Jumat, 21 Juni 2024

Dina kala paksa

 

Mengapa orang bali memasang "Sesuwuk" / Paselatan ( daun pandan diisi tapak dara dari kapur )
Hari ini jumat ( 15/11/19 ) kalemder Bali menandainya sebagai sukra Wage wuku Wayang, Secara tradisi, orang Bali menyebutnya sebagai dina atau hari kala paksa atau dina Ala Paksa. Di beberapa tempat sering pula disebut sebagai hari Pemagpag Kala. Pada hari ini biasanya orang bali akan memasang sesuuk (semacam penanda) disetiap pelinggih atau bangunan suci dan lebuh.
(pintu masuk rumah) Mengapa???
Orang Bali meyakini, dina kala paksa, sehari sebelum tumpek wayang, sebagai hari yang tenget (angker) atau leteh (kotor).
Hari ini dipercaya sebagai puncakkekotoran dunia
(rahina cemer)
Lontar Sundarigam, sebagaimana dikutip IBP sudarsana dalam buku acara agama hindu, menyebut saat dina kala paksa, umat semestinya memepersembahkan sesaji khusus sebagai simbol menetralisir kekuatan buruk, Salah satu persembahan yang khas di hari kala paksa, yakni sesuuk berupa daun pandan berduri itu biasanya di potong-potong sekitar 5cm lalu di olesi kapur sirih dengan tanda tapak dara (tanda silang)


Selain dipasang di setiap pelinggih ,sesuuk juga diletakkan di dalam sebuah sidi (nyiru) disertai benang tridatu. Pada nyiru itu juga di isi takir diisi triketuka (mesui,kesuna,dan jangu) dan canang sari.
Selain itu dilengkapi juga dengan api dakep. Api yang dihasilkan dari sabut kelapa yg disilangkan.
Di akhir upacara, sesaji ini dihaturkan di bawah atau tanah didepan pintu masuk (lebuh).
Ada juga yang membuangnya ditempat pembuangan sampah.
Dan Ritual ini biasanya dilaksanakan pada pagi hari.
Tak hanya itu,pada dada masing-masing umat juga disi tanda tapak dara menggunakan kapur sirih. Sesaji ini, menurut IBP sudarsana sebagai simbol penetralisir kekuatan buruk pada dina kalapaksa.
Doa yang dilantunkan selama prosesi ritual ini, Memohon keselamatan agar energi Buruk menjelma menjadi energi Baik sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan bagi umat manusia.
Orang-orang awam biasanya menyatakan ritual khusus pada hari dina kala paksa sebagai pembentuk pengaharapan agar manusia tidak dimangsa kala.
"Dina kala paksa sehari sebelum menjelang tumpek wayang, hari puncak betara kala. Kalau tidak waspada, kita bisa tadah kala.( Dimangsa kala)
Selain memasang sesuuk, orang bali biasanya berpantang terhadap aktivitas pada hari dina kala paksa. Seperti tidak berkeramas, para sulinggih ( pendeta) juga pantang memuja pada hari dina kala paksa..
Semoga ini bisa menjadi bahan diskusi bagi para sahabat dumay, mungkin saja ada sima atau tradisi yang berbeda di masing2 daerah..
Sehingga postingan ini bermanfaat dan menambah tentang dina kala paksa atau dina sehari sebelum tumpek wayang.

Kamis, 20 Juni 2024

KEBO IWA, SEORANG PATIH YANG RELA BERKORBAN DEMI BERSATUNYA NUSANTARA

 



Kebo Iwa adalah seorang Patih atau Panglima Militer yang berasal dari Bali. Badannya besar, tubuhnya tinggi. Selain menguasai ilmu perang, ia juga menguasai ilmu arsitektur. Ia membangun berbagai tempat ibadah di Bali, dan seringkali mengangkut sendiri batu-batu besar dengan kekuatan fisiknya.
Meskipun berbadan besar, Kebo Iwa tak pernah semena-mena menggunakan kekuatannya. Hatinya sangat mulia. Ia bahkan sering membantu warga yang mengalami kesulitan, misalnya dengan membuatkan sumur dengan jarinya yang sakti.
Kebo Iwa juga merupakan patih yang setia. Ia pernah berjanji pada Sang Raja, selagi ia masih bernafas, Kerajaan Bali Aga tak akan diserahkan pada kerajaan manapun.
Berita tentang kesaktian Kebo Iwa pun sampai ke telinga Mahapatih Gajah Mada. Gajah Mada adalah seorang patih dari Kerajaan Majapahit yang terkenal dengan sumpahnya untuk menyatukan nusantara, yaitu Sumpah Palapa.
Gajah Mada, begitu mengetahui bahwa Kerajaan Bali Aga memiliki seorang patih yang sakti, segera mengatur siasat bersama Raja Tribuana Tungga Dewi. Mereka geram, karena kerajaan kecil itu tak juga takluk, sedangkan Kerajaan Daha yang merupakan induk dari Kerajaan Bali Aga, malah lebih dulu tunduk pada Majapahit.
Gajah Mada pun berupaya mencari cara agar bisa menaklukkan kerajaan itu. Ia mengirimkan sebuah surat yang berisi ajakan agar Kerajaan Bali Aga bersedia menjadi sekutu Kerajaan Majapahit. Kebo Iwa pun diundang untuk hadir ke Kerajaan Majapahit sebagai tanda persahabatan.
Raja Bali Aga menyambut hangat ajakan itu. Raja pun mengizinkan Kebo Iwa untuk berkunjung ke sana tanpa rasa curiga. Saat itu Kerajaan Bali Aga diperintah oleh Raja Sri Ratna Bumi Banten yang dikenal adil, bijaksana, dan dicintai oleh rakyatnya.
Sesampainya Kebo Iwa di Majapahit, Gajah Mada segera menemui tamunya tersebut. Gajah Mada berkata, "Kami sedang mengalami paceklik. Rakyat kekurangan air bersih. Untuk itu, sudikah kiranya Patih Kebo Iwa membantu membuatkan sumur?"


Kebo Iwa yang lurus hati itu pun bersedia membantu. Dengan jemarinya yang sakti, Ia mulai membuat lubang di tanah. Namun keanehan terjadi. Air tak juga muncul meskipun Kebo Iwa sudah menggali cukup dalam. Ia pun masuk ke dalam sumur buatannya untuk menggali lebih dalam lagi. Ia tak sadar bahwa sesungguhnya ada bahaya yang sedang mengintai.
Begitu Kebo Iwa masuk ke dalam sumur, Gajah Mada segera memerintahkan prajuritnya untuk menimbun Kebo Iwa dengan tanah yang telah digalinya. Kebo Iwa dikubur hidup-hidup.
Gajah Mada tersenyum, "Akhirnya, sebentar lagi Kerajaan Bali akan menjadi bagian dari nusantara," batinnya. Namun beberapa saat kemudian, tanah bergerak dan keluarlah Kebo Iwa yang ternyata masih hidup. Kebo Iwa merasa dikhianati. Ia pun bertarung dengan Gajah Mada. Akan tetapi di tengah pertarungan, ia terngiang keinginan mulia Gajah Mada yang ingin mempersatukan nusantara.
Di satu sisi ia ingin membantu Gajah Mada mewujudkan impiannya, namun di sisi lain ia juga teringat janjinya pada Raja Bali Aga bahwa Bali Aga tak akan dibiarkan jatuh ke tangan kerajaan lain selama ia masih bernyawa.
Akhirnya, Kebo Iwa memutuskan untuk membantu mewujudkan mimpi Gajah Mada dengan mengatakan bahwa serbuk kapur bisa menghapus kesaktiannya. Mendengar hal itu, Gajah Mada pun segera memukul sebongkah batu kapur. Tak berapa lama, Kebo Iwa tumbang setelah terkena serbuknya.

DISKUSI NAHUSA DAN Yudhistira

 



Nahusha telah berwujud seekor ular besar yang tinggal disebuah gua dan sedang menunggu hari dimana kutukannya akan dicabut karena percakapannya dengan Yudhistara.
Bhima memberikan petunjuk tanpa sadar dengan mencapai Nahusha terlebih dahulu dan Yudhistira datang mencari saudaranya yang melacak jejak kaki dan cerita lain untuk menemukannya dalam cengkeraman kuat ular besar itu.
Ketika Yudhistira memintanya untuk melepaskan saudaranya, Nahusha mengatakan dia akan melepaskannya jika dia menjawab pertanyaan yang akan diajukan kepadanya. Yudhistira mengiyakan namun memberikan syarat balasan bahwa ia ingin mengetahui terlebih dahulu apakah Nahusha sadar 'Apa yang harus disadari (diketahui) oleh seorang Brahmana dalam hidupnya', agar ia bisa menjawab pertanyaan Nahusha.
Nahusha: siapakah Brahmana itu? dan apa yang perlu diketahui?
Yudhistira: Seorang Brahmana adalah orang yang memiliki kualitas-kualitas kebenaran, amal, ketekunan, perilaku baik, tanpa kekerasan, tobat dan kasih sayang.
Yang perlu diketahui adalah Parabrahmam, yang melampaui Sukha (kebahagiaan) dan Dukha (duka), begitu seseorang mengetahui bahwa ia akan mengatasi kesedihan.
Nahusha: kualitas seperti kejujuran, kasih sayang, tidak adanya kemarahan, tidak melakukan kekerasan, kasih sayang tersedia dalam keempat Varna, tidak ada sesuatu pun yang bukan suka atau bukan dukha.
Yudhistira: jika seorang Sudra memiliki semua sifat tersebut maka ia disebut Brahmana, jika seorang Brahmana tidak memiliki sifat tersebut maka ia disebut Sudra.
Saya percaya ada tahapan yang melampau sukha dan dukha, sama seperti ada tahapan dimana tidak ada panas yang ekstrim atau dingin yang ekstrim tapi itu hanya kehangatan biasa.
Nahusha: jika seorang Brahmana ditentukan berdasarkan kualitas yang dimilikinya, maka sia-sia menentukan Varna berdasarkan kelahiran.
Yudhistira: sangat sulit untuk menentukan Varna seorang laki-laki karena percampuran Varna dan laki-laki telah menghasilkan anak dari perempuan dari Varna yang berbeda. Oleh karena itu para filosof berpendapat bahwa penentuan Varna harus didasarkan pada perilaku saja. Barangsiapa mempunyai pengetahuan Veda dan juga sifat-sifat baik, maka dia sendirilah yang layak disebut sebagai Brahmana.
Nahusha menerima bahwa Yudhistira tahu persis apa yang harus diketahui dan karenanya dia tidak bisa memakan saudaranya, Bhimasena. Sesi diskusi berlanjut lebih jauh dengan Yudhistira mencari ilmu kepada Nahusha dan akhirnya Nahusha mendapatkan tubuh ketuhanannya dan menjauh menuju swarga setelah menyelesaikan masa kutukannya.
*Komentar*.
*1*. Diskusi secara khusus memperjelas bahwa banyak brahmana, karena kelahiran, tidak memperlihatkan kualitas-kualitas yang ditentukan dan sesi tanya jawab ini. Kemerosotan kualitas para brahmana lebih terlihat pada Kaliyuga dibandingkan Dwapara Yuga. Ini masuk teks Mahabharata, karena mempunyai tujuan yang lebih tinggi sebagai dharma sastra.


*2*. Pada masa kini seseorang dapat diklasifikasikan kedalam Varna dan kasta, ditentukan berdasarkan perilaku. Brahmana berdasarkan kasta tidak dapat mengklaim dirinya secara otomatis sebagai Brahmana oleh Varna tanpa memiliki kualitas-kualitas yang layak seperti yang disebutkan di atas sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Mahabharata karya Vyasa dan disepakati oleh Nahusha dan Yudhistira.
*3*. Promiskuitas adalah praktik melakukan seks bebas secara sering dengan pasangan yang berbeda atau tidak pandang bulu memilih pasangan, tanpa didasari ikatan pernikahan.
*4*. Para orang bijak memberikan kesaksian dengan mengatakan apapun kasta kita, lakukan pengorbanan (yajna) sebagai awal, karena orang-orang bijak berpendapat bahwa karakter adalah syarat utama. Upacara kelahiran seseorang dilakukan sebelum putus tali pusat, ibunya bertindak sebagai Savitri dan ayahnya bertugas sebagai pendeta.
*5*. Dianggap sebagai seorang Sudra selama dia tidak diinisiasi dalam Veda. Swayambhuva Manu telah menyatakan, bahwa kasta campuran harus dianggap lebih baik jika telah melalui upacara penyucian dan mematuhi aturan perilaku yang baik. Siapapun yang mematuhi aturan-aturan perilaku yang murni dan berbudi luhur, maka dialah yang telah ditetapkan sebagai seorang Brahmana.
*6*. Karakteristik yang ada pada seorang Sudra, tidak ada pada seorang Brahmana, mereka yang Brahmana juga tidak ada dalam Sudra. Seorang Sudra bukanlah Sudra karena kelahirannya saja, begitu pula seorang Brahmana bukanlah Brahmana karena kelahirannya saja.
*7*. Orang yang dikatakan oleh para bijaksana yang melihat kebajikan-kebajikan itu adalah seorang Brahmana. Orang-orang menyebutnya sebagai Sudra yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut, meskipun ia adalah seorang Brahmana sejak lahir.
*8*. Dengan melakukan hal yang sebaliknya, manusia dilahirkan kembali sebagai manusia atau sebagai binatang yang lebih rendah, bahwa manusia yang terombang-ambing oleh amarah dan nafsu serta terbiasa dengan keserakahan dan kedengkian, akan meninggalkan alam kemanusiaannya dan terlahir kembali sebagai hewan yang lebih rendah.
*9*. Makhluk hidup yang menuai hasil perbuatannya, kemudian bertransmigrasi melalui kondisi ini, roh terikat oleh takdir dan menuai hasil dari tindakannya sendiri, mengalami kelahiran demi kelahiran. Orang yang terlahir bijaksana menyerahkan jiwanya kedalam Roh Tertinggi yang kekal.
*Bhagavad Gita 8. 8*
*abhyāsa-yoga-yuktena*
*cetasā nānya-gāminā*
*paramaḿ puruṣaḿ divyaḿ*
*yāti pārthānucintayan*
Orang yang bersemadi kepadaKu sebagai Kepribadian Tuhan YME, dengan pikirannya senantiasa tekun ingat kepada-Ku dan tidak pernah menyimpang dari jalan itu, dialah yang pasti mencapai kepada-Ku, wahai Pārtha.
Dengan berbincang dengan dirimu yang saleh, kutukanku yang menyakitkan telah ditebus. Setelah berkata demikian, raja Nahusa, meninggalkan wujud ularnya, dan mengambil wujud surgawinya, kembali ke Surga.
Yudhishthira pun kembali kepertapaannya bersama Dhaumya dan saudaranya Bhima. Kemudian beliau menceritakan semua itu secara rinci kepada para brahmana yang berkumpul disana. Semua Brahmana mulia yang menginginkan kesejahteraan para Pandawa, menegur Bhima karena kebodohannya, menyuruhnya untuk tidak melakukan hal seperti itu lagi, para Pandawa juga sangat senang melihat Bhima yang perkasa keluar dari bahaya dan tinggal bersama lagi.

Selasa, 18 Juni 2024

KEMULIAAN SAPI

 



Arca-arca sapi di tempat suci Hindu, baik di situs purbakala maupun di tempat-tempat suci yang masih aktif digunakan sebagai tempat peribadatan, mengundang sebuah anggapan salah kaprah terhadap umat Hindu. Sebagian besar orang beranggapan bahwa Hindu identik dengan penyembah sapi, apalagi pada kenyataannya sebagian besar umat Hindu di dunia berpantang untuk mengkonsumsi daging sapi. Tetapi, benarkah Hindu memuja Sapi?
*Pendahuluan
Berdasarkan peradaban Veda, sapi merupakan binatang yang sangat di sakralkan. Diuraikan bahwa sapi merupakan lambang dari Ibu Pertiwi yang memberi kesejahteraan kepada semua makhluk hidup di bumi ini, karena itulah para umat manusia diajarkan untuk tidak menyembelih dan memakan daging sapi. Selain mempunyai manfaat di dalam kehidupan rohani, sapi juga memelihara kita di dalam kehidupan material, seperti dengan memberikan susu dan berbagai produk hasil olahan susu. Selain susu dan berbagai produknya, sapi juga memberikan berbagai jenis bahan obat-obatan seperti kencing sapi dan tahi sapi yang bahkan ilmuwan modern sekalipun menerima bahwa air kencing sapi dan kotoran sapi mengandung zat antiseptik yang bisa digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Di India, dalam sistem pengobatan Ayur Veda, terdapat teknik yang di sebut pengobatan Panca Gavya, yaitu lima jenis produk yang di hasilkan oleh sapi yaitu; susu, yogurt, ghee, kencing sapi, dan kotoran sapi. Panca Gavya ini juga diangap sebagai bahan bahan yang menyucikan. Bahkan di dalam Yajna dan memandikan Pratima di berbagai kuil, bahan-bahan ini sangat diperlukan, karena tanpanya, seseorang tidak bisa menginstalasi Pratima di dalam kuil. Selain bahan-bahan yang bisa di komsumsi dari segi material, sapi juga membantu para petani di dalam berbagai hal. Sapi jantan di gunakan untuk membajak dan kotoran sapi digunakan untuk pupuk. ? Keagungan Sapi menurut Veda
Meskipun di zaman modern ini orang-orang sudah melupakan betapa agung dan pentingnya sapi, namun para umat yang mengikuti tradisi Veda masih tetap tegar untuk memberi penghormatan dan perlindungan kepada para sapi, keturunan Ibu Surabhi, yang tiada lain adalah bibi Dewa Indra (pemimpin para Deva). Diuraikan juga bahwa 33 juta Dewa yang bertugas di alam semesta ini, bertempat tinggal di setiap bagian badan sapi. Ibu Gangga, yang merupakan Dewi yang mampu menghapuskan berbagai dosa manusia yang mandi di di Sungai Suci Gangga, bertempat tingal di dalam kencing sapi. Ini hanya salah satu keagungan dari ibu sapi yang diuraikan di dalam sastra Veda. Karena itulah umat manusia dianjurkan untuk memelihara sapi dan memberikan penghormatan kepada sapi seperti kita memberikan hormat kepada seorang Ibu. Tuhan Sri Krsna sendiri yang muncul ke dunia material ini memberikan contoh kepada kita semua untuk menghormati sapi. Beliau bahkan lebih mementingkan sapi dari semua makhluk hidup lainya termasuk para Brahmana, seperti diuraikan di dalam sastra: namo brahmanya-devaya go brahmana-hitaya ca jagad-dhitaya krsnaya govindaya namo namah

Di Vrindavan, tradisi menghormati sapi masih berlangsung sampai sekarang. Di beberapa tempat di Vraja Bumi, ketika mereka memasak roti (capati), roti pertama akan diberikan kepada sapi karena mereka mengangap bahwa Shri Krsna hanya akan menerima persembahan kalau mereka memuaskan para sapi dan para Brahmana, sehingga roti kedua akan diberikan kepada orang suci yang lewat di daerah desa tersebut sedangkan roti lainnya di persembahkan kepada arca Sri Krsna. Srila Bhaktivedanta Swami Prabhupada, pendiri dan Acharya ISKCON, menguraikan bahwa perlindungan sapi sangat penting sekali di dalam kehidupan rohani. Beliau menjelaskan sebagai berikut:
“Masyarakat manusia hendaknya menyadari pentingnya sapi-sapi betina dan sapi jantan dan dengan begitu dapat memberikan segala cara untuk melindungi binatang penting ini, mengikuti jejak langkah Mahārāja Parīkṣit. Tuhan yang sangat bermurah hati kepada sapi dan kepada para Brāhmaṇa (go-brāhmaṇa-hitāya) akan puas terhadap kita dan akan memberkati kita semua dengan kedamaian yang sejati jika kita melindungi sapi-sapi dan budaya kebrāhmaṇaan”
– Srimad Bhagavatam 1.17.9
Dengan melalaikan para sapi, apa lagi dengan mendirikan tempat pemotongan sapi, ini hanya akan menghancurkan kesejahteraan dunia. Seperti yang digaris bawahi oleh Srila Prabhupada sekali lagi dalam Srimad Bhagavatam 1.4.9: “Membunuh sapi berarti mengakhiri peradaban manusia”
Dari penjelasan diatas, hendaknya kita dapat membedakan istilah menghormati dan memuja. Orang Hindu memperlakukan sapi secara istimewa adalah untuk menghormati sapi, bukan memuja sapi. Hindu hanya memuja satu Tuhan, “Eko narayanan na dwityo asti kascit” tapi menghormati seluruh ciptaan Tuhan, terutama yang disebut Ibu, para Dewa yang mengatur alam material dan semua umat manusia. Dalam tradisi juga Hindu dikenal beberapa entitas yang dapat disebut sebagai Ibu yang harus kita hormati, yaitu:
ātma-mātā guroḥ patnī brāhmaṇī rāja-patnikā
dhenur dhātrī tathā pṛthivī saptaitā mātaraḥ smṛtāḥ
– Niti-Sastra 1.39
Ibu yang melahirkan kita, yaitu ibu kandung kita sendiri (ātma-mātā)
Istri dari para guru tempat kita menuntut ilmu (guru patnī)
Istri dari para orang suci/Brahmana (brāhmaṇī)
Ibu negara/ratu serta istri dari raja/kepala pemerintahan (raja-patnī)
Ibu yang menyusui kita walaupun tidak mengandung kita, serta yang memelihara dan mengasuh kita walaupun tidak melahirkan dan menyusui kita (dhātrī)
Sapi yang telah memberikan kita susu, sumber Panca Gavya dalam pengobatan Ayur Veda dan juga yang tenaganya telah kita gunakan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan kita (dhenu)
Ibu Pertiwi, yaitu bumi dan alam ini yang telah memberikan penghidupan pada kita dan harus kita jaga kelestariannya (pṛthivī)
Sekarang kita gunakan hati nurani kita, apakah kita akan tega membunuh dan memakan daging sapi yang sudah kita minum susunya, yang sudah membantu pekerjaan-pekerjaan fisik kita dalam menarik pedati dan juga membajak sawah?
Disaat manusia dapat dengan mudahnya membunuh, memotong kepala ayam dan sapi tanpa perasaan, maka disaat itulah mereka akan memotong kepala manusia dan bahkan ibu kandungnya sendiri seperti memotong kepala seekor ayam.
*Tradisi Menghormati Sapi di Zaman Modern
Masyarakat kita di kalangan Hindu Bali sering memperingatkan bahwa kalau setelah makan daging sapi, maka tidak boleh datang ke Pura tanpa mandi terlebih dahulu. Peringatan ini sering diberikan oleh para orang tua dan sudah merupakan peringatan turun temurun dari nenek moyang terdahulu. Namun sayangnya, beberapa orang beranggapan bahwa karena kalau kita makan daging sapi, maka kita tidak bisa masuk ke Pura, itu berarti sapi adalah binatang haram. Ternyata setelah kita amati dan mempelajari Kitab Suci Veda, sapi merupakan binatang yang suci yang dihormati oleh para Dewa sekalipun, dan bukanlah karena sapi merupakan binatang haram maka kalau kita makan daging sapi kita tidak bisa ke Pura, tetapi justru sebaliknya, karena sapi merupakan binatang yang sangat suci, sehingga kalau kita memakan daging sapi, maka kita diangap orang yang sangat berdosa, dengan demikian tidak bisa masuk ke Pura. Karena itu, setelah makan daging sapi, kita harus menyucikan diri, paling tidak mandi terlebih dahulu sebelum memasuki tempat suci. Ini bukan berarti bahwa kita bisa berlangsung memakan daging sapi dan kemudian mandi dan menyucikan diri. Tidak! Itu bukanlah proses Prayascita yang sejati. Proses Prayascita yang sejati adalah menyucikan diri dari perbuatan berdosa, merenungkan kegiatan berdosa tersebut dan berusaha untuk menghindari kegiatan tersebut. Kita hendaknya tidak melakukan Prayascita seperti layaknya gajah mandi. Sri Pariksit Maharaj di dalam Srimad Bhagavatam menguraikan sebagai berikut:
kvacin nivartate ‘bhadrāt kvacic carati tat punaḥ
prāyaścittam atho ‘pārthaḿ manye kuñjara-śaucavat
“Kadang kadang, orang sadar akan kegiatan berdosa namun melakukan kegiatan berdosa lagi. Dengan demikian saya menganggap proses melakukan kegiatan berdosa yang berulang-ulang dan penyucian berulang-ulang sebagai hal yang tidak berguna. Ini sama halnya dengan gajah mandi (kunjara-sauca-vat), karena gajah membersihkan dirinya dengan mandi namun begitu selesai mandi dan kembali ke daratan, sang gajah akan menghamburkan lumpur pada kepala dan badannya.”
– Srimad Bhagavatam, 6.1.10
Jadi, berdasar dari ajaran dari orang tua kita yang menyatakan bahwa tidak boleh ke Pura setelah makan daging sapi, hendaknya diambil serius dan menghindari daging sapi selama-lamanya serta berusaha mengerti keagungan sapi. Sudah tentunya kita menghindari penyemblihan sapi dan makan daging sapi bukan karena takut untuk masuk neraka semata tapi juga karena rasa kasih sayang kita kepada seluruh makhluk, terutama sapi, yang telah berkenan memberikan kita berbagai jenis makanan seperti yang telah diuraikan di atas. Tanpa kita bisa menghormati Ibu Sapi, maka kita tidak akan bisa memuaskan Yang Maha Kuasa, yang mempunyai rasa cinta yang sangat dalam kepada sapi. Tanpa seseorang memuaskan Yang Maha Kuasa, maka tidak ada kata kedamaian, baik di dalam hidup ini maupun di dalam kehidupan mendatang bagi orang seperti itu.

Jumat, 14 Juni 2024

Pesan di balik wayang..

 

Sapuh
Pesan kuat bagi seseorang yang lahir dalam wuku wayang konon katanya di pengaruhi oleh kekuatan dari berbagai macam energy negatif yang ditimbulkan oleh pengaruh Korawa dimana memiliki sifat-sifat negatif....karenanya harus di ruwat dengan Tutur bajik dan iringi dengan sesaji yang di lakukan Puja kuat oleh sang dalang dengan kekuatan batin.
Leger
Karakter buruk, sering mengadu domba, senang melihat penderitaan, hendaknya harus di sadarkan dan di netralisir dengan karakter baik dan Pandawa membawa pesan dimana memiliki 5 kekuatan yang sangat baik:
1 Wikrama ( semangat, keteguhan hati, Bima)
2 Bhakti ( hormat, penuh dengan ketulusan)
3 tapa samadhi ( melatih pikiran/arjuna
4 Upeksa ( batin yang seimbang/ nakula sahadewa)
5 Darma ( prilaku yang bajik, yudistira)
Inilah pesan yang kuat yang harus di upayakan oleh semua insan agar hidup menjadi lebih tenang untuk itu jalan Pengetahuan aji saraswati agar memiliki air pengweruh (bayu pinaruh) haruslah di jalani, siapa yang tak berpengetahuan maka sangat sulit bisa berkembang.
kelir wayang
Adalah batasan sekala dan niskala dimana manusia harus mengelola Intelek/emosi dan prilaku agar tetap seimbang dengan dualisme "Rwa Bhineda" bahwa hidup tidak hanya niskala saja namun upaya sekala adalah keharusan.
sangkala
Semua akan di makan oleh sang waktu, semua akan berubah seiring waktu, semua mengalami kemusnahan sering waktu, waktu adalah saat dan saat adalah kepastian.
" jangan hanya menitik beratkan pada ritual buta, Pesanya harus di terima utuh sehingga saat melakukan ritual dengan lascarya dan penuh bhakti, Keyakinan buta tak akan bermanfaat selain menyisakan kebingungan yang turun terumurun, karena Bhakti adalah jalan terang bukan jalan Awidya ( kegelapan dan kebodohan)"

Selasa, 04 Juni 2024

Mantra “Om Namah Shivaya”

 


Mantra “Om Namah Shivaya” Memiliki Kandungan Kekuatan Luar Biasa
Secara literal dalam bahasa sansekerta “Om Namah Shivaya” berarti saya mohon perlindungan, tuntunan dan keselamatan dari Dewa Shiva. Tapi maknanya tidak hanya sampai disitu. Mantra “Om Namah Shivaya” memiliki kandungan kekuatan luar biasa, dimana setiap suku kata mempunyai karunia tersendiri dalam menyelamatkan jiwa dari belenggu pikiran dan belenggu samsara.
Mantra “Om Namah Shivaya” adalah panca aksara sebagai karunia kemaha-sucian tertinggi Dewa Shiva sebagai keseluruhan alam semesta kepada jiwa-jiwa. Na berarti karunia Beliau, Ma berarti alam semesta, Si adalah Shiva, Va mengungkap rahasia karunia-Nya dan Ya adalah jiwa.
Mantra “Om Namah Shivaya” adalah panca aksara sebagai seluruh alam semesta itu sendiri yang terdiri dari lima unsur dasar [panca maha bhuta], yaitu : Na adalah unsur padat [pertiwi], Ma adalah unsur air [apah], Si adalah unsur cahaya [teja], Va adalah unsur udara [bayu] dan Ya adalah unsur ruang [akasha].

Mantra “Om Namah Shivaya” juga adalah panca aksara yang terkait langsung dengan prinsip-prinsip yang mengatur masing-masing dari lima lapisan badan kita [panca maya kosha], yaitu Na terkait pada badan fisik [annamayakosha], Ma terkait pada badan prana [pranamayakosha], Shi terkait pada badan pikiran [manomayakosha], Va terkait pada badan kebijaksanaan [vijnanamaya kosha] dan Ya terkait pada badan kesadaran [anandamayakosha]. Sedangkan pranava mantra Om / Aum di depan terkait pada Atman.
Dan yang terpenting, saat kita mengucapkan mantra “Om Namah Shivaya”, kita sesungguhnya sedang melakukan upaya mengakses energi mahasuci kesadaran kosmik Dewa Shiva. Dengan kata lain, kita sedang mengucapkan makna rahasia yang tersembunyi di dalam inti kesadaran kosmik Dewa Shiva.
Kesadaran kosmik adalah keadaan ketika kesadaran jiwa menjadi stabil dan kesadaran mengamati hadir sepanjang waktu dalam kondisi terbangun, bermimpi, dan tertidur.