Sabtu, 27 April 2024

TRADISI PERANG TIPAT-BANTAL

 


Desa Adat  Kapal merupakan salah satu desa tradisional di Bali yang kaya akan keunikan adat dan budaya. Desa yang berada di antara Kota Denpasar dan Tabanan ini memiliki tradisi yang unik dan menarik yang masih berlangsung hingga sekarang yaitu pelaksanaan Tradisi Aci Rah Pengangon atau lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai tradisi perang tipat bantal. Tradisi perang tipat-bantal tersebut dilangsungkan di depan Pura Desa lan Puseh Desa Adat Kapal, tepatnya di Jalan Raya Kapal, Jurusan  Denpasar – Gilimanuk Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung,
Tradisi ini dilaksanakan setiap Bulan Keempat dalam penanggalan Bali (sasih kapat) sekitar bulan September – Oktober. Tradisi ini berkaitan erat dengan kehidupan pertanian masyarakatnya, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan yang diciptakan-Nya serta berlimpahnya hasil panen di desa. Pelaksanaanya diwujudkan dalam bentuk Perang dengan menggunakan Tipat-Bantal. Tipat/ ketupat adalah olahan makanan dari beras yang dibungkus dalam anyaman janur / daun kelapa yang masih muda berbentuk segi empat sedangkan Bantal adalah penganan yang terbuat dari beras ketan yang juga dibungkus dengan janur namun berbentuk lonjong. Dua hal ini adalah simbolisasi dari keberadaan energi maskulin dan feminin yang ada di semesta ini, yang mana dalam konsep Hindu disebut sebagai Purusha dan Pradhana.
Pertemuan kedua hal inilah yang dipercaya memberikan kehidupan pada semua makhluk di dunia ini, dimana segala yang tumbuh dan berkembang baik dari tanah (tumbuh), bertelur maupun dilahirkan berawal dari pertemuan kedua hal ini.
Perang tipat bantal diikuti oleh petani pria beserta anak laki-lakinya. Sebelum pelaksanaan tradisi perang tipat bantal, semua kelian banjar di desa adat kapal membunyikan kulkul di banjar masing-masing dengan maksud untuk mengumpulkan masyarakat di banjar setempat. Setelah berkumpul, masyarakat kemudian berangkat bersama – sama menuju jaba pura desa lan puseh desa adat Kapal untuk melakukan persembahyangan. Usai sembahyang, masayarakat kemudian membagi dirinya menjadi dua kelompok yang sebelumnya sudah disepakati untuk saling melempar tipat dan bantal dengan maksud agar kedua benda ini bertemu di udara. Kegiatan saling lempar inilah yang kemudian disebut dengan Perang Tipat-Bantal. Perang yang awalnya berlangsung di jaba Pura, kemudian meluas hingga ke jalan raya Kapal. Tentunya pada perang tipat bantal ini ada yang kena lemparan tipat ataupun bantal. Yang terkena tipat ataupun bantal konon  hasil panenya akan mengalami kemerosotan bahkan bisa gagal panen. Setelah perang berakhir tipat dan bantal tersebut dipungut oleh warga desa untuk ditaburkan di  sawah mereka agar ladang mereka subur dan menghasilkan hasil panen yang bagus.

Tradisi perang ini bermakna bahwa pangan yang kita miliki adalah senjata utama untuk mempertahankan diri dalam hidup dan berkehidupan. Tradisi ini mempunyai kemiripan dengan tradisi-tradisi agraris yang unik dibelahan dunia yang lain seperti perang tomat di Spanyol. Dari tradisi ini pula dapat dirunut sebuah kepercayaan masyarakat desa Kapal mengenai larangan menjual Tipat. Tipat dalam konteks ini merupakan simbolisasi dari energi feminisme, yang mana diwakili oleh keberadaan Ibu Pertiwi/Bumi dalam bentuk fisiknya sebagai Tanah. Tanah adalah penopang hidup, tempat tumbuh dan berkembang yang harus dijaga, dilestarikan, dirawat dan dihormati. Inilah kearifan-kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakat.
Keberadaan tradisi Perang Tipat  Bantal ini banyak dijelaskan dalam catatan-catatan sejarah kuno berupa lontar. Salah satu lontar yang menceritakan tentang asal muasal pelaksanaan tradisi ini terdapat dalam Lontar Tabuh Rah Pengangon milik salah seorang warga desa Kapal, Bapak Ketut Sudarsana. Dalam lontar tersebut secara singkat dijelaskan sebagai berikut :
Ketika Asta Sura Ratna Bhumi Banten menjadi Raja di Pulau Bali menggantikan 
kakaknya, Shri Walajaya Kertaningrat yang meninggal pada tahun Isaka 1259 atau tahun 1337 Masehi, beliau mengangkat seorang Patih yang bernama Ki Kebo Taruna atau lebih dikenal sebagai Ki Kebo Iwa dan mempunyai seorang Mahapatih yang bernama Ki Pasung Grigis. Diceritakan pada masa itu sang Raja mengutus sang Patih untuk merestorasi Candi di Khayangan Purusada yang ada di Desa Kapal.
Pada tahun Isaka 1260 atau tahun 1338 Masehi berangkatlah Ki Kebo Iwa diiringi oleh Pasek Gelgel, Pasek Tangkas, Pasek Bendesa dan Pasek Gaduh menuju Khayangan Purusadha di desa Kapal dengan terlebih dahulu menuju desa Nyanyi untuk mengambil batu bata sebagai bahan untuk merestorasi candi tersebut. Tidak dijelaskan bagaimana Ki Kebo Iwa merestorasi candi tersebut.
Pada suatu saat itu desa Kapal mengalami paceklik panen yang mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan masyarakatnya. Risau atas keadaan ini kemudian Ki Kebo Iwa memohon jalan keluar kepada Sang Pencipta dengan melakukan yoga semadhi di Khayangan Bhatara Purusada. Tatkala melaksanakan yoga semadhi beliau mendapatkan sabdha dari Sang Hyang Siwa Pasupati untuk melaksanakan Aci Rah Pengangon atau Aci Rare Angon dengan sarana menghaturkan tipat – bantal sebagai simbolisasi Purusha dan Predhana (sumber kehidupan) karena penyebab dari segala paceklik tersebut adalah ketiadaan sumber kehidupan tersebut. Dalam sabdha ini pula diperoleh perintah agar masyarakat Kapal tidak menjual Tipat karena Tipat adalah simbolisasi dari Predana/Energi Feminisme/Ibu Pertiwi. Akhirnya dilaksanakanlah Aci Rah Pengangon di Desa Kapal sehingga desa ini makmur dan tentram kembali. Setelah melaksanakan tugasnya maka kembalilah Patih Ki Kebo Iwa menuju purinya Raja Bali yaitu di Batu Anyar ( sekarang dikenal dengan nama Bedulu ), sampai akhirnya kemudian Pulau Bali ditundukkan oleh Majapahit pada tahun saka 1265 atau tahun 1343 Masehi. Dari hal inilah kemudian berkembang tradisi Perang Tipat - Bantal ini di Desa Kapal pada tahun 1337, salah satu dari sekian banyak kearifan-kearifan masa lampau yang harus dihayati, dijaga dan dilestarikan sebagai sebuah tuntunan hidup untuk lebih menghormati alam dan kehidupan.
Ini adalah sebuah tradisi unik yang sangat langka dan mungkin satu-satunya di Bali, yang merupakan sebuah bentuk penghormatan terhadap energi semesta yang menciptakan kehidupan serta sebuah prosesi untuk melestarikan kelangsungan kehidupan itu sendiri dengan konsep menjaga ibu pertiwi / tanah yang merupakan wujud nyata penopang dan pemberi kehidupan bagi setiap makhluk di muka bumi ini. Di tengah kasus penjualan tanah di bali semakin meningkat, terutama penjualan tanah sawah, tradisi - tradisi seperti ini mungkin dapat membuka sedikit wawasan kita mengenai kearifan masa lampau sebagai bekal untuk melangkah menuju kehidupan masa depan yang harmonis dengan alam. 

*Penulis: Hendra Setiawan


Makna dan Filosofi Tumpek Landep

 


Inputbali,- Bali merupakan sebuah pulau yang memiliki seribu pura, tradisi dan budaya yang saling mengisi dan melengkapi dengan ajaran agama Hindu. Bagi warga Bali yang mayoritas Hindu memiliki sebuah tradisi yang dinamakan Tumpek Landep. Tumpek landep merupakan hari raya pemujaan kepada Ida Bhatara Sang Hyang Siwa Pasupati sebagai dewanya taksu. Hari raya Tumpek Landep sendiri merupakan rentetan setelah hari raya saraswati, dimana pada hari ini umat hindu melakukan puji syukur atas berkah yang telah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Ida Bhatara Sang Hyang Pasupati.



Makna Tumpek Landep

Hari raya tumpek landep jatuh setiap Saniscara/hari Sabtu Kliwon wuku Landep, sehingga secara perhitungan kalender Bali, hari raya ini dirayakan setiap 210 hari sekali. Kata Tumpek sendiri berasal dari “Metu” yang artinya bertemu, dan “Mpek” yang artinya akhir, jadi Tumpek merupakan hari pertemuan wewaran Panca Wara dan Sapta Wara, dimana Panca Wara diakhiri oleh Kliwon dan Sapta Wara diakhiri oleh Saniscara (hari Sabtu). Sedangkan Landep sendiri berarti tajam atau runcing, maka dari ini diupacarai juga beberapa pusaka yang memiliki sifat tajam seperti keris.

Dewasa kini, senjata lancip itu sudah meluas pengertiannya. Tak hanya keris dan tombak, juga benda-benda hasil cipta karsa manusia yang dapat mempermudah hidup seperti sepeda motor, mobil, mesin, komputer dan sebagainya. Benda-benda itulah yang diupacarai. Akan tetapi ada satu hal yang tidak boleh disalah artikan, dalam konteks itu umat bukanlah menyembah benda-benda teknologi, tetapi umat memohon kepada Ida Sang Hyang Widi dalam manifestasinya sebagai Ida Bhatara Sang Hyang Pasupati yang telah menganugerahkan kekuatan pada benda tersebut sehingga betul-betul mempermudah hidup.

Filosofi Tumpek Landep

Dalam Tumpek Landep, Landep yang diartikan tajam mempunyai filosofi yang berarti bahwa Tumpek Landep merupakan tonggak penajaman, citta, budhi dan manah (pikiran). Dengan demikian umat selalu berperilaku berdasarkan kejernihan pikiran dengan landasan nilai – nilai agama. Dengan pikiran yang suci, umat mampu memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk.

Tumpek landep merupakan tonggak untuk mulat sarira / introspeksi diri untuk memperbaiki karakter agar sesuai dengan ajaran – ajaran agama. Pada rerainan tumpek landep hendaknya umat melakukan persembahyangan di sanggah/ merajan serta di pura, memohon wara nugraha kepada Ida Bhatara Sang Hyang Siwa Pasupati agar diberi ketajaman pikiran sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Pada rerainan tumpek landep juga dilakukan pembersihan dan penyucian pusaka warisan leluhur.


Menurut Dharma Wacana dari Ida Pedanda Gede Made Gunung, Jika menilik pada makna rerainan, sesungguhnya upacara terhadap motor, mobil ataupun peralatan kerja lebih tepat dilaksanakan pada Tumpek Kuningan, yaitu sebagai ucapan syukur atas anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas sarana dan prasara sehingga memudahkan aktifitas umat, serta memohon agar perabotan tersebut dapat berfungsi dengan baik dan tidak mencelakakan.

Jadi bisa disimpulkan menurut pendapat kami bahwa Pada Rahina Tumpek Landep hal yang paling utama yang tidak boleh dilupakan ialah hendaknya kita selalu ingat untuk mengasah pikiran (manah), budhi dan citta. Dengan manah, budhi dan citta yang tajam diharapkan kita dapat memerangi kebodohan, kegelapan dan kesengsaraan serta mampu menekan perilaku buthakala yang ada di dalam diri.

(sumber: Ida Pedanda Gede Made Gunung, Hindu Nusantara) –sumber

PURA DALEM BALEMBONG

 




Pura Dalem Balembong merupakan sebuah pura yang terletak di lingkungan Kampus Bukit, tepatnya di belakang Gedung Rektorat Universitas Udayana. Sejarah Pura Dalem Balembong dinyatakan berasal dari angin topan yang menimbulkan lubang, yang kemudian air masuk ke dalam lubang. Setelah diselidiki ternyata lubang tersebut tembus ke Kuburan Cina di Mumbul, lama-kelamaan lubang itu akhirnya mampet, dan setelah lubang tertutup kemudian dibuatkan palinggih. Pada mulanya palinggih di dalam pura hanya berupa Palinggih Ratu Gede, Taksu dan Meru tumpang dua, serta diempon oleh 50 KK, hingga sekarang pihak Unud juga menjadi pangempon pura yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan upacara. Pada saat pemugaran terdapat beberapa penambahan palinggih. Di pura ini terdapat pohon besar yang dibawahnya terdapat Palinggih Ratu Gede Dalem Balembong, yang masih berkaitan dengan Ratu Gede Dalem Nusa, selain itu di taru tersebut juga dipercayai malinggih Ratu Nyoman Sakti, Balian Sakti, Hyang Samirana, serta rerencangan Macan Gading dan Keker Mas. Di lingkungan pura terdapat beberapa palinggih lain, seperti Padmasari, Taksu, Meru tumpang kalih sebagai linggih Ratu Ayu, Palinggih Hyang Baruna, dan Piyasan, serta di depan pura juga terdapat palinggih duwe yang masih berhubungan dengan Pura Dalem Balembong. Secara niskala, pura ini diyakini bernama Pura Gili Sakti Dalem Balembong. Di pura ini terdapat kolam yang berada di tengah-tengah areal utama mandala, dengan arca Sanghyang Anantabhoga yang mengeluarkan air. Kolam ini disucikan dan diyakini pula memiliki khasiat pengobatan secara alternatif. Piodalan di Pura Dalem Balembong ini sendiri dilaksanakan setiap rahina Purnama Sasih Kedasa, bersamaan dengan Piodalan di Padmasana Widya Mahasaraswati Unud. Pada tahun 2018 ini, piodalan bertepatan dengan Hari Tumpek Landep.

Jumat, 26 April 2024

Panca Maya prayascita

 


Hyang maha wishnu turun memberikan prayascitta (penebusan dosa) dan pratistha (pemberian energy), membelah diri menjadi 5 wujud (panca maha maya):
1. Guru-Sri ditengah berwarna biru utk perlindungan dr segala bencana, menghalau segala halangan rintangan, kekuatan maya, jg bisa sebaliknya membuat bencana, membuat hujan badai, dll
2. Isvara-Uma, berwarna putih utk menyucikan diri, spiritualitas, pelukatan, moksa
3. Brahma-Saraswati, berwarna merah utk menundukkan orang, mengelabui, ilusi, menguasai binatang, dll
4. Mahadewa-Srinari, berwarna kuning utk pengasihan, kemakmuran, belas kasihan, cinta, pelet, dll
5. Wishnu-Lakhsmi berwarna hitam utk perang, penghancuran, penyembuhan penyakit, santet, dll
Sebagaimana dijelaskan oleh Guruji Agastya diatas, dlm panca maha maya bahkan beliau bersifat mengelabui, ilusi, merusak, tergantung warnanya. Bila kelimanya didamaikan dlm ritual panca maha maya maka akan didapatkan keseimbangan dlm tataran bhuana alit (putar kanan) dan bila putar kiri (panca maha bhuta, di bali disebut mecaru) utk keseimbangan bhuana agung

Kumpulan Doa dalam Agama Hindu yang di Gunakan Sehari-Hari








Pada Waktu Bangun Pagi:

Om, Utedanim bhagavantah syamota prapitva uta madhye ahnam, utodinau madhvantan tsuryasya vayam devanam sumantausyama.(Atharva Veda III.16.4)

Artinya:

"Ya Tuhan Yang Maha Pemurah! Jadikanlah kami selalu bernasib baik pada pagi hari ini, menjelang tengah hari, apalagi matahari tepat di tengah-tengah dan seterusnya. Semoga para Dewa berkenaan menganugharkan rakhmat-Nya kepada kami".

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI


Menggosok Gigi

Om Cri Dewi Bhatrimsa Yogini namah

Artinya:

Om, sujud pada (sakti-Mu) Cri Dewi Bhatrimsa (dan) Yogini.




Membersihkan Mulut:

Om Um Phat astraya namah.

Artinya:

Om, sujud kepada Um, astra Phat (itu).




Mencuci Muka:

Om Um Waktra Paricuddha mam swaha.

Artinya:

Om, Om (dewi) membersihkan muka hamba.




Pada Waktu Mandi:

Om, Gangga-Amrta-Sarira Cuddha Mam Swaha.

Artinya:

Om, Amrta dari Gangga, membuat badan hamba suci.



Pada Waktu Berpakaian:

Kaupina Brahma-Samyuktah, mekhala Wisnu-Samsmrtah Antarwasewaro dewah, bandham astu Sada Ciwa.

Artinya:

Penutup berpakaian adalah Brahma, pengikat pinggang (adalah) Wisnu, penutup tubuh (oleh) Iswara (dan) Sada Ciwa pengikat semuanya.




Pada Waktu Makan:


Doa Mulai Makan

Om Anugraha Amertadi sanjivani ya namah svaha.

Artinya:

Ya Hyang Widhi, semoga makanan ini menjadi penghidupan hamba lahir bathin yang suci




Doa Selesai Makan

Om Dhirgayur astu, avighnam astu, subham astu, Om Sriyam bhavantu, purnam bhavantu, ksama sampurna ya namah svaha.

Artinya:

Ya Hyang Widhi, semoga makanan yang telah masuk ke dalam badan hamba memberi kekuatan, keselamatan, panjang umur dan tak kena halngan apapun. Demikian pula agar hamba mendapatkan kebahagiaan dan suka cita dengan sempurna.




Doa Selesai Makan, dapat pula menggunakan doa (mantra) berikut:

Om Annapate annasya no dehyanmi vasya susminah, pra-pra dataram taris urjam no dhehi dvipade catuspade. (Yajur Veda XI.83)

Artinya:

Ya Hyang Widhi, Engkau penguasa makanan, anugrahkanlah makanan ini memberikan kekuatan, menjauhkan dari penyakit. Selanjutnya bimbinglah kami, anugrahkanlah kekuatan kepada mahluk berkaki empat dan dua.




Doa saat melakukan Yadnya Sesa (Ngejot) :

"Om Sarva bhuta sukha pretebhyah svaha".

Artinya:

Ya Hyang Widhi, hamba berikan sedikit kepada sarwa bhuta agar tidak mengacau.




Mohon perlindungan:

Om Apasyam gopam anipadyamanam a ca para ca prthibhih carantam sa sadhricih sa visucir vasana.

Artinya:

Ya Tuhan! hamba memandang Engkau Maha Pelindung, yang terus bergerak tanpa berhenti, maju dan mundur di atas bumi. Ia yang mengenakan hiasan yang serba meriah, muncul dan mengembara terus bersama bumi ini.




Mohon kebenaran (jalan yang benar):

Om A visvadevam satpatim suktai adya vrnimahe stayasavam sawitaram.

Artinya:

Ya Tuhan Yang Maha Agung! dengan kidung kami memujaMu, Tuhan sumber kebaikan! Engkau Maha Cemerlang yang memiliki takdir yang maha benar.



Salam Penganjali

(salam penghormatan) :

Om Svastyastu.

Artinya:

Semoga selalu ada dalam keadaan baik (selamat) atas karunia Tuhan (Hyang Widhi Wasa).

Om santhi, Santhi, Santhi, Om.

Artinya:

Semoga damai, damai di dunia, damai di akhirat dan damai selalu.




Doa Memulai Sesuatu Kegiatan:

Om Avighnam astu namo sidham Om Sidhirastu tad astu astu svaha.

Artinya:

Ya Hyang Widhi, semoga atas perkenan-Mu tiada suatu halangan bagi kami memulai pekerjaan (kegiatan) ini dan semoga sukses.


Doa Mohon Inspirasi :

Om Pra no devi sarasvati vajebhir vajinivati dhinam avinyavantu. (Rg Veda VI.61.4)

Artinya:

Ya Hyang Widhi, Hyang Saraswati Yang Maha Agung dan Kuasa, Engkau sebagai sumber ilmu pengetahuan, semoga Engkau memelihara kecerdasan kami.




Doa Memohon Kesehatan :

Om Vata a vatu bhesajam sambhu majobhu no hrde, pra na ayumsi tarisat. (Rg Veda X.1986.1)

Artinya:

Ya hyang Widhi, semoga Wayu menghembuskan angin sejuk-Nya kepada kami. Wayu yang memberikan kesehatan dan kesejahteraan kepada kami. Semoga Ia memberikan umur panjang kepada kami.




Doa Mohon Bimbingan Spiritual :

Om Asato ma sadgamaya tamasoma ma tyotir gamaya mrtor ma amrtam gamaya. (Brh. Ar. Up. XL.15)

Artinya:

Ya Hyang Widhi, bimbinglah kami dari yang tidak benar menuju yang benar. Bimbinglah kami dari kegelapan pikiran menuju cahaya (pengetahuan) yang terang. Bimbinglah kami dari kematian menuju kehidupan yang abadi.




Doa Mohon Kebahagiaan dan Keberuntungan :

Om sarve bhavantu sukhinah sarve santu niramayah sarve bhadrani pasyantu ma kascid duhkha bhag bhavet

Artinya:

Ya Hyang Widhi, semoga semuanya memperoleh kebahagiaan, semoga semuanya terbebas dari penderitaan, semoga semuanya dapat memperoleh keberuntungan, semoga tiada kedukaan.




Doa Memulai Belajar :

Om Agne naya supatha raye asman visvani deva vayunani vidvan, yuyodhyasmaj juhuranam eno bhuyistam te namauktim vidhema. (Rg Veda I.189.1)

Artinya:

Ya Hyang Widhi (Hyang Agni), tunjukkanlah kepada kami jalan yang benar untuk mencapai kesejahteraan; Hyang Widhi yang mengetahui semua kewajiban, lenyapkanlah dosa kami yang menyengsarakan kami. Kami memuja Engkau.


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Doa Menghilangkan Rasa Takut :

Om Om Jaya jivad sarira raksan dadasi me, Om Mjum sah vaosat mrityun jaya namah svaha.

Artinya:

Ya Hyang Widhi Yang Maha Jaya, yang mengatasi segala kematian, kami memuja-Mu. Lindungilah kami dari mara bahaya.




Doa Selesai Melakukan Kegiatan:


Om Deva suksma parama acintya ya namah svaha sarva karya prasidhantam. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om.

Artinya:

Ya Hyang Widhi dalam wujud Parama Acintya yang maha gaib dan maka karya, atas rakhmat-Mu maka pekerjaan ini sukses. Semoga damai selalu.



Doa Sebelum Tidur :

Om Yajjagrato duram udaiti daivam tad u suptasya tatha iva iti, durangamam jyotisam jyotir ekam tanme manah siva samkalpam astu. (Yajur Veda XXXIV.1)

Artinya:

Ya hyang Widhi, Engkau nampak jauh dari orang yang tidur, nampak jauh dari orang yang terjaga. Engkau sinar utama, yang nampak jauh itu, semoga pikiran kami senantiasa mengarah kepada Engkau, yang baik itu.




Doa Untuk Ketabahan Hidup :

Om Krdhi na udhvarny carathaya jivase.

Artinya:

Ya Hyang Widhi, semoga kami bisa tetap tegak dalam perjalanan hidup kami.




Doa Untuk Orang Meninggal :

(yang disampaikan/diucapkan saat bela sungkawa):

Om vayur anilam amrtam athedam bhasmantam sariram Om krato smara, klie smara, krtam smara. (Yajur Veda XL.15)

Artinya:

Ya Hyang Widhi, Penguasa hidup, pada saat kematian ini semoga ia mengingat wijaksana suci Om, semoga ia mengingat Engkau Yang Maha Kuasa dan kekal abadi. Ingat pula kepada karmanya. Semoga ia mengetahui bahwa Atma adalah abadi dan badan ini akhirnya hancur menjadi abu.




Saat melihat atau mendengar orang meninggal :

Om svargantu, moksantu, sunyantu, murcantu, Om ksama sampurna ya namah svaha.

Artinya:

Ya Hyang Widhi, semogalah arwah almarhum mencapai sorga, manunggal dengan-Mu, mencapai keheningan tanpa suka-duka. Ampunilah ia, semoga sempurna atas Kemahakuasaan-Mu.




Saat Mengunjungi Orang Sakit :

Om sarva vighna sarva klesa, sarva lara roga vinasa ya namah.

Artinya:

Ya Hyang Widhi, semoga segala halangan, segala penyakit, segala penderitaan dan gangguan binasa oleh-Mu.




Doa Untuk Pembukaan Rapat (sidang) atau Seminar:

Om sam gacchadhvam sam vadadhvam sam vo manamsi janatam, devo bhagam yatha purve samjanana upasate. (Rg. Veda X.191.2)

samano mantrah samitih samani samanam manah saha cittam esam, samanam mantram abhi mantraye vah samanena vo havisa juhomi. (Rg Veda X.191.3)

samani va akutih samana hrdayani vah samanam astu vo mano yatha vah susahasati. (Rg Veda X.191.4)

Artinya:

Ya Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), semogalah pertemuan dan rapat ini mencapai satu kesepakatan. Semoga tercapai tujuan bersama, kesepakatan bersama satu dalam pikiran menuju stau tujuan.

Ya Hyang Widhi, Engkau canangkan satu tujuan, tujuan bersama kami sekalian, kami adakan pemujaan dengan persembahan bersama, agar tujuan kami satu, seia dan sekata.




Doa Untuk Menutup Suatu Pertemuan :

Om dyauh santir antariksam santih prthiva santir apah santir osadhayah santih vanaspatayah santir visve devah santir brahma santih sarvam santih santir eva santih sa ma santir edhi. (Yayur Veda XXXVI.17)

Artinya:

Ya Hyang Widhi Yang Maha Kuasa, anugrahkanlah kedamaian di langit, damai di angkasa, damai di bumi, damai di air, damai pada tumbuh-tumbuhan, damai pada pepohonan, damai bagi para Dewata, damailah Brahma, damailah alam semesta, semogalah kedamaian senantiasa datang pada kami.




Sumber : cakepane.blogspot.com

Tri Mala Paksa

 


Tri Mala Paksa, yaitu
Bhuta Buchari, Kala Bhucari, dan Durgha Bhucari :
√ Di HALAMAN MERAJAN KEMULAN dihaturkan
Segehan Agung Cacahan solas (11) Tanding dengan tetabuhan arak & brem ditujukan kepada Sang Bhuta Bhucari,
mantramnya :
“Ih Bhuta Bhucari, manusan nira angaturaken segehan, iki tadah saji sira segehan cacahan 11 tanding, madaging beras, jinah paketengan pinaka pamogpog maka kirang nira aja nyengkalen waduan sira among maka jiwa pramana waduan sira. Wus amangan anginum lah ta sira pamantukan ring karang nguni soang-soang”
√ Di PEKARANGAN RUMAH
dihaturkan segehan Manca Warna Sia (9) Tanding, berisikan daging ayam brumbun (ayam dengan bulu warna-warni) dengan tetabuhan arak & brem, toya anyar ditujukan kepada
Sang Kala Bhucari,

mantramnya :
“Ih kala Bhucari, manusan nira angaturaken segehan, iki tadah saji sira segehan manca warna 9 tanding, madaging beras, jinah paketengan pinaka pamogpog maka kirang nira, aja nyengkalen waduan sira among maka jiwa pramana waduan sira. Wus amangan anginum lah ta sira pamantuka ring karang nguni soang-soang”
√ Di LEBUH RUMAH atau Pamedal Karang dipasang sanggah cucuk di sebelah kanan.
Pada sanggah cucuk tersebut diletakkan peras daksina, ajuman, banten pedanan, tumpeng ketan, panyeneng dan rerasmen. Pada sanggah cucuk tersebut digantungkan juga sujang (batang bambu kecil 2 biji masing-masing diisi arak & brem)
- Haturan di sanggah cucuk tersebut ditujukan kepada
Sang Durgha Bhucari.
Ring Sor (bawah) sanggah cucuk diletakkan segehan Manca Warna sia (9) Tanding, berisi daging ayam brumbun, tetabuhan arak & brem ditujukan kepada Sang Kala Raja & Sang Bhuta Raja.
Selain itu juga dihaturkan SEGEHAN Cacah 108 (satus kutus) berisi jeroan mentah, Segehan Agung 1 tanding ditujukan kepada Sang Kala Bala & Sang Bhuta Bala.
- Atau lebih sederhana dihaturkan 1 segehan warna 9 sesuai dengan warga pangider dewata nawa sanga.
Keempat Bhuta Kala yang dihaturkan segehan di bawah ini merupakan pengikut dari Bhatari Durgha.
Mantramnya : “Ih kala Bhucari, manusan nira angaturaken segehan, iki tadah saji sira segehan, madaging beras, jinah paketengan pinaka pamogpog maka kirang nira, aja nyengkalen waduan sira among maka jiwa pramana waduan sira. Wus amangan anginum lah ta sira pamantuka ring karang nguni soang-soang”

Selasa, 16 April 2024

Upacara Sarira Samskara









Jika diperhatikan dalam konsep pendidikan Hindu, ternyata tidak hanya memperhatikan pendidikan yang bersifat duniawi / Vidya namun juga pendidikan anak secara spiritual /Apara vidya dengan memperhatikan ajaran dan praktek praktek keagamaan dengan memperhatikan dari berbagai upacara ritual yang dilakukannya dan sangat melekat dengan upacara Sarira Samskara , mulai dari upacara wiwaha samskara/ Perkawinan sampai upacara Kematian. Nampak sekali proses pendidikan berlangsung terus menerus tiada hentinya melalui proses pelaksanaan upacara keagamaan khususnya upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan yang sering disebut dengan upacara Sarira samskara atau upacara Manusa Yadnya.
Upacara Sarira samskara sebagai siklus kelahiran sangatlah perlu untuk di kenal dan dipahami oleh Umat Hindu serta mampu mengungkapkan makna filosofis dari upacara tersebut terutama yang berkaitan dengan konsep pendidikan Hindu mulai berlangsung dari adanya pembuahan ketika sang cabang bayi masih berada dalam Kandungan ibunya yang ternyata tranformasi pendidikan telah berlangsung dan ditanamkan dalam bentuk upacara Garbhadhana Samskara, Pumsavana Samskara dan Simantonaya Samskara.
Proses Pendidikan Hindu dalam Upacara Sarira Samskara
a. Garbhadhana Samskara, merupakan konsepsi pendidikan spiritual Hindu bagi sang Grehasthin/ keluarga yang pelaksanaannya saat mulai adanya pembuahan atau benih kehamilan sepasang suami-Istri. Upacara Garbhadhana Samskara bertujuan memohon benih yang tertanam dalam rahim tumbuh sehat, sempurna dan baik sehingga nantinya lahir anak yang sehat.
Di dalam kitab Manawa Dharmasastra II.40.50 ada menyebutkan bahwa dalam konsep pendidikan spiritual Hindu dalam mewujudkan anak yang suputra muali diatur saat akan melakukan hubunganpun diatur dan diyakini saat yang paling baik untuk melakukan hubungan bagi sepasang suami – istri/ sanggama adalah 16 hari setelah menstruasi, 4 hari setelah masa menstruasi atau setelah hari ke 5 sampai ke 12.
Bentuk pelaksanaaan upacara Garbhadhana Samskara ini dapat dilaksanakan dalam bentuk yang sangat sederhana yakni berdoa bersama suami- istri, mohon keberhasilan pembuahan, serta benih yang diturunkan mendapatkan anugerah dari Hyang Maha Kuasa/ Ida SangHyang Widhi Wasa, dan leluhur agar dikaruniai anak yang Suputra Nantinya. Adapun tujuan dari upacara Garbhadhana samskara adalah memohon kehadapan Hyang Widhi wasa agar janin yang telah terbentuk bayi semakin kuat, sehat dan sempurna sehingga nantinya lahir menjadi seorang anak yang baik, berkarakter, memiliki moral yang baik serta berbudhi luhur.
b. Upacara Pumsavana Samskara, merupakan upacara sarira Samkra yang dilaksanakan saat kandungan berusia 3 (tiga) bulan dengan tujuan agar sang Jabang bayi dalam kandungan bertambah kuat, tumbuh sehat dan sempurna. lebih jelas di dalam kitab suci Atharwa Weda III. 23.6 menyebutkan bahwa upacara Pumsavana samskara diberi nama “Prajapatya” yakni upacara untuk memohon kehadapan para Dewa berkenan menurunkan anak yang suputra nantinya.

c. Upacara Simantonaya Samskara, merupakan upacara sarira samskara yang dikasanakan ketika pada masa prenatal (bayi dalam Kandungan) yang beberapa makna yaitu ; secara spiritual, menjaga atau mencegah istri dalam keadaan hamil dari gangguan kekuatan kekuatan negatif yang mengganggu sang bayi dalam kandungan, dan kalau dilihat secara psychologis agar perhatian ibu terhadap kehamilannya lebih focus dan sepenuhnya saat kehamilannya berusia 5 sampai 6 bulan jangan sampai melakukan kegiatan yang menyebabkan bayi kaget dan terkejut yang tentunya sangat berpengaruh terhadap kondisi dan kesehatan bayi nantinya. Demikian juga Upacara Simantonaya mengandung makna bersifat praktis artinya menjaga kondisi istri agar tetap stabil, riang gembira penuh semangat, bahagia. Dalam kitab Weda Semerti disebutkan setiap perbuatan ibu pada saat keadaan hamil sangat mempengaruhi kondisi bayi dalam kandungan.
Proses pendidikan yang berlangsung saat bayi berada dalam kandungan ibunya, lebih menekankan pada kesehatan baik pisik maupun mental istri; mengingat tingkah laku seorang ibu hamil begitu pula calon ayahnya sangat mempengaruhi Kesehatan serta karakter bayi nantinya. Dengan demikian sesungguhnya pendidikan bagi seorang anak menurut ajaran Hindu telah dimulai sejak dalam proses awal Kehamilan dalam bentuk upacara Sarira Samskara ( Garbhadhana samskara, Pumsavana Samskara dan Upacara Simantonaya Samskara). Mengingat anak sesuai dengan namanya “Putra” yang bermakna akan mengangkat harkat dan martabat orang tuanya, keluarganya dan masyarakatnya yang sesungguhnya seorang anak asset yang tak ternilai dan anugerah Tuhan yang memberikan kesempatan pada kita untuk berkarma menjaga dan merawatnya.


Oleh
Made Worda Negara