Sabtu, 28 September 2024

CERITA RAKYAT BALI I CEKER CIPAK









Alkisah, di sebuah kampung di Pulau Dewata atau Bali, Indonesia, ada seorang pemuda tampan bernama I Ceker Cipak. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah gubuk di pinggir kampung. Ia dan ibunya sangat teguh memegang dan menjalankan
dharma.[2] Untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, ibu dan anak tersebut mencari kayu bakar dan hasil-hasil hutan lainnya. Hidup mereka serba kekurangan. Oleh karena tidak ingin terusbterbelenggu oleh keadaan tersebut, I Ceker Cipak
memutuskan untuk berdagang jagung. Ia ingin pergi ke kota untuk membeli jagung untuk direbus dan dijual kembali.
“Bu, apakah Ibu mempunyai uang tabungan?”
tanya I Ceker Cipak kepada ibunya.
“Untuk apa uang itu, Anakku?” ibunya balik
bertanya. I Ceker Cipak pun menceritakan niatnya ingin berdagang ke kota. Alangkah bahagianya perasaan sang Ibu mendengar niat baik anaknya itu.

“Wah, Ibu merasa senang dan mendukung niatmu itu, Anakku! Ibu ingin sekali membantu usahamu itu, tapi Ibu hanya mempunyai uang 200 kepeng.
[3] Uang tersebut Ibu tabung selama bertahun- tahun. Apakah uang itu cukup untuk membuka usaha barumu itu, Anakku?” tanya ibunya.
“Cukup, Bu! Uang tersebut akan Ceker gunakan untuk membeli jagung secukupnya,” jawab I Ceker Cipak.
Mendengar jawaban itu, ibu I Ceker Cipak segera mengambil uang tabungannya, lalu memberikan kepada anak semata wayangnya. Keesokan harinya, I Ceker Cipak pun berangkat ke kota
dengan membawa modal 200 kepeng dan sebuah keranjang . Untuk sampai ke kota, ia harus melewati perkampungan, persawahan, dan hutan lebat yang jaraknya cukup berjauhan. Setelah berjalan setengah hari, sampailah I Ceker
Cipak di sebuah perkampungan. Ketika akan melewati perkampungan itu, ia melihat seorang warga yang sedang menyiksa seekor kucing.

Melihat tindakan warga yang tidak
berbelaskasihan itu, ia segera mendekati dan memintanya agar menghentikan penyiksaan terhadap kucing tersebut.
“Maaf, Tuan! Jangan bunuh kucing itu! Jika Tuan berkenan, saya akan menebusnya dengan uang 50 kepeng,” pinta I Ceker Cipak.

Warga itu pun menerima permintaannya. Setelah menyerahkan uang 50 kepeng kepada warga itu, I Ceker Cipak melanjutkan perjalanan dengan
membawa serta kucing itu. Tak berapa jauh
berjalan, ia kembali melihat seorang warga
sedang memukuli seekor anjing karena mencuri telur ayam. Melihat hal itu, ia pun menebus anjing itu dengan harga 50 kepeng. Setelah itu, ia kembali melanjutkan perjalanan dan membawa serta anjing itu. Kini, ia tidak berjalan sendirian.
Ia ditemani oleh kucing dan anjing yang telah ditebusnya.
Ketika hari menjelang sore, I Ceker Cipak
bersama kucing dan anjing tebusannya tiba di sebuah hutan lebat. Saat melewati hutan lebat itu, ia melihat beberapa orang warga sedang memukuli seekor ular yang telah memangsa seekor bebek. Karena merasa kasihan, ia pun menebus ular itu dengan 50 kepeng. Para warga yang telah memukuli ular itu terheran-heran melihat perilaku I Ceker Cipak.

“Hai, teman-teman! Anak Muda itu sudah gila.Untuk apa dia menebus ular yang tidak ada gunanya itu?” celetuk seorang warga.
I Ceker Cipak tidak menghiraukan celetukan warga itu. Setelah memasukkan ular itu ke dalam keranjangnya, ia segera berlalu dari tempat itu untuk melanjutkan perjalanan. Setelah menyusuri
hutan lebat, I Ceker Cipak memasuki daerah persawahan. Ketika itu, ia menemui para petani sedang menangkap seekor tikus dan memukulinya. I Ceker Cipak tidak sampai hati melihat tikus itu disiksa oleh mereka.

“Maaf, Tuan-Tuan! Tolong jangan siksa tikus itu!Jika Tuan-Tuan berkenan, biarlah aku tebus tikus itu dengan harga 25 kepeng,” pinta I Ceker
Cipak.

Para petani itu pun mengabulkan permintaannya.Setelah menyerahkan uang tebusan sebesar 25 kepeng kepada para petani tersebut, I Ceker Cipak kembali melanjutkan perjalanan dengan
ditemani oleh kempat hewan tebusannya, yaitu seekor anjing, kucing, ular, dan tikus. Mereka tiba di pasar Kota Raja saat hari mulai gelap. I Ceker Cipak merasa sangat lapar. Setelah memeriksa sakunya, ternyata uangnya hanya tersisa 25 kepeng . Akhirnya, uang tersebut ia pakai membeli makanan untuk dirinya dan keempat binatang tebusannya. Ia terpaksa batal
membeli jagung, karena sudah kehabisan uang.

Ketika I Ceker Cipak bersama keempat binatang tebusannya sedang asyik makan, tiba-tiba seorang prajurit istana yang sedang patroli datang menghampirinya.
“Hai, Anak Muda! Kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya prajurit itu.
“Nama saya I Ceker Cipak, Tuan! Maaf jika
kedatangan saya mengganggu ketenteraman kota ini,” jawab I Ceker Cipak sambil memberi hormat.

“Apa maksud kedatanganmu ke kota ini? Dan, untuk apa kamu membawa hewan-hewan piaraanmu itu?” prajurit itu kembali bertanya.“Maaf, Tuan! Sebenarnya, saya datang ke kota ini untuk membeli jagung, namun uang saya telah habis untuk menebus keempat binatang ini yang
sedang dianiaya orang,” jawab I Ceker Cipak.

“Wah, hatimu sungguh mulia, Anak Muda!” puji Prajurit itu kemudian mengajak I Ceker Cipak ke istana untuk menghadap sang Raja. Setibanya di istana, prajurit itu menceritakan maksud kedatangan I Ceker Cipak ke kota dan semua peristiwa yang dialaminya di perjalanan.
Mendengar cerita tersebut, Raja yang baik hati itu pun mengizinkan I Ceker Cipak untuk menginap semalam di istana. Sang Raja juga memerintahkan kepada dayang-dayang istana untuk melayani segala keperluan I Ceker Cipak dan keempat hewan piaraannya. Alangkah senang
hati I Ceker Cipak mendapat kehormatan tidur di dalam istana dan pelayanan istimewa dari sang Raja.
Malam telah larut, namun I Ceker Cipak belum bisa memejamkan matanya, karena memikirkan ibunya yang tidur sendirian di gubuk. Ia juga memikirkan uang pemberian ibunya yang telah habis untuk menebus keempat binatang tersebut.
Ia bingung untuk menjelaskan semua itu kepada ibunya. Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba si Ular merayap mendekatinya.
“Wahai, Tuanku yang berbudi luhur! Jika besok saat pulang dan bertemu dengan seekor ular besar, Tuan jangan takut! Dia adalah ibuku yang bernama Naga Gombang. Meskipun terkenal
sangat ganas, tapi dia tidak akan mengganggu orang yang tekun menjalankan dharma. Jika ia
memintaku darimu, maka mintalah tebusan
kepadanya!” ujar si Ular.
I Ceker Cipak tersentak kaget, karena tidak
pernah mengira sebelumnya jika ular itu dapat berbicara seperti manusia. Namun, ia tidak ingin terlalu memikirkan hal itu, yang penting ia berjanji akan melaksanakan pesan ular itu.
Keesokan harinya, I Ceker Cipak pun berpamitan kepada sang Raja. Raja yang baik hati itu membekalinya kain, uang, dan sepuluh ikat jagung.
“Bawalah kain, uang dan jagung ini sebagai oleh-oleh untuk ibumu di rumah!” ujar sang Raja.
“Terima kasih banyak atas semua kebaikan,
Gusti! Semoga Tuhan senantiasa memberkahi
Gusti!” ucap I Ceker Cipak seraya memberi
hormat untuk memohon diri.
I Ceker Cipak kembali ke kampung halamannya melewati jalan semula. Ketika ia memasuki hutan belantara, tiba-tiba ia dihadang oleh seekor ular yang sangat besar. “Hai, Anak Muda! Berhenti dan serahkan ular itu kepadaku!” seru ular besar itu.

“Hai, Ular Besar! Pasti kamu yang bernama Naga Gombang. Ketahuilah wahai Naga Gombang, akulah yang telah menyelamatkan anakmu! Jika
kamu hendak mengambil anakmu dariku, kamu harus menebusnya!” kata I Ceker Cipak.
“Wahai, Anak Muda! Jika memang benar yang kamu katakan itu, ambillah cincin permata yang ada di ekorku sebagai penebus! Semua barang
akan menjadi emas jika kamu gosokkan dengan cincin itu,” ujar Naga Gombang.
I Ceker Cipak pun mengeluarkan ular yang ada di dalam keranjangnya lalu menyerahkannya kepada
Naga Gombang. Setelah itu, ia segera mengambil cincin permata di ekor Naga Gombang, kemudian menyelipkan di ikat pinggangnya dan melanjutkan
perjalanan. Ketika sampai di gubuknya, ia
dikejutkan oleh sebuah peristiwa ajaib, ikat
pinggangnya telah berubah menjadi emas. Ibunya pun sangat heran menyaksikan peristiwa ajaib itu.
“Bagaimana hal itu bisa terjadi, Anakku?” tanya ibunya heran.
I Ceker Cipak pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya selama dalam perjalanan hingga tiba kembali ke rumah. Ibunya merasa amat bahagia memiliki anak yang taat menjalankan dharma. Sejak memiliki cincin permata itu,
kehidupan keluarga I Ceker Cipak berubah. Kini, ia telah menjadi kaya raya di kampungnya. Ia hidup berbahagia bersama ibu dan ketiga hewan piaraannya, yakni si tikus, kucing, dan ajingnya.
Meskipun sudah menjadi orang kaya, I Ceker Cipak tetap rajin bekerja.
Pada suatu hari, I Ceker Cipak membantu ibunya menumbuk padi, namun ia lupa melepas cincin permata dari jari tangannya. Tanpa disadarinya, cincin permata itu patah dan jatuh ke dalam lesung. Maka seketika itu pula lesung dan alu itu tiba-tiba berubah menjadi emas. Ia dan ibunya
sangat heran bercampur gembira menyaksikan peristiwa ajaib terserbut. Sejak itu, I Ceker Cipak semakin terkenal dengan kekayaannya hingga ke berbagai penjuru negeri. Setelah itu, I Ceker Cipak membawa cincinnya yang patah ke tukang emas untuk diperbaiki.
Rupanya, tukang emas itu mengerti bahwa cincin itu memiliki tuah yang dapat mendatangkan kekayaan. Oleh karena itu, ia berniat untuk memilikinya. Agar tidak ketahuan oleh pemiliknya, ia pun membuat sebuah cincin palsu yang sangat mirip dengan cincin permata ajaib
itu. Ketika I Ceker Cipak datang hendak
mengambil cincinnya, ia memberikan cincin yang palsu. I Ceker Cipak tidak merasa curiga sedikit pun. Setibanya di rumah, ia ingin menguji kesaktian cincin permata itu. Perlahan-lahan ia
menggosokkan cincin itu pada sebuah batu, namun batu itu tak kunjung berubah menjadi emas. Dari situlah I Ceker Cipak mulai curiga. “Bu! Coba periksa cincin permata ini! Sepertinya ia tidak sakti lagi,” kata I Ceker Cipak. “Wah,
jangan-jangan tukang emas itu telah
menukarnya!”
Setelah diperiksa oleh ibunya, ternyata benar cincin itu palsu. Ibunya sangat mengenal bentuk cincin permata yang asli itu.
“Dugaanmu benar, Anakku! Tukang emas itu telah menukar cincinmu dengan cincin palsu,” kata ibunya.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI



“Apa yang harus kita lakukan, Bu?” tanya I Ceker Cipak.
Ibu I Ceker Cipak pun bingung harus berbuat apa. Ia berpikir keras untuk mencari agar dapat mengambil kembali cincin permata sakti itu.
Suasana di rumah itu menjadi hening. Hingga malam larut, mereka belum juga menemukan jalan keluar. Hati mereka diselimuti perasaan sedih. Melihat tuannya bersedih, si Tikus, Kucing, dan Anjing melakukan musyawarah secara diam-
diam. Mereka ingin membantu tuannya untuk mendapatkan kembali cincin permata tersebut dari si tukang emas. Setelah mengatur siasat,
mereka pun berangkat ke rumah si tukang emas tanpa sepengetuhuan I Ceker Cipak dan ibunya.
Setibanya di rumah si tukang emas, ketiga
binatang piaraan I Ceker Cipak tersebut membagi tugas. Si Kucing bertugas menunggu di depan pintu, dan si Anjing menunggu di depan tangga.
Sementara, si Tikus bertugas bersiap-siap untuk menyelinap masuk ke dalam rumah untuk mencari cincin tuannya.
Setelah semuanya sudah siap, mereka pun mulai menjalankan tugas masing-masing. Si Kucing mulai mencakar-cakar pintu rumah, sehingga si tukang emas terbangun. Begitu tukang emas itu
membuka pintu, si Kucing mencakar-cakar
kakinya hingga jatuh terguling-guling di tangga. Si Anjing yang sedang menunggu di depan tangga segera menggigitnya. Tukang emas itu pun tergeletak tak sadarkan diri. Pada saat itulah, si
Tikus segera masuk ke dalam rumah. Dengan ganasnya, ia melubangi peti tempat penyimpanan perhiasan tukang emas itu, lalu mengambil cincin permata tuannya. Setelah itu, mereka segera kembali ke rumah untuk menyerahkan cincin itu
kepada I Ceker Cipak. Hari sudah pagi, namun mereka belum juga sampai di rumah tuannya.
Sementara itu, I Ceker Cipak yang baru bangun tidur sangat cemas, karena ketiga binatang piaraannya tidak ada di rumah.
“Bu! Apakah Ibu tahu ke mana binatang piaraanku pergi?” tanya I Ceker Cipak.
“Wah, Ibu tidak tahu, Anakku! Sejak tadi Ibu juga
belum melihatnya,” jawab Ibunya.
Baru saja I Ceker Cipak akan pergi mencarinya di
sekitar gubuk, ketiga binatang piaraannya
tersebut tiba-tiba muncul dari balik semak-
semak. Alangkah terkenjutnya ia ketika melihat
cincin permatanya ada di mulut si Tikus. Ia baru
sadar bahwa ternyata ketiga binatang piaraannya
pergi ke rumah si tukang emas untuk mengambil
cincin permata itu. Ia pun menyambut mereka
dengan perasaan gembira.
“Terima kasih, kalian telah membantuku
mendapatkan kembali cincin permata ini,” ucap I
Ceker Cipak setelah si Tikus menyerahkan cincin
itu kepadanya.
Sejak itu, I Ceker Cipak sangat berhati-hati dalam
menjaga cincin permata saktinya. Semakin hari,
harta kekayaannya pun semakin bertambah. Ia
adalah orang kaya yang dermawan. Ia senantiasa
membantu para warga di sekitarnya yang
membutuhkan. Ia juga selalu mengingat semua
orang-orang yang telah berbuat baik kepadanya.
Pada suatu hari, I Ceker Cipak bersama ibu dan
ketiga hewan piaraannya datang menghadap
kepada sang Raja untuk mengucapkan terima
kasih. Ia datang dengan pakaian yang sangat rapi
dan bersih, sehingga terlihat tampan dan gagah.
Sebagai ucapan terima kasih, ia persembahkan
sebagian emasnya kepada sang Raja.
Kedatangannya pun langsung diterima dan
disambut baik oleh sang Raja. Melihat
ketampanan dan kegagahan I Ceker Cipak, sang
Raja tiba-tiba terpikat hatinya ingin menikahkan
dia dengan putrinya yang bernama Ni Seroja. I
Ceker Cipak pun tidak menolak keinginan sang
Raja. Akhirnya, I Ceker Cipak menikah dengan
Putri Ni Seroja. Sejak itu, I Ceker Cipak tinggal di
istana bersama istri, ibu, dan hewan-hewan
piaraannya. Mereka hidup bahagia dan sejahtera.
* * *
Demikian cerita I Ceker Cipak dari daerah Bali,
Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori
dongeng yang mengandung pesan-pesan moral.
Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat
dipetik dari cerita di atas. Pertama: orang yang
rajin dan tekun menjalankan perintah agama akan
mendapat imbalan berlipat ganda dari Tuhan
Yang Mahakuasa, baik langsung maupun tidak
langsung. Hal ini ditunjukkan oleh sifat dan
perilaku I Ceker Cipak. Berkat ketekunannya
menjalankan dharma dengan cara suka menolong
antarsesama makhluk, maka ia pun mendapat
imbalan berlipat ganda. Ia menjadi kaya raya dan
memperoleh istri seorang putri raja. Dikatakan
dalam tunjuk ajar Melayu:
supaya hidup beroleh rahmat,
amal ibadah jangan disukat
wahai ananda cahaya rumah,
dalam ibadah janganlah lengah
kerjakan suruh, jauhkan cegah
supaya hidupmu beroleh berkah
Kedua, orang yang suka mengambil hak milik
orang lain akan mendapat balasan yang setimpal,
seperti si tukang emas. Karena kelicikannya ingin
memiliki cincin permata I Ceker Cipak, ia pun
mendapat ganjaran setimpal. Ia tergeletak tidak
sadarkan diri setelah dicakar oleh si Kucing dan
digigit oleh si Anjing. Dikatakan dalam tunjuk ajar
Melayu:
siapa merampas hak milik orang,
azabnya keras bukan kepalang

Sumber : ceritarakyatnusantara.com

Jyotisha Ilmu Astronomi dan Astrologi Hindu Kuno

 






NYEPI: Surya Pramana tentukan sasih Kasanga dan jatuhnya tilem melalui perhitungan Candra Pramana untuk memastikan jatuhnya Hari Raya Nyepi. (ISTIMEWA)





Meramal nasib hingga prediksi fenomena alam berdasar posisi bintang, sudah menjadi ilmu tersendiri dalam Agama Hindu. Bahkan, sudah ada dan diterapkan ribuan tahun silam.


Astrologi dan Astronomi, dua ilmu yang tidak bisa dipisahkan walau memiliki perbedaan. Astronomi melihat posisi bintang dan dengan perhitungan khusus bisa mengetahui prediksi fenomena alam, sedangkan Astrologi adalah mengamati posisi bintang untuk mengetahui pengaruhnya pada kehidupan manusia.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI



Dikatakan Kepala Program Studi S-2 Ilmu Komunikasi di IHDN, DR I Gede Sutarya,
Astrologi dan Astronomi dalam Hindu masuk dalam Jyotisha yang sudah ada sejak ribuan tahun silam.





"Jyotisha adalah Ilmu Astrologi sekaligus Ilmu Astronomi Hindu Kuno. Berasal dari bahasa Sansekerta, yakni Jyoti yang berarti cahaya, dan Ish bermakna Tuhan. Sehingga Jyotisha bermakna Tuhan pengendali cahaya, " terang Sutarya, ahli wariga yang juga penyusun kalender Bali ini.


Dijelaskan Sutarya, Jyotisha masuk dalam percabangan Wedangga yang merupakan bagian tubuh dari kitab suci Weda.


Pengunaan Jyotisha bisa dilihat juga dalam film bertemakan Hindu, seperti Mahabahrata saat Rsi Jaimini memprediksi hasil perang Mahabharata dengan Marahaja Drestarata dan Maharani Gandari.


Ilmu Astronomi dan Astrologi Hindu kuno ini sampai sekarang tetap digunakan. "Hal ini dapat dilihat masih kentalnya budaya India untuk melihat ramalan jodoh anak-anak mereka yang akan dinikahkan. Bahkan di Bali masih sering dipakai, terutama dalam menentukan hari raya, masa tanam, ramalan kelahiran dan lainnya oleh umat Hindu,” ujar Sutarya kepada Bali Express (Jawa Pos Group) pekan kemarin.


Dikatakannya, penentuan posisi bintang dilakukan oleh para Maharsi terdahulu dengan melakukan pengamatan, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan. Perhitungan Astronomi ini akan menghasilkan waktu kapan sesuatu terjadi, seperti hari raya apa saja yang akan jatuh dari tilem (bulan mati) sampai tilem berikutnya, dan kapan terjadinya gerhana matahari ataupun gerhana bulan.


Perhitungan di Jyotisha menggunakan bumi sebagai patokan, dimana planet lain mengitarinya. Hal ini semata-mata digunakan untuk penyederhanaan perhitungan Astronomi yang dilakukan, sebab dalam Weda menganut Heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya), bukan geosentris (bumi sebagai pusat tata surya), seperti termuat dalam kitab Sama Weda 121. “Matahari tidak pernah terbenam ataupun terbit, sebab bumi yang berotasi,” ujar dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar ini.



Ditambahkannya, pengamatan dari posisi planet, matahari, bulan dan bintang menimbulkan pemaknaan, yang akhirnya menjadi Ilmu Astrologi. Melihat posisi planet dan bintang, para Maharsi pada zaman dahulu bisa memprediksi hadirnya kehancuran, bencana, hadirnya raja baru, dan lain sebagainya. “Di India banyak sudah riset tentang Jyotisha ini, bahkan para sarjana barat juga banyak melakukan penelitian. Sehingga kini semakin mudah mencari referensi tentang ilmu ini, sebab sudah banyak diartikan dalam Bahasa Inggris,” ujar Sutarya.


Penerapannya di Indonesia belum begitu banyak, lanjutnya, namun di Bali sudah ada pada Ilmu Wariga yang dikenal secara umum.


Ilmu Jyotisha termasuk kategori ilmu yang bersifat ilmiah, jika dilihat pada bagian Astronominya. Sebab, dengan perhitungan Astronomi, fenomena alam bisa dihitung kapan terjadinya. Sedangkan pada Astrologi tidak bisa dipastikan 100 persen kebenarannya, mengingat mengartikan posisi bintang terhadap ramalan hidup manusia perlu pembuktian jelas. “Kalau mengenai pemaknaan posisi bintang (Astrologi), saya tidak berani mengatakan ilmu Astrologi pada Jyotisha 100 persen tepat juga,” ujar Sutarya.


“Anggap saja ketika purnama misalnya kekuatan seorang sedang dalam puncaknya, kemudian ada arti hari kelahiran dan sebagainya perlu pembuktian yang tidak mudah,” tegasnya.
Film asal India bertemakan Hindu sering memperlihatkan para Maharsi meramal masa depan, lalu kenapa selalu bisa tepat?


Menurut Sutarya, hal itu terjadi karena Maharsi pada masa lampu mempelajari kitab Astrologi secara khusus. Mereka melihat konstelasi bintang dan mengartikan makna dari hasil pengamatan tersebut. Maharsi tentu dahulu mempelajari dengan baik, sedangkan kini masih riset di India.
Perkembangan Ilmu Jyotisha dari India sampai ke Jawa, kemudian akhirnya sampai di Bali sekitar abad ke-10 Masehi dengan berbagai penyesuaian. Sutarya menjelaskan diperkirakan di masa pemerintahan Mpu Sindok itu terjadi. Kala sang putri, yakni Mahendradatta menikah dengan Raja Udayana, dimana pernikahan turut juga membawa ajaran perhitungan pawukon dan wewaran. “ Pengetahuan itu masuk dari Bali Utara oleh Sang Ratu Luhur Sri Gunapriya Dharmapatni (gelar Ratu Mahendradatta). Jadi, wewaran pawukon di Bali itu dari Jawa sebenarnya,” terang Sutarya.


Perkembangannya selanjutnya di Bali, Ilmu Astronomi dan Astrologi kemudian dikenal menjadi Ilmu Wariga. Patokan yang digunakan di Bali adalah perhitungan Surya Chandra Pramana atau yang akrab di telinga sebagai solar dan lunar system yang sampai sekatang tetap dipakai di kalender khas Bali. Penggunaan itu salah satunya pada saat menentukan jatuhnya Hari Raya Nyepi, yakni menentukan sasih kasanga melalui perhitungan Surya Pramana (jatuh setiap sasih yang sama) dan menentukan jatuhnya tilem melalui perhitungan Candra Pramana.


Ditambahkannya,perkembangan Wariga di Bali juga menyebabkan ada banyak percabangan Ilmu Wariga yang mirip dengan Jyotisha. “Bisa dilihat, ada Wariga untuk pertanian, jodoh, kelahiran, pedewasan, dan lainnya. Mirip dengan Astronomi dan Astrologi pada Jyotisha,” pungkasnya.

TINGKATAN CARU DAN BINATANG YANG DIPAKAI

  


CARU pada hakikatanya dipahami sebagai persembahan untuk Bhuta Kala. Upacara caru dimaknai sebagai upacara untuk menjaga keharmonisan alam,
manusia dan waktu.
Di Bali Dikenal Tiga Jenis Caru
1. Caru Palemahan Bumi Sudha yaitu upacara caru untuk tempat atau wilayah. Baik itu untuk mengharmoniskan tempat untuk dipakai tempat suci,
dibangun rumah, atau sebuah wilayah yang tertimpa musibah.
2. Caru Sasih yaitu caru yang dilaksanakan berkaitan dengan waktu-waktu tertentu yang dipandang perlu diharmoniskan. Misalnya Caru Sasih
Sanga (sehari sebelum Nyepi)
3. Caru Oton yaitu caru untuk orang atau benda sebagai unsur bhuana agung yang mengalami berbagai siklus, baik terhadap waktu maupun
perkembangannya. Misalnya caru oton untuk anak yang baru lahir, untuk perkawinan, akil balik, kematian dll. yang sering juga disebut dengan
byakala.
Banten caru biasanya berisikan hal-hal khas
1. Aneka macam nasi, baik warna maupun bentuk
2. Aneka bumbu-bumbuan (bawang, jahe, terasi, garam)
3. Daging (terutama bagian jeroan)
4. Arang
5. Darah
6. Blulang atau bayang-bayang binatang
7. Tuak, arak dan berem
8. Api takep
9. Aneka bunyi-bunyian
Dewasa Caru
Upacara caru yang baik dilakukan pada:
- Sasih Kanem, Kapitu, Kawolu dan Kasanga.
- Hari/tanggal Panglong, atau Tilem
- Kajeng Kliwon
- Ingkel Bhuta.



Jenis Caru Palemahan:
* Caru Eka Sata
Sarana: Olahan ayam putih dengan bayang-bayangnya (blulang --bahasa Bali-red) dialasi sengkuwi dibagi lima tanding. Disertai dengan datengan, daksina,
penyeneng dan canang (untuk semua jenis caru).
* Caru Panca Sata
Sarana memakai 5 (lima) ekor ayam.
Ayam bulu hitam tempatnya Kaja (utara), putih siung (kuning) tempatnya Kauh (barat), ayam bulu merah (barak) Kelod (selatan). Kangin (timur) ayam bulu
berwarna putih dan di tengah ayam bulu berwarna brumbun (segala warna). Selain itu dilengkapi juga dengan seekor bebek blang kalung.
* Caru Panca Sanak
Untuk Caru Panca Sanak dasarnya adalah caru Panca Sata sedangkan kelengkapannya ada beberapa jenis binatang, jika dilengkapi:
a. Asu atau Anjing maka tempatnya terletak di arah Barat Daya/Kelod-Kauh.
b. Bebek bulu Singkep diperuntukkan diletakan di arah Kelod-Kangin (Tenggara).
c. Angsa letaknya Timur Laut/Kaja-Kangin
d. Kambing nerupakan caru yang diperuntukkan pada arah Kaja Kauh (Barat Laut)
Itulah beberapa caru dari segi sarana hewannya dan masih banyak lagi caru sesuai dengan namanya dan sarana hewan yang dipersembahkan.
Yang disebutkan tadi dengan sarana bebek, kambing, anjing, ini merupakan tingkatan caru yang disebut dengan Panca Sanak. Ini pun dapat dibagi lagi
menjadi Panca Sanak yang sarananya asu, dan bebek bulu sikep. Sedangkan Panca Sanak Agung sarananya, hewan angsa dan asu atau anjing.
* Caru Panca Sanak Madurga
Sarananya sama dengan Caru Panca Sanak ditambah dengan anak babi jantan hitam yang belum dikebiri (kucit selem butuhan) dengan tambahan bebek
atau yang lain.
* Caru Sanak Magodel
Sarana tambahannya dipakai anak sapi atau yang dalam bahasa Balinya disebut godel.
* Caru Rsigana
Adalah Caru Panca Sanak yang disertai dengan menghadirkan Dewa Ghana sebagai dewa penghalau rintangan.
* Caru Balik Sumpah
Di tingkat yang lebih tinggi ada juga caru yang dikenal dengan nama Caru Balik Sumpah yang sarana hewannya berupa kerbau dan kambing. Sedangkan yang
lebih tingi lagi ada sejenis upakara Malinggia Bhumi dan ini sarana binatangnya adalah sebanyak 45 kurban.
CARU secara wedik hanya mempersembahkan 10 nasi kepel yang diolisi minyak ghee. Caru ini dipersembahkan kepada 10 dewa penguasa butha, yaitu: 1) agnaye, 2) soma, 3) agnesomabyam, 4) danvantaraye, 5) kuhwae, 6) visvebyo devabyah, 7) anumatyae, 😎 prajapataye, 9) diawahpertivibyah, 10) suistakrte. Nasi kepel dipersembahkan ke dalam kunda.

Senin, 23 September 2024

Pura Luhur Pucak Rsi Bukit Sangkur

 


Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur terletak Desa Pakraman Kembang Merta, Kecamatan Baturiti, Tabanan di salah satu bukitnya terdapat pura yang disebut Pura Luhur Puncak Sangkur yang juga disebut Pura Puncak Resi. Mengapa disebut Pura Pucak Sangkur karena pura itu berdiri di Bukit Sangkur. Yang dipuja di Pura Pucak Sangkur ini adalah Ida Batara Hyang Pasupati atau Batara Siwa. Dengan tanpa banyak mengubah kondisi alas (hutan) disana, menambah keheningan dan keangkeran Pura Puncak Sangkur.
Sejarah Pura Luhur Puncak Bukit Sangkur
Pura ini sendiri di Bukit Sangkur yang merupakan kawasan hutan yang kental dengan aura magis, yang digunakan oleh Rsi Segening, melakukan yoga, tapa dan samadhi sehingga dikenal dengan hutan Tapa Wana. Konon di sinilah beliau mencapai kesempurnaan dan moksa ke jalan Tuhan.
Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur merupakan kawasan tapa wana, dilestarikan sehingga tidak ada bangunan lain di lokasi ini kecuali terkait dengan pemujaan. Lokasi pura ini dulunya dikenal dengan tempat pertapaan Resi Segening. Seringkali orang datang memohon jabatan ataupun taksu sebagai pemimpin. Seorang spiritual yang betul-betul mendambakan suasana sunyi dan damai, Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur bisa menjadi salah satu tempat pilihan untuk melaksanakan tapa yoga semedhi. Keunikan dari pura ini adalah keberadaan Juuk Linglang (sejenis jeruk). Jeruk ini konon sudah tumbuh ratusan tahun dan diyakini memiliki khasiat tertentu yang ajaib, jarang sekali orang yang bisa mendapatkan buahnya.
Pura Pucak Bukit Sangkur ini ada kaitannya dengan berbagai Pura Kahyangan Jagat di Bali. Dalam Lontar Tantu Pagelaran diceritakan secara mitologis Gunung Maha Meru di India, puncaknya menjulang sangat tinggi hampir menyentuh langit. Kalau langit sampai tersentuh oleh puncak Gunung Maha Meru itu maka alam ini pun akan hancur lebur. Saat itu Jawa dan Bali dalam keadaan guncang atau disebut enggang enggung.
Hyang Pasupati memotong puncak Maha Meru tersebut terus dibawa ke Jawa. Pecahan puncak tersebut ditaburkan dari Jawa Barat sampai Jawa Timur. Pecahan Maha Meru itulah yang menjadi gunung-gunung yang berderet dari Jawa Barat sampai Jawa Timur. Di Jawa Timur puncak Maha Meru itulah menjadi Gunung Semeru. Setelah itu Pulau Jawa menjadi tenang. Tetapi Bali masih enggang-enggung atau guncang. Karena itu, Hyang Pasupati terbang ke Bali membawa puncak Gunung Maha Meru tersebut.


Puncaknya sekali menjadi Gunung Agung, bagian tengahnya menjadi Gunung Batur dan dasarnya menjadi Gunung Rinjani di Lombok. Serpihan-serpihannya menjadi gunung-gunung kecil dan bukit-bukit yang mengelilingi Pulau Bali. Setelah itu Bali menjadi tenang. Gunung-gunung kecil itu antara lain menjadi puncak Mangu, Teratai Bang, Gunung Tampud, Lempuhyang, termasuk Bukit Pucak Sangkur tempat didirikannya Pura Pucak Resi itu.
Dalam Lontar Purana Pura Pucak Resi diceritakan di zaman dahulu ada seorang suci bernama Ida Sang Resi Madura berasal dari Gunung Raung, Jawa Timur. Beliau Sang Resi juga disebut sebagai Acarya Kering. Ida Sang Resi Madura ini sering mengadakan perjalanan bolak-balik Jawa-Bali. Suatu hari dalam Yoga Semadinya Sang Resi mendapatkan suara niskala yang menugaskan Sang Resi agar menuju Danau Beratan. Sang Resi pun mengikuti suara gaib tersebut. Sang Resi diiringi oleh pembantunya bernama I Patiga. Sampai di Bali, Sang Resi menuju puncak bukit.
Di puncak bukit itulah Ida Sang Resi Madura membangun pura dengan nama Parhyangan Pucak Resi sebagai pemujaan Batara Hyang Siwa Pasupati. Setelah itu Sang Resi Madura ini mengadakan perjalanan menuju ke puncak Teratai Bang, Bukit Watusesa sampai ke Bukit Asah.
Diceritakan I Ratu Ayu Mas Maketel di Nusa Penida saat mengadakan upacara Ngeraja Sewala mendatangkan seorang pandita dari Maja Langu untuk memimpin upacara tersebut. Pandita ini bernama Ida Resi Sagening ke daratan Bali dan bermukim di Munduk Guling Klungkung. Di tempat ini beliau banyak punya pengikut. Sang Resi kena fitnah dan dikatakan akan merebut kekuasaan raja di Linggarsapura. Sang Resi pun mau dihukum mati.
Untuk menghindari hukuman itu, Ida Resi Sagening pindah ke Bukit Asah diiringi oleh sisya-sisya (murid-murid-red)-nya. Di Bukit Asah inilah beliau membangun pasraman. Atas petunjuk niskala yang diterima oleh Ida Ratu Ngurah Wayan Sakti agar Pura Puncak Asah di-pralina. Karena demikian halnya Ida Resi Sagening mohon dibuatkan Siwapakarana dan disimpan di Pasraman Taman Sari. Di pura inilah juga Ida Resi Sagening mencapai moksha.
Di sini ada bentang persekutuan gugusan kelompok Gunung Sanghyang-Gunung Lesong-Gunung Pucuk serta gugusan kelompok Gunung Adeng-Gunung Pohen – Gunung Tapak yang berada di sisi selatan Danau Tamblingan dan Danau Buyan. Lalu ada lagi persekutuan gugusan kelompok Gunung (Pucak) Bon-Gunung (Pucak) Mangu/Pangelengan – Gunung (Pucak) Sangkur berada di sebelah barat Danau Buyan.
Pucak Mangu sendiri memiliki pasanakan (berkerabat) dengan Pucak Sangkur dan Terate Bang. Uniknya, masing-masing gugusan kelompok gunung itu memiliki satu palinggih pangayatan (semacam perwakilan) di Pura Pucak Mangu di ujung ketinggian puncak Gunung Mangu.
Hal yang unik dan menarik dari kawasan ini adalah keberadaan juuk linglang (sejenis jeruk) yang terletak di utama mandala. Jeruk yang konon keberadaannya telah ratusan tahun ini memiliki cerita tersendiri. Untuk saat ini juuk linglang hanya menjadi legenda yang sering diceritakan dalam drama gong. Namun, legenda itu dianggap nyata oleh masyarakat setempat.
Sebelum dilakukan rehab pura sekitar tahun 2004-2005 lalu, jeruk dengan ukuran batang besar ini berada peResis di tebing pada bagian samping lokasi pura yang saat itu masih sempit. Namun, ketika dilakukan penimbunan timbul pawisik agar jeruk ini tidak dimatikan. Akhirnya dibuatkan lubang yang bertrali agar jeruk ini dapat terus tumbuh. Uniknya batang kecil yang muncul sering hilang dan timbul kembali pada waktu tertentu.

Masyarakat sangat meyakini juuk linglang memiliki khasiat tertentu yang sifatnya ajaib. Dari buah, daun hingga kulit batang diyakini ampuh menyembuhkan berbagai penyakit, baik medis maupun nonmedis. Penanganan penyakit nonmedis paling banyak. Namun buah dari jeruk ini sukar untuk didapatkan dan konon tidak semua orang bisa mendapatkan sebagaimana halnya memetik buah jeruk biasa. Diyakini orang yang bisa memiliki buah jeruk ini merupakan orang pilihan.
Para pemedek biasanya merasa sangat beruntung ketika melihat batang kecil dengan beberapa helai daun menyembul ke permukaan. Sebab, tidak semua pemedek beruntung melihat keberadaannya yang sering hilang tersebut. Masyarakat setempat yang sering mengamati keberadaannya pada mulanya merasa heran ketika jeruk itu hilang. Saat tertentu jeruk ini menghilang dan dalam waktu yang sulit diketahui muncul kembali dengan posisi dan kondisi yang sama ketika menghilang.
Pangider Penataran Beratan Penataan bangunan pura sudah terlihat bagus. Dari wantilan, berjalan menaiki tangga yang cukup panjang barulah memasuki jaba tengah pura. Dari sini terlihat pohon besar dalam (di jeroan) pura, tak lain adalah pohon bunut dengan bentuk unik, seolah-olah menyerupai goa pada bagian batangnya.
Sesekali terlihat sekelompok kecil kera bergelantungan di diantara ranting pohon yang kokoh. Di bawah pohon ini terdapat pelinggih merupakan pelinggih pertama yang ditemukan di pura ini. Sementara pada palinggih utama di areal pura ini terdapat patung Siwa Pasupati dengan menggunakan busana kuning.
Puja wali ring Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur,ring rahina Buda Kliwon Sinta/ Pagerwesi.
Semoga berkenan, kurang lebihnya mohon dimaklumi…Ampura Suksma Rahayu…
Info kontak jero mangku ring Pura Puncak Sangkur 087860328004
Reference
2. Pura Luhur Pucak Bukit Sangkur @ https://yanartha.wordpress.com/

Minggu, 22 September 2024

Mandala Pertama - Pura Penataran Agung Besakih

 


Secara filsafat Mandala Pertama ini melambangkan dunia kebendaan yang harus kita tinggalkan -- walau pun dengan susah payah -- agar kita dapat menapaki dunia kesucian. Pintu menuju ke kepada alam rohani ini menunjukkan batas- batas yang jelas dan dimuati dengan banyak lambang yang bertujuan mengingatkan kita bahwa langkah kita ke depan adalah langkah spiritual, dan harus diperjuangkan, tidak datang tanpa upaya, jadi kita harus suci, membebaskan diri kita sendiri dari kebohongan, kepalsuan dan kegelapan.
Mandala Pertama ini dicapai melalui rangkaian anak tangga yang cukup tinggi dan di pagari oleh dua baris patung- patung tokoh wayang. Di sebelah kiri adalah para tokoh pahlawan dari Mahabharata, sedangkan di sebelah kanan adalah pahlawan- pahlawan dari Ramayana. Patung- patung indah ini diukir sekitar tahun 1935 oleh sekelompok pematung dari desa Sukawati yang dipimpin oleh I Kolok.
Selanjutnya, unsur- unsur dari Mandala Pertama ini di antaranya adalah:
A. Candi Bentar
Candi Bentar, yaitu pintu gerbang utama.
01. Bale Pegat
Bale yang terputus di tengah. Mulai titik ini, pengunjung diminta untuk memutuskan hubungan dengan kehidupan kebendaan atau keduniawian. Bale ini bentuknya unik, tampak seperti dua buah bale dengan atap yang yang menyatu. Pertama dibuat, seperti diceritakan dalam babad warga Tutuan, sebagai lambang perpisahan, putusnya hubungan yang sudah sekian lama.
02 & 03. Bale Kulkul
Bale kentongan. Ada dua di sebelah kiri dan kanan pintu masuk, setelah kita berada di dalam. Kentongan ini dibunyikan pada saat ada upacara.
04. Bale Pelegongan
Bale panjang tempat digelarnya kesenian Legong pada saat upacara tertentu.
05. Bale Pegambuhan
Bale panjang tempat digelarnya kesenian Legong pada saat upacara tertentu.
06. Bale Mundar-mandir atau Bale Ongkara.
Bale Mundar-mandir atau Bale Ongkara terletak di sebelah kanan kiri Candi Kurung, dimaksudkan sebagai pengingat kepada umat yang akan memasuki Kori Agung untuk terlebih dahulu mengheningkan pikiran sejenak menyatukan konsentrasi pada kesucian, karena ia akan mulai masuk ke halaman Pura Penataran Agung. Bangunan Bale ini bersaka tunggal, sangat artistik.
------------------------------------------------------------


”Omkara”, Panggilan Tuhan yang Pertama
Penempatan bangunan suci di kiri-kanan Kori Agung atau Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih memiliki arti yang mahapenting dan utama dalam sistem pemujaan Hindu di Besakih. Karena dalam konsep Siwa Paksa, Tuhan dipuja dalam sebutan Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa sebagai jiwa agung alam semesta. Sebutan itu pun bersumber dari Omkara Mantra. Apa dan seperti apa filosofi upacara dan bentuk bangunan di pura itu?
Swami Dayananda Saraswati, pendiri Arya Samad di India, menyataan bahwa panggilan Tuhan yang pertama-tama dan yang tertua adalah dengan mengucapkan Omkara. Tuhan memang tanpa nama, tanpa rupa karena pada hakikatnya semuanya yang nyata ini adalah perwujudan Tuhan. Artinya apa pun yang ada ini sesungguhnya adalah ciptaan Tuhan. Karena tidak bernama maka manusia ciptaan Tuhan diteladani oleh para resinya memanjatkan doa pujian pada Tuhan dengan ucapan Omkara.
Tuhan pada hakikatnya maha-tahu. Pengucapan Omkara sebagai media pemanggilan Tuhan bukanlah untuk Tuhan, tetapi untuk mereka yang memanggil Tuhan agar merasa bahwa Tuhan sudah mereka puja dengan pengucapan Omkara tersebut. Saat manusia berniat saja untuk memanggil-Nya, Tuhan sudah maha-tahu sebelumnya.
Demikianlah menurut keyakinan Hindu. Dalam Manawa Dharmasastra II.83 dan 84 dinyatakan bahwa Eka Aksara Om adalah Brahman yang tertinggi. Ketahuilah bahwa Omkara itu kekal abadi dan itu adalah Brahman penguasa semua ciptaan. Dalam Manawa Dharmasastra II.76 dinyatakan bahwa Aksara Omkara itu berasal dari aksara, A-U-M. dari suara tiga Veda dan inti dari Vyahrti Mantra.
Yang dimaksud dengan Vyahrti Mantra itu adalah Bhur, Bhuwah dan Swah. Yang mengupas tiga Veda dan Vyahrti Mantra menjadi aksara A, U dan M itu adalah Prajapati yaitu Tuhan sebagai rajanya makhluk hidup. Yang dimaksud dengan ketiga Veda itu adalah Reg, Sama dan Yajur Veda. Dari penyatuan aksara, A, U dan M itulah bersenyawa menjadi aksara Omkara yang juga disebut Pranava Mantra.
Karena itu, Omkara itu juga disebut Vijaksara Mantra artinya biji aksara asal mulanya Mantra Veda. Kata Aksara dalam bahasa Sansekerta artinya yang kekal abadi. Ini berarti tujuan Tuhan menurunkan Aksara adalah untuk menyebarkan ajaran suci Tuhan yang kekal abadi itu.
Pura Besakih adalah media sakral untuk mencapai anugerah Tuhan berupa kehidupan yang bahagia Sekala dan Niskala. Dalam Vedanta Sutra I.1-4 ada dinyatakan bahwa untuk meraih anugrah Tuhan itu hanya dapat dilakukan berdasarkan tuntunan kitab suci Veda. Karena itu penempatan Balai Omkara simbol Vijaksara Mantra di kiri-kanan Candi Kurung atau Kori Agung Pura Penataran Agung Besakih sudah sangat sesuai dengan petunjuk ajaran suci Veda. Meskipun penempatan Balai Omkara itu tidak terlalu khusus, tetapi pada tempat yang sangat strategis.
Untuk memasuki Mandala kedua Penataran Agung Besakih harus melalui salah satu dari dua Candi Bentar yang mengapit Candi Kurung. Saat melalui salah satu dari pintu masuk tersebut pasti akan melihat salah satu dari Balai Omkara tersebut. Mengapa ada dua Balai Omkara yang mengapit Candi Kurung itu. Karena manusia dalam hidupnya ini tentu berharap senantiasa mendapatkan tuntunan Tuhan baik dalam kehidupan Sekala maupun dalam kehidupan Niskala. Pertimbangan untuk memperoleh kehidupan yang seimbang itulah nampaknya sebagai dasar pemikiran mengapa Balai Omkara itu didirikan kembar mengapit Candi Kurung tersebut.
Penempatan Balai Omkara pada tempat yang sangat strategis tetapi pada tempat yang sederhana itu patut menjadi renungan kita bersama. Hal ini bermaksud agar umat tidak terlalu sulit menjumpai Balai Omkara tersebut. Karena Omkara itu adalah simbol tersuci dalam ajaran Veda. Untuk itu umat jangan dipersulit untuk menjumpai simbol tersebut. Karena yang lebih sulit nantinya adalah bagaimana merealisasikan simbol suci itu dalam kehidupan sehari-hari.
Pengucapa Omkara Mantra itu sebagai doa untuk memperoleh tuntutan Tuhan agar dinamika Utpati, Stithi dan Pralina hidup manusia itu berjalan dengan sebaik-baiknya. Mereka lahir (Utpati) dengan selamat. Dalam menjalankan kehidupan (Stithi) pun juga dengan selamat. Kembali ke asal atau Pralina pun agar mereka dapat dengan selamat. Dalam Lontar di Bali disebut ”mati bener”. Itulah dambaan manusia yang lahir ke dunia ini.

Omkara juga dinyatakan sebagai sebutan Tuhan jiwa agung dari Bhur. Bhuwah dan Swah Loka. Memahami hal ini berarti manusia seharusnya menjaga perilakunya agar tidak berbuat yang dapat mencemari Tri Loka tersebut. Karena perbuatan yang buruk di Bhur Loka dapat merusa juga Bhuwah dan Swah Loka. Secara ilmu pengetahuan modern hal itu sudah dapat dibuktikan dengan ilmiah.
Penempatan Balai Omkara di Pura Besakih itu sebagai upaya untuk menggemakan suara suci Veda agar terserap dengan baik ke dalam lubuk hati setiap umat. Dengan terserapnya nilai-nilai suci Veda ke dalam lubuk hati setiap umat maka umat Hindu diharapkan dapat menyucikan hati nuraninya dari kabut kegelapan pengaruh Rajah Tamah yang negatif. Kalau Guna Rajah dan Tamah dapat dikuasai oleh Guna Satwam maka gema suara hati nurani pun akan dapat lebih mengendalikan perilaku.
Orang yang berperilaku sesuai dengan suara hati nuraninya yang suci itu akan dapat lebih mudah mencapai karunia Tuhan. Salah satu tujuan yang paling utama umat ke pura adalah untuk memperoleh karunia Tuhan. Karena itu sudah sangat tepatlah pendirian Balai Omkara di kiri dan kanan Candi Kurung di Pura Penataran Agung Besakih.
Aksara suci Omkara dalam Manawa Dharmasastra II.75 dinyatakan sebagai media meditasi disertai dengan melakukan Pranayama dan Tirtha Pawitra. Omkara juga dijadikan pengantar dalam mengucapkan Vyahrti Savitri Mantra. Di Bali lebih terkenal dengan Mantra Gayatri. Tri Sandhya setiap pagi yang diawali dengan Mantram Gaya Tri itu sebagai mantram pertama.
Mantra pertama Tri Sandya itu sesungguhnya terdiri atas tiga jenis mantram yaitu: Omkara Mantra, Vyahrti Mantra (Bhur, Bhuwah dan Swah) dan Tri Pada Mantram terdiri atas 24 kata. Tiga jenis mantram itulah yang populer dengan Gayatri Mantram. Inilah yang disebut Mantram Veda yang paling universal. Nampaknya itulah tujuan utama didirikannya Balai Omkara di Pura Penataran Agung Besakih.
* wiana
--------------------------------------------------------------
Balai Omkara Kembar di Besakih
Brahmana pranava
Kurya dadavante sa carvada
Sravatyani krtam puvam
Purastasca visiryati.
(Manawa Dharmasastra, II.74)
Maksudnya:
Hendaknya pengucapan pranava (aksara Om) dilakukan pada permulaan dan penutupan dalam mempelajari Veda. Kalau tidak didahului pengucapan Om maka pelajaran Veda itu akan tergelincir menyasar. Kalau tidak ditutup dengan Om maka pengetahuan Veda itu akan menghilang.
Di Mandala pertama dari Pura Penataran Agung Besakih terdapat dua pelinggih kembar yang disebut oleh masyarakat sebagai Balai Mundar-Mandir. Sesungguhnya pelinggih itu adalah Balai Omkara sebagai simbol sakral dari Aksara Omkara yang juga disebut Pranava Mantra. Pelinggih ini memang kelihatan sangat sederhana terletak di kiri-kanan Candi Kurung memasuki Mandala ketiga Penataran Agung di mana terdapat pelinggih Padma Tiga sebagai pelinggih yang paling utama di Pura Besakih.
Bangunan suci ini bertiang satu dengan atap yang sederhana. Omkara ini memang disebut Bijaksara yang artinya benih asal-usul dari semua Aksara. Mengapa simbol sakral yang menggambarkan kesucian Tuhan tidak ditempatkan di Mandala kedua dari Pura Penataran Agung Besakih ini.
Di Mandala kedua ini terdapat Pelinggih Padma Tiga, Balai Gajah atau Balai Pawedaan, Bale Panjang dengan 24 tiang, Meru Tumpang Sebelas dan Tumpang Sembilan, dst. Bentuk dan penempatan Balai Omkara yang sederhana ini saya yakin sudah mendapat pertimbangan mendalam daripada leluhur umat Hindu di Bali yang mendirikan Pura Besakih ini. Kemewahan bukan cara pendekatan yang harus dilakukan untuk mencapai pendekatan spiritual pada Tuhan. Justru dalam Markandeya Purana dinyatakan bahwa kesederhanaan adalah awal kebijaksanaan.
Balai Omkara di kiri-kanan Candi Kurung Mandala pertama Penataran Agung Besakih ini adalah sebagai simbol Omkara sebagai suatu cara pendekatan mencapai pencerahan rohani pada Tuhan yang diajarkan oleh Veda. Di Mandala pertama ini dilukiskan dengan simbol sakral bagaimana konsep untuk mencapai pendekatan diri pada Tuhan dengan simbol Omkara itu.

Di kiri-kanan tangga Candi Bentar menuju Mandala Pertama Penataran Agung Besakih terdapat arca yang melukiskan tokoh-tokoh pelaku Ramayana dan Mahabharata. Menurut Vayu Purana I.201 dan juga Sarasamuscaya 39 menyatakan bahwa untuk mencapai kesempurnaan Veda hendaknya terlebih dahulu mendalami Itihasa dan Purana. Ini artinya arca di kiri-kanan menuju Candi Bentar Penataran Agung Besakih sebagai tonggak spiritual untuk mengingatkan umat Hindu agar senantiasa mendalami secara terus-menerus Itihasa dan Purana seperti Ramayana dan Mahabharata tersebut. Dengan demikian umat akan terus-menerus mendapatkan inspirasi untuk mengaplikasikan ajaran Veda dalam kehidupan sehari-hari dalam segala aspeknya.
Dari Candi Bentar ini kita memasuki Mandala Pertama dari Pura Penataran Agung Besakih. Kita akan ketemu tiga bangunan yaitu Balai Pegat yang diapit oleh dua Balai Kulkul Kembar. Di depan Balai Pegat ada di kiri dan di kanan areal Mandala Pertama ini balai kesenian yang disebut Balai Pelegongan dan Balai Pegambuhan. Bangunan-bangunan ini memiliki nilai yang sangat dalam dan mengacu pada ajaran suci Veda. Ada Balai Pegat yaitu balai berbentuk segi empat panjang bertiang delapan, dengan ruang dalamnya dibagi atas dua bagian terpisah.
Balai ini sebagai media untuk memercikan Tirtha pengelukatan sebagai sarana untuk memohon perlindungan Tuhan dari berbagai halangan dalam menuju jalan spiritual mencapai Omkara simbol Hyang Widhi Wasa itu. Balai Pegat ini dapat dijadikan sarana untuk bermeditasi memusatkan pikiran pada Omkara sebagai kesadaran rohani dengan memutuskan kesadaran duniawi. Karena itu namanya Balai Pegat. Kata Pegat artinya putus.
Balai Kulkul di kiri-kanan Balai Pegat ini juga sebagai simbol untuk mengembangkan rasa aman pada diri umat baik sebagai individu maupun dalam kehidupan bersama. Kulkul adalah simbol raksanam. Artinya sebagai sarana doa untuk memotivasi umat mendapatkan rasa aman. Dalam Manawa Dharmasastra I.89 ada dinyatakan beberapa kewajiban para ksatria atau pemerintah, di antaranya ada dinyatakan bahwa menciptaan Raksanam dan Danam.
Maksudnya mengupayakan adanya suasana hidup yang mampu memberikan rasa aman (raksanam) dan sejahtera (danam) pada masyarakat. Jadi fungsi kulkul itu bukan dibunyikan untuk membuat kerusuhan. Dengan kata lain adanya kulkul kembar yang mengapit Balai Pegat itu sebagai media untuk memberikan inspirasi kepada umat untuk membangun suasana aman. Suasana aman itu meliputi aman secara duniawi dan aman secara rokhani. Karena itu kulkul-nya dibuat kembar.
Di depan Balai Kulkul kembar itu ada Balai Kesenian yang disebut Balai Pelegongan dan Balai Pegambuhan. Ini juga mengandung makna bahwa untuk mencapai kesucian Hyang Widhi dengan jalan Veda hendaknya melalui proses yang indah atau Sundaram. Mantra Veda itu sebagai sumber kebenaran dan kesucian atau Satyam dan Siwam harus diwujudkan menjadi keharmonisan atau Sundaram.
Dengan kata lain keharmonisan akan dapat memberi kontribusi positif pada kehidupan bersama apabila keharmonisan itu sebagai perwujudan Satyam dan Siwam. Kalau ada keharmonisan yang diwujudkan dengan pelaksanaan kekuasaan yang ketat dan keras dan tidak demokratis, keharmonisan itu adalah suatu stabilitas hidup yang palsu. Karena keharmonisan itu dengan menekan kemerdekaan rakyat untuk berkreasi.
Berbagai wujud bangunan suci di Mandala pertama Penataran Agung Besakih sebagai visualisasi ajaran suci Veda untuk menuntun umat dalam melakukan bakti pada Tuhan. Dari arca Ramayana dan Mahabharata amat sesuai dengan ajaran Vayu Purana dan Sarasamuscaya. Demikian juga tentang adanya Balai Pegat sebagai visualisasi intisari dari ajaran Yoga yang mengajarkan tentang pemusatan pikiran (Dhyana) pada Tuhan Siwa.
Demikian juga tentang adanya balai kesenian sebagai visualisasi bahwa untuk mencapai kesucian dan kebenaran Tuhan haruslah dengan cara yang indah atau seni. Bukan dengan cara-cara kekerasan. Dengan tahapan itulah umat manusia baru bisa berkonsentrasi pada Tuhan yang disimbolkan dengan Omkara.
* I Ketut Gobyah