Hutan pohon Pala di Desa Sangeh, Abiansemal, Badung, tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan Pura Pucak Bukit Sari yang berada di tengah hutan Pala tersebut. Keberadaan pohon Pala ini memang unik, lantaran di sekitar daerah tersebut tidak ada pohon sejenis. Hutan pohon Pala ini juga disebut Bukit Sari, padahal daerah di mana pohon itu tumbuh berupa dataran , bukan kawasan perbukitan.
Dalam bahasa Sansekerta kata ‘Pala’ artinya melindungi, sedangkan kata ‘Phala’ artinya buah. Untuk menyebutkan nama pohon di Pura Pucak Bukit Sari Sangeh ini, apa Pala atau Phala, tidak jelas tahu asal-usulnya. Kalau digunakan kata Pala, memang pohon besar dan tinggi-tinggi tersebut sebagai pohon pelindung.
Bagaimana dengan nama Sangeh? Berdasarkan mitologi masyarakat setempat, nama Sangeh diambil dari kata ‘Sang’ yang berarti ‘orang’ dan ‘Ngeh’ artinya ‘melihat’. Jadi, Sangeh berarti ada orang yang melihat. Lantas, apa yang dilihat? Konon, pohon Pala yang berasal dari Gunung Agung, Karangasem, pernah melakukan perjalanan menuju Taman Ayun, Mengwi, Badung. Pohon-pohon Pala yang berjalan beriringan di malam hari karena kekuatan gaib itu, akan digunakan menghiasi Taman Ayun, milik Kerajaan Mengwi. Namun, dalam perjalanannya, ternyata ada orang yang melihatnya, sehingga pohon itu berhenti. Dan, tempat berhentinya pohon-pohon Pala ini kemudian diberi nama Sangeh, yang artinya ‘ada orang melihat’. Karena itu pula pohon Pala di kawasan itu tumbuh subur, tak ada yang berani merusaknya. Ratusan kera yang kemudian menghuni tempat ini pun dianggap bukan kera biasa. Sementara di tengah hutan berdiri bangunan Pura Pucak Bukit Sari.
Menurut sejarah, pura ini dibangun Anak Agung Anglurah Made Karangasem Sakti, anak angkat Raja Mengwi, Tjokorda Sakti Blambangan. Konon, Anak Agung Anglurah Made Karangasem Sakti, sejak kecil melakukan ‘tapa rare’ yaitu bertapa seperti tingkah laku anak-anak. Setelah kesaktiannya makin kokoh, beliau juga mendapat bisikan gaib, agar membuat palinggih (tempat sembahyang) di hutan Pala Sangeh. Sejak itulah, Pura Pucak Bukit Sari ini ada di tengah-tengah hutan Pala, sebagai tanda sujudnya keturunan Raja Mengwi terhadap Ida Bhatara di Gunung Agung.
Dalam versi lain, adanya Pura Pucak Bukit Sari di hutan pohon Pala ini dibeber pula dalam Lontar Babad Mengwi. Diceritakan bahwa putri Ida Batara di Gunung Agung berkeinginan untuk disungsung di Kerajaan Mengwi. Atas kehendak beliau maka hutan pala yang ada di Gunung Agung tempat putri Ida Batara Gunung Agung bermukim pindah secara misterius pada waktu malam. Perjalanan belum sampai di Kerajaan Mengwi, keadaan sudah siang dan telanjur ada yang mengetahui perjalanan tersebut. Hal ini konon yang menyebabkan hutan Pala tersebut tidak bisa berjalan lagi menuju Mengwi dan berhenti di Desa Sangeh sekarang. Konon putra angkat Raja Mengwi yang pertama I Gusti Agung Putu yang bergelar Cokorda Sakti Blambangan menemukan bekas bangunan palinggih. Putra angkat Raja Mengwi tersebut bernama Anak Agung Ketut Karangasem. Atas penemuan tersebut Cokorda Sakti Blambangan memerintahkan untuk membangun kembali pura tersebut dan diberi nama Pura Pucak Bukit Sari. Yang dipuja di pura tersebut adalah Ida Batara Gunung Agung dan Batara Melanting. Di Pura Pucak Bukit Sari ini terdapat tidak kurang dari 36 bangunan suci. Ada palinggih utama dan ada pelengkap. Ada Palinggih Padmasari panyawangan Ulun Danu Beratan. Ada dua Padmasari sebagai Palinggih Ratu Puncak Kangin dan Ratu Puncak Kauh. Kemungkinan palinggih ini untuk penyawangan ke Gunung Agung dan ke Pura Batur atau Ratu Batara Melanting. Ada Palinggih utama berupa Meru Tumpang Sembilan dan ada Palinggih Padmasana sebagai pemujaan Batara Sada Siwa. Selain itu, ada empat Padmasari lagi, masing-masing sebagai pemujaan Pucak Batur, sebagai Palinggih Ratu Entap, Ratu Manik Galih dan Batara Wisnu. Ada juga Palinggih Bale Paselang. Pelinggih ini umumnya digunakan untuk upacara Pedanaan yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan. Di palinggih ini dilukiskan secara ritual sakral hubungan bakti manusia kepada Tuhan dan anugerah Tuhan yang di Bali disebut sweca. Di Palinggih Paselang inilah dilukiskan bahwa hanya manusia yang sungguh-sungguh bakti pada Tuhan akan mendapatkan sweca atau anugerah dari Tuhan berupa raksanam atau rasa aman dan damai serta dhanam alias hidup sejahtera. Ini artinya, palinggih yang disebut Bale Paselang ini memotivasi umat Hindu agar jangan hanya memohon wara nugraha Hyang Widhi tanpa melakukan bakti dan pelayanan pada sesama dan menyayangi isi alam ini.
Obyek wisata Sangeh yang terletak sekitar 30 km arah Utara Kota Denpasar, salah satu tempat wisata alam yang unik di Bali. Di kawasan hutan pohon Pala seluas 14 hektare itu, dihuni ratusan kera yang jinak. Taman hutan homogen pohon Pala (Dipterocarpustrinervis) yang dihuni ratusan kera, merupakan hutan kera pertama kali dikembangkan sebagai hutan wisata di Bali.
Pohon Pala tertua diperkirakan berumur 350 tahun, masih kokoh berdiri, tidak jauh dari pura. Pohon-pohon pala yang tinggi tersebut meneduhi Pura Pucak Bukit Sari yang ada di tengah-tengah hutan. “Pura yang dibangun abad ke-17 ini adalah tempat suci yang diwariskan kepada Desa Sangeh oleh Kerajaan Mengwi,” ujar Ida Bagus Nyoman Purna, Pamangku Pura Pucak Bukit Sari, ketika ditemui beberapa bulan lalu, sebelum bencana menerjang .
Selain pohon Pala, masih ada tanaman yang terkenal di hutan Sangeh. Masyarakat setempat biasa menyebutnya Pohon Lanang Wadon, karena bagian bawah pohon itu berlobang sehingga menyerupai alat kelamin perempuan, sedangkan di tengah lobang tersebut tumbuh batang yang mengarah ke bawah yang terlihat seperti alat kelamin pria. Pohon Pule itu tumbuh persis di pelataran depan tempat wisata Sangeh.
Bila berkunjung ke kawasan ini, ratusan ekor kera (Macaca facisulais, jenis kera abu-abu), tampak hilir mudik di dalam pura. Kera-kera yang telah jinak ini tak segan mendekati turis yang membawa makanan, seperti kacang dan pisang. Soal makan, kera-kera ini memiliki jadwal makan yang cukup teratur, yaitu pagi hari mereka akan diberi pisang, siangnya diberi makan ketela atau ubi, sedangkan sorenya diberikan beras sebagai santapan terakhir.
Tidak seperti bayangan orang sebelumnya, kera-kera di Sangeh sama sekali tidak nampak galak, apalagi menyerang pengunjung. Pun tidak ada yang mengandung virus rabies seperti yang pernah dituduhkan, karena semua kera di Sangeh telah divaksin dan mendapat pengawasan secara khusus dari ahlinya, terutama dari Balai Penelitian Primata yang dibangun dekat lokasi.
“Balai ini berfungsi sebagai karantina kera yang sakit maupun untuk keperluan penelitian. Selain itu, seorang pawang kera berpengalaman ditugaskan mengawasi kera-kera ini,” terangnya.
Wisatawan yang berkunjung pun tak perlu cemas karena sudah ada pemandu wisata berpakaian adat Bali yang siap mengantarkan keliling dan memanggil-manggil kera agar menampakkan dirinya.
(bx/adi/rin/yes/JPR) –sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar