Senin, 31 Oktober 2022

Ngangkid, Ritual “Memanggil” Atma Jelang Diaben

 


Pelaksanaan upacara pengabenan dilaksanakan berdasarkan dresta yang berlaku. Seperti di Desa Sayan, Ubud, Gianyar, kerap diselenggarakan Ngaben Ngerit (sederhana). Pada proses awal sebelum Ngaben, ada yang disebut dengan Ngangkid di kuburan.

Prosesi Ngangkid diawali semua keluarga menuju kuburan memanggil atma orang yang sudah meninggal untuk diajak pulang kembali untuk diupacarai. “Kalau masalah hari, itu tergantung dari petunjuk Ida Pedanda tempat mohon hari baik. Ngangkidnya juga tidak di kuburan saja. Kalau ada yang dibakar dulunya dan dihanyut ke sungai atau pantai, ya ke sana juga harus melakukan Ngangkid ,” terang serati banten pengabenan, Ida Ayu Putu Widiastuti ketika diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) di Gria Mengwi, Ubud, Gianyar, pekan kemarin.

Pada umumnya Ngangkid dilaksanakan tiga hari sebelum pengabenan berlangsung. Tak ditampiknya bahwa Ngangkid di masing-masing desa adat berbeda karena punya aturan yang berlainan.
Dikatakannya, pelaksanaan Ngangkid terdapat beberapa rentetan upacara.

Wanita yang kerap disapa Dayu Niang Tu ini memaparkan yang pertama adalah mencari dewasa ayu (hari baik) untuk melaksanakan upacara atiwa-tiwa (pengabenan). Sebab, Ngangkid adalah salah satu upacara yang harus dilakukan ketika sawa akan dibersihkan.

Setelah itu, nunas izin di Pura Dalem. Dalam hal ini yang ditunas adalah atma yang sebelumnya dikubur tersebut. Terlebih waktu untuk makingsan (dikubur) itu tidak menentu.

Jika mampu, lanjutnya, akan menyelenggarakan pengabenan secara mandiri, juga bisa diaben lebih awal dari sawa lainnya. “Semua itu tergantung dari kesepakatan desa di masing-masing, di samping kemampuan dari keluarga ,” terangnya.

Ditambahkannya, nunasnya di tanah pamuhunan dan di Pura Mrajapati, dengan cara mohon izin dulu agar bisa atma yang akan diupacarai diajak pulang.



Prosesinya juga ada Ngeplugin, yakni memanggil kembali atma tersebut agar tahu jalan pulang. “Sama seperti kita mau ke hotel, kalau jemput seseorang kan harus lapor dulu ke petugas. Tidak langsung kita ke pimpinannya,” papar wanita asli Abiansemal, Badung tersebut.

Setelah itu, lanjutnya, baru dilaksanakan Ngangkid dengan simbolis, yang menggunakan sarana berupa ranting pohon dadap bercabang tiga. Dibarengi dengan pelaksanaan Ngeplugin, kemudian ada istilah Ngedetin (menarik). Yang berarti roh tersebut sudah berada di sanggah urip yang dibawa oleh keluarga sawa. Dimana terdiri atas rantasan (gambar berbentuk manusia) berasal dari kayu tipis. Ditaruh pada bokoran, dengan ranting dadap yang diisi uang kepeng 225. Di sana juga diisi benang Bali berwarna putih.

Kenapa menggunakan uang kepeng dengan jumlah ratusan? Dayu Biang Tu mengatakan sebagai simbol bahwa di sana sudah ada atma yang akan siap diupacarai. Sedangkan ranting dadap yang bercabang tiga tersebut sebagai lambang lahir, hidup, dan mati. Yang menandakan setiap makhluk hidup yang ada di dunia ini, pasti akan mengalami proses ketiga tersebut. “Selesai Ngangkid, juga terdapat beberapa upakara yang dihaturkan di kuburan berupa caru ayam hitam, sesajen suci, dan pohon anak pisang yang diyakini sebagai penebus dari atma yang sudah diangkid ” terangnya. Setelah itu, gundukan kuburan yang tadi dibongkar sudah bisa diratakan kembali.

Selanjutnya, bokoran yang berisi rantasan dibawa ke Pura Prajapati, Pura Dalem untuk mamitin (berpamitan). Karena sebelum diaben makingsan (dititip) di sana. Setelah itu, kemudian diajak ke bale dangin kalau Ngaben di rumah. Sedangkan jika Ngaben Ngerit dibawa ke petak (tempat Ngaben secara sederhana).
Sebelum ditaruh pada petak ada yang disebut dengan prosesi Manyapa. “Biasanya baru sampai di depan petak akan ditanyai atau disapa, ‘kija uli pidan, adi mara mulih, kija gen malali,” terangnya.

Sapaan itu maksudnya menanyakan kepada roh orang bersangkutan, kemana saja, kenapa baru pulang. Sambil diberikan nasi dan kopi. Saat itu juga dianggap sakit dan diberikan rempah-rempah (boreh) dan disimbolkan meninggal lagi.

Maka ditutuplah gorden yang ada di petak, kemudian dicarilah kelihan banjar untuk memberitahukan bahwa ada yang meninggal. Setelah itu, baru prosesi selanjutnya akan dilaksanakan.

Maka saat itu juga, sawa yang sebagai rantasan tersebut diambil kembali, untuk melaksanakan upacara Nyiramin (memandikan), yakni bertujuan untuk membersihkan secara simbolis. Pertama menggunakan anggapan, berfungsi sebagai ngerik kuku. Dilanjutkan dengan mandi sebuah takir. Pada alis diisi daun intaran, malem pada telinga. Di hidung ada pusuh menuh, waja pada gigi, sedangkan pipi daun delem. Bila sawa itu perempuan, pada rantasan ditutup dengan daun tunjung tepat pada kelaminnya, daun bulung pada sawa pria.
Setelah proses itu terlaksana, maka akan dihiasi kembali menggunakan wastra. Yang pria menggunakan destar dan dibuatkan seperti kamben layaknya pria. Sedangkan yang perempuan juga kamben selayaknya pakaian wanita yang dihiasi pada rantasan tersebut. Kemudian digulung menggunakan tikar Bali. Sebelum ditaruh pada petak kembali, maka akan diperciki tirta prasista oleh sulinggih yang muput saat itu.

Setelah ditaruh kembali pada petak, keluarga sawa akan bersembahyang di hadapan petak. Dayu Niang Tu mengatakan, sembahyang tersebut sebagai permohonan maaf kepada sawa. “Sembahyang di sana hanya sekali saja, selain sebagai permohonan maaf bisa juga berdoa biasa. Agar upacara tersebut berjalan dengan baik. Dan, atman sawa bisa menyatu dengan Sang Brahman, yaitu dengan cara sembahyang tangan kosong (muspa puyung),” imbuhnya.

Pada tempat berbeda, Bendesa Adat Sayan, dr. Tjok Gede Ardana mengatakan, pelaksanaan prosesi Ngangkid disebut dengan upacara Ngwangun, yakni sebagai tanda, jika akan diupacarai harus dibangunkan terlebih dahulu. Selain itu, sawa yang makingsan di geni dianggap sedang tidur di kuburan. Jadi, menunggu pelaksanaan upacara pengabenan berlangsung. “Kalau di Sayan sendiri pelaksanaan Ngangkid itu ditentukan oleh masing-masing Ida Pedanda. Semuanya dikembalikan kepada banjar masing-masing, yang akan melaksanakan pengabenan.

(bx/rin/ade/yes/JPR) –sumber



Minggu, 30 Oktober 2022

Banten Ajuman Atau Banten Sodan

 


Dalam ajaran Agama Hindu Dalam ajaran agama Hindu terdapat empat jalan untuk menuju Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut dengan Catur Marga, yang terdiri dari Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, dan Yoga Marga

 

Upakara atau Banten merupakan salah satu sarana dalam pelaksanaa upacara bagi mereka yang akan menempuh jalan Bahkti Marga, akibat mempunyai kemampuan yang sangat terbatas  dalam berhubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Upakara atau Banten tersebut diwujudkan dengan Karma Marga yaitu dengan jalan bekerja atau berbuat yang nantinya akan dipersembahkan melalui Jnana Marga dan Yoga Marga. Sehingga ajaran Catur Marga sudah diamalkan.

Salah satu dari Upakara atau Banten adalah Ajuman (sodaan). Ajuman disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut “perangkat atau perayun” yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper /ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain.


  • Alasnya tamas/taledan/cepe; berisi buah, pisang dan kue secukupnya, nasi penek dua buah, rerasmen/lauk-pauk yang dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan plaus/petangas, canang sari. Sarana yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi (ngajum, menghormat, sujud kepada Hyang Widhi)

 

  • Nasi penek atau “telompokan” adalah nasi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk bundar dan sedikit pipih, adalah lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar manusia tetap eksis.

 

  • Sampyan Plaus/Petangas; dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga berbentuk seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah siap. Kadang sampyan plaus/petengas bisa disebut “sampyan kepet-kepetan”. dan dapat pula dilengkapi dengan canang genten/ canang sari/ canang burat wangi.

 

  • beberapa jenis jajan, buah-buahan, lauk pauk berupa serondeng atau sesaur, kacang-kacangan, ikan teri, telor, terung, timun, taoge (kedelai), daun kemangi (kecarum), garam, dan sambal.

 

Ajuman sendiri berasal dari bahasa Sangsekerta / Hindu. Nama spesial tersebut memiliki definisi dan arti Nama Tempat. Ide menarik dalam memberikan nama bayi dengan nama ANJUMAN lebih pantas untuk bayi / anak berjenis kelamin Laki-Laki. (CF/Google)


PANCA KOSHA

 



Menurut Taittiriya Upanisad ada lima lapisan tubuh yang disebut dengan istilah Panca Kosha. Adapun bagian bagiannya antara lain :

1. Annamaya Kosha – Lapisan badan yang tersusun dari energi sari-sari makanan. Terdiri dari dua sub lapisan yaitu sthula sarira dan linga sarira.

2. Pranamaya Kosha – Lapisan badan yang tersusun dari energi prana, yaitu samudera besar energi pembentuk kehidupan yang ada di semua penjuru alam Semesta. Lapisan ini terkait jejaring energy prana, terdapat hal dasar yg perlu dijelaskan terlebih dahulu yg terdiri dari: Nadi, Cakra, Granthi dan Kundalini.

3. Manomaya Kosha – Lapisan badan yang tersusun dari energi pikiran biasa. Terdiri dari dua sub lapisan, yaitu “Sukhma Sarira dan Karana Sarira”.


4. Vijnanamaya Kosha – Lapisan badan yang tersusun dari energi pikiran yang halus dan sadar.

5. Anandamaya Kosha – lapisan badan yang tersusun dari energi alam semesta yang transenden.

Demikianlah sekilas pengetahuan tentang Panca Kosha, semoga bermanfaat. Rahayu.

Om Santih Santih Santih Om –sumber

Senin, 24 Oktober 2022

Hari Raya Nyepi dan Yadnya Tawur Agung




Muwujudkan kesejahteraan lahir batin atau jagadhita dan moksha merupakan tujuan agama Hindu. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, umat Hindu wajib mewujudkan 4 tujuan hidup yang disebut Catur Purusartha atau Catur Warga yaitu dharma, artha, kama dan moksha. Empat tujuan hidup ini dijelaskan dalam Brahma Sutra, 228, 45 dan Sarasamuscaya 135.

Menurut agama, tujuan hidup dapat diwujudkan berdasarkan yajña. Tuhan (Prajapati), manusia (praja) dan alam (kamadhuk) adalah tiga unsur yang selalu berhubungan berdasarkan yajña. Hal ini tersirat dalam makna Bhagavadgita III, 10:

manusia harus beryajña kepada Tuhan, kepada alam lingkungan dan beryajña kepada sesama.

Tawur kesanga menurut petunjuk lontar Sang hyang Aji Swamandala adalah termasuk upacara Butha Yajña. Yajña ini dilangsungkan manusia dengan tujuan membuat kesejahteraan alam lingkungan. Dalam Sarasamuscaya 135 (terjemahan Nyoman Kajeng) disebutkan, untuk mewujudkan Catur Warga, manusia harus menyejahterakan semua makhluk (Bhutahita).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

"Matangnyan prihen tikang bhutahita haywa tan mâsih ring sarwa prani."

Artinya:
Oleh karenanya, usahakanlah kesejahteraan semua makhluk, jangan tidak menaruh belas kasihan kepada semua makhluk.

"Apan ikang prana ngaranya, ya ika nimitang kapagehan ikang catur warga, mâng dharma, artha kama moksha."
Artinya:
Karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjaminnya dharma, artha, kama dan moksha.

Di dalam Agastya Parwa ada disebutkan tentang rumusan Panca Yajña dan di antaranya dijelaskan pula tujuan Butha Yajña sbb:

"Butha Yajña namanya tawur dan mensejahterakan tumbuh-tumbuhan."

Dalam Bhagavadgita III, 14 disebutkan, karena makanan, makhluk hidup menjelma, karena hujan tumbuhlah makanan, karena persembahan (yajña) turunlah hujan, dan yajña lahir karena kerja.

Dalam kenyataannya, kita bisa melihat sendiri, binatang hidup dari tumbuh-tumbuhan, manusia mendapatkan makanan dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dengan demikian jelaslah, tujuan Butha Yajña melestarikan lingkungan hidup, yaitu Panca Maha Butha dan sarwaprani. Upacara Butha Yajña pada tilem kasanga bertujuan memotivasi umat Hindu secara ritual untuk senantiasa melestarikan alam lingkungan.

Dalam lontar Eka Pratama dan lontar Usana Bali disebutkan bahwa, Brahma berputra tiga orang yaitu: Sang Siwa, Sang Budha dan Sang Bujangga. Ketiga putra beliau ini diberi tugas untuk amrtista akasa, pawana, dan sarwaprani. Oleh karena itu, pada saat upacara Tawur Kesanga, upacara dipimpin oleh tiga pendeta yang disebut Tri Sadaka. Beliau menyucikan secara spiritual tiga alam ini: Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Sebelum dilaksanakan Tawur Kesanga, dilangsungkanlah upacara Melasti atau Melis.



Tujuan upacara Melasti dijelaskan dalam lontar Sanghyang Aji Swa-mandala sebagai berikut:

Anglukataken laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana.

Artinya:
Melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan dan kekotoran alam.

Lontar Sundarigama menambahkan bahwa tujuan Melasti adalah:

Amet sarining amerta kamandalu ring telenging sagara.

Artinya:
mengambil sari-sari air kehidupan (Amerta Ka-mandalu) di tengah-tengah samudra.

Jadi tujuan Melasti adalah untuk menghilangkan segala kekotoran diri dan alam serta mengambil sari-sari kehidupan di tengah Samudra. Samudra adalah lambang lautan kehidupan yang penuh gelombang suka-duka. Dalam gelombang samudra kehi-dupan itulah, kita mencari sari-sari kehidupan dunia.

Pada tanggal satu sasih kadasa, dilaksanakanlah brata penye-pian. Brata penyepian ini dijelaskan dalam lontar Sundarigama sebagai berikut:

BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali"....enjangnya nyepi amati geni, tan wenang sajadma anyambut karya sakalwirnya, ageni-geni saparanya tan wenang, kalinganya wenang sang wruh ring tattwa gelarakena semadi tama yoga ametitis kasunyatan."

Artinya:
"....besoknya, Nyepi, tidak menyalakan api, semua orang tidak boleh melakukan pekerjaan, berapi-api dan sejenisnya juga tak boleh, karenanya orang yang tahu hakikat agama melak-sanakan samadhi tapa yoga menuju kesucian."

Jadi, brata penyepian dilakukan dengan tidak menyalakan api dan sejenisnya, tidak bekerja terutama bagi umat kebanyakan. Sedangkan bagi mereka yang sudah tinggi rohaninya, melakukan yoga tapa dan samadhi. Parisada Hindu Dharma Indonesia telah mengembangkan menjadi catur brata penyepian untuk umat pada umumnya yaitu: amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati lelanguan. Inilah brata penyepian yang wajib dilakukan umat Hindu pada umumnya. Sedangkan bagi umat yang telah memasuki pendidikan dan latihan yang menjurus pada kerohanian, pada saat Nyepi seyogyannya melakukan tapa, yoga, samadhi.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Tujuan utama brata penyepian adalah untuk menguasai diri, menuju kesucian hidup agar dapat melaksanakan dharma sebaik-baiknya menuju keseimbangan dharma, artha, kama dan moksha.

Jika kita perhatikan tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan makna yang relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan.

Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata "tawur" berarti mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan dalam merayakan pergantian Tahun Saka

Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu nilai kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern seka-rang ini adalah seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini tampak semakin eksis dan bukan merupakan sesuatu yang negatif. Persamaan dan perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan akal dan budi yang sehat. Brata penyepian adalah untuk umat yang telah meng-khususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya. Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat tertentu.

Pelaksanaan Upacara

Upacara Melasti dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi. Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan dalam lontar Sundarigama seperti ini:

"....manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata."

Di Bali umat Hindu melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di Pura Desa. Sebelum Ngrupuk atau mabuu-buu, dilakukan nyejer dan selama itu umat melakukan persembahyangan.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Upacara Melasti ini jika diperhatikan identik dengan upacara Nagasankirtan di India. Dalam upacara Melasti, pratima yang merupakan lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling desa menuju laut dengan tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa. Sedang upacara Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa, mengidungkan nama-nama Tuhan (Namas-maranam) untuk menyucikan desa yang dilaluinya.

Dalam rangkaian Nyepi di Bali, upacara yang dilakukan berdasarkan wilayah adalah sebagai berikut: di ibukota provinsi dilakukan upacara tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata.

Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari bambu) dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar.


Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara "byakala prayascita" dan "natab sesayut pamyakala lara malaradan" di halaman rumah.

Upacara Bhuta Yajña di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 11.00 - 12.00 (kala tepet). Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah tangga, yaitu melakukan upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan ngrupuk pada saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian. Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini meru-pakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat.

Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Patung yang dibuat dengan bam-bu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngrupuk. Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala.

Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai serta tidak mengganggu ketertiban dan kea-manan. Selain itu, ogoh-ogoh itu jangan sampai dibuat dengan memaksakan diri hingga terkesan melakukan pemborosan. Karya seni itu dibuat agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau mengagungkan upacara. Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi dan dijiwai agama Hindu.

Nah, lalu bagaimana pelaksanaan Nyepi di luar Bali? Rangkaian Hari Raya Nyepi di luar Bali dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap memperhatikan tujuan utama hari raya yang jatuh setahun sekali itu. Artinya, pelaksanaan Nyepi di Jakarta misalnya, jelas tidak bisa dilakukan seperti di Bali. Kalau di Bali, tak ada kendaraan yang diperkenankan keluar (kecuali mendapat izin khusus), namun di Jakarta hal serupa jelas tidak bisa dilakukan.



Sebagaimana telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu:

Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan upawasa (puasa).
Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria.
Amati lelungan (tidak bepergian).
Amati lelanguan (tidak mencari hiburan).Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu.

Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk melak-sanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana.

Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan terpaksa. Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan. Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh keikhlasan.

Nunas Tipat Gong Atasi Masalah Anak Sulit Bicara

 


Anak yang sudah berumur tiga sampai empat oton, pada umumnya sudah bisa berbicara. Jika dalam usia itu belum juga bisa bicara, ada ritual ampuh yang dapat dilakukan untuk mengatasinya.

Kelihan Gong, I Nyoman Supasara mengatakan, anaknya yang sudah berusia dua tahun belum juga bisa bicara. Awalnya hal itu dianggap biasa, seiring berjalannya waktu, ternyata kondisinya tak berubah. “Saya baru sadar ternyata anak memang ada masalah,” tutur Supasara kepada Bali Express (Jawa Pos Group) di rumahnya, Banjar Mas, Desa Sayan, Ubud, Gianyar, pekan kemarin.

Supasara mengetahui kalau anaknya belum bisa bicara ketika anaknya sudah memasuki empat oton (dua tahun). “Saat itu ibu saya mengusulkan untuk nunas Tipat Gong. Selain tipat, lungsuran dari banten saiban bisa ditunas setiap hari. Karena banten itu juga bisa memperlancar berbicara untuk balita,” papar pria 38 tahun tersebut.

Soal khasiat lain Tipat Gong itu, diakuinya diketahui dari cerita leluhur. Ia sejatinya menganggap hal tersebut sebagai sebuah mitos. Namun, karena anaknya yang kini belum bisa bicara, akhirnya dicoba.

Di samping ia setiap hari nunas banten saiban.untuk anaknya, setelah selesai memasak. Supasara mengakui sudah banyak cara yang dilakukan. Bahkan, nunas Tipat Gong sudah tiga kali dilakukan. “Padahal sudah tiap hari saya suruh nunas banten saiban dan dimakan, namun belum juga bisa berbicara. Ketika ada piodalan di Pura Khayangan Tiga, saya coba untuk nunas Tipat Gong lagi. Yang pertama belum berhasil,” ujarnya.

Bulan berikutnya ia kembali melaksanakan ritual serupa, namun tak ada perkembangan juga.Meskipun belum membuahkan hasil, Supasara tak putus asa. Ia memutuskan lagi untuk nunas Tipat Gong kembali dengan cara menghaturkan pejati yang diisi Tipat Gong .


Usaha yang ketiga kalinya ini, baru anaknya bisa berbicara dengan normal. Namun tidak secara otomatis, tapi dengan perlahan dalam waktu satu bulan.
“Semua itu soal kepercayaan dari dalam diri kita saja. Kalau percaya ya dijalankan, kalau tidak ya jangan. Karena itu salah satu cara alternatif yang sudah ada dari turun temurun,” ujarnya.

Ia harus mencobanya karena percaya. ” Astungkara berhasil. Bahkan, sekarang anak saya banyak bicara,” papar ayah dua anak tersebut.

Bagaimana.tata caranya? Supasara mengajak anaknya ke tempat nunas tipat, kemudian menghaturkan pajati lengkap dengan tipatnya. Setelah dihaturkan, baru ditunas untuk.kemudian langsung dimakan oleh anaknya. Sebelumnya diperciki tirta, yang sebelumnya dihaturkan di gong tersebut.

Dewa yang dipuja saat upacara , lanjut Supasara, adalah Sang Hyang Iswara yang diyakini malinggih di sebuah gong.

Soal mantra, masing-masing yang muput mempunyai mantra yang berbeda. Namun tujuannya sama untuk memperlancar seseorang berbicara.
“Kalau sejak saya menjadi kelihan gong di sini, ketika nunas tipat gong saya hanya mengucapkan mantra ‘Om Ina Bhakti Iswara Widahana’ . Tujuannya supaya sasuhunan yang malinggih memberikan jalan, terutama untuk yang nunas tipat untuk dimakan untuk memperlancar berbicara. Setelah itu, baru membunyikan gong sebanyak tiga kali ,” imbuhnya.

Supasara juga mengakui, kalau saat melaksanakan magambel, sering muput upakara yang dihartukan. Dikatakannya, sebelum gambelan digunakan, pasti akan dihaturkan sebuah sesajen yang berisikan santun daksina. “Tujuannya untuk memohon keselamatan, terutama kepada sekaa gong yang akan ngayah magambel. Agar selamat selama ngayah dan gambelan juga tidak cepat rusak,” urainya.

Di tempat yang sama. ibu kandung Supasara, Ni Made Siki menambahkan, nunas Tipat Gong dilakukan saat piodalan di pura desa setempat. Yang kebetulan saat itu sekaa gong belum magembel. Sehingga ia langsung berkordinasi dengan pemangku, bahwa akan menghaturkan sebuah pajati untuk nunas Tipat Gong untuk cucunya yang belum lancar berbicara.

Beberapa hari kemudian setelah nunas Tipat Gong, lanjutnya, cucunya mulai bisa berbicara dikit demi sedikit. Bahkan, sampai sekarang cucunya I Kadek Aditya Putra banyak omong, tidak pernah berhenti berbicara. “Dulu mencari agar bisa bicara, kini sampai menyuruh untuk berhenti bicara saking cerewetnya,” urai wanita 58 tahun tersebut.

(bx/rin/ade/yes/JPR) –sumber


Kamis, 20 Oktober 2022

Tumpek Landep








Tumpek Landep adalah pemujaan dan rasa syukur kepada Hyang Pasupati atas segala ciptaanya, sehingga atas analisys dari manusia menggunakan ketajaman Jnana (pikiran/idep, logika dan ilmu pengetahuannya) sehingga berhasilah mengolah logam logam yang dipergunakan untuk melancarkan usahanya dalam menunjang kehidupan sehari-hari, sehingga lazimnya pada tumpek ini sepertinya di katagorikan sebagai sarwa sanjata-senjatanyapun yang dari Logam, pada hal yang utama bagaimana ketajaman dari Jnanam kita yang di anugrahi oleh sang maha pencipta.

Demikian diuraikan dari kutipan tumpek dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Sebagaimana juga ditambahkan dalam sumber kutipan Kalender Bali Digital, tumpek landep juga disebutkan sebagai upacara yadnya selamatan terhadap semua jenis alat yang tajam atau senjata, keris, tiuk dll serta memohon kehadapan Bhatara Siwa dan Sang Hyang Pasupati agar semua alat / senjata tetap bertuah yang perayaannya dilakukan setiap 210 hari yaitu pada sabtu wuku landep.


Piodalan di sejumlah pura / tempat suci di Bali :

Pura Pasek Gelgel Pedungan Denpasar Selatan.
Pura Agung Pasek Tangun Titi kaler Tabanan.
Pura Agung Pasek Silamadeg Tabanan.
Pura Pasek Tangkas Kediri Tabanan.
Pura Kerta di Banyuning Barat Buleleng.
Pura Dalem Tenggaling Sengguan Singapadu.
Pura Kawitan Arya Wang Bang Pinatih Peguyangan Singaraja.
Pura Bhujangga Waisnawa Tegalcangkring Jembrana.
Pura taman Desa Bubunan Seririt Buleleng.
Pura Penataran Pande Dalem Batur Jati Banjar Pandean Mengwi.
Pura Dalem Pingit Br, Taro Kaje Tegalalang.
Pura dadia Pasek Gelgel Gobleg di Desa Selat Sukasada Buleleng.
Pura Batur Arya Warih Kepaon Cengolo Sudimara Tabanan.
Pura Ida ratu Pande di Besakih,
Merajan. Pasek Toh Jiwa Tangungtiti.
Pura Penataran Pande Kusamba Klungkung.
Pura Penataran Agung Pinatih Tulikup Banjar Menak Desa Tulikup Gianyar.
dll
Sementara dari perspekif Tattwa (philosofis umat Hindu), sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel Tumpek Landep Kearifan Lokal Umat Hindu Etnis Bali Memanfaatkan Teknologi Untuk Kemanusiaan, sebagaiman yang dituis oleh : Ni Kadek P. Noviasih (ref), Upacara Tumpek dilaksanakan untuk memohon keselamatan kehadapan Sang Hyang Pasupati, manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) sebagai dewa pencipta dan pemilik peralatan yang terbuat dari besi, perak, emas dan lain sebagainya.

Di samping itu, juga sebagai wujud atau simbol puji syukur umat Hindu ke hadapan Sang Hyang Widhi yang telah memberikan pengetahuan dan kemampuan merangcang teknologi canggih sehingga tercipta benda-benda yang dapat membantu sekaligus mempermudah kehidupan manusia.


Ritual ini sesungguhnya merupakan event yang penuh spirit kemanusiaan, membangun manusia yang arif dalam memanfaatkan teknologi.

Selain menghaturkan sesajen pada kendaraannya, umat Hindu juga menghaturkan sesajen itu di atas benda-benda teknologi yang mengandung unsur besi, sepeda motor, sepeda, mesin-mesin, komputer, televisi, radio, pisau, keris, tombak, cangkul, dan berbagai jenis senjata.

Semua benda atau teknologi canggih itu memang harus dimanfaatkan untuk hal-hal yang bersifat positif, sesuai dengan konsep hidup orang Bali yang berlandaskan Tri Hita Karana (hidup harmonis dengan Yang Maha Kuasa, dengan alam lingkungan, dan dengan sesama manusia).

Karena itu seluruh peralatan yang dipakai manusia untuk mengolah isi alam, harus tetap terjaga kesucianya, sehingga selalu dapat digunakan dengan baik tanpa merusak alam atau menyakiti mahluk lain.

Sebagai ilustrasi, orang yang berprofesi sebagai petani akan merawat dan menjaga peralatan pertaniannya dengan baik, seperti bajak, cangkul, sabit, pisau, kapak, dan berbagai bentuk senjata seperti keris, tombak, bedil atau panah.
Orang yang berprofesi sebagai pande (tukang membuat berbagai peralatan dari besi, baja, emas, perak) juga memelihara dan menjaga peralatannya agar tidak disalahgunakan untuk membuat benda-benda yang membahayakan kehidupan di alam semesta ini.

Para sopir akan selalu merawat kendaraannya dengan baik, para operator komputer atau peralatan teknologi canggih lainnya juga akan bekerja dengan baik. (Baca: Hasil Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu)



Secara teknis, prosesi upacara Tumpek Landep diuraikan dalam Lontar Sundarigama. Adapun sesajen yang dipersembahkan pada hari Tumpek Landep terdiri
tumpeng putih kuning selengkapnya dengan
lauk sate,
terasi merah,
daun dan
buah - buahan
29 tanding (kelompok) dihaturkan di Sanggah / Merajan (tempat suci).
Persembahan kepada Sanghyang Pasupati berupa sebuah
Sesayut Pasupati,
sebuah Sesayut Jayeng Perang,
sebuah Sesayut Kusumayudha,
Banten Suci,
Daksina,
Peras,
Ajuman,
Canang Wangi,
Reresik atau Pabersihan. Besar kecilnya upacara ini dilaksanakan sesuai kemampuan seseorang atau disesuaikan dengan desa kala patra yang sesuai kondisi, waktu dan wilayah tertentu.

Tumpek Landep dan Kesadaran Menangani Limbah Industri Seirama dengan perkembangan ekonomi dan teknologi yang ditandai dengan meningkatnya taraf hidup manusia, maka kini manusia pun semakin banyak memiliki peralatan rumah tangga yang terbuat dari besi, termasuk
mobil,
pesawat terbang
sepeda motor,
sepeda,
televisi,
radio,
dan lain-lain. Ada kesan orang-orang akan sangat bangga jika semakin banyak memiliki benda-benda material berbau teknologi canggih. Pola hidup orang jaman sekarang pun tampak telah jauh berubah dari pola hidup agraris ke industri dan konsumtif. Tanah persawahan dan ladang mulai tergusur oleh pembangunan pertokoan/mall, perumahan, hotel, dan tempat-tempat usaha industri yang mengoperasikan mesin-mesin canggih.



Ritual Tumpek Landep bukan sekadar prosesi membuat dan menghaturkan sesajen, tetapi mengandung suatu pengharapan agar ritual ini dapat membangun kesadaran manusia, bahwa semua benda teknologi atau mesin-mesin industri itu harus terpelihara kesuciannya, termasuk penanganan limbahnya supaya tidak menimbulkan masalah bagi kehidupan manusia dan alam semesta.

Penanganan limbah industri sampai saat ini memang belum bagus dan ada yang mencemari lingkungan. Contohnya jika kita kebetulan melihat air sungai di seputar perkotaan bahkan di pedesaan misalnya, tampak berwarna hitam atau coklat penuh busa, itulah akibat dari pencemaran limbah industri. Kesadaran menangani
limbah inilah seharusnya mulai dibangkitkan ketika merayakan hari Tumpek Landep.

Makna dari pelaksanaan upacara Tumpek Landep ini adalah untuk mengasah dan meningkatkan ketajaman pikiran serta mohon kekuatan lahir bathin agar manusia selamat dalam mengarungi samudra kehidupan.
Dalam kitab Sarasamuccaya mengajak umat Hindu agar terus meningkatkan ketajaman dan kecerdasan akal serta pikiran dengan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Sebab dari semua mahluk yang dilahirkan ke dunia, hanya manusia yang dibekali kecerdasan akal pikiran, dan kesadaran. Manfaatkanlah kesempatan hidup itu untuk membebaskan diri dari samsara atau penderitaan dan kelahiran berulang-ulang.

Kita semua tentu berharap agar makna universal Tumpek Landep ini bisa dihayati dan diamalkan oleh seluruh umat manusia di muka bumi, sehingga tidak akan terjadi berbagai kerusakan lingkungan, perlombaan senjata serta perperangan diberbagai belahan dunia. Tentu akan sangat bagus jika spirit perdamaian dari upacara
Tumpek Landep yang dilaksanakan orang Bali kini terus didengungkan ke seluruh pelosok dunia untuk membangun kehidupan dunia global yang damai sejahtera.

Agama Hindu dan Kemajuan Teknologi
Buku Himpunan Hasil Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu dalam Konteks Kemajuan Teknologi seperti diterbitkan Pemerintah Daerah Provinsi Bali tahun 1999 (halaman 48-49), memberi tuntunan praktis bagi umat Hindu dalam menyikapi kemajuan teknologi. “Hasil kesatuan tafsir ini diharapkan dapat mengajak umat Hindu bertindak bijaksana, menjaga keseimbangan antara kebutuhan bidang
material dengan bidang mental spiritual,” tulis I Wayan Surpha dalam kata pengantar buku tersebut.
Kemajuan teknologi juga bisa sejalan dengan tujuan agama Hindu yakni moksa dan jagathita, mencapai kesejahteraan niskala dan sekala. Agama Hindu menerima teknologi secara selektif dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama Hindu.


Teknologi itu hanya sebagai sarana penopang untuk mencapai tujuan hidup, termasuk dalam pelaksanaan upacara agama.

Yang menjadi tolok ukur dalam menerima atau menolak teknologi dalam kehidupan adalah:
Tri Semaya yaitu, atita artinya penyesuaian dengan masa lampau, wartamana artinya penyesuaian dengan masa sekarang, dan nagata artinya penyesuaian dengan masa yang akan datang;
Tri Pramana yaitu pratyaksa artinya berdasarkan penglihatan langsung, anumana artinya berdasarkan kesimpulan logis, agama artinya berdasarkan pemberitahun orang yang dapat dipercaya;
Rasa, Utsaha, Lokika dan Desa Kala Patra.