Minggu, 04 Agustus 2024

Dewi Durga

 





Dalam setiap pementasan Drama Tari Calonarang di Bali sering menonjolkan kesaktiannya Dewi Durga. Dewi Durga adalah sumber kekuatan Kiwa (kiri) dan Tengen (kanan). Dalam mitologi Hindu, Dewi Durga merupakan sakti (Lambang kekuatan perempuan) dari Dewa Siwa, yang tugasnya untuk membunuh raksasa.
Dewi Durga, yang juga disebut dengan nama Hyang Nini Bhagawati ini, memberikan jenis ilmu pengiwa (Ilmu hitam) kepada Calonarang sehingga memiliki kesaktian tingkat ketujuh. Hal ini karena Calonarang sangat memuliakan dan memuja Hyang Nini Bhagawati.


Namun di pihak lain, Mpu Bharadah juga menerima anugerah kesaktian dari Dewi Durga berupa ilmu Penengen (Ilmu putih). Sama halnya dengan Calonarang, Mpu Bharadah sangat memuliakan dan memuja Dewi Durga.
Kekuatan-kekuatan Dewi Durga yang dimunculkan dalam Drama Tari Calonarang disebut dengan nama Panca Krtya Sakti. Yaitu Srsti Sakti, Sthiti Sakti, Samhara Sakti, Anugraha Sakti, dan Tirobhawa Sakti.
Pementasan Drama Tari Calonarang yang di dalamnya terdapat tarian rangda, secara tidak langsung menyimbolkan pemujaan terhadap kekuatan atau Panca Krtya Sakti tersebut. Ini juga terlihat dari lokasi pementasan yang dipilih. Yaitu sebagian besarnya mengambil lokasi di Pura Dalem, yang merupakan tempat Dewa Siwa dan saktinya Dewi Durga atau Dewi Uma berstana.

Sabtu, 03 Agustus 2024

SANGGAH PAMERAJAN







Didalam budaya Hindu khususnya di Bali, salah satu tempat untuk sembahyang disebut Sanggah Pemerajan. Sanggah Pemerajan berasal dari kata Sanggah yang berarti Sanggar (tempat suci), Pemerajan yang berasal dari kata praja (keluarga).Jadi Sanggah Pameraja dapat diartikan sebagai tempat suci bagi suatu keluarga tertentu.

Secara umum kebanyakan orang menyebutnya dengan lebih singkat seperti Sanggah atau Merajan.Akan tetapi yang perlu diingat tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat sejak lama, perlu diluruskan.

Sejarah Sanggah Pemerajan
Dalam sejarah pembangunan Sanggah Pemerajan, terdapat tiga versi. Yaitu sebagai berikut:

1. Sanggah Pemerajan dengan konsep Mpu Kuturan (Trimurti)

Pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Kemulan (Rong Tiga, Dua, Satu), tidak mempunyai pelinggih Padmasana/ Padmasari. Kemulan yang dikembangkan oleh Mpu Kuturan sejak abad ke-11 adalah Kemulan Rong 3. Di dalam lontar Tutur Kuturan disebutkan bahwa Kemulan Rong 3 adalah stana Sanghyang Tiga Sakti (Brahma, Wisnu, Siwa) sedangkan di ‘Batur Kemulan’ ruangan di bawah Rong 3 adalah stana roh para leluhur yang sudah disucikan (pitra yadnya)




2. Sanggah Pemerajan dengan konsep Danghyang Nirarta (Tripurusha)

Pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Padmasana/ Padmasari, sedangkan pelinggih Kemulan tidak berada di Utama Mandala. Kemulan yang dikembangkan oleh Danghyang Nirata adalah Kemulan Rong 2 sejak abad ke-14. Di mana distanakan Ida Sanghyang Widhi sebagai ‘arde nareswari’ = rua bhineda (lontar Dwijendra Tattwa). Oleh karena itu maka di setiap perumahan agar dibangun tempat suci keluarga, terdiri dari pelinggih-pelinggih: Padmasari (Tripurusha), Kemulan R3 (Trimurti), Taksu (Saraswati), dan di pekarangan ada pelinggih Sedahan Karang (Bhatara Kala). Acuannya Lontar Gong Besi dan Lontar Sundarigama.




3. Sanggah Pemerajan dengan kombinasi keduanya.

Biasanya dibangun setelah abad ke-14, maka pelinggih Padmasana/ Padmasari tetap di ‘hulu’, namun di sebelahnya ada pelinggih Kemulan.

Dalam sejarah ada yang menyebutkan bahwa Mpu Kuturan dan Danghyang Nirarta mendapatkan wahyu mengenai konsep itu di Purancak/ Jembrana.

Apakah itu Trimurti dan Tripurusha? Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Trimurti adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, di mana Brahma di arah Daksina, Wisnu di Uttara, dan Siwa di Madya.

Tripurusha adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi vertikal, di mana Parama Siwa yang tertinggi kemudian karena terpengaruh Maya menjadilah Sada Siwa, dan Siwa.

Pembagian Sanggah Pemerajan
Sanggah Pemerajan dapat dibedakan menjadi 3, yaitu sebagai berikut:

1)Sanggah Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil)
2)Sanggah Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’/ garis keturunan)
3)Sanggah Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari lokasi Desa yang sama)

Sedangkan untuk Pelinggih yang ada di Sanggah Pemerajan, yaitu sebagai berikut

1)Sanggah Pamerajan Alit : Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu
2)Sanggah Pamerajan Dadia : Padmasana, Kemulan Rong Tiga, Limas Cari, Limas Catu, Manjangan Saluang, Pangrurah, Saptapetala, Taksu, Raja Dewata
3)Sanggah Pamerajan Panti : Sanggah Pamerajan Dadia ditambah dengan Meru atau Gedong palinggih Bhatara Kawitan
Pelinggih-pelinggih umum yang ada di Sanggah Pemerajan merupakan stana dalam niyasa Sang Hyang Widhi dan para roh leluhur yang dipuja. Penjelasan yang stana pada setiap pelinggih sebagai berikut:

Kemulan Rong Tiga yaitu Sanghyang Trimurti, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma – Wisnu – Siwa atau disingkat Bhatara Hyang Guru . Selain itu juga ada kemulan rong 1 (Sanghyang Tunggal), rong 2 (Arda nareswari), rong 4 (Catur Dewata), rong lima (Panca Dewata).
Padmasana/ Padmasari yaitu Sanghyang Tri Purusha, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa.
Sapta Petala yaitu Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai pertiwi dengan tujuh lapis: patala, witala, nitala, sutala, tatala, ratala, satala. Sapta petala juga berisi patung naga sebagai simbol naga Basuki, pemberi kemakmuran.
Taksu yaitu Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Bhatari Saraswati (sakti Brahma) penganugrah pengetahuan.
Limascari dan Limascatu yaitu Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai ardanareswari: pradana – purusha, rwa bhineda.
Pangrurah yaitu Sanghyang Widhi sebagai manifestasi Bhatara Kala, pengatur kehidupan dan waktu.
Manjangan Saluwang yaitu Pelinggih sebagai penyungsungan Mpu Kuturan, mengingat jasa-jasa beliau yang meng-ajegkan Hindu di Bali.
Raja-Dewata yaitu Pelinggih roh para leluhur (di bawah Bhatara Kawitan).

Jika dalam pembangunan Sanggah Pemerajan semeton bingung yang manakah yang baik atau lebih tepat dalam memilih menggunakan konsep dari Mpu Kuturan , Danghyang Nirarta atau konsep kombinasi dari keduanya. Sebenarnya semeton bisa menggunakan konsep yang mana saja sesuai dengan keyakinan masing-masing. Jika dikutip dari pendapat Bhagawan Dwija

” memakai kedua konsep, atau kombinasi a dan b adalah yang tepat karena kita menghormati kedua-duanya, dan kedua-duanya itu benar, mengingat Sanghyang Widhi ada di mana-mana, baik dalam kedudukan horizontal maupun dalam kedudukan vertikal.”

Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap ataupun kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. Suksma…

(sumber:sitidharma.org, inputbali.com) –sumber








PUJA TRI SANDYA, Kewajiban Sehari-hari Umat Hindu








Om Swastiastu
Om Awignamastu

Yadnya adalah korban suci tulus iklash. Adapun pelaksanaan Yadnya menurut waktunya dibagi menjadi dua yaitu 1)Nitya Yadnya(sehari-hari) dan 2)Naimitika Yadnya(waktu tertentu). Salah satu pelaksanaan Yadnya sehari-hari adalah melakukan puja tri sandya, Yang lainnya adalah Yadnya sesa(mesaiban), mebanten canang, Surya swana(khusus sulinggih) dan Jnana Yadnya(berbagi pengetahuan suci). Selain dari puja tri sandya umat sudah sangat maju dan rajin melaksanakan Nitya Yadnya ini.

Sesuai namanya puja tri sandya dilakukan di tiga waktu setiap harinya yaitu pagi, siang dan sore hari. Inilah salah satu kewajiban umat Hindu setiap harinya. Namun, dalam prakteknya hal ini masih sangat jarang dilakukan dengan rutin. Adapun hanya siswa di sekolah sekolah di Bali rutin melakukannya setiap hari itupun saat mulai pelajaran di pagi hari. Yang umumnya lagi hanya media televisi dan radio juga pengeras suara di pura atau balai Banjar yang melantunkan puja tri sandya ini. Hal ini sangat disayangkan.


Sudah saatnya kita menggemakan dengan melakukan puja tri sandya rutin sesuai waktunya. Hal ini karena puja tri sandya tidak saja sederhana namun juga mudah dilakukan karena tidak memerlukan sarana(dengan sarana lebih baik). Apalagi banyak manfaat yang kita dapatkan dari melakukan kewajiban ini setiap harinya. Selain memohon keselamatan, melakukan ini juga mengajak kita untuk introspeksi atas segala perbuatan kita sehari-hari. Contohnya bait ke enam, dimana kita mengingat dosa pikiran, perkataan, dan perbuatan kita serta memohon ampunannya. Harapannya setiap hari itu kita terhindar dari menambah dosa.

SUDAHKAH SEMETON PUJA TRI SANDYA HARI INI ?

Semoga dapat menjadi renungan. Rahayu.

Om Santih Santih Santih Om –sumber


Melaspas, Satukan Unsur Berbeda Secara Niskala

 



Setelah rampung membangun rumah, umat Hindu wajib melaksanakan ritual Melaspas. Jika belum, bangunan baru tersebut dinilai belum layak ditempati.

Jero Mangku I Wayan Satra mengatakan, tujuan Melaspas untuk membersihkan dan menyucikan benda atau pun bangunan baru secara niskala sebelum digunakan atau ditempati. Upacara Melaspas juga dilakukan dengan tujuan agar terciptanya ketenangan dan kedamaian bagi anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut, serta terhindar dari hal-hal yang tidak diiginkan.

Melaspas terdiri dari dua suku kata, yaitu Melas dan Pas. Melas berarti pisah dan Pas artinya cocok. Jadi, penjabaran arti Melaspas yaitu sebuah bangunan dibuat terdiri dari unsur yang berbeda, ada kayu ada pula tanah (bata) dan batu, kemudian disatukan terbentuklah bangunan yang layak (cocok) untuk ditempati. “Baik untuk manusia yang kita kenal sebagai rumah, maupun untuk para Dewa yang dinamai pslinggih,” ujar Jro Mangku I Wayan Satra kepada Bali Express (Jawa Pos Group).

Dalam pelaksanaanya, lanjut Mangku Satra, upacara Melaspas terdiri dari beberapa tingkatan sesuai kemampuan umat. Tingkatan upacara Melaspas, seperti halnya upacara-upacara lainnya, yaitu Kanista, upacara yang dilakukan paling sederhana. Madya, upacara yang dilakukan tergolong sedang. Utama, upacara yang dilakukan tergolong besar.

Sebelum upacara Melaspas, yang dilakukan terlebih dahulu adalah macaru. “Hal ini memiliki tujuan untuk nedunang Bhutakala atau mengundang sang Bhutakala untuk dhaturkan Labaan (sesajen). Dengan harapan agar Bhutakala tersebut kembali ke tempatnya masing-masing atau mengembalikan berbagai roh-roh yang tadinya tinggal atau mendiami bangunan tersebut ke tempat asalnya.

“Kemudian menghadirkan Dewa Ghana yang diyakini sebagai Dewa Rintangan yang bertujuan untuk menghalangi hadirnya roh-roh pengganggu,” imbuhnya.

Setelah Pacaruan selesai, baru dilanjutkan dengan rangkaian dari upacara Melaspas, yaitu mengucapkan orti pada mudra bangunan sebagai permohonan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Orti adalah simbol komunikasi, sebagai permohonan dalam perlengkapan upacara dalam pemakuhan atau pamelaspasan.

Selanjutnya memasang ulap ulap pada bangunan. Ulap ulap yang dipasang tergantung jenis bangunan ( ulap ulap kertas yang ditulis dengan hurup rajahan ). Bila bangunan tersebut tempat suci, maka dasar banguan digali lobang untuk tempatkan padagingan. Jika bangunan tersebut adalah bangunan pokok atau utama, diisi dengan padagingan pada puncak dan madya bangunan, berapa padma dari emas. Selanjutnya pangurip urip, arang bunga digoreskan pada tiap tiap bangunan (melambangkan Tri Murti, Brahmana, Wisnu, Iswara).

“Jadi, umat Hindu Bali percaya bahwa bangunan yang didirikan tersebut menpunyai daya hidup,” terangnya.

Kegiatan berikutnya adalah ngayaban banten ayaban dan ngayaban pras pamelaspas yang didahului memberikan sesajen pada sanggah surya yang terbuat dari turus lumbung. Dilanjutkan dengan ngayaban caru prabot ngeteg-linggih, bila yang dipelaspas adalah tempat suci (palinggih). Upacara ini biasanya dipuput oleh pemangku, namun tak jarang untuk pura dipuput oleh sulinggih.

Selain sarana tersebut, lanjutnya, sering dijumpai saat upacara Melaspas menggunakan siku-siku yang ditempelkan di dinding bangunan. Hal ini bertujuan agar bangunan tersebut memiliki sikut atau ukuran yang benar. Alasan digunakannya siku-siku karena salah satu alat pertukangan tersebut memiliki keistimewaan. “Bentuknya tidak lurus, namun dapat meluruskan bangunan. Ketika membangun tidak menggunakan siku-siku dapat menyebabkan bangunan tidak beraturan. Dan, yang lebih fatal lagi adalah konflik akibat tanah yang lebih,” tutur Mangku Satra.

Selain penggunaan siku-siku, ada juga simbol tapak dara. Tapak dara merupakan simbol keseimbangan antara pawongan, palemahan, dan parahyangan, dengan harapan nantinya bangunan yang telah dipelaspas senantiasa seimbang dan tidak mudah roboh. Dalam Upacara Pamelaspasan yang dipuja adalah Dewa Pemelaspas, yaitu Bhatara Bhagawan Biyasa dan Dewa Pamakuh, yaitu Bhatara Bhagawan Siwakarma. Pamakuh adalah rangkaian upacara yang terdapat pada upacara pamelaspasan. Pamakuh berasal dari kata kukuh yang artinya kuat.

“Upacara Pamakuh bertujuan untuk menguatkan bangunan secara niskala agar kokoh. “Kedua dewa inilah yang memberikan anugerah keseimbangan terhadap bangunan yang telah dipelaspas.

Agar senantiasa memberikan perlindungan dan keselamatan pada bangunan yang akan ditempati, sekaligus terhindar dari segala hal negatif yang berniat tidak baik,” tutup Mangku Satra.

(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber


Selasa, 30 Juli 2024

3 Kualitas Yadnya dalam Agama Hindu







Mengamalkan ajaran agama hindu dapat dilakukan dengan berbagai cara yang baik sesuai dengan kondisi umatnya namun tetap berdasarkan sastra. Tujuan dari Agama hindu adalah untuk mencapai penyatuan diri dengan Brahman.
Dalam hal menghubungkan diri dengan Brahman, ada 4 jalan yang dapat dilakukan antara lain:Jnana marga yoga
karma marga yoga
Bhakti marga yoga
Raja marga yoga


Dalam pelaksanaan bhakti marga yoga dapat dilakukan dengan menunjukan rasa bhakti dan cinta kasih sepenuhnya untuk Brahman dan melalui persembahan kepada Tuhan. Di Bali, jalan Bhakti dapat dilihat dari pelaksanaan Upacara Yadnya yang dilakukan oleh masyarakatnya. Dalam pelaksanaan Upacara yadnya ini, tentu saja penerapannya dipengaruhi oleh Tri Guna yang telah dibawa oleh manusia sejak lahir, yaitu guna sattwam, guna rajas, dan guna tamas.


Pengaruh tri guna dalam pelaksanaan Upacara yadnya, menyebabkan pelaksanaan yadnya memiliki kwalitas yang berbeda sesuai dengan motif dari yadnya yang dilaksanakan. Kwalitas yadnya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:Sattwika yadnya yang pelaksanaannya lebih banyak dipengaruhi oleh guna sattwa. Sehingga pelaksanaan yadnya yang sattwika dilakukan sesuai dengan arahan dari sastra dan pelaksanaannya mengandung unsur Karya, Sreya, Budhi dan bhakti. Bila keempat unsur tersebut telah ada dalam pelaksanaan Yadnya, maka yadnya yang dilakukan tergolong dalam Sattwika Yadnya.
Rajasika Yadnya, pelaksanaan upacara yadnya-nya dipengaruhi oleh guna rajas. Wujud dari pelaksanaan Rajasika Yadnya adalah pelaksanaan yadnya lebih pada pengharapan akan hasilnya. Pelaksanaan yadnya yang Rajasika bersifat pamer sehingga tujuannya membuat orang yang melihat menjadi terkagum-kagum dan takjub. Dalam pelaksanaan yadnya yang rajasika, unsur tanpa pamrihnya tidak kelihatan.
Tamasika Yadnya adalah yadnya yang dilakukan tanpa mengindahkan petunjuk-petunjuk sastra, mantra, kidung suci, daksina dan sraddha. Keyakinan seseorang yang melaksanakan yadnya tidaklah nampak. demikian juga keseimbangan dari upacara yadnya tidak terlihat. Penerapan yadnya lebih pada paksaan. Sehingga banyak umat yang memiliki watak guna tamas akan selalu mengeluh dalam melaksanakan yadnya.

Demikian kwalitas yadnya yang dilakukan sesuai dengan sifat-sifat dari manusia yang melakukan. Kewajiban umat adalah agar dapat melaksanakan yadnya yang sattwika dengan mengendalikan sifat rajas dan tamas yang bergejolak dalam diri.

Pan Balang Tamak

 


Ada tuturan satua Pan Balang Tamak. Ia sugih, dueg makruna, dayane liu pesan, tusing nyak kalah teken krama desane. Naging ke solahne ento ulihan bebenehan.

Kacrita jani desane paum, bakal nayain Pan Balang Tamak apanga kena denda. Ditu ia kaarahin, mani semengan tuun siape, desane lakar luas ke alase, ngalih kayu bakal anggon menahin bale agung. Nyen ja kasep bakal kena denda.

Gelisin satua, buin manine, pan balang tamak klanca-klinci jumahne ngentiang siapne tuun. Sawetara suba tengai tepet maro siape tuun uli bengbengane. Ditu mara ia gegresoan majalan nututin desane ngalih kayu ka alase. Saget desane suba malipetan pada ngaba kayu.

Di subane neked jumah, paum kone lantas desane bakal nandain pan balang tamak, krana tuara nuutin arah-arah desane. Ditu kelihane memunyi brangas “ih, pan balang tamak, jani cai kena denda”. Masut pan balang tamak alus munyine, “napi mawinan tiang kena denda? Dening arah-arah desane teken tiang, mani semengan tuun siape desane luas ka alase ngalih kayu. Tiang ngelah siap tuah aukud, sedek mekeem. Sawetara kali tepet mara ia tuun. Ditu tiang ngenggalang nuutang sekadi arah-arah desane.” dadi kalah desane nglawan pan balang tamak, buung ia kena denda.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Kacrita buin manine ia kaarahin ngabo senggauk anggon bekel menahang bale agung. Pan balang tamak ngaba sanggah uug apang benahang baan desane. Dadi bengong desane teken takeh pan balang tamak, ane setata nguluk-nguluk desane.

Yan pin kuda-kuda suba krama desane bakat uluk-uluk baan pan balang tamak, lantas ada keneh desane lakar misekaang pan balang tamak. Ane jani katunasang cetik ane paling meranena teken anake agung, apang balang tamak mati acepokan. Dayane buka keto dingeha baan pan balang tamak, lantas ia memunyi teken kurenane, “yen deweke mati, bok deweke gambahang tur gantungin tamblulingan, liman deweke pagisinin cabak. Bangken sadahang di piasane, tur ento pangelingin. Yan suba peteng bangken deweke wadahin peti, pejang jumah meten.”

Kacrita jani pan balang tamak suba mati keno cetik. Kurenane nuutin pabesen pan balang tamake. Krama desane natasang ka umah pan balang tamake. Tepukino pan balang tamak nyededeg ngambahang bok, sambilango memantra griem-griem di piasane. Ditu krama desane nguningang cetike tusing mandi teken anake agung. Dadi bendu anake agung sambilango nyicipin cetike ento. Jeg perjani ida seda.

Sesubane peteng ada dusta ajaka papat bakal ngamaling pegelahan pan balang tamake. Di jumah meten tepukino ada peti, laut kapondong abana ka pura desane. Petine ento ungkabango baan dustane, dapetango bangken pan balang tamake nyengkang.

Semengan maro galang kangin, jero mangku mekedas-kedas di pura dapetengo ada peti gede di natah pura desane. Petine ento laut ka sumbah baan jero mangku kadena paico betara. Krama desane masih pada teka, laut nyumbah. Di subane pepek krame desane teka, laut petine kaungkabang, ditu tengkejut mekejang, dapetango bangken pan balang tamake nyegagag. Krama desane uyut mamisuhin. Ada ane memunyi, “ japi pisuhin, kadung bakat sumbah, melutang apa ya!”.

Pemuput masih desane tuyuh menain muah nanem bangken pan balang tamake. Yadiapin suba mati pan balang tamak masih nyidaang melog-melog anak. –sumber

KISAH SPIRITUAL TARI CALONARANG

 







Calon arang atau biasa di sebut calonarang di bali adalah salah satu aset budaya bali dan spiritulisme bali yang tidak di miliki negara lain di dunia.
Pementasan drama tari calon arang yang sudah dilakukan selama puluhan tahun lamanya di Bali, merupakan salah satu tari yang bersifat spiritual selain sebagai hiburan.
Tari calon arang dipentaskan dalam upacara Odalan di pura Dalem (pura tempat berstananya Dewa Siwa dan istrinya Dewi Durga). Pementasan drama tari ini pun dilakukan pada tengah malam, tanpa nyala lampu sedikit pun, di pinggir kuburan dekat pura Dalem.
Sehingga bisa dibayangkan menonton pementasan drama tari ini, apalagi dengan adegan-adegan tertentu yang mampu membuat bulu kuduk merinding.
Namun pementasan drama tari ini selalu ditunggu masyarakat Bali karena mampu memberikan hiburan yang menaikkan adrenalin dan menjadi salah satu prasyarat spiritual dalam menutup upacara Odalan di pura Dalem.
Drama tari yang sebenarnya inti sarinya berkisah tentang kematian akibat ilmu hitam dan kemudian dilawan dengan ajaran agama ini memang sangat menarik dan unik.
Drama tari ini di pentaskan dalam upacara di pura Dalem untuk memuliakan Dewa Siwa yang bertugas mencabut nyawa manusia dan mengayomi para arwah setelah meninggal, dengan istrinya Dewi Durga, dewi yang mengayomi manusia penggemar dunia mistik, baik yang bersifat baik maupun jahat.


Kemistisan drama tari ini salah satunya karena menyertakan adegan kematian yang dipentaskan secara langsung oleh seorang penari khusus.
Penari yang mementaskan adegan ini adalah seseorang yang memang memiliki kelebihan (taksu) tertentu ,bahkan penari ini memang betul-betul meninggal pada saat pentas namun kemudian dihidupkan kembali pada adegan lainnya.
Bahkan baru baru ini ada pementasan calonarang sampai di kubur selama 4 jam lalu di hidupkan kembali oleh seauwunan (manipestasi dewa) begitu extrime dan menegangkan.
Dalam masyarakat Bali kisah-kisah kematian dengan cara seperti ini dianggap hal lumrah, sebab si penari memang sudah ditunjuk oleh Tuhan dan jika setiap saat nyawanya hilang akibat ngayah luhur/suci ini, maka ia pun telah siap.
Keluarga tidak pernah meributkan atau mempermasalahkannya sebab meninggal akibat menari spiritual sejenis ini, dianggap sebagai pengorbanan suci (yadnya).
Kisah mistis lainnya dalam drama tari ini adalah adegan para murid yang mempelajari ilmu hitam dengan gurunya yaitu Si Calon Arang.
Para penari ini benar-benar mengalami kesurupan seperti para murid ilmu hitam yang nyata.
Adegan ini pun mengundang para leak atau manusia yang suka dengan ilmu hitam untuk datang, sehingga adalah hal lumrah terjadi pemandangan mistis, di mana terjadi bola bola api yang meluncur di sekitar kuburan(setra) atau yang disebut perang api.
Bola bola api yang meluncur di udara itu diyakini sebagai wujud lain dari leak
Bola bola api ini dapat dilihat dengan mata telanjang oleh para penonton, dan sampai saat ini belum didengar kabar dapat melukai penonton. Bola api hanya berperang dengan sesama bola api lainnya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Kisah mistis lainnya adalah adanya larangan bagi penonton untuk pulang di tengah drama tari ini.
Seorang penonton harus siap mengikuti adegan demi adegan dari awal hingga akhir (tengah malam hingga dini hari, pukul 4 atau 5 pagi).
Jika seorang penonton pulang atau meninggalkan areal sebelum drama tari ini berakhir, maka si penonton mesti siap dicegat oleh para leak.
Sehingga tak heran para penonton dengan tekun mengikuti gelar drama ini, dan tentu saja anak-anak dan bagi pengidap jantung dilarang menonton drama ini.
Selain hal hal di atas, rumah rumah di sekitar areal pementasan dilarang menghidupkan lampu, sebab para leak memang sangat menyukai keadaan gelap gulita.
Jika ada nyala lampu, maka ilmu hitam mereka tidak jadi.Demikian pula tidak ada satu kendaraan pun yang diijinkan lewat di jalan umum yang melalui areal kuburan.
Suara bising serta nyala lampu kendaraan dapat pula menganggu konsentrasi para leak. Para pelanggar tentu saja mesti bersiap dicari atau di hadang para leak.
Jika seorang penonton pulang atau meninggalkan areal sebelum drama tari ini berakhir, maka si penonton mesti siap di hadang oleh para leak.
Pada intinya masyarakat Bali bukanlah pemuja setan sebab mementaskan adegan-adegan ilmu hitam serta secara tidak langsung mengundang para penggemar ilmu hitam (leak) untuk hadir.
Namun dalam filosofi budaya Hindu Bali, dipercayai bahwa dunia ini terdiri dari dunia yang hitam (ilmu hitam) dan putih (ilmu putih). Kedua dunia yang hitam-putih itu menciptakan harmoni (keseimbangan) dalam kehidupan.
Kedua ilmu hitam dan putih itu, yang akan menimbulkan kesucian pada dunia ini. Pada akhirnya dipercayai bahwa ilmu putihlah yang menang, seperti juga yang tertuang pada drama tari Calon Arang ini.