Pitrbhir bhratrbhic
Caitah patibhir dewarais tatha
Pujya bhusayita wyacca
Bahu kalyanmipsubhin.
Terjemahan:
Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayah-ayahnya, kakak-kakaknya, suami dan ipar-iparnya yang menghendaki kesejahteraan sendiri.
Kemudian Sloka 56 berbunyi demikian:
Yatra naryastu pujyante
Ramante tatra dewatah
Yatraitastu na pujyante
Sarwastaraphalah kriyah
Terjemahan:
Dimana wanita dihormati, disanalah para Dewa-Dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berphala.
Berikutnya Sloka 57 berbunyi demikian:
Cocanti jamayo yatra
Winacyatyacu tatkulam
Na cocanti tu yatraita
Wardhate taddhi sarwada
Terjemahan:
Dimana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan hancur, tetapi dimana wanita itu tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia.
Selanjutnya Sloka 58 berbunyi demikian:
Jamayo yani gehani
Capantya patri pujitah
Tani krtyahatanewa
Winacyanti samantatah
Terjemahan:
Rumah diaman wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya, seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib.
Berdasarkan pada tuntunan pustaka suci tersebut, bila disesuaikan dengan kenyataannya, memang besar kebenaranya, karena sebagain besar aktivitas agama, ditangani oleh para ibu-ibu.
Lebih jauh dalam pustaka suci Manusmerti XI sloka 28, juga ada dinyatakan sebagai berikut:
Apatyam dharmakaryanicucrusaaratiruttama
Daradhinastathaaswargahgahpitrinam atmanacca ha.
Terjemahan:
Anak-anaka, upacara agama, pengabdian kebahagian rumah tangga, surge untuk leluhur maupun untuk diri sendiri (semua) didukung oleh istri.
Pengamalan dari tuntuna-tuntunan pustaka suci tersebut, dalam kehidupan ibu sebagai penyelenggara aktivitas agama pada keluarganya, diwujudkan dalam pelaksanaan-pelaksanaan upacara, misalnya setelah selesai memasak di dapur sebelum makan, diselengarakan upacara Jadnya Sesa dengan mempersembahkan banten jotan atau saiban, yang terdiri dari hasil masakan berupa sesuap nasi lengkap dengan lauk pauknya. Upacara adalah salah satu kerangka agama Hindu yang paling kongkrit kegiatannya, yaitu merupakan suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan dirinya dengan Hyang Widhi Wasa melalui suatu persembahan berupa Yadnya.
CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
Essensi daripada agama adalah Yadnya, yaitu suatu persembahan atau korban suci yang didasari dengan pikiran yang tulus ikhlas terhadap Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya. Semua upacara itu dibuat berdasarkan Susila/Etika dan mempunyai inti hakekat yang terkandung di dalamnya yang disebut dengan Tattwa. Dengan demikian, maka pada setiap pelaksanaan upacara agama Hindu, sebenarnya ketiga kerangka agama yang terdiri dari Tattwa, Susila/Etika dan Upacara telah menyatu dilaksanakan, karena ketiga-tiganya itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak dapat dipisah-pisahkan. Bila dikaji secara mendalam, dalam pelaksanaan upacara Yadnya Sesa/Masaiban atau Ngejot itu, maka pelaksanaan Ngejot adalah upacara, yang diwujudkan berupa banten, sekaligus berfungsi sebagai alat atau sarana. Adapun waktu untuk mempersembhakannya yaitu setelah selesai memasak sebelum makan adalah susila atau etikanya, itu mempunyai makna mendahulukan Hyang Widhi Wasa/manifestasi-Nya yang telah membantu penyelesaian proses dari bahan mentah hingga menjadi masak dan siap untuk dimakan.
Kerangka Tattwanya terletak pada makna dan tujuan dari pelaksanaan upacara Yadnya Sesa itu, yaitu berfungsi sebagai uacapan terimah kasih manusia atas karunia Hyang Widhi/manifestasi Beliau, telah membantu dengan selamat kepada umatNya berupa perlindungan dalam bentuk makanan, untuk kesegaran dan kesehatan perkembangan tubuhnya.
Selain itu, juga bermakna untuk memohon maaf atas segala kesalahn, kekurangan yang mungkin diperbuat selama melaksanakan proses tersebut. Disamping itu juga Persembahan atau Yadnya itu merupakan wakil atau saran wujud nyata dari manusia untuk mengucapkan rasa terimah kasihnya, yang kesemuanya itu juga sarananya berasal dari segala ciptaan Beliau. Dengan demikian, maka fungsi pokok dari pelaksanaan upacara dan upakara itu adalah secara lahir untuk mewujudkan keseimbangan antara yang memberi dengan yang menikmati dan secara batin merupakan pengendalian hwa nafsu dari manusia terhadap Tuhan selaku sumber-Nya.
Pelaksanaan ini didasarkan atas tuntunan pustaka suci Bhagawadgita III dalam ajaran Karmayoga, yang termuat dalam sloka 10, 11,12,13,14 yang berbunyi sebagai berikut:
Sloka 10:
Pada jaman dahuku kala prajapati menciptkan manusia dengan Yadnya dan bersabda; dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.
Sloka 11:
Dengan ini kamu memelihara para Dewa dan dengan ini pula para Dewa memelihara dirimu, jadi dengan saling memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi.
Sloka 12:
Dipelihara oleh yadnya, para dewa akan memberi kamu kesenangan yang kau ingini. Ia yang menikmati pemberian-pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepada-Nya adalah pencuri.
Sloka 13:
Orang-orang yang baik yang makan apa yang tersisa dari Yadnya, mereka itu terlepas dari segala dosa. Akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan untuk kepentingan sendiri mereka itu adalah makan dosanya sendiri.
Sloka 14:
Dari makanan makhluk menjelma, dari hujan lahirnya makanan dan dari yadnya muncullah hujan dan dari yadnya lahir dari pekerjaan.
Demikian dasar-dasar dari pelaksanaan upacara-upacara yang dilaksanakan dengan yadnya, sehingga bila hal itu disimpulkan, bahwa hidup ke dunia ini adalah merupakan yadnya, maka itu harus ditempuh dengan beryadnya pula, karena Hyang Widhi yang merupakan sumbernya ini melaksanakan semua yang ada di muka bumi ini beserta segala isinya, adalah melalui Yadnya pula.
Mengenai tempat-tempat mempersembahkan banten jotan, saiban atau yadnya sasa itu, dalam pustaka suci Manawadharmasasstra III sloka 68 dan 69 dijelaskan bahwa:
Sloka 68:
Seorang kepala keluarga mempunyai lima macam tempat penyembelihan yaitu tempat masak, batu pengasah, sapu, lesung dengan alunya, tempayan tempat air, dengan pemakaian mana ia diikat oleh belenggu dosa.
Sloka 69:
Untuk menebus dosa yang ditimbulkan oleh pemakaian kelima alat itu, para Maha resi telah menggariskan untuk para kepala keluarga agar setiap harinya melakukan Panca Yadnya.
Melalui pengamalan upacara Yadnya Sesa/Masaiban atau Ngejot itu, tiap keluarga setiap harinya telah melaksanakan secara rutin, dan malahan jumlah yang dipersembahkan bukan lima buah saja, kadang-kadang keluarga yang kecil saja bisa sampai membuat di atas dua puluh lima buah, apalagi kalau keluarga yang besar, sudah tentu lebih banyak dari jumlah itu, sampai satu tempeh atau satu nyiru. Banten jotan itu dipersembahkan berkeliling di semua tempat yang diyakini membantu dalam kehidupannya, yaitu dari tempat suci, tempat hidup, bekerja sampai ke tempat-tempat pembuangan sampah/Song Sombah yaitu saluran air keluar dari rumah pekarangan keluarga.
Penyelenggaraan upacara agama tersebut umumnya ditempuh melalui jalan Bakti Marga dan Karma Marga. Dilain pihak juga bagi mereka yang batinnya sudah kuat dan pengendalian dirinya sudah tinggi, maka jalan Jnana Marga dan Raja Marga ada pula pula yang melaksanakan, yaitu melalui berdoa dan memakai mantra. Ajaran agama Hindu memang sangat luwes, dapat dilaksanakan sesuai dengan Desa (tempat), Kala (waktu) dan Patra (keadaan) dan dalam tingkatan yang kecil (nista), Madia (menengah) dan Utama ( besar), karena ajarannya mengatasi ruang dan waktu sifatnya. Untuk keluwesan ini pustaka suci Bhagawadgita Bab IV sloka 11 menyebutkan sebagai berikut:
"Dengan jalan bagaimana pun orang-orang mendekati, dengan jalan yang sama itu juga, Aku memenuhi keinginan mereka. Melalui banyak jalan manusia mengikuti jalanKu, O Partha.
Berikut ini untuk tuntunan beberapa mantra atau doa untuk pelaksanaan makan, setelah mempersembahkan Yadnya Sesa, patut pula diberikan oleh para ibu dan dilatihkan pada anak-anaknya secara berkelanjutan, adalah sebagai berikut:
Mantra Saat Duduk Menghadapi Makanan/Hidangan
"Om purnam adah purnam idam
purnat purnam udasyate
purnasya purnam adaya
purnam evawasisyate"
Terjemahan:
"Om Hyang Widhi yang Maha Sempurna dan yang membuat alam ini sempurna. Engkau Maha Kekal. Hamba dapat Makanan yang cukup berkat anugrahMu, hamba menghanturkan terimah kasih".
Mantra Sebelum Memulai Mencicipi Makanan
"Om Anugraha Amrtadi Sanjiwani ya Namah Swaha"
Terjemahan:
"Om Hyang Widhi, semoga makanan ini menjadi penghidup hamba lahir dan batin serta suci".
Mantra Selesai Makan
"Om dirghayur astu, awighnamastu, subham astu,
Om Criyam bhawantu, sukham bhawantu, purnam
bhawantu, ksama sampurna ya namah swaha.
Om Santi Santi Santi Om"
Terjemahan:
"Om Hyang Widhi, semoga makanan yang masuk ke dalam tubuh hamba, memberikan kekuatan dan keselamatan, panjang umur dan tidak mendapatkan sesuatu halangan apapun. Om Hyang Widhi damai di hati, damai di dunia dan damai selamanya.
Swadharma Ibu sebagai Penyelenggara Aktivitas Agama adalah sangat dominan yaitu dari membuat, mempersembahkan dengan doa atau mantra, yang pada dasarnya adalah untuk memohon keselamatan diri pribadi dan keluarga serta leluhur di dalam keluarganya tiap-tiap hari.
Di samping melaksanakan mesaiban/ngejot, juga pelaksanaan upacara persembahyangan Trisandhya yaitu sebanyak tiga kali sehari pada pagi, siang dan soreh/malam hari. Untuk menuntunya di sekolah juga telah dilaksanakan oleh Bapak/Ibu Guru, namun untuk di rumah juga perhatian dari ibunya sangat diperlukan, karena kesemuanya itu adalah bertujuan untuk memohonkan keselamatan atas segala ciptaan beliau di dunia tiga lain, yaitu di atas, tengah dan bawah, yang merupakan lingkungan hidupnya manusia, agar tetap diberikan kedamaian sepanjang masa.
Selain itu juga swadharma ibu di keluarga menyelenggarakan aktivitas agama untuk upacara-upacara yang sifatnya berkala, misalnya setiap kliwon yaitu Masegeh (mempersembahkan korban suci berupa suguhan nasi dengan lauk pauk bawang merah, jahe dan garam) kepada para Bhutakala, yang mungkin mengganggu kelalaian manusia dalam kehidupannya. Di samping itu juga upacara-upacara Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem, Anggara Kasih, Buda Kiliwon, Buda Cemeng, Tumpek, Saraswati, Pagerwesi, Galungan, Kuningan, Tawur Ka Sanga menjelang hari Raya Nyepi dan lain sejenisnya, sesuai dengan Desa, kala dan Patra.
Untuk perwujudan upacara-upacara tersebut, sudah tentu didahului dengan berbagai persiapan-persiapan seperti membuat jajan, majajahitan, matanding (mengatur semua sarana upakara menjadi banten) dan langsung mempersembahkan sampai selesai.
Untuk kesemarakan pelaksanaannya, disertai pula dengan Kidung Wargasari, yang juga sebagian besar didukung oleh para ibu-ibu dan kaum wanita lainnya seperti yang masih remaja-remaja. Untuk kelangsungannya juga kepada generasi penerus, patut di bimbing oleh para kaum ibu di masing-masing keluargannya.
Khusus untuk upacara yang erat kaitannya dengan manusia dari lahirnya hingga dewasa dan tua, ada beberapa upacara penting yang patut diselenggarakan oleh ibu-ibu terhadap anak atau anggota keluargannya yang disebut daur ulang atau Manusa Yadnya itu adalah:
1. Upacara bayi lahir.
2. Upacara Kepus puser/Panelahan.
3. Upacara bayi 12 hari/ngelepas hawon.
4. Upacara Turug Kambuhan/42 hari.
5. Upacara Nyambutin/3 bulan.
6. Upacara Oton.
Upacara Oton ini diwajibkan setiap enam bulan sekali supaya tetap diperingati, karena bertepatan dengan hari lahir yang tepat dengan hari, (sapta wara), Pancawara dan Wuku, untuk mohon tuntunan kehadapan Hyang Widhi/manifestasi-Nya dari leluhur kepada yang turun menjelma.
Semua upacara-upacara tersebut, bertujuan untuk membersikan dan menyucikan diri pribadi secara lahir dan batin yang dimohonkan kehadapan Hyang Widhi sebagai sumber-Nya.
Demikianlah Swadharma Ibu sebagai Penyelenggara Aktivitas Agama, yang selalu sibuk dalam kehidupannya sehari-hari, semata-mata untuk mengabdikan dirinya kepada keluarganya secara lahir dan batin.
Referensi: https://www.mutiarahindu.com/2020/10/peran-ibu-sebagai-penyelenggara.html
Sri Arwati, Dra Ni Made.2016. Ibu dalam Keluarga Hindu. Denpasar: ESBE buku.
Essensi daripada agama adalah Yadnya, yaitu suatu persembahan atau korban suci yang didasari dengan pikiran yang tulus ikhlas terhadap Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya. Semua upacara itu dibuat berdasarkan Susila/Etika dan mempunyai inti hakekat yang terkandung di dalamnya yang disebut dengan Tattwa. Dengan demikian, maka pada setiap pelaksanaan upacara agama Hindu, sebenarnya ketiga kerangka agama yang terdiri dari Tattwa, Susila/Etika dan Upacara telah menyatu dilaksanakan, karena ketiga-tiganya itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak dapat dipisah-pisahkan. Bila dikaji secara mendalam, dalam pelaksanaan upacara Yadnya Sesa/Masaiban atau Ngejot itu, maka pelaksanaan Ngejot adalah upacara, yang diwujudkan berupa banten, sekaligus berfungsi sebagai alat atau sarana. Adapun waktu untuk mempersembhakannya yaitu setelah selesai memasak sebelum makan adalah susila atau etikanya, itu mempunyai makna mendahulukan Hyang Widhi Wasa/manifestasi-Nya yang telah membantu penyelesaian proses dari bahan mentah hingga menjadi masak dan siap untuk dimakan.
Kerangka Tattwanya terletak pada makna dan tujuan dari pelaksanaan upacara Yadnya Sesa itu, yaitu berfungsi sebagai uacapan terimah kasih manusia atas karunia Hyang Widhi/manifestasi Beliau, telah membantu dengan selamat kepada umatNya berupa perlindungan dalam bentuk makanan, untuk kesegaran dan kesehatan perkembangan tubuhnya.
Selain itu, juga bermakna untuk memohon maaf atas segala kesalahn, kekurangan yang mungkin diperbuat selama melaksanakan proses tersebut. Disamping itu juga Persembahan atau Yadnya itu merupakan wakil atau saran wujud nyata dari manusia untuk mengucapkan rasa terimah kasihnya, yang kesemuanya itu juga sarananya berasal dari segala ciptaan Beliau. Dengan demikian, maka fungsi pokok dari pelaksanaan upacara dan upakara itu adalah secara lahir untuk mewujudkan keseimbangan antara yang memberi dengan yang menikmati dan secara batin merupakan pengendalian hwa nafsu dari manusia terhadap Tuhan selaku sumber-Nya.
Pelaksanaan ini didasarkan atas tuntunan pustaka suci Bhagawadgita III dalam ajaran Karmayoga, yang termuat dalam sloka 10, 11,12,13,14 yang berbunyi sebagai berikut:
Sloka 10:
Pada jaman dahuku kala prajapati menciptkan manusia dengan Yadnya dan bersabda; dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.
Sloka 11:
Dengan ini kamu memelihara para Dewa dan dengan ini pula para Dewa memelihara dirimu, jadi dengan saling memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi.
Sloka 12:
Dipelihara oleh yadnya, para dewa akan memberi kamu kesenangan yang kau ingini. Ia yang menikmati pemberian-pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepada-Nya adalah pencuri.
Sloka 13:
Orang-orang yang baik yang makan apa yang tersisa dari Yadnya, mereka itu terlepas dari segala dosa. Akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan untuk kepentingan sendiri mereka itu adalah makan dosanya sendiri.
Sloka 14:
Dari makanan makhluk menjelma, dari hujan lahirnya makanan dan dari yadnya muncullah hujan dan dari yadnya lahir dari pekerjaan.
Demikian dasar-dasar dari pelaksanaan upacara-upacara yang dilaksanakan dengan yadnya, sehingga bila hal itu disimpulkan, bahwa hidup ke dunia ini adalah merupakan yadnya, maka itu harus ditempuh dengan beryadnya pula, karena Hyang Widhi yang merupakan sumbernya ini melaksanakan semua yang ada di muka bumi ini beserta segala isinya, adalah melalui Yadnya pula.
Mengenai tempat-tempat mempersembahkan banten jotan, saiban atau yadnya sasa itu, dalam pustaka suci Manawadharmasasstra III sloka 68 dan 69 dijelaskan bahwa:
Sloka 68:
Seorang kepala keluarga mempunyai lima macam tempat penyembelihan yaitu tempat masak, batu pengasah, sapu, lesung dengan alunya, tempayan tempat air, dengan pemakaian mana ia diikat oleh belenggu dosa.
Sloka 69:
Untuk menebus dosa yang ditimbulkan oleh pemakaian kelima alat itu, para Maha resi telah menggariskan untuk para kepala keluarga agar setiap harinya melakukan Panca Yadnya.
Melalui pengamalan upacara Yadnya Sesa/Masaiban atau Ngejot itu, tiap keluarga setiap harinya telah melaksanakan secara rutin, dan malahan jumlah yang dipersembahkan bukan lima buah saja, kadang-kadang keluarga yang kecil saja bisa sampai membuat di atas dua puluh lima buah, apalagi kalau keluarga yang besar, sudah tentu lebih banyak dari jumlah itu, sampai satu tempeh atau satu nyiru. Banten jotan itu dipersembahkan berkeliling di semua tempat yang diyakini membantu dalam kehidupannya, yaitu dari tempat suci, tempat hidup, bekerja sampai ke tempat-tempat pembuangan sampah/Song Sombah yaitu saluran air keluar dari rumah pekarangan keluarga.
Penyelenggaraan upacara agama tersebut umumnya ditempuh melalui jalan Bakti Marga dan Karma Marga. Dilain pihak juga bagi mereka yang batinnya sudah kuat dan pengendalian dirinya sudah tinggi, maka jalan Jnana Marga dan Raja Marga ada pula pula yang melaksanakan, yaitu melalui berdoa dan memakai mantra. Ajaran agama Hindu memang sangat luwes, dapat dilaksanakan sesuai dengan Desa (tempat), Kala (waktu) dan Patra (keadaan) dan dalam tingkatan yang kecil (nista), Madia (menengah) dan Utama ( besar), karena ajarannya mengatasi ruang dan waktu sifatnya. Untuk keluwesan ini pustaka suci Bhagawadgita Bab IV sloka 11 menyebutkan sebagai berikut:
"Dengan jalan bagaimana pun orang-orang mendekati, dengan jalan yang sama itu juga, Aku memenuhi keinginan mereka. Melalui banyak jalan manusia mengikuti jalanKu, O Partha.
Berikut ini untuk tuntunan beberapa mantra atau doa untuk pelaksanaan makan, setelah mempersembahkan Yadnya Sesa, patut pula diberikan oleh para ibu dan dilatihkan pada anak-anaknya secara berkelanjutan, adalah sebagai berikut:
Mantra Saat Duduk Menghadapi Makanan/Hidangan
"Om purnam adah purnam idam
purnat purnam udasyate
purnasya purnam adaya
purnam evawasisyate"
Terjemahan:
"Om Hyang Widhi yang Maha Sempurna dan yang membuat alam ini sempurna. Engkau Maha Kekal. Hamba dapat Makanan yang cukup berkat anugrahMu, hamba menghanturkan terimah kasih".
Mantra Sebelum Memulai Mencicipi Makanan
"Om Anugraha Amrtadi Sanjiwani ya Namah Swaha"
Terjemahan:
"Om Hyang Widhi, semoga makanan ini menjadi penghidup hamba lahir dan batin serta suci".
Mantra Selesai Makan
"Om dirghayur astu, awighnamastu, subham astu,
Om Criyam bhawantu, sukham bhawantu, purnam
bhawantu, ksama sampurna ya namah swaha.
Om Santi Santi Santi Om"
Terjemahan:
"Om Hyang Widhi, semoga makanan yang masuk ke dalam tubuh hamba, memberikan kekuatan dan keselamatan, panjang umur dan tidak mendapatkan sesuatu halangan apapun. Om Hyang Widhi damai di hati, damai di dunia dan damai selamanya.
Swadharma Ibu sebagai Penyelenggara Aktivitas Agama adalah sangat dominan yaitu dari membuat, mempersembahkan dengan doa atau mantra, yang pada dasarnya adalah untuk memohon keselamatan diri pribadi dan keluarga serta leluhur di dalam keluarganya tiap-tiap hari.
Di samping melaksanakan mesaiban/ngejot, juga pelaksanaan upacara persembahyangan Trisandhya yaitu sebanyak tiga kali sehari pada pagi, siang dan soreh/malam hari. Untuk menuntunya di sekolah juga telah dilaksanakan oleh Bapak/Ibu Guru, namun untuk di rumah juga perhatian dari ibunya sangat diperlukan, karena kesemuanya itu adalah bertujuan untuk memohonkan keselamatan atas segala ciptaan beliau di dunia tiga lain, yaitu di atas, tengah dan bawah, yang merupakan lingkungan hidupnya manusia, agar tetap diberikan kedamaian sepanjang masa.
Dagang Banten Bali |
Selain itu juga swadharma ibu di keluarga menyelenggarakan aktivitas agama untuk upacara-upacara yang sifatnya berkala, misalnya setiap kliwon yaitu Masegeh (mempersembahkan korban suci berupa suguhan nasi dengan lauk pauk bawang merah, jahe dan garam) kepada para Bhutakala, yang mungkin mengganggu kelalaian manusia dalam kehidupannya. Di samping itu juga upacara-upacara Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem, Anggara Kasih, Buda Kiliwon, Buda Cemeng, Tumpek, Saraswati, Pagerwesi, Galungan, Kuningan, Tawur Ka Sanga menjelang hari Raya Nyepi dan lain sejenisnya, sesuai dengan Desa, kala dan Patra.
Untuk perwujudan upacara-upacara tersebut, sudah tentu didahului dengan berbagai persiapan-persiapan seperti membuat jajan, majajahitan, matanding (mengatur semua sarana upakara menjadi banten) dan langsung mempersembahkan sampai selesai.
Untuk kesemarakan pelaksanaannya, disertai pula dengan Kidung Wargasari, yang juga sebagian besar didukung oleh para ibu-ibu dan kaum wanita lainnya seperti yang masih remaja-remaja. Untuk kelangsungannya juga kepada generasi penerus, patut di bimbing oleh para kaum ibu di masing-masing keluargannya.
Khusus untuk upacara yang erat kaitannya dengan manusia dari lahirnya hingga dewasa dan tua, ada beberapa upacara penting yang patut diselenggarakan oleh ibu-ibu terhadap anak atau anggota keluargannya yang disebut daur ulang atau Manusa Yadnya itu adalah:
1. Upacara bayi lahir.
2. Upacara Kepus puser/Panelahan.
3. Upacara bayi 12 hari/ngelepas hawon.
4. Upacara Turug Kambuhan/42 hari.
5. Upacara Nyambutin/3 bulan.
6. Upacara Oton.
Upacara Oton ini diwajibkan setiap enam bulan sekali supaya tetap diperingati, karena bertepatan dengan hari lahir yang tepat dengan hari, (sapta wara), Pancawara dan Wuku, untuk mohon tuntunan kehadapan Hyang Widhi/manifestasi-Nya dari leluhur kepada yang turun menjelma.
Semua upacara-upacara tersebut, bertujuan untuk membersikan dan menyucikan diri pribadi secara lahir dan batin yang dimohonkan kehadapan Hyang Widhi sebagai sumber-Nya.
Demikianlah Swadharma Ibu sebagai Penyelenggara Aktivitas Agama, yang selalu sibuk dalam kehidupannya sehari-hari, semata-mata untuk mengabdikan dirinya kepada keluarganya secara lahir dan batin.
Referensi: https://www.mutiarahindu.com/2020/10/peran-ibu-sebagai-penyelenggara.html
Sri Arwati, Dra Ni Made.2016. Ibu dalam Keluarga Hindu. Denpasar: ESBE buku.
BACA JUGA :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar