinar matahari, yang adalah berbentuk Tri Murti, yang adalah Saraswati ataupun Sawitri, hamba menghaturkan sembah kepada Gayatri, Ibu segala macam Weda”.

Jika Dewi Gayatri dikatakan sebagai Ibunya Weda, maka secara otomatis Dewi Gayatri merupakan sang Dewi jagat raya, sebab Weda sendiri adalah tidak berbeda dengan dunia nyata dan yang tidak nyata. Ini dibenarkan sebab dalam sebuah peristiwa, pernah suatu kali; Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa mengambil rupa sebagai bayi mungil untuk mendapatkan kasih dari Dewi Gayatri.

Bayi-bayi tri murti ini menangis keras dan membuat sang Dewi kembali. Anak Ilahi ini ditidurkan dalam sebuah ayunan yang talinya tergantung di angkasa luar. Jadi tidak salah jika terdapat salah satu mantra yang digunakan untuk mengagungkan Dewi Gayatri seperti berikut;
Ya visva janani devi ya tri murti svarupini
Gayatri-rupini ya hi tan vande sapta matrkam
“oh sang Dewiyang merupkan Ibunya jagat raya, yang adalah berbentuk Tri Murti yang merupakan Gayatrio, hamba menghaturkan sembah sujud yang berbentuk tujuh Ibu”.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Minggu, 24 September 2023

Jenis, Penempatan, dan Doa Saat Menghaturkan Segehan

 






SEGEHAN: Garam yang ada dalam segehan adalah sarana mujarab untuk menetralisasi berbagai energi yang merugikan manusia . (ISTIMEWA)


BALI EXPRESS, DENPASAR - Segehan adalah tingkatan kecil atau sederhana dari upacara Bhuta Yadnya. Sedangkan tingkatan yang lebih besar lagi disebut dengan tawur. Kata segehan, berasal kata 'Sega' yang berarti nasi.

Banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi yang biasa dimakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan.

Wujud segehan berupa alas taledan (daun pisang, janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti bawang merah, jahe, garam, dan lain-lainnya. Dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tetabuhan air, tuak, arak serta berem.


Segehan artinya 'Suguh' atau menyuguhkan. Dalam hal ini, segehan dihaturkan kepada para Bhutakala agar tidak mengganggu dan juga ancangan iringan para Bhatara dan Bhatari, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah atau kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan, dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisasi dan menghilangkan pengaruh negatif dari limbah tersebut.

“Segehan juga dapat dikatakan sebagai lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan),” ujar, Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran yang diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) beberapa waktu lalu.



Dijelaskan lebih lanjut, segehan biasanya dihaturkan setiap hari. Penyajiannya diletakkan di bawah atau sudut- sudut natar merajan, pura, halaman rumah dan di gerbang masuk, bahkan ke perempatan jalan. Segehan dan juga caru banyak disinggung dalam lontar Kala Tattva, lontar Bhamakertih. Dalam Susastra Smerti (Manavadharmasastra) ada disebutkan bahwa setiap kepala keluarga hendaknya melaksanakan upacara Bali (suguhan makanan kepada alam) dan menghaturkan persembahan di tempat-tempat terjadinya pembunuhan, seperti pada ulekan, pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau, pada talenan.


Terdapat beberapa segehan yang dikenal di Bali, yakni segehan kepel putih yang merupakan segehan paling sederhana dan biasanya dihaturkan setiap hari. Sama seperti segehan putih, hanya saja salah satu nasinya diganti menjadi warna kuning. Biasanya segehan putih kuning ini dihaturkan di bawah palinggih.

Adapun doanya sebagai berikut : Om Sarwa Bhuta Preta Byo Namah (Hyang Widhi izinkanlah hamba menyuguhkan sajian kepada bhuta preta seadanya).

Berikutnya segehan kepel warna lima (manca warna) . Sama seperti segehan kepel putih, hanya saja warna nasinya menjadi lima, yakni putih, merah, kuning, hitam, dan brumbun.

Penempatan warna memiliki tempat atau posisi yang khusus, sebagi contoh warna hitam menempati posisi Utara, warna putih menempati posisi Timur, merah menempati posis Selatan, kuning menempati posisi Barat, sedangkan Brumbun atau kombinasi dari ke empat warna menempati posisi di tengah tengah, yang bisa dikatakan Brumbun tersebut sebagai pancernya.

Segehan manca warna ini biasanya diletakkan pada pintu masuk pekarangan (lebuh pemedal) atau di perempatan jalan. Adapun doa dari segehan manca warna ini yakni : Om Sarwa Durga Preta Byo Namah ( Hyang Widhi izinkan hamba menyuguhkan sajian kepada Durga Preta seadanya ).


Selanjutnya adalah segehan Cacahan. Segehan ini sudah lebih sempurna karena nasinya sudah dibagi menjadi lima atau delapan tempat. Sebagai alas digunakan taledan yang berisikan tujuh atau sembilan buah tangkih. Kalau menggunakan tujuh tangkih, di mana lima tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di Timur, Selatan, Barat, Utara, dan Tengah. Dan, satu tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam. Satu tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras. Kemudian di atas disusun dengan canang genten.


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Jika menggunakan sembilan tangkih sebagai tempat nasi yang posisinya mengikuti arah mata angin. Satu tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya, yaitu bawang, jahe dan garam. Dan satu tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras. Kemudian di atas disusun dengan canang genten.

“Keempat jenis segehan tersebut dapat dipergunakan setiap kajeng kliwon atau pada saat upacara–upacara kecil, artinya dibebaskan penggunaanya sesuai dengan kemampuan,” jelasnya.


Selanjutnya ada segehan agung yang merupakan tingkat segehan terakhir. Segehan ini biasanya dipergunakan pada saat upacara piodalan, panyineban Bhatara, budal dari pemelastian, serta menyertai upacara Bhuta Yadnya yang lebih besar lainnya.

Adapun isi dari segehan agung ini, yakni alasnya ngiru atau ngiu yang di tengahnya ditempatkan daksina penggolan (kelapanya dikupas, tapi belum dihaluskan dan masih berserabut), segehan sebanyak 11 tanding mengelilingi daksina dengan posisi canangnya menghadap keluar, dilengkapi dengan tetabuhan (tuak, arak, berem dan air), anak ayam yang masih kecil, sebelum bulu kencung ( ekornya belum tumbuh bulu yang panjang) serta api takep (api yang dibuat dengan serabut kelapa yang dibuat sedemikian rupa sehingga membentuk tanda + atau tapak dara).


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Adapun tata cara saat menghaturkan segehan adalah pertama menghaturkan segehannya dulu yang berdampingan dengan api takep, kemudian buah kelapanya dipecah menjadi lima, diletakkan mengikuti arah mata angin, kemudian anak ayam diputuskan lehernya sehingga darahnya menciprat keluar dan dioleskan pada kelapa yang telah dipecahkan tadi, telor kemudian dipecahkan 'diayabin' kemudian ditutup dengan tetabuhan.

Doa dalam menghaturkan segehan ini yakni Om sarwa kala preta byo namah (Hyang Widhi izinkanlah hamba menyuguhkan sajian kepada kala preta seadanya).

Setiap menghaturkan segehan lalu disiram dengan tetabuhan. Tetabuhan ini bisa menggunakan air putih yang bersih, atau tuak, brem, dan arak. Dengan cara mengelilingi segehan yang dihaturkan. Ketika menyiram atau menyiratkan kita ucapkan doa Om ibek segara, ibek danu, ibek bayu, premananing hulun. "Artinya, Hyanng Widhi semoga hamba diberkahi bagaikan melimpahnya air laut, air danau, dan memberi kesegaran jiwa dan batin hamba," tutup Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran.



(bx/gus /yes/JPR)