Kamis, 17 Desember 2020

Wujud Toleransi, Perang Topat Hindu-Muslim di Pura Lingsar






LINGSAR : Suasana Pura Lingsar di wilayah Batu Kumbung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Pamangku Pura Lingsar, Jero Mangku Gede Rai. (Putu Agus Adegrantika/Bali Express)


Share this




LOMBOK, BALI EXPRESS-Kerukunan umat beragama sangatlah perlu dirawat dan dijaga di Nusantara, karena sudah ada sejak dahulu.


Bahkan sampai saat ini, baik simbol, tradisi maupun budayanya masih ada, dan masing-masing daerah memiliki cara tertentu untuk menjaganya, seperti yang ada di Pura Lingsar di Nusa Tenggara Barat.


Cara Simple mendapatkan penghasilan harian dari trading forex klik disini



Pura Lingsar yang terletak di Batu Kumbung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, merupakan peninggalan Raja Karangasem Anak Agung Gede Ngurah pada tahun 1714 silam, jadi cerminan kerukunan antarumat beragama, khususnya di Lombok Barat. Kerukunan tersebut terjalin antara umat Hindu serta umat Islam Sasak Wetu Telu.


Pemangku Pura Lingsar, Jero Mangku Gede Rai yang ditemui pekan kemarin, mengatakan, yang biasanya datang ke Pura Lingsar adalah umat Hindu serta umat Islam Wetu Telu.

“Yang tangkil biasanya kesini adalah umat Hindu dari Bali yang melakukan tirta yatra. Tetapi disini juga ada suku Sasak yang beragama Islam namanya Islam Wetu Telu juga ikut bersembahyang,” jelasnya.

Dijelaskan Jero Mangku Gede Rai, panyungsung Pura Lingsar ini berasal dari tujuh banjar setempat, yakni Banjar Tragtag, Lingsar, Karang Baru, Ponikan, Pemangkalan, Motang, dan Karang Bayan. Dari ketujuh banjar ini pun ada yang dari Suku Sasak Islam Wetu Telu.

Dikatakan Jero Mangku Gede Rai, bahwa Islam Wetu Telu ini merupakan praktik unik sebagian masyarakat Suku Sasak. Khususnya yang mendiami Pulau Lombok dalam menjalankan Agama Islam yang hanya menjalankan tiga rukun Islam. Yaitu membaca dua kalimat syahadat, salat, dan puasa.

Cara Simple mendapatkan penghasilan harian dari trading forex klik disini 

“Mereka biasanya datang ke Pura Lingsar untuk bersembahyang. Cara persembahyangan mereka juga hampir sama dengan umat Hindu, hanya posisi tangannya tidak di atas, melainkan di posisi dada saja,” terangnya.

Dipaparkannya, Pura Lingsar terbangun atas konsep Tri Mandala, yakni Utama Mandala, Madya Mandala, serta Nista Mandala. Biasanya, Suku Sasak Islam Wetu Telu melakukan persembahyangan di Madya Mandala. Dimana di Madya Mandala Pura Lingsar ini terdapat palinggih.

“Disini biasanya mereka berbaur dengan umat Hindu juga. Biasanya kalau Islam Wetu Telu bersembahyang di sebelah kiri dan umat Hindu di sebelah kanan,” jelas Jero Mangku Gede Rai.

Sedangkan di Utama Mandala terdapat tiga palinggih, yaitu palinggih yang utama adalah Palinggih Bhatara Alit Sakti menjadi tempat untuk ngayeng (memuja) Ida Bhatara Alit Sakti yang berstana di Bukit Karangasem Bali.

“Saat pujawali atau piodalan Purnama Sasih kaenem, biasanya juga bersamaan dengan pujawali di Madya Mandala, Islam Wetu Telu juga melaksanakan pujawali,” ungkapnya.

Dijelaskannya, di Pura Lingsar ini terdapat enam orang pamangku, yang setiap harinya sebanyak tiga orang pamangku bertugas di pura. 

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Jero Mangku Gede Rai mengatakan, ada tradisi yang unik yang dilakukan di pura ini, yakni Perang Topat. Perang Topat adalah sebuah acara adat yang diadakan di Pura Lingsar yang merupakan simbol perdamaian antarumat Muslim dan Hindu di Lombok.

Acara ini dilakukan sore hari, setiap Bulan Purnama Ketujuh dalam penanggalan Suku Sasak. Sore hari yang merupakan puncak acara, dilakukan setelah Salat Ashar atau dalam Bahasa Sasak atau Rarak Kembang Waru yang berarti gugur bunga waru.Tanda itu dipakai oleh orang tua dahulu untuk mengetahui waktu Salat Ashar. 



Ribuan umat Hindu dan Muslim memenuhi Pura Lingsar. Dua umat beda kepercayaan ini menggelar prosesi upacara pujawali, sebagai ungkapan atas puji syukur limpahan berkah dari Sang Pencipta. Sedangkan perang yang dimaksud dilakukan dengan saling melempar ketupat di antara masyarakat Muslim dengan masyarakat Hindu.

“Ketupat yang telah digunakan untuk berperang seringkali diperebutkan. Karena dipercaya bisa membawa kesuburan bagi tanaman agar hasil panennya bisa maksimal. Kepercayaan ini sudah berlangsung ratusan tahun, dan masih terus dijalankan sampai saat ini,” tandasnya.

Tertarik berkunjung? Mencari Pura Lingsar tidaklah sulit. Sebab lokasinya masih dekat dengan Kota Mataram. Jika berangkat dari Kota Mataram, cukup menuju arah timur mencari Jalan Gora 2. Hanya menempuh perjalanan sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Mataram, maka akan sampai di Pura Lingsar. Tepatnya di depan SMA Negeri 1 Lingsar, dan terdapat pula papan nama Pura Lingsar.

(bx/ade/rin/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2020/12/16/230540/wujud-toleransi-perang-topat-hindu-muslim-di-pura-lingsar

Selasa, 15 Desember 2020

Dewata Nawa Sanga - Penguasa 9 Penjuru Mata Angin





Penguasa 9 Penjuru Mata Angin
Dewata Nawa Sanga tidak sama dengan Sang Hyang Widh. Dewa adalah perwujudan sinar suci dari Hyang Widhi (Tuhan) yang memberikan kekuatan suci untuk kesempurnaan hidup mahluk. Dewa berasal dari bahasa Sansekerta “div” yang artinya sinar. Dewa adalah perwujudan sinar suci dari Hyang Widhi (Tuhan) yang memberikan kekuatan suci untuk kesempurnaan hidup mahluk. Dewa berasal dari bahasa Sansekerta “div” yang artinya sinar. Istilah Deva sebagai mahluk Tuhan adalah karena Deva dijadikan ( dicipta-kan ) sebagaimana dukemukakan di dalam kitab Reg Veda X. 129.6. Dengan diciptakan ini berarti Deva bukan Tuhan melainkan sebagai semua mahluk Tuhan yang lainnya pula, diciptakan untuk maksud tujuan tertentu yang mempunyai sifat hidup dan mempunyai sifat kerja ( karma ) .

- JUAL ES KRIM PERNIKAHAN KLIK DISINI

Disamping pengertian di atas, dalam Reg Veda VIII.57.2, dijelaskan pula tentang banyaknya jumlah Deva yaitu sebanyak 33 yang terdapat di tiga ( 3 ) alam ( mandala ) . Ketigapuluh tiga Deva tersebut terdiri dari 8 Vasu ( Basu ), 11 Rudra, 12 Aditya, Indra dan Prajapati.
lebih lengkapnya silahkan baca: Dewa dan Bhatara (Betara)


Berikut ini adalah nama dan makna menurut Upanishad Brihadaranyaka dan itihasa Mahabharata, Kedelapan Vasu tersebut adalah:

Agni ( Dewa api - "Panas api" ), atau Anala (juga disebut Agni) yang bermakna "Hidup"
Prthivi ( Dewa tanah - "Bumi" ), atau Dhara yang bermakna "Dukungan"
Vayu ( Dewa angin - "Angin" ), atau Anila yang bermakna "Angin"
Dyaus ( Dewa langit - "Langit" ), atau Prabhasa yang bermakna "Bersinar fajar"
Aditya ( Dewa matahari - "Abadi", nama yang sangat umum untuk matahari adalah Surya ), atau Pratyūsha yang bermakna "Pra-fajar", yaitu senja pagi, tetapi sering digunakan hanya berarti "cahaya"
Savitra ( Dewa antariksa - "Ruang" ), atau Ha yang bermakna "Meresapi"
Chandramas ( dewa bulan - "Bulan" ), atau Soma yang bermakna "Soma-tanaman", dan nama yang sangat umum untuk bulan
Nakstrani ( Dewa bintang - "Bintang" ), atau Dhruva yang bermakna "Bergerak", nama Polestar
Rudra sebagai salah satu aspek Deva-deva, merupakan unsur hidup dan kehidupan yang disebut sebagai Rudra prana. Kesebelas Rudras yang mengatur alam semesta (buana agung dan buana alit), diantaranya Kapali, pingala, Bima, Virupaksha, Vilohita, Shasta, Ajapada, Abhirbudhnya, Shambu, Chanda, dan Bhava.

Kapali menunjukkan tulang (dinyatakan dalam istilah feminin) atau cangkir / mangkuk yang digunakan untuk menyimpan makanan. Dengan kata lain bisa disebut sebagai kepala perempuan atau penyedia perempuan. Ini menunjukkan kekuatan Rudra tertanam jauh di dalam Amba.
Pingala menunjukkan api coklat kemerahan. Ini adalah api yang dimulai di Amba bawah pengaruh Purusha
Bima menunjukkan kekuatan, kuat hebat dan luar biasa. Ini adalah gaya Prana (Angkatan Kuat atau gluon dalam istilah modern) yang terbentuk api di Amba,
Virupa-aksha menunjukkan multi-lipat, multi-warna mata. Ini adalah Aksi / Caksu kekuatan ( tenaga lapangan) yang berasal dari Amba,
Vilohita menunjukkan kekuatan merah tua. Merah menunjukkan jarak jauh. Ini adalah Higgs kekuatan-bidang yang memiliki jangkauan panjang dengan intensitas rendah (Higgs lapangan)
Abhirbudnya menunjukkan sesuatu yang di kedalaman atau jauh di dalam inti. Ini adalah Getaran yang menyebabkan senar terbentuk pada Amba bergetar seperti partikel Core (Baryon),
Shasta menunjukkan untuk menahan, mengendalikan, perintah atau perintah. Ini adalah getaran yang menyebabkan senar terbentuk pada Amba terlihat seperti partikel tersembunyi, yang merupakan 'Mana' Partikel (meson)
Ajapada menunjukkan kambing berkaki. Ini adalah getaran yang menyebabkan senar terbentuk pada Amba untuk menjauh dan membentuk partikel Satelit (lepton) dengan Getaran yang berbeda. Ini adalah kekuatan yang membawa dalam Apana (mengusir kekuatan atau Angkatan Lemahnya boson W dan Z) dan memulai proses dari Peluruhan Radio-aktif yang tidak lain adalah kematian. Hal ini disebut sebagai kambing berkaki dengan kekuatan atom bisa dibentuk dengan penta / struktur heksagonal. (Orbit elips beberapa partikel satelit sekitar partikel inti membentuk struktur kaki berbentuk kambing)
Bhava menunjukkan datang ke keberadaan atau kelahiran. Ini adalah getaran yang menyebabkan ziznam.
Chanda menunjukkan memikat atau mengundang. Ini adalah getaran yang menyebabkan Reta yang berarti aliran bergerak atau mengalir.
Shambu menunjukkan mempertemukan atau bertemu atau bergabung. Ini adalah getaran yang menyatukan ziznam, reta dan Apa dan menyediakan platform untuk hidup.
Semua makhluk biologis memiliki dimensi kesembilan, kesepuluh dan kesebelas, di alam semesta Ruang. Medan gaya yang hadir di ruang mana-mana (yang berasal dari Amba) mendorong proses penciptaan protein, medium asam dan basa menengah yang memulai proses kehidupan biologis. Bidang ini berlaku dapat dipahami sebagai mewujudkan sebagai kondisi lingkungan untuk evolusi kehidupan biologis (untuk misalnya, suhu air dll) di seluruh alam semesta untuk membuat protein, asam dan basa.




Dewa Astadikapala
Adapun Deva -deva yang lainnya yaitu Aditya dilambangkan sebagai hukum tertinggi, sebagai pengatur alam semesta di bawah kekuasaan Tuhan. Selain sifat – sifat Deva dia atas dalam Reg Veda X.36.14 , dijelaskan pula bahwa fungsi Deva adalah sebagai Dikpala, yaitu penguasa atas penjuru mata angin ( arah ) .

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dasar pemikiran ini bersumber pada pengertian bahwa Tuhan Maha Ada, sebagai hakekat yang memenuhi ruang dan waktu. Atas dasar pola pemikiran di atas timbul pula konsep – konsep baru tentang hubungan Deva-deva dengan penjuru arah mata angin dan membaginya menjadi sembilan sesuai dengan arah mata angin yang biasa. Namun menjadi sebelas dimasukkan zenit dan nadir . Kesembilan arah mata angin tersebut secara rinci diuraikan dalam pembahasan berikut.


Dewa juga ciptaan Tuhan yang berfungsi untuk mengendalikan alam semesta. Dewa-dewa dihubungkan dengan aspek-aspek tertentu dan khusus dari phenomena yang ada di alam semesta ini. Setiap aspek dikuasai oleh satu Dewa tertentu dengan ciri-ciri dan lambang yang khusus.


Masing-masing Dewa memiliki sakti yang tidak terpisahkan darinya, seperti halnya suami istri, karena Dewa tidak dapat melakukan tugas sesuai fungsinya apabila tidak dengan saktinya. Sehingga jika Dewa diwujudkan dalam bentuk laki-laki, maka saktinya diwujudkan dalam bentuk wanita, maka dengan perpaduan Dewa (Purusa) dan Sakti (Pradana) tugasnya dapat dilakukan sesuai fungsinya.


Dalam Hinduism, sebagai sinar suci atau manifestasi Tuhan yang menguasai, menjaga alam semesta, Dewa juga dilengkapi dengan senjata, kendaraan dan juga diwujudkan dalam bentuk simbol atau aksara.


Misalnya Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Tri Murti yaitu :

Dewa Brahma dengan saktinya Dewi Saraswati, kendaraannya Angsa, senjatanya Danda/Gada dengan aksara suci “Ang”
Dewa Wisnu dengan saktinya Dewi Sri (Laksmi), kendaraannya burung Garuda, senjatanya Cakra dengan aksara suci “Ung”
Dewa Siwa dengan saktinya Dewi Durga (Uma), kendaraannya Lembu, senjatanya Padma dengan aksara suci “Mang”
Semua perwujudan Dewa dan Saktinya diwujudkan berbeda-beda tergantung dari penggambaran umat Hindu terhadap beliau. Misalnya wujud Dewa dan Saktinya di India dan di Bali sangatlah berbeda, namun fungsinya sama.

Semua sakti-sakti para Dewa itu digambarkan memiliki paras yang cantik, namun Dewi Uma yang cantik apabila dalam tugasnya sebagai Dewi Maut (Durga) memiliki wajah yang sering digambarkan dalam wujud Rangda oleh masyarakat Bali.
Dewa Brahma berwujudkan sebagai Maha Rsi yang tua karena usia beliau melebihi alam semesta, dikarenakan Dewa Brahma-lah yang bertugas menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini, beliau juga diwujudkan dalam bentuk berwajah empat (Catur Muka).
Dewa Wisnu berwujudkan sebagai Dewa yang berparas paling elok, beliau juga diwujudkan dalam bentuk berkepala tiga (Tri Sirah).
Dewa Siwa berwujudkan seorang Pertapa, karena beliaulah yang menguasai hidup manusia sehingga beliaulah yang akan meleburnya kembali, beliau juga diwujudkan bertangan empat (Catur Buja).
Dari perwujudan sesuai gambaran umatnya inilah dibuatkan patung (arca).


Dalam ajaran Hindu, jumlah Dewa adalah banyak sekali sesuai setiap fungsi yang ada dalam alam semesta ini. Diibaratkan Sang Hyang Widhi adalah Matahari, maka Dewa adalah sinar matahari yang jumlahnya tak terhingga. Matahari dikatakan panas, namun sinar nyalah yang menyentuh kita secara langsung.


Demikian juga dengan Sang Hyang Widhi, Dewa sebagai sinar sucinya lah yang menghubungkan kita langsung denganNya. Mungkin dalam agama lain disebutkan Dewa itu sebagai Malaikat.

Dalam ajaran Hindu ada sebutan Tri Murti, Panca Dewata/Panca Brahma, Dewata Nawa Sanga, Asta Dewata, Panca Korsika dan lainnya. Panca Dewata adalah manifestasi Sang Hyang Widhi sebagai penjaga segala penjuru mata angin yaitu :

Sadyojata (Iswara) di Timur dengan aksara suci “Sa”
Bamadewa (Brahma) di Selatan dengan aksara suci “Ba”
Tat Purusa (Maha Dewa) di Barat dengan aksara suci “Ta”
Aghora (Wisnu) di Utara dengan aksara suci “A”
Isana (Siwa) di Tengah dengan aksara suci “I”
Panca Dewata disebut juga dengan Panca Brahma, sehingga kelima aksara suci “Sa Ba Ta A I” disebut “Panca Brahma Wijaksara”.


Disamping itu ada juga lima manifestasi Hyang Widhi lainnya yaitu :

Maheswara di Tenggara dengan aksara suci “Na”
Rudra/Ludra di Barat Daya dengan aksara suci “Ma"
Sangkara di Barat Laut dengan aksara suci “Si”
Sambu di Timur Laut dengan aksara suci “Wa”
Siwa di Tengah dengan aksara suci “Ya”
Kelima aksara suci “Na Ma Si Wa Ya” disebut dengan Panca Aksara.


Namun dalam ajaran agama Budha Mahayana, Panca Dewata (Panca Brahma) disebut dengan “Panca Tatagata” yaitu:

Aksobhya di Timur dengan aksara suci “Ah”
Ratnasambhawa di Selatan dengan aksara suci “Ung”
Amitaba di Barat dengan aksara suci “Trang”
Amogasidhi di Utara dengan aksara suci “Hrih”
Wairocana di Tengah dengan aksara suci “Ang”
Sehingga kelima aksara “Ah Ung Trang Hrih Ang” disebut dengan Panca Wijaksara Tatagata sedangkan Panca Aksara Budha nya “Na Ma Bu Da Ya”.


Apabila dalam Panca Aksara dan Panca Brahma Wijaksara digabungkan menjadi Dasa Aksara “Sa Ba Ta A I Na Ma Si Wa Ya”, jika ditambahkan dengan aksara “Om” maka disebut “Eka Dasa Aksara”.


Dewata Nawa Sanga sering disebut juga dengan “Loka Pala”.




Asta Dewata adalah delapan manifestasi sifat Hyang Widhi sebagai penguasa yaitu :

Indra menguasai Hujan
Baruna menguasai Lautan
Yama menguasai Arwah Manusia
Kuwera menguasai Kekayaan Alam
Bayu menguasai Angin
Agni menguasai Api
Surya menguasai Matahari
Candra menguasai Bulan
Beberapa sebutan lain manifestasi Sang Hyang Widhi di penjuru mata angin adalah Panca Korsika, yaitu:

Sang Hyang Korsika di Timur
Sang Hyang Garga di Selatan
Sang Hyang Mentri di Barat
Sang Hyang Kurusya di Utara
Sang Hyang Prutanjala di Tengah

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dewata Nawasanga adalah sembilan dewa atau manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menjaga atau menguasai sembilan penjuru mata angin. Sembilan dewa itu adalah Dewa Wisnu, Sambhu, Iswara, Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, dan Siwa.



Ersanya / Timur Laut
Urip : 6.

Dewa : Sambhu.
Sakti : Maha Dewi.
Senjata : Trisula.
Warna : Biru.
Aksara : Wa.
Bhuwana Alit : Ineban.
Tunggangannya : Wilmana.
Bhuta : Pelung.
Tastra : Pa dan Ja.
Sabda : Mang mang.
Wuku : Kulantir, Kuningan, Medangkungan, Kelawu.
Caturwara : Sri.
Sadwara : Urukung.
Saptawara : Sukra.
Astawara : Sri.
Sangawara : Tulus.
Dasawara : Sri.
Dewa Sambhu merupakan penguasa arah timur laut (Ersanya), bersenjata Trisula, wahananya (kendaraan) Wilmana, shaktinya Dewi Mahadewi, aksara sucinya "Wa", di Bali beliau dipuja di Pura Besakih terletak di Kabupaten Karangasem.
Banten : Dewata-dewati, Sesayut Telik Jati, Tirta Sunia Merta.
Mantra : Ong trisula yantu namo tasme nara yawe namo namah, ersanya desa raksa baya kala raja astra, jayeng satru, Ong kalo byo namah.

Purwa / Timur
Urip : 5.

Dewa : Iswara.
Sakti : Uma Dewi.
Senjata : Bajra.
Warna : Putih.
Aksara : Sa (Sadyojata)
Bhuwana Alit : Pepusuh.
Tunggangannya : Gajah.
Bhuta : Jangkitan.
Tastra : A dan Na.
Sabda : Ngong ngong.
Wuku : Taulu, Langkir, Matal, Dukut.
Dwiwara : Menga.
Pancawara : Umanis.
Sadwara : Aryang.
Saptawara : Redite.
Astawara : Indra.
Sangawara : Dangu.
Dasawara : Pandita.
Dewa Iswara merupakan penguasa arah timur (Purwa), bersenjata Bajra, wahananya (kendaraan) gajah, shaktinya Dewi Uma, aksara sucinya "Sa", di Bali beliau dipuja di Pura Lempuyang.
Banten : Penyeneng, Sesayut Puja Kerti.
Mantra : Ong bajra yantuname tasme tikna rayawe namo namah purwa desa, raksana ya kala rajastra sarwa, satya kala byoh namah namo swaha.



Genya / Tenggara
Urip : 8.

Dewa : Mahesora / Maheswara.
Sakti : Laksmi Dewa.
Senjata : Dupa.
Warna : Dadu/Merah Muda.
Aksara : Na.
Bhuwana Alit ; Peparu.
Tunggangannya : Macan.
Bhuta : Dadu.
Tastra : Ca dan Ra.
Sabda : Bang bang.
Wuku : Uye, Gumbreg, Medangsia, Watugunung.
Caturwara : Mandala.
Sadwara : Paniron.
Saptawara : Wraspati.
Astawara : Guru.
Sangawara : Jangu.
Dasawara : Raja.
Dewa Maheswara merupakan penguasa arah tenggara (Gneyan), bersenjata Dupa, wahananya (kendaraan) macan, shaktinya Dewi Lakshmi, aksara sucinya "Na", di Bali beliau dipuja di Pura Goa Lawah terletak di Kabupaten Klungkung
Banten : Canang, sesayut Sida Karya, Tirta Pemarisuda.
Mantra : Ong dupa yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, genian dasa raksa raksa baya kala rajastra, jayeng satru kala byoh namo namah.



Daksina / Selatan
Urip : 9.

Dewa : Brahma.
Sakti: Saraswati Dewi.
Senjata : Gada / Danda.
Warna : Merah.
Aksara : Ba (Bamadewa).
Bhuwana Alit : Hati.
Tunggangannya : Angsa.
Bhuta : Langkir.
Tastra : Ka dan Da.
Sabda : Ang ang.
Wuku : Wariga, Pujut, Menail.
Triwara : Pasah.
Pancawara : Paing.
Sadwara : Was.
Saptawara : Saniscara.
Astawara : Yama.
Sangawara : Gigis.
Dasawara : Desa.
Dewa Brahma merupakan penguasa arah selatan (Daksina), bersenjata Gada, wahananya (kendaraan) angsa, shaktinya Dewi Saraswati, aksara sucinya "Ba", di Bali beliau dipuja di Pura Andakasa terletak di Kabupaten Karangasem.
Banten : Daksina, Sesayut Candra Geni, Tirta Kamandalu.
Mantra : Ong danda yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, daksina desa raksa baya, kala rajastra jayeng satru, Ong kala byoh nama swaha.



Noritya / Barat Daya
Urip : 3.

Dewa : Rudra.
Sakti : Santani Dewi.
Senjata : Moksala.
Warna : Jingga.
Aksara : Ma.
Bhuwana Alit : Usus.
Tunggangannya : Kebo.
Bhuta : Jingga.
Tastra : Ta Dan Sa.
Sabda : Ngi ngi.
Wuku : Warigadian, Pahang, Prangbakat.
Caturwara : Laba.
Sadwara : Maulu.
Saptawara : Anggara.
Astawara : Ludra.
Sangawara : Nohan.
Dasawara : Manusa.
Dewa Rudra merupakan penguasa arah barat daya (Nairiti), bersenjata Moksala, wahananya (kendaraan) kerbau, shaktinya Dewi Samodhi/Santani, aksara sucinya "Ma", di Bali beliau dipuja di Pura Uluwatu terletak di Kabupaten Badung.
Banten : Dengen dengen, Sesayut Sida Lungguh, Tirta Merta Kala, Tempa pada Usus.
Mantra : Ong moksala yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, noritya desanya raksa baya kala rajastra, jayeng satru Ong kala byoh nama swaha.


Pascima / Barat
Urip : 7.

Dewa : Mahadewa.
Sakti : Saci Dewi.
Senjata : Nagapasa.
Warna : Kuning.
Aksara : Ta (Tat Purusa).
Bhuwana Alit : Ungsilan.
Tunggangannya : Naga.
Bhuta : Lembu Kanya.
Tastra : Wa dan La.
Sabda : Ring ring.
Wuku : Sinta, Julungwangi, Krulut, Bala.
Triwara : Kajeng.
Pancawara : Pon.
Sadwara : Tungleh.
Saptawara : Buda.
Astawara : Brahma.
Sangawara : Ogan.
Dasawara : Pati.
Dewa Mahadewa merupakan penguasa arah barat (Pascima), bersenjata Nagapasa, wahananya (kendaraan) Naga, shaktinya Dewi Sanci, aksara sucinya "Ta", di Bali beliau dipuja di Pura Batukaru terletak di Kabupaten Tabanan.
Banten : Danan, Sesayut tirta merta sari, Tirta Kundalini.
Mantra : Ong Naga pasa yantu namo tasme tiksena nara yawe namo, pascima desa raksa bala kala rajastra, jayeng satru, Ong kala byoh namo namah swaha.



Wayabya / Barat Laut
Urip : 1.

Dewa : Sangkara.
Sakti : Rodri Dewi.
Senjata : Angkus /Duaja.
Warna : Wilis / Hijau.
Aksara : Si.
Bhuwana Alit : Limpa.
Tunggangannya : Singa.
Bhuta : Gadang/Hijau.
Tastra : Ma dan Ga.
Sabda : Eng eng.
Wuku : Landep, Sungsang, Merakih, Ugu.
Ekawara : Luang.
Caturwara : Jaya.
Astawara : Kala.
Sangawara : Erangan.
Dasawara : Raksasa.
Dewa Sangkara merupakan penguasa arah barat laut (Wayabhya), bersenjata Angkus/Duaja, wahananya (kendaraan) singa, shaktinya Dewi Rodri, aksara sucinya "Si", di Bali beliau dipuja di Pura Puncak Mangu terletak di Kabupaten Badung.
Banten : Caru, Sesayut candi kesuma, Tirta Mahaning.
Mantra : Ong duaja yantu namo tiksena nara yawe namo, waybya desa raksa baya kala rajastra, jayeng satru, Ong kalo byoh namo namah swaha.



Uttara / Utara
Urip : 4.

Dewa : Wisnu.
Sakti : Sri Dewi.
Senjata : Cakra.
Warna : Ireng / Hitam.
Aksara : A (Aghora).
Bhuwana Alit : Ampru.
Tunggangannya : Garuda.
Bhuta : Taruna.
Tastra : Ba dan Nga.
Sabda : Ung.
Wuku : Ukir, Dungulan, Tambir, Wayang.
Dwiwara : Pepet.
Triwara : Beteng.
Pancawara : Wage.
Saptawara : Soma.
Astawara : Uma.
Sangawara : Urungan.
Dasawara : Duka.
Dewa Wisnu merupakan penguasa arah utara (Uttara), bersenjata Chakra Sudarshana, wahananya (kendaraan) Garuda, shaktinya Dewi Sri, aksara sucinya "A", di Bali beliau dipuja di Pura Ulundanu terletak di Kabupaten Bangli.
Banten : Peras, Sesayut ratu agung ring nyali, Tirta Pawitra.
Mantra : Ong cakra yantu namo tasme tiksena ra yawe namo namah utara desa raksa baya, kala raja astra jayeng satru, Ong kala byoh namo namah swaha.
BACA JUGA
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan


Madya / Tengah
Urip : 8.

Dewa : Siwa.
Sakti : Uma Dewi (Parwati).
Senjata : Padma.
Warna : Panca Warna brumbun.
Aksara : I (Isana) dan Ya.
Bhuwana Alit : Tumpuking Hati.
Tunggangannya : Lembu.
Bhuta : Tiga Sakti.
Tastra : Ya dan Nya.
Sabda : Ong.
Saptawara : Kliwon.
Sangawara : Dadi.
Dewa Siwa merupakan penguasa arah tengah (Madhya), bersenjata Padma, wahananya (kendaraan) Lembu Nandini,senjata Padma shaktinya Dewi Durga (Parwati), aksara sucinya "I" dan "Ya", di Bali beliau dipuja di Pura Besakih terletak di Kabupaten Karangasem.
Banten : Suci, Sesayut Darmawika, Tirta Siwa Merta, Sunia Merta, Maha Merta.
Mantra : Ong padma yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, madya desa raksa baya, kala rajastra jayeng satru kala byoh namo swaha.


Hal ini didukung oleh beberapa data tambahan yang diambil dari 2 sumber yaitu :


Geguritan Gunatama
Dalam geguritan Gunatama diceritakan bahwa I Guna Tama pergi kepada pamannya Ki Dukuh untuk meminta ilmu pengetahuan di Gunung Kusuma . Hal pertama yang oleh Ki Dukuh perintahkan kepada I Gunatama adalah agar ia belajar berkonsentrasi melalui pemahaman terhadap warna bunga. Hal itu dapat dilihat pada geguritan berikut :


Bunga petak maring purwa, kembang jingga gnewan sami, sekar abang ring daksina, ring pascima kembang jenar, mapupul maring wayabia, Bunga ireng ring utara, ersania birune sami, mancawarnane ring madia, punika tandur ring kayun, apang urip dadi mekar, to uningin, patute anggon padapa.


Geguritan tersebut berarti :
“ Bunga putih ditimur, bunga jingga gnewan semua, bunga merah di selatan, yang di barat bunga kuning, berkumpul di barat laut. Bunga hitam di utara, timur laut semuanya biru, panca warna di tengah, itulah ditanam di hati, supaya hidup berkembang, ketahuilah itu, kebenaran dipakai selimut “


Kidung Aji Kembang
Yang dilagukan dalam upacara Ngaben ( Ngereka ) :



Ring purwa tunjunge putih,
Hyang Iswara Dewatannya.
Ring papusuh prehania,
alinggih sira kalihan,
panteste kembange petak.
Ri tembe lamun numadi suka sugih tur rahayu dana punya stiti bakti

Ring geneyan tunjunge dadu,
Mahesora Dewatannya
Ring peparu prenahira.
Alinggih sira kalihan,
Pantesta kembange dadu,
Ri tembe lamun dumadi widagda sire ring niti, subageng sireng bhuwana

Ring daksina tunjunge merah,
Sang Hyang Brahma Dewatannya
Ring hati prenahira.
Alinggih sira kalihan Pantesta kemabang merah.
Ring tembe lamun dumadi Sampurna tur dirga yusa. Pradnyan maring tatwa aji

Ring Nriti tunjunge jingga.
Sang Hyang Rudra Dewatannya
Ring usus prenahira,
Alinggih sira kalihan.
Pantes te kembange jingga,
Ring tembe lamun numadi, Dharma sira tur susiila. Jana nuraga ring bhumi

Ring Pascima tunjunge jenar,
Mahadewa Dewatannya
Ring ungsilan prenahira,
Alinggih sire kalihan,
Pantesta kemabnge jenar,
Ring tembe lamun dumadi, Tur Sira Cura ring rana, prajurit, watek angaji

Ring wayabya tunjunge wilis,
Hyang Sangkara Dewatannya
Ring lima pranahira,
alinggih sira kalihan.
Pantesta kembang wilis.
Ring tembe lamun dumadi, Teleb tapa brata, gorawa satya ring bhudi

Ring utara tunjunge ireng.
Sang Hyang Wisnu Dewatannya
Ring ampu prenahira,
Alinggih sira kalihan.
Panteste kembange ireng,
Ring tembe lamun numadi, Suudira suci laksana, surupa lan sadu jati

Ring airsanya tunjunge biru .
Sang Hyang Sambu Dewatannya
Ring ineban prenahira,
Alinggih sira kalihan.
Panteste kembange biru ,
Ring tembe lamun numadi, Pari purna santa Dharma, sidha sidhi sihing warga

Tengah tunjunge mancawarna,
Sang Hyang Ciwa Dewatannya
Tumpukung hati prenahira,
Alinggih sira kalihan.
Panteste kembange mancawarna ,
Ring tembe lamun numadi, Geng prabhawa sulaksana, satya bratha tapa samadi

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, arti dari masing-masing geguritan di atas sama dengan diskripsi warna dalam Dewata Nawa Sanga, tambahan yang diberikan adalah adanya akibat dari penggunaan tunjung (teratai) dengan sembilan warna tersebut adalah sebagai berikut :

Penggunaan tunjung warna putih akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang kaya raya, dermawan dan sejahtera
Penggunaan tunjung warna dadu akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang kaya raya, dermawan dan sejahtera
Penggunaan tunjung warna merah akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang kaya raya, dermawan dan sejahtera
Penggunaan tunjung warna biru akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang sempurna , dan pintar (berilmu pengetahuan)
Penggunaan tunjung warna jingga akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang sabar serta menjalankan Dharma, susila,
Penggunaan tunjung warna hijau akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yangberani bertarung di medan laga, sebagai prajuurit sejati dengan watak yang sangat baik ( berpendidikan )
Penggunaan tunjung warna kuning akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang tekun mengerjakan tapa , brata, dan mempunyai budi yang luhur
Penggunaan tunjung warna hitam akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang berkelakuan baik, suci laksananya, tampan dan dan senantiasa menimbulkan kedamaian
Penggunaan tunjung panca warna akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang keseluruhan hidupnya diliputi oleh kebaikan, disayangi oleh setiap orang
Disamping hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa dari 8 warna dasar yang diberikan oleh Berlin dan Kay, dalam Agama Hindu terutama dalam Dewata Nawa Sanga terdiri dari dari empat warna dasar yaitu : merah, putih, kuning, dan hitam. Hal ini disebabkan karena warna hijau yang berada di barat laut ( barat dan utara ) merupakan perpaduan antara kuning dan hitam ; warna dadu yang berada di tenggara ( timur dan selata ) merupakan perpaduan antara putih dengan merah ; warna jingga yang berada di barat daya ( barat dan selatan ) merupakan perpaduan antara merah dengan kuning.






Fungsi dan Makna Warna dalam Dewata Nawa Sanga
Berdasarkan simbol simbol yang ada dalam Dewata Nawa Sanga, maka fuungsi dan makna warna dalam Dewata Nawa Sanga dalam Agama Hindu dapat dianalisis seperti dibawah ini :


1. Warna Hitam yang berada disebelah utara dengan Dewa Wisnu menurut budaya hindu berarti gunung, dengan fungsi sebagai pemelihara. Menurut makna MSA berarti arang, gelap, sedangkan makna universal memiliki makna : heightàgreatness, massà generousity, source of living, gelap, ketakutan, sial, kematian, penguburan, penghancuran, berkabung, anarkisma, kesedihan, suram, gawat (kesan buruk) dan (kesan baik) berarti : kesalehan, kealiman, kemurnian, kesucian, kesderhanaan India ; pemelihara kehidupan, limitless, immortal.


2. Warna Merah yang berada di Selatan dengan Dewa Brahma dengan pusaka Gada dan tanda api memiliki makna budaya laut, pencipta dan kekuatan, sedangkan menurut MSA berarti api dan darah. Makna universal yang terkandung dalam warna merah adalah : sumber dari segala sumber, berani, cinta , emosi , darah (rudhira), kehidupan, kebesaran, emosi, kemegahan, murah hati, cantik, hangat, berani, api, panas, bahaya, cinta (manusia à ß Tuhan), perang, sumber panas, benih dari kehidupan.

3. Warna Putih dengan Dewa Iswara yang bersenjata Bajra, berada di sebelah Timur, dan dengan tanda jantung mempunyai makna matahari, pelebur, dan sumber kebangkitan. Makna putih dari MSA berarti terang, salju, dan susu dan makna universal berarti penerangan, pahlawan , sorga, kebangkitan, centre of human body, cinta, kesetiaan, penyerahan diri, absolut, suci, murni, lugu, tidak berdosa, perawan, simbol persahabatan, damai, jujur, kebenaran, bijaksana, alat untuk mencapai surga, kekeuatan angin.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

4. Warna Kuning disebelah Barat dengan Dewa Mahadewa dengan senjata Nagasapah dan tanda lingkungan kabut memiliki makna budaya matahari terbenam, penjaga keseimbangan dan kekuasaan, sedangkan MSA berarti matahari. Makna universal dari warna kuning adalah end of journey, passive, (bad image) ; cemburu, iri, dengki, dendam,bohong, penakut, (good image) ; cahaya, kemuliaan, keagungan, kesucian, murah hati, bijaksana, penyatuan unsur udara + air dan tanah à evolutive process.


5. Warna Hijau yang berada di sebelah barat laut dengan Dewa Sangkara dan senjata angkus, dengan tanda lingkungan mendung memiliki makna budaya penyatuan matahari terbenam & laut, keseimbangan, kesempurnaan dalam MSA berarti tumbuh-tumbuhan, dan secara universal memiliki makna akhir dari segalanya, tumbuhan, kehidupan, kesuburan, vitalitas, muda, kelahiran kembali, harapan, kebebasan, dan simbol : kesuburan, kurir (messenger ), prophet
Makna warna Biru yang dalam Dewata Nawa Sanga berada di Timur Laut dengan Dewa Sambu bersenjata Trisula, dengan tanda lingkungan awan tebal memiliki makna budaya penyatuan matahari & laut, keseimbangan alam, penyatuan kebang-kitan, pemeliharaan dan pemusnahan ; kebebasan rohani. Dalam MSA biru berarti laut, langit, sedangkan makna universalnya adalah sumber dari segala sumber, senser, assosiated with the idea of birth and rebirth, sorga, langit, bangsawan, melankolis, jujur, cinta, setia, kebenaran, distincttion, excellence, kesedihan, dan makna asosiasi : hujan, banjir, kesedihan.


7. Warna Dadu yang dalam Dewata Nawa Sanga berada disebelah tenggara dengan dewa Mahesora bersenjata dupa dan tanda lingkungan rambu (awan tipis) memiliki makna budaya penyatuan antara gunung dan matahari, keseimbangan alam, pembunuh indria. Menurut MSA, warna dadu memiliki makna yang sama dengan makna asali dari warna putih dan merah. Makna universalnya adalah : kebangkitan, kesadaran, kesadaran, kehidupan, halus, anggun, megah, persahabatan, kedamaian, emosional, dan dingin.


8. Warna Jingga dengan Dewa Rudra bersenjata Moksala yang berada di sebelah Barat Daya dengan tanda lingkungan halilintar, memiliki makna budaya penyatuan matahari terbenam dan gunung, pembasmi, kedahsyatan, sumber kemurkaan. Sedangkan makna Jingga menurut MSA merupkan makna yang terkandung dalam warna merah dan kuning. Makna Universal warna kuning adalah darah, the concept of circulation, kematian, bahaya, kehidupan, hangat, dendam, murka, pengorbanan, penyerahan diri, active force, supreme creative power, illumination, penyerahan, dan pengorbanan.


9. Warna Brumbun yang merupakan campuran warna putih + kuning + hitam + merah yang berada di tengah dengan Dewa Ciwa bersenjata Padma dan tanda lingkungan topan memiliki makna budaya pusat, pemusnah dan dasar dari semua unsur, kesucian. Makna warna ini menurut MSA adalah makna asali dari warna putih, kuning, hitam dan merah, sedangkan makna universalnya adalah : moving from : multiplicityà unity, space à spacelessness, time à timelessness, a mean toward contemplation and concentration, kesucian, victory, denote the interco-munication between inferior and the supreme, 5 = health, love , controller, violent, evil power.


Demikian sekilas tentang dewata nawa sanga, mohon masukan dan kritikan atas tulisan diatas guna menyempurnakan tulisan ini. dan secara tidak langsung ini merupakan materi wajib di bali, sehingga Orang Bali WAJIB ketahui hal ini. terima kasih.

Sumber Artikel : Cakepane.blogspot.com
Sumber Foto : Pengastawa Istha Dewata Lan Samudaya

Jumat, 11 Desember 2020

Sastra Sebagai Alat Komunikasi







Filsafat secara umum dapat diartikan bahwa usaha manusia dengan menggunakan akal, untuk memperoleh pemahaman Jagat Raya dalam memenuhi suatu kepuasan dalam kebijaksanaan, sedangkan aksara adalah simbol (lambang) sebagai alat komunikasi.

Komunikasi menggunakan bahasa akan mengandung unsur simbolik dan emotif, dalam komunikasi ilmiah sebenarnya proses komunikasi itu harus terbebas dari unsur emotif ini, agar pesan yang disampaikan bisa diterima secara reprodukdif, artinya identik dengan pesan yang dikirim.

Umpamanya jika dalam sebuah komunikasi ilmiah kita mempergunakan akal seperti “epistemology” atau “oftimal” maka kita harus menjelaskan lebih lanjut apa yang kita maksudkan dengan kata-kata itu. Hal ini harus kita lakukan untuk mencegah si penerima komunikasi memberi makna lain yang berbeda dengan makna yang dimaksudkan. Tentu saja kata-kata (simbol) yang sudah jelas dan kecil kemungkinannya untuk disalah artikan dan tidak lagi membutuhkan penjelasan lebih lanjut. (Jujun, 2002:175,181).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI 

Nama Rudra sering diartikan sama dengan Siwa, sehingga untuk menggambarkan siwa sebagaimana halnya dengan Rudra dihubungkan dengan sebelas aksara sebagai bentuk lingga Atma, menurut Jnana Sidharta: Sing, Tang, Mang, Bang, Ang, Wang, Nang, Ang, Ung, Mang dan Ong.




Selanjutnya dalam Rg.Weda X.36.14. menyebutkan:

“Sawita Pascatat Sawita Purastat, Sawitottarattat Saidharattat Sawita Nah Suwatu, Sarwatatim Sawita No Rasa Tam Dirgha Ayuh”

Artinya:


Dewa dari arah Barat, Dewa dari arah timur, Dewa dari arah Utara, Dewa dari arah Selatan. Semoga ia melimpahkan rahmatNya kepada kita dengan umur panjang.(Pudja, 1984:31-33).




Untuk jelasnya penulisan kini menguraikan kejadian aksara vokal (suara) dan konsonan (wyanjana) serta menggolongkan terbagi tiga jenis, yaitu:


Wreastra, yang digunakan untuk menunulis Bahasa Bali lumrah, misalnya urak, pipil, pengeling-eling dan sejenisnya,
Swalalita, aksara untuk menuliskan Bahasa Kawi dan lainnya lagi,
Modre, adalah aksara bagian kedyatmikan misalnya: Japa-mantra, perlambang (simbol) dalam keagaman, upacara dan yang berhubungan dengan dunia kegaiban, do’a-do’a dan pengobatan.



Terakhir adalah aksara suci ini adalah aksara mati karena banyak dengan busana (taleng, tedong, surang, gantungan, dan gempelan). Untuk membacanya menggunakan Krakah/Griguh (Kaler,1982: iii-iv).

Pesamuan Agung Bahasa Bali tahun 1957 (dengan hasilnya) sebagai berikut:


Vokal 6 buah, yaitu: a, i, u, e, o, e. Lambang e taling tidak memakai corek atau tanda diakritik. Tanda deakritik dapat dipakai hanya pada permulaan belajar membaca atau dalam perkamusan.
Konsonan 18 buah, yaitu: h, n, c, r, k, g, t, m, ng, b, s, w, l, p, d, y, ny.



Perlu kami ingatkan bahwa dalam penulisan kalimat atau cerita bahasa Bali memakai tulisan latin jangan berpegang dengan tulisan Bali, melainkan ke Bahasa Indonesia.
BACA JUGA
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali

Contoh:

“Rontal Ramayana becik pisan, Prabu Kresna sareng mayuda, Sang panca pandawa lunga ke alase”.

Kalau tulisan Balinya "Rãmãyana, Prabhu Krésna, mayudha dan Pañca Pãndawa".

Dalam buku ejaan bahasa Daerah bali yang disenpurnakan juga dicantumkan abjad Bahasa Indonesia dari a s/d z. Hal ini dimaksudkan untuk menyerap bahasa asing pada tahap permulaan sebelum beradaptasi dengan bahasa Bali. (Tinggen, 1993:3).

Pengulangan Lalitasahasranama dan Trisat’i, khususnya Trisakt. Untuk dapat meresapkan keamhakuasaan Sang Hyang Widhi agama Hindu memberikan Simbol pada kekuatannNya ini dalam aksara suci OM. Kata Om adalah aksara suci untuk mewujudkan Sang Hyang Widhi dengan ketiga prabawanya yaitu: Brahma Hyang Widhi dalam prabawanya mahapencita disimbolkan dengan aksara A, Wisnu Hyang Widhi dalam prabawanya memelihara disimbolkan dengan aksara U dan Siwa Hyang Widhi dalamp rabawanya pelebur disimbolkan dengan aksara M. Suara A, U, M, ini ditunggalkan menjadi OM (Upadesa, 1978:16).

Aksara Bali terbagi atas aksara biasa, dan aksara suci. Akasara biasa terdiri atas aksara wreastra, aksara yang dipergunakan sehari-hari terdiri atas 18 aksara (ha, na, ca ra ka dst), dan aksara swalalita atau aksara yang dipergunakan pada kesusastraan Kawi yang terdiri atas 47 aksara, misalnya: a, i, u, e, o.

Akasara Suci terbagi atas:

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

akasara wijaksara atau bijaksana (aksara swalalita + aksara amsa, misalnya: ong, ang, ung, mang)
modre atau aksara lukisan magis.






Akasara amsa terdiri atas:


Arddhacandra (bulan sabit),
windhu (matahari, bulatan) dan
nadha (bindang, segi tiga).





Ketiganya melambangkan Dewa Tri Murti-Utpatti, Sthiti-pralina atau lahir hidup mati. Selain itu, dalam aksara Bali ada yang disebut pengangge tengenan, aksara wianjana (huruf konsonan, huruf mati) yang terletak pada akhir kata yang melambangkan fonem konsonan (Ngurah Nala, 2005 Bali Post)

Kemudian padangan dari persfektif Sastra, “Durga Puja”. Dilaksanakan dengan Kata Dum dibentuk dengan menambahkan Maya, Adri, Karna, Bindu/Windu dan Pranawa/ongakra serta pisarga pada permulaan kata. Aksara-aksara ini identik dengan Aksara Swalita dan Akasara Suci/Modre yang dipergunakan oleh para Pujangga atau Rohaniawan dalam Simbolis ritual. Kalau di Bali aksara tersebut dapat diidentikan dengan Tuhan disimboliskan aksara Ongkara dalam wujud Tunggal, dan dalam berbagai manifestanya terdapat berbagai macam. Tri Murti: Ang Ung Mang dan dalam wujud Dasa aksara adalah: Sang Bang Tang Ang Ing dan Nang Mang Sing Wang Yang.

Dengan menggunakan media aksara/sastra keharmonisan mikrokosmos dengan makrokosmos, diharapkan dapat mencipkan kedmaian dihati, kedamaian di dunia dan kedamaian di akhirat. Terkait dalam pembelajaran mantra, maka aksara yang digunakan adalah aksara biasa Wreastra tanpa dilakukan upakara. Kemudian setelah ada pemaham lebih lanjut, dan ada keinginan untuk menjadi: Pemangku, Sulinggih baru dilanjutkan dengan upakara dan upacara Mawinten atau Madwijati. Dengan menggunakan aksara Modre/aksara suci. (Watra, 2006:52-58)

Selasa, 08 Desember 2020

Makna dan Kisah Mistis Dibangunnya Tugu Singa Ambara Raja






SINGA : Tugu Singa Ambara Raja dibangun di depan Kantor Bupati Buleleng, Singaraja. (Dian Suryantini/Bali Express)





SINGARAJA, BALI EXPRESS-Tugu Singa Ambara Raja, bukan sekadar patung yang jadi ikon Kota Singaraja. Namun, dibangun dan dikonsep detail oleh tim khusus di masa lalu.


Berdasarkan buku yang disusun almarhum Ketut Ginarsa, diceritakan pada 16 Februari 1968 Bupati Buleleng kala itu Hartawan Mataram, membentuk panitia peneliti sejarah untuk menggali dan meneliti sejarah lahirnya Kota Singaraja, yang berujung dengan dibangunnya Tugu Peringatan Singa Ambara Raja, yang juga menjadi lambang daerah Kabupaten Buleleng.






Panitia peneliti sejarah saat itu diketuai langsung Bupati Hartawan Mataram. Sedangkan Ketua Harian Made Gelgel, serta penulis Sudjadi, dibantu beberapa orang anggota.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Sedangkan almarhum Ketut Ginarsa sendiri, merupakan salah seorang anggota tim peneliti sejarah. Kemudian dari hasil kajian sejarah serta masukan dari berbagai sumber, maka dapat dirumuskan sejarah berdirinya Kota Singaraja beserta lambangnya, yang disesuaikan dengan karakter, sejarah dan tipologi Buleleng yang cenderung keras, kreatiaf, inovatif, religius, cerdas dan berbudaya.

Tidak itu saja, sumber satu dan yang lainnya dihubung-hubungkan, hingga terbentuklah sebuah lambang yang kemudian dapat diterima dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat Buleleng.

Sedangkan panitia perencana lambang Kota Singaraja dibentuk Bupati Hartawan Mataram dengan Ketua Harian Gede Putu Rijasa, Wakil Ketua Nyoman Oka Api, Sekretaris Putu Kasta. Pelaksananya adalah Rokhim B.A.E, seniman Subroto dibantu undagi Made Rudita, serta beberapa anggota lainnya.

Tugu Singa Ambara Raja akhirnya diplaspas (diresmikan dengan ritual), 5 September 1971, bertepatan dengan purnamaning sasih katiga. Adapun makna dari Tugu Singa Ambara Raja dapat dibedakan dalam dua katagori, yakni nasional dan daerah.

Tugu Singa Ambara Raja yang dilambangkan dengan Singa Bersayap, memiliki beberapa bagian. Meliputi bangunan tugu atau yupa berbentuk segilima, yang melambangkan falsafah negara Pancasila.

Kemudian Singa Ambara bersayap tujuh belas helai melambangkan tanggal atau hari Proklamasi. Lalu jagung gembal delapan helai melambangkan bulan yang ke delapan atau Agustus. Butir-butir jagung gembal berjumlah empat puluh lima butir melambangkan tahun proklamasi 1945.

Jika semua lambang itu digabungkan, maka dapat diartikan sebagai jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 yang berdasarkan Pancasila.

Sedangkan dalam makna daerah dijabarkan, Yupa atau padmasana segilima melambangkan dasar Negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila. Lalu arca Singa bersayap sebagai lambang daerah Kabupaten Buleleng yang terbentang dari timur ke barat.

Buleleng atau jagung gembal yang dipegang tangan-tangan Singa Ambara sebagai lambang nama daerah, yakni Buleleng yang dipegang oleh Kota Singaraja.

Moto Singa Ambara Raja melambangkan kelincahan dan semangat kepahlawanan rakyat Buleleng. Sembilan helai kelopak bunga teratai melambangkan sembilan kecamatan yang ada di Buleleng. Tiga ekor Gajah Mina melambangkan kekuatan, kebijaksanaan, dan kepandaian masyarakat Buleleng. Tiga buah permata yang memancar berkilau melambangkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan rakyat Buleleng. 



Sedangkan jumlah bulu sayap yang besar dan kecil 30 helai, yaitu sayap jajaran pertama berjumlah lima helai, sayap jajaran kedua berjumlah tujuh helai, sayap jajaran ketiga berjumlah delapan helai, serta sayap keempat berjumlah 10 helai, melambangkan tanggal lahirnya Kota Singaraja.

Tiga buah tulang pemegang bulu sayap melambangkan bulan yang ketiga atau Maret, yaitu bulan lahirnya Kota Singaraja. Rambut, bulu gembal, dan bulu ekor singa yang panjang jumlahnya 1.604 helai, melambangkan tahun lahirnya Kota Singaraja.

Tugu Singa Ambara Raja menyimpan berbagai misteri yang hanya dapat ditangkap beberapa orang tertentu saja. Usai dilakukan pamlaspas, konon beberapa kejadian aneh di seputaran tugu sempat menjadi buah bibir rakyat Buleleng.

Konon ketika itu seorang tentara yang bertugas jaga di Markas Komando Wilayah Pertahanan (Markowilhan) yang kini menjadi Kantor Bupati Buleleng, melihat patung singa tersebut bergerak dan berputar.

Keanehan lain juga dilihat ibu Nuryati, warga Jalan Gajah Mada Singaraja, yang konon sempat melihat wajah Patung Singa Ambara Raja yang menyorotkan sinar hingga ke laut pantai utara.

Berdasarkan cerita Nyoman Sutrisna, Bendesa Desa Pakraman Buleleng, ketika terjadi peristiwa Bom Bali I, mantan Kapolda Bali Mangku Pastika kala itu sempat memohon petunjuk di Tugu Singa Ambara Raja. Kala itu konon salah seorang pengantar beliau mendapat pewisik (petunjuk gaib), bahwa para teroris akan terungkap dalam tenggang waktu 42 hari, atau dalam istilah Bali abulan pitung dina. Namun belum genap 42 hari, gembong teroris Amrozi akhirnya tertangkap.

“Pada saat muspa di Tugu Singa Ambara Raja, turunlah pawisik melalui Anak Agung Dammar yang saat ini bertempat tinggal di gria di Sukasada. Pawisik beliau menyarankan supaya due dari Ida Bhatara di (Pura) Dalem Ped diberikan dulu kepada Bapak Mangku Pastika yang berupa keris yang saat itu masih diemban anak dari mantan Kabag Humas Pemkab (Buleleng), Nyoman Suarta, yang bekerja di Kantor Pajak di Denpasar,” ucap Nyoman Sutrisna.

Setelah itu, lanjutnya, mereka melakukan pertemuan dan sembahyang di merajan beliau yang ada di Petemon.

"Nah saat di Petemon mereka melakukan ritual atau melakukan penyerahan pusaka berupa keris kepada Bapak Mangku Pastika yang langsung diserahkan Anak Agung Dammar. Pada saat itulah Nyoman Suarta juga mendapaat petunjuk, bahwa dalam tempo 42 hari atau abulan pitung dina kasus Bom Bali akan terungkap. Persis 40 hari setelah peristiwa Bom Bali I dan 40 hari berikutnya sisa lagi dua hari itu memang benar-benar terjadi, dimana peristiwa terbunuhnya Azhari,” tuturnya, pekan kemarin.

Secara niskala Tugu Singa Ambara Raja memang menyimpan aura magis. Menurut Nyoman Sutrisna, yang malinggih di Tugu Singa Ambara Raja adalah Ratu Gede Panji Landung Singa Sakti Manggala.

“Yang malinggih Ratu Gede Panji Landung Singa Sakti Manggala yang dikatakan hidup. Makanya ada gelanggang yang berisikan bendera merah putih yang bertiang bambu runcing. Menurut kesan diluar, terkadang ada orang besar yang membawa rantai berjalan-jalan,” ujarnya.

Sejak kepemimpinan Bupati Putu Bagiada, pemerintah berupaya membangkitkan kembali taksu Tugu Singa Ambara Raja melalui upacara padudusan alit, tepatnya pada 7 September 2006 lalu, bertepatan pada purnama sasih katiga.

(bx/dhi/rin/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2020/12/03/228156/makna-dan-kisah-mistis-dibangunnya-tugu-singa-ambara-raja

Selasa, 24 November 2020

MASYARAKAT BALI MENYIMPAN HASIL SAWAHNYA DI DALAM LUMBUNG PADI ATAU DI BALI DI SEBUT "JINENG"TAHUN 1930AN

 


Lumbung adalah bangunan tradisional Bali yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan padi. Lumbung dapat dibedakan menjadi empat jenis, antara lain: Jineng, Kelumpu,Gelebeg, dan Kelingking.

Jineng atau lumbung itu adalah sebagai tempat menyimpan padi bukan beras dan juga menyimpan sumber bahan makanan yang lainnya seperti jagung dan padi-padian lainnya. Hal ini melambangkan agar penggunaan hasil kekayaan yang diusahakan dari bumi ini digunakan secara hemat dan tepat. Menyimpan dalam bentuk padi itu bertujuan untuk menghemat secara tepat. Agar jangan menggunakan hasil kekayaan bumi ini dengan cara yang tidak benar.


Sesungguhnya adanya jineng itu jangan dilihat dari fungsi nyata (sekala) dewasa ini. Jineng di Pura Banua itu hendaknya dilihat dari sudut niskala sebagai simbol sakral. Simbol sakral berupa jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif dan hemat kepada umat. Ke depan ada baiknya jineng itu dibangun kembali untuk dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar ia bisa hidup produktif dan hemat sebagai cara membangun hidup yang makmur secara berkelanjutan. (https://sudarmadakaripura.wordpress.com/)

Dalam Tri Mandala Pura Besakih, Jineng di Pura Banua sebagai hulunya lumbung di Bali.

Pura Banua Hulunya Lumbung di Bali
Vaisyah krsivalah karyo-
gopah sasya bhrtvratah,
vartayukto grhopatah-
ksetra palo tha Vaisyah.
(Slokantara, 37)

Maksudnya:
Swakarma vaisya varna adalah bertani, mengembala ternak mengumpulkan padi-padian, berdagang, mengusahakan rumah penginapan dan menjadi pelindung ladang.

BERTANI dan beternak merupakan mata pencaharian awal dari manusia sebelum adanya perkembangan industri barang maupun industri jasa. Dari bertani dan beternak itulah munculnya usaha dagang sebagai lapangan pekerjaan untuk melangsungkan kehidupan. Orang yang bekerja di sektor ekonomi ini disebut Vaisya Varna dalam sistem profesi untuk mendapatkan mata pencaharian berdasarkan Weda.

Dagang Banten Bali


Tugas petani sebagai Vaisya Varna di samping memproduksi hasil-hasil tersebut agar dapat digunakan sehemat mungkin. Tentunya tidak sampai mengurangi fungsinya untuk membangun hidup sehat sejahtera lahir batin. Memproduksi sumber-sumber kebutuhan hidup sehari-hari itu dan juga menggunakannya agar hemat dan tepat guna bukan pekerjaan yang dapat dilakukan begitu saja.

Pekerjaan itu harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan dan juga ketenangan hati. Membina sikap hidup produktif yang hemat tepat guna dapat dilakukan dengan memulainya dari pemujaan pada Tuhan. Pemujaan ini untuk menumbuhkan bahwa pemahaman bahwa Tuhan menghendaki agar semua ciptaan-Nya ini tidak ada yang tersia-siakan. Swami Satya Narayana menyatakan bahwa ada empat hal yang tidak boleh diboroskan. Empat hal ini adalah rezeki, makanan, tenaga, dan waktu.

Hidup produktif dan hemat itu ditanamkan juga dalam sistem pemujaan pada Tuhan oleh umat Hindu di Bali. Karena hidup produktif dan hemat itu salah satu cara untuk membangun hidup yang sejahtera. Hal itu dikembangkan di salah satu kompleks Pura Besakih yang disebut Pura Banua. Di pura ini Tuhan dipuja sebagai Dewa Sri, Sakti Dewa Wisnu sebagai Dewi Kemakmuran.

Pura Banua ini salah satu kompleks Pura Besakih yang juga berkedudukan sebagai hulunya lumbung di Bali. Pura ini terletak bersebelahan dengan Pura Basukian di kanan jalan menuju Pura Penataran Agung Besakih. Kata ”banua” dalam bahasa Bali kuno artinya desa menurut pengertian sekarang. Banua dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu wilayah pemukiman untuk membina kerja sama membangun dan memelihara kesejahteraan hidup bersama yang produktif dan hemat. Pelinggih atau bangunan suci yang paling utama di pura ini adalah sebuah pelinggih berbentuk Gedong sebagai stana pemujaan Batari Sri sebagai sakti atau power-nya Dewa Wisnu sebagai Dewa Kemakmuran.


Di pura ini ada sebuah jineng dalam ukuran besar yaitu lumbung padi menurut tradisi umat Hindu di Bali. Sayang lumbung yang disebut jineng itu setelah rusak tidak diperbaiki lagi sehingga bangunan tersebut terhapus. Di lumbung besar itulah hasil-hasil tanah laba Pura Besakih disimpan.

Umat Hindu di Bali kalau memanen padi di sawah umumnya menyisihkan seikat kecil padinya terus diupacarai dan distatuskan sebagai simbol Dewa Nini. Dewa Sri yang dalam hal ini disebut Dewa Nini. Seikat padi yang disimbolkan sebagai Dewa Nini inilah yang distanakan di bagian hulu atau keluwan di ruangan dalam lumbung yang ada di Pura Banua tersebut. Mungkin karena kurang paham akan makna jineng atau lumbung itu maka saat rusak tidak lagi diperbaiki karena saat ini tidak ada lagi orang menyimpan padi dengan cara tradisi seperti dahulu.

Sesungguhnya adanya jineng itu jangan dilihat dari fungsi nyata (sekala) dewasa ini. Jineng di Pura Banua itu hendaknya dilihat dari sudut niskala sebagai simbol sakral. Simbol sakral berupa jineng itu sebagai media untuk menanamkan sikap hidup produktif dan hemat kepada umat. Ke depan ada baiknya jineng itu dibangun kembali untuk dijadikan media menanamkan nilai-nilai spiritual kepada generasi penerus agar ia bisa hidup produktif dan hemat sebagai cara membangun hidup yang makmur secara berkelanjutan.

Untuk masyarakat awam ajaran agama yang abstrak itu divisualisasikan dalam bentuk simbol. Dengan simbol itulah berbagai hal bisa dijelaskan secara lebih mudah kepada umat kebanyakan. Apa lagi simbol tersebut terkait dengan pemujaan pada Dewi Sri, Sakti Dewa Wisnu manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kemakmuran. Kehadiran Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran diwujudkan sebagai Dewi Sri di pelinggih Gedong dan sebagai Dewa Nini di lumbung pura.


Dewi Sri lambang Tuhan dalam spirit kemakmuran, sedangkan Dewa Nini dalam wujud kongkretnya. Dewi Sri ibarat jiwa atau Purusa-nya, sedangkan Arca Dewa Nini sebagai wujud fisik atau Pradana-nya. Demikianlah dapat diumpamakan. Karena itu Dewa Nini itu disimbolkan dengan seikat padi. Padi yang dijadikan simbol Dewa Nini itu tentunya padi dari pilihan yang terbaik sehingga menjadi contoh produksi untuk diupayakan oleh masyarakat petani mempertahankan kualitas produknya.

Ini artinya seikat padi terpilih sebagai simbol arca itu, di samping bermakna sebagai simbol sakral ia juga memiliki nilai sebagai simbol material untuk dijadikan contoh oleh pada petani dalam mempertahankan dan mengembangkan kualitas produknya.

Di Pura Banua ini di samping ada Gedong dan Jineng stana Dewi Sri dan Dewa Nini ada juga Balai Pesamuan yang terletak di sebelah kiri Gedong Dewi Sri. Balai Pesamuan ini bertiang delapan dan dibagi menjadi dua bagian yang disekat dengan sebilah papan. Balai Pesamuan ini sebagai tempat bertemunya para pemimpin masyarakat Desa Besakih dengan telah ditentukan tempat duduknya masing-masing.

Balai Pesamuan ini sebagai simbol bahwa dalam membangun kehidupan ekonomi agraris itu tidak bisa para petani berjalan sendiri-sendiri. Apa lagi kehidupan petani sangat tergantung pada iklim dan musim yang ditentukan oleh dinamika alam. Para petani harus mendapat tuntunan dari para akhli dan praktisi astronomi yang dalam ajaran Weda disebut Jyothisa.

Di samping ditentukan oleh musim bertani itu juga ditentukan oleh hari baik atau dewasa menanam padi. Yang juga amat menentukan adalah manajemen irigasi. Hal-hal inilah yang akan menjadi pembahasan umat petani dalam mengembangkan kemakmuran bersama. Hidup bersama itu harus dikembangkan berbagai kebijakan melalui suatu musyawarah agar semua informasi yang ada dapat ditata sesuai dengan fungsi dan profesi yang dimiliki oleh masyarakat bersangkutan.* i ketut gobyah
http://www.babadbali.com/

#BALITEMPOEDULOE #TROPENMUSEUM # #SEJARAH # #BALILAWAS # #BALIAGE #KEUNIKANBALI #ADATTRADISI #ADATBUDAYA #

Sabtu, 21 November 2020

Sejarah Pura Aditya Jaya Rawamangun, Jakarta Timur



Siapa yang tidak kenal dengan Pura Aditya Jaya Rawamangun. Sebuah pura terbesar di Jakarta dan merupakan pusat perkumpulan umat Hindu Sejabotabek. Pura yang lebih populer dikalangan anak mudah dengan nama PAJ ini, terletak di Jalan Daksinapati Raya, RT.11/RW.14, Rawamangun, RT.11/RW.14, Rawamangun, RT.11/RW.14, Rawamangun, Kota Jakarta Timur.



Foto: Mutiarahindu.com
Sejarah Pura Rawamangun

Menurut sejarah, pada tahun 1960 an, umat Hindu DKI Jakarta yang tergabung dalam Suka Duka Hindu Bali (SDHB) {yang telah berganti menjadi Suka Duka Hindu Dharma (SDHD)} berniat untuk membangun tempat ibadah Pura dan Yayasan Pitha Maha di Jakarta. Kala itu, masa kepemimpinan Presiden pertama Republik Indonesia, Dr. Ir. H. Soekarno (periode 1945–1966).

Akhirnya Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu, Ida Bagus Mantra dan Ida Bagus Manuaba (ketua Pitha Maha yang juga anggota Dewan Konstituante), Menteri Koordinator I Gusti Subania, anggota DPRD DKI Jakarta I Nyoman Wiratha menyampaikan niat baik tersebut ke Presiden.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Menanggapi hal itu, pria yang akrab disapa Bung Karno tersebut, langsung menyambut baik dan menawarkan tanah di Lapangan Banteng bagi umat Hindu. Namun entah kenapa pembangunnan pura di Banteng dinyatakan Batal. Dua tahun kemudian yakni tahun 1962-an, presiden kembali menawarkan tanah yang berbeda yakni di Ancol, tetapi tawaran tersebut langsung ditolak oleh umat Hindu. Sebab pada saat itu, daerah Ancol berlupur serta berbau tak sedap, tidak seperti sekarang ini.

Tahun 1972, Menteri Pekerjaan Umum (PU), Ir Sutami kembali menawarkan tanah Dept. PU cq Ditjen Bina Marga di Jakarta Timur tepatnya Jalan Daksinapati Raya, Rawamangun depan Lapangan Golf . Dengan pertimbangan yang matang, umat hindu akhirnya memutuskan bahwa lokasi tersebut tepat untuk pembangunan Pura Aditya Jaya Rawamangun yang sekarang dapat kita lihat. Keputusan ini diperkuat dengan surat No. 36/KPTS/1976 tentang izin penggunaan tanah Dept. PU cq Ditjen Bina Marga yang diterbitkan oleh Ir Sutami di dukung Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta kala itu.



Peletakan Batu Pertama Pura Aditya Jaya Rawamangun


Pembangunan Pura Aditya Jaya Rawamangun melewati 7 tahap. Peletakan batu pertama dimulai pada tahun 1972, dan baru selesai pada tahun 1997. Pura Aditya Jaya, dibagi menjadi tiga bagian yakni Nista Mandala yaitu daerah paling luar, Madya Madala yaitu bagian tengah dan Utama Mandala atau bagian Tengah.

Dibagian luar (Nista Mandala) digunakan sebagai tempat kegiatan seperti memasak, cuci tangan dan kaki sebelum sembahyang dan beberapa kegiatan lainya. Kemudian pada bagian tengah atau Madya Madala digunakan sebagai tempat dupa, bunga, sentang dan beberapa kegiatan lainya. sedangkan pada Utama Mandala atau bagian Tengah digunakan khusus untuk persembhayangan.



RELATED:
Daftar Pura di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan dan Lombok
Profil Pura Anjasmoro Jombang Jawa TimurPura Aditya Jaya memiliki dua pintu masuk yang pertama di Jalan Daksinapati Raya No 10 dan di pintu Depan Jalan Tol Cawang-Tanjung Priok.

Sumber: https://www.mutiarahindu.com/2018/02/sejarah-pura-aditya-rawamangun-jakarta.html

Tugas Kelompok STAH DNJ (Wawancara)
Pemuda balkar, 2015. Sejarah Pura Aditya Rawamangun, Online. Diakses. 22 Pebruari 2018 Pukul 13:22 Wib.


Rabu, 11 November 2020

Asta Brata di Keraton Surakarta Hadiningrat Solo

Pada mulanya kraton Surakarta Hadiningrat dibangunsecara bertahap, tiap raja yang memerintah sesudah Paku Buwono II mengganti, menambah atau mengubah bangunan yang dirasa kurang cocok, disamping menambah beberapa perlengkapan yang belum ada. Panggung SONGGO BUWONO dibangun oleh raja Paku Buwono III terletak di dalam kompleks kraton serta berdekatan dengan Kori Sri Manganti. Pendirian Panggung Songgo Buwono bersamaan dengan pembangunan Kori Brojonolo dan Kori Sri Manganti. Panggung Songgo Buwono ditandai dengan titi mangsa yang menjadi tetenger atau tanda Sengkala yang terdapat dibagian atas bangunan tersebut sebagai "Nogo Muluk Tinitihan Jamna" disamping itu pada bagian atap terdapat hiasan "Nogo/ular dinaiki manusia" Sekala tulisan Jawa tersebut berarti : Nogo = 8, Muluk = 0, Nitih = 7, Jamna/manusia = 1, angka yang terkumpul adalah 8071 akan tetapi untuk dapat dipergunakan sebagai angka petunjuk tahun susunan tadi harus di balik menjadi 1708 tahun jawa atau 1782 tahun Masehi. Nama panggung Songgo Buwono tersebut juga merupakan suatu Candra Sengkala tersendiri yaitu : panggung = 8, duwur = 0, sangga = 7, buwono = 1 sehingga didapatkan 8071 dan harus di balik jika dipergunakan seabagai angka petunjuk tahun yaitu 1708 Jawa atau tahun 1782 Masehi, (Sudharta, 2015:viii).




Pura Tirtha Dang Kahyangan Luhur Rambut Siwi

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Panggung Songgo Buwono merupakan penggambaran dari 8 sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang raja yang berkuasa agar dapat menjalankan pemerintahan secara baik. Kedelapan sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang raja tersebut terkenal sebagai ASTA BRATA yang merupakan suatu ajaran dari Prabu Ramawijaya kepada Bharata sebelum diwisuda menjadi raja. Asta Brata merupakan 8 pedoman pokok yang sangat ideal bagi raja yang berkuasa, kedelapan ajaran utama tersebut adalah:

1. Watak Matahari: matahari mempunyai sifat panas dan berfungsi sebagai pemberi sarana kehidupan. Seorang raja harus dapat berfungsi sebagai matahari yang dapat memberikan semangat dan kehidupan bagi rakyatnya.

2. Watak Bulan: Bulan berwujud indah serta menerangi dalam kegelapan. Seorang raja harus dapat berfungsi seperti bulan yaitu memberi penerangan serta dapat membimbing rakyatnya yang berada dalam kegelapan.

3. Watak Bintang: Bintang mempunyai bentuk yang manis serta dapat menjadi pedoman bagi mereka yang kehilangan arah. Dalam hal ini raja harus dapat berfungsi sebagai contoh/teladan serta menjadi panutan bagi masyarakat.

4. Watak Angin: Angin bersifat mengisi ruangan kosong. Seorang raja harus dapat bertindak secara teliti dan bijaksana disamping harus dapat menyelami kehidupan masyarakat.

5. Watak Mendung: Mendung merupakan sifat menakutkan akan tetapi bila hujan telah turun dapat bermanfaat bagi masyarakat. Seorang raja harus dapat berwibawa kepada rakyatnya.

6. Watak Api: api mempunyai sifat tegak serta dapat membakar apa saja. Seorang raja harus dapat bertindak adil, mempunyai prinsip disiplin, tegas dalam bertindak.

7. Watak Mamudra: Samudra bersifat luas dan mampu menampung segala macam bentuk isi. Seorang raja harus memiliki pandangan yang luas serta sanggup menerima segala macam persoalan.

8. Watak Bumi : Bumi memiliki sifat suci serta sentosa. Dalam hal ini seorang raja harus mempunyai sifat yang jujur, berbudi luhur serta mau memberi anugerah kepada siapa saja yang telah berjasa kepada negara.

Demikianlah 8 asas kepemimpinan yang terdapat dalam Asta Brata yang memiliki makna mendalam bagi setiap raja, sebab bila seorang raja tidak melaksanakan ASTA BRATA berarti dia sebagai raja yang tak bermahkota dan ini berarti dia sebagai raja yang tidak baik.

Pendirian Panggung Songgo Buwono erat sekali hubungannya dengan ajaran Asta Brata ini, karena pendirian bangunan ini mengandung suatu tujuan untuk mengingatkan kepada raja yang memerintahkan akan adanya 8 sifat utama yang harus dimiliki. Pada bagian atas bangunan Panggung Songgo Buwono terdapat suatu ruangan yang disebut "Tutup Saji" di tempat ini merupakan tempat pertemuan antara raja Paku Buwono dengan Nyai Roro Kidul, (Sudharta, 2015:ix).

Dengan adanya perkawinan mistis tersebut kewibawaan raja menjadi bertambah besar. Adanya perkawinan ini telah menempatkan raja bukan hanya sebagai manusia biasa melainkan manusia yang memiliki kekuatan gaib "supra natural". Pembangunan Panggung Songgo Buwono tersebut erat sekali hubungannya dengan mithos tentang perkawinan antara Nyai Roro Kidul dengan raja-raja yang berkuasa di Surakarta. 

Dagang Banten Bali


Demikianlah antara lain isi Kakawin Ramayana secara ringkas yang tidak sedikit mengandung ajaran-ajaran kesusilaan dan kebajikan. Di dalam 2.771 baitnya tersimpan ajaran-ajaran hidup yang sangat bernilai dalam bidang politik pemerintahan, strategi perang, amanat penderitaan rakyat, kehidupan sosial serta ajaran etika dan agama yang semuanya disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa wiracarita Ramayana merupakan satu sumber kepribadian bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat Prof. Dr. Poerbatjaraka yang menyatakan bahwa dalam Ramayana "banyak pelajarannya, indah-indah perhiasannya, lagi gagah bahasanya. Seumur hidup belum pemah saya membaca kitab Jawa (Kuna) yang memadai kitab Ramayana", (Sudharta, 2015:ix).

Referensi:

Sudharta, Dr. Tjok Rai. 2015. Asta Brata di Abad Millenium. Denpasar: ESBE buku.