Rabu, 29 November 2023

PENGERTIAN SAD DARŚANA KONSEP VEDĀNTA DARŚANA



Pendiri dan Sumber Ajaran Sad Darśana, Vedānta Darśana - Pada pembahasan materi agama Hindu kali ini akan membahas mengenai sad darsana dengan aliran konsep vedanta darsana, yang akan dijelaskan mulai dari pendiri, sumber ajaran, sifat, dan pokok-pokok utama dari ajaran tersebut, untuk lebih jelasnya dapat kalian simak dalam penjelasan singkat berikut ini!


Vedānta Darśana, Pendiri, Sumber, Sifat dan Pokok Ajaran
a. Pendiri dan Sumber AjarannyaFilsafat ini sangatlah kuno yang berasal dari kumpulan literatur bangsa Arya yang dikenal dengan nama Veda. Vedānta ini merupakan bunga diantara semua spekulasi, pengalaman dan analisis yang terbentuk dalam demikian banyak literatur yang dikumpulkan dan dipilih selama berabad-abad. Filsafat Vedānta ini memiliki kekhususan.

Yang pertama, ia sama sekali impersonal, ia bukan dari seseorang atau Nabi. Istilah Vedānta berasal dari kata Veda-anta, artinya bagian terakhir dari Veda atau inti sari atau akhir dari Veda, yaitu ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab Upaniṣad. Kitab Upaniṣad juga disebut dengan Vedānta, karena kitab-kitab ini merupakan jñana kāṇda yang mewujudkan bagian akhir dari Veda setelah Mantra, Brāhmaṇa dan Āraṇyaka yang bersifat mengumpulkan.

Di samping itu ada tiga faktor yang menyebabkan Upaniṣad disebut dengan Vedānta yaitu:

Upaniṣad adalah hasil karya terakhir dari zaman Veda.
Pada zaman Veda program pelajaran yang disampaikan oleh para Rsi kepada sisyanya, Upaniṣad juga merupakan pelajaran yang terakhir. Para Brāhmacari pada mulanya diberikan pelajaran shamhita yakni koleksi syair-syair dari zaman Veda. Kemudian dilanjutkan dengan pelajaran Brāhmaṇa yakni tata cara untuk melaksanakan upacara keagamaan, dan terakhir barulah sampai pada filsafat dari Upaniṣad.
Upaniṣad adalah merupakan kumpulan syair-syair yang terakhir dari pada zaman Veda.Jadi pengertian Vedānta erat sekali hubungannya dengan Upaniṣad hanya saja kitab-kitab Upaniṣad tidak memuat uraian-uraian yang sistimatis. Usaha pertama untuk menyusun ajaran Upaniṣad secara sistimatis diusahakan oleh Śṛi VyāṢaḍeva, kira-kira 400 SM.



Rsi Vyāsa, Pengertian Sad Darśana Konsep Vedānta Darśana
Hasil karyanya disebut dengan Vedānta-Sūtra atau Brahma- Sūtra yang menjelaskan ajaran-ajaran Brahman. Brahma- Sūtra juga dikenal dengan Śarīraka Sūtra, karena ia mengandung pengejawantahan dari Nirguṇa Brahman Tertinggi dan juga merupakan salah satu dari tiga buah buku yang berwewenang tentang Hinduisme, yaitu Prasthāna Traya, sedang dua buku lainnya adalah Upaniṣad dan Bhagavad Gītā. Śṛi Vyāsa telah mensistematisir prinsip-prinsip dari Vedānta dan menghilangkan kontradiksi-kontradiksi yang nyata dalam ajaran-ajaran tersebut.


b. Sifat AjarannyaSistem filsafat Vedānta juga disebut Uttara Mīmāmsā kata ‘Vedānta’ berarti akhir dari Veda. Sumber ajarannya adalah kitab Upaniṣad. Oleh karena kitab Vedānta bersumber pada kitab-kitab Upaniṣad, Brahma Sūtra dan Bhagavad Gītā, maka sifat ajarannya adalah absolutisme dan teisme. Absolutisme maksudnya adalah aliran yang meyakini bahwa Tuhan yang Maha Esa adalah mutlak dan tidak berpribadi (impersonal God),sedangkan teisme mengajarkan Tuhan yang berpribadi (personal God). Uttara-Mīmāmsā atau filsafat Vedānta dari Bādarāyaṇa atau Vyāsa ditempatkan sebagai terakhir dari enam filsafat orthodox, tetapi sesungguhnya ia menempati urutan pertama dalam kepustakaan Hindu.


c. Pokok- Pokok Ajaran VedāntaVedānta mengajarkan bahwa nirvāna dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini, tak perlu menunggu setelah mati untuk mencapainya. Nirvāna adalah kesadaran terhadap diri sejati. Dan sekali mengetahui hal itu, walau sekejap, maka seseorang tak akan pernah lagi dapat diberdaya oleh kabut individualitas. Terdapat dua tahap pembedaan dalam kehidupan, yaitu yang pertama, bahwa orang yang mengetahui diri sejatinya tak akan dipengaruhi oleh hal apapun. Yang kedua bahwa hanya dia sendirilah yang dapat melakukan kebaikan pada dunia Seperti yang telah disebutkan tadi bahwa filsafat Vedānta bersumber dari Upaniṣad.

Brahma Sūtra atau Vedānta Sūtra dan Bhagavad Gītā. Brahma Sūtra mengandung 556 buah Sūtra, yang dikelompokkan atas 4 bab, yaitu Samanvaya, Avirodha, Sādhāna, dan Phala. Pada Bab I, pernyataan tentang sifat Brahman dan hubungannya dengan alam semesta serta roh pribadi. Pada Bab II, teori-teori Sāṁkya, Yoga, Vaiśeṣika dan sebagainya yang merupakan saingannya dikritik, dan jawaban yang sesuai diberikan terhadap lontaran pandangan ini. Pada Bab III, dibicarakan tentang pencapaian Brahmavidyā.



Pada Bab IV, terdapat uraian tentang buah (hasil) dari pencapaian Brahmavidyā dan juga uraian tentang bagaimana roh pribadi mencapai Brahman melalui Devayana. Setiap bab memiliki 4 bagian (Pāda). Sūtra-sūtra pada masing-masing bagian membentuk Adikaraṇa atau topik-topik pembicaraan. Lima Sūtra pertama sangat penting untuk diketahui karena berisi intisari ajaran Brahma Sūtra, yaitu:

Sūtra pertama berbunyi : Athāto Brahmajijñāsā – oleh karena itu sekarang, penyelidikan ke dalam Brahman. Aphorisma pertama menyatakan objek dari keseluruhan sistem dalam satu kata, yaitu Brahma-jijñāsā yaitu keinginan untuk mengetahui Brahman.
Sūtra kedua adalah Janmādyasya yataḥ-Brahman yaitu Kesadaran Tertinggi, yang merupakan asal mula, penghidup serta leburnya alam semesta ini.
Sūtra ketiga : Sāstra Yonitvāt – Kitab Suci itu sajalah yang merupakan cara untuk mencari pengetahuan yang benar.
Sūtra keempat : Tat Tu Samvayāt – Brahman itu diketahui hanya dari kitab suci dan tidak secara bebas ditetapkan dengan cara lainnya, karena Ia merupakan sumber utama dari segala naskah Vedānta.
Sūtra kelima: Īkṣater Nā Aśabdam – Disebabkan ‘berfikir’, Prakṛti atau Pradhāna bukan didasarkan pada kitab suci.Sūtra terakhir dari Bab IV adalah Anāvṛṭṭiḥ Śabdāt Anāvṛṭṭiḥ Śabdāt – tak ada kembali bagi roh bebas, disebabkan kitab suci menyatakan tentang akibat itu. Masing-masing buku tersebut memberikan ulasan isi filsafat itu berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh sudut pandangannya yang berbeda. Walaupun objeknya sama, tentu hasilnya akan berbeda. Sama halnya dengan orang buta yang meraba gajah dari sudut yang berbeda, tentu hasilnya akan berbeda pula.

Demikian pula halnya dengan filsafat tentang dunia ini, ada yang memberikan ulasan bahwa dunia ini maya (bayangan saja), dilain pihak menyebutkan dunia ini betul-betul ada, bukan palsu sebab diciptakan oleh Tuhan dari diri-Nya sendiri. Karena perbedaan pendapat ini dengan sendirinya menimbulkan suatu teka-teki, apakah dunia ini benar-benar ada ataukah dunia ini betul-betul maya.

Hal ini menyebabkan timbulnya penafsiran yangg bermacam-macam pula. Akibat dari penapsiran tersebut menghasilkan aliran-aliran filsafat Vedānta. Sūtra-sūtra atau Aphorisma dari Vyāsa merupakan dasar dari filsafat Vedānta dan telah dijelaskan oleh berbagai pengulas yang berbeda-beda sehingga dari ulasan-ulasan itu muncul beberapa aliran filsafat, yaitu:




Kevala Advaita dari Śrī Ṣaṇkarācārya
Viśiṣṭādvaita dari Śrī Rāmānujācārya
Dvaita dari Śrī Madhvācārya
Bhedābedhā dari Śrī Caitanya
Śuddha Advaita dari Śrī Vallabhācarya, dan
Siddhānta dari Śrī Meykāṇdar.Masing-masing filsafat tersebut membicarakan tentang 3 masalah pokok yaitu, Tuhan, alam, dan roh. Dvaita, Viśiṣṭādvaita, dan Advaita adalah tiga aliran utama dari pemikiran metafisika, yang kesemuanya menapak jalan yang menuju kebenaran terakhir, yaitu Para Brahman. Dvaita, Viśiṣṭādvaita, dan Advaita adalah tiga aliran utama dari pemikiran metafisika, yang kesemuanya menapak jalan menuju kebenaran terakhir, yaitu Para Brahman.

Mereka merupakan anak-anak tangga pada tangganya Yoga, yang sama sekali tidak saling bertentangan, bahkan sebaliknya saling memuji satu sama lainnya. Tahapan ini disusun secara selaras dalam rangkaian pengalaman spiritual berjenjang, yang dimulai dengan Dvaita, Viśiṣṭādvaita, dan Advaita murni yang semuanya ini akhirnya memuncak pada Advaita Vedāntis perwujudan dari yang mutlak atau Triguṇatītā Ananta Brahman transcendental.

Madhva mengatakan: “Manusia adalah pelayan Tuhan” dan menegakkan ajaran Dvaita-nya. Rāmānuja berkata: “Manusia adalah cahaya dan percikan Tuhan” dan menegakkan filsafat Viśiṣṭādvaita-nya. Śaṅkara mengatakan: “Manusia identik dengan Brahman atau roh abadi” dan menegakkan filsafat Kevala Advaita-nya.


BACA JUGA : 


Nimbārkācārya mendamaikan semua perbedaan pandangan mengenai Tuhan yang dipakai oleh Śaṅkara, Rāmānuja, Madhva dan yang lainnya serta membuktikan bahwa pandanganpandangan mereka semua benar, dengan petunjuk pada aspek terentu dari Brahman, yang berhubungan dengannya, masing-masing dengan caranya sendiri. Śaṅkara telah menerima realitas pada aspek transendental-Nya, sedangkan Rāmānuja menerima-Nya pada aspek immanent-Nya, secara prinsipil, tetapi Nimbārkā telah menyelesaikan perbedaan pandangan yang diterima oleh para pengulas yang berbeda tersebut.

Perbedaan konsepsi tentang Brahman tiada lain hanya merupakan perbedaan cara pendekatan terhadap Realitas, dan sangat sulit bahkan hampir tak mungkin bagi roh terbatas untuk memperolehnya sekaligus konsepsi tentang Yang Tak Terbatas atau Roh Tak Terbatas ini secara jelas, lebih-lebih lagi untuk menyatakannya dengan istilah yang memadai. Semuanya tak dapat menjamah ketinggian filsafat Kevala Advaita dari Śrī Śaṅkara sekaligus dan untuk itu pikiran harus didisiplinkan seperlunya sebelum dipakai sebagai sebuah alat yang pantas untuk memahami pendapat dari Advaita Vedānta-Nya Śrī Śaṅkara.

Oleh karena itu kita sepatutnya merasa bersyukur dengan kehadiran beliau sebagai Avatāra Puruṣa, yang masing-masing menjelmakan diri di bumi ini untuk melengkapi suatu misi yang tak terbatas, untuk mengajarkan serta menyebarkan ajaran-ajaran tertentu, yang tumbuh subur pada masa tertentu, yang ada pada tahapan evolusi tertentu, dan semua aliran filsafat diperlukan, yang masing-masing dianggap paling sesuai bagi tipe manusia tertentu karena perbedaan konsep mengenai Brahman hanyalah perbedaan pendekatan terhadap realitas.




Penjelasan Apa Itu Ngereh



Setelah dicari-cari pada beberapa kamus Bahasa Bali ternyata tidak mencantumkan kata ngereh. Begitu juga pada Kamus Bahasa Bali karangan Simpen AB juga tidak ditemukan kata ngereh.

Namun beberapa lontar memang ada memberi petunjuk mengenai ngereh, antara lain Lontar Canting Mas (Informasi dari Ida Pedanda Bang Buruan pada majalah taksu, 196 th 2007), Widhi Sastra dan Ganapati Tatwa dan lontar pengerehan. Lontar-lontar tersebut ternyata memberikan penjelasan mengenai ngereh atau kerauhan dalam perspektif yang luas, sehingga menimbulkan kesan bahwa ngereh hanyalah prosesi mistik yang sangat rahasia. Disebut rahasia sebab dilakukan di kuburan tengah malam, hal ini merupakan pengertian ngereh yang sempit yang hidup dan berkembang dalam benak masyarakat Hindu Bali.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Jadi ngereh merupakan suatu prosesi ritual mistik yang dilakukan dikuburan pada tengah malam dan merupakan tahapan akhir dari proses sakralisasi petapakan Ida Bhatara Rangda atau Barong Landung. Atau tahapan akhir dari proses sakralisasi setelah memperbaiki petapakan yang lama atau rusak.

Menurut Ida Pedanda Bang Buruan Manuaba dari Gria Muding Kerobokan Kabupaten Badung bahwa ngereh merupakan simbulis kumpulan aksara-aksara suci yang terdapat dalam swalita dan mudra yang dirangkum menjadi satu sehingga menjadi kalimusada dan kalimusali yang biasanya dipakai untuk surya sewana. Dari kalimusada dan kalimusali ini muncul dwijaksara diakulturasikan menjadi dasa aksara menjadi panca aksara kemudian menjadi Tri Aksara, Dwi Aksara dan akhirnya menjadi Eka Aksara.

Kaitannya dengan ngereh adalah menghidupkan kekuatan Ista Dewata atau lingga beliau yang sesuai dengan fungsinya, khususnya mengidupkan benda-benda yang dibikin oleh manusia.

Dalam beberapa lontar yang ada yang memuat tentang ngereh yakni lontar Canting Mas dan Siwer Mas peninggalan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh / Dang Hyang Dwi Jendra, ngereh mempunyai arti yakni menghidupkan organ inti manusia yang berupa cakra-cakra dalam tubuh manusia.

Didalam tubuh manusia terdapat tujuh cakra yang harus dihidupkan menjadi kundalini yang menjadi rah atau ngereh. Dengan kata lain kita harus menyatukan ongkara ngadeg dan ongkara sungsang dalam tubuh. Ini berfungsi untuk mengaktifkan kekuatan diri sendiri untuk mencapai kesadaran diri dan dapat menyatu dengan sifat-sifat beliau ( ketuhanan ). Dengan sifat-sifat ketuhanan yang lebih mantap akan memudahkan kita berbuat baik dalam menjalani hidup. Di masyarakat dikenal dengan membangkitkan aura (taksu) yang berdasarkan kekuatan batin. Jadi tidak selalu ngerehang itu bersifat menyeramkan. Kalaupun itu bersifat menyeramkan berarti merupakan spesifikasi dari ngerehang. Khusus terhadap ngerehang rangda dan barong landung haruslah mengacu pada dresta yang berlaku setempat.

Menurut Drs. I Made Karda, M.Si yang juga sebagai tukang saluk rangda pada tulisannya di majalah Taksu 169 Thun 2007 menjelaskan bahwa Ngereh lebih dekat dengan kata kerauhan atau kesurupan, yang artinya kemasukan roh manifestasi Tuhan. Mereka akan menggeraklan tubuhnya sesuai dengan kekuatan yang menempatinya.

Ditambahkan bahwa kerauhan di Bali ada 2 (dua) konsep :


Pertama : kerauhan yang biasanya terjadi ketika piodalan di pura, sanggah kemimitan ataupun dirumah yang memberi isyarat bahwa yadnya telah berhasil dengan baik atau sebaliknya tidak berhasil dengan alasan ada kesalahan.
Kedua : kerauhan untuk menghadirkan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa pada saat mengangkat seorang pemangku secara niskala pada suatu pura atau sanggah kemimitan. Ini disebut dengan ketapak ditunjuk secara niskala oleh Ida Bhatara.
Kerauhan yang lain adalah untuk pasupati tapel rangda yang terbuat dari kayu Pule setelah dipasupati tidak lagi disebut Tapel rangda tetapi disebut dengan Ratu Ayu sebutan lain yang disepakati oleh masyarakat penyungsungnya.

Ida Bagus Sudiksa seorang tokoh spiritual, dalang dan pembuatan pratima, barong dan rangda dari Desa Adat Kerobokan Kabupaten Badung menyatakan bahwa setelah selesai pembuatan tapakan Ida Bhatara kemudian dilakukan pengatepan, melaspas, nueden, pasupati oleh Sang Sulinggih dan terakhir barulah dilaksanakan pengerehan.

Desebutkan bahwa ngereh adalah pesucian dari tapakan Ida Bhatara yang ada di Pura. Adapun makna dari pengerehan adalah pengijakan pertama pada Ibu Pertiwi untuk menghidupkan kekuatan magis barong atau rangda yang dilakukan di setra. Ritual di setra ini berhubungan dengan kekuatan magis dan alam gaib dan erat hubungannya dengan jiwa Agama Hindu di Bali yang menganut paham Siwaisme.

Terkait dengan ngereh selain lontar Kala Maya Tatwa ada juga beberapa Lontar tentang pengerehan yakni Lontar Barong Swari yang memuat tentang Kanda Pat, pembuatan barong, rangda, telek, jauk dan lain-lainnya.

Seorang tokoh juga dari Desa Adat Kerobokan Kabupaten Badung Jro Mangku Drs Made Meja Swarata juga berprofesi sebagai dalang dan sejak masih muda biasa memimpin Ritual Ngereh, walaupun beliau tidak terjun langsung selaku pengeranya mengatakan bahwa Ngereh adalah kegiatan yang dilaksanakan dengan tujuan memohon sesuatu pasupati / kekuatan / kehidupan kepada Ida Bhatara terhadap sesuatu petapakan atau palawatan Ida Bhatara misalnya Rangda atau Barong Landung.

Ritual ini dilakukan setelah Barong Landung/Rangda (petapakan) selesai diperbaiki (bagi yang lama) atau bagi petapakan yang baru dibuat akan mulai dipergunakan. Sesudah tentunya sebelum ritual ngereh ini, terhadap petapakan ini terlebih dahulu dilaksanakan penyucian dan pemlaspas serta pasupati (sekala).


Ngereh biasanya berhubungan dengan Upacara Sakral berupa : Pasupati, Ngatep dan Mintonin.

Ngereh artinya memusatkan pikiran, dengan mengucapkan mantra dalam hati, sesuai dengan tujuan yang bersangkutan. Pasupati artinya kekuatan dari Dewa Siwa. Ngatep artinya mempertemukan dan Mintonin adalah bahasa Jawa Kuna yang artinya menampakkan diri.

Dalam prosesi Ngereh Petapakan Ida Betara diperlukan tiga tingkatan upakara seperti ; Prayascita dan Mlaspas, Ngatep dan Pasupati, Masuci dan Ngerehin


Tahap Prayacitta dan Melaspas. Tujuan dari upacara ini adalah untuk menghapuskan noda baik yang bersifat sekala maupun niskala yang ada pada kayu dan benda lain yang digunakan untuk pembuatan Petapakan Betara. Noda ini dapat saja ditimbulkan oleh sangging (seni ukir) ataupun bahan itu sendiri. Dengan Upacara Prayascitta diharapkan kayu atau bahan itu menjadi bersih dan suci serta siap untuk diberikan kekuatan. Upakara tersebut dihaturkan kehadapan Sang Hyang Surya, Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Sapujagat.
Tahap Ngatep dan Pasupati dapat dilakukan oleh Pemangku (orang suci) dan Sangging (seni ukir). Dengan upacara ini terjadilah proses Utpeti (kelahiran) terhadap Petapakan Betara. Mulai saat itu dapat difungsikan sebagai personifikasi dari roh atau kekuatan gaib yang diharapkan oleh penyungsungnya (Pemujanya).


Tahap Masuci dan Ngrehin, merupakan tingkat upacara yang terakhir dengan maksud Petapakan Betara menjadi suci, keramat dan tidak ada yang ngeletehin (menodai). Tujuan upacara adalah untuk memasukkan kekuatan gaib dari Tuhan. Dengan demikian diharapkan Petapakan Betara mampu menjadi pelindung yang aktif. Upacara ini biasanya dilakukan pada dua tempat yaitu di pura dan di kuburan. Apabila dilakukan di kuburan yang dianggap tenget (angker), maka diperlukan tiga tengkorak manusia yang berfungsi sebagai alas duduk bagi yang memundut (mengusung). Begitu pula bila dilakukan di pura maka tengkorak manusia dapat diganti dengan kelapa gading muda. Upacara ini biasanya dilakukan pada tengah malam terutama pada hari-hari keramat seperti hari kajeng kliwon menurut kalender Bali. Sebagai puncak keberhasilan upacara ini adalah adanya kontak dari alam gaib yaitu berupa seberkas sinar yang jatuh tepat pada pemundutnya (pengusungnya). Si pemundut (pengusung) yang kemasukan sinar itu akan dibuat kesurupan (trance) dan pada saat itu pula si pemundutnya (pengusungnya) menari-nari. Kejadian lain yang menandakan upacara ini berhasil adalah apabila Petapakan Betara bergoyang tanpa ada yang menyentuhnya.
Demikianlah beberapa difinisi berdasarkan pendapat beberapa orang yang memang sudah cukup berpenglaman terkait dengan ngereh itu. Memperhatikan bebeapa pendapat yang telah diuraikan di depan, pada intinya ngereh itu adalah suatu ritual niskala yang bersifat magis yang merupakan kelanjutan dari ritual sekala yang dilaksanakan terhadap suatu petapakan (biasanya Barong Landung atau Rangda). Jadi ngereh ini bermakna memohonkan kekuatan kehadapan Ida Bhatara agar petapakan menjadi sakral dan memiliki kekuatan gaib sehingga mampu dan diyakini melindungi masyarakat penyungsungnya serta warga disekitarnya.

Ngereh adalah ritual yang langka dan bernuansa magis serta gaib, maka untuk lokasinya pastilah disesuikan. Tentunya, tidak dilaksanakan pada tempat-tempat umum atau keramaian, malah sebaliknya mencari lokasi yang sepi, tenget, sakral jauh dari hiruk piuk keramaian. Dipastikan tempat itu adalah setra (kuburan). Hal ini diperkuat lagi dengan bunyi salah satu definisi atau pengertian dari Ngereh yakni penginjakan pertama pada ibu pertiwi untuk penghidupan pada barong dan rangda yang dilakukan di setra (kuburan).


Pernah satu kali di dalam prosesi ngereh di sebuah kuburan di tengah kota Denpasar yang di sebut Sema Badung. Prosesi itu dimaksudkan untuk membuktikan atau mengetahui apakah Ida Bhatara Rangda yang baru dibuat telah memperoleh atau memiliki kesaktian. Entah karena alasan apa, mungkin pengerahan tidak dapat berkondentrasi lantaran disekitar kuburan itu kendaraan lalu lalang dengan suara yang memekakkan telinga atau karena hubungan antara manusia dengan alam niskala itu telah terputus, maka prosesi itu tidak berhasil atau gagal. Padahal, ngereh kali ini merupakan bagian akhir dari proses sakralisasi merupakan yang sesungguhnya telah melewati tahapan-tahapan yang demikian rumit, panjang dan kompleks.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Lokasi ngereh memang di kuburan, yang kalau dahulu suasana serta keberadaannya betul-betul sepi dan menyeramkan dengan pepohonan besar-besar yang angker. Semak-semak betul-betul rimbun, tenpa tembok pembatas. Namun sejalan dengan perkembangan dan kemajuan jaman, maka kuburan yang semula disebut sama berubah menjadi setra dan kemudian mengikat lagi statusnya menjadi setra gandamayu. Kalau yang disebut dengan sema, memang kondisi kuburan itu betul-betul masih terbelakang yakni dengan ciri-ciri tanpa tembok pembatas/penyengker, semak-semak yang lebat rimbun dan suasananya kumuh, kuburan masih banyak berisi batu nisan dan gegumuk yang letaknya tidak beraturan, begitu juga palinggih-palinggih dan tata cara penanganan kematian sudah professional, seperti dapat dilihat di setra Gandamayu Dalem Kerobokan Desa Adat Kerobokan Kabupaten Badung. Kalau ritual atau prosesi ngereh dilaksanakan disana, maka tentunya saja kalau dilihat secara sepintas, maka suasananya tidak akan seram atau berbau magis, karena memang suasana kesehariannya bagaikan taman kota. Tembok panyengker yang indah, tata tetamanan yang asri, rerumputan menghijau rapi, pohon-pohon besar ditanam teratur, patung-patung artistik dan lampu penerangan yang bercahaya terang.

Namun demikian bukan berarti, kuburan itu tidak memiliki nuansa magis yang tinggi, jika digunakan sebagai lokasi ngereh, maka keberadaan Setra Gandamayu ini akan dikondisikan agar nuansa seram, magis dan gaib betul-betul terasa. Pada saat prosesi ngereh, seluruh kendaraan yang biasa lewat di jalan yang membelah Setra Gandamayu Dalem Kerobokan dialihkan arus lalu lintasnya sehingga suasana betul-betul tenang dan hening. Lampu-lampu penerang jalan, pura, setra dan termasuk bangunan serta perumahan disekitar kuburan seluruhnya dimatikan. Tentu saja hal ini memerlukan koordinasi yang betul-betul intensif dengan pihak-pihak yang terkait. Dengan terciptanya suasana yang bernuansa magis seperti itu ditambah dengan kedisiplinan dan kelascaryaan serta subakti yang tulus iklas niscaya ngereh itu berhasil.

Mengapa pengerehan dilaksanakan di setra?

Karena setra atau kuburan merupakan tempat pemujaan terhadap Dewi Durga Bhirawi (Dewanya kuburan sesuai dengan Lontar Bhairawi Tatwa), yang merupakan perwujudan dari Dewi Durga. Dalam mitologinya, Dewa Siwa berubah wujud untuk menemui saktinya Dewi Durga (berupa rangda), sehingga memunculkan beberapa kekuatan yang menyeramkan untuk menguasai dunia. Inilah alasannya kenapa setra dipakai sebagai tempat ngerehang Barong Landung atau Rangda. Karena penuh dengan kekuatan gaib atau Black Magic, sehingga dalam ngerehang ini jika sudah mencapai puncaknya maka ia akan hidup, setelah hidup, rangda akan memanggil anak-anak buahnya berupa leak atau makhluk lainnya.

Tengetnya setra seperti yang tercantum pada Lontar Kala Maya Tattwa, di mulai dengan cerita diadakannya rapat di Sorga Loka oleh Siwa, Sadasiwa dan Paramasiwa sebagai perlambang Tri Purusa. Sedangkan sebagai petugas yang melayani rapat adalah Dewi Uma saktinya dari Siwa yang dibantu oleh para bidadari. Apa yang terjadi ? Ternyata pada saat rapat berlangsung Dewi Uma sedang menstruasi (haid), namun Dewi Uma tidak mau terbuka dan menutupi hal tersebut. Menurut peraturan di Sorga Loka bahwa wanita yang sedang menstruasi (haid) tidak boleh mengikuti kegiatan di Kahyangan.






Kejadian Dewi Uma sedang kotor kain (haid)ini diketahui oleh para Dewa lainnya yang sedang mengikuti rapat, namun Dewi Uma tidak peduli dan berlaku cuek saja. Hal ini diketahui oleh Sada Siwa yang memimpin rapat dan segera memberitahukannya kepada Paramasiwa. Akhirnya kotor kainnya Dewi Uma jatuh dan diketahui oleh Paramasiwa yang menyebabkan beliau marah. Maka diusirlah Dewi Uma dari sorga dan mengutuknya menjadi Dhurga bertempat tinggal di Setra Gandamayu.

Lama-kelamaan Siwa menjadi rindu kepada saktinya Dewi Uma di Setra Gandamayu yang telah berubah menjadi Dhurga. Siwa bermaksud turun ke dunia ingin bertemu dengan Dewi Uma, namun beberapa kali selalu diketahui oleh para Dewa lainnya. Untuk menghindari supaya tidak diketahui oleh para Dewa lainnya, maka Siwa berubah (memurti) menjadi raksasa.

Kemudian bertemulah Dewa Siwa dengan Dewi Uma yang telah menjadi Dewi Dhurga. Mereka bercengkrama yang kemudian mengeluarkan sprema Siwa (raksasa). Untuk sperma yang jatuh di tanah menjadi beberapa macam kayu, yakni pule, kepah, kepuh dan kayu jaran. Sedangkan sperma yang jatuh ditubuhnya menjadi beberapa makhluk seperti Bengala-bengali, bhuta-bhuti, bebai, leak, umik-imikan dan lain-lainnya. Dengan terciptanya tetumbuhan dan makhluk-makhluk seram ini membuat kuburan menjadi angker yang akhirnya memang cocok dipergunakan sebagai lokasi ngereh.

Disamping itu, kelurlah bisama beliau kepada manusia yang isinya agar membuat pura dimana mereka bercengkrama yang diberi nama Pura Prajapati. Pura ini berfungsi untuk meminta keselamatan masyarakat melalui Desa Pakraman, agar terhindar dari malapetaka, grubug maupun penyakit / hama yang menyerang pertanian. Maka dibuatkan pelawatan atau petapakan beliau seperti topeng, barong, rangda dan lain-lainnya.

Sumber : cakepane.blogspot.com


Simbolisasi dan Makna Wadah, Bade, dan Lembu





NGABEN: Prosesi ngaben massal di Bali. (AGUNG BAYU/BALI EXPRESS)

BALI EXPRESS, DENPASAR - Upacara Ngaben adalah ritual mengantar arwah keluarga atau orang yang disayangi menuju ke alam sunia. Dalam prosesinya, selain menggunakan Wadah, Bade, juga disertai Lembu. Apa makna sesunggungnya Wadah, Bade, dan Lembu itu?

Wadah, Bade, dan Lembu umumnya memiliki fungsi yang sama sebagai perlengkapan untuk melaksanakan ritual Ngaben di Bali. Namun, penggunaan Wadah biasanya digunakan oleh seseorang yang tidak berkasta. Sedangkan Bade dan Lembu digunakan oleh mereka yang memiliki kasta lebih tinggi. "Dalam filosofinya, Wadah dan Bade merupakan simbol dari bagian bawah dari Gunung Maliawan," papar Undagi yang juga Ketua Yayasan Gases Bali, Dr. Komang Indra Wirawan,S.sn kepada Bali Express (Jawa Pos Group) akhir pekan kemarin di Denpasar.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Tak disanggahnya belakangan ada kecenderungan melaksanakan pangabenan secara berlebihan, bahkan dianggap menyalahi makna Ngaben itu sendiri.

Dikatakan Indra, adanya fenomena melaksanakan pangabenan secara mewah dan besar - besaran, dengan membeli Wadah yang lengkap dan besar dengan tujuan agar atman dapat lebih mudah tiba di Nirwana merupakan stigma yang keliru.

Menurutnya Wadah, Bade, dan Lembu hanya sarana pangabenan, bukan penentu seseorang itu akan mudah masuk surga atau tidak.


“Atman dimudahkan menuju Suargan atau Nirwana, bukan karena Wadah yang digunakan, tapi tergantung seperti apa karma sang atman itu," bebernya.


Kadang orang salah kaprah, lanjutnya, ketika orang tuanya telah tiada mereka seolah membayar utang mereka dengan menyelenggarakan upacara Ngaben secara jor – joran. "Wadah harus yang paling mahal dan lengkap, baju yang digunakan layonnya harus baju yang terbaik ketika dibakar. Padahal, itu semua tidak perlu. Itu semua tidak dapat memengaruhi sang atman sampai ke Nirwana,” ujarnya.

Indra menyebutkan, secara fisik, Wadah dan Bade memiliki perbedaan yang mencolok. Bade umumnya memiliki tumpang, jumlah atap tumpangnya dibuat menyesuaikan kasta orang yang akan melaksanakan upacara pangabenan. Sedangkan, jika tak memiliki tumpang, atau hanya berbentuk tempat jenazah biasa yang menjulang tinggi disebut Wadah. “Memang berbeda, meski fungsinya sama, yaitu untuk membawa dan membakar jenazah ketika ngaben, namun secara riilnya berbeda," urainya.


Bentuk Wadah yang paling sederhana bertumpang satu. Wadah ini, bentuknya seperti keranda tanpa penutup, dan diusung oleh empat orang. Lalu ada pula Wadah yang disebut dengan Papageh. Papageh umumnya sudah berbentuk seperti Wadah, namun lebih kecil ukurannya. Selain itu, ada juga Wadah (batur sari), yakni Wadah umumnya yang sering digunakan oleh masyarakat kebanyakan. Dan, terakhir ada Bade. "Nah Bade merupakan prasaranan yang paling lengkap. Biasanya menggunakan boma, angsa, Bedawang Nala,Garuda, dan Meru atau tumpang,” ujar pria yang akrab disapa Komang Gases ini.


Dikatakan pria yang usianya berkepala tiga ini, penggunaan Bade umumnya memiliki aturan khusus . Bade biasanya ada beberapa jenis, ada yang tumpang sembilan, tumpang solas (sebelas), tumpang pitu (tujuh), tumpang lima dan seterusnya. Nah masing – masing tumpang sudah ditentukan kasta apa yang dapat menggunakannya. Contohnya keturunan Dalem, biasanya diperbolehkan menggunakan Bade tumpang sebelas (11) lengkap dengan Naga Banda dan kelengkapan upakara lainnya.


Indra memaparkan, memang benar dalam tiap inci bagian yang ada pada Bade maupun Wadah memiliki arti dan filosofi khusus. Dalam Lontar Dharma Laksana, dijelaskan makna dari bagian – bagian Bade. “Bade dan Wadah umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu bagian kepala, badan, dan kaki. Dalam undagi biasanya disebut ornamen parta punggel. Itu biasanya berbentuk ornamen simbol,” ujarnya.


Ornamen - ornamen yang ada pada Bade merupakan simbol. Dikatakan Indra, dalam teori Widi Tattwa menyebutkan, agama Hindu di Bali dalam setiap segmen kehidupan, menggunakan media simbol, simbol sebagai sebuah tanda dalam makna kehidupan. Semua tradisi dan kepercayaan di Bali merupakan simbol. Contohnya banten itu simbol, canang itu juga simbol, segehan juga simbol. Begitu juga Wadah dan Bade adalah simbol. "Jadi, bukan berarti dengan menggunakan Wadah bertumpang solas, orang tersebut bisa lebih mudah tiba di Nirwana,” ujarnya.


Dalam Bade ada simbol Bedawang Nala. Wa dalam Bedawang Nala artinya tanah pertiwi. “Jika ditilik dari makna filosofinya, Bedawang Nala merupakan simbolisasi dari rwabhineda, yang artinya manusia harus dapat memilah mana yang baik dan buruk dalam hidup,” ujarnya. Selain itu, ada juga ornamen Naga. Ornamen ini, bisa diartikan sebagai simbol 'Kamerta pangurip jagat'. Naga identik dengan niat rakus atau momo. Simbol ini menggambarkan, manusia diikat oleh rasa tamasika. "Diletakkannya simbol naga pada Bade diharapkan sifat tamasika orang yang meninggal akan dilebur dan tidak terbawa ke alam sunia. Naga ini merupakan simbolisasi dari Naga Basuki.


Selanjutnya ada juga ornamen yang disebut Boma. Boma merupakan gambaran kepala raksasa yang memiliki caling (taring) dengan mulut terbuka. Boma merupakan simbol perwatakan wujud manusia dari rasa tidak pernah puas. “Boma itu kan simbolisasi seorang manusia dengan hasrat tidak pernah puasnya hidup di dunia. Contohnya mereka yang gila harta, seberapa pun penghasilan yang didapat, mereka tetap merasa kurang dan terus menginginkan lebih,” tuturnya.


Selain itu, terdapat juga ornamen Garuda dalam Bade. Bungsu dari tiga bersaudara ini menjelaskan, Garuda merupakan simbol dari kendaraan Dewa Wisnu. Garuda dipercaya akan membantu menerbangkan segala sesuatu yang masih mengikat sang atman di Mercapada. Kemudian ada juga Angsa yang dinilai simbol istimewa. Sebab, Angsa berarti kembalinya sang atman pada yang kuasa. “Nah sampai di alam sunia, yang bisa dipertanggungjawabkan adalah karma. Jadi, seberapa pun mahalnya Wadah tak akan bisa mengurangi dosa karma kita di Mercapada ini,” ujarnya


Dalam upacara pangabenan banyak tahapan yang harus dilakukan, salah satunya adalah tradisi unik memberi bekal kepada yang meninggal yang hingga kini terus dipertahankan.
"Fenomena memberi bekal berupa uang dan benda – benda berharga bagi jenazah yang akan dibakar, tindakan salah kaprah, " ujarnya.


Menurutnya, apa yang mereka lakukan adalah hal yang percuma. Sebab, orang yang meninggal tidak membawa benda - benda itu ke alam Nirwana. “ Daripada memberi mereka uang berjuta – juta ketika sudah mati, lebih baik mereka memberinya ketika orang tersebut masih hidup. Ini mereka jor – joran memberi ketika orangnya sudah tiada. Ketika masih hidup, justru mereka menyia – nyiakannya,” paparnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

(bx/tya/bay/yes/JPR)





Cerita Bhima dan Naga Vasuki



Bhima sewaktu kecil suka menggoda dan mengganggu anak dari pamannya. Melihat saudaranya sering diganggu dan digoda oleh Bhima, Duryodhana sebagai kakak tertua marah. Duryodhana mulai merasa tidak suka terhadap perilaku Bhima, dan merencanakan sesuatu yang tidak baik terhadap Bhima. Bhima adalah seorang anak yang kurang dalam etika, namun sangat setia dan patuh kepada ibu dan kakaknya. Bhima adalah anak yang paling kuat di antara Pandawa. Bhima selalu menang dalam berkelahi, bergulat, bertinju dan semua permainan yang mengandalkan kekuatan. Jika mereka sedang berada di atas pohon, permainan yang paling ia sukai adalah menggoyangkan pohon dari bawah dan membuat yang lainnya terjatuh dari pohon itu. Mereka marah. Bhima memiliki energi atau tenaga yang sangat kuat. Kekuatan yang dimiliki Bhima merupakan pemberian dari ayahnya.


GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI



Image; mb.universe

Hati Duryodhana dipenuhi dengan kemarahan dan kebencian serta kecemburuan. Duryodhana benci dengan Bhima dan memikirkan untuk membalas perbuatan Bhima pada adik-adiknya. Datanglah Sakuni, paman Duryodhana, dan makin mengobarkan percikan kebencian dalam hati Duryodhana.


Sakuni dan Duryodhana menyusun suatu rencana untuk mengalahkan Bhima. Kemudian, diatur rencana untuk menjebak Bhima agar dapat dikalahkan. Suatu hari, mereka bermain di taman dan menghabiskan hari dengan beraneka permainan. Sampai waktu menjelang malam, mereka masih asyik bermain, dan memutuskan untuk berkemah. Ketika malam telah tiba, Bhima sangat lapar dan lelah. Duryodhana membawanya ke dalam tenda dan dialah yang memberikan berbagai pilihan makanan. Bhima adalah orang yang lugu dan tanpa tipu muslihat, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 73).



CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI



Bhima tidak dapat menangkap maksud orang lain. Bhima memakan makanan itu tanpa mengetahui bahwa Duryodhana telah mencampurkan Kalakuta, racun yang mematikan padanya. Karena lelah, Bhima kecil berbaring dan tidur nyenyak. Bhima yang sedang tertidur nyenyak diikat dengan tumbuhan merayap yang amat kuat. Duryodhana kemudian menenggelamkannya ke tempat di mana ular- ular yang berbisa dan mematikan.


Waktu kembalinya ke kota pun telah tiba. Akan tetapi, Pandawa tidak melihat Bhima. Yudhistira mencari Bhima di mana-mana, Tetepi ia tidak dapat menemukannya. Yudhistira berpikir mungkin ia telah sampai ke kota. Kemudian, Yudhistira dengan terburu-buru, pulang dan bertanya pada ibunya,“ Ibu, apakah Bhima ada di sini?”


Kunti terkejut. “Tidak, ia belum kembali.” Melihat wajah Yudhistira, Kunti ketakutan. Ia memberi tahu bahwa Bhima tidak ada di mana- mana. Keempat anak laki-laki itu kembali ke tepian Gangga dan mencari saudara mereka di mana-mana.


“Bhima! Bhima!’’ Mereka memanggilnya. Namun, pencarian mereka sia-sia. Mereka kembali pulang dan memberi tahu bahwa ia tidak ada di mana-mana.


GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI


Bhima yang telah ditenggelamkan ke dalam air tetap tertidur dengan tangan dan kaki yang terikat dengan tumbuhan merambat. Tiba-tiba, ia merasa sesuatu telah menggigitnya. Satu per satu, ular itu mulai menggigit seluruh tubuhnya. Hal yang aneh terjadi, racun dari ular itu merupakan penawar racun yang telah dimakan oleh Bhima. Bhima bangun dan mulai membunuh ular-ular itu. Beberapa di antaranya berhasil melarikan diri masuk ke dalam kediamanan Vasuki, raja mereka, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 74).



Mereka berkata, “Ia adalah manusia atau mungkin ia adalah raja ular. Ribuan ular telah menggigitnya, tetapi, hanya membangunkannya dari tidurnya yang nyenyak. Engkau harus bertemu dengannya.”



Vasuki ditemani rakyatnya ke tempat di mana Bhima berada. Vasuki mengenali Bhima, putra Kunti, dan memeluknya. Ia berkata pada menterinya, “Berikanlah ia harta dan permata agar ia senang. Aku sangat senang padanya.”


Menteri menjawab, ”Ia adalah seorang pangeran. Permata dan harta tidak akan berguna baginya. Mengapa kita tidak memberinya obat yang akan memberinya kekuatan.”


Vasuki senang dengan saran dari menterinya. Ia menyuruh Bhima duduk menghadap ke timur dan menyuruhnya untuk meminum semangkuk obat. Bhima meminumnya dalam sekali tegukan. Ular-ular yang berkumpul di sana sangat kagum padanya.



Baca: Karakter yang Dapat Diteladani dalam Mahābhārata


Vasuki berkata dan memberi tahu Bhima, “Minumlah minuman itu. Makin banyak kamu meminumnya, kamu akan makin kuat. Setiap mangkuk akan memberimu kekuatan ribuan gajah.” Bhima meminum delapan mangkuk obat dan ia tertidur.
Bhima tertidur selama delapan hari. Pada hari kedelapan, ia bangun. Bhima diberikan makanan kedewataan oleh Raja Naga dan dibawa ke permukaan sungai. Ia menemukan dirinya telah berada di tempat di mana mereka telah berkemah. Ia kembali pulang pada ibu dan kakaknya. Ia disambut dengan air mata kebahagiaan. Bhima memeluk mereka semua dan menenangkan ibunya yang sekarang tangisannya tidak dapat ditahan lagi. Bhima memberi tahu mereka tentang pengalaman yang aneh. Vidura menyarankannya untuk hati-hati terhadap kebencian Duryodhana, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 75).


Duryodhana melihat Bhima yang ia benci hidup dan sehat tanpa kekurangan apa pun. Ia telah berbahagia selama beberapa hari ini dan sekarang melihat Bhima merupakan sebuah kejutan yang teramat sangat. Ia sangat yakin bahwa ia telah berhasil dengan semua rencananya itu. Sakuni juga terkejut. Kebencian Duryodhana semakin besar saat ini. Akan tetapi, ia harus diam karena ia tahu bahwa Pandawa mengetahuinya (Subramaniam: 2003: 38-41), (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 76).


GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI


Referensi:
https://www.mutiarahindu.com/2018/12/cerita-bhima-dan-naga-vasuki.html

Susila, Komang dan Sri Mulia Dewi, I Gusti Ayu. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti (kelas 3) / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.


Sumber: Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas III
Kontributor Naskah : Komang Susila dan I Gusti Ayu Sri Mulia Dewi
Penelaah : I Wayan Paramartha dan I Made Redana
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Makna dan Cara Mabija Yang Benar

Tahap terakhir persembahyang selain nunas tirtha kita juga nunas bija (mebija atau mewija). Bija atau wija didalam bahasa Sansekerta disebut gandaksata yang berasal dari kata ganda dan aksata yang artinya biji padi-padian yang utuh serta berbau wangi.

Image by: Koleksi Pribadi. Besakih 08 April 2018.
Wija atau bija biasanya dibuat dari biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL) sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning.Wija atau bija adalah lambang kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an/Kedewataan yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Sehingga disarankan agar dapat menggunakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata). Alasan ilmiahnya, beras yang pecah atau terpotong tidak akan bisa tumbuh.
Cara Menempatkan Bija
Dalam menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an / Kedewataan dalam tubuh, tentu meletakkannya juga tidak sembarangan. Ibaratnya menumbuh kembangkan tananam buah kita tidak bisa menamamnya sembarangan haruslah di tanah yang subur. Maka dari itu menaruh bija di badan manusia ada aturannya, agar dapat menumbuh kembangkan sifat kedewataan /ke-Siwa-an dalam diri.
Hendaknya bija diletakan pada titik-titik yang peka terhadap sifat dari kedewataan /ke-Siwa-an. Dan titik-titik dalam tubuh tersebut ada lima yang disebut Panca Adisesa. Yaitu sebagai berikut:
  1. Di pusar yang disebut titik manipura cakra.
  2. Di hulu hati (padma hrdaya) zat ketuhanan diyakini paling terkonsentrasi di dalam bagian padma hrdaya ini (hati berbentuk bunga tunjung atau padma). Titik kedewataan ini disebut Hana hatta cakra.
  3. Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan yang disebut wisuda cakra.
  4. Di dalam mulut atau langit-langit.
  5. Di antara dua alis mata yang disebut anjacakra.sebenarnya letaknya yang lebih tepat, sedikit diatas, diantara dua alis mata itu.


Pada umumnya dikarenakan ketika persembahyangan dalam sarana pakaian lengkap tentu tidak semua titik-titik tersebut dapat dengan mudah diletakkan bija. Maka cukup difokuskan pada 3 titik yaitu :
  1. Pada Anja Cakra, sedikit diatas, diantara dua alis. Tempat ini dianggap sebagai tempat mata ketiga (cudamani). Penempatan bija di sini diharapkan menumbuhkan dan memberi sinar-sinar kebijaksanaan kepada orang yang bersangkutan.
  2. Pada Wisuda Cakra, Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan. Sebagai simbol penyucian dengan harapan agar mendapatkan kebahagiaan.
  3. Di mulut, langsung ditelan jangan digigit atau dikunyah. Alasannya seperti tadi kalau dikunyah beras itu akan patah dan akhirnya tak tumbuh berkembang sifat kedewataan manusia.Sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.
Kenyataannya hingga dewasa ini dalam masyarakat Hindu, selain pada titik-titik diatas. Ada juga yang meletakkan pada titik-titik yang lain. Misalnya ditaruh diatas pelipis, sebelah luar atas alis kanan dan kiri. Ada juga yang menaruh pada pangkal di telingah bagian luar.
Bisa dikatakan kurang tepat menaruh bija selain pada 3 titik-titik yang telah disebutkan diatas. Karena titik-titik yang lain dalam tubuh kurang peka terhadap sifat kedewataan atau Tuhan yang ada dalam diri manusia. Sehingga cukup sulit menumbuh kembangkan sifat Kedewataan dalam diri.
Jadi dapat disimpulkan bahwa makna dari penggunaan Bija dalam persembahyangan ialah untuk menumbuh kembangkan sifat Kedewataan/Ke-Siwa-aan/sifat Tuhan dalam diri. Seperti yang disebutkan dalam Upanisad bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu tidak berada di surga atau di dunia tertinggi melainkan ada pada setiap ciptaan-Nya.

Selasa, 28 November 2023

Pengertian Sadripu

 


Sad Ripu berasal dari kata sad yang berarti enam dan ripu yang berarti musuh. Jadi secara harfiah Sad Ripu berarti enam musuh yang berada dalam diri manusia. Bagian – bagian sad ripu meliputi :
1. kama : nafsu, keinginan
2. lobha : tamak, rakus
3. krodha : kemarahan
4. moha : kebingungan
5. mada : mabuk
6. matsarya : dengki, iri hati

Enam musuh ini memberikan pengaruh yang berbeda – beda, bila kita tidak dapat mengendalikanya maka akan jatuh ke dalam kesengsaraan. Oleh karena itu hendaknya kendalikanlah enam musuh yang ada dalam diri masing – masing.

1. Kama
Kama yang dimaksud dalam sad ripu ini adalah nafsu atau keinginan yang negative. Manusia memang harus memiliki keinginan, tanpa keinginan hidup ini akan terasa datar sekali. Tetapi keinginan yang sifatnya positif, seperti ingin jadi dokter, guru dan lainnya. Keinginan yang terkendali akan menjadi teman yang akrab bagi kita.


2. Lobha
Lobha berarti tamak atau rakus yang sifatnya negative sehingga merugikan orang lain. Lobha yang sifatnya negative akan menyebabkan seseorang terdorong untuk melakukan kejahatan karena merasa tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Contohnya tindakan mencuri, merampok dan sebagainya. Lobha yang sifatnya positif hendaknya dipertahankan, seperti tidak puas terhadap ilmu pengetahuan yang positif, lobha terhadap amal / dana punia.

3. Krodha
Krodha berarti kemarahan. Orang yang tidak bisa mengendalikan amarahnya akan menyebabkan kerugian pada diri sendiri maupun orang lain. Bahkan bisa sampai membunuh orang lain. Banyak tindakan – tindakan anarkis dan criminal yang timbul karena kemarahan. Seperti merusak barang milik orang lain, memukul teman, bahkan ada yangtega membunuh keluarganya sendiri.

4. Moha
Moha berarti kebingungan yang dapat menyebabkan pikiran menjadi gelap sehingga seseorang tidak dapat berfikir secara jernih. Hal ini akan menyebabkan orang tersebut tidak mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Akibatnya hal – hal yang menyimpang akan dilakukannya. Banyak penyebab seseorang menjadi bingung, seperti marah, mendapatkan masalah yang berat, kehilangan sesuatu yang dicintai dan sebagainya.

5. Mada
Mada berarti mabuk. Orang mabuk pikiran tidak berfungsi secara baik. Akibatnya timbulah sifat – sifat angkuh, sombong, takabur dan mengucapkan kata – kata yang menyakitkan hati orang lain. Seperti mabuk kekayaan yang dimilikinya, mabuk karena ketampanan. Mabuk juga dapat ditimbulkan karena minum minuman keras. Dengan minum minuman keras yang berlebihan akan menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran, sehingga menimbulkan perilaku yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.

6. Matsarya
Matsarya berarti dengki atau iri hati. Hal ini akan menyiksa diri sendiri dan dapat merugikan orang lain. Orang yang matsarya merasa hidupnya susah, miskin, bernasib sial, sehingga akan menyiksa batinnya sendiri. Selain itu bila iri terhadap kepunyaan orang lain maka akan menimbulkan rasa ingin memusuhi, berniat jahat, melawan dan bertengkar, sehingga merugikan orang lain.