Pelaksanaan upacara pengabenan dilaksanakan berdasarkan dresta yang berlaku. Seperti di Desa Sayan, Ubud, Gianyar, kerap diselenggarakan Ngaben Ngerit (sederhana). Pada proses awal sebelum Ngaben, ada yang disebut dengan Ngangkid di kuburan.
Prosesi Ngangkid diawali semua keluarga menuju kuburan memanggil atma orang yang sudah meninggal untuk diajak pulang kembali untuk diupacarai. “Kalau masalah hari, itu tergantung dari petunjuk Ida Pedanda tempat mohon hari baik. Ngangkidnya juga tidak di kuburan saja. Kalau ada yang dibakar dulunya dan dihanyut ke sungai atau pantai, ya ke sana juga harus melakukan Ngangkid ,” terang serati banten pengabenan, Ida Ayu Putu Widiastuti ketika diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) di Gria Mengwi, Ubud, Gianyar, pekan kemarin.
Pada umumnya Ngangkid dilaksanakan tiga hari sebelum pengabenan berlangsung. Tak ditampiknya bahwa Ngangkid di masing-masing desa adat berbeda karena punya aturan yang berlainan.
Dikatakannya, pelaksanaan Ngangkid terdapat beberapa rentetan upacara.
Wanita yang kerap disapa Dayu Niang Tu ini memaparkan yang pertama adalah mencari dewasa ayu (hari baik) untuk melaksanakan upacara atiwa-tiwa (pengabenan). Sebab, Ngangkid adalah salah satu upacara yang harus dilakukan ketika sawa akan dibersihkan.
Setelah itu, nunas izin di Pura Dalem. Dalam hal ini yang ditunas adalah atma yang sebelumnya dikubur tersebut. Terlebih waktu untuk makingsan (dikubur) itu tidak menentu.
Jika mampu, lanjutnya, akan menyelenggarakan pengabenan secara mandiri, juga bisa diaben lebih awal dari sawa lainnya. “Semua itu tergantung dari kesepakatan desa di masing-masing, di samping kemampuan dari keluarga ,” terangnya.
Ditambahkannya, nunasnya di tanah pamuhunan dan di Pura Mrajapati, dengan cara mohon izin dulu agar bisa atma yang akan diupacarai diajak pulang.
Prosesinya juga ada Ngeplugin, yakni memanggil kembali atma tersebut agar tahu jalan pulang. “Sama seperti kita mau ke hotel, kalau jemput seseorang kan harus lapor dulu ke petugas. Tidak langsung kita ke pimpinannya,” papar wanita asli Abiansemal, Badung tersebut.
Setelah itu, lanjutnya, baru dilaksanakan Ngangkid dengan simbolis, yang menggunakan sarana berupa ranting pohon dadap bercabang tiga. Dibarengi dengan pelaksanaan Ngeplugin, kemudian ada istilah Ngedetin (menarik). Yang berarti roh tersebut sudah berada di sanggah urip yang dibawa oleh keluarga sawa. Dimana terdiri atas rantasan (gambar berbentuk manusia) berasal dari kayu tipis. Ditaruh pada bokoran, dengan ranting dadap yang diisi uang kepeng 225. Di sana juga diisi benang Bali berwarna putih.
Kenapa menggunakan uang kepeng dengan jumlah ratusan? Dayu Biang Tu mengatakan sebagai simbol bahwa di sana sudah ada atma yang akan siap diupacarai. Sedangkan ranting dadap yang bercabang tiga tersebut sebagai lambang lahir, hidup, dan mati. Yang menandakan setiap makhluk hidup yang ada di dunia ini, pasti akan mengalami proses ketiga tersebut. “Selesai Ngangkid, juga terdapat beberapa upakara yang dihaturkan di kuburan berupa caru ayam hitam, sesajen suci, dan pohon anak pisang yang diyakini sebagai penebus dari atma yang sudah diangkid ” terangnya. Setelah itu, gundukan kuburan yang tadi dibongkar sudah bisa diratakan kembali.
Selanjutnya, bokoran yang berisi rantasan dibawa ke Pura Prajapati, Pura Dalem untuk mamitin (berpamitan). Karena sebelum diaben makingsan (dititip) di sana. Setelah itu, kemudian diajak ke bale dangin kalau Ngaben di rumah. Sedangkan jika Ngaben Ngerit dibawa ke petak (tempat Ngaben secara sederhana).
Sebelum ditaruh pada petak ada yang disebut dengan prosesi Manyapa. “Biasanya baru sampai di depan petak akan ditanyai atau disapa, ‘kija uli pidan, adi mara mulih, kija gen malali,” terangnya.
Sapaan itu maksudnya menanyakan kepada roh orang bersangkutan, kemana saja, kenapa baru pulang. Sambil diberikan nasi dan kopi. Saat itu juga dianggap sakit dan diberikan rempah-rempah (boreh) dan disimbolkan meninggal lagi.
Maka ditutuplah gorden yang ada di petak, kemudian dicarilah kelihan banjar untuk memberitahukan bahwa ada yang meninggal. Setelah itu, baru prosesi selanjutnya akan dilaksanakan.
Maka saat itu juga, sawa yang sebagai rantasan tersebut diambil kembali, untuk melaksanakan upacara Nyiramin (memandikan), yakni bertujuan untuk membersihkan secara simbolis. Pertama menggunakan anggapan, berfungsi sebagai ngerik kuku. Dilanjutkan dengan mandi sebuah takir. Pada alis diisi daun intaran, malem pada telinga. Di hidung ada pusuh menuh, waja pada gigi, sedangkan pipi daun delem. Bila sawa itu perempuan, pada rantasan ditutup dengan daun tunjung tepat pada kelaminnya, daun bulung pada sawa pria.
Setelah proses itu terlaksana, maka akan dihiasi kembali menggunakan wastra. Yang pria menggunakan destar dan dibuatkan seperti kamben layaknya pria. Sedangkan yang perempuan juga kamben selayaknya pakaian wanita yang dihiasi pada rantasan tersebut. Kemudian digulung menggunakan tikar Bali. Sebelum ditaruh pada petak kembali, maka akan diperciki tirta prasista oleh sulinggih yang muput saat itu.
Setelah ditaruh kembali pada petak, keluarga sawa akan bersembahyang di hadapan petak. Dayu Niang Tu mengatakan, sembahyang tersebut sebagai permohonan maaf kepada sawa. “Sembahyang di sana hanya sekali saja, selain sebagai permohonan maaf bisa juga berdoa biasa. Agar upacara tersebut berjalan dengan baik. Dan, atman sawa bisa menyatu dengan Sang Brahman, yaitu dengan cara sembahyang tangan kosong (muspa puyung),” imbuhnya.
Pada tempat berbeda, Bendesa Adat Sayan, dr. Tjok Gede Ardana mengatakan, pelaksanaan prosesi Ngangkid disebut dengan upacara Ngwangun, yakni sebagai tanda, jika akan diupacarai harus dibangunkan terlebih dahulu. Selain itu, sawa yang makingsan di geni dianggap sedang tidur di kuburan. Jadi, menunggu pelaksanaan upacara pengabenan berlangsung. “Kalau di Sayan sendiri pelaksanaan Ngangkid itu ditentukan oleh masing-masing Ida Pedanda. Semuanya dikembalikan kepada banjar masing-masing, yang akan melaksanakan pengabenan.
(bx/rin/ade/yes/JPR) –sumber