Rabu, 06 Januari 2021

Berubah Jadi Daerah Kosong, Pura Pulaki Pernah Menghilang






PULAKI: Suasana di Pura Pulaki, Buleleng, yang menjadi bukti jejak perjalanan Dang Hyang Nirartha. (Dian Suryantini/Bali Express)





SINGARAJA, BALI EXPRESS-Kisah berdirinya Pura Pulaki di pesisir Pantai Desa Banyupoh, Gerokgak, Buleleng, tidak terlepas dari sejarah perjalanan Dang Hyang Nirartha dari Blambangan (Jawa Timur) ke Dalem Gelgel (Bali), pada masa pemerintahan Dalem Sri Waturenggong (1460-1550 M).


Pura Pulaki yang terletak di tepi jalan Singaraja-Gilimanuk (sekitar 53,5 km dari Kota Singaraja) ini, merupakan Pura Kahyangan Jagat yang dipuja (disungsung) seluruh umat Hindu di Bali. Sejak pemugaran besar-besaran yang dimulai tahun 1984, Pura Pulaki kini tampak megah dan luas, sehingga memungkinkan umat Hindu melakukan persembahyangan bersama dengan leluasa.



Pura Pulaki sebenarnya merupakan pusat dari serangkaian pura sekitarnya, yaitu Pura Kerta Kawat di KM-51 dari Singaraja (sekitar 750 meter sebelah selatan jalan raya), Pura Melanting, Pura Pabean, dan Pura Pemuteran.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Urut-urutan upacara yang diadakan saat piodalan yang jatuh pada Purnamaning Kapat dimulai dari Pura Pulaki. Kemudian Pura Melanting dan Kerta Kawat. Lalu Pura Pemuteran, dan terakhir Pura Pabean.

Letaknya yang strategis di tepi jalan raya, sehingga tidaklah mengherankan sangat banyak mendapat kunjungan dari wisatawan asing ataupun domestik. Apalagi sudah tersedia tempat yang sangat baik untuk beristirahat dan tempat parkir yang sangat luas.

Di kawasan Pura Pulaki, tepatnya di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa perkakas yang dibuat dari batu. Antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat dari batu lainnya.

Berdasarkan temuan itu, dan jika dilihat dari tata letak maupun struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.

Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang berada di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad yang lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang dibutuhkan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku.

Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah terjadi perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan bukti dengan ditemukannya tananam lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.

Dari uraian itu, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut sampai dengan peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi.

Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa, tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana, lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki, dan Wangaya.

Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan Agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku 'Bhuwana Tatwa Maharesi Markandeya' yang disusun Ketut Ginarsa.

Kisah tentang Pulaki terdapat juga dalam buku 'Dwijendra Tatwa' yang ditulis I Gusti Bagus Sugriwa. Di situ terdapat uraian : "Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan, agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki”.

Panglingsir Pura Pulaki, Ida Bagus Mangku Kade Temaja, menceritakan, keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirartha dengan peristiwa dipralina-nya Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama.

Jadi, Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak tahun1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. 

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Namun sebelum itu, sejak zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Betara Dang Hyang Nirarta 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga maupun Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya, dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai berwarna merah, hitam, dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki.

“Suatu daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan hanya dihuni binatang buas, babi hutan, harimau, banteng, dan lain-lainnya,” terangnya.

Kendati begitu, lanjut Ida Bagus Mangku Kade Temaja, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya tetap setia ngaturang bhakti kepada bhatara di Pulaki dengan naik perahu dari Pantai Kalisada.

“Namun saat itu, pura sudah tak ada lagi. Sehingga pemujaannya dilakukan pada tumpukan batu yang ada di sekitar Pura Pulaki, yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini,” terangnya.

Ida Bagus Mangku Kade Temaja menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat pangayatan (pemujaan dari jarak jauh), karena warga tak berani masuk ke dalam hutan.

Mengingat tempat ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin ada orang yang berani masuk ke pedalaman hutan.

Tahun 1920, Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah Kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What.

Kawasan ini kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950, yang selanjutnya dilakukan pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu. Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950.

Dijelaskan Ida Bagus Mangku Kade Temaja, Pura Pulaki dan pasanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatung, Pura Puncak Manik, dan Pura Pemuteran, tidak bisa dipisahkan.

Dilihat dari lokasi sejumlah pura tersebut dan sesuai konsep Hindu Bali, lanjutnya, itu termasuk konsep Sapta Loka, yakni konsep tentang Sapta Patala atau tujuh lapisan alam semesta.

“Jadi, Pura Pulaki yang dibangun atas dasar perpaduan antara daerah pegunungan dan laut atau teluk, sehingga tata letak, struktur, dan lingkungan Pura Pulaki ini ditemukan unsur segara dan gunung yang menyatu,” lanjutnya.

Ditambahkan pula, dalam sejarah Pura Pulaki dinyatakan bahwa Dang Hyang Nirartha datang ke Bali memiliki tujuan, antara lain melantik Dalem Watu Renggong yang memerintah di Bali tahun 1460-1550 M. 

Dagang Banten Bali


Perjalanan beliau ke Klungkung dilakukan dari Desa Gading Wani. Anak-anaknya ditinggalkan di Desa Gading Wani. Beliau berjanji akan segera kembali setelah acara di Klungkung berakhir. Tetapi ternyata, Dang Hyang Nirartha tidak datang dalam jangka waktu yang lama.

Putri beliau, Ida Ayu Swabhawa akhirnya sangat gusar. Penduduk desa-desa di sekitarnya yang berjumlah delapan ribu orang dikutuk menjadi wong samar. Semua menjadi wong samar termasuk dirinya.

Ida Ayu Swabhawa dengan ribuan pengiringnya tinggal di bawah pohon-pohon besar. Pohon-pohon itu memiliki sulur-sulur tempat bergelayut (ngelanting). Di areal pohon itulah Ida Ayu Swabhawa dibuatkan palinggih yang disebut Pura Melanting.

“Beliau dengan wong samar itulah yang menjadi penguasa pasar. Barang siapa yang melakukan transaksi jual-beli pagi tidak sesuai dengan etika moral dharma, akan diganggu hidupnya oleh Dewi Melanting dengan anak buahnya. Kalau kegiatan di pasar mengikuti dharma, maka Dewi Melanting itulah yang akan melindunginya,” tuturnya.

Di samping distanakan di Pura Melanting, ada juga stana beliau yang disebut Pura Tedung Jagat. Pura inilah yang kemudian disebut Pura Pulaki, dan juga distanakan roh suci Dang Hyang Nirarta. Karena itu, Pura Melanting dan Pura Pulaki merupakan lambang predana-purusa sebagai tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran ekonomi.

Pura Pulaki disungsung subak di sekitar Pulaki. Selain itu, Pura Pabean merupakan tempat pemujaan bagi para nelayan dan para pedagang antarpulau. Mungkin identik dengan Pura Ratu Subandar di Pura Batur dan Besakih. Pura Kerta Kawat juga termasuk kompleks Pura Pulaki sebagai stana Tuhan, untuk memohon tegaknya moral etika dan hukuman dalam berbisnis.

Di pura ini disebut stana Bhatara Kertaningjagat. Selanjutnya Pura Gunung Gondol yang terletak 3 km dari pusat Pura Pulaki sebagai stana untuk memuja Dewa Mentang Yudha, yaitu Tuhan dalam fungsinya sebagai pelindung dari segala bahaya seperti Dewa Ganesa.



(bx/dhi/rin/JPR)

Senin, 04 Januari 2021

Mengenal Bahasa Atau Istilah Keseharian di Desa Pedawa






UNIK: Selain keunikan dalam bahasa sehari-hari, Desa Pedawa juga memiliki keunikan tetkait tempat pemujaan, dengan adanya Sanggah Kamulan Nganten, seperti yang tampak di salah satu rumah warga Desa Pedawa. (Dian Suryantini/Bali Express)

SINGARAJA, BALI EXPRESS-Masyarakat Desa Pedawa secara umum memiliki karakteristik bahasa yang berbeda dari masyarakat Bali pada umumnya. Bahkan, bahasa di Desa Pedawa tidak mengenal tingkatan bahasa, seperti bahasa desa lainnya di Bali. Berikut arti sejumlah bahasa di Desa Pedawa di Kecamatan Banjar, Buleleng. 

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Aisti Baa biasanya diucapkan atau diungkapkan ketika merasa sedih dan menyesal. Aku berarti saya, yang biasa digunakan dengan teman sejawat. Alanganga artinya dihabiskan. Ames berarti lahap. Apik artinya bersih dan rapi. Ara artinya tidak. Ayang artinya mengajak.


Kemudian, Babuan artinya di atas. Berek artinya bau. Binlatasan artinya sebentar lagi. Carah artinya seperti. Da artinya jangan. Dangla artinya aneh. Dot artinya ingin.


Ee artinya iya. Gubane artinya penampilan. Gujat-gujet artinya terguncang. Inem artinya minum. Ingken artinya kenapa. Jaa artinya dimana. Kado artinya percuma.

Selanjutnya, Kaka artinya kakak. Kaka merupakan bentuk penghormatan kepada seorang kakak. Kal artinya mau. Kanti artinya sama. Kayuan artinya tempat permandian. Kedeng artinya tarik. Kicak artinya kecil. Kinto artinya begitu. Ko artinya kamu. Kosen artinya boros. Kual artinya nakal.

Bahasa umum Pedawa selanjutnya, Kutanga artinya dibuang. Lem-lem artinya pucat. Likad artinya jalan yang rusak.

Madak artinya semoga. Maku artinya kesana. Mangle artinya asam. Mecacad artinya bertengkar. Mediman artinya berciuman. Megentet artinya berpegangan tangan. Meglebug artinya jatuh. Mekale artinya rebut. Mekarep artinya berpacaran. Mekepres artinya menggunakan parfum.



Melemeng artiya menginap. Men artinya menikah. Nang artinya dengan. Ngalap artinya memetik. Ngamah artinya makan. Di Bali pada umumnya Ngamah dikenal sebagai bahasa yang kasar karena biasanya ditujukan kepada binatang, namun di Desa Pedawa kata tersebut merupakan kata yang akrab.

Ngelamit artinya tidak membayar pada saat berbelanja. Ngewalek artinya mengejek. Ngulungang artinya menjatuhkan. Ngunuh artinya mencari. Ngunya merupakan prosesi yang dilakukan sebelum pernikahan antara orang Pedawa, ngunya biasanya dilakukan pada sore hari.

Selanjutnya, Nira merupakan kata yang biasa digunakan untuk menyebut diri kepada orang yang lebih tua. Nyegang artinya menaruh. Nyilem artinya menyelam.

Nyuang artinya mengambil. Panteg artinya tertimpa. Sander artinya disambar petir. Sangkol artinya menggendong. Sema artinya kuburan. Sembe artinya lampu.

Singa artinya seperti itu. Suh artinya suruh. Uba artinya sudah. Unden artinya belum. Uraang artinya katakan. Was artinya pergi. Waya artinya jalan.



(bx/dhi/rin/JPR)

Pura Taman Pule, Muasal Ajaran Siwa Sidhanta Diturunkan




UTAMA : Utama Mandala Pura Taman Pule di Desa Mas, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, pekan lalu. (Putu Agus Adegrantika/Bali Express)





GIANYAR, BALI EXPRESS-Pura Taman Pule di Desa Mas, Ubud, Gianyar, sejarahnya diyakini berawal dari pasraman Dang Hyang Nirartha saat berada di Desa Mas. Pura Dang Kahyangan ini, untuk memuliakan orang suci yang sangat berjasa dalam mengemban serta menyebarkan ajaran dharma.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Wakil Kelihan Pura Taman Pule, Ida Bagus Ari Prama, menjelaskan, sejarah adanya pura ini berkaitan erat dengan kedatangan seorang Maha Rsi Dang Hyang Nirartha ke Bali.



Dikatakannya, dari Pantai Purancak, Dang Hyang Nirartha melakukan perjalanan masuk ke pedalaman Bali hingga menuju ke timur. Mengunjungi sejumlah desa, seperti Gading Wani, Mundeh, Kapal, hingga Kuta.


Nah ketika datang ke Desa Gading Wani, Dang Hyang Nirartha disambut Ki Bandesa Gading Wani. Sebab, ketika itu Dang Hyang Nirartha dapat menyembuhkan penduduk yang dilanda wabah penyakit.

Kemudain Ki Bandesa Gading Wani didiksa menjadi seorang pendeta, serta dianugerahi ajaran kerohanianyang tertulis dalam Geguritan Sebub Bangkung.

“Kedatadangan Dang Hyang Nirartha di Bali tersebar sampai di Desa Mas, Kecamatan Ubud. Karena itu, Ki Bandesa Mas menjemput Dang Hyang Nirartha ke Desa Gading Wani untuk diasramakan di Desa Mas,” sambungnya.

Saat itu Dang Hyang Nirartha menyetujui, dan beliau disambut dan diasramakan di pertamanan Bendesa Mas. Di desa tersebut, Dang Hyang Nirarta kemudian menyebarkan ajaran Siwa Sidhanta. Bahkan, Ki Bandesa dan rakyatnya menjadi murid Dang Hyang Nirartha.

Sebagai tanda bakti dan terimakasih, Ki Bandesa menyerahkan putrinya bernama Ni Ayu Mas agar berkenan dijadikan istri Dang Hyang Nirartha, yang kemudian melahirkan putra bernama Ida Kidul.

“Setelah Ki Bandesa Mas tamat berguru, akhirnya didiksa menjadi seorang pendeta, diberikan anugerah perihal kependetaan, ajaran kehidupan, sampai dengan ajaran kelepasan. Akhirnya Dang Hyang Niarartha pindah dari taman Bandesa. Dibuatkanlah beliau tempat tinggal yang disebut Griya,” papar Ari Prama.

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Selama Dang Hyang Nirartha menetap, disebutkan jika Desa Mas sangat aman dan damai. Selain itu, seluruh penduduk tidak ada yang tertimpa bahaya dan penyakit, bahkan segala tanaman sangat subur.

Selanjutnya pada suatu hari, tujuan beliau mendirikan sebuah pura disetujui Ki Bandesa dengan seluruh rakyat. Maka pura itu diberikan nama Pura Pule.

Selain itu, dibuatkan juga sebuah taman di sebelah timur Pura Pule yang dipakai untuk bercengkrama.

Karena Pura Pule berdekatan dengan taman, maka pura tersebut diberi nama Pura Taman Pule yang diplaspas pada Saniscara Kliwon Kuningan, tahun Saka 1411 tahun 1489 masehi.

Setelah berdiri parahyangan di Taman Pule, pasraman beliau lalu diberi nama Griya Taman Pule. Begitu juga pada taman tersebut dibuat sebagai bersuci lengkap dengan telaga (kolam) yang airnya besumber dari sumur Ki Bandesa Mas.

Kolam itu sampai sekarang kerap digunakan obat atau penetral. Seperti seorang ibu yang tidak dapat mengeluarkan air susu, maka diarahkan supaya mohon air yang berada di sumur atau kolam tersebut untuk membasuh susunya. Kolam itu pun disebut dengan Taman Kalembu atau kerap disebut Pura Beji.



(bx/ade/rin/JPR)

Jumat, 01 Januari 2021

Bung Karno dan Bhagawadgita




Bung Karno dan Bhagawadgita

Dalam pidato pembelaannya di depan pengadilan kolonial Belanda pada tahun 1929/1930 Bung Karno mengutip Bagawad Gita sloka 23, 24 dan 25 sbb:

"Weapon do not cut This,
Fire does not burn This,
Water does not wet This,
Wind does not dry This.

Indeed : It is uncleavable
It is non-inflameable
It is unwetable and undryable also!
Everlasting, all-pervading, stable, immobile,
It is Eternal. The Soul and The Spirit

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Bung Karno menerjemahkan sloka diatas sbb :

"Ketahuilah! Senjata tiada menyinggung hidup,
Api tiada membakar, tiada air membasahi,
BACA JUGA
Bhagavadgita Bab XV - Yoga Berhubungan dengan Kepribadian Yang Paling Utama
Bhagavadgita Bab XIV - Tiga Sifat Alam Material
Bhagavadgita Bab XIII - Alam, Kepribadian Yang Menikmati dan KesadaranTiada angus oleh angin yang panas,
Tiada tertembusi, tiada terserang, tiada terpijak.
Dan merdeka, kekal-abadi, dimana-mana tetap tegak.
Tiada nampak, terucapkan tiada.
Tiada terangkum oleh kata, dan pikiran.
Senantiasa pribadi tetap!
Begitulah disebut Jiwa."

(Bung Karno dalam "KEPADA BANGSAKU" tahun 1948)

Setelah diucapkan di depan hakim kolonial di Bandung, sloka di atas sering diulang-ulang lagi dalam revolusi fisik untuk menggelorakan Jiwa dan semangat perjuangan melawan kekejaman dan ketidak-adilan.


Sangat menarik, bahwa sloka di atas diangkat kembali oleh Dr H Roeslan Abdulgani dalam tulisannya di Harian Rakyat Merdeka tanggal 23 April 1999 yang dikaitkan dengan makna tahun baru Hijrah (Islam) dan Suro (Jawa). Kita kutip pernyataan tokoh nasional dan intelektual ini sbb : "Kinipun Jiwa itu secara aktif dibangkitkan kembali oleh para pemimpin dan rakyat kita yang peduli untuk mengatasi krisis multi-dimensional sekarang. Jalan ini merupakan jalan moral dan etika yang religius-Tuhaniyah. Ia diarahkan ke alam bathin kita sendiri. Ke arah mawas diri sebagai langkah pertama ke arah self-koreksi yang sangat diperlukan dalam melaksanakan Reformasi sekarang.

Dalam persepsi kita, maka Baghawad Gita adalah suatu allegori. Suatu tamsil serta ibarat yang falsafati sangat mendalam dan luas sekali. Sangat religius dan penuh mistik.

Oleh: NP. Putra

Kamis, 17 Desember 2020

Wujud Toleransi, Perang Topat Hindu-Muslim di Pura Lingsar






LINGSAR : Suasana Pura Lingsar di wilayah Batu Kumbung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Pamangku Pura Lingsar, Jero Mangku Gede Rai. (Putu Agus Adegrantika/Bali Express)


Share this




LOMBOK, BALI EXPRESS-Kerukunan umat beragama sangatlah perlu dirawat dan dijaga di Nusantara, karena sudah ada sejak dahulu.


Bahkan sampai saat ini, baik simbol, tradisi maupun budayanya masih ada, dan masing-masing daerah memiliki cara tertentu untuk menjaganya, seperti yang ada di Pura Lingsar di Nusa Tenggara Barat.


Cara Simple mendapatkan penghasilan harian dari trading forex klik disini



Pura Lingsar yang terletak di Batu Kumbung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, merupakan peninggalan Raja Karangasem Anak Agung Gede Ngurah pada tahun 1714 silam, jadi cerminan kerukunan antarumat beragama, khususnya di Lombok Barat. Kerukunan tersebut terjalin antara umat Hindu serta umat Islam Sasak Wetu Telu.


Pemangku Pura Lingsar, Jero Mangku Gede Rai yang ditemui pekan kemarin, mengatakan, yang biasanya datang ke Pura Lingsar adalah umat Hindu serta umat Islam Wetu Telu.

“Yang tangkil biasanya kesini adalah umat Hindu dari Bali yang melakukan tirta yatra. Tetapi disini juga ada suku Sasak yang beragama Islam namanya Islam Wetu Telu juga ikut bersembahyang,” jelasnya.

Dijelaskan Jero Mangku Gede Rai, panyungsung Pura Lingsar ini berasal dari tujuh banjar setempat, yakni Banjar Tragtag, Lingsar, Karang Baru, Ponikan, Pemangkalan, Motang, dan Karang Bayan. Dari ketujuh banjar ini pun ada yang dari Suku Sasak Islam Wetu Telu.

Dikatakan Jero Mangku Gede Rai, bahwa Islam Wetu Telu ini merupakan praktik unik sebagian masyarakat Suku Sasak. Khususnya yang mendiami Pulau Lombok dalam menjalankan Agama Islam yang hanya menjalankan tiga rukun Islam. Yaitu membaca dua kalimat syahadat, salat, dan puasa.

Cara Simple mendapatkan penghasilan harian dari trading forex klik disini 

“Mereka biasanya datang ke Pura Lingsar untuk bersembahyang. Cara persembahyangan mereka juga hampir sama dengan umat Hindu, hanya posisi tangannya tidak di atas, melainkan di posisi dada saja,” terangnya.

Dipaparkannya, Pura Lingsar terbangun atas konsep Tri Mandala, yakni Utama Mandala, Madya Mandala, serta Nista Mandala. Biasanya, Suku Sasak Islam Wetu Telu melakukan persembahyangan di Madya Mandala. Dimana di Madya Mandala Pura Lingsar ini terdapat palinggih.

“Disini biasanya mereka berbaur dengan umat Hindu juga. Biasanya kalau Islam Wetu Telu bersembahyang di sebelah kiri dan umat Hindu di sebelah kanan,” jelas Jero Mangku Gede Rai.

Sedangkan di Utama Mandala terdapat tiga palinggih, yaitu palinggih yang utama adalah Palinggih Bhatara Alit Sakti menjadi tempat untuk ngayeng (memuja) Ida Bhatara Alit Sakti yang berstana di Bukit Karangasem Bali.

“Saat pujawali atau piodalan Purnama Sasih kaenem, biasanya juga bersamaan dengan pujawali di Madya Mandala, Islam Wetu Telu juga melaksanakan pujawali,” ungkapnya.

Dijelaskannya, di Pura Lingsar ini terdapat enam orang pamangku, yang setiap harinya sebanyak tiga orang pamangku bertugas di pura. 

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Jero Mangku Gede Rai mengatakan, ada tradisi yang unik yang dilakukan di pura ini, yakni Perang Topat. Perang Topat adalah sebuah acara adat yang diadakan di Pura Lingsar yang merupakan simbol perdamaian antarumat Muslim dan Hindu di Lombok.

Acara ini dilakukan sore hari, setiap Bulan Purnama Ketujuh dalam penanggalan Suku Sasak. Sore hari yang merupakan puncak acara, dilakukan setelah Salat Ashar atau dalam Bahasa Sasak atau Rarak Kembang Waru yang berarti gugur bunga waru.Tanda itu dipakai oleh orang tua dahulu untuk mengetahui waktu Salat Ashar. 



Ribuan umat Hindu dan Muslim memenuhi Pura Lingsar. Dua umat beda kepercayaan ini menggelar prosesi upacara pujawali, sebagai ungkapan atas puji syukur limpahan berkah dari Sang Pencipta. Sedangkan perang yang dimaksud dilakukan dengan saling melempar ketupat di antara masyarakat Muslim dengan masyarakat Hindu.

“Ketupat yang telah digunakan untuk berperang seringkali diperebutkan. Karena dipercaya bisa membawa kesuburan bagi tanaman agar hasil panennya bisa maksimal. Kepercayaan ini sudah berlangsung ratusan tahun, dan masih terus dijalankan sampai saat ini,” tandasnya.

Tertarik berkunjung? Mencari Pura Lingsar tidaklah sulit. Sebab lokasinya masih dekat dengan Kota Mataram. Jika berangkat dari Kota Mataram, cukup menuju arah timur mencari Jalan Gora 2. Hanya menempuh perjalanan sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Mataram, maka akan sampai di Pura Lingsar. Tepatnya di depan SMA Negeri 1 Lingsar, dan terdapat pula papan nama Pura Lingsar.

(bx/ade/rin/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2020/12/16/230540/wujud-toleransi-perang-topat-hindu-muslim-di-pura-lingsar

Selasa, 15 Desember 2020

Dewata Nawa Sanga - Penguasa 9 Penjuru Mata Angin





Penguasa 9 Penjuru Mata Angin
Dewata Nawa Sanga tidak sama dengan Sang Hyang Widh. Dewa adalah perwujudan sinar suci dari Hyang Widhi (Tuhan) yang memberikan kekuatan suci untuk kesempurnaan hidup mahluk. Dewa berasal dari bahasa Sansekerta “div” yang artinya sinar. Dewa adalah perwujudan sinar suci dari Hyang Widhi (Tuhan) yang memberikan kekuatan suci untuk kesempurnaan hidup mahluk. Dewa berasal dari bahasa Sansekerta “div” yang artinya sinar. Istilah Deva sebagai mahluk Tuhan adalah karena Deva dijadikan ( dicipta-kan ) sebagaimana dukemukakan di dalam kitab Reg Veda X. 129.6. Dengan diciptakan ini berarti Deva bukan Tuhan melainkan sebagai semua mahluk Tuhan yang lainnya pula, diciptakan untuk maksud tujuan tertentu yang mempunyai sifat hidup dan mempunyai sifat kerja ( karma ) .

- JUAL ES KRIM PERNIKAHAN KLIK DISINI

Disamping pengertian di atas, dalam Reg Veda VIII.57.2, dijelaskan pula tentang banyaknya jumlah Deva yaitu sebanyak 33 yang terdapat di tiga ( 3 ) alam ( mandala ) . Ketigapuluh tiga Deva tersebut terdiri dari 8 Vasu ( Basu ), 11 Rudra, 12 Aditya, Indra dan Prajapati.
lebih lengkapnya silahkan baca: Dewa dan Bhatara (Betara)


Berikut ini adalah nama dan makna menurut Upanishad Brihadaranyaka dan itihasa Mahabharata, Kedelapan Vasu tersebut adalah:

Agni ( Dewa api - "Panas api" ), atau Anala (juga disebut Agni) yang bermakna "Hidup"
Prthivi ( Dewa tanah - "Bumi" ), atau Dhara yang bermakna "Dukungan"
Vayu ( Dewa angin - "Angin" ), atau Anila yang bermakna "Angin"
Dyaus ( Dewa langit - "Langit" ), atau Prabhasa yang bermakna "Bersinar fajar"
Aditya ( Dewa matahari - "Abadi", nama yang sangat umum untuk matahari adalah Surya ), atau Pratyūsha yang bermakna "Pra-fajar", yaitu senja pagi, tetapi sering digunakan hanya berarti "cahaya"
Savitra ( Dewa antariksa - "Ruang" ), atau Ha yang bermakna "Meresapi"
Chandramas ( dewa bulan - "Bulan" ), atau Soma yang bermakna "Soma-tanaman", dan nama yang sangat umum untuk bulan
Nakstrani ( Dewa bintang - "Bintang" ), atau Dhruva yang bermakna "Bergerak", nama Polestar
Rudra sebagai salah satu aspek Deva-deva, merupakan unsur hidup dan kehidupan yang disebut sebagai Rudra prana. Kesebelas Rudras yang mengatur alam semesta (buana agung dan buana alit), diantaranya Kapali, pingala, Bima, Virupaksha, Vilohita, Shasta, Ajapada, Abhirbudhnya, Shambu, Chanda, dan Bhava.

Kapali menunjukkan tulang (dinyatakan dalam istilah feminin) atau cangkir / mangkuk yang digunakan untuk menyimpan makanan. Dengan kata lain bisa disebut sebagai kepala perempuan atau penyedia perempuan. Ini menunjukkan kekuatan Rudra tertanam jauh di dalam Amba.
Pingala menunjukkan api coklat kemerahan. Ini adalah api yang dimulai di Amba bawah pengaruh Purusha
Bima menunjukkan kekuatan, kuat hebat dan luar biasa. Ini adalah gaya Prana (Angkatan Kuat atau gluon dalam istilah modern) yang terbentuk api di Amba,
Virupa-aksha menunjukkan multi-lipat, multi-warna mata. Ini adalah Aksi / Caksu kekuatan ( tenaga lapangan) yang berasal dari Amba,
Vilohita menunjukkan kekuatan merah tua. Merah menunjukkan jarak jauh. Ini adalah Higgs kekuatan-bidang yang memiliki jangkauan panjang dengan intensitas rendah (Higgs lapangan)
Abhirbudnya menunjukkan sesuatu yang di kedalaman atau jauh di dalam inti. Ini adalah Getaran yang menyebabkan senar terbentuk pada Amba bergetar seperti partikel Core (Baryon),
Shasta menunjukkan untuk menahan, mengendalikan, perintah atau perintah. Ini adalah getaran yang menyebabkan senar terbentuk pada Amba terlihat seperti partikel tersembunyi, yang merupakan 'Mana' Partikel (meson)
Ajapada menunjukkan kambing berkaki. Ini adalah getaran yang menyebabkan senar terbentuk pada Amba untuk menjauh dan membentuk partikel Satelit (lepton) dengan Getaran yang berbeda. Ini adalah kekuatan yang membawa dalam Apana (mengusir kekuatan atau Angkatan Lemahnya boson W dan Z) dan memulai proses dari Peluruhan Radio-aktif yang tidak lain adalah kematian. Hal ini disebut sebagai kambing berkaki dengan kekuatan atom bisa dibentuk dengan penta / struktur heksagonal. (Orbit elips beberapa partikel satelit sekitar partikel inti membentuk struktur kaki berbentuk kambing)
Bhava menunjukkan datang ke keberadaan atau kelahiran. Ini adalah getaran yang menyebabkan ziznam.
Chanda menunjukkan memikat atau mengundang. Ini adalah getaran yang menyebabkan Reta yang berarti aliran bergerak atau mengalir.
Shambu menunjukkan mempertemukan atau bertemu atau bergabung. Ini adalah getaran yang menyatukan ziznam, reta dan Apa dan menyediakan platform untuk hidup.
Semua makhluk biologis memiliki dimensi kesembilan, kesepuluh dan kesebelas, di alam semesta Ruang. Medan gaya yang hadir di ruang mana-mana (yang berasal dari Amba) mendorong proses penciptaan protein, medium asam dan basa menengah yang memulai proses kehidupan biologis. Bidang ini berlaku dapat dipahami sebagai mewujudkan sebagai kondisi lingkungan untuk evolusi kehidupan biologis (untuk misalnya, suhu air dll) di seluruh alam semesta untuk membuat protein, asam dan basa.




Dewa Astadikapala
Adapun Deva -deva yang lainnya yaitu Aditya dilambangkan sebagai hukum tertinggi, sebagai pengatur alam semesta di bawah kekuasaan Tuhan. Selain sifat – sifat Deva dia atas dalam Reg Veda X.36.14 , dijelaskan pula bahwa fungsi Deva adalah sebagai Dikpala, yaitu penguasa atas penjuru mata angin ( arah ) .

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dasar pemikiran ini bersumber pada pengertian bahwa Tuhan Maha Ada, sebagai hakekat yang memenuhi ruang dan waktu. Atas dasar pola pemikiran di atas timbul pula konsep – konsep baru tentang hubungan Deva-deva dengan penjuru arah mata angin dan membaginya menjadi sembilan sesuai dengan arah mata angin yang biasa. Namun menjadi sebelas dimasukkan zenit dan nadir . Kesembilan arah mata angin tersebut secara rinci diuraikan dalam pembahasan berikut.


Dewa juga ciptaan Tuhan yang berfungsi untuk mengendalikan alam semesta. Dewa-dewa dihubungkan dengan aspek-aspek tertentu dan khusus dari phenomena yang ada di alam semesta ini. Setiap aspek dikuasai oleh satu Dewa tertentu dengan ciri-ciri dan lambang yang khusus.


Masing-masing Dewa memiliki sakti yang tidak terpisahkan darinya, seperti halnya suami istri, karena Dewa tidak dapat melakukan tugas sesuai fungsinya apabila tidak dengan saktinya. Sehingga jika Dewa diwujudkan dalam bentuk laki-laki, maka saktinya diwujudkan dalam bentuk wanita, maka dengan perpaduan Dewa (Purusa) dan Sakti (Pradana) tugasnya dapat dilakukan sesuai fungsinya.


Dalam Hinduism, sebagai sinar suci atau manifestasi Tuhan yang menguasai, menjaga alam semesta, Dewa juga dilengkapi dengan senjata, kendaraan dan juga diwujudkan dalam bentuk simbol atau aksara.


Misalnya Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Tri Murti yaitu :

Dewa Brahma dengan saktinya Dewi Saraswati, kendaraannya Angsa, senjatanya Danda/Gada dengan aksara suci “Ang”
Dewa Wisnu dengan saktinya Dewi Sri (Laksmi), kendaraannya burung Garuda, senjatanya Cakra dengan aksara suci “Ung”
Dewa Siwa dengan saktinya Dewi Durga (Uma), kendaraannya Lembu, senjatanya Padma dengan aksara suci “Mang”
Semua perwujudan Dewa dan Saktinya diwujudkan berbeda-beda tergantung dari penggambaran umat Hindu terhadap beliau. Misalnya wujud Dewa dan Saktinya di India dan di Bali sangatlah berbeda, namun fungsinya sama.

Semua sakti-sakti para Dewa itu digambarkan memiliki paras yang cantik, namun Dewi Uma yang cantik apabila dalam tugasnya sebagai Dewi Maut (Durga) memiliki wajah yang sering digambarkan dalam wujud Rangda oleh masyarakat Bali.
Dewa Brahma berwujudkan sebagai Maha Rsi yang tua karena usia beliau melebihi alam semesta, dikarenakan Dewa Brahma-lah yang bertugas menciptakan segala sesuatu di alam semesta ini, beliau juga diwujudkan dalam bentuk berwajah empat (Catur Muka).
Dewa Wisnu berwujudkan sebagai Dewa yang berparas paling elok, beliau juga diwujudkan dalam bentuk berkepala tiga (Tri Sirah).
Dewa Siwa berwujudkan seorang Pertapa, karena beliaulah yang menguasai hidup manusia sehingga beliaulah yang akan meleburnya kembali, beliau juga diwujudkan bertangan empat (Catur Buja).
Dari perwujudan sesuai gambaran umatnya inilah dibuatkan patung (arca).


Dalam ajaran Hindu, jumlah Dewa adalah banyak sekali sesuai setiap fungsi yang ada dalam alam semesta ini. Diibaratkan Sang Hyang Widhi adalah Matahari, maka Dewa adalah sinar matahari yang jumlahnya tak terhingga. Matahari dikatakan panas, namun sinar nyalah yang menyentuh kita secara langsung.


Demikian juga dengan Sang Hyang Widhi, Dewa sebagai sinar sucinya lah yang menghubungkan kita langsung denganNya. Mungkin dalam agama lain disebutkan Dewa itu sebagai Malaikat.

Dalam ajaran Hindu ada sebutan Tri Murti, Panca Dewata/Panca Brahma, Dewata Nawa Sanga, Asta Dewata, Panca Korsika dan lainnya. Panca Dewata adalah manifestasi Sang Hyang Widhi sebagai penjaga segala penjuru mata angin yaitu :

Sadyojata (Iswara) di Timur dengan aksara suci “Sa”
Bamadewa (Brahma) di Selatan dengan aksara suci “Ba”
Tat Purusa (Maha Dewa) di Barat dengan aksara suci “Ta”
Aghora (Wisnu) di Utara dengan aksara suci “A”
Isana (Siwa) di Tengah dengan aksara suci “I”
Panca Dewata disebut juga dengan Panca Brahma, sehingga kelima aksara suci “Sa Ba Ta A I” disebut “Panca Brahma Wijaksara”.


Disamping itu ada juga lima manifestasi Hyang Widhi lainnya yaitu :

Maheswara di Tenggara dengan aksara suci “Na”
Rudra/Ludra di Barat Daya dengan aksara suci “Ma"
Sangkara di Barat Laut dengan aksara suci “Si”
Sambu di Timur Laut dengan aksara suci “Wa”
Siwa di Tengah dengan aksara suci “Ya”
Kelima aksara suci “Na Ma Si Wa Ya” disebut dengan Panca Aksara.


Namun dalam ajaran agama Budha Mahayana, Panca Dewata (Panca Brahma) disebut dengan “Panca Tatagata” yaitu:

Aksobhya di Timur dengan aksara suci “Ah”
Ratnasambhawa di Selatan dengan aksara suci “Ung”
Amitaba di Barat dengan aksara suci “Trang”
Amogasidhi di Utara dengan aksara suci “Hrih”
Wairocana di Tengah dengan aksara suci “Ang”
Sehingga kelima aksara “Ah Ung Trang Hrih Ang” disebut dengan Panca Wijaksara Tatagata sedangkan Panca Aksara Budha nya “Na Ma Bu Da Ya”.


Apabila dalam Panca Aksara dan Panca Brahma Wijaksara digabungkan menjadi Dasa Aksara “Sa Ba Ta A I Na Ma Si Wa Ya”, jika ditambahkan dengan aksara “Om” maka disebut “Eka Dasa Aksara”.


Dewata Nawa Sanga sering disebut juga dengan “Loka Pala”.




Asta Dewata adalah delapan manifestasi sifat Hyang Widhi sebagai penguasa yaitu :

Indra menguasai Hujan
Baruna menguasai Lautan
Yama menguasai Arwah Manusia
Kuwera menguasai Kekayaan Alam
Bayu menguasai Angin
Agni menguasai Api
Surya menguasai Matahari
Candra menguasai Bulan
Beberapa sebutan lain manifestasi Sang Hyang Widhi di penjuru mata angin adalah Panca Korsika, yaitu:

Sang Hyang Korsika di Timur
Sang Hyang Garga di Selatan
Sang Hyang Mentri di Barat
Sang Hyang Kurusya di Utara
Sang Hyang Prutanjala di Tengah

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dewata Nawasanga adalah sembilan dewa atau manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menjaga atau menguasai sembilan penjuru mata angin. Sembilan dewa itu adalah Dewa Wisnu, Sambhu, Iswara, Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, dan Siwa.



Ersanya / Timur Laut
Urip : 6.

Dewa : Sambhu.
Sakti : Maha Dewi.
Senjata : Trisula.
Warna : Biru.
Aksara : Wa.
Bhuwana Alit : Ineban.
Tunggangannya : Wilmana.
Bhuta : Pelung.
Tastra : Pa dan Ja.
Sabda : Mang mang.
Wuku : Kulantir, Kuningan, Medangkungan, Kelawu.
Caturwara : Sri.
Sadwara : Urukung.
Saptawara : Sukra.
Astawara : Sri.
Sangawara : Tulus.
Dasawara : Sri.
Dewa Sambhu merupakan penguasa arah timur laut (Ersanya), bersenjata Trisula, wahananya (kendaraan) Wilmana, shaktinya Dewi Mahadewi, aksara sucinya "Wa", di Bali beliau dipuja di Pura Besakih terletak di Kabupaten Karangasem.
Banten : Dewata-dewati, Sesayut Telik Jati, Tirta Sunia Merta.
Mantra : Ong trisula yantu namo tasme nara yawe namo namah, ersanya desa raksa baya kala raja astra, jayeng satru, Ong kalo byo namah.

Purwa / Timur
Urip : 5.

Dewa : Iswara.
Sakti : Uma Dewi.
Senjata : Bajra.
Warna : Putih.
Aksara : Sa (Sadyojata)
Bhuwana Alit : Pepusuh.
Tunggangannya : Gajah.
Bhuta : Jangkitan.
Tastra : A dan Na.
Sabda : Ngong ngong.
Wuku : Taulu, Langkir, Matal, Dukut.
Dwiwara : Menga.
Pancawara : Umanis.
Sadwara : Aryang.
Saptawara : Redite.
Astawara : Indra.
Sangawara : Dangu.
Dasawara : Pandita.
Dewa Iswara merupakan penguasa arah timur (Purwa), bersenjata Bajra, wahananya (kendaraan) gajah, shaktinya Dewi Uma, aksara sucinya "Sa", di Bali beliau dipuja di Pura Lempuyang.
Banten : Penyeneng, Sesayut Puja Kerti.
Mantra : Ong bajra yantuname tasme tikna rayawe namo namah purwa desa, raksana ya kala rajastra sarwa, satya kala byoh namah namo swaha.



Genya / Tenggara
Urip : 8.

Dewa : Mahesora / Maheswara.
Sakti : Laksmi Dewa.
Senjata : Dupa.
Warna : Dadu/Merah Muda.
Aksara : Na.
Bhuwana Alit ; Peparu.
Tunggangannya : Macan.
Bhuta : Dadu.
Tastra : Ca dan Ra.
Sabda : Bang bang.
Wuku : Uye, Gumbreg, Medangsia, Watugunung.
Caturwara : Mandala.
Sadwara : Paniron.
Saptawara : Wraspati.
Astawara : Guru.
Sangawara : Jangu.
Dasawara : Raja.
Dewa Maheswara merupakan penguasa arah tenggara (Gneyan), bersenjata Dupa, wahananya (kendaraan) macan, shaktinya Dewi Lakshmi, aksara sucinya "Na", di Bali beliau dipuja di Pura Goa Lawah terletak di Kabupaten Klungkung
Banten : Canang, sesayut Sida Karya, Tirta Pemarisuda.
Mantra : Ong dupa yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, genian dasa raksa raksa baya kala rajastra, jayeng satru kala byoh namo namah.



Daksina / Selatan
Urip : 9.

Dewa : Brahma.
Sakti: Saraswati Dewi.
Senjata : Gada / Danda.
Warna : Merah.
Aksara : Ba (Bamadewa).
Bhuwana Alit : Hati.
Tunggangannya : Angsa.
Bhuta : Langkir.
Tastra : Ka dan Da.
Sabda : Ang ang.
Wuku : Wariga, Pujut, Menail.
Triwara : Pasah.
Pancawara : Paing.
Sadwara : Was.
Saptawara : Saniscara.
Astawara : Yama.
Sangawara : Gigis.
Dasawara : Desa.
Dewa Brahma merupakan penguasa arah selatan (Daksina), bersenjata Gada, wahananya (kendaraan) angsa, shaktinya Dewi Saraswati, aksara sucinya "Ba", di Bali beliau dipuja di Pura Andakasa terletak di Kabupaten Karangasem.
Banten : Daksina, Sesayut Candra Geni, Tirta Kamandalu.
Mantra : Ong danda yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, daksina desa raksa baya, kala rajastra jayeng satru, Ong kala byoh nama swaha.



Noritya / Barat Daya
Urip : 3.

Dewa : Rudra.
Sakti : Santani Dewi.
Senjata : Moksala.
Warna : Jingga.
Aksara : Ma.
Bhuwana Alit : Usus.
Tunggangannya : Kebo.
Bhuta : Jingga.
Tastra : Ta Dan Sa.
Sabda : Ngi ngi.
Wuku : Warigadian, Pahang, Prangbakat.
Caturwara : Laba.
Sadwara : Maulu.
Saptawara : Anggara.
Astawara : Ludra.
Sangawara : Nohan.
Dasawara : Manusa.
Dewa Rudra merupakan penguasa arah barat daya (Nairiti), bersenjata Moksala, wahananya (kendaraan) kerbau, shaktinya Dewi Samodhi/Santani, aksara sucinya "Ma", di Bali beliau dipuja di Pura Uluwatu terletak di Kabupaten Badung.
Banten : Dengen dengen, Sesayut Sida Lungguh, Tirta Merta Kala, Tempa pada Usus.
Mantra : Ong moksala yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, noritya desanya raksa baya kala rajastra, jayeng satru Ong kala byoh nama swaha.


Pascima / Barat
Urip : 7.

Dewa : Mahadewa.
Sakti : Saci Dewi.
Senjata : Nagapasa.
Warna : Kuning.
Aksara : Ta (Tat Purusa).
Bhuwana Alit : Ungsilan.
Tunggangannya : Naga.
Bhuta : Lembu Kanya.
Tastra : Wa dan La.
Sabda : Ring ring.
Wuku : Sinta, Julungwangi, Krulut, Bala.
Triwara : Kajeng.
Pancawara : Pon.
Sadwara : Tungleh.
Saptawara : Buda.
Astawara : Brahma.
Sangawara : Ogan.
Dasawara : Pati.
Dewa Mahadewa merupakan penguasa arah barat (Pascima), bersenjata Nagapasa, wahananya (kendaraan) Naga, shaktinya Dewi Sanci, aksara sucinya "Ta", di Bali beliau dipuja di Pura Batukaru terletak di Kabupaten Tabanan.
Banten : Danan, Sesayut tirta merta sari, Tirta Kundalini.
Mantra : Ong Naga pasa yantu namo tasme tiksena nara yawe namo, pascima desa raksa bala kala rajastra, jayeng satru, Ong kala byoh namo namah swaha.



Wayabya / Barat Laut
Urip : 1.

Dewa : Sangkara.
Sakti : Rodri Dewi.
Senjata : Angkus /Duaja.
Warna : Wilis / Hijau.
Aksara : Si.
Bhuwana Alit : Limpa.
Tunggangannya : Singa.
Bhuta : Gadang/Hijau.
Tastra : Ma dan Ga.
Sabda : Eng eng.
Wuku : Landep, Sungsang, Merakih, Ugu.
Ekawara : Luang.
Caturwara : Jaya.
Astawara : Kala.
Sangawara : Erangan.
Dasawara : Raksasa.
Dewa Sangkara merupakan penguasa arah barat laut (Wayabhya), bersenjata Angkus/Duaja, wahananya (kendaraan) singa, shaktinya Dewi Rodri, aksara sucinya "Si", di Bali beliau dipuja di Pura Puncak Mangu terletak di Kabupaten Badung.
Banten : Caru, Sesayut candi kesuma, Tirta Mahaning.
Mantra : Ong duaja yantu namo tiksena nara yawe namo, waybya desa raksa baya kala rajastra, jayeng satru, Ong kalo byoh namo namah swaha.



Uttara / Utara
Urip : 4.

Dewa : Wisnu.
Sakti : Sri Dewi.
Senjata : Cakra.
Warna : Ireng / Hitam.
Aksara : A (Aghora).
Bhuwana Alit : Ampru.
Tunggangannya : Garuda.
Bhuta : Taruna.
Tastra : Ba dan Nga.
Sabda : Ung.
Wuku : Ukir, Dungulan, Tambir, Wayang.
Dwiwara : Pepet.
Triwara : Beteng.
Pancawara : Wage.
Saptawara : Soma.
Astawara : Uma.
Sangawara : Urungan.
Dasawara : Duka.
Dewa Wisnu merupakan penguasa arah utara (Uttara), bersenjata Chakra Sudarshana, wahananya (kendaraan) Garuda, shaktinya Dewi Sri, aksara sucinya "A", di Bali beliau dipuja di Pura Ulundanu terletak di Kabupaten Bangli.
Banten : Peras, Sesayut ratu agung ring nyali, Tirta Pawitra.
Mantra : Ong cakra yantu namo tasme tiksena ra yawe namo namah utara desa raksa baya, kala raja astra jayeng satru, Ong kala byoh namo namah swaha.
BACA JUGA
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan


Madya / Tengah
Urip : 8.

Dewa : Siwa.
Sakti : Uma Dewi (Parwati).
Senjata : Padma.
Warna : Panca Warna brumbun.
Aksara : I (Isana) dan Ya.
Bhuwana Alit : Tumpuking Hati.
Tunggangannya : Lembu.
Bhuta : Tiga Sakti.
Tastra : Ya dan Nya.
Sabda : Ong.
Saptawara : Kliwon.
Sangawara : Dadi.
Dewa Siwa merupakan penguasa arah tengah (Madhya), bersenjata Padma, wahananya (kendaraan) Lembu Nandini,senjata Padma shaktinya Dewi Durga (Parwati), aksara sucinya "I" dan "Ya", di Bali beliau dipuja di Pura Besakih terletak di Kabupaten Karangasem.
Banten : Suci, Sesayut Darmawika, Tirta Siwa Merta, Sunia Merta, Maha Merta.
Mantra : Ong padma yantu namo tasme tiksena nara yawe namo namah, madya desa raksa baya, kala rajastra jayeng satru kala byoh namo swaha.


Hal ini didukung oleh beberapa data tambahan yang diambil dari 2 sumber yaitu :


Geguritan Gunatama
Dalam geguritan Gunatama diceritakan bahwa I Guna Tama pergi kepada pamannya Ki Dukuh untuk meminta ilmu pengetahuan di Gunung Kusuma . Hal pertama yang oleh Ki Dukuh perintahkan kepada I Gunatama adalah agar ia belajar berkonsentrasi melalui pemahaman terhadap warna bunga. Hal itu dapat dilihat pada geguritan berikut :


Bunga petak maring purwa, kembang jingga gnewan sami, sekar abang ring daksina, ring pascima kembang jenar, mapupul maring wayabia, Bunga ireng ring utara, ersania birune sami, mancawarnane ring madia, punika tandur ring kayun, apang urip dadi mekar, to uningin, patute anggon padapa.


Geguritan tersebut berarti :
“ Bunga putih ditimur, bunga jingga gnewan semua, bunga merah di selatan, yang di barat bunga kuning, berkumpul di barat laut. Bunga hitam di utara, timur laut semuanya biru, panca warna di tengah, itulah ditanam di hati, supaya hidup berkembang, ketahuilah itu, kebenaran dipakai selimut “


Kidung Aji Kembang
Yang dilagukan dalam upacara Ngaben ( Ngereka ) :



Ring purwa tunjunge putih,
Hyang Iswara Dewatannya.
Ring papusuh prehania,
alinggih sira kalihan,
panteste kembange petak.
Ri tembe lamun numadi suka sugih tur rahayu dana punya stiti bakti

Ring geneyan tunjunge dadu,
Mahesora Dewatannya
Ring peparu prenahira.
Alinggih sira kalihan,
Pantesta kembange dadu,
Ri tembe lamun dumadi widagda sire ring niti, subageng sireng bhuwana

Ring daksina tunjunge merah,
Sang Hyang Brahma Dewatannya
Ring hati prenahira.
Alinggih sira kalihan Pantesta kemabang merah.
Ring tembe lamun dumadi Sampurna tur dirga yusa. Pradnyan maring tatwa aji

Ring Nriti tunjunge jingga.
Sang Hyang Rudra Dewatannya
Ring usus prenahira,
Alinggih sira kalihan.
Pantes te kembange jingga,
Ring tembe lamun numadi, Dharma sira tur susiila. Jana nuraga ring bhumi

Ring Pascima tunjunge jenar,
Mahadewa Dewatannya
Ring ungsilan prenahira,
Alinggih sire kalihan,
Pantesta kemabnge jenar,
Ring tembe lamun dumadi, Tur Sira Cura ring rana, prajurit, watek angaji

Ring wayabya tunjunge wilis,
Hyang Sangkara Dewatannya
Ring lima pranahira,
alinggih sira kalihan.
Pantesta kembang wilis.
Ring tembe lamun dumadi, Teleb tapa brata, gorawa satya ring bhudi

Ring utara tunjunge ireng.
Sang Hyang Wisnu Dewatannya
Ring ampu prenahira,
Alinggih sira kalihan.
Panteste kembange ireng,
Ring tembe lamun numadi, Suudira suci laksana, surupa lan sadu jati

Ring airsanya tunjunge biru .
Sang Hyang Sambu Dewatannya
Ring ineban prenahira,
Alinggih sira kalihan.
Panteste kembange biru ,
Ring tembe lamun numadi, Pari purna santa Dharma, sidha sidhi sihing warga

Tengah tunjunge mancawarna,
Sang Hyang Ciwa Dewatannya
Tumpukung hati prenahira,
Alinggih sira kalihan.
Panteste kembange mancawarna ,
Ring tembe lamun numadi, Geng prabhawa sulaksana, satya bratha tapa samadi

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, arti dari masing-masing geguritan di atas sama dengan diskripsi warna dalam Dewata Nawa Sanga, tambahan yang diberikan adalah adanya akibat dari penggunaan tunjung (teratai) dengan sembilan warna tersebut adalah sebagai berikut :

Penggunaan tunjung warna putih akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang kaya raya, dermawan dan sejahtera
Penggunaan tunjung warna dadu akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang kaya raya, dermawan dan sejahtera
Penggunaan tunjung warna merah akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang kaya raya, dermawan dan sejahtera
Penggunaan tunjung warna biru akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang sempurna , dan pintar (berilmu pengetahuan)
Penggunaan tunjung warna jingga akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang sabar serta menjalankan Dharma, susila,
Penggunaan tunjung warna hijau akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yangberani bertarung di medan laga, sebagai prajuurit sejati dengan watak yang sangat baik ( berpendidikan )
Penggunaan tunjung warna kuning akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang tekun mengerjakan tapa , brata, dan mempunyai budi yang luhur
Penggunaan tunjung warna hitam akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang berkelakuan baik, suci laksananya, tampan dan dan senantiasa menimbulkan kedamaian
Penggunaan tunjung panca warna akan menyebabkan kelahiran berikutnya (reinkarnasi) menjadi manusia yang keseluruhan hidupnya diliputi oleh kebaikan, disayangi oleh setiap orang
Disamping hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa dari 8 warna dasar yang diberikan oleh Berlin dan Kay, dalam Agama Hindu terutama dalam Dewata Nawa Sanga terdiri dari dari empat warna dasar yaitu : merah, putih, kuning, dan hitam. Hal ini disebabkan karena warna hijau yang berada di barat laut ( barat dan utara ) merupakan perpaduan antara kuning dan hitam ; warna dadu yang berada di tenggara ( timur dan selata ) merupakan perpaduan antara putih dengan merah ; warna jingga yang berada di barat daya ( barat dan selatan ) merupakan perpaduan antara merah dengan kuning.






Fungsi dan Makna Warna dalam Dewata Nawa Sanga
Berdasarkan simbol simbol yang ada dalam Dewata Nawa Sanga, maka fuungsi dan makna warna dalam Dewata Nawa Sanga dalam Agama Hindu dapat dianalisis seperti dibawah ini :


1. Warna Hitam yang berada disebelah utara dengan Dewa Wisnu menurut budaya hindu berarti gunung, dengan fungsi sebagai pemelihara. Menurut makna MSA berarti arang, gelap, sedangkan makna universal memiliki makna : heightàgreatness, massà generousity, source of living, gelap, ketakutan, sial, kematian, penguburan, penghancuran, berkabung, anarkisma, kesedihan, suram, gawat (kesan buruk) dan (kesan baik) berarti : kesalehan, kealiman, kemurnian, kesucian, kesderhanaan India ; pemelihara kehidupan, limitless, immortal.


2. Warna Merah yang berada di Selatan dengan Dewa Brahma dengan pusaka Gada dan tanda api memiliki makna budaya laut, pencipta dan kekuatan, sedangkan menurut MSA berarti api dan darah. Makna universal yang terkandung dalam warna merah adalah : sumber dari segala sumber, berani, cinta , emosi , darah (rudhira), kehidupan, kebesaran, emosi, kemegahan, murah hati, cantik, hangat, berani, api, panas, bahaya, cinta (manusia à ß Tuhan), perang, sumber panas, benih dari kehidupan.

3. Warna Putih dengan Dewa Iswara yang bersenjata Bajra, berada di sebelah Timur, dan dengan tanda jantung mempunyai makna matahari, pelebur, dan sumber kebangkitan. Makna putih dari MSA berarti terang, salju, dan susu dan makna universal berarti penerangan, pahlawan , sorga, kebangkitan, centre of human body, cinta, kesetiaan, penyerahan diri, absolut, suci, murni, lugu, tidak berdosa, perawan, simbol persahabatan, damai, jujur, kebenaran, bijaksana, alat untuk mencapai surga, kekeuatan angin.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

4. Warna Kuning disebelah Barat dengan Dewa Mahadewa dengan senjata Nagasapah dan tanda lingkungan kabut memiliki makna budaya matahari terbenam, penjaga keseimbangan dan kekuasaan, sedangkan MSA berarti matahari. Makna universal dari warna kuning adalah end of journey, passive, (bad image) ; cemburu, iri, dengki, dendam,bohong, penakut, (good image) ; cahaya, kemuliaan, keagungan, kesucian, murah hati, bijaksana, penyatuan unsur udara + air dan tanah à evolutive process.


5. Warna Hijau yang berada di sebelah barat laut dengan Dewa Sangkara dan senjata angkus, dengan tanda lingkungan mendung memiliki makna budaya penyatuan matahari terbenam & laut, keseimbangan, kesempurnaan dalam MSA berarti tumbuh-tumbuhan, dan secara universal memiliki makna akhir dari segalanya, tumbuhan, kehidupan, kesuburan, vitalitas, muda, kelahiran kembali, harapan, kebebasan, dan simbol : kesuburan, kurir (messenger ), prophet
Makna warna Biru yang dalam Dewata Nawa Sanga berada di Timur Laut dengan Dewa Sambu bersenjata Trisula, dengan tanda lingkungan awan tebal memiliki makna budaya penyatuan matahari & laut, keseimbangan alam, penyatuan kebang-kitan, pemeliharaan dan pemusnahan ; kebebasan rohani. Dalam MSA biru berarti laut, langit, sedangkan makna universalnya adalah sumber dari segala sumber, senser, assosiated with the idea of birth and rebirth, sorga, langit, bangsawan, melankolis, jujur, cinta, setia, kebenaran, distincttion, excellence, kesedihan, dan makna asosiasi : hujan, banjir, kesedihan.


7. Warna Dadu yang dalam Dewata Nawa Sanga berada disebelah tenggara dengan dewa Mahesora bersenjata dupa dan tanda lingkungan rambu (awan tipis) memiliki makna budaya penyatuan antara gunung dan matahari, keseimbangan alam, pembunuh indria. Menurut MSA, warna dadu memiliki makna yang sama dengan makna asali dari warna putih dan merah. Makna universalnya adalah : kebangkitan, kesadaran, kesadaran, kehidupan, halus, anggun, megah, persahabatan, kedamaian, emosional, dan dingin.


8. Warna Jingga dengan Dewa Rudra bersenjata Moksala yang berada di sebelah Barat Daya dengan tanda lingkungan halilintar, memiliki makna budaya penyatuan matahari terbenam dan gunung, pembasmi, kedahsyatan, sumber kemurkaan. Sedangkan makna Jingga menurut MSA merupkan makna yang terkandung dalam warna merah dan kuning. Makna Universal warna kuning adalah darah, the concept of circulation, kematian, bahaya, kehidupan, hangat, dendam, murka, pengorbanan, penyerahan diri, active force, supreme creative power, illumination, penyerahan, dan pengorbanan.


9. Warna Brumbun yang merupakan campuran warna putih + kuning + hitam + merah yang berada di tengah dengan Dewa Ciwa bersenjata Padma dan tanda lingkungan topan memiliki makna budaya pusat, pemusnah dan dasar dari semua unsur, kesucian. Makna warna ini menurut MSA adalah makna asali dari warna putih, kuning, hitam dan merah, sedangkan makna universalnya adalah : moving from : multiplicityà unity, space à spacelessness, time à timelessness, a mean toward contemplation and concentration, kesucian, victory, denote the interco-munication between inferior and the supreme, 5 = health, love , controller, violent, evil power.


Demikian sekilas tentang dewata nawa sanga, mohon masukan dan kritikan atas tulisan diatas guna menyempurnakan tulisan ini. dan secara tidak langsung ini merupakan materi wajib di bali, sehingga Orang Bali WAJIB ketahui hal ini. terima kasih.

Sumber Artikel : Cakepane.blogspot.com
Sumber Foto : Pengastawa Istha Dewata Lan Samudaya

Jumat, 11 Desember 2020

Sastra Sebagai Alat Komunikasi







Filsafat secara umum dapat diartikan bahwa usaha manusia dengan menggunakan akal, untuk memperoleh pemahaman Jagat Raya dalam memenuhi suatu kepuasan dalam kebijaksanaan, sedangkan aksara adalah simbol (lambang) sebagai alat komunikasi.

Komunikasi menggunakan bahasa akan mengandung unsur simbolik dan emotif, dalam komunikasi ilmiah sebenarnya proses komunikasi itu harus terbebas dari unsur emotif ini, agar pesan yang disampaikan bisa diterima secara reprodukdif, artinya identik dengan pesan yang dikirim.

Umpamanya jika dalam sebuah komunikasi ilmiah kita mempergunakan akal seperti “epistemology” atau “oftimal” maka kita harus menjelaskan lebih lanjut apa yang kita maksudkan dengan kata-kata itu. Hal ini harus kita lakukan untuk mencegah si penerima komunikasi memberi makna lain yang berbeda dengan makna yang dimaksudkan. Tentu saja kata-kata (simbol) yang sudah jelas dan kecil kemungkinannya untuk disalah artikan dan tidak lagi membutuhkan penjelasan lebih lanjut. (Jujun, 2002:175,181).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI 

Nama Rudra sering diartikan sama dengan Siwa, sehingga untuk menggambarkan siwa sebagaimana halnya dengan Rudra dihubungkan dengan sebelas aksara sebagai bentuk lingga Atma, menurut Jnana Sidharta: Sing, Tang, Mang, Bang, Ang, Wang, Nang, Ang, Ung, Mang dan Ong.




Selanjutnya dalam Rg.Weda X.36.14. menyebutkan:

“Sawita Pascatat Sawita Purastat, Sawitottarattat Saidharattat Sawita Nah Suwatu, Sarwatatim Sawita No Rasa Tam Dirgha Ayuh”

Artinya:


Dewa dari arah Barat, Dewa dari arah timur, Dewa dari arah Utara, Dewa dari arah Selatan. Semoga ia melimpahkan rahmatNya kepada kita dengan umur panjang.(Pudja, 1984:31-33).




Untuk jelasnya penulisan kini menguraikan kejadian aksara vokal (suara) dan konsonan (wyanjana) serta menggolongkan terbagi tiga jenis, yaitu:


Wreastra, yang digunakan untuk menunulis Bahasa Bali lumrah, misalnya urak, pipil, pengeling-eling dan sejenisnya,
Swalalita, aksara untuk menuliskan Bahasa Kawi dan lainnya lagi,
Modre, adalah aksara bagian kedyatmikan misalnya: Japa-mantra, perlambang (simbol) dalam keagaman, upacara dan yang berhubungan dengan dunia kegaiban, do’a-do’a dan pengobatan.



Terakhir adalah aksara suci ini adalah aksara mati karena banyak dengan busana (taleng, tedong, surang, gantungan, dan gempelan). Untuk membacanya menggunakan Krakah/Griguh (Kaler,1982: iii-iv).

Pesamuan Agung Bahasa Bali tahun 1957 (dengan hasilnya) sebagai berikut:


Vokal 6 buah, yaitu: a, i, u, e, o, e. Lambang e taling tidak memakai corek atau tanda diakritik. Tanda deakritik dapat dipakai hanya pada permulaan belajar membaca atau dalam perkamusan.
Konsonan 18 buah, yaitu: h, n, c, r, k, g, t, m, ng, b, s, w, l, p, d, y, ny.



Perlu kami ingatkan bahwa dalam penulisan kalimat atau cerita bahasa Bali memakai tulisan latin jangan berpegang dengan tulisan Bali, melainkan ke Bahasa Indonesia.
BACA JUGA
Misteri Kutukan Ratu Gede Mecaling di Batuan
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali

Contoh:

“Rontal Ramayana becik pisan, Prabu Kresna sareng mayuda, Sang panca pandawa lunga ke alase”.

Kalau tulisan Balinya "Rãmãyana, Prabhu Krésna, mayudha dan Pañca Pãndawa".

Dalam buku ejaan bahasa Daerah bali yang disenpurnakan juga dicantumkan abjad Bahasa Indonesia dari a s/d z. Hal ini dimaksudkan untuk menyerap bahasa asing pada tahap permulaan sebelum beradaptasi dengan bahasa Bali. (Tinggen, 1993:3).

Pengulangan Lalitasahasranama dan Trisat’i, khususnya Trisakt. Untuk dapat meresapkan keamhakuasaan Sang Hyang Widhi agama Hindu memberikan Simbol pada kekuatannNya ini dalam aksara suci OM. Kata Om adalah aksara suci untuk mewujudkan Sang Hyang Widhi dengan ketiga prabawanya yaitu: Brahma Hyang Widhi dalam prabawanya mahapencita disimbolkan dengan aksara A, Wisnu Hyang Widhi dalam prabawanya memelihara disimbolkan dengan aksara U dan Siwa Hyang Widhi dalamp rabawanya pelebur disimbolkan dengan aksara M. Suara A, U, M, ini ditunggalkan menjadi OM (Upadesa, 1978:16).

Aksara Bali terbagi atas aksara biasa, dan aksara suci. Akasara biasa terdiri atas aksara wreastra, aksara yang dipergunakan sehari-hari terdiri atas 18 aksara (ha, na, ca ra ka dst), dan aksara swalalita atau aksara yang dipergunakan pada kesusastraan Kawi yang terdiri atas 47 aksara, misalnya: a, i, u, e, o.

Akasara Suci terbagi atas:

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

akasara wijaksara atau bijaksana (aksara swalalita + aksara amsa, misalnya: ong, ang, ung, mang)
modre atau aksara lukisan magis.






Akasara amsa terdiri atas:


Arddhacandra (bulan sabit),
windhu (matahari, bulatan) dan
nadha (bindang, segi tiga).





Ketiganya melambangkan Dewa Tri Murti-Utpatti, Sthiti-pralina atau lahir hidup mati. Selain itu, dalam aksara Bali ada yang disebut pengangge tengenan, aksara wianjana (huruf konsonan, huruf mati) yang terletak pada akhir kata yang melambangkan fonem konsonan (Ngurah Nala, 2005 Bali Post)

Kemudian padangan dari persfektif Sastra, “Durga Puja”. Dilaksanakan dengan Kata Dum dibentuk dengan menambahkan Maya, Adri, Karna, Bindu/Windu dan Pranawa/ongakra serta pisarga pada permulaan kata. Aksara-aksara ini identik dengan Aksara Swalita dan Akasara Suci/Modre yang dipergunakan oleh para Pujangga atau Rohaniawan dalam Simbolis ritual. Kalau di Bali aksara tersebut dapat diidentikan dengan Tuhan disimboliskan aksara Ongkara dalam wujud Tunggal, dan dalam berbagai manifestanya terdapat berbagai macam. Tri Murti: Ang Ung Mang dan dalam wujud Dasa aksara adalah: Sang Bang Tang Ang Ing dan Nang Mang Sing Wang Yang.

Dengan menggunakan media aksara/sastra keharmonisan mikrokosmos dengan makrokosmos, diharapkan dapat mencipkan kedmaian dihati, kedamaian di dunia dan kedamaian di akhirat. Terkait dalam pembelajaran mantra, maka aksara yang digunakan adalah aksara biasa Wreastra tanpa dilakukan upakara. Kemudian setelah ada pemaham lebih lanjut, dan ada keinginan untuk menjadi: Pemangku, Sulinggih baru dilanjutkan dengan upakara dan upacara Mawinten atau Madwijati. Dengan menggunakan aksara Modre/aksara suci. (Watra, 2006:52-58)