PULAU Bali juga disebut sebagai ‘Pulau Seribu Pura’. Pura selain merupakan tempat suci Hindu, juga sebagai “sentra rohani”.
Sarana Hindu Bali
Jumat, 03 Mei 2024
Turus lumbung hingga merajan
Redite Umanis Ukir, Pemujaan Terhadap Bhatara Hyang Guru
Sehari setelah perayaan hari suci Tumpek Landep tepatnya Redite (Minggu) Umanis Ukir adalah Piodalan Bhatara Guru yang berstana di Sanggah Kemulan. Dirayakan setiap 210 hari atau enam bulan sekali, Bhatara Guru adalah menifestasi Hyang Widhi Wasa yang memberikan tuntunan pada keturunannya.
Sarana upakara berupa :
Pengambyan 1, sedah ingapon atau sirih diberi kapur sebanyak 25 lembar, kewangen 8 buah. Upakara ini dapat di tambahi lagi, sesuaikan dengan desa, kala, dan patra.
Mengapa di Kemulan? dalam Sastra Hindu disebutkan sebagai berikut :
“Ring Kamulan ngaran Ida Sang Hyang Atma, ring Kamulan tengen bapa ngaran paratma,ring Kamulan kiwa ibu ngaran Sang Hyang Siwatma,ring Kamulan tengah ngaran raganta, metu Brahmadadi meme bapa meraga Sang Hyang Tuduh. (Dipetik dari Lontar Usana Dewa)”
Maksudnya:
Di Kamulan disebutkan Sang Hyang Atma, di ruang kanan Pelinggih Kamulan adalah bapa disebut Sang Hyang Paratma, di ruang kiri Kamulan adalah ibu disebut Sang Hyang Siwatma, di ruang tengah Kamulan raganta menjadi Brahma sebagai ibu dan bapa menjadi Sang Hyang Tuduh.
Menurut beberapa sumber pustaka Hindu di Bali, yang dipuja di Pelinggih Kamulan itu adalah Sang Hyang Atma. Di samping dinyatakan dalam Lontar Usana Dewa yang dikutip di atas juga dinyatakan dalam Lontar Gong Wesi sebagai berikut
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI |
…ngarania Sang Hyang Atma, ring Kamulan Tengen bapanta ngaran Sang Paratma, ring Kamulan kiwa ibunta ngaran Sang Siwatma, ring Kamulan madia raganta, atma dadi meme bapa ragane mantuk ring dalem dadi Sang Hyang Tunggal nunggalin raga.
Hal yang menyatakan lebih tegas lagi bahwa Pelinggih Kamulan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Atma adalah Lontar Purwa Bumi Kamulan. Lontar ini menguraikan tata cara upacara Nuntun Dewa Hyang di Kamulan. Lontar ini menguraikan amat rinci tentang tata cara menstanakan roh suci leluhur yang disebut Dewa Pitara di Kamulan.
Dalam tradisi Hindu di Bali Dewa Pitara yang distanakan di Pelinggih Kamulan itu disebut Batara Hyang Guru. Dalam Vana Parwa 27.214 dinyatakan ada lima macam Guru yaitu Agni, yaitu sinar suci Hyang Widhi, Atman yaitu unsur yang tersuci dalam diri manusia yang berasal dari Brahman, Mata yaitu ibu yang melahirkan kita, Pita yaitu ayah menyebabkan kita lahir dan Acarya yaitu guru yang memberikan ilmu pengetahuan. Hal inilah yang nampaknya di Bali menjadi ajaran Catur Guru yaitu Guru Swadyaya, Guru Rupaka, Guru Pengajian dan Guru Wesesa.
Karena Atman sebagai salah satu Guru yang dinyatakan dalam Vana Parwa itulah nampaknya menjadi dasar pendirian Kamulan sebagai tempat memuja Dewa Pitara sebagai Batara Hyang Guru. Atman dalam Upanisad adalah Brahman yang ada dalam diri makhluk hidup yang diselubungi oleh Panca Maya Kosa. Untuk menjadikan Atman itu Guru adalah melalui proses upacara ngaben, mamukur dan Nuntun Dewa Pitara. Proses upacara tersebut sebagai simbol untuk melepaskan Atman dari selubung Atman yang disebut Panca Maya Kosa itu. Dengan demikian Atman yang pada hakikatnya Brahman itu langsung tanpa halangan Panca Maya Kosa dapat menjadi Guru dan umat sekeluarga.
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI |
Upacara tersebut bagaikan menghilangkan selubung mendung di langit biru yang menutupi sinar matahari sehingga sinar matahari tersebut dapat langsung memberikan penerangan pada bumi ini. Demikianlah proses upacara ngaben untuk melepaskan Atman dari selubung Stula Sarira. Upacara Atma Wedana melepaskan Atman dari selubung Suksma Sarira. Sedangkan upacara Danda Kalepasan adalah upacara untuk mengambil dosa-dosa leluhur oleh keturunannya. Dengan demikian Sang Hyang Atma tanpa selubung lagi sehingga disebut Dewa Pitara.
Upacara Danda Kalepasan di Bali ada yang menyebutnya upacara Maperas yang artinya keturunan orang yang diupacarai itu mengadopsi utang-utang karma leluhur yang diupacarai tersebut. Yang diwarisi oleh keturunan itu bukanlah berupa kekayaan materi saja. Berbagai utang karma dari leluhur itu juga harus diwarisi juga.
Ini artinya pemujaan pada leluhur dalam tradisi Hindu di Bali, baik buruk, lebih kurang dari leluhur itu harus diterima sebagai warisan. Baiknya harus diupayakan untuk terus dipertahankan bahkan dikembangkan eksistensinya supaya lebih berguna bagi kehidupan selanjutnya. Sedangkan buruk dari berbagai kekurangan dari leluhur itu harus direduksi agar tidak berkembang merusak kehidupan selanjutnya.
Pengalaman adalah guru terbaik, demikian orang menyebutkan. Pengalaman yang baik dan buruk dari leluhur itu dijadikan guru dalam hidup ini. Itulah pentingnya pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan.
Rupanya manusia setelah dianugerahi ilmu pengetahuan, kemakmuran serta kejayaan tidak lantas lupa, sehingga tidak sia-sia ilmu pengetahuan , kemakmuran serta kejayaan yang diperoleh. Atau bila manusia masih dalam diliputi kegelapan, dekatlah dan mohon selalu kepada beliau Bhatara Hyang Guru sehingga terbuka jalan terang, berkat bimbingan dan tuntunan beliau segala sesuatu menjadi mudah. Bila manusia telah melenceng dari jalurnya, lali kawitan (lupa menyembah pada Bhatara Guru) maka beliau akan memberi kita teguran, baik dalam bentuk peristiwa atau yang lainnya. Oleh karena itu kita tidak boleh lupa pada kawitan (asal muasal manusia). –sumber
Pura Kentel Gumi, Tonggak Pengakuan Mpu Kuturan
Pura Agung Kentel Gumi di Desa Tusan, Klungkung, terkait erat dengan perjalanan Mpu Kuturan. Bahkan, pura yang berada di wilayah Kecamatan Banjarangkan ini, menjadi simbol penegakan kembali keberadaan Pulau Bali.
Secara umum diketahui Pura Agung Kentel Gumi yang diamong oleh desa manca (lima desa) yang ada di Kecamatan Banjarangkan, dibangun untuk menciptakan kedamaian di Dunia. “Nama pura berasal dari kata kentel dan gumi. Kentel berarti padat, sedangkan gumi adalah tanah atau dunia. Jadi, ini merupakan pemberian secara simbolis yang menunjukkan suatu penegakan kembali keberadaan Pulau Bali oleh Mpu Kuturan, yang sudah ada sejak Kerajaan Maya Denawa tahun 975 Masehi,” jelas
Pemangku Pura Agung Kentel Gumi, Jro Mangku I Wayan Sudiartha ketika ditemui Bali Express (Jawa Pos Group) di rumahnya, pekan kemarin.
Ayah lima anak ini, juga menjelaskan bahwa Mpu Kuturan sebagai konseptor pura sekaligus agamawan, di mana pada zaman itu menata Pulau Bali agar kentel. “ Mpu Kuturan kala itu menancapkan sebuah tiang berbentuk segi empat ke dasar bumi, yang kini jadi tempat suci linggih Ratu Pancer Jagat, yang berarti pusat bumi,” terangnya.
Pujawali diselenggarakan setiap enam bulan sekali, bertepatan pada Umanis Galungan. Sedangkan pelaksanaan ngusabha, dilakukan satu tahun sekali bertepatan pada Purnama Kalima. “Sebelum pujawali diselenggarakan, sasuhunan yang ada di wilayah manca desa tedun ke pura terlebih dahulu, dan dilinggihkan pada Bale Agung. Setelah itu, baru dilinggihkan pada suatu tempat yang disebut dengan piyasan Murdha Manik,” urainya.
Siang hari dilanjutkan prosesi mlasti ke Pantai Lepang dengan mamarga (jalan kaki), dilaksanakan pada pukul 12.30 . “Intinya mlasti harus lewat dari pukul 12.00 Wita. Setelah itu ada sebuah tradisi mamasar sebagai simbol kalau sebelum melakukan pujawali, harus mencari persiapan ke pasar terlebih dahulu. Tradisi tersebut dilaksanakan pada perempatan Jalan Desa Tusan,” imbuhnya.
Tradisi mamasar, lanjutnya, diibaratkan sasuhunan yang menjelang piodalan akan mempersiapkan segala sesuatunya, agar pelaksanaan piodalan berjalan lancar, tanpa kekurangan apapun. Kembali dari tradisi mamasar, seluruh sasushunan akan dilinggihkan pada tempat yang sudah ada di pura. “Sampai di pura ada lagi prosesi mapada wewalungan, menggunakan seluruh bahan-bahan upakara, yang akan dibuatkan sesajen. Semua itu dibawa menari sambil mengelilingi areal pura dengan tujuan agar yang berasal dari alam itu dihaturkan kembali pada pujawali tersebut,” terang Sudiartha.
Sarana yang digunakan saat prosesi mapada, ada seekor babi, kambing, ayam, bebek, buah-buahan dan sayur-sayuran. Mapada itu juga dibarengi dengan murwa daksina, dilakukan pada areal jaba pura sampai di areal utama mandala Pura Agung Kentel Gumi.
Setelah itu, lanjutnya, ada penyembelihan babi dengan keris hanya sebagai simbol saja. Selesai disemblih, semua hewan dan sayuran tersebut dikembalikan ke masing-masing bagian upakara yang ada di sana. Buah, sayur dan bunga diberikan kepada serati banten. Sedangkan babi dan hewan lainnya diberikan pada perantenan (bagian dapur). Penyerahan itu pertanda keesokan harinya boleh digunakan untuk upakara.
Sudiartha juga menerangkan, sasuhunan di Pura Agung Besakih dan Pura Pasar Agung ketika mlasti akan simpang (mampir). “Jika melewati jalan Barat, maka sasuhunan yang ada di Besakih dan Pasar Agung akan simpang di sini. Ketika melewati jalan tengah, simpangnya di Pura Penataran Agung Klungkung. Sedangkan jika melalui jalan Timur, akan simpang di pura yang ada di daerah Sidemen Karangasem,” jelasnya.
Sasuhunan yang malinggih di Pura Agung Kentel Gumi adalah Sang Hyang Reka Bhuana Pancar Ring Jagat.
I Made Tisnu Wijaya, salah seorang warga mengatakan pura sempat dipugar, pada tahun 2008 lalu baru rampung pengerjaannya. “Kalau sebelum tahun 2008, jalan raya berada di areal parkiran yang sekarang. Karena dibuatkan sebuah wantilan dan tempat parkir, maka jalannya juga ikut digeser ke sebelah barat parkiran,” papar mantan Ketua Pemuda tersebut.
(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber
Kamis, 02 Mei 2024
Banten Pejati
Rabu, 01 Mei 2024
ulah pati Bunuh Diri : Cara Kematian Paling Mengerikan
Sabtu, 27 April 2024
TRADISI PERANG TIPAT-BANTAL
Pertemuan kedua hal inilah yang dipercaya memberikan kehidupan pada semua makhluk di dunia ini, dimana segala yang tumbuh dan berkembang baik dari tanah (tumbuh), bertelur maupun dilahirkan berawal dari pertemuan kedua hal ini.
Ketika Asta Sura Ratna Bhumi Banten menjadi Raja di Pulau Bali menggantikan kakaknya, Shri Walajaya Kertaningrat yang meninggal pada tahun Isaka 1259 atau tahun 1337 Masehi, beliau mengangkat seorang Patih yang bernama Ki Kebo Taruna atau lebih dikenal sebagai Ki Kebo Iwa dan mempunyai seorang Mahapatih yang bernama Ki Pasung Grigis. Diceritakan pada masa itu sang Raja mengutus sang Patih untuk merestorasi Candi di Khayangan Purusada yang ada di Desa Kapal.
Pada suatu saat itu desa Kapal mengalami paceklik panen yang mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan masyarakatnya. Risau atas keadaan ini kemudian Ki Kebo Iwa memohon jalan keluar kepada Sang Pencipta dengan melakukan yoga semadhi di Khayangan Bhatara Purusada. Tatkala melaksanakan yoga semadhi beliau mendapatkan sabdha dari Sang Hyang Siwa Pasupati untuk melaksanakan Aci Rah Pengangon atau Aci Rare Angon dengan sarana menghaturkan tipat – bantal sebagai simbolisasi Purusha dan Predhana (sumber kehidupan) karena penyebab dari segala paceklik tersebut adalah ketiadaan sumber kehidupan tersebut. Dalam sabdha ini pula diperoleh perintah agar masyarakat Kapal tidak menjual Tipat karena Tipat adalah simbolisasi dari Predana/Energi Feminisme/Ibu Pertiwi. Akhirnya dilaksanakanlah Aci Rah Pengangon di Desa Kapal sehingga desa ini makmur dan tentram kembali. Setelah melaksanakan tugasnya maka kembalilah Patih Ki Kebo Iwa menuju purinya Raja Bali yaitu di Batu Anyar ( sekarang dikenal dengan nama Bedulu ), sampai akhirnya kemudian Pulau Bali ditundukkan oleh Majapahit pada tahun saka 1265 atau tahun 1343 Masehi. Dari hal inilah kemudian berkembang tradisi Perang Tipat - Bantal ini di Desa Kapal pada tahun 1337, salah satu dari sekian banyak kearifan-kearifan masa lampau yang harus dihayati, dijaga dan dilestarikan sebagai sebuah tuntunan hidup untuk lebih menghormati alam dan kehidupan.