Jumat, 05 Juli 2024

 





KAKAWIN SUTASOMA



Kitab Sutasoma digubah oleh Mpu Tantular dalam bentuk kakawin (syair) pada masa puncak kejayaan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk (1350 – 1389) atau +/- abad ke-14. Kitab yang berupa lembaran-lembaran lontar ini demikian masyhur dalam khazanah sejarah negeri ini karena pada pupuh ke-139 (bait V) terdapat sebaris kalimat yang kemudian disunting oleh para ‘founding fathers’ republik ini untuk dijadikan motto dalam Garuda Pancasila lambang Negara RI. Bait yang memuat kalimat tersebut selengkapnya berbunyi:

Hyāng Buddha tanpāhi Çiva rajādeva

Rwāneka dhātu vinuvus vara Buddha Visvā,

Bhimukti rakva ring apan kenā parvvanosĕn,

Mangka ng Jinatvā kalavan Çivatatva tunggal,

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Terjemahan bebasnya:

Hyang Buddha tiada berbeda dengan Syiwa Mahadewa

Keduanya itu merupakan sesuatu yang satu

Tiada mungkin memisahkan satu dengan lainnya

Karena hyang agama Buddha dan hyang agama Syiwa sesungguhnya tunggal

Keduanya memang hanya satu, tiada dharma (hukum) yang mendua.

Dengan demikian pernyataan bhinneka tunggal ika tersebut sebenarnya merupakan bagian amat kecil dari buah karya Mpu Tantular. Sebagai bagian yang amat kecil, tak ada yang istimewa pada kata tersebut, apa lagi kemuliaan, bahkan arti harfiahnya pun sangatlah sederhana: berbeda itu satu itu (bhinne = berbeda; ika = itu; tunggal = satu; ika = itu). Lain dari itu, kalimat tersebut pun adalah bagian dari konsep beragama, samasekali jauh hubungannya dengan konsep politik seperti pada pengertian sekarang.

Motto atau semboyan Indonesia tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini. Kakawin ini mengenai sebuah cerita dengan pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya. Amanat kitab ini mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha. Kakawin ini digubah oleh mpu Tantular pada abad ke-14.
SINOPSIS KAKAWIN SUTASOMA

Dikisahkan pada zaman kaliyuga di kerajaan Hastina, memerintahlah raja Mahaketu dengan permaisurinya Prajnyadhari. Mereka berdua sedang bersusah hati karena belum mempunyai keturunan, namun mereka tidak hentinya berdoa kepada sang Budha agar diberikan keturunan. Hingga akhirnya suatu saat sang Budha menampakkan dirinya dan berkata bahwa Beliau akan lahir sebagai putra dari Raja Mahaketu.

Beberapa lama kemudian lahirlah putra dari sang raja yang diberi nama Sutasoma, dia adalah pangeran yang sangat tampan dan juga cerdas. Sesudah pangeran dewasa, raja dan seluruh punggawa kerajaan meminta agar pangeran bersedia menjadi raja, namun tanpa disangka pangeran menolak menjadi raja dan memilih untuk menjadi pertapa. Tentu saja keinginan pangeran ini ditentang oleh raja dan ratu dan juga oleh para punggawa kerajaan. Semuanya silih berganti menasehatinya, namun pangeran tetap berkeras dengan keinginnanya.

Keesokan harinya, pangeran pergi meninggalkan istana untuk menjadi pertapa tanpa diketahui oleh siapapun dan tentu saja seisi Istana menajdi panik mencarinya dan raja dan ratu sangat berduka. Dikisahkan perjalanan pangeran ke hutan menuju gunung semeru, diperjalanan dia bertemu dengan para pertapa, dan sekali lagi para pertapa ini juga mengingatkan pangeran agar kembali ke istana untuk menjadi raja yang akan memberikan kedamaian pada dunia. Mengingat keadaan dunia yang sedang kacau akibat tingkah seorang raja yang bernama Purusada. Kemudian diceritakan juga asal-usul Purusada yang pada kehidupan sebelumnya bernama Suciloma yaitu seorang raksasa yang sangat sakti, namun akhirnya bisa dikalahkan oleh Agrakumara yang merupakan titisan Budha. Suciloma kemudian menjadi seorang pertapa dan kemudian wafat. Suciloma lahir kembali menjadi putra dari raja Sudasa yang bernama Sudanda, pada awalnya dia adalah raja yang tekun dalam melakukan ajaran agama, dia kemudian diberi gelar Jayantaka. Akan tetapi setelah diberikan sebuah anugerah oleh Rudra, dia berubah menjadi raja yang bengis. Adapun sebab berubahnya sifat raja tesebut karena dia menyantap daging manusia secara tidak sengaja yang disiapkan oleh juru masak instana. Sejak saat itu Jayantaka selalu ingin memakan daging manusia, dan dia menjadi penganut Bhairawa dan menjadi raja dari para raksasa serta menciptakan kekacauan di dunia. Oleh karena Jayantaka merupakan kelahiran dari Suciloma dan Sutasoma adalah titisan Budha maka hanya Sutasoma yang mampu mengalahkannya. Namun, Sutasoma tetap menolak untuk menjadi raja dan berperang, dia lebih memilih untuk menjadi pertapa.

Kemudian Sutasoma melanjutkan perjalanannya, dimana dia bertemua raksasa berkepala gajah yang menyerangnya, namun oleh kesucian pikirannya akhirnya raksasa yang bernama gajawaktra itupun tunduk kepadanya dan bersedia menjadi biksu pengikut Sutasoma. Ditengah perjalanan mereka kembali dihadang oleh seekor naga, namun akhirnya naga ini pun berhasil dikalahkan dan akhirnya menjadi pengikut Sutasoma juga. Di suatu tempat mereka bertemu dengan macan betina yang hendak memangsa anaknya karena susahnya mencari makanan di hutan itu. Oleh Sutasoma, dia merelakan dirinya untuk dimangsa oleh Macan betina tersebut asalkan anak macan tersebut dibebaskan. Macan tersebut setuju dan akhirnya Sutasoma dimakan oleh Macan tersebut dan dia pun meninggal. Setelah itu macan betina menjadi menyesal setelah membunuh orang yang baik hati, yang berhati mulya dan penuh cinta kasih. Oleh dewa Indra, Sutasoma dihidupkan kembali. Namun Sutasoma manjadi sedih hidup kembali, karena tujuannya adalah memang bersatu kembali dengan sang Budha. Namun Dewa Indra berkata bahwa pengorbanan Sutasoma adalah bentuk cinta kasihnya kepada kehidupan, dan dunia membutuhkan orang sepertia dia. Kemudian diceritakan Sutasoma memberikan wejangan agama kepada para pengikutnya yaitu gajawaktra, sang naga dan macan betina mengenai ajaran dharma yaitu jalan Siwa dan Budha.


Diceritakan kemudian mengenai pertapaan Sang Sutasoma, para dewa kemudian mengirim bidadari untuk menggoda tapa dari Sutasoma, namun itu tidak berhasil. Akhirnya kembali Dewa Indra turun ke dunia menjadi bidadari dan menggoda tapa Sutasoma namun tidak berhasil juga. Sutasoma kemudian berubah menjadi Wairocana (perwujudan Budha). Indra kemudian memberikan sembahnya dan mengingatkan kembali bahwa tujuan kelahiran Budha kembali bukanlah untuk menjadi pertapa melainkan untuk menegakkan kebenaran dan memberikan kedamain di dunia yaitu dengan menaklukan Purusada. Indra juga menceritakan bahwa saat ini Purusada sedang terluka dan dia berkaul kepada Bhatara Kala, jika dia sembuh dia akan menghaturkan 100 orang raja kepada Bhatara Kala. Akhirnya Sutasoma terbangun dari tapanya dan menyadari tugasnya di dunia ini dan dia memutuskan kembali ke kerajaannya.

Dalam perjalanan pulang, kembali dia bertemu dengan raksasa yang bernama Sudahana. Raksasa ini merupakan pengikut dari Purusada. Sudahana sedang terluka setelah diserang oleh Raja Dasabahu yang merupakan sepupu dari Sutasoma. Raksasa ini memohon agar diberikan pengampunan oleh Sutasoma dan berjanji akan menjalankan ajaran Budha setelah sembuh. Sutasoma mengabulkan permintaan raksasa tersebut, namu tiba-tiba datanglah Raja Dasabahu yang berkeinginan membunuh Sudahana, dia berpikiran bahwa Sutasoma adalah pelindungnya oleh karenanya dia menyerang Sutasoma.

Manggala
Pada Kakawin Sutasoma terdapat sebuah manggala. Manggala ini memuja Sri Bajrajñana yang merupakan intisari kasunyatan.Jika beliau menampakkan dirinya, maka hal ini keluar dalam samadi sang Boddhacitta dan bersemayam di dalam benak. Lalu beberapa yuga disebut di mana Brahman, Wisnu dan Siwa melindungi. Maka sekarang datanglah Kaliyuga di mana sang Buddha datang ke dunia untuk membinasakan kekuasaan jahat.


Pengarang, waktu penulisan, dan Hal yang Terkait dengan Sutasoma :

Dalam sastra kakawin yang berasal dari jaman Kediri, pengaruh Budhisme hampir tidak ada, baik dalam pemilihan tema, cara pembahasan, manggala maupun deskripsinya. Dalam Arjunawijaya, Budha disebutkan pada bagian perjalanan Arjuna Sasrabahu beserta permaisurinya, dimana mereka menjumpai candi Budha. Sedangkan pada Sutasoma, jelas sekali terlihat yaitu penyebutan Sutasoma sebagai titsan Budha.

Sutasoma dapat dikatakan sebagai kakawin yang menggabungkan unsur Budha dan Hindu menjadi satu (kemanunggalan) serupa dengan situasi dan kondisi saat itu, yaitu agama pada masa kerajaan Majapahit (Budhisme Mahayana dan Siwaisme). Ada kemungkinan Raja Sutasoma merupakan raja Kertanegara yang beragama Budha Tantra, raja ini dinobatkan sebagai Jina (Dhyani Budha) hal ini disebutkan dalam Negarakertagama (Siwabudhaloka). Kemanunggalan antara agama Hindu dan Budha dapat dilihat dari inti cerita kisah ini, yaitu Sutasoma (mewakili ajaran Budha) berseteru dengan raksasa Purusada (mewakili Siwa (Hindu)), Purusada sebagai penganut Siwaisme tidak menyukai Sutasoma yang merupakan titisan Budha, pada akhirnya Purusada (siwa) ‘ditundukkan’ oleh kewelas asihan Sutasoma (Budha) Siwa merupakan Budha dan begitupun sebaliknya mereka adalah satu dan sama. Menurut saya pribadi, cerita ini dimaksudkan untuk menyatukan penganut Budha dan Hindu (Siwaisme) pada masa kerajaan Majapahit, supaya tetap bersatu tanpa ada perselisihan karena kedua ajaran itu pada intinya bermuara pada satu tujuan yang sama yaitu mencapai kemanunggalan (menjadi Budha atau Siwa). Sampai saat ini kakawin Sutasoma sangat digemari di pulau Bali, atau sekurang-kurangnya dalam kalangan tertentu yang menempatkannya di atas kakawin lain. Bahkan di suatu forum diskusi, Sutasoma masih menjadi topik yang menarik untuk dibahas, terutama oleh penganut Budha. Nama mpu Tantular saat ini lebih dikenal sebagai nama museum di Surabaya.
ALIH AKSARA KAKAWIN SUTASOMA

1). Çrî Bajrajñâna çûnyâtmaka parama sirânindya ring rat wiçesa

lîlâ çuddha pratis.t.hêng hredaya jaya-jayângken mahâswargaloka

ekacchattrêng çarîrânghuripi sahananing bhur bhuwah swah prakîrn.a

sâks.ât candrârka pûrn.âdbhuta ri wijilira n sangka ring Boddhacitta

2). Singgih yan siddhayogîçwara wekasira sang sâtmya lâwan bhatâra

Sarwajñâmûrti çûnyâganal alit inucap mus.t.ining dharmatattwa

Sangsipta n pèt wulik ring hati sira sekung ing yoga lâwan samâdhi

Byakta lwir bhrântacittângrasa riwa-riwaning nirmalâcintyarûpa

3 ). Ndah yêka n mangkana ng çânti kineñep i tutur sang huwus siddhayogi

Pûjan ring jñâna çuddhâprimita çaran.âning miket langwa-langwan

Dûrâ ngwang siddhakawyângitung ahiwang apan tan wruh ing çâstra mâtra

Nghing kêwran déning ambek raga-ragan i manah sang kawîrâja çobha

4 ). Pûrwaprastâwaning parwaracana ginelar sangka ring Boddhakâwya

Ngûni dwâpâra ring treat kretayuga sirang sarwadharmânggaraksa

Tan lèn hyang Brahma Wisnwîçwara sira matemah bhûpati martyaloka

Mangké n prâpta ng kali çrî Jinapati manurun matyana ng kâla murkha

5). Sambandhan sri mahâketu kurukula sirânak nirâng korawângsa,

Dewi prajnadhari kâsih-ira pinuji ring rât putus ring kahaywan,

Ngkâneng râjyâdhimkeng hastina siniwi tkap ning mahâwira sangghya,

Sakweh-kweh sang watek bhupati sira mararem bhakti ring sri narendra.

6). Sobhang râjyâ halep lwir smara bhawana leyep sarwwa dibyâprameya,

Dwâranyâ marppat atyâbhuta kanaka murub lwir gunung bahni muntab,

Sok rangkang mas manindre dalem-ika kumnar râtna sangghyânya muncar,

Diptâng wâratri denyâ rahina sama hidep ning wwang-ing jro kadatwan..

7). Kintu pwekang sarat durbbhala kinarana ning daitya len râksasâkweh,

Kirnnâglar sok penuh ring wanacala nikanang râtna kandâdirâjya,

Kruramrp kuwwa mungpang mamirurut anawan wanwasancurnna denya,

Wrin-wrin sakwehwatek bhâratakula karuhun sang tapvswi nagâgra.

8). Nâ hetu sri narendrângutus i sahanan ning wira yodhâdbhuteng prang,

Mwang sang yogiswarângampeha ri panasing detya kâlâgni tulya,

Ndatân mantuk jugânghing suta haji karengo bhasmya ning satru sakti,

Mangkâ ling sang munindrâkira-kira ri hajeng sri mahâketu raja.

9). Warnnan sang sri narendrâdhipa sira maharep mânakâ mwang sudewi,

Hetunyân boddhi cittenulah-ulah-ira ring sthâna sang hyang jinârcca,

Rep prâtang ratri tistis marengi hning-ikang jnana cândropamanya,

Ngkâ tâ sri boddhisatwâja ri gati nira yan sunwa sang sri narendra.

10). Tustâmbek sri mahâketu manemu paramânugrahâ hyang jinendra,

Sighron ampeh nirang yoga wkasan-umijil sobha sangkeng pahoman,

Prapte ngkaneng sudewi sira mawara-warah yan huwus labda kâryya,

Byaktang rât swastha curnnang kali helem-iwijil sri mahâsakya snghâ.

11). Ndah sighrang kâla tandwângidam-ika sira sang sri maharaja putri,

Hârsâmbek sri narendrângariwuwus ri manah sang sdeng kesyanâmrat,

Pujâ mantra stuti mwang sayu-sayut-iniwohoma yajnânukâri,

Sakweh sang bhiksukâcâryya nagara humiring yoga sang sri narendrâ.

12). Ndah sakweh-kweh nikang stri dalem-ika rumngo garbbhini sri supatni,

Wrddhâ lek sighra molah wteng-ira matutur sang haneng garbha dibya,

Lindu tang bumi tejâ narawata dumilah trus tekeng swargaloka,

Hung hung ning dewa sangghyeng langit-ajaya-jayan sottaning budha janma.

Pupuh nomor 148

Nâhan tântyanikang kathâtiçaya Boddhacarita ng iniket

Dé sang kawy aparab mpu Tantular amarn.a kakawin alangö

Khyâtîng rat Purus.âdaçânta pangaranya katuturakena

Dîrghâyuh sira sang rumengwa tuwi sang mamaca manulisa

Bhras.t.a ng durjana çûnyakâya kumeter mawedi giri-girin

Dé çrî râjasa raja bhûpati sang angd.iri ratu ri Jawa

Çuddhâmbek sang aséwa tan salah ulah sawarahira tinut

Sök wîrâdhika mêwwu yêka magawé resaning ari teka

Ramya ng sâgara parwatêki sakapunpunan i sira lengeng

Mwang tang râjya ri Wilwatikta pakarâjyanira n anupama

Kîrn.êkang kawi gîta lambing atuhânwam umarek i haji

Lwir sang hyang çaçi rakwa pûrn.a pangapusnira n anuluhi rat

Bhéda mwang damel I nghulun kadi patangga n umiber i lemah

Ndan dûra n mad.anêka pan wwang atimûd.ha kumawih alangö

Lwir bhrân.tâgati dharma ring kawi turung wruh ing aji sakathâ

Nghing sang çrî Ran.amanggalêki sira sang titir anganumata.
TERJEMAHAN KAKAWIN SUTASOMA

1). -Sri Bajrajñana, manifestasi sempurna Kasunyatan adalah yang utama didunia.

-Nikmat dan murni teguh di hati, menguasai semuanya bagai kahyangan agung.


-Ia adalah titisan Pelindung tunggal yang menganugrahi kehidupan kepada tri buwana bumi, langit dan sorga – seru sekalian alam.

-Bagaikan terang bulan dan matahari sifat yang keluar dari batin orang yang telah sadar.

2). -Ia yang diterangi, yang manunggal dengan Tuhan, memang benar-benar Raja kaum Yogi yang berhasil.

– Perwujudan segala ilmu Kasunyatan baik kasar ataupun halus, diajikan dalam sebuah doa dan puja yang khusyuk.

-Singkatnya, mari mencari-Nya dengan betul dalam hati, didukung dengan yoga dan samadi penuh.

-Persis bagaikan seseorang yang merana hatinya merasakan rasa kemurnian Yang Tak Bisa Dibayangkan.

3). -Maka itulah ketentraman hati yang dituju seorang yogi sempurna.

-Biarkan aku memuja dengan kemurnian dan kebaktian tak tertara sebagai sarana untuk menulis syair indah.

-Mustahil aku akan berhasil menulis kakawin sebab tiada tahu akan tatacara bersastra.

-Namun, sungguh malu dan terganggu oleh pikiran akan sebuah penyair sempurna di ibukota.

4). -Pertama dari semua cerita yang saya gubah diturunkan dari kisah-kisah sang Buddha.

– Dahulukala ketika dwapara-, treta- dan kretayuga, dia merupakan perwujudan segala bentuk dharma.

-Tiada lain sang hyang Brahma, Wisnu dan Siwa. Semuanya menjadi raja-raja di Mercapada (dunia fana).

-Dan sekarang pada masa Kaliyuga, Sri Jinapati turun di sini untuk menghancurkan kejahatan dan keburukan.

5). kemampuan sri mahâketu kurukula sirânak pirang korawângsa,

Dewi prajnadhari mengira kasih memuji jagat di kahaywan,

Ngkâneng râjyâdhimkeng hastina siniwi tkap ning mahâwira sangghya,

Banyaknya kebiasaan siapapun berbakti kepada sri narendra

6). Setiap jagat cinta yang indah dan segala kelebihan raja

Seperti emas yang menyala murka seperti gunung yang mengeluarkan api ,

Sok melata penyangga Dalem itu seperti intan yang memancar,

Bagus menyinari malam di hari sampai pikiran suci dan jernih orang di kerajaan

7). Sarat pancaran kelemahan ketika memperlihatkan sosok raksasa

Menjadi raja hutan seperti intan diraja,

Kruramrp kuwwa mungpang yang menawan seperti dewa

Sangat takut keluarga bharata kedatangan sang tapswi nagagra

8). sri narendrâ mengutus para prajurit ke medan peperangan,

Dan sang yogiswarâ dibuat marah oleh raksasa Kalagni tulya,

Dan anak haji karengo kembali setelah membasmi musuh yang sakti,

Padahal sang munindrâk menduga-duga dihadapan Raja sri mahâketu

9). sang sri narendrâdhipa sira mengharapkan angan-angan dengan sudewi,

Memikirkan kesadaran itu di tempat Sang Hyang Jinaracca,

Kemasyuran malam menemani kesunyian itu pengetahuan bulan

Sri |boddhisatwa penting sekali sunwa sang narendra

10). Utusan sri mahâketubertemu paramânugrahâ hyang jinendra,

Sighron ampeh nirang yoga wkasan-umijil sobha sangkeng pahoman

Kedatangan sudewi memberitahu keberhasilan kerja,

Byaktang didunia keluar sri mahâsakya snghâ

11). Waku segera tanda itu siapa sang sri putrid maharaja

Keinginan sri narendra sudah memikirkan berat sang sdeng

Dan melantumkan puja-puji mantram pengharapan yajna

Banyak sang bhiksu bijaksana di neraga pemujaan sang sri narendra

12). Banyak istri dalem itu mengandung sri Supatni,

Bertuturkata belas kasih sang haneng dirumah utama,

Lindu bumi panas sinar bercahaya merata di alam sorga,

Ohh dewa penyangga langit selalu menang dan jaya budha jaina.

Terjemahan Pupuh penutup nomor 148

-Maka inilah akhir dari sebuah cerita indah dan digubah dari kisah sang Buddha.

-Oleh seorang penyair bernama mpu Tantular yang menggubah kakawin indah.

-Termasyhur di dunia dengan nama Purusadasanta (pasifikasi raja Purusada).

-Semoga semua yang mendengarkan, membaca dan menyalin akan panjang umurnya.

-Hancur lebur para durjana, tak berdaya, gemetar, takut karena ngeri.

-Oleh Sri Rajasa yang bertakhta di Jawa.

-Para abdinya berhati murni dan melaksanakan segala perintahnya tanpa salah.

-Sungguh banyak para pahlawan unggul, jumlahnya ada ribuan yang memberikan rasa takut kepada para musuh.

-Indahlah laut dan gunung di bawah penguasaannya.

-Dan ibukota Wilwatikta (= Majapahit) sungguh indah di luar bayangan.

-Banyaklah jumlah para penyair, tua dan muda yang menggubah nyanyian dan kakawin yang menghadap sang ratu.

-Bagaikan Dewa Candra kekuasaannya menyinari dunia.

-Berbeda dengan karyaku bagaikan gajah yang terbang di atas tanah.

-Mustahillah menyamai karena orang bodoh yang seolah-olah menulis kakawin indah.

-Seperti seseorang yang bingung mengenai kewajiban seorang penyair tidak mengenal peraturan bersyair.

-Namun Sri Ranamanggala juga yang menjadi panutanku.






KAKAWIN SUTASOMA



Tugas Mata Kuliah : Sastra Hindu II (Bahasa Jawa Kuno)

Dosen : Prof. Dr. Drs. I Made Suweta, M.Si..

Oleh :

÷ med yud hsßr.

I Made Yuda Asmara.

(14.1.2.5.2.0775)

INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR

PROGRAM PASCA SARJANA

DHARMA ACARYA

2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar