PIODALAN: Piodalan dilaksanakan, setelah sebuah pura dianggap lahir atau ada ketika sudah dilakukan upacara Ngenteg Linggih. (dok)
DENPASAR, BALI EXPRESS-Selain menjadi tempat merayakan hari besar keagamaan, seperti Galungan, Kuningan hingga Nyepi, pura yang ada di Bali juga memiliki hari rayanya sendiri, disebut dengan piodalan, yang identik sebagai 'hari lahirnya' pura tersebut.
Menurut Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, selain sebagai ungkapan rasa terima kasih umat kepada Ida Sang Hyang Widi atas segala anugerah yang diberikannya, piodalan secara etimologi, dapat diartikan sebagai hari lahir atau peringatan kelahiran sebuah pura.
“Sesuai dengan beberapa sastra disebutkan, sebuah pura dianggap lahir atau ada ketika sudah dilakukan upacara Ngenteg Linggih,” jelasnya.
Pada saat dilakukannya upacara Ngenteg Linggih inilah Ida Betara diyakini sudah mulai malinggih atau berstana di pura atau Pameranjan atu Palinggih tersebut.
Jika dilihat dari beberapa litertur yang ada, lanjut Ida Rsi, dapat dijelaskan saat dilakukan prosesi Ngenteg Linggih tersebut, pura diberikan kekuatan atau tenaga kehidupan atau prana oleh Ida Sang Hyang Widhi.
Bila melihat tata cara dan pelaksanaan Piodalan di Bali pada masa lalu, Ida Rsi menyebutkan, dapat ditemui beberapa macam bentuk pelaksanaan piodalan. Seperti Piodalan Biasa, Piodalan Nadi serta Piodalan Nyepen.
CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
Jenis-jenis piodalan tersebut, lanjutnya, ada beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya pelaksanaan piodalan di Bali pada masa lalu. Salah satunya pola hidup agraris, dimana faktor-faktor pelaksanaan piodalan di Bali tidak terlepas dari pola musim. Seperti musim tanam dan musim pane.
Ketika piodalan jatuh bertepatan pada musim tanam, maka piodalan akan diselenggarakan dengan cara yang lebih sederhana. Ini karena konsentrasi masyarakat saat musim ini masih terfokus pada aktivitas menanam padi di sawah.
Namun, jika piodalan jatuh pada musim panen, dimana pada musim ini konsentrasi masyarakat di sawah sudah selesai dan masyarakat Bali memiliki hasil panen yang melimpah, maka ketika piodalan yang jatuh pada musim ini, penyelenggaraannya dibuat lebih meriah.
“Apalagi jika piodalan bertepatan dengan bulan purnama, maka piodalan akan dibuat lebih meriah lagi, bahkan sampai menyelenggarakan acara hiburan,” ungkapnya.
Lantas bagaimana dengan Piodalan Nyepen? Ida Rsi menyebutkan, pelaksanaan Piodalan Nyepen atau yang juga dikenal dengan istilah Ngempet, berasal dari kata nyepi atau sepi. Ini biasanya dilakukan umat Hindu jika piodalan jatuh pada saat masyarakat menderita kekeringan atau musim paceklik.
(bx/gek/rin/JPR)
Jenis-jenis piodalan tersebut, lanjutnya, ada beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya pelaksanaan piodalan di Bali pada masa lalu. Salah satunya pola hidup agraris, dimana faktor-faktor pelaksanaan piodalan di Bali tidak terlepas dari pola musim. Seperti musim tanam dan musim pane.
Ketika piodalan jatuh bertepatan pada musim tanam, maka piodalan akan diselenggarakan dengan cara yang lebih sederhana. Ini karena konsentrasi masyarakat saat musim ini masih terfokus pada aktivitas menanam padi di sawah.
Namun, jika piodalan jatuh pada musim panen, dimana pada musim ini konsentrasi masyarakat di sawah sudah selesai dan masyarakat Bali memiliki hasil panen yang melimpah, maka ketika piodalan yang jatuh pada musim ini, penyelenggaraannya dibuat lebih meriah.
“Apalagi jika piodalan bertepatan dengan bulan purnama, maka piodalan akan dibuat lebih meriah lagi, bahkan sampai menyelenggarakan acara hiburan,” ungkapnya.
Lantas bagaimana dengan Piodalan Nyepen? Ida Rsi menyebutkan, pelaksanaan Piodalan Nyepen atau yang juga dikenal dengan istilah Ngempet, berasal dari kata nyepi atau sepi. Ini biasanya dilakukan umat Hindu jika piodalan jatuh pada saat masyarakat menderita kekeringan atau musim paceklik.
(bx/gek/rin/JPR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar