Selasa, 13 Agustus 2024

CERITA RAKYAT BALI "PAN KASIM DAN ULAR SAKTI"

 




Alkisah, di suatu desa di Bali, pernah ada sepasang suami istri. Si suami bernama Pan Kasim dan si istri bernama Men Kasim. Kedua hidup dalam kondisi yang hanya mengandalkan pekerjaan sebagai pencari kayu bakar, untuk dijual atau ditukar dengan kebutuhan hidup sehari-hari.

Suatu ketika Pan Kasim menolong seekor ular. “Tolong, tolong, pohon ini menutupi lubangku. Aku jadi tidak bisa keluar,” jerit ular dari dalam lubangnya.

Pan Kasim yang saat itu tengah bekerja, mencari kayu, segera mencari asal suara. Pan Kasim melihat dua batang pohon tengah menimpa sebuah lubang raksasa. Ternyata suara itu berasal dari sana. Sewaktu mendekat, sebuah kepala ular menyembul dari lubang raksasa itu. Pan Kasim sontak ketakutan, dan berniat melarikan diri. Namun, ular itu meminta tolong kepada Pan Kasim untuk tidak takut kepadanya.

“Hei, Tuan, janganlah takut,” tukas si ular.

Begitu mendengar panggilan si ular, Pan Kasim yang semula berniat melarikan diri, langsung memberanikan diri menemui si ular.





“Hei, Tuan, tolonglah aku. Singkirkan pohon ini supaya aku bisa keluar,” pinta si ular.

“Apa yang membuatku mau melakukannya?” tanya Pan Kasim.

“Hmm,” si ular diam sejenak, “Aku akan mengabulkan semua permintaanmu, apapun itu.”

Pan Kasim memikirkan apa yang akan dimintanya. Setelahnya, ia berkata, “Baiklah, aku minta kau menjadikan aku dan istriku kaya raya.”

“Bukan permintaan yang sulit,” si ular memejamkan matanya beberapa saat, kemudian membukanya kembali, “Permintaanmu sudah kukabulkan. Sekarang, tolonglah aku.”

Pan Kasim segera memindahkan pohon-pohon yang menutupi lubang raksasa itu dengan cekatan. Dalam tempo yang singkat lubang itu sudah tidak ada lagi penghalang yang menutupi lubang. Si ular keluar dengan bebasnya.

“Pulanglah, Tuan, semuanya sudah tersedia seperti yang kau pinta,” kata si ular.

Saking gembiranya, Pan Kasim segera pulang menemui istrinya. Benar apa yang dikatakan si ular, semuanya sudah berubah seperti yang diinginkannya. Gubuk reyotnya kini sudah megah, makanan pun tersedia beraneka macam, istrinya sudah cantik dengan dandanan yang wangi.

Pan Kasim menceritakan awal kenapa hidup mereka bisa berubah.

***

Menjadi kaya mendadak, Pan Kasim dan istri menjadi bahan kasak-kusuk warga sekitar. Men Kasim menyampaikan hal itu kepada Pan Kasim. Pan Kasim pun berkata, “Biarlah, Bu, mereka hanya iri sama kita.”

Tapi, tampaknya kasak-kusuk itu tidak berhenti juga. Pan Kasim dan Men Kasim terpancing juga emosinya, tapi masih mereka pendam. Men Kasim meminta kepada suaminya untuk minta kepada si ular supaya masyarakat menghormati mereka.

Datanglah Pan Kasim kepada si ular untuk menjadikan, ia dan istri, raja dan permaisuri yang dihormati oleh orang-orang. Si ular pun mengabulkan permintaan itu.

***

Setelah menjadi raja dan permaisuri, tidak ada lagi yang kasak-kusuk di belakang mereka. Semua orang tunduk di bawah perintahnya.

Namun, rupanya permintaan terakhir Pan Kasim dan istrinya berbuah malapetaka. Selama beberapa waktu mereka memang menikmati peran sebagai raja dan permaisuri yang dikagumi semua orang. Setelah masa itu habis, secara perlahan-lahan kulit Pan Kasim dan Men Kasim terkelupas seperti terbakar matahari.

Men Kasim ketakutan setengah mati mengetahui hal itu. Ia takut ada apa-apa. Makanya, ia memerintahkan suaminya untuk menemui si ular. Pan Kasim segera menemui si ular.

“Tuan Ular, sepertinya kami memiliki masalah saat ini,” tutur Pan Kasim.

“Masalah apalagi yang menimpa Anda, Tuan?” tanya si ular.

Pan Kasim menjelaskan permasalahannya. Dan juga menjelaskan maksudnya.

“Karena itu, saya mohon, jadikanlah kami manusia yang tidak terkalahkan dan tidak pernah tua dan mati!” pinta Pan Kasim.

Si ular terdiam mendengar pinta Pan Kasim. Lalu, ia berkata, “Anda telah menolong saya satu kali, dan saya memberikan permintaan Anda satu kali. Utang budi di antara kita sudah impas. Adapun mengapa kulit kalian berdua merupakan akibat dari permintaan kalian sendiri. Karena kalian telah meminta kepadaku satu kali, maka aku pun akan mengambil satu kali dari kalian. Maka, dari itu mulai sekarang berubahlah menjadi ular saja.”

Pan Kasim dan Men Kasim pun berubah menjadi ular sejak itu.

***

Pesan yang diberikan dari cerita tersebut adalah ketamakan adalah penyebab malapetaka. Maka berhati-hatilah membawa diri dalam kehidupan, ketamakan dan ke tidak puasan hanya menjadi beban dan bumerang bagi diri sendiri. Syukuri apa yang sudah diperoleh, karena itu merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sanghyang Widhi Wasa.

ARTIKEL BY I WAYAN ADI SUDIATMIKA


Sumber : https://panbelog.wordpress.com/.../pan-kasim-dan-ular



Rabu, 07 Agustus 2024

CERITA RAKYAT BALI ASAL - USUL AWAL MULA KABUPATEN BULELENG & KOTA SINGARAJA. " I GUSTI PANJI SAKTI "

 


Dahulu kala di Pulau Bali, tepatnya di daerah Klungkung hiduplah seorang Raja yang bergelar Sri Sagening. Ia mempunyai istri yang cukup banyak. Istri yang terakhir bernama Ni Luh Pasek. Ni Luh Pasek berasal dari Desa Panji dan merupakan keturunan Kyai Pasek Gobleg. Namun malang nasib Ni Luh Pasek, sewaktu ia mengandung, ia dibuang secara halus dari istana, ia dikawinkan dengan Kyai Jelantik Bogol oleh suaminya.

Kesedihannya agak berkurang berkat kasih sayang Kyai Jelantik Bogol yang tulus. Setelah tiba waktunya ia melahirkan anak laki-laki yang dinamai I Gusti Gede Pasekan.

Bayi bernama I Gusti Gede Pasekan makin hari makin besar, setelah dewasa ia mempunyai wibawa besar di Kota Gelgel. Ia sangat dicintai oleh pemuka masyarakat dan masyarakat biasa.

Ia juga disayang oleh Kyai Jelantik Bogol seperti anak kandungnya sendiri. Pada suatu hari, ketika ia berusia dua puluh tahun, Kyai Jelantik Bogol memanggilnya.

“Anakku,” kata Kyai Jelantik Bogol, “Sekarang pergilah engkau ke Den Bukit di daerah Panji.”

“Mengapa saya harus pergi kesana, Ayah?”

“Anakku, itulah tempat kelahiran ibumu.”

“Baiklah, Ayah. Saya akan pergi kesana.”

Sebelum berangkat, Kyai Jelantik Bogol berkata kepada anaknya, “I Gusti, bawalah dua senjata bertuah ini, yaitu sebilah keris bernama Ki Baru Semang dan sebatang tombak bernama Ki Tunjung Tutur. Mudah-mudahan engkau akan selamat.”

“Baik, Ayah!”

Dalam perjalanan ke Den Bukit ini, I Gusti Gede Pasekan diiringi oleh empat puluh orang di bawah pimpinan Ki Dumpiung dan Ki Kadosot.

Setelah empat hari berjalan, tibalah mereka di suatu tempat yang disebut Batu Menyan. Disana mereka bermalam. Malam itu I Gusti Gede Pasekan dan ibunya dijaga ketat oleh para pengiringnya secara bergiliran.

Tengah malam, tiba-tiba datang makhluk gaib penghuni hutan. Dengan mudah sekali I Gusti Gede Pasekan diangkat ke atas pundak makhluk gaib itu sehingga ia dapat melihat pemandangan lepas dari lautan dan daratan yang terbentang di depannya. Ketika ia memandang ke timur dan barat laut, ia melihat pulau yang amat jauh. Sedangkan ketika ia memandang kearah selatan, pemandangannya dihalangi oleh gunung. Setelah makhluk gaib itu lenyap, didengarnya suatu bisikan.





“I Gusti, sesungguhnya daerah yang baru engkau lihat itu akan menjadi daerah kekuasaanmu.”

I Gusti Gede Pasekan sangat terkejut mendengar suara gaib itu. Namun ia juga merasa senang, bukankah suara itu adalah pertanda bahwa pada suatu ketika ia akan mendapat kedudukan yang mulia, menjadi penguasa suatu daerah yang cukup luas.

Memang untuk mencapai kemuliaan orang harus menempuh berbagai kesukaran terlebih dahulu.

Ia menceritakan apa yang didengarnya secara gaib itu kepada ibunya.

Ibunya memberi semangat untuk terus melakukan perjalanan. Keesokan harinya rombongan I Gusti Gede Pasekan melanjutkan perjalanan yang penuh dengan rintangan. Walaupun perjalanan ini sukar dan jauh, akhirnya mereka berhasil juga mencapai tujuan dengan selamat.

Pada suatu hari ketika ia berada di desa ibunya, terjadilah peristiwa yang menggeparkan. Ada sebuah perahu Bugis terdampar di pantai Panimbangan. Pada mulanya orang Bugis meminta pertolongan nelayan di sana, tetapi mereka tidak berhasil membebaskan perahu yang kandas.

Nahkoda perahu Bugis sudah putus asa, tapi tetua kampung nelayan datang mendekatinya.

“Hanya seorang yang dapat menolong Tuan.”

“Tuan, katakan saja, siapa yang dapat menyeret perahu kelautan?”

“Seorang anak muda, namun sakti dan perahu wibawa.” jawab tetua kampung.

“Siapa namanya?”

“I Gusti Gede Pasekan!”

Keesokan harinya orang Bugis itu datang kepada I Gusti Gede Pasekan. Ia berkata, “Kami mengharapkan bantuan Tuan. Jika Tuan berhasil mengangkat perahu kami, sebagian isi muatan perahu akan kami serahkan kepada Tuan sebagai upahnya.”

“Kalau itu memang janji Tuan, saya akan mencoba mengangkat perahu kandas itu,” jawab I Gusti Gede Pasekan. Untuk melepaskan perahu besar yang kandas itu, I Gusti Gede Pasekan mengeluarkan dua buah senjata pusaka warisan Kyai Jelantik Bogol.

Ia memusatkan pikirannya. Tak lama kemudia muncullah dua makhluk halus dari dua buah senjata pusaka itu.

“Tuan apa yang harus hamba kerjakan?”

“Bantu aku menyeret perahu yang kandas itu ke laut lepas!”

“Baik Tuan!”

Dengan bantuan dua makhluk halus itu ia pun berhasil menyeret perahu dengan mudah.

Orang lain jelas tak mampu melihat kehadiran si makhluk halus, mereka hanya melihat I Gusti Gede Pasekan menggerak-gerakkan tangannya menunjuk ke arah perahu.

Karena senangnya, orang Bugis itu pun menepati janjinya. Diantara hadiah yang diberikan itu terdapat dua buah gong besar. Karena I Gusti sekarang sudah menjadi orang kaya, ia digelari dengan sebutan I Gusti Panji Sakti.

Sejak kejadian itu, kekuasaan I Gusti Panji Sakti, mulai meluas dan menyebar kemana-mana. Ia pun mulai mendirikan suatu Kerajaan baru di daerah Den Bukit.

Kira-kira pada pertengahan abad ke-17 ibukota Kerajaan itu disebut orang dengan nama Sukasada.

Semakin hari Kerajaan itu makin luas dan berkembang lalu didirikanlah Kerajaan baru. Letaknya agak ke utara dari kota Sukasada. Sebelum dijadikan kota, daerah itu banyak sekali ditumbuhi pohon buleleng. Oleh karena itu, pusat kerajaan baru disebut Buleleng. Buleleng adalah nama pohon yang buahnya sangat digemari oleh burung perkutut. Di pusat kerajaan baru itu didirikan istana megah, yang diberi nama Singaraja.

Nama itu menunjukkan bahwa penghuninya adalah seorang Raja yang seperti singa gagah perkasa. Hal ini dikarenakan I Gusti Panji Sakti memang dikenal sebagai sosok yang sakti dan gagah berani. Jika ada gerombolan bajak laut atau perampok yang mengacau, sang Raja turut maju ke medan perang bersama prajuritnya, karena itu tepatlah jika istananya disebut Singaraja.

Ada pula yang mengatakan bahwa Singaraja berarti “tempat persinggahan raja”?. Konon, ketika istananya masih ada di Sukasada, raja sering singgah disana. Dengan demikian, kata Singaraja berasal dari kata Singgah Raja.

Legenda asal-usul Buleleng dan kota Singaraja ini dipercaya penduduk Bali benar-benar pernah terjadi.

Ibu Panji Sakti berasal dari kasta Sudra, yakni kalangan rendah pada masyarakat Hindu-Bali. Hal ini sangat menarik, sebab seseorang yang berasal dari kalangan rendah dapat menjadi orang yang berkedudukan tinggi dan mulia karena perjuangan dan usahanya yang keras meraih cita-cita.

Sumber : www.ceritarakyatnusantara.com
agathanicole.blogspot.com/.../legenda-bali-asal-usul-ka...



CERITA RAKYAT BALI " RAJA PALA" PEMBURU TAMPAN YANG BERISTRIKAN BIDADARI KHAYANGAN

 


Tersebutlah seseorang yang bernama Rajapala, yang berasal dari Wanakeling, rupanya tampan, pekerjaannya berburu. Pada saat berada dalam perburuan di tengah hutan, ia kepayahan dan kehausan, lalu ada keinginannya untuk mencari air.

Dalam perjalanannya mencari mata air, melewati sebuah asrama yang kosong, lalu ia berteduh di bawah pohon tigaron, disampingnya ada pancuran dengan air yang jernih, dikelilingi dengan pepohonan dan bunga-bunga yang harum. Pada saat menikmati keheningan, ia melihat tujuh orang bidadari (widyadhari) yang cantik-cantik, sedang asyik mandi di kolam.

Sang Rajapala mengintip dari celah-celah pohon pudak, dengan niat untuk mendapatkan seorang dari tujuh bidadari itu, sehingga timbullah niatnya, untuk mengambil baju bidadari itu, lalu diambil menggunakan galah yang panjang.

Dengan mendapatkan baju itu lalu disembunyikannya, akhirnya seorang dari tujuh bidadari itu tidak dapat terbang kembali ke Kahyangan. Bidadari Kahyangan itu lalu bertanya kepada Rajapala, “Wahai orang laki tampan, adakah tuan melihat baju saya, jika ada saya akan menukarnya, dengan mas permata yang indah”.

Rajapala menjawab, “Wahai engkau gadis cantik, yang menawan hati, bukan mas permata yang saya inginkan, tetapi seorang anak laki, yang bijaksana,pengarang ulung, berwibawa dan dapat kelak menjadi raja, dihormati rakyat, pandai, tampan, berbudi luhur dan kata-katanya menawan hati”.

Sang bidadari lalu memberi kepastian, “Wahai kakanda yang tampan, amat berat permintaan kakanda, walaupun demikian saya bersedia, tetapi hanya berputra seorang, setelah itu saya akan kembali ke Kendran (Kahyangan)”.



Dalam perkawinan Rajapala dengan Ken Sulasih, yang berada dalam hutan, setelah lama hamillah Ken Sulasih, lalu memohon untuk kembali pulang, agar nantinya dapat merawat anak yang akan lahir dengan baik.

Akhirnya mereka pulang ke Singapanjaron, dengan hidup saling mencintai. Setelah kandungan berumur, lahirlah seorang anak laki yang tampan. Kelahirannya itu ditandai dengan sinar matahari yang redup, hujan gerimis, pelangi, diselingin dengan guntur, hujan bunga, puja dan doa dari angkasa, sloka, sruti, yang menyambut kelahiran putranya.

Dengan kelahiran putranya itu Rajapala sangat senang, setelah berumur 3 (tiga) bulan, kelihatan ketampanan putranya, bagaikan arca mas. Semua orang ikut gembira, melihat ketampanan dan kewibawaan putranya, diandaikan bagaikan penjelmaan Dewa Asmara.

Setelah berumur 7 (tujuh) oton, Ken Sulasih mohon pamit kepada Rajapala sesuai dengan perjanjiannya. Rajapala sedih ditinggal pergi oleh Ken Sulasih, mengingat anaknya masih kecil, akan hidup sengsara, karena kemiskinannya. Dengan kepergian Ken Sulasih, dengan membakar diri dan menghilang, hanya berpesan putranya agar diberi nama Durma. Ken Sulasih pulang ke Kahyangan dan Rajapala pergi bertapa ke hutan.

Sebelum pergi bertapa Rajapala menasehati dan berpesan kepada anaknya, yaitu :

Ada sawah dan tempat rumah, yang luasnya sempit, agar sawah dikerjakan dengan baik dan rajin-rajinlah bekerja.Anakku hendaknya teguh dan tahan uji.Beringkah laku yang baik.Hati-hati berbicara.Selalu senyum.Bermuka manis.Jangan mengisap candu.Jangan berjudi.Jangan membuat keonaran.Berlaku sopan santun.Hidup bermasyarakat dan bertetangga yang baik.Jangan mengharapkan imbalan.Jangan mementingkan diri sendiri.Hormat kepada raja.Bantulah tetangga dengan tulus ikhlas.Bergaullah dengan baik dan harmonis.Jangan melupakan pertolongan orang.Berlaku yang jujur.Berbuat berdasarkan kebenaran.Jangan congkak dan sombong.Jangan berpura-pura pandai.





Nasihat Rajapala diakhiri dengan ucapan, ayah orang yang bodoh, umur tua menjadi anak- anak kembali, rewel, pertimbangkanlah dalam hati, jangan melihat kekeliruan ayah.

Setelah menasihati putranya Durma, Rajapala pergi ke hutan untuk bertapa, memusatkan pikiran, samadhi yang ditujukan kepada Sanghyang Siwa. Ki Durma selalu mengingat nasihat ayahnya, sebagai pedoman hidupnya. Dengan demikian tetangganya dan orang-orang lain, sangat senang bergaul dengannya, senang belajar, menuntut pengetahuan tak lupa berdoa kepada Sanghyang Siwa.

Setelah dewasa ia menghadap raja di Wanakeling, Ki Durma diterima dengan baik, karena berbudi luhur, bijaksana dan susastra. Para menteri amat sayang dan segan kepada Ki Durma.



Pada suatu ketika Ki Durma, mohon diri kepada raja Wanakeling, untuk melihat ayahnya di hutan. Dalam perjalanannya, ia dihadang oleh 3 (tiga) orang penguasa hutan, yaitu Kala Drembha, Kala Murkha dan Durga Deni. Ketiga orang itu selalu memakan binatang dan merusak pertapaan.

Dengan kedatangan Ki Durma, yang berwajah tampan, Durga Deni terpanah hatinya, lalu berubah wujud menjadi orang cantik. Ki Durga Deni merayu Ki Durma dan bertanya, “Ai, orang tampan, apakah tidak takut datang sendirian ke dalam hutan ?”

Ki Durma menjawab, “Tujuan saya hanya mencari ayah yang sedang bertapa dan telah lama meninggalkan saya, maka saya sendirian di rumah”.

Ki Durga Deni menegaskan, “Saya ini adalah utusan Dewa Indra untuk menjaga hutan”. Ki Durga Deni terus membujuk dan merayu Ki Durma, agar mau menerimanya. Ki Durma selalu menolak permintaan Ki Durga Deni, dengan alasan, “saya masih kecil”.



Tersebutlah raja Wanakeling, yang selalu dikelilingi oleh pembesar istana, setiap pertemuan selalu menanyakan keadaan Ki Durma, yang pergi ke hutan dan lama belum datang. Sang raja Wanakeling lalu mengutus Tumenggung Gagak Baning dan Ki Demung Empuan, untuk mencari I Durma di hutan.

Tak diceriterakan keadaan dalam hutan, utusan bertemu dengan I Durma, sedang berjalan-jalan mencari tempat ayahnya bertapa. Utusan memaksa I Durma diajak pulang, karena perintah raja, hal itu didengar oleh Ki Durga Deni, lalu ia marah dan menantang utusan itu. Pertempuran tak terelakkan, utusan kalah melarikan diri, I Durma diajak oleh Ki Durga Deni, menghadap pada saudaranya.

Kedua utusan itu lari, menyelamatkan diri dan kembali ke Wanakeling, menyampaikan kepada sang raja. Sang Raja marah dan mengerahkan pasukan, untuk berperang melawan raksasa di hutan yang menyandera I Durma. Raja dengan pasukannya berangkat perang, sampai di hutan terjadilah perang yang hebat. Para patih, menteri, pimpinan perang semuanya kalah, ada yang mati dan dimangsa, ada juga yang lari menyelamatkan diri.



Pada suatu ketika I Durma dapat menghadap raja, dengan kerendahan hatinya dan bersujud, menyerahkan diri. Saat itulah ia menerima perintah, bagaimana caranya untuk dapat membunuh raksasa-raksasi itu.

Ketika hari sudah malam, I Durma menghadap kepada ke tiga raksasa bersaudara itu, I Durma diterima dengan baik dan dengan rasa sayang. I Durma membujuk Ki Durga Deni, akhirnya luluhlah hatinya, semakin menumbuhkan rasa sayang pada I Durma. Ki Durga Deni lupa akan dirinya, karena bujuk rayu I Durma, lalu mengeluarkan rahasia kematiannya, yaitu, “Tidak dikalahkan oleh manusia sakti, diatas bumi di bawah angkasa, raksasa, bhuta, pisaca, hanya ada bidadari yang kawin dengan manusia, berputra seorang laki, orang itulah yang mampu membunuh diriku, begitu pula ramanda berdua (raksasa), yang merupakan anugrah Dewa Rudra”.

Dengan bujukan dan tipu muslihatnya I Durma, sambil menghibur Ki Durga Deni, akhirnya mereka tidur berdua, bercumbu rayu, namun tidak sampai berhubungan badan. I Durma mengaku sudak mengantuk, tidak bisa ditahan, akhirnya tidur bersama-sama. Ketika Ki Durga Deni telah tidur nyenyak, I Durma bangun memakan sirih dan menghunus keris, menikam dada raksasi, darahnyapun muncrat, mendidih. Demikian juga ke dua raksasa itu dapat dibunuh dengan sigap, dadanya diparang.

Raksasa bertiga mati dibunuh, I Durma lalu menghadap raja, dengan menceritrakan segala-galanya, sampai Durga Deni terbunuh bersama saudaranya. Dengan matinya ke tiga rarksasa itu raja menjadi senang dan menitahkan kepada para punggawa, patih, menteri dan menepati janji, bahwa siapa yang mampu membunuh ke-3 raksasa itu, akan diangkat menjadi anak dan akan menggantikan kedudukannya menjadi raja Wanakeling. Dengan berbagai nasihat sang raja, kepada anak angkatnya (I Durma), demikian juga para pejabat istana, agar selalu menepati janji.

I Durma memohon agar mayat ke-3 raksasa itu dibakar dan diupacarai, dipimpin oleh seorang Resi, jika tidak demikian negara kacau, diganggu oleh Panca Korsika. Upacara dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, negara aman, rakyat berbahagia karena akan mendapatkan pemimpin atau raja yang tampan lahir bathin.

Setelah sang raja dengan bala wadwanya pulang dari hutan, sampailah di istana (Puri), sang raja menobatkan putra angkatnya (Durma), menjadi raja, dibuatkan istana di Carangsari di sebelah selatan pasar. I Durma didampingi seorang istri, hidup rukun dan berbahagia, karena mereka sama-sama memahami tentang Madhu Kama, dan hari-hari pertemuan, yang nantinya akan mendapatkan keturunan yang baik dan utama.

Demikianlah isi ringkas dari Geguritan Rajapala, semoga ada manfaatnya.


ARTIKEL BY : I WAYAN ADI SUDIATMIKA



Sumber : https://panbelog.wordpress.com