Jumat, 29 April 2022

Buda Kliwon Matal dan Kajeng Kliwon

  


#Buda Kliwon Matal merupakan hari suci umat Hindu yang dirayakan dan jatuhnya setiap 6 bulan sekali untuk memuja Sang Hyang Ayu atau Sang Hyang Nirmala Jati guna memohon keselamatan serta anugrah rejeki yang melimpah dsb.
Buda Kliwon Matal merupakan pertemuan antara Sapta wara Buda yang berstana dibarat dengan lambang warna kuning, panca wara Kliwon yang berstana ditengah dengan lambang warna panca warna dan
wuku matal.
Dan pada saat hari Buda Kliwon Natal yang bertepatan juga dengan jatuhnya hari kajeng Kliwon.
#Kajeng Kliwon merupakan hari suci bagi umat Hindu yang jatuhnya pada setiap15 hari sekali, Kajeng Kliwon merupakan pertemuan dari dua unsur triwara dengan unsur pancawara.
Kajeng merupakan bagian dari unsur triwara sedangkan Kliwon merupakan bagian dari unsur pancawara.
#Kajeng merupakan hari prabhawanya dari Sang Hyang Durga Dewi yang merupakan perwujudan dari Ahamkara yang merupakan manifestasi dari kekuatan Bhuta, Kala dan Durga yang ada di muka bumi.
#Sedangkan Kliwon merupakan hari prabawanya Sang Hyang Siwa sebagai kekuatan dharma yang merupakan manifestasi dari kekuatan Dewa.
#Dan pada saat hari Kajeng Kliwon sering dikaitkan dengan
hal - hal yang berbau mistis dan diyakini oleh umat Hindu sebagai harinya Sang Hyang Siwa untuk melaksanakan yoga semadinya untuk
keselamatan dunia.
#Untuk itu setiap umat diharapkan pada saat Kajeng Kliwon untuk melakukan penyucian diri dan bersikap lebih berhati - hati karena kekuatan negatif cenderung lebih besar dari pada kekuatan yang positif, dan itu semua dapat mempengaruhi kehidupan manusia
dimuka bumi ini.



#Karena pada saat hari Kajeng Kliwon umat meyakini bahwa Sang Tiga Bhucari memohon restu dari Sang Durga Dewi untuk menggoda manusia yang melanggar atau berbuat kesalahan juga membuat mara bahaya, mengundang semua desti, teluh, terang jana guna menggoda orang yang tidak menjalan ajaran dharma ataupun
orang yang tidak berbuat baik.
#Dengan demikian sudah sepatutnya dan sudah menjadi kewajiban kita sebagai umat Hindu untuk menghaturkan persembahan dimerajan, pura dan tempat suci lainnya
kehadapan Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Durga Dewi berupa canang sari, canang raka, puspa harum, tipat dampulan, segehan kepelan, segehan cacahan, segehan putih kuning, segehan panca
warna dsb.
#Semua itu hendaknya disesuaikan dengan tempat atau keadaan dan kemampuan dari masing - masing umat.
#Dan dengan kita menghaturkan semua persembahan dan segehan itu diharapkan agar bisa mewujudkan keseimbangan alam niskala dari alam Bhuta menjadi alam Dewa.
#Semua jenis Banten atau upekara adalah merupakan simbul diri kita, lambang kemaha - kuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung.
(Lontar Yajna Prakrti)
#Banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya bawang merah, jahe, garam dan juga dipergunakan api takep dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda (+) atau swastika disertai beras dan tetabuhan berupa air, arak serta berem.
#Segehan dihaturkan kepada para Bhutakala agar tidak mengganggu ,
dinatar merajan dihaturkan segehan panca warna ditujukan pada Sang Bhuta Bhucari, dinatar pekarangan rumah dihaturkan pada Sang Kala Bhucari, didepan pintu pekarangan rumah atau angkul - angkul dihaturkan pada Sang Durga Bhucari dan juga ditempat lainya, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah atau kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun
waktu tertentu.
#Dan dengan sarana segehan ini diharapkan nantinya dapat untuk menetralisir dan dapat untuk menghilangkan pengaruh negatip dari limbah tersebut. #Segehan juga dapat dikatakan sebagai lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).
Segehan ini biasanya dihaturkan setiap hari atau pada saat rahinan dan hari - hari tertentu.
#Setiap kepala keluarga hendaknya agar melaksanakan upacara Bali atau suguhan makanan kepada alam
dan menghaturkan persembahan ditempat - tempat terjadinya pembunuhan seperti pada ulekan, sapu, kompor, asahan pisau, dan talenan.
(Manavadharmasastra)






Kamis, 28 April 2022

Pengertian Asta Aiswarya





Pengertian Asta Aiswarya dan Bagian-bagianya

HINDUALUKTA-- Asta Aiswarya berasal dari bahasa sansekerta, yang terdiri dari kata "asta" yang berarti delapan dan kata "aiswarya" yang berarti kemahakuasaan. Jadi asta aiswarya yaitu delapan sifat kemahakuasaan dari Ida Sang Hyang Widhi.

Asta Aiswarya juga biasa disebut sebagai bentuk dan sifat ke-Maha-Kuasa-an Sanghyang Widhi skala dan niskala, yang terdiri dari delapan kekuatan, sehingga Aiswarya sering pula disebut Asta Aiswarya. Adapun dari kedelapan bagian tersebut yakni sebagai berikut:
Anima: sangat halus
Laghima: sangat ringan
Mahima: sangat besar dan sangat luas, tak terbatas
Prapti: dapat mencapai segala tempat
Isitwa: melebihi segala-galanya
Prakamya: kehendak-Nya selalu tercapai
Wasitwa: sangat berkuasa
Yatrakamawasayitwa: kodrati tidak dapat diubah
Dalam Hindu, dari kedelapan bentuk dan sifat ini dipercaya bersemayam pada-Nya yang dilambangkan sebagai Singhasana meliputi seluruh alam semesta, terpusat pada empat kekuatan aktif, yaitu: Dharma (hukum), Jnyana (pengetahuan), Wairagya (kesempurnaan), dan Aiswarya atau kekuasaan.



Niyasa (lambang) Singhasana (singa) ini disebut pula Catur Aiswarya karena dihubungkan dengan empat jenis bentuk Sakti-Nya yang berkedudukan disetiap sudut Anantasana, yaitu:
Dharma berkedudukan di tenggara (agneya) sebagai singa putih
Jnyana berkedudukan di barat-daya (nairity) sebagai singa merah
Wairagya berkedudukan di barat-laut (wayabya) sebagai singa kuning
Aiswarya berkedudukan di timur-laut (airsaniya) sebagai singa hitam
Mengapa menggunakan niyasa Singha? Karena Singha (singa) adalah mahluk alam yang paling kuat dan berkuasa. Sehingga niyasa singha berarti pula symbol kekuatan dan kekuasaan.
Keempat niyasa shakti-shakti Sanghyang Widhi itu akan membawa kebaikan bagi manusia bila dalam pemujaan menggunakan mudra dan bija- mantra yang tepat yakni Untuk singha putih dengan mudra Sara, dan bija-mantra Reng, menimbulkan perasaan mendalam dan aktif. Untuk singha merah dengan mudra Sikha, dan bija-mantra Rreng, memberi kepuasaan. Untuk singha kuning dengan mudra Kawaca, dan bija-mantra Leng, memberi kesejahteraan seluruh alam


Untuk singha hitam dengan mudra Parasu, dan bija-mantra Ling, menimbulkan rasa kagum.Yang dimaksud dengan kebaikan bagi manusia, seperti yang disebutkan di atas, adalah perasaan yakin dan dekat kepada Sanghyang Widhi, sehingga dapat mengharapkan Aiswarya Atman pada diri manusia setidak-tidaknya menyerupai atau mendekati kesamaan dengan Aiswarya Brahman (Sanghyang Widhi).




Jumat, 22 April 2022

Bhagavadgita Karma Yoga





Bhagavad-gita Bab III - Karma Yoga

Bhagavad-gita 3.1
3.1 Arjuna berkata; O Janardana, o Kesava, mengapa Anda ingin supaya hamba menjadi sibuk dalam perang yang mengerikan ini, kalau Anda menganggap kecerdasan lebih baik dari pekerjaan yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil?

Bhagavad-gita 3.2
3.2 Kecerdasan hamba dibingungkan oleh pelajaran Anda yang mengandung dua arti. Karena itu, mohon beritahukan kepada hamba dengan pasti mana yang paling bermanfaat untuk hamba.

Bhagavad-gita 3.3
3.3 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; o Arjuna yang tidak berdosa, Aku sudah menjelaskan bahwa ada dua golongan manusia yang berusaha menginsafi sang diri. Beberapa orang berminat mengerti tentang hal itu melalui angan-angan filsafat berdasarkan percobaan, sedangkan orang lain berusaha mengerti tentang hal itu melalui bhakti.

Bhagavad-gita 3.4
3.4 bukan hanya dengan menghindari pekerjaan seseorang dapat mencapai pembebasan dari reaksi, dan bukan hanya dengan melepaskan ikatan saja seseorang dapat mencapai kesempurnaan.

Bhagavad-gita 3.5
3.5 Semua orang dipaksakan bekerja tanpa berdaya menurut sifat-sifat yang telah diperolehnya dari sifat-sifat alam material; karena itu, tiada seorangpun yang dapat menghindari berbuat sesuatu, bahkan selama sesaatpun.

Bhagavad-gita 3.6
3.6 Orang yang mengekang indria-indria yang bekerja tetapi pikirannya merenungkan obyek-obyek indria pasti menipu dirinya sendiri dan disebut orang yang berpura-pura.

Bhagavad-gita 3.7
3.7 Di pihak lain, kalau orang yang tulus ikhlas berusaha mengendalikan indria-indria yang giat dengan pikiran dan mulai melakukan karma yoga (dalam kesadaran Krisna ) tanpa ikatan, ia jauh lebih maju.

Bhagavad-gita 3.8
3.8 Lakukanlah tugas kewajibanmu yang telah ditetapkan, sebab melakukan hal demikian lebih baik daripada tidak bekerja. Seseorang bahkan tidak dapat memelihara badan jasmani tanpa bekerja.




Bhagavad-gita 3.9
3.9 Pekerjaan yang dilakukan sebagai korban suci untuk visnu harus dilakukan. Kalau tidak, pekerjaan mengakibatkan ikatan di dunia material ini. Karena itu lakukanlah tugas-kewajibanmu yang telah ditetapkan guna memuaskan Beliau, Wahai putera Kunti. Dengan cara demikian, engkau akan selalu tetap bebas dari ikatan.

Bhagavad-gita 3.10
3.10 Pada awal ciptaan, penguasa semua mahluk mengirim generasi-generasi manusia dan dewa, beserta korban- korban suci untuk visnu, dan memberkahi mereka dengan bersabda; Berbahagialah engkau dengan yadna (korban suci) ini sebab pelaksanaannya akan menganugerahkan segala sesuatu yang dapat diinginkan untuk hidup secara bahagia dan mencapai pembebasan.

Bhagavad-gita 3.11
3.11 Para dewa, sesudah dipuaskan dengan korban-korban suci, juga akan memuaskan engkau. Dengan demikian, melalui kerja sama antara manusia dengan para dewa, kemakmuran akan berkuasa bagi semua.

Bhagavad-gita 3.12
3.12 Para dewa mengurus berbagai kebutuhan hidup. Bila para dewa dipuaskan dengan pelaksanaan yajna (korban suci), mereka akan menyediakan segala kebutuhan untukmu.Tetapi orang yang menikmati berkat-berkat itu tanpa mempersembahkannya kepada para dewa sebagai balasan pasti adalah pencuri.

Bhagavad-gita 3.13
3.13 Para penyembah Tuhan dibebaskan dari segala jenis dosa karena mereka makan makanan yang dipersembahkan terlebih dahulu untuk korban suci. Orang lain, yang menyiapkan makanan untuk kenikmatan indria-indria pribadi, sebenarnya hanya makan dosa saja.

Bhagavad-gita 3.14
3.14 Semua badan yang bernyawa hidup dengan cara makan biji-bijian, yang dihasilkan dari hujan. Hujan dihasilkan oleh pelaksanaan yajna (korban suci) dan yajna dilahirkan dari tugas kewajiban yang sudah ditetapkan.

Bhagavad-gita 3.15
3.15 Kegiatan yang teratur dianjurkan di dalam veda dan veda diwujudkan secara langsung dari kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, yang melampaui hal-hal duniawi dan berada di mana-mana untuk selamanya dalam perbuatan korban suci.

Bhagavad-gita 3.16
3.16 Arjuna yang baik hati, orang yang tidak mengikuti sistem korban suci tersebut yang ditetapkan dalam veda pasti hidup dengan cara yang penuh dosa. Sia-sialah kehidupan orang seperti itu yang hanya hidup untuk memuaskan indria-indria.

Bhagavad-gita 3.17
3.17 Tetapi orang yang bersenang hati di dalam sang diri, yang hidup sebagai manusia demi keinsafan diri, dan berpuas hati di dalam sang diri saja, puas sepenuhnya-bagi orang tersebut tidak ada tugas kewajiban.



Bhagavad-gita 3.18
3.18 Orang yang sudah insaf akan dirinya tidak mempunyai maksud untuk dipenuhi dalam pelaksanaan tugas-tugas kewajibannya, dan dia juga tidak mempunyai alasan untuk tidak melaksanakan pekerjaan seperti itu. Dia juga tidak perlu bergantung pada makhluk hidup manapun.

Bhagavad-gita 3.19
3.19 Karena itu hendaknya seseorang bertindak karena kewajiban tanpa terikat terhadap hasil kegiatan, sebab dengan bekerja tanpa ikatan terhadap hasil seseorang sampai kepada Yang Mahakuasa.

Bhagavad-gita 3.20
3.20 Raja-raja yang seperti Janaka mencapai kesempurnaan hanya dengan pelaksanaan tugas-tugas kewajiban yang telah ditetapkan. Karena itu, untuk mendidik rakyat umum, hendaknya engkau melakukan pekerjaanmu.

Bhagavad-gita 3.21
3.21 Perbuatan apapun yang dilakukan orang besar, akan diikuti oleh orang awam. Standar apa pun yang ditetapkan dengan perbuatannya sebagai teladan, diikuti oleh seluruh dunia.

Bhagavad-gita 3.22
3.22 Wahai putera prtha, tidak ada pekerjaan yang ditetapkan bagi-Ku dalam seluruh tiga susunan planet. Aku juga tidak kekurangan apapun dan Aku tidak perlu memperoleh sesuatu, namun Aku sibuk melakukan tugas-tugas kewajiban yang sudah ditetapkan.




Bhagavad-gita 3.23
3.23 Sebab kalau Aku pernah gagal menekuni pelaksanaan tugas-tugas kewajiban yang telah ditetapkan dengan teliti, tentu saja semua orang akan mengikuti jalan-Ku, wahai putera Partha.

Bhagavad-gita 3.24
3.24 Kalau Aku tidak melakukan tugas-tugas kewajiban yang sudah ditetapkan, maka semua dunia ini akan hancur. Kalau Aku berbuat demikian, berarti Aku menyebabkan penduduk yang tidak diinginkan diciptakan, dan dengan demikian Aku menghancurkan kedamaian semua makhluk hidup.

Bhagavad-gita 3.25
3.25 Seperti halnya orang bodoh melakukan tugas-tugas kewajibannya dengan ikatan terhadap hasil, begitu pula orang bijaksana dapat bertindak dengan cara yang serupa, tetapi tanpa ikatan, dengan tujuan memimpin rakyat dalam menempuh jalan yang benar.

Bhagavad-gita 3.26
3.26 Agar tidak mengacaukan pikiran orang bodoh yang terikat terhadap hasil atau pahala dari tugas-tugas kewajiban yang telah ditetapkan, hendaknya orang bijaksana jangan menyuruh mereka berhenti bekerja. Melainkan, sebaiknya ia beker ja dengan semangat bhakti dan menjadikan mereka sibuk dalam segala jenis kegiatan (untuk berangsur-angsur mengembangkan kesadaran Krisna)

Bhagavad-gita 3.27
3.27 Sang roh yang dibingungkan oleh pengaruh keakuan palsu menganggap dirinya pelaku kegiatan yang sebenarnya dilakukan oleh tiga sifat alam material.

Bhagavad-gita 3.28
3.28 Orang yang memiliki pengetahuan tentang kebenaran mutlak tidak menjadi sibuk dalam indria-indria dan kepuasan indria-indria, sebab ia mengetahui dengan baik perbedaan antara pekerjaan dalam bhakti dan pekerjaan yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil atau pahala, Wahai yang berlengan perkasa.

Bhagavad-gita 3.29
3.29 Oleh karena orang bodoh dibingungkan oleh sifat-sifat alam material, maka mereka sepenuhnya menekuni kegiatan material hingga menjadi terikat. Tetapi sebaiknya orang bijaksana jangan menggoyahkan mereka, walaupun tugas-tugas tersebut lebih rendah karena yang melakukan tugas-tugas itu kekurangan pengetahuan.

Bhagavad-gita 3.30
3.30 O Arjuna, karena itu, dengan menyerahkan segala pekerjaanmu kepada-Ku, dengan pengetahuan sepenuhnya tentang –Ku, bebas dari keinginan untuk keuntungan, tanpa tuntutan hak milik, dan bebas dari sifat malas, bertempurlah.

Bhagavad-gita 3.31
3.31 Orang yang melakukan tugas-tugas kewajibannya menurut perintah-perintah-Ku dan mengikuti ajaran ini dengan setia, bebas dari rasa iri, dibebaskan dari ikatan perbuatan yang dimaksudkan untuk membuahkan hasil.

Bhagavad-gita 3.32
3.32 Tetapi orang yang tidak mengikuti ajaran ini secara teratur karena rasa iri dianggap kehilangan segala pengetahuan, dijadikan bodoh, dan dihancurkan dalam usahanya untuk mencari kesempurnaan.




Bhagavad-gita 3.33
3.33 Orang yang berpengetahuanpun bertindak menurut sifatnya sendiri, sebab semua orang mengikuti sifat yang telah diperolehnya dari tiga sifat alam. Karena itu apa yang dapat dicapai dengan pengekangan?

Bhagavad-gita 3.34
3.34 Ada prinsip-prinsip untuk mengatur ikatan dan rasa tidak suka berhubungan dengan indria-indria dan obyek-obyeknya. Hendaknya seseorang jangan dikuasi oleh ikatan dan rasa tidak suka seperti itu, sebab hal-hai itu merupakan batu-batu rintangan pada jalan menuju keinsafan diri.

Bhagavad-gita 3.35
3.35 Jauh lebih baik melaksanakan tugas-tugas kewajiban yang sudah ditetapkan untuk diri kita. Walaupun kita berbuat kesalahan dalam tugas-tugas itu, daripada melakukan tugas kewajiban orang lain secara sempurna. Kemusnahan sambil melaksanakan tugas kewajiban sendiri lebih baik daripada menekuni tugas kewajiban orang lain, sebab mengikuti jalan orang lain berbahaya.

Bhagavad-gita 3.36
3.36 Arjuna berkata; Apa yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan yang berdosa, walaupun dia tidak menginginkan demikian, seolah-olah dia dipaksakan untuk berbuat begitu?

Bhagavad-gita 3.37
3.37 Kepribadiaan Tuhan Yang Maha Esa bersabda: Wahai Arjuna, hanya hawa nafsu saja; yang dilahirkan dari hubungan dengan sifat nafsu material dan kemudian diubah menjadi amarah, yang menjadi musuh dunia ini. Musuh itu penuh dosa dan menelan segala sesuatu.

Bhagavad-gita 3.38
3.38 Seperti halnya api ditutupi oleh asap, cermin ditutupi oleh debu, atau janin ditutupi oleh kandungan, begitu pula mahluk hidup ditutupi oleh berbagai tingkat hawa nafsu ini.

Bhagavad-gita 3.39
3.39 Seperti itulah kesadaran murni mahluk hidup yang bijaksana ditutupi oleh musuhnya yang kekal dalam bentuk nafsu, yang tidak pernah puas dan membakar bagaikan api.

Bhagavad-gita 3.40
3.40 Indria-indria, pikiran dan kecerdasan adalah tempat duduk hawa nafsu tersebut. Melalui indria-indria, pikiran dan kecerdasan hawa nafsu menutupi pengetahuan sejati mahluk hidup dan membingungkannya.

Bhagavad-gita 3.41
3.41 Wahai Arjuna, yang paling baik diantara para Bharata, karena itu, pada awal sekali batasilah lambang dosa yang besar ini ( hawa nafsu ) dengan mengatur indria-indria, dan bunuhlah pembinasa pengetahuan dan keinsafan diri ini.

Bhagavad-gita 3.42
3.42 Indria-indria yang bekerja lebih halus daripada alam yang bersifat mati. Pikiran lebih halus daripada indria-indria; kecerdasan lebih halus lagi daripada pikiran; dan Dia (sang roh ) lebih halus lagi daripada kecerdasan.

Bhagavad-gita 3.43
3.43 Dengan mengetahui dirinya melampaui indria-indria material, pikiran dan kecerdasan, hendaknya seseorang memantapkan pikiran dengan kecerdasan rohani yang bertabah hati ( kesadaran Krsna ), dan dengan demikian- melalui kekuatan rohani, mengalahkan hawa nafsu, musuh yang tidak pernah puas, wahai Arjuna yang berlengan perkasa.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Kamis, 21 April 2022

BEBANTENAN DI TEMPAT MENANAM ARI ARI DAN MAKNA DARI BATU GULITAN DAN PANDAN.

 



BEBANTENAN
Setelah ari-ari ditanam, di atasnya ditanami pohon pandan (ada juga ditambah batang kantawali dan sebatang buluh).
.
Kemudian diatas tanah, diletakkan sebuah batu hitam atau batu bulitan. Di atas batu diletakkan sebuah lampu Bali (sentir) yang menyala. Sentir dibiarkan tetap menyala sampai bayi kepus pusar. Terakhir, ditutup dengan guungan.
.
Di bagian hulu dari tempat nanam ari-ari, ditancapkan sebuah sanggah tutuan dihiasi dengan bunga merah. Sanggah dilengkapi sampian, gantung- gantungan. Sanggah ini sebagai stana Sanghyang Maha Yoni.
.
Aturang segehan beralaskan daun taru sakti (dapdap) pada Ari-ari sebanyak empat tanding yang merupakan persembahan kepada Catur Sanak.



.
Kepelan putih satu tanding, lauknya garam menghadap ke timur.
Kepelan merah (bang) satu tanding, dengan lauk bawang menghadap ke selatan.
Kepelan kuning satu tanding, lauk jahe menghadap ke barat.
Kepelan hitam (ireng) satu tanding, lauk uyah areng menghadap ke utara
.
Saat mesegehan ayat sang butha preta. Untuk membantu fokus saat ngayat, bisa pakai sesontegan "Ong sang butha preta, empu semeton jrone sang rare, mangde pageh angemit." Kemudian percikkan tetabuhan berem dan arak.
.
Lakukan ritual menghaturkan segehan ini setiap rahinan jagat, kliwon serta petemuan dina kelahiran bayi.
.
Untuk harian, setiap hari di atas batu bulitan atau batu hitam disajikan banten nasi segenggam di atas daun dapdap dengan lauk garam dan arang.
.
Setiap selesai memandikan bayi, siramkan air memandikan bayi tersebut di batu hitam tersebut.
.
Pada sanggah Tutuan, haturkan soda putih kuning, canang sari.

.
MAKNA PERLENGKAPAN MENANAM ARI ARI
Batu Gulitan
Mengandung makna sebagai permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi agar sang bayi dianugrahi panjang umur.
.
Pohon pandan duri
Merupakan simbol wujud buaya putih sebagai penjaga bayi terhadap gangguan yang bersifat black magic.
.
Sentir
Lampu ini berbahan bakar minyak kelapa yang dicampur dengan minyak lampu wayang (tunasin ring jro dalang) serta minyak kelapa (nyuh surya).
.
Lampu Bali yang menyala melambangkan Sanghyang Surya Candra, yaitu memiliki kekuatan Widia, oleh karena itu lampu tersebut ditatabkan atau ayab dengan mantra "Om Ang Ah suryya candra gumelar ya namah swaha".
.
Ini sebagai lambang kekuatan maya Sang Hyang Widhi dan sebagai Cakra Jala (batas pandang alam semesta), di mana Catur Sanak merupakan bagian mayanya Sang Hyang Widhi dan merupakan unit kehidupan maya di alam semesta, serta menjadi pelindung bayi.
.
Sanggah Tutuan
Merupakan simbol dari stananya Sang Hyang Maha Yoni sebagai penjaga si Bayi.
.
SEKIAN
Sumber teks: baliexpress.jawapos. com
Gambar: sanggah tutuan dan guungan. Sumber mantrahindu. com
Batu gulitan dan pandan medui. Sumber kb.alitmd.com




Rabu, 20 April 2022

Alasan Kenapa Banten Bayakaon Gunakan Andong Merah

 


Hampir di setiap upacara yadnya, menggunakan banten Beakala atau Bayakaon. Entah itu Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya hingga Dewa Yadnya. Penggunaan banten Beakala wajib ada sebagai sarana penyucian lahiriah.

Banten Bayakaon berasal dari kata Baya dan Kaon. Baya artinya segala sesuatu yang membahayakan. Marabahaya yang bisa terjadi pada setiap upakara yadnya, pralingga, badan manusia, yang menyebabkan gejolak negatif ketika berpikir, berucap dan berprilaku yang bersumber dari egoisme. Sedangkan kata Kaon artinya menghilangkan. Bahkan, dalam Lontar Rare Angon tersurat jelas : “Banten Bayakaon inggih punika maka sarana ngicalang sekancanin pikobet-pikobet sane nenten becik, dumugi sidha galang apadang.”

Maksudnya, banten Bayakaon berfungsi sebagai sarana untuk menghilangkan semua gejolak negatif yang bersumber dari egoisme.

Ketut Agus Nova, S.Fil.H, M.Ag yang akrab disebut Jro Anom menjelaskan, sesuai dengan namanya banten Bayakaon mengandung makna simbolis, yakni bertujuan untuk menjauhkan kekuatan Bhutakala (kekuatan negatif) yang mengganggu umat manusia. “Banten Beakala berfungsi untuk menetralisasi sang Bhutakala. Itu bisa dikatakan sebagai lelabaan (santapan) Sang Bhutakala,”ujar Jro Anom kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Selasa (26/12) lalu di Buleleng.



Jro Anom menyebut, banten Bayakaon dipergunakan sebagai manggala (upacara pendahuluan), selaku upacara penyucian, baik untuk unsur Bhuana Agung maupun Bhuana Alit. Tujuannya untuk mencapai keseimbangan antara lahir dan bhatin. Secara niskala, untuk menghilangkan kekuatan-kekuatan buruk Bhutakala serta mengembalikan ke sumbernya agar tidak mengganggu jalannya upacara.

Dikatakan Jro Anom, penyucian itu meliputi dua macam. Ada penyucian yang bermakna lahiriah dan ada penyucian yang bermakna rohaniah. Banten Byakala adalah banten yang melambangkan upacara penyucian lahiriah. Sedangkan upacara penyucian rohaniah dilaksanakan dengan menggunakan upakara atau banten Prayascitta. “Banten Bayakaon ini dipergunakan sebagai banten pendahulu, di semua jenis upacara panca yadnya. Itu wajib ada. Jika banten Bayakaon itu untuk penyucian lahiriah, maka penyucian rohanian mempergunakan banten Prayascita,” terangnya. Karena itu, lanjutnya, banten Prayascita ini selalu menyertai banten Bayakaon, agar penyucian secara jasmani dan rohani bisa dilakukan.

Menurutnya, ada beberapa komponen yang menyusun banten Bayakaon. Ada Sidi (ayakan bambu) yang di atasnya diletakkan Kulit Sasayut, Kulit Peras Pandan Berduri, Nasi Matajuh dan Matimpuh. Kemudian ada Lis Bayakaon, sampian Padma, Pabersian Payasan dan Sampian Nagasari dari daun Andong Merah berisi Plawa, Porosan, Bunga, Rampe dan Boreh Miyik.

Dikatakan Jro Anom, penggunaan Sidi atau ayakan ini sangat jelas fungsinya dalam kehidupan sehari-hari. Ayakan ini alat untuk menyaring tepung beras untuk mendapatkan tepung yang halus. Hal ini melambangkan tujuan banten Byakala ini adalah untuk menyaring wujud yang kasar menjadi lebih halus.

“Upacara Bayakaon itu untuk meningkatkan sifat-sifat Bhutakala dari yang kasar menjadi lebih halus, untuk membantu manusia dalam menangani berbagai perkerjaan dalam rangka beryadnya,” ungkap pria yang juga dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja ini.

Di atas ayakan itu kemudian diletakan Kulit Sasayut. Kulit Sesayut dibuat dari daun janur yang masih hijau yang disebut Selepan. Jro Anom mengatakan, Sasayut memiliki arti menuju karahayuan. “Dengan Kulit Sasayut itu telah tergambar bahwa tujuan banten Byakala itu adalah mengubah keadaaan dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Dari yang kotor menjadi bersih dan suci tahap demi tahap,” terangnya.

Banten Byakala dilengkai dengan Nasi Matajuh dan Nasi Matimpuh. Nasi ini dibuat dengan nasi dan garam dan lauk pauk lainya. Nasi kemudian dibungkus dengan daun pisang sedemikian rupa, sehingga ada yang berbentuk segi empat (Nasi Matajuh) dan Segi Tiga (Nasi Matimpuh).

- JUAL ES KRIM PERNIKAHAN KLIK DISINI

“Membungkus nasi dengan lauk pauknya dalam dua bentuk tadi dengan menggunakan daun pisang,” ujarnya. Nasi dalam dua bentuk itu, lanjutnya, melambangkan isi alam yang dibutuhkan oleh manusia sehari-hari. “Isi alam tersebut patut dilindungi dari pencemaran Bhutakala. Daun pisang yang dijadikan pembungkus itu lambang perlindungan dari pengaruh Bhutakala” imbuhnya.

Banten Byakala juga menggunakaan Sampian yang disebut Lis Alit atau Lis Bebuu sebagai Lis Pabyakalaan. Sampian Lis Bebuu ini lambang alam dalam keadaan seimbang. Dalam Sampian Lis ini terdapat beberapa Sampian jejahitan seperti tangga menek, tangga tuwun, jan sesapi, ancak bingin, alang-alang, tipat pusuh, tipat tulud, basang wayah basang nguda, tampak, tipat lelasan, tipat lepas, dan yang lainnya.

“Menurut mantram, tujuan pernggunaan Lis Bebuu ini untuk menghilangkan Dasa Mala, yaitu sepuluh perbuatan yang kotor yang tidak layak dilakukan,” paparnya.

Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah penggunaan sarana daun Andong Merah yang wajib ada saat pembuatan banten Bayakaon. Jro Anom menyebut dalam konsep banten Bayakaon, daun Andong Merah merupakan simbol dari Dewa Brahma.

“Dalam Lontar Taru Pramana dijelaskan, jika daun Andong tersebut memang wajib ada di banten Bayakaon. Jika ada banten Bayakaon yang tidak terdapat panyeneng Andong Merah, maka banten tersebut bukanlah banten Bayakaon. Karena daun Andong tersebut berperan sebagai penolak bala,” tegasnya. Selain sebagai sarana upacara, daun Andong Merah, lanjut Jro Anom, sangat cocok ditanam di pekarangan rumah untuk menolak bala. “Daun Andong Merah cocok untuk penetralisasi pekarangan rumah, karena dapat menolak segala kekuatan negatif yang hendak menyerang rumah,” tutupnya.

(bx/dik/rin/yes/JPR) –sumber




Minggu, 17 April 2022

Candi Tebing, Jejak Meditasi Kebo Iwa di Gianyar

 


Ceruk  yang ada di aliran Sungai Pakerisan, Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, yang diyakini sebagai tempat meditasi  Kebo Iwa, hingga kini dijadikan tempat meditasi penekun spiritual.

Jero Bendesa Desa Pakraman Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar
Wayan Biata mengatakan, Candi Tebing yang menjadi lokasi bersejarah ini, memang sering dikunjungi krama dari luar desa. Bahkan, mereka yang datang tidak hanya menikmati pemandangan karena juga   sebagai tempat wisata religius. “Saat rerahinan (hari baik) banyak sekali warga dari luar datang untuk meditasi dan malukat . Memang ada sebuah pancuran yang bisa digunakan untuk malukat, yakni pancuran Sudamala,” terang pensiunan guru ini ketika ditemui Bali Express (Jawa Pos Group), pekan  kemarin. Selain untuk malukat, lanjutnya, juga difungsikan ke luhur karena  sebagai tempat mlasti ketika piodalan di pura khayangan tiga dan pura dang khayangan  setempat.



Candi Tebing, Jejak Meditasi Kebo Iwa di Gianyar

Wayan Biata (PUTU AGUS ADEGRANTIKA/BALI EXPRESS)

Biata menyebutkan, rentetan tersebut dengan prosesi ngening, agar sasuhunan secara niskala hening kembali atau bersih kembali. Begitu juga dia mengungkapkan ketika ada pamedek yang malukat di sana agar bersih jiwanya.

Dikatakannya, prosesi piodalan di Candi Tebing  tidak dilaksanakan secara khusus. Tetapi, ketika pelaksanaan ngening dihaturkan juga banten piodalan alit karena pada candi tidak terdapat hari piodalan. Hal itu dilakukan karena tradisinya sejak dulu berlangsung, hanya sebagai tempat masucian saja. Tanpa ada sebuah tegak piodalan yang khusus dilaksanakan.

“Sasuhunan yang mlasti ke sini berasal dari Pura Khayangan Tiga Desa Pakraman Tegallinggah.  Pura Pucak Manik dan Pura Dalem Rsi yang ada di lingkungan Kecamatan Blahbatuh juga menggunakan tempat ini sebagai pasucian,” jelas Biata.

Diakuinya  krama yang otonan,  apalagi saat  melaksanakan otonan pabayuhan pasti nunas tirta. Dikarenakan selain difungsikan untuk prosesi Dewa Yadnya juga dapat sebagai panglukat Manusa Yadnya. Biata menjelaskan yang ditunas juga tidak sembarangan pancuran.

Ada lima buah pancuran, tetapi yang disakralkan hanya pancuran Sudamala yang menghadap ke timur laut dan dikenakan wastra. Sedangkan sisanya hanya digunakan untuk permandian biasa atau untuk kebutuhan  diminum  warga.

Candi Tebing, Jejak Meditasi Kebo Iwa di Gianyar

PANCURAN: Dewa Made Suparsa nunas ( mengambil) air pancuran di Tirta Sudamala Candi Tebing , Desa Pakraman Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. (PUTU AGUS ADEGRANTIKA/BALI EXPRESS)

Sarana yang digunakan untuk malukat, cukup  menghaturkan canang secukupnya. Itupun jika malukat pada hari biasa, sedangkan pada rahinan disarankan untuk menghaturkan sebuah pajati. Setelah malukat,baru melaksanakan  persembahyangan di depan candi tebing.

Salah seorang warga setempat yang kerap sembahyang Dewa Made Suparsa mengatakan, kerap melihat orang sakit  datang  untuk malukat.  Warga setempat, lanjutnya,  banyak datang saat Banyupinaruh. Dan, saat rahinan  kebanyakan yang datang dari luar desa. “ Ada orang yang datang malukat terus berteriak teriak karena  gangguan jiwa.  Setelah melukat dan melakukan persembahyangan sadar kembali,”urainya.  Dikatakannya, pemangku memang tidak ada,   yang malukat bisa bawa pemangku sendiri atau tanpa pemangku.

Ayah dua anak ini mengaku sering mengambil air  untuk diminum. Bahkan, ia berani tidak memasaknya lagi kalau untuk diminum.

Dewa Suparsa menunjukkan ada delapan buah ceruk.  Bahkan di ceruk paling ujung terlihat seseorang yang sedang melakukan meditasi. “Karena berada di dinding tebing,  tidak akan basah bila hujan. Namun, kalau  banjir besar kemungkinan ceruk akan dimasuki air sungai yang meluap,” terangnya.

Beberapa ceruk yang terdapat di areal Candi Tebing Tegallinggah sampai saat ini,  memang difungsikan untuk meditasi. Suasananya yang masih sangat asri  ini, sangat mendukung  untuk menenangkan pikiran.
Dikatakannya, beberapa ceruk  sering digunakan sebagai tempat bertapa. Bahkan, setiap hari pasti ada saja orang yang datang ke sana dari pagi sampai sore. “Setiap hari pasti ada saja orang yang ada pada ceruk ini. Entah itu beryoga atau sekedar mencari ketenangan. Bisa dilihat juga di depan candi ada yang sedang bermeditasi,” papar Dewa Suparsa sambil menunjukkan orang yang sedang bertapa di sebuah ceruk.

Dia mengaku hampir setiap hari mengambil air  untuk dikonsumsi.

Candi Tebing, Jejak Meditasi Kebo Iwa di Gianyar

GAPURA : Gapura yang sebagian telah menjadi reruntuhan. Bersamaan candi ini ditemukan, juga ditemukan tiga lingga yang diyakini sebagai lambamg Tri Murti. (PUTU AGUS ADEGRANTIKA/BALI EXPRESS)

Suparsa juga menunjukkan sebuah goa yang ada di samping pancuran  yang dinamai Goa Garba. Goa inilah yang diyakini menjadi  tempat  bertapanya Patih Kebo Iwa zaman kerjaan dulu.

Kebo Iwa adalah salah seorang panglima militer Bali pada masa pemerintahan Prabu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten pada awal abad ke-14. Nama lain dari Kebo Iwa adalah Kebo Wandira atau Kebo Taruna yang bermakna kerbau yang perjaka. Pada masa itu, nama-nama binatang tertentu seperti kebo (kerbau), gajah, mahisa (banteng), banyak (angsa) lazim dipakai sebagai titel kehormatan, khususnya di Bali ataupun Jawa.

Panglima muda yang bertempat tinggal di Desa Blahbatuh dan anak dari Panglima Rakyan Buncing ini, sering digambarkan sebagai pemuda bertubuh tinggi besar yang mengusai seni perang selain ilmu arsitektur. “Undagi (arsitek tradisonal Bali) ini membangun berbagai tempat suci Bali dan tak segan-segan mengangkut sendiri batu-batu besar dengan kekuatan fisiknya,” urainya.



Lebih lanjut Suparsa menjelaskan, candi tersebut dipahat  pada dua sisi tebing yang berseberangan. Di mana yang memisahkan adalah aliran Sungai Pakerisan. Pada dinding juga terdapat sebuah bangunan, bahkan penduduk desa setempat dulu mengetahui  berupa gapura saja. Dikarenakan terus digali dan dibersihkan, segingga ada tangga  di dalamnya.

Di sebelah kanan gapura ada bangunan yang lebih besar, namun sebagian telah menjadi reruntuhan. “Bersamaan candi ini ditemukan, juga ditemukan tiga lingga yang diyakini sebagai lambamg Tri Murti, yaitu perlambang Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa,” terangnya.

Saat ini  di areal tersebut sedang dalam proses penataan. Sudah dibuatkan juga tempat parkir, toilet, dan bale bengong.

Jalan menuju candi juga sudah ada  anak tangga yang ada di tebing. Sebelum ada  tangga warga  harus berhati-hati karena licin.

Lokasi Candi Tebing Tegallinggah ini harus ditempuh selama satu jam dari Pusat Kota Denpasar. Dari Pasar Blahbatuh  susuri jalan ke utara hingga tiba di pertigaan Tegallinggah yang ada Tugu Patung Dewi Kadru. Kemudian tempuh jalan ke kanan sekitar 100 meter akan terlihat  gang pertama di  kiri jalan.  Masuk terus ke gang yang menuju wilayah Desa Pakraman Tegallinggah, sekitar 800 meter akan sampai depan parkiran candi. Untuk masuk ke areal candi saat ini belum dikenakan tiket masuk karena masih dalam proses penataan.

(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber