Jumat, 16 September 2022

Tumpek Wariga atau Tumpek Pengatag

 



25 hari sebelum Hari Raya Galungan atau di Bali disebut selae dina sebelum Galungan, umat Hindu di Bali merayakan Tumpek Wariga atau Tumpek Pengatag. Tumpek Wariga ini juga bisa disebut dengan Tumpek Uduh, Tumpek Bubuh, Tumpek Panuduh, Tumpek Pengarah, atau Tumpek Pengatag.
Dirayakan setiap enam bulan sekali yaitu pada Saniscara Kliwon wuku Wariga yang jatuh tepat hari ini, Sabtu 14 Mei 2022. Perayaan Tumpek Wariga ini merupakan hari suci pemujaan kepada Dewa Sangkara atau Dewa penguasa kesuburan semua pepohonan dan tumbuhan.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut.


Wariga, saniscara kliwon, ngaran tumpek panuduh, puja kreti ring sang hyang sangkara, apan sira amredyaken sarwa tumuwuh, kayu-kayu kunang. Ini artinya pada wuku Wariga, Sabtu Kliwon disebut Tumpek Panguduh, merupakan hari suci pemujaan Sang Hyang Sangkara, karena beliau adalah dewa penguasa kesuburan semua tumbuhan dan pepohonan. Pada saat ini masyarakat Hindu di Bali akan melaksanakan upacara untuk pepohonan dengan menggantung tipat taluh pada pepohonan dan juga banten.
Selain itu dalam pelaksanaannya ada mantra yang diucapkan yaitu: kaki kaki, i dadong dija? Dadong jumah gelem kebus dingin ngetor. Ngetor nged, nged, nged, nged, buin selae lemeng Galungan, mebuah apang nged.
Menurut Kelihan Penggak Men Mersi, Kadek Wahyudita, dahulu biasanya tumbuhan yang diupacarai adalah tumbuh-tumbuhan seperti kelapa dan tumbuhan buah-buahan. Tumbuh-tumbuhan ini biasanya tumbuh di pekarangan atau tegalan masyarakat.
"Akan tetapi kini seiring dengan laju perkembangan jaman, khususnya di kota, masyarakat tidak lagi memiliki teba sehingga sangat jarang dijumpai pohon berbuah yang diupacarai pada saat tumpek bubuh. Dampaknya tumpek bubuh secara perlahan mulai tidak dipahami maknanya oleh generasi kekinian," katanya.


Sabtu, 03 September 2022

Konsep Dana dalam Ajaran Hindu












Dalam hindu ketidakberdayaan berupa kemiskinan ada dua yaitu kemiskinan materi (daridra) dan kemiskinan rohani (dinabuddhi).
maharsi Wararuci menggambarkan bagiamana hina dan menderitanya kehidupan orang yang miskin secara materi(daridra),dijelaskan pula ada dua jenis kemiskinan yang menimpa manusia yakni :
1. Karena dari lahir memang miskin
2. Orang yang pernah kaya jatuh miskin

dikatakan juga kemiskinan rohani(dinabuddhi) yang sangat berbahaya dibandingkan dengan kemiskinan materi(daridra).
Sebab seseorang walaupun memiliki kekayaan berlimpah,tetapi tidak berusaha untuk meningkatkan kehidupan spiritual,seakan-akan dunia ini tempat persinggahan belaka menuju penderitaan.

Sedangkan orang miskin materi(daridra) bila memiliki dan berusaha meningkatkan kesadaran kehidupan spiritualnya masih memiliki harapan untuk memperoleh kebahagian sejati.

Brahman(Tuhan) dalam ajaran veda mengajarkan kepada umat manusia agar memuliakan kehidupan karena hidup adalah anugrah-Nya yang terbesar. Hidup yang mulia adalah hidup yang dijalani sesuai ajaran Tuhan(Brahman)
bagaimana hidup yang mulia itu dan apa hubungannya dengan permasalahan diatas?
Pada bhagawadgitta sloka III-11 disebutkan parasparam bhavayantah yang artinya satu sama lain saling menghidupi dengan kata lain, hidup dan saling menghidupi merupakan kebajikan yang utama dan inilah yang dimaksud hidup mulia. Didalam kata saling menghidupi inilah terkandung makna yang luar biasa yaitu kasih sayang.

Rasa kasih sayang inilah yang menjadi kekuatan dasar dari kehidupan tanpa kasih sayang tidak ada kehidupan lagi. Kekuatan kasih sayang ini bersumber dari tuhan yang maha pengasih dan penyayang. Dengan kekuatan inilah segala permasalahan dapat diatasi,duka,derita,kemiskinan dan kebodohan,semua itu dapat dilenyapkan dengan kekuatan kasih sayang.

Salah satu ibadah/kebhaktian yang dilaksanakan untuk mewujudkan kasih sayang adalah dana.

Dana ialah pemberian berdasarkan hati yang tulus dan penuh kasih.bisa berupa uang,barang maupun jasa kepada yang sepatutnya menerima. jadi dwngan melaksanakan dana,orang telah mengamalkan hidup “parasparam bhavayantah”

Menurut Mahatma Gandhi(Bpk.Kemerdekaan India) dimana pemikiran dan perbuatan baik beliau merupakan sumbangan besar bagi upaya mewujudkan hidup yang mulia,yaitu hidup dan saling menghidupi.

Sikap/perbuatan “berdana” memiliki peran dan dampaknya nyata bagi upaya distribusi kesejahteraan sehingga keadilan dan kemakmuran dapat dirasakan oleh semua orang. –sumber


Pengertian, Jenis-Jenis dan Contoh Panca Yadnya

 



Arti Panca Yadnya

Kata Panca Yadnya terdiri dari dua kata, yaitu kata Panca dan YadnyaPanca berarti Lima, Yadnya berarti persembahan suci. Kata Yadnya berasal dari Bahasa Sanskerta dari urat kata Yāj dan masuk dalam kelas kata maskulinum yang berarti orang yang berkorban.

Jadi Panca Yadnya berarti lima persembahan suci dengan tulus ikhlas.

Dalam melaksanakan sebuah Yadnya hendaknya diketahui syarat-syarat Yadnya. Adapun syarat-syarat sebuah yadnya, meliputi:

  1. Harus dilandasi dengan keikhlasan yang disertai kesucian hati,
  2. Didasari dengan cinta kasih yang diwujudkan dengan rasa bhakti yang tulus, cinta kepada sesama, cinta kepada binatang dan cinta kepada lingkungan,
  3. Yang harus dilakukan sesuai kemampuan agar tidak menjadi beban bgi kita,
  4. Beryadnya harus dilandasi perasaan beryadnya sebagai sebuah kewajiban.

Jenis-jenis Panca Yadnya

Sebelum membahas jenis-jenis Panca Yadnya dan penjelasannya, akan dijelaskan terlebih dahulu latar belakang munculnya Yadnya. Pada setiap manusia yang terlahir ke dunia ini sudah membawa hutang yang jumlahnya tiga yang disebut Tri Rna. Tentang Tri Rna dimuat dalam Kitab Manawa Dharmasastra VI.35, sebagai berikut:

Rinani trinyapakritya manomok-
Se niwecayet
Anapakritya moksam tu sewama-
No wrajatyadhah

Artinya:

Kalau ia telah membayar tiga macam hutangnya ( kepada Tuhan, kepada Leluhur dan kepada Orangtua), hendaknya ia menunjukkan pikirannya untuk memcapai kebebasan terakhir, ia yang mengejar kebebasan terakhir itu tanpa menyelesaikan tiga macam hutangnya akan tenggelam ke bawah.

Tiga macam hutang yang dibawa sejak lahir, seperti:

  1. Dewa Rna yaitu hutang kepada para Dewa/Ida Sang Hyang Widhi karena telah menciptakan dan memberikan kita hidup,
  2. Pitra Rna yaitu hutang kepada Leluhur baik yang sudah meninggal maupun orangtua yang masih hidup. Kita berhutang kepada leluhur karena Beliau telah menghidupi kita, merawat, mendidik, mengasuh dari sejak dalam kandungan sampai menjadi manusia dewasa, dan
  3. Rsi Rna yaitu hutang kepada para Resi pendahulu kita yang telah menerima wahyu Tuhan berupa Weda sehingga kita memahami ajaran agama maupun kepada para sulinggih yang telah menyucikan hidup kita.

Karena adanya hutang inilah dalam ajaran agama Hindu diharapkan dapat dibayar dengan melaksanakan Panca Yadnya. Bagian Panca Yadnya terdiri dari Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa yadnya dan Bhuta Yadnya.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Maka Dewa Rna dibayar dengan Dewa yadnya dan Bhuta yadnyaPitra Rna dibayar dengan Pitra yadnya dan Manusa yadnya, terakhir Rsi Yadnya digunakan untuk membayar Rsi Rna.

Untuk lebih memahami Tri Rna dan Panca Yadnya, disajikan 2 Pupuh Kumambang seperti di bawah ini:

  1. Teri Rena tetiga utange sami,
    Siki Dewa Rena,
    Pitra Rena kaping kalih,
    Resi Rena nomer tiga.
  2. Ngiring taur utange punika sami,
    Srana Panca Yadnya,
    Ring Dewa Pitara Resi,
    Ring Manusa Miwah Bhuta.

Dari pupuh di atas dapat kita rinci bagian Panca Yadnya meliputi:

Dewa Yadnya adalah persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi dan para Dewa. Yadnya kepada Ida Sang Hyang Widhi dapat dilakukan setiap hari , juga dapat dilakukan dengan cara berkala. Seperti dengan melaksanakan:

  • Tri Sandhya setiap hari,
  • Melaksanakan upacara pada hari Purnama, Tilem, piodalan di Pura, Siwaratri, Saraswati, Galungan, Kuningan.

Tujuan melaksanakan Dewa Yadnya adalah:

  • untuk mengucapkan terima kasih,
  • memohon agar dijauhkan dari mara bahaya,
  • memohon pengampunan,
  • memohon anugrah kepada Ida Sang Hyang Widhi dan manifestasi-Nya.

Pitra yadnya adalah persembahan kepada para leluhur dan Bhetara-bhetari. Pelaksanaan Pitra Yadnya dapat dilakukan dengan:

  • menunjukkan prilaku yang luhur dalam kehidupan sehari-hari sebagai wujud bakti kepada leluhur yang masih hidup,
  • melakukan upacara kematian terhadap leluhur yang telah meninggal dapat dilakukan dengan dua cara, meliputi; upacara penguburan mayat dan upacara pembakaran mayat. Upacara penguburan dan pembakaran mayat disebut dengan nama Upacara Ngaben.

Upacara Ngaben dalam pelaksanaannya terdiri dari dua tahap yaitu:

  • Sawa Wedana yaitu upacara pembakaran/penguburan badan kasar sebagai simbul atau makna mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke asalnya.
  • Atma Wedana yaitu upacara pembakaran/penguburan tahap kedua yaitu pembakaran badan halus (Suksma Sarira) yang disimbulkan dengan Sekah atau Upacara ini lebih dikenal dengan nama Nyekah, Mamaukur, Ngasti, Maligia dan Ngeroras. Tujuan Upacara Atma Wedana adalah untuk meningkatkan status roh leluhur menjadi Dewa Hyang.

Rsi Yadnya adalah persembahan kepada para Resi atau guru yang telah memberikan penyucian. Yang tergolong ke dalam Rsi Yadnya adalah:

  • Upacara Eka Jati atau Mewinten yaitu upacara pengukuhan seseorang menjadi Pinandita atau Pemangku. Tugas dan kewenangan Eka Jati seperti:
    • bertanggung jawab pada pura dimana tempat orang di winten,
    • menyelesaikan upacara di lingkungan masyarakat sekitar.
  • Upacara Dwi Jati atau Mediksa yaitu upacara pengukuhan seseorang menjadi Pendeta atau sulinggih dengan kewenangan Ngloka pala sraya yang berarti tempat bagi masyarakat untuk memohon bantuan petunjuk agama.

Kewenangan seseorang yang sudah Dwi Jati, adalah:

  • menyelesaikan/muput suatu upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat,
  • memberikan pencerahan, pembinaan tentang ajaran agama dan bagaimana mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari kepada umat,
  • berhak mendapatkan Daksina,
  • berhak mendapatkan punia dan menerima Resi Bojana.

Manusa Yadnya adalah persembahan untuk kesucian lahir batin Manusia. Contoh-contoh pelaksanaan yadnya yang termasuk Manusa Yadnya, seperti:

  • Upacara Bayi dalam kandungan (Garbha Wadana/pagedong-gedongan).
  • Upacara bayi baru lahir,
  • Upacara kepus puser,
  • Upacara bayi berumur 42 hari (tutug kambuhan),
  • Upacara bayi berumur 105 hari (Nyambutin)
  • Upacara bayi satu oton ( otonan),
  • Upacara meningkat remaja ( yang laki disebut Ngraja Singa, yang wanita disebut Ngraja Sewala),
  • Upacara potong gigi ( matatah, mapandes, masangih),
  • Upacara perkawinan (wiwaha)

Bhuta Yadnya adalah persembahan kepada para Bhuta kala dan makhluk bawahan. Yang termasuk pelaksanaan Bhuta Yadnya, seperti:

  • Upacara Mecaru,
  • Ngaturang Segehan,
  • Upacara Taur
  • Upacara Panca Wali Krama (dilaksanakan setiap 10 tahun sekali di Pura Agung Besakih)
  • Upacara Eka Dasa Rudra (dilaksanakan setiap 100 tahun sekali di Pura Agung Besakih).

Pelaksanaan Panca Yadnya dalam Kehidupan Sehari-hari

Dalam pelaksanaan sebuah Yadnya tidak dapat dipisah-pisahkan. Artinya dalam melaksanakan satu Yadnya pasti yadnya yang lain dilaksanakan juga. Contohnya kita melaksanakan Dewa Yadnya seperti odalan di Pura. Odalan di Pura termasuk Dewa Yadnya. Dalam rangkaian upacara odalan di Pura diisi juga dengan upacara mecaru. Mecaru adalah pelaksanaan Bhuta Yadnya.

Jadi dalam Upacara Dewa Yadnya diisi juga dengan melaksanakan Bhuta Yadnya. Demikian juga yadnya yang lainnya.

Contoh-contoh pelaksanaan Dewa yadnya dalam kehidupan sehari-hari, seperti:

  • Melakukan Tri Sandya tiga kali dalam sehari,
  • Selalu berdoa sebelum melakukan kegiatan,
  • Memelihara kebersihan tempat suci,
  • Mempelajari dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari,
  • Melaksanakaan persembahyangan pada hari-hari suci seperti Purnama, Tilem, Galungan, Kuningan, dll.

Contoh-contoh pelaksanaan Pitra Yadnya dalam kehidupan sehari-hari:

  • Berpamitan kepada orangtua kita sebelum berangkat kemanapun,
  • Menghormati orangtua dan melaksanakan perintahnya,
  • Menuruti nasehat orangtua,
  • Membantu dengan suka rela pekerjaan yang sedang dilakukan oleh orangtua,
  • Merawat orangtua yang sedang sakit, dll

Contoh-contoh pelaksanaan Rsi Yadnya dalam kehidupan sehari-hari, seperti:

  • Rajin belajar,
  • Belajar yang tekun,
  • Menghormati Guru,
  • Menuruti peritah guru,
  • Mentaati dan mengamalkan ajarannya,
  • Memelihara kesehatan dan kesejahteraan orang suci seperti sulinggih, pemangku, dll.

Contoh-contoh pelaksanaan Manusa Yadnya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya:

  • Tolong menolong antar sesama,
  • Belas kasihan terhadap orang yang menderita,
  • Saling menghormati dan menghargai sesama,
  • Rajin merawat diri,
  • Melaksanakan upacara untuk meningkatkan kesucian diri, seperti; metatah, mewinten, meotonan, dll.

Contoh-contoh pelaksanaan Bhuta yadnya dalam kehidupan sehari-hari, seperti:

  • Merawat dan memelihara tumbuh-tumbuhan dengan baik,
  • Merawat binatang peliharaan dengan baik,
  • Menjaga kebersihan lingkungan,
  • Menyayangi makhluk lain, dll.

sumber

Sabtu, 27 Agustus 2022

Wastra

 



Wastra adalah kain berwarna - warni yang memiliki makna dan simbol tersendiri. Masang wastra berarti menghiasi setiap pelinggih dengan tedung, umbul-umbul dan kain-kain tertentu menjelang menjelang hari raya maupun pelaksanaan upacara yadnya dan piodalan.
Wastra putih-kuning biasanya dipasang pada palinggih-palinggih, kecuali taksu yang biasanya menggunakan warna merah atau panunggun karang dengan warna poleng.
Pemasangan wastra pada palinggih sesungguhnya merupakan salah satu wujud pemuliaan umat Hindu terhadap Tuhan. Wastra yang dipasang pada palinggih tersebut diibaratkan sebuah pakaian. Dengan demikian, perlakukan palinggih tersebut layaknya perlakukan kepada manusia yang sangat dihormati. Dengan demikian, ketika Tuhan, dewa-dewa, atau leluhur beristana di palinggih tersebut, diharapkan ‘’berpenampilan’’ indah.

Secara filosofi, memang banyak pandangan sebagai bentuk pemaknaan kain putih dan kuning. Namun, jika dilihat dari konsep Dewata Nawasanga, perpaduan warna putih dan kuning merupakan simbol kesejahteraan. Jadi, selama ini kebanyakan orang belum mengtahui jika sebenarnya, warna dasar ini yang melambangkan sebuah kesejahteraan untuk masyarakat Bali.
Di Bali, wastra juga biasanya disebut sebagai busana atau pengangge, khususnya wastra dalam penggunaan pelinggih yang dalam Piagem Besakih perihal Padma Bhuwana disebutkan pengertian dari simbol warna wastra atau pengangge pelinggih tersebut yaitu :
• Hitam artinya tanpa sifat atau manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan Yang Mahakuasa itu.
• Putih kuning artinya Tuhan sudah menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera. Putih lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan.
• Merah melukiskan keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida sebagai Tri Kona.
Sedangkan makna warna kain putih sebagai simbol kesucian disebutkan seperti halnya dalam penggunaan wastra yang digunakan dalam pelinggih Surya sebagai pesaksi dalam setiap upacara yadnya.


Rabu, 24 Agustus 2022

Nyiam tanah sema

 


Iri! Segala cara akan dilakukan untuk membuat orang lain menderita. Alasannya itu mungkin karena dendam atau persaingan bisnis bahkan ada karena warisan.
Salah satunya adalah (nyiam tanah sema) atau menabur tanah kuburan yang di lempar ke rumah korban atau warung korban.
Tidak heran jika di Bali masih banyak mendengar kejadian seperti ini, dan ada juga yang menabur tanah kuburan dicampur tulang hewan dengan doa-doanya.

Berikut ini adalah ciri-ciri rumah atau warung yang di Tabur tanah kuburan seperti, sakit yang tak wajar, bau Busuk, merasa ada yang mengawasi, makanan akan cepat basi, kadang pelanggan batal mampir sampai pendapatan menurun
Jika anda merasa rumah anda terkena tanah kuburan karena ulah musuh atau orang iri persaingan bisnis ini, maka anda harus waspada dan melakukan tindakan. Salah satu upaya adalah selalu sembahyang, kalau masyarakat Hindu Bali tetap Mesegeh pada Rahina Kajeng Kliwon, purnama, dan tilem. Lukat rumah menggunakan bungkak nyuh gading atau Tirta dari griya atau segara.