Selasa, 20 Oktober 2020

Cara Mempraktikkan Ajaran Nawa Widha Bhakti Menurut Ajaran Hindu

Kedamaian dan ketenteraman (Kerta Langu), adalah dambaan seluruh sekalian alam baik secara komunal maupun secara individual (personal). Maksudnya adalah dambaan akan kedamaian itu tidak hanya bagi umat manusia, tetapi tumbuh-tumbuhan dan binatangpun memerlukan kedamaian itu (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 241).

Kemudian perlu dipahami juga bahwa kedamaian itu bukan dibutuhkan saat ini saja, tetapi kedamaian itu dibutuhkan oleh seluruh sekalian alam baik untuk masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Demikianlah sabda, intruksi dan pesan dari Kitab Suci Veda yang harus kita tindaklanjuti dengan sraddha dan rasa bakti (iman dan takwa) yang mantap.



photo; sugaedam17
Apabila dalam kehidupan ini setiap umat manusia umumnya dan khususnya umat Hindu mampu mewujudkan kedamaian itu maka impian umat manusia untuk menciptakan suasana sorga di dunia ini dapat diwujudkan. Tetapi kenyataannya masih banyak umat manusia yang keliru memaknai hidupnya khususnya tentang suasana alam surgawi yang mereka dambakan di saat alam kematian, mereka berharap masuk surga atau menikmati suasana alam surgawi di saat kematian tetapi melupakan suasana alam surgawi dalam kehidupan nyata yaitu kehidupan saat di dunia fana ini.

Pada hal proses kematian yang baik adalah “Hidup yang baik dulu, baru mati yang baik”, karena dengan kehidupan yang baik di saat hidup dapat dijadikan modal dasar dan atau matra untuk pencapaian kehidupan yang lebih baik di saat ini dan saat di alam akhirat.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Namun fenomena Devasa ini, ternyata ketenteraman, kesalehan, keharmonisan dan kedamaian semakin menjadi harga mahal bagi sebagian besar individu atau kelompok umat manusia dalam kehidupannya, padahal dalam sebuah pengakuan, hampir setiap orang di dunia ini mengakui dan diakui dirinya sebagai orang yang beragama, dengan status orang beragama itu semestinya orang-orang beragama secara kontinu selalu berupaya mewujudkan kesalehan dan keharmonisan serta kedamaian (santih) di dunia ini.

Orang-orang beragama semestinya mampu memberikan penyembuhan (konseling) terhadap dirinya dan orang lain di saat-saat mengalami goncangan kejiwaan di mana orang- orang psikologi menyebutnya dengan ‘kekusutan mental’ akibat dari suatu masalah yang dihadapinya yaitu dengan menggunakan ayat-ayat kitab suci dan sastra-sastra agamanya sebagai pedoman dan tablet/kapsul yang harus diramu dan selanjutnya dikonsumsi sebagai obat untuk mengonseling atau menterapi psikis dirinya.

Renungkanlah sloka Ågveda X.117.6 sebagai berikut;


"Mogham annaý vindate aprcetaá satyam bravimi vadha it sa satya, nàryamanaý pusyati no sakhàyaý kevalàgho bhavati kevalàdi".


Terjemahan:


"Orang yang kurang pandai memperoleh kekayaan dengan sia-sia, Aku mengatakan kebenaran bahwa jenis kekayaan ini adalah benar-benar kematian untuk dia, Dia yang tidak menolong teman-temannya dan sahabat-sahabat karibnya, dia yang makan sendirian, menderita sendirian" (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 242).

Kemudian selanjutnya sloka Ågveda X.17.1


"Na và u devàá ksubham id vad am daduá utàúitam upa gacchanti måtyavaá,
uto rayiá pånato nopa dasyati utàpånan marditàraý na vindate".

Terjemahan:


"Para Deva telah memberikan rasa lapar kepada umat manusia dalam bentuk kematian, kematian itu bahkan terjadi kepada orang yang makan makanan yang baik (makmur), kekayaan tidak pernah berkurang oleh karena kemurahan hati (didermakan), orang yang kikir tidak pernah menemukan orang yang memiliki rasa belas kasihan".


Tetapi kenyataannya tidak sedikit orang-orang beragama di belahan dunia ini jasmani dan rohaninya tidak harmonis, tidak sedikit pula orang-orang beragama menciptakan suasana disharmoni, jiwanya mengalami kekusutan mental dan paling ironis sikap dan tindakannya justru tidak mencerminkan orang-orang beragama.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Kemudian di era globalisasi masa kini menghadapkan umat manusia atau masyarakat manusia kepada serangkaian baru yang tidak terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami sebelumnya dan bahkan kecenderungannya akan semakin berat permasalahan hidup yang akan dihadapinya. Pluralisme agama, suku, ras, etnis, golongan, berbagai kepentingan, dan yang lainnya adalah fenomena nyata.

Di masa-masa lampau kehidupan umat manusia relatif lebih tenteram karena kehidupan umat manusia bagai kamp-kamp yang terisolisasi dari tantangan-tantangan dunia luar. Sebaliknya masa kini kemajuan zaman menyebabkan persaingan hidup semakin ketat, pergaulan lintas etnis tidak bisa lagi dihindari, multi kepentingan semakin beragam, dan lain lain, menyebabkan umat manusia dewasa ini harus pandai-pandai dan arif dalam menghadapi dan mengatasi persoalan dalam hidupnya.


Di manapun masyarakat manusia itu berada di negara-negara di dunia ini termasuk di Indonesia memiliki sederetan perbedaan, di luar perbedaan yang mereka miliki dari sejak lahir. Seperti perbedaan etnis, kebudayaan, adat- istiadat, agama, kepercayaan, politik, dan lain lain. Fenomena ini bukanlah perkara mudah untuk menciptakan keharmonisan, ketertiban dan kedamaian di dunia untuk hidup sebagai masyarakat manusia dengan sederatan perbedaan- perbedaan itu, sekalipun manusia diyakini sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, apabila manusia itu sendiri tidak memiliki kepandaian, kearifan dan kebijaksanaan dalam mengapresiasi sederetan perbedaan-perbedaan yang ada. Kurang pandainya, ketidakarifan dan kebijaksanaan yang dimiliki oleh masyarakat kita mengapresiasi perbedaan itu merupakan beberapa faktor yang menyebabkan di era globalisasi ini timbul berbagai konflik baik konflik individu (personal) maupun konflik komunal (kelompok) (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 243).


Konflik individu misalnya; masih banyak orang stres atau mengalami goncangan kejiwaan (kekusutan mental) dan kasus bunuh diri akibat tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan dan tantangan hidup dan kehidupan yang dialami, dan lain sebagainya. Konflik komunal (kelompok) misalnya; timbulnya konflik horizontal antara masyarakat manusia yang satu dengan masyarakat manusia lainnya yang terjadi di belahan dunia yang mana setiap hari selalu mewarnai dan menghiasi pemberitaan media cetak dan elektronik seperti diantaranya; konflik antara anak dan orang tua, antara istri dengan suami, antara individu manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, kelompok manusia satu dengan kelompok manusia yang lainnya tentang diskriminasi, kekerasan, pelecehan, ketidakadilan, dan sebagainya tetang berbagai macam hal.

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Selanjutnya konflik yang disebabkan oleh penanaman ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin yang ekskulisifisme dan sempit, sehingga tidak sedikit masyarakat manusia seperti itu badannya dipasung, terkungkung, dan mengabaikan kebenaran serta menutup diri untuk menerima perbedaan dan kebenaran orang lain baik itu perihal etnis, kebudayaan, adat-istiadat, agama, kepercayaan, politik, dan sebagainya juga semakin marak terjadi dewasa ini.

Kemudian faktor yang lain juga disebabkan pula oleh karena dewasa ini kecenderungan bagi tidak sedikit orang lebih mengejar dunia material atau kemewahan duniawi ketimbang dunia spiritual. Ketidak seimbangan itu menyebabkan degradasi moral semakin meningkat, sikap dan karakter- karakter Ketuhanan pada setiap individu dan kelompok di tengah-tengah kehidupan masyarakat seperti; cinta kasih sayang, pelayanan, dan lain lain, semakin memprihatinkan.


Renungkanlah sloka Ågveda X.117.4 sebagai berikut;


"Na sa sakhà yo na dadàti sakhye"


Terjemahan:


"Dia bukanlah seorang sahabat yang sejati yang tidak menolong seorang teman yang memerlukan pertolongan".


Situasi dan kondisi konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat manusia itu menandakan bahwa arah gerak pikiran, perkataan dan perbuatan bagi setiap individu atau kelompok manusia seperti itu sangat mengabaikan prinsip- prinsip dasar tetang nilai-nilai kejujuran, kebajikan, kepatuhan dan ketaatan terhadap aturan keimanan, aturan kebajikan (hukum), hak asasi manusia, kesucian, pengendalian diri, kebersamaan, persatuan, pengorbanan yang tulus ikhlas, pelayanan, cinta kasih sayang, kerukunan, ketentraman dan kedamaian, pembebasan, pemuliaan, dan lain lain (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 244).

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Oleh karena itu situasi dan kondisi konflik itu baik personal maupun komunal yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita sangat dibutuhkan upaya bersama secara sadar, sabar, dan tulus ikhlas untuk mengatasi dan mencarikan solusi pemecahannya agar situasi dan kondisi hidup dan kehidupan masyarakat manusia masa kini dan dimasa yang akan datang tidak semakin kusut dan rumit, tragedi sosial, kemanusiaan dan rusaknya lingkungan hidup, dapat diminimalisir.

Karakter-karakter Ketuhanan dalam setiap jiwa individual masyarakat manusia perlu ditananamkan sejak dini, sehingga apabila karakter Ketuhanan itu telah tertanam dan tumbuh dalam setiap jiwa individual masyarakat dapat dijadikan modal sosial untuk menciptakan kesalehan dan keharmonisan sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat manusia.


Karakter Ketuhanan dalam setiap jiwa individual masyarakat manusia akan dapat tertanam, tumbuh dan berkembang dengan kesadaran, iman dan takwa yang mantap bahwa kelahirannya menjadi manusia adalah kesempatan untuk berbuat baik berdasarkan atas kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Kitab suci dari agama atau kepercayaan apapun yang ada di dunia ini, termasuk yang tersurat dan tersirat dalam kitab suci Agama Hindu yaitu dalam kitab Sarasamuccaya menyatakan bahwa menjelma, menjadi manusia sungguh-sungguh utama sebabnya demikian karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya menjelma menjadi manusia.

Oleh karena itu setiap jiwa individual manusia tidak semestinya bersedih hati sekalipun kehidupan manusia itu tidak makmur, dilahirkan menjadi manusia itu hendaklah menjadikan kamu berbesar hati, sebab amat sukar untuk dapat dilahirkan menjadi manusia, meskipun kelahiran hina sekalipun.


Sebagai penjelmaan manusia yang mempunyai keutamaan tersebut maka upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat kita untuk meredam situasi dan kondisi konflik yang semakin marak terjadi di sekitar lingkungan hidupnya internal dan eksternal baik konflik individual mapun konflik komunal.

Perhatikan petunjuk kitab suci Bhagavagita.II.53 sebagai berikut:


"úruti-vipratipannā te yadā sthāsyati niúcalā, samādhāv acalā buddhis tadā yogam avāpsyasi".


Terjemahan:


"Bila pikiranmu yang dibingungkan oleh apa yang didengar tak tergoyahkan lagi dan tetap dalam Samadhi, kemudian engkau akan mencapai yoga (realisasi diri)" (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 245).


Agar dapat keluar dan tidak memperburuk situasi dan kondisi konflik itu masyarakat manusia hendaknya selalu membangunkan kesadarannya dan menyalahkan pelita atau cahaya ke-Ilahian di dalam dirinya dengan selalu berdoa dalam setiap tindakan sehingga cahaya ke-Ilahian dapat bersinar dalam setiap badan dan jiwa manusia sehingga masyarakat manusia dapat membimbing dirinya dan orang lain dari ketidakbenaran menuju kebenaran yang sejati, dapat membimbing masyarakat manusia dari kegelapan menuju jalan yang terang benderang, dan dapat membimbing dirinya dari kematian Rohani menuju kehidupan yang kekal abadi.


Upaya sepatutnya dimulai dari diri sendiri individu manusia itu sendiri, kemudian dalam lingkungan keluarga, dan selanjutnya dalam kehidupan bermasyarakat yang lebih luas yaitu sesuai dengan tema yang dikemukakan dalam tulisan ini salah satunya dengan ‘Menanamkan Ajaran Nawa Wida Bhakti untuk Menumbuhkan Karakter Ketuhanan di Lingkungan Keluarga Sebagai Modal Dasar Guna Mewujudkan Kesalehan dan Keharmonisan Sosial’.


Pentingnya menanamkan ajaran Nawa Wida Bhakti untuk menumbuhkan karakter Ketuhanan di Lingkungan Keluarga ini dikarenakan beberapa hal diantaranya;


Pertama, kehidupan di lingkungan keluarga dewasa ini juga seolah-olah semakin digiring untuk meninggalkan jati dirinya sebagai anggota masyarakat yang religius dengan berbagai aktivitas ritual keagamaannya, sehingga kualitas iman dan takwa (sradha bhakti) yang selama ini dijunjung tinggi semakin lama semakin tergeser oleh pola kehidupan yang mengglobal dan modern.

Budaya global yang diakibatkan oleh modernisasi dalam berbagai bentuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) terus menerus mengikuti perkembangan sosial masyarakat manusia, sehingga kadangkala akibat dari pengaruh dunia global dan modernisasi ini bisa membawa manfaat yang positif dan negatif bagi kehidupan spiritual individu masyarakat manusia.

Dari segi positif modernisasi bisa menguntungkan kehidupan baik jasmani dan rohani individu masyarakat manusia, namun di sisi negatif modernisasi bisa mengakibatkan semakin tergesernya sendi-sendi kehidupan termasuk semakin terkikisnya nilai-nilai religiusitas pada sebagian anggota masyarakat manusia (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 246).

Pengaruh negatif yang dimaksud terhadap anggota masyarakat manusia dewasa ini sering terjadi perselisihan, kekerasan, diskriminasi, ketidak adilan, dan sebagainya yang kecenderungan perilakunya mengarah pada bentuk perilaku yang dapat merugikan dirinya, keluarganya dan kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat atau sosialnya. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan, karena jika hal tersebut di atas dibiarkan terus terjadi, maka kualitas kebersamaan, persatuan dalam bermasyarakat akan semakin menipis, dan pada akhirnya esensi sebagai masyarakat manusia yang memiliki keutamaan dibandingkan dengan makhluk lainnya melalui cara berpikir, berkata dan berperilaku semakin lama akan mengkhawatirkan.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Kedua, di lingkungan atau internal keluarga merupakan proses pembelajaran, pendidikan dan pembekalan pengetahuan paling awal. Oleh karenanya maka setiap anggota keluarga terutama orang tua, dituntut untuk senantiasa bersikap dan berbuat sesuai dengan dharma-nya, dengan harapan pada setiap anggota keluarga memiliki iman dan taqwa (sradha bhakti) sifat dan budi pekerti yang luhur serta berkepribadian mulia yang sangat diperlukan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat manusia.

Dalam kitab suci Veda dan susastra suci Veda yang lainnya banyak menguraikan tentang pentingnya ajaran bhakti, dan swadharma orang tua terhadap anaknya, demikian pula bhakti dan swadharma dari anak kepada orang tuanya. Dalam kitab suci Manavadharmasastra dijelaskan bahwa secara non fisik suami-istri masing- masing mengupayakan agar jalinan cinta dan kasih sayang, kesetiaan, mencari nafkah, menjaga kesehatan, dan seterusnya agar ikatan perkawinan dapat berlangsung abadi.

Kemudian terhadap anak-anak yang lahir, orang tua berkewajiban membesarkannya, memberikan perlindungan, pendidikan dan menyelenggarakan perkawinannya (Vivaha Samkara). Selanjutnya dalam Sarasamuscaya juga diajarkan tentang tiga kewajiban orang tua yang harus dilaksanakan dengan rasa bhakti yang tulus kepada anaknya yaitu sebagai berikut: Pertama, Sarirakrta, yaitu kewajiban orang tua untuk menumbuhkan jasmani anak dengan baik. Kedua, Prannadatta, artinya orang tua wajib membangun atau memberikan pendidikan kerohanian kepada anak. Ketiga, Annadatta, yaitu kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan kepada anaknya untuk mendapatkan makanan (anna) salah satunya kebutuhan hidupnya yang paling esensial.


Demikian pula dalam Kekawin Niti Sastra ada disebutkan syarat-syarat orang yang dapat disebut orang tua yakni apabila telah melakukan lima kewajiban yang disebut Panca Wida yaitu: Pertama, Sang ametuaken, artinya yang menyebabkan kita lahir. Ayahlah yang pertama-tama menyebabkan kita lahir dari rahim ibu. Awal mula dari sikap ayah dan ibu saat-saat menanam benih dalam rahimnya juga amat menentukan keberadaan kita dewasa ini (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 247).

Kedua, Sang anyangaskara, artinya orang tua mempunyai tanggung jawab menyucikan anak melalui upacara sarira samskara. Ketiga, sang mangupadyaya, artinya seseorang dapat disebut ayah apabila ia dapat bertanggung jawab pada pendidikan anak-anaknya. Pendidikan anak tidak dapat begitu saja diserahkan kepada guru-guru di sekolah. Ayah di rumah juga disebut guru rupaka. Keempat, Sang maweh bijojana, artinya orang yang dapat disebut ayah adalah orang yang memberikan anggota keluarganya makan dan kebutuhan- kebutuhan material lainnya.

Dagang Banten Bali


Secara umum seorang ayah memiliki tanggung jawab menjamin kebutuhan ekonomi keluarga. Kelima, Sang matulung urip rikalaning baya, artinya kewajiban seorang ayah melindungi nyawa si anak dari ancaman bahaya. Perlindungan tersebut tidaklah semata-mata berarti fisik, juga perlindungan yang bersifat rohaniah. Sedangkan bakti dan swadharma anak kepada orang tuanya, sesuai dengan perintah dan pesan dari sastra suci Veda, seorang anak dikatakan suputra apabila anak itu memiliki sradha, bhakti dan serta tumbuh menjadi anak yang mampu menyelamatkan dirinya, orang tuanya, dan seluruh keluarganya dari lembah penderitaan menuju kehormatan dan kebahagiaan. Dan yang lebih besar lagi berguna bagi masyarakat, bangsa dan negaranya.


Ajaran Nawa Wida Bhakti untuk menumbuhkan karakter Ketuhanan di lingkungan keluarga sebagai modal dasar guna mewujudkan kesalehan dan keharmonisan sosial, yang dimaksud adalah sebagai berikut:


Ajaran Nawa Wida Bhakti adalah salah satu ajaran Agama Hindu yang dapat dipedomani untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan masyarakatmanusia terhadap aturan keimanan, aturan kebajikan dan aturan upacara keagamaan yang bersumber dari ajaran agama yang dianutnya, serta dapat dipedomani dalam upaya melakukan penyembuhan (konseling) di saat-saat mengalami goncangan kejiwaan oleh masyarakat manusia di lingkungan keluarga yang mana kehidupan di lingkungan keluarga dewasa ini juga seolah-olah semakin digiring untuk meninggalkan jati dirinya sebagai anggota masyarakat yang religius dengan berbagai aktifitas ritual keagamaannya. Perihal penting lainnya adalah untuk mengelimase potensi-potensi konflik akibat kurang pandainya dan kurang kearifan serta kebijaksanaan dari masyarakat manusia terhadap sederetan perbedaan, di luar perbedaan yang mereka miliki dari sejak lahir.

Ajaran Nawa Wida Bhakti adalah salah satu ajaran Agama Hindu yang bersumber dari kitab Bhagavata Purana, VII.5.23, yang menyebutkan bahwa ada 9 (sembilan) cara berbakti (hormat, sujud, pengabdian, cinta kasih sayang, pelayanan, dan spiritual) yang disebut Nawa Wida Bhakti yaitu rasa bakti manusia terhadap Tuhan-nya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 248).


Konsep Nawa Wida Bhakti ini dapat dimaknai dalam konteks kehidupan sosial atau arah gerak putarannya secara horizontal yaitu rasa sujud, hormat- menghormati, pengabdian, cinta kasih sayang, spiritual, dan memberikan pelayanan antara manusia dengan sesamanya dan lingkungannya. Sehingga harapannya dengan nilai-nilai dari ajaran Nawa Wida Bhakti (hormat, sujud, pengabdian, cinta kasih sayang, pelayanan, dan spiritual) tercipta karakter Ketuhanan di lingkungan keluarga sehingga pada saatnya nanti dapat dijadikan sebagai modal dasar guna mewujudkan kesalehan dan keharmonisan sosial karena di lingkungan masyarakat umum atau lingkungan masyarakat yang lebih luas telah hidup atau dihuni oleh individu-individu manusia yang telah ditanamkan nilai-nilai ajaran Nawa Wida Bhakti, individu yang bermoralitas, serta memiliki budi pekerti yang luhur melalui proses pembinaan, pendidikan dan pendalaman atau penghayatan sejak awal di lingkungan keluarga.

Berikut uraian Cara Mempraktikkan Ajaran Nawa Widha Bhakti Sebagai Dasar Pembentukan Budi Pekerti Yang Luhur dalam zaman Global Menurut Ajaran Hindu adalah sebagai berikut:


1. Sravanam

Yaitu bakti dengan jalan mendengar. Arah gerak vertikal dari bakti mendengar ini adalah dalam hal ini masyarakat kita hendaknya meyakini dan mendengarkan sabda-sabda suci dari Tuhan baik yang tersurat maupun tersirat dalam kitab suci atau aturan-aturan keimanan, aturan kebajikan dan aturan upacara. Tetapi penomena arah gerak vertikal dari bakti mendengar yang kita jumpai di tengah-tengah kehidupan kita, termasuk di lingkungan keluarga dan masyarakat tidak sedikit individu manusia yang tidak mau mendengarkan sabda-sabda suci atau aturan- aturan keimanan, aturan kebajikan dan aturan upacara keberagamaan.


Kenyataan ini diperkuat apabila ada orang yang mewartakan ajaran tentang kebajikan, kebenaran, kesucian, dan lain-lain tentang sabda suci Tuhan justru yang terjadi malah ketidakpedulian, pelecehan, atau dengan kata lain respons yang muncul menunjukkan kekurangtertarikan akan pewartaan itu. Contoh kecil saja di sebagian banyak orang tidak mau mendengar atau bahkan mengantuk apabila ada ceramah-ceramah agama baik itu di tempat-tempat suci atau pewartaan melalui media cetak dan eletronik yang lain.


Tetapi kalau ada pewartaan/tayangan sinetron tentang gosip, fitnah, kekerasan, diskriminasi, dan lain-lain justru menjadi sebuah konsumsi bagaikan seorang pecandu. Selanjutnya arah gerak horizontal, bakti mendengar ini hendaknya masyarakat manusia dalam hidup dan kehidupannya menanamkan rasa bakti untuk selalu belajar mendengarkan nasehat dan menghormati pendapat orang lain serta selalu belajar untuk menyimak atau mendengarkan pewartaan tentang sesamanya dan lingkungannya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 249).


Fenomena yang sering terjadi tidak sedikit juga masyarakat manusia yang tidak peduli dan tidak belajar serta menghormati nasehat dan pendapat orang lain, serta tidak peduli dan tidak belajar untuk menyimak berita-berita tentang tragedi kemanusiaan dan kerusakan lingkungan. Padahal dalam hidup ini untuk mewujudkan cita-cita atau visi-misi hidup hendaknya dimulai dengan adanya kemauan dan kesadaran untuk mendengar. Pengetahuan, pemahaman dan pendalaman tetang berbagai hal hasil dari mendengar dapat dijadikan konsep dasar untuk menata hidup dan kehidupan di dunia ini yang kemudian ditindaklanjuti dengan berupaya untuk berbuat atau mencari solusi yang terbaik dalam mengambil sebuah tindakan akan kemanusiaan/sesama dan lingkungan.

Contoh; di lingkungan keluarga antara anggota keluarga semestinya selalu menanamkan sifat dan rasa bhakti untuk selalu mendengar baik antara suami dan istri, antara orang tua dan anak, untuk selalu membangun komunikasi aktif sehingga dapat mengurangi terjadinya miskomunikasi diantara anggota keluarga.


Sifat dan sikap ini akan dapat menumbuhkan karakter Ketuhanan di lingkungan keluarga itu, seperti; sifat, sikap dan karakter hormat- menghormati, sujud, cinta kasih sayang, pengabdian, pelayanan, berfikir yang baik dan suci, berkata yang baik dan suci, berbuat yang baik dan suci serta teguh dalam melaksanakan disiplin spiritual. Sifat dan sikap individu seperti itu akan dapat dijadikan sebagai modal sosial untuk menciptakan kesalehan dan keharmonisan sosial antara keluarga, antar sesama anggota masyarakat.


Sifat, sikap dan karakter individu yang selalu belajar untuk membuka diri mendengar nasihat, pendapat orang lain atau apa yang diwacanakan orang lain adalah sebuah sifat, sikap dan karakter insklusif yaitu sebuah sifat, sikap dan karakter membuka diri secara tulus ikhlas untuk mau mendengarkan kebenaran dari orang lain, karena dalam diri ada kebenaran tetapi diluar diri juga masih banyak kebenaran yang belum diketahui.


Untuk itu pesan yang ingin disampaikan melalui bhakti dengan jalan mendengar ini adalah dalam hidup ini masyarakat kita untuk selalu berupaya membudayakan untuk mendengar, baik mendengar secara vertical antara manusia dengan Tuhan-nya melalui sabda-sabda sucinya, maupun secara horizontal antar sesamanya dan lingkungannya.

Karena baik mendengar ataupun memberi pendengaran/pewartaan apabila sama- sama dilandasi dengan rasa bakti maka semua akan mendapat hasil (pahala) yang baik atau paling tidak dapat manfaat dari bakti mendegar ini. Iklim saling bakti mendengar ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat manusia yang diawali ditanamkan di lingkungan keluarga selanjutnya ditumbuhkembangkan secara harmonis dan dinamis dalam kehidupan sosial masyarakat di lingkungan masyarakat sosial yang lebih luas (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 250).


2. Wedanam

Yaitu bakti dengan jalan membaca, menyimak dan mempelajari, mendalami serta menghayati dan memaknai ajaran yang bersumber dari aturan keimanan, aturan kebajikan, dan aturan yang lainnya yang bersumber dari sabda-sabda suci Tuhan dan susastra suci yang lainnya.


Arah gerak vertikal masyarakat manusia dalam menjalani dan menata kehidupannya selalu meluangkan waktu untuk membaca, menyimak dan mempelajari, mendalami serta menghayati dan memaknai kitab suci dan susastra suci serta ilmu pengetahuan yang lainnya tentang Tuhan sebagai pedoman hidup, sehingga gagasan dan arah pilihan jalan hidup masyarakat manusia sesuai dengan sabda suci Tuhan yang tertuang dalam kitab suci atau sumber hukum agama yang diyakini dan dianut, tentunya dengan selalu tidak menutup diri atau mengabaikan hal-hal yang ada di luar dirinya.


Arah gerak horizontal dari bakti ini, masyarakat manusia kepada sesama dan lingkungan hidupnya untuk selalu membaca, menyimak dan mempelajari , mendalami serta menghayati dan memaknai situasi untuk menuju arah gerak yang lebih baik. Karena apabila salah dalam membaca, menyimak dan mempelajari , mendalami serta menghayati dan memaknai situasi maka salah juga dalam pengambilan keputusan. Iklim saling bhakti Wandanam ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat manusia untuk menciptakan kesalehan dan keharmonisan di lingkungan keluarga dan sosial kemasyarakatannya.


3. Kirtanam

Yaitu bakti dengan jalan melantunkan Gita/zikir (nyanyian atau kidung suci memuja dan memuji nama suci dan kebesaran Tuhan), bakti ini juga diarahkan menjadi dua arah gerak vertikal maupun arah gerak horizontal. Arah gerak vertikal melakukan bakti kirtanam untuk menumbuhkan dan membangkitkan nilai-nilai spiritual yang ada dalam jiwa setiap individu manusia, dengan bangkitnya spiritual dalam setiap individu akan dapat meredam melakukan pengendalian diri dengan baik, jiwa lebih tenang, tenteram dan terceriakan, situasi dan kondisi ini akan dapat membantu keluar dari kekusutan mental dan kegelapan jiwa. Sehingga dapat dijadikan modal dasar untuk menciptakan kesalehan dan keharmonisan individual yang damai dan bahagia.


Arah gerak horizontal masyarakat manusia berusaha selalu untuk melantunkan bakti kirtanam yang dapat menyejukkan perasaan hati orang lain dan lingkungannya. Kepada sesama atau anggota masyarakat yang lainnya tidak hanya melantunkan atau melontarkan kritikan dan cemohan tetapi selalu belajar untuk melatih diri untuk memberikan saran, solusi yang terbaik bagi kepentingan bersama dalam keberagamaan, kehidupan sehari-hari tentang kemanusiaan, kebersamaan, persatuan dan perdamaian, serta memberikan pengakuan dan penghargaan atau pujian akan keberhasilan dan prestasi yang telah dicapai terhadap sesama atau anggota masyarakat manusia yang lain (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 251).


Iklim saling bakti Kirthanam ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat manusia yang penanaman nilai-nilai bakti Kirthanam diawali di lingkungan keluarga sebagai modal dasar guna mewujudkan kesalehan dan keharmonisan sosial dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya.


4. Smaranam

Yaitu bakti dengan jalan mengingat. Arah gerak vertikal dari bakti ini adalah dalam menjalani dan menata kehidupan ini masyarakat manusia sepatutnya selalu melatih diri untuk mengingat, mengingat nama-nama suci Tuhan dengan segala Ke-Maha Kuasaan-Nya, dan selalu melatih diri untuk mengingat tentang intruksi dan pesan atau amanat dari sabda suci Tuhan kepada umat manusia yang dapat dijadikan sebagai pedoman atau pegangan hidup dalam hidup di dunia dan di alam sunya (akhirat) nanti.


Arah gerak secara horizontal dari bakti ini apabila dikaitkan dengan isu-isu pluralisme, kemanusiaan, perdamaian, demokrasi dan gender maka sepatutnya masyarakat manusia selalu berusaha untuk mengingat kembali tragedi dan penderitaan kemanusiaan, musibah dan bencana alam, dan lain-lain, yang diakibatkan oleh konflik-konflik atau pertikaian, kesewenang-wenangan, diskriminasi, dan tindakan kekerasan yang lainnya antara individu yang satu dengan individu yang lain ataupun antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain yang tidak atau kurang memahami dan menghargai indahnya sebuah kebhinekaan dan pluralisme.


Harapannya dengan mengingat tragedi, penderitaan, musibah dan bencana yang diakibatkan itu masyarakat kita selalu mewartakan dan mengingatnya sebagai bekal untuk mengevaluasi dan merefleksi diri akan indahnya kebhinekaan dan pluralisme apabilamasyarakat manusiamampu mengkemasnya dalam satu bingkai yaitu bingkai kebersamaan, persatuan dan kedamaian. Iklim saling bhakti Smaranam ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat manusia yang ditanamkan di awali dilingkungan keluarga sehingga tumbuh karakter Ketuhanan dalam setiap anggota keluarga sebagai modal dasar guna mewujudkan kesalehan dan keharmonisan sosial dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya.


5. Padasevanam

Yaitu bakti dengan jalan menyembah, sujud, hormat di Kaki Padma. Arah gerak vertikal dalam bakti ini masyarakat kita dalam menjalani dan menata kehidupannya sepatutnya selalu sujud dan hormat kepada Tuhan, hormat dan sujud terhadap intruksi dan pesan/amanat dari hukum Tuhan (rtam). Arah gerak horizontal masyarakat manusia untuk selalu belajar dan menumbuhkan kesadaran untuk menghormati para pahlawan dan pendahulunya, pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang telah dijadikan dan disepakati sebagai sumber hukum, para pemimpin, para orang tua dan yang tidak kalah penting juga hormat/sujud kepada ibu pertiwi (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 252).


Karena dengan adanya kesadaran untuk saling menghormati inilah kita akan bisa hidup berdampingan dalam kebhinekaan dan pluralisme, sehingga terwujud kebersamaan, perastuan, kesalehan dan keharmonisan sosial. Iklim saling bakti Padasevanam ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat manusia sehingga sejak dini semestinya ditanamkan untuk menumbuhkan karakter Ketuhanan di lingkungan keluarga sebagai modal dasar guna mewujudkan kesalehan dan keharmonisan sosial dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya.


6. Sukhynam

Yaitu bakti dengan jalan kasih persahabatan, menaati hukum dan tidak merusak sistem hukum. Baik arah gerak vertikal dan horizontal, baik dalam kehidupan material dan spiritual (jasmani dan rohani) masyarakat manusia agar selalu berusaha melatih diri untuk tidak merusak sistem hukum, dan selalu di jalan kasih persahabatan.


Iklim saling bakti Sakyam ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat kita untuk menumbuhkan karakter Ketuhanan mulai dari lingkungan keluarga dan selanjutnya dapat dijadikan sebagai matra dan sebagai modal dasar guna mewujudkan kesalehan dan keharmonisan sosial dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya.


7. Dahsyam

Yaitu bakti dengan jalan mengabdi, pelayanan, dan cinta kasih sayang dengan tulus ikhlas terhadap Tuhan. Arah gerak vertikal dari bakti ini masyarakat manusia dalam menjalani dan menata kehidupannya, untuk selalu melatih diri dan secara tulus ikhlas untuk mengahturkan mengabdikan, pelayanan kepada Tuhan, karena hanya kepada Tuhanlah umat manusia dan seluruh sekalian alam beserta isinya berpasrah diri memohon segalanya apa yang harapkan untuk mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat.


Arah gerak horizontal masyarakat manusia kepada sesama dan lingkungan hidupnya untuk selalu mengabdi, memberikan pelayanan dan cinta kasih sayang dengan tulus ikhlas untuk kepentingan bersama tentang kemanusiaan, kelestarian lingkungan hidup dan kedamaian di tengah-tengah kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Iklim saling bhakti Dasyam ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat manusia baik dilingkungan keluarga lebih-lebih di kehidupan sosial kemasyarakatannya.


8. Arcanam

Yaitu bakti dengan jalan penghormatan terhadap simbol-simbol atau nyasa Tuhan seperti membuat Arca, Pratima, Pelinggih, dan lain- lain, bhakti penguatan iman dan taqwa, menghaturkan dan pemberian persembahan terhadap Tuhan.


Arah gerak vertikal masyarakat manusia dalam menjalani dan menata kehidupannya untuk selalu menghaturkan dan menunjukkan rasa hormat, sujud, cinta kasih sayang, pelayanan, pengabdian kepada Tuhan dengan iman dan takwa kuat dan teguh dengan jalan menghaturkan sebuah persembahan sebagai bentuk ucapan terimakasih atas tuntunan, bimbingan, perlindungan, kekuatan, kesehatan dan setiap anugerah yang diberikan Tuhan kepada seluruh sekalian alam.


Arah gerak horizontal masyarakat manusia terutama kepada sesama dan lingkungannya dalam kehidupannya untuk selalu belajar untuk memberikan pelayanan, pengabdian, cinta kasih sayang, penguatan dan pemberian penghargaan kepada orang lain. Contoh, Pemerintah, pemimpin dan atau anggota masyarakat hendaknya memberikan pengabdian, pelayanan, cinta kasih sayang dan penghargaan kepada pemerintah dan pemimpinnya demikian pula sebaliknya kepada dan oleh rakyatnya yang telah menunjukan dedikasinya tinggi terhadap segala aspek kehidupan demi kemajuan dan perbaikan situasi dan kondisi bersama dan sekalian alam tentang kemanusiaan, kelestarian lingkungan dan perdamaian.


Karena pemimpin yang baik menghargai rakyatnya, demikian juga sebaliknya. Iklim saling bakti Arcanam ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat manusia di lingkungan keluarga dan di kehidupan masyarakat umum. Hal ini akan dapat menumbuhkan karakter Ketuhanan mulai dari lingkungan keluarga dan selanjutnya dapat dijadikan sebagai matra dan sebagai modal dasar guna mewujudkan kesalehan dan keharmonisan sosial dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya.


9. Sevanam atau Atmanivedanam

Yaitu bakti dengan jalan berlindung dan penyerahan diri secara tulus ikhlas kepada Tuhan. Arah gerak vertikal dan horizontal dari bakti ini masyarakat manusia selalu berpasrah diri dengan kesadaran dan keyakinan yang mantap untuk selalu berjalan di jalan Tuhan, berlindung dan penyerahan diri secara tulus ikhlas kepada Tuhan, sesama dan lingkungan hidupnya atau kepada ibu pertiwi, baik dalam kehidupan duniawi (nyata) maupun kehidupan sunya (niskala). Iklim saling bakti Atmanivedanam ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat manusia baik dalam kehidupan sosial dan kehidupan spiritualnya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 254).


Renungan Ågveda X.53.8


"Aúmanvati riyate saý rabhadhvam uttisthata pra tarata sakhàyah,
atra jahàma ye asan aúevah sivan vayam uttaremàbhi vàjàn".

Terjemahan:


"Wahai teman-teman, dunia yang penuh dosa dan penuh duka ini berlalu bagaikan sebuah sungai yang alirannya dirintangi oleh batu besar (yang dimakan oleh arus air) yang berat, tekunlah,bangkitlah dan seberangilah ia, tinggalkan persahabatan dengan orang-orang tercela, seberangilah sungai kehidupan untuk pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran".

Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/10/cara-mempraktikkan-ajaran-nawa-widha.html

Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Kamis, 15 Oktober 2020

Prof.Dr. Ida Bagus Mantra memimpin Sidang Saba II Parisadha Hindu Dharma, thn 1959.


Delapan organisasi keagamaan di Bali tanggal 26 Juni 1958 mengadakan pertemuan membahas usulan kepada pemerintah, yaitu mendudukkan agama Hindu Bali sejajar dgn agama2 lainnya. Organisasi tsb: Satya Hindu Dharma (I Gusti Ananda Kusuma), Yayasan Dwijendra (Ida Bagus Wayan Gede), Partai Nasional Agama Hindu (Ida I Dewa Agung Geg), Majelis Hinduisme (Ida Bagus Tugur), Paruman Para Pandita (Pedanda Made Kemenuh), Panti Agama Hindu Bali (I Ketut Kandia), Angkatan Muda Hindu Bali (Ida Bagus Gede Doster), dan Eka Adnyana (Ida Bagus Gede Manuaba).


Usulan tsb disampaikan kepada Presiden RI, perdana mentri, Mentri Agama, Mentri Dalam Negeri, Ketua Parlemen, Kepala Daerah Bali, Ketua DPRD Bali  dan pers.

Tgl 29 Juni 1958, 5 orang utusan organisasi agama menghadap Presiden RI di Tampaksiring. Mengusulkan agar Kementrian Agama RI ada bagian Agama Hindu Bali. Permohonan itu dikabulkan dan tanggal 5 September 1958 dibentuk Bagian Agama Hindu Bali pada Kementrian Agama.

Perjuangan dilanjutkan membentuk badan Keagamaan Hindu Bali. Tanggal 7 Oktober 1958 dibentuklah panitia untuk persiapan pembentukan Dewan Agama Hindu Bali. Panitianya adalah Paruman Para Pandita, Panti Agama Hindu Bali, dan Angkatan Muda Hindu Bali (Dr. Ida Bagus Mantra dan I Gusti Bagus Sugriwa). Tanggal 6 Desember 1958 panitia mengadakan rapat di Pesanggrahan Bedugul dgn hasil bahwa Hindu Bali Sabha akan diadakan di Denpasar.

Hindu Bali Sabha dilaksanakan 21-23 Februari 1959 di Fakultas Sastra Denpasar. Sidang ini melahirkan Piagam Parisada.
Piagam Parisada 23 Februari 1959 hanya menjangkau wilayah Bali, karena namanya Parisada Dharma Hindu Bali. Sabha Hindu Bali I, 7-10 Oktober 1964 menetapkan anggaran Dasar Parisada dengan Piagam Parisada terdahulu sebagai dasarnya, dengan perubahan yakni mengganti nama menjadi Parisada Hindu Dharma.  Sabha Hindu Bali II (mahasabha II) 2-5 Desember 1968 di #Denpasar, resmi menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia #PHDI.

#Sejarah #Bali #SejarahBali

www.sejarahbali.com

Sumber: Buku Biografi Ida Bagus Mantra, wikipedia, foto: Koleksi Pribadi @rai_mantra

Dagang Banten Bali

.BACA JUGA :

Jumat, 09 Oktober 2020

Teori-Teori Masuknya Agama Hindu ke Indonesia

Dari lembah Sungai Sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, seperti; ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Di Indonesia banyak ditemukan berbagai bentuk peninggalan sejarah bercorak ke-‘Hindu’-an.



Photo: imawp29

Kehadiran budaya Hindu di Indonesia menyebabkan terjadinya akulturasi dan perubahan tatanan sosial, dan sistem religius dari Bangsa Indonesia. Akulturasi merupakan perpaduan beberapa budaya, dimana unsur-unsur kebudayaan itu menyatu dan hidup berdampingan saling mengisi serta tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kebudayaan aslinya. Kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia diterima dengan tidak begitu saja melainkan dengan melalui proses pengolahan dan penyesuaian kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tanpa menghilangkan unsur-unsur asli. Hal ini disebabkan karena;

Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah perbendaharaan kebudayaan aslinya.
Kecakapan istimewa yang dimiliki Bangsa Indonesia atau lokal genius merupakan kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian bangsanya.
Pengaruh kebudayaan Hindu hanya bersifat melengkapi kebudayaan yang telah ada di Indonesia. Perpaduan budaya Hindu melahirkan akulturasi yang masih terpelihara sampai sekarang. Akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses pengolahan kebudayaan asing “India” sesuai dengan kebudayaan Indonesia.
Dengan masuknya agama Hindu ke Indonesia, terjadi perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia. Hal ini tampak dengan dikenalnya pembagian masyarakat atas Varna “profesi” atau yang lebih dikenal dengan nama wangsa (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:124).


Perubahan yang terjadi tidak begitu berpengaruh besar terhadap ekonomi masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena masyarakat Indonesia telah mengenal sistim pelayaran dan perdagangan tersendiri jauh sebelum masuknya pengaruh tersebut. Sebelum masuknya pengaruh Hindu di Indonesia, sistem pemerintahan dipimpin oleh kepala suku yang dipilih karena ia dipandang memiliki kelebihan tertentu jika dibandingkan anggota masyarakat/kelompok lainnya. Setelah pengaruh Hindu masuk maka berdirilah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang berkuasa secara turun-temurun. Raja dianggap sebagai keturuanan dari Deva yang memiliki kekuatan, dihormati, dan dipuja, sehingga memperkuat kedudukannya untuk memerintah wilayah kerajaan secara turun temurun serta meninggalkan sistem pemerintahan kepala suku.


Agama Hindu dinyatakan masuk ke Indonesia pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis dari benda-benda purbakala pada zaman abad ke 4 Masehi dengan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yajña oleh Raja Mulawarman”. Sang Mulawarman adalah raja yang berperadaban tinggi, kuat, dan berkuasa merupakan putra dari Sang Aúwawarman, dan sebagai cucu dari Sang Maharaja Kundungga. Keterangan yang lain menyebutkan bahwa Raja Mulawarman melakukan yajña (Kenduri) pada suatu tempat suci untuk memuja Deva Siwa. Tempat itu disebut dengan “Vaprakeswara”.


Kehadiran Agama Hindu di Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, seperti berakhirnya jaman prasejarah Indonesia. Perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama dengan memuja Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:125).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Mengenai masuknya agama Hindu ke Indonesia, ada beberapa teori yang menjelaskan hal tersebut. Teori-teori yang dimaksud antara lain:


1. Teori Brahmana;
Dikemukakan oleh J.C. Van Leur, berisi bahwa kebudayaan Hindu dibawa oleh para brahmana yang diundang oleh para kepala suku agar mereka dapat mensahkan/melegitimasi (investitur) kekuasaan mereka sebagai kepala suku di Indonesia sehingga setaraf dengan raja-raja di India. Teori ini pun dapat disanggah karena raja di Indonesia akan sangat sulit mempelajari kitab Veda dan ada pula aturan bahwa kaum Brahmana tidak diperbolehkan menyebrangi lautan, apalagi meninggalkan tanah kelahirannya


2. Teori Ksatriya;
Dikemukakan oleh F.D.K Bosch dan C.C. Berg, berisi bahwa agama Hindu dibawa oleh kaum kasta Ksatria (raja, pangeran) yang melarikan diri ke Indonesia karena kalah perang/ kekacauan politik di India. Di Indonesia sendiri, mereka mendirikan kerajaan sendiri dengan bantuan masyarakat sekitar dan karena kedudukannya sebagai raja, maka penduduk pun akan pula menganut agama Hindu.

Kalangan ksatria tidak mengerti agama dan hanya mengurusi pemerintahan.
Adanya ketidakmungkinan seorang pelarian mendapat kepercayaan dan kedudukan mulia sebagai raja.
Bukti arkeologis menunjukkan bahwa raja di Indonesia adalah raja asli Indonesia, bukan orang India (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:126)
3. Teori Wesya;
Dikemukakan oleh N. J. Kroom, berisi bahwa agama Hindu dibawa oleh para pedagang India yang singgah dan menetap di Indonesia ataupun bahkan menikah dengan wanita Indonesia. Merekalah yang mengajarkan kepada masyarakat dimana mereka singgah. Teori ini pun dapat dibantah dimana hanyalah varna Brahmana yang mampu dan bebas mengetahui isi dari kitab suci agama Hindu, veda. Ini disebabkan bahasa yang dipakai adalah bahasa kitab, Sansekerta, bukan bahasa sehari-hari, Pali


4. Teori Sudra;
Dikemukakan oleh Van Faber berisi bahwa agama Hindu dibawa oleh para orang buangan berkasta Sudra (tawanan perang) yang dibuang dari India ke Nusantara. Teori ini lemah karena pada dasarnya kebudayaan Hindu bukanlah milik dan cakupan varna mereka sebab kebudayaan Hindu dianggap terlalu tinggi untuk mereka


5. Teori Arus Balik
Teori ini berisi dua cara bagaimana Agama Hindu masuk ke Indonesia, antara lain:

Para Brahmana diundang kepala suku di Indonesia untuk memberikan ajaran Hindu dan juga melakukan upacara Vratyastoma, yaitu upacara khusus untuk meng- Hindukan seseorang.
Para raja di Indonesia pergi ke India untuk mempelajari agama Hindu. Setelah menguasai agama Hindu, mereka kembali ke Indonesia, memiliki kasta Brahmana, lalu mengajarkan agama Hindu kepada masyarakatnya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:127).

Dari seluruh teori yang telah disebutkan di atas, teori Brahmana adalah teori yang paling dapat diterima karena yaitu:

Agama Hindu dalam kehidupan di masyarakat segala upacara keagamaan cenderung dimonopoli oleh kaum Brahmana sehingga hanyalah Brahmana yang mungkin menyebarkan agama Hindu.
Prasasti yang ditemukan di Indonesia berbahasa Sansekerta yang merupakan bahasa kitab suci dan upacara keagamaan, bukan bahasa sehari-hari sehingga hanya dimengerti oleh Kaum Brahmana.

Diantara pendapat dan teori yang dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut di atas yang paling mendukung terkait dengan masuk dan diterimanya pengaruh Hindu oleh bangsa Indonesia adalah teori brahmana. Hal ini dilandasi dengan asumsi dan pemikiran bahwa, yang paling banyak tahu tentang urusan agama adalah golongan “varna” brahmana. Varna brahmana dalam tata kehidupan masyarakat Hindu disebut-sebut sebagai kelompok masyarakat yang ahli agama.



Sedangkan teori-teori yang lainnya masing-masing memiliki kelemahan tertentu dan kurang sesuai dengan situasi dan kondisi daerah yang dituju serta sifat-sifat Hindu itu sendiri. Demikianlah beberapa teori yang dikemukan oleh para ahli tentang bagaimana pengaruh Hindu masuk ke Indonesia pada jamannya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:128).


Perenungan Ågveda X.121.10


“Prajàpate na tvad etàny anyo viúvà jàtàni pari tà babhùva, yatkàmàs te juhumas tan no astu vayam syàma patayo rayinàm.


Terjemahan:

Dagang Banten Bali

‘Om Hyang Prajapati, pencipta alam semesta, tidak ada yang lain yang maha kuasa, mengendalikan seluruh ciptaan-Mu, kami persembahkan segala cita- cita kami, kepada-Mu, anugrahkanlah karunia berupa segala kebajikan kepada kami’.


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/09/teori-teori-masuknya-agama-hindu-ke.html


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Minggu, 27 September 2020

Presiden Soekarno bersama ibunda tercinta "Ida Ayu Nyoman Rai"


.
Siapa pernah menyangka jika di balik nama besar Soekarno sang pendiri bangsa dan Presiden Pertama RI, terdapat sosok ibu dan bapak yang memiliki keteguhan luar biasa mempertahankan cinta sejati hingga harus berurusan ke pengadilan? Bahkan sang ibu bernama Ida Ayu Nyoman Rai yang pada masa kecil lazim disapa Srimben harus membayar denda ke pengadilan 25 ringgit.

Sebuah situasi yang wajar ketika itu, karena Ida Ayu Nyoman Rai yang lahir pada 1881 itu adalah anak kedua dari pasangan Nyoman Pasek dan Ni Made Liran yang kala itu adalah orang terpandang di kota Singaraja, Buleleng. Bahkan Srimben semasa remaja di Banjar Bale Agung Singaraja, memiliki aktivitas utama membersihkan pura saban waktu pagi dan petang. Aktivitas ini sejalan dengan nama kecil pemberian orangtuanya Srimben yang artinya limpahan rezeki yang membawa kebahagiaan dari Bhatari Sri.


Kerasnya penolakan orang tua Srimben dan keluarganya atas hubungannya dengan kekasihnya itu, tak menyurut semangat dan upayanya untuk terus membina cintanya dengan sang kekasih. Kedua sejoli itupun harus memilih kawin lari dengan menginap di sebuah rumah seorang kepala polisi, teman dekat Raden Soekemi Sosrodihardjo.

Pernikahan pun dilangsungkan pada 1897 setelah sebelumnya pengadilan mengadili kedua pasangan itu untuk memastikan tak ada paksaan atas perkawinan yang sejati itu, meskipun Srimben harus membayar denda 25 Ringgit.

Usai menikah, orangtua Soekarno lalu hijrah ke Surabaya. Keduanya terus menjalani bahtera kehidupan rumah tangganya di kota itu hingga pada 6 Juni 1901 Nyoman Rai Srimben melahirkan Soekarno di sebuah rumah di sekitar pemakaman Belanda, Kampung Pandean III, Surabaya.
.
#Sejarah #Bali #SejarahBali




Kamis, 24 September 2020

Pengertian Astronomi dan Nama-Nama Planet dalam Tata Surya Hindu



Sang Hyang Widhi menciptakan alam semesta (bhuana agung) dan manusia (bhuana alit) melalui kekuatan dan kemahakuasaan- Nya. Menurut kitab suci Veda, alam semesta disebut Brahmānda. Brahmānda adalah benih alam semesta. Brahmānda berwujud bulat bagaikan telur besar yang mengapung di angkasa. Bhuana Agung adalah alam semesta tempat manusia hidup. Manusia mendapatkan sumber kehidupan dengan menggunakan elemen yang ada. Tempat hidup manusia dikenal sebagai Bumi, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 85).

Baca: Bulan Dan Hari-Hari dalam Agama Hindu




Image: tata susila hindu
Pengertian Astronomi Hindu


Bumi memiliki sumber kehidupan karena Bumi memiliki lima unsur yakni api, air, tanah, angin, dan ruang. Hal ini diperkuat dengan dilakukannya penelitian-penelitian oleh para ahli terkait Bumi. Ilmu untuk mempelajari Bumi dengan segala jenis planet lain di alam semesta ini disebut astronomi.



Agama Hindu dalam kitab sucinya telah mengajarkan kepada umatnya bagaimana alam semesta diciptakan dan unsur-unsur apa saja yang terdapat di dalamnya. Kitab suci yang khusus membicarakan tentang astronomi dikenal dengan sebutan Jyotisa.


Planet-Planet dalam Agama Hindu


Kitab Jyotisa atau Jyoti-Śāstra atau Jyoti-Veda merupakan bagian dari kitab Vedāngga. Vedāngga adalah batang tubuh Veda. Jyoti-Śāstra dipelajari untuk mengetahui pengaruh alam semesta terhadap manusia. Jyotisa amat berperan dalam menentukan hari baik atau hari yang tepat untuk melaksanakan ritual (yajña) atau membangun tempat suci.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Membangun tempat suci, seperti kuil, mandir, pura, candi dan tempat-tempat suci Hindu di berbagai daerah perlu memperhitungkan nilai religius, dan tata aturan yang baik. Dalam hal yajña, Jyotisa sangat berperan penting dalam menentukan hari raya agama Hindu. Kegiatan berdasarkan letak/kedudukan bintang-bintang dan planet-planet di langit, seperti, penentuan hari raya purnama dan tilem dalam Hindu yang menggunakan perputaran bulan, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 86).


Para ahli tata surya modern telah mengungkapkan bahwa terdapat beberapa planet. Dalam pandangan agama Hindu, terdapat beberapa planet. Pandangan aliran Surya-Sidhanta menyebutkan terdapat tujuh planet, yakni planet Aditya, Soma, Budha, Sukra, Angaraka, Brihaspati, dan Saniscara. Jika dikaitkan dengan nama planet-planet modern, akan tampak.

Planet Matahari dalam agama Hindu dikenal dengan nama Aditya.
Planet Bulan dalam agama Hindu dikenal dengan nama Soma.
Planet Merkurius dalam agama Hindu dikenal dengan nama Budha.
Planet Venus dalam agama Hindu dikenal dengan nama Sukra.
Planet Mars dalam agama Hindu dikenal dengan nama Angaraka, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 87).
Planet Jupiter dalam agama Hindu dikenal dengan nama Brihaspati.
Planet Saturnus dalam agama Hindu dikenal dengan nama Saniscara.

Image: Buku Tata Susila dan Budi Pekerti Hindu


Planet Neptunus dan Uranus atau pun Pluto tidak disebutkan dalam pandangan aliran Surya Sidhanta, Aliran ini menyebut adanya planet Rahu dan Ketu. Kedua planet yang terakhir disebutkan aliran Surya Sidhanta tidak dapat disamakan dengan Neptunus dan Uranus (Wikana, 2010:108).



Planet-planet dalam agama Hindu sering disebut Brahmānda. Brahmānda dalam kitab Pūraṇa dijelaskan sangat banyak jumlahnya. Selain planet-planet tersebut, agama Hindu, mengenal loka-loka atau alam-alam. Menurut pandangan agama Hindu, terdapat 14 loka atau alam, yakni 7 lapisan loka ke atas dan 7 lapisan loka ke bawah.


Tujuh lapisan alam ke atas disebut dengan sapta loka, yakni:

Bhur loka
Bhuvar loka
Svarga loka
Mahar loka
Jana loka
Tapa loka
Brahmā loka


Tujuh lapisan alam ke bawah disebut dengan sapta patala, yakni:

Atala
Vitala
Sutala
Talatala
Mahatala
Rasatala
Patala, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 88).

Referensi:


Susila, Komang dan Sri Mulia Dewi, I Gusti Ayu. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti (kelas 3) / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.


Sumber: Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas III
Kontributor Naskah : Komang Susila dan I Gusti Ayu Sri Mulia Dewi
Penelaah : I Wayan Paramartha dan I Made Redana
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Selasa, 22 September 2020

Pengertian Budaya dan Jenis-Jenis Tari Keagaman



Setiap daerah memiliki tarian khas yang menjadi kekuatan pemersatu antara anggota masyarakat. Agama Hindu adalah agama yang sangat menghargai budaya setempat. Agama Hindu selalu memberikan warna pada tari-tarian daerah masing-masing di mana agama Hindu berkembang. Setiap budaya yang mengandung nilai-nilai agama Hindu tetap memberikan kehangatan dan kenyamanan bagi pelakunya. Dengan demikian, budaya tersebut tetap mengakar kuat di masyarakat dan terus berkembang hingga sekarang.


Tari-tari yang diberikan napas Hindu disebut tari keagamaan. Tari keagamaan adalah tarian yang digunakan untuk memuja keagungan Sang Hyang Widhi. Tarian bukan hanya sekadar untuk menunjukkan keindahan dan kreasi, tetapi dapat juga dijadikan alat pemujaan bagi Sang Hyang Widhi. Tari keagamaan dipentaskan untuk melengkapi proses persembahyangan dalam agama Hindu, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 108).



Gambar-gambar tari di atas adalah sebagian dari tari keagamaan Hindu. Tari keagamaan dilakukan sebagai simbol rasa bhakti kepada Sang Hyang Widhi. Hindu memiliki banyak kebudayaan, terutama dalam pelaksanaan seni keagamaan. Baik itu seni tari, seni musik, dan seni suara. Namun dari banyaknya kebudayaan tersebut, Hindu tetap satu adanya, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 109).


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Jenis-Jenis Tari Keagaman


A. Tari Keagamaan



Negara Indonesia memiliki beragam kebudayaan dari Sabang sampai Merauke. Berbagai jenis tari diciptakan oleh para seniman. Oleh karena itu, Indonesia kaya akan budaya.


Mari kita mengenal jenis-jenis tari keagamaan dari berbagai daerah.


1. Tari Kecak


Tari Kecak adalah tarian yang menggunakan keserasian suara dari penarinya. Keserasian suaranya menghasilkan irama-irama yang dapat menumbuhkan kereligiusan. Tari Kecak dalam pementasannya menceritakan cerita Rāmāyaṇa. Cerita yang mengisahkan tentang bala tentara kera yang dipimpin Hanuman dan Sugriwa menghadapi Rahwana, raja raksasa. Cerita tari Kecak juga bisa mengambil dari epos-epos Hindu lainnya, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 110).





2. Tari Pendet

Tari Pendet melambangkan penyambutan atas turunnya Devata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi “ucapan selamat datang”, meski tetap mengandung makna yang sakral-religius.



3. Tari Serimpi

Tari Serimpi berasal dari Jawa Tengah, sebuah tarian keraton dengan suasana lembut, agung, dan menawan.




CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

4. Tari Jangget

Tari Jangget berasal dari Lampung. Tari Jangget adalah tarian untuk upacara-upacara peradatan. Tarian ini melambangkan keluhuran budi dan susila rakyat Lampung, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 112).




5. Tari Piring

Tari Piring berasal dari Sumatra Barat. Tari Piring adalah tari tradisional yang melambangkan suasana gotong royong rakyat dalam menunaikan tugas. Siang hari mengerjakan sawah ladang dan malam harinya bersuka ria bersama-sama.



6. Tari Gandrung

Tari Gandrung berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur. Tari Gandrung adalah tarian yang mengisahkan tentang terpesonanya masyarakat Blambangan kepada Devi Padi atau Devi Sri yang membawa kesejahteraan bagi rakyat. Tari Gandrung dipentaskan sebagai ucapan syukur masyarakat setelah panen. Tari Gandrung dibawakan dengan iringan instrumen tradisional khas Jawa dan Bali, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 113).



7. Tari Bedhaya Semang

Tari Bedhaya Semang berasal dari Yogyakarta. Tari Bedhaya Semang merupakan tarian sakral yang ditarikan di Keraton Yogyakarta. Tari Bedhaya Semang dipentaskan pada saat pelaksanaan ritual penting di dalam kerajaan, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 114).

Dagang Banten Bali


DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

8. Tari Tor-Tor

Tari Tor-Tor adalah tari yang berasal dari Mandailing, Sumatera Utara. Kata “Tor-Tor” berasal dari suara hentakan kaki penari Tor-Tor di atas papan rumah adat Batak. Para penari Tor-Tor bergerak dengan iringan gendang yang berirama menghentak. Tujuan tari Tor-Tor itu sendiri untuk upacara kematian, panen, penyembuhan, dan pesta muda-mudi, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 115).

9. Tari Gantar

Tari Gantar berasal dari Suku Dayak (Kalimantan). Tari Gantar dikenal sebagai tarian pergaulan antara muda-mudi. Tari Gantar juga digunakan untuk menyambut tamu yang datang. Tari Gantar melukiskan kegembiraan dalam menanam padi. Tari-tari di atas merupakan tari keagamaan yang hanya dipentaskan pada waktu-waktu tertentu. Tari- tari di atas memiliki nilai yang sangat religius atau sangat sakral. Setiap tari keagamaan yang dipentaskan dalam sebuah upacara memiliki tujuan dan fungsinya masing-masing, (Susila, dan Sri Mulia Dewi, 2015: 116).



Referensi:

Susila, Komang dan Sri Mulia Dewi, I Gusti Ayu. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti (kelas 3) / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.

Sumber: Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas III
Kontributor Naskah : Komang Susila dan I Gusti Ayu Sri Mulia Dewi
Penelaah : I Wayan Paramartha dan I Made Redana
Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

https://www.mutiarahindu.com/2018/12/pengertian-budaya-dan-jenis-jenis-tari.html