Jumat, 27 Mei 2022

JENIS PAMANGKU




 Menurut Lontar Raja Purana Gama. Ekajati yang tergolong pamangku dibedakan jenisnya, sesuai dengan tempat dan kedudukannya, dimana beliau ini melaksanakan tugasnya, yaitu:

1. Pamangku Kahyangan (Pemangku Kusuma Dewa) Pamangku Kahyangan adalah Pamangku yang bertugas pada Kahyangan yang meliputi Kahyangan Tiga, Kahyangan Jagat maupun Sad Kahyangan. Masing-¬masing pura ini memiliki seorang atau lebih Pamangku pemucuk dan mengemban tugas dan bertanggung jawab terhadap segala kegiatan pada pura yang, diemongnya. Selain itu memahami tentang keberadaan pura serta upacara dan upakara yang semestinya dilaksanakan. Pemangku tersebut sering juga disebut Mangku Gde/Mangku Pemucuk. Seperti Pemangku Desa, Dalem, Puseh serta sesungsungan desa lainnya, Kahyangan Jagat serta. Dangkahyangan.

2. Pamangku Pamongomong (Pembantu Pemangku Kusuma Dewa) Pamangku Pamongmomg juga disebut dengan sebutan Jro Bayan, atau dengan sebutan Mangku alit, yang memiliki tugas sebagai pebantu dari Pemangku Gde di suatu pura, yang sering juga disebut Pamangku alit, dengan tugas pokok mengatur tata pelaksanaan dan jalannya upacara, dan hal-hal lainnya sesuai dengan perintah Pemangku Gde.

3. Pamangku Jan Banggul Pamangku Jan Banggul juga disebut dengan sebutan Jro Bahu, disebut juga Pamangku alit, yang bertugas sebagai pembantu Pemangku Gde, dalarn menghaturkan atau ngunggahang bebanten, menurunkan arca pratima, memasang bhusana pada pelingih, nyiratan wangsuh pada dan memberikan bija kepada umat yang sembahyang, serta hal-hal lainnya sesuai dengan perintah / waranuggraha Pemangku Gde pada pura tersebut.


4. Pamangku Cungkub Pamangku Cungkub yaitu: Pamangku yang bertugas di Mrajan Gde yang memiliki jumlah Palinggih sebanyak sepuluh buah atau lebih.

5. Pamangku Nilarta Pamangku Nilarta adalah Pamangku yang bertugas pada pura yang berstatus sebagai pura Kawitan atau pura Kawitan dari keluarga tertentu.

6. Pamangku Pandita Pamangku Pandita memiliki tugas muput yadnva seperti Pandita. Adanya Pemangku jenis ini didasarkan atas adanya tradisi atau purana pada daerah tertentu yang tidak diperkenankan menggunakan pemuput Pandita. Sehingga segala tugas, menyangkut pelaksanaan Panca Yadnya diselesaikan oleh pemangku tersebut, dengan mohon tirtha pamuput dengan jalan nyelumbung.

7. Pamangku Bhujangga Pamangku Bhujangga adalah pamangku yang bertugas pada pura yang berstatus sebagai paibon.

8. Pamangku Balian Pamangku ini hanya bertugas melaksanakan swadharma Balian, dapat nganteb upacara atau upakara hanya yang berhubungan pengobatan terhadap pasiennya.

9. Pamangku Dalang Pamangku yang melaksanakan swadharma sebagai Dalang, dapat nganteb upacara atau upakara yang hanya berhubungan dengan swadharma Pedalangannya saja, seperti mabayuh pawetonan atau Nyapuh Leger.

10. Pamangku Tapakan / lancuban Pamangku ini hanya bertugas apabila pada suatu pura melaksanakan kegiatan nyanjan atau nedunan Bhatara nunas bawos, untuk kepentingan pura tersebut untuk, memohon petunjuk, dari dunia niskala.

11. Pamangku Tukang Pamangku ini juga disebut Pamangku Undagi, pamangku yang paham akan ajaran Wiswakarma serta segala pekerjaan tukang, seperti Undagi, Sangging, Pande dan sejenisnya, dapat nganteb upacara atau upakara hanya sebatas yang berhubungan dengan tugas beliau sebagai tukang.

12. Pamangku Sang Kulputih Pamangku Sang Kulputih swadharmanya sebagai pemangku yang memakai gagelaran Sang Kulputih dalam pemujaannya.

13. Pamangku Sang Kulpine Pamangku yang memakai gagelaran Sang Kulputih dan Kusuma Dewa dalam swadharmanya sebagai pembantu Pamangku Sang Kulputih.

14. Pamangku Kortenu, Pamangku Kortenu adalah Pemangku yang bertugas di Pura Prajapati, selain nganteb di Pura yang di emongnya, juga dapat nganteb upacara yang berhubungan dengan Pitra Yadnya, seperti Ngulapin Pitra pada saat akan melaksanakan upacara Atiwa-tiwa dan lain sebagainya.

Kamis, 26 Mei 2022

DEVI UMA




 DEVI UMA adalah dari Sakti Deva Siva diberi nama sesuai dengan perwujudannya yang ganda, yaitu berwujud “santa” atau tenang, dan bersifat “raudra” atau “krodha”.

Ketika dalam wujud santa, sakti Deva Siva ini disebut dengan Parvati, yaitu seorang devi dengan penuh kecantikan dan kasih sayang. Selain disebut dengan Parvati, juga disebut dengan Devi Uma atau dewi Kedamaian.

Didalam kitab Purana disebutkan Devi Parvati pada penjelmaan pertamanya adalah Daksayani, yaitu putri dari Daksa dan Prasuti dan menikah dengan Siva. Karena tidak mampu memahami keagungan Siva, Daksa memakinya dan mulai membencinya. Ketika Daksa melakukan suatu upacara Yajna Agung, salah satu tamu yang tak diundang adalah Siva. Sangat bertentangan dengan saran pasangannya, Daksayani pergi ke tempat upacara tanpa diundang dan mengakhiri hidupnya dengan membakar diri dalam api yoga. Oleh sebab itu, kemudian ia dikenal dengan sebutan Sati yang tak berdosa.


Berikutnya dia terlahir kembali menjadi Parvati, putri dari Himawan dan Mena. Setelah melakukan tapa yang mendalam, dia mampu menyenangkan Siva dan membuat Siva dapat menerimanya kembali sebagai pendampingnya.
Selama Parvati melakukan pertapaan, dia menolak untuk makan dan minum, walau daun kering sekalipun. Sehingga dia memperoleh penampakan Aparna Ibunya Mena yang tidak tega menyaksikan putri kesayangannya menderita dalam melakukan tapa, dan berusaha mencegahnya dengan kata-kata “Uma, sayangku janganlah berbuat seperti ini” yang kemudian nama Uma menjadi nama lainnya.

Seperti pendamping Siva, Parvati juga memiliki dua aspek yang berbeda, yaitu aspek lemah lembut, penyayang, dan berparas cantik, serta satu aspek lain adalah aspek menakutkan dan mengerikan.

Sebagai Parvati atau Uma dia dinyatakan dengan aspek yang lemah lembut, penyayang, penuh cinta kasih. Dimana dalam aspek ini, dia selalu bersama dengan Siva. Kemudian dalam aspek ini dia memiliki dua tangan, yang kanan memegang teratai biru, dan yang kiri menggantung bebas disebelahnya. Bila dinyatakan secara mandiri (Parvati Tunggal/tanpa Siva), dia tampak dengan empat tangan, dua tangan memegang taratai merah dan biru, sedangkan dua tangan yang lain memegang Varada dan Abhaya Mudra.

Semoga penjelasan singkat ini bermanfaat bagi pemahaman dan Sraddha Bhakti kita semua. Manggalam astu.

Om Santih Santih Santih Om
Kontributor: I Wayan Sudarma –sumber



Sebelum Bharata Yuda, Arjuna Meminta Restu Dewi Durga

 


Sebelum maju ke medan pertempuran, atas saran Krisna Arjuna terlebih dahulu memuja Dewi Durga. Ini dikisahkan pada bagian Bisma Parwa agar pada saat peperangan Dewi Durga menganugerahkan kemenangan bagi pihak pandawa.

Berkat Dewi Durga Arjuna dapat mengalahkan pihak-pihak yang membela korawa sehingga Pandawa mampu memenangkan pertempuran selama delapan belas hari di hamparan medan perang Kuru Ksetra.

Dewi Durga merupakan Dewi Shakti yang merupakan istri dari Siwa. Dewi Durga diwujudkan dalam bentuk Dewi yang cantik dengan memiliki delapan belas lengan yang masing-masing membawa senjata. Dewi Durga digambarkan dengan menunggangi harimau.

 - JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Wujud Durga adalah kemarahan, dimana Durga Dewi juga merupakan Parvati Dewi atau Uma. Kemarahan dari Durga merupakan kemarahan ilahi yang bertujuan untuk menghancurkan kejahatan dan pertentangan terhadap kebenaran.

Pada perang Bharata Yuda yang merupakan perang besar wangsa Kuru merupakan bentuk pertentangan dua kubu besar, antara Pandawa dan Korawa atau perang antara kebenaran melawan ketidakbenaran. Hal ini kemudian menyebabkan Krisna memberikan saran kepada Arjuna untuk memuja Durga untuk memberikan anugrah menghancurkan kejahatan Korawa.

Durga dalam wujud menyeramkan dan kekuatan dikenal sebagai Dewi kematian yang merupakan pedamping Dewa Siwa yang juga sebagai Dewa pelebur. Segala tatanan kehidupan yang telah melewati batas kebenaran maka Durga akan menghancurkan ketidakbenaran sehingga kembali pada jalan kebenaran. (SB-Skb) –sumber






Selasa, 24 Mei 2022

Upacara Napak Sithi

 



Pawetonan atau Otonan dan upacara turun ke tanah yang juga disebut Napak Sithi, merupakan kelanjutan dari pelaksanaan upacara tiga bulanan. Upacara ini dilaksanakan tepat saat bayi berusia 210 hari. Bagaimana sejatinya upacara ini?

Otonan atau pawetonan berasal dari bahasa Jawa kuna, yakni ‘wetu’ atau ‘metu’ yang artinya keluar, lahir atau menjelma. Dari kata ‘wetu’ menjadi ‘weton’ dan selanjutnya berubah menjadi ‘oton’ atau “’otonan’.

Demikian pula kata ‘piodalan’ dari kata ‘wedal’ berubah menjadi ‘odal’ atau ‘odalan’ yang juga mengandung makna yang sama dengan ‘weton’ . “Di dalam bahasa Sanskerta kata yang mengandung pengertian kelahiran adalah ‘janma’dan kata ‘janmadina’ atau ‘janmastami’ mengandung makna ‘hari kelahiran’ atau hari ulang tahun,” ujar Mangku I Wayan Satra kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Rabu (1/2).

Selain itu, ada juga yang mengatakan Otonan berasal dari kata ‘pawetuan’, yaitu peringatan hari lahir menurut tradisi agama Hindu di Bali yang didasarkan pada sapta wara, panca wara, dan wuku. Dalam kalender Bali otonan dirayakan setiap 210 hari (setiap 6 bulan).

Jadi, secara etimologi Otonan adalah hari kelahiran bagi umat Hindu yang datang dan diperingati setiap 210 hari sekali berdasarkan perhitungan sapta wara, panca wara dan wuku yang berbeda dengan pengertian hari ulang tahun pada umumnya yang didasarkan pada perhitungan kalender atau tahun Masehi. Misalnya orang yang lahir pada hari Rabu, Keliwon Sinta, selalu otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis seperti itu, yang datangnya setiap enam bulan sekali

 - JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Dalam menentukan hari Otonan yang harus dijadikan patokan adalah sistem kalender Saka-Bali. Yang mana dalam pergantian hari atau tanggal, yaitu ketika matahari terbit (sekitar jam 6 pagi).

Jika untuk bayi, Otonan pertama kali dilakukan ketika sudah berumur 105 hari atau tiga bulanan, karena organ tubuh dianggap sudah berkembang sempurna dan semua panca indra sudah aktif, di mana panca indra anak itu dapat membawa dampak positif dan negatif pada kesucian jiwa, sehingga harus dilakukan Otonan.

“Jika belum dilakukan Otonan atau diupacarai tiga bulanan, maka anak itu masih cuntaka atau belum suci,” imbuhnya.

Upacara Pawetonan atau Otonan untuk bayi memiiki dua sudut pandang. Sudut pandang sekala (duniawi) dan sudut pandang filsafat agama. Jika dipandang dari sudut duniawi, seoarang bayi boleh diturunkan ke tanah setelah menginjak umur enam bulan. Bayi tersebut belum dianggap penuh waktunya beradaptasi dengan alamnya, sehingga belum secara penuh mendapat kekebalan pada tubuhnya,

Dijelaskan lebih lanjut Mangku Satra, jika diteliti dari sudut pandang filsafat agama, pelaksanaan upacara pawetonan dan napak sithi menggunakan pedoman angka 210 hari. Angka tersebut merupakan petunjuk angka Samkhya, sebagai dasar tattwa dengan menjumlahkan angka tersebut, dari penjumlahan tersebut didapat angka tiga. Angka tiga merupakan simbol mulai aktifnya Tri Pramana (Bayu, Sabda dan Idep) bayi terhadap rangsangan dari luar. Sehingga, dalam keadaan demikianlah dimohonkan kepada Ida Sang Hyang Widi melalui pelaksanaan upacara Pawetonan dan Napak Sithi.

Jika dilihat dari kata enam bulan, akan mendapatka angka Samkhya, dengan angka enam yang mengandung makna sebagai simbol Sad Ripu. Dengan adanya sifat Sad Ripu yang dibawa bayi sejak lahir, maka upacara Pawetonan atau dan Napak Sithi harus dilaksanakan agar dapat meminimalisasi kekuatan Sad Ripu yang ada dalam diri si bayi.

Dalam upacara Otonan yang sederhana, sarana cukup banten pajati (untuk Bhatara Guru/Kemulan), dapetan (sebagai tanda syukur) dan sesayut pawetuan (untuk Sang Manumadi), segehan (untuk Bhuta) dan dapat diisi kue taart di atasnya dikasi canang sari dan dupa, kemudian didoakan.

Otonan tidak mesti dibuatkan upacara yang besar dan mewah, yang terpenting adalah nilai rohaninya, sehingga nilai tersebut dapat mentransformasikan pencerahan kepada setiap orang yang melaksanakan Otonan. Tidak ada gunanya Otonan yang besar, namun si anak tidak pernah diajarkan untuk sungkem dan hormat pada orang yang lebih tua. Akan sia-sia upacara Otonan itu, jika hanya untuk pamer kepada tetangga. Otonan harus dapat mengubah perilaku yang tidak benar menjadi tindakan yang santun, hormat, bijaksana dan welas asih, baik kepada orang tua, saudara, dan masyarakat. Otonan yang dilaksanakan dengan sadhana akan mengarahkan orang tersebut kepada realisasi diri yang tertinggi. Karena dalam upacara Otonan terkandung makna bahwa kita berasal dari Brahman dan harus kembali kepadaNya.

Dalam prosesi Otonan, terdapat sebuah simbolis, yaitu pemasangan gelang di tangan berwarna putih. Kenapa menggunakan benang? karena benang mempunyai konotasi ‘beneng’. Dalam bahasa Bali halus dapat diartikan dua hal, pertama, karena benang sering dipergunakan sebagai sepat membuat lurus sesuatu yang diukur. Ini maksudnya agar hati yang Otonan selalu di jalan yang lurus dan benar. Kedua, benang memiliki sifat lentur dan tidak mudah putus sebagai simbol kelenturan hati yang Otonan dan tidak mudah patah semangat. Khusus untuk bayi yang baru pertama kali melaksanakan upacara Otonan, biasanya menggunakan sarana banten yang lebih besar, yakni Udel Kurenan yang disertai upacara natab ke Bale Agung, dilanjutkan dengan madagang-dagangan, serta dilanjutkan dengan membopong bayi menyentuh tanah untuk pertama kalinya. Upacara inilah yang disebut Napak Sithi dan dipuput oleh pemangku.

Sarana upacaranya pun banyak, atara lain adalah menggunakan Rerajahan Badawang Nala yang merupakan simbol kekuatan pertiwi yang tak lain adalah pijakan semua mahluk hidup di bumi. Sangkar Ayam yang merupakn simbol akasa untuk memberikan kehidupan di alam semesta. Yuyu, ikan nyalian dan udang, merupakan simbol Tri Pramana. Pane dan air merupakan simbol angga sarira dan pikiran manusia. Megogo-gogoan merupakan cerminan permohonan kehadapan Sang Hyang Widi agar dianugerahkan kesempurnaan Tri Pramana.

“Khusus untuk ritual ini yang memangku sang bayi harus seorang anak yang belum maketus atau giginya belum tanggal, karena diyakini masih memiliki sifat Dewata dan pikiran yang bersih.” tutup Satra.

(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber







Madagang-dagangan dalam Otonan

 

Dalam upacara Otonan pertama bagi bayi di Bali, ada prosesi yang dinamai dengan madagang-dagangan. Aktivitas ini kebanyakan dilaksanakan di Bale Delod atau Bale Semenggon.

Upacara Otonan di Bali, hendaknya dilaksanakan di natar Mrajan atau Sanggah. Hal ini disebabkan karena bayi telah disucikan, sehingga dibenarkan masuk ke dalam merajan. “Pelaksanaan upacara di merajan mengacu kepada palinggih Bhatara Hyang Guru yang tak lain adalah leluhur kita yang manumadi atau reinkarnasi ke dalam diri si bayi, ” ujar Ida Pedanda Gede Manara Putra Kekeran.

 - JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

Selain itu, adanya pelaksanaan Madagang-dagangan adalah sebagai simbol permohonan kehadapan Sang Hyang Widi agar nantinya setelah bayi menjadi dewasa dianugerahkan kawigunan atau profesi. Dalam sastra agama dijelaskan bahwa setiap manusia lahir ke dunia, telah memiliki garis tangan atau wiguna yang banyaknya sepuluh wiguna. Yakni, Guna Resi, di mana seoarang mampu menjadi sulinggih atau brahmana.

Guna Wibawa adalah seseorang akan mampu menjadi pejabat pemerintahan. Guna Balian, di mana seseorang akan mampu menjadi dukun atau dokter. Guna Dagang, seseoarang akan mampu menjadi pedagang. Guna Pacul, di mana seseorang mampu menjadi seoarang petani.

Selanjutnya Guna Sastra, di mana seseorang akan mampu menjadi penulis. Kemudian, Guna Dalang, di mana seseoarang akan mampu menjadi dalang. Guna Pragina, dimana seseoarang akan mampu menjadi penari, penabuh atau pelawak. Guna Sangging, dimana seseorang akan mampu menjadi pematung, pelukis, dan pemahat. Guna Tukang, seseoarang akan mampu menjadi tukang, serati, dan ahli teknik. Dengan penjelasan tersebut, setiap manusia yang lahir ke dunia telah disiapkan sepuluh kewigunan untuk mencari amertha kehidupan,” tutup Ida Pedanda Gede Menara Putra Kekeran.

(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber



Senin, 23 Mei 2022

BANTEN CANE

  


Banten cane artinya sirih yang dihidangkan di dalam rapat. Namun, di dalam kenyataannya tidaklah demikian, karena ternyata yang dimaksud cane tidak hanya sirih, walaupun unsur berupa sirih juga ada, yaitu berupa lekesan (sirih digulung terikat dengan benang). Secara lengkapnya cara pembuatan cane, antara lain sebagai berikut: Sebagai alasnya dipakai sebuah dulang yang kecil dihiasi dengan seseriyokan atau jaro dari janur berkeliling. Di tengah-tengah dulang ditancapkan batang pisang yang panjangnya disesuaikan dengan tinggi rendah yang dikehendaki. Di sekitarnya diisi perlengkapan lainnya, seperti bija, air cendana, burat wangi (lenga wangi), masing-masing dialasi dengan empat buah takir (mangkuk kecil). Selain itu terdapat pula kojong 4 buah yang berisi tembakau, pinang dan lekesan, yaitu dua lembar daun sirih dilengkapi dengan gambir dan kapur, kemudian digulung serta diikat dengan benang. Di samping itu pula atau ditambahkan dengan rokok 4 batang dan korek api. Dan untuk rokok malahan ada yang melengkapinya dengan jumlah bungkus disesuaikan dengan banyaknya peserta rapat yang hadir agar masing-masing memperoleh minimal sebatang setiap orangnya. Kemudian bunganya diatur melingkar ditancap pada batang pisang secara teratur berkeliling, sehingga menjadi indah dan paling atas diisi cili serta hiasan-hiasan lainnya.


Ada pun kegunaan cane ini adalah untuk melengkapi sesajen-sesajen yang agak besar, terutama pada waktu upacara melasti dijunjung mendahului pratima atau daksina. Namun dalam kehidupan sehari-hari dan terikat dengan acara paruman atau rapat-rapat di lembaga adat, keberadaan cane ini betul-betul diperlukan. Cane ini dipergunakan pada rapat paruman (pesangkepan) paripurna oleh lembaga-lembaga adat. Cane ini ditempatkan pada suatu tempat yang khusus atau di tengah-tengah rapat.
Ada pun tujuan memakai cane adalah untuk memohon agar pertemuan atau rapat berjalan, mendapatkan hasil yang diharapkan dan segala keputusan yang diambil dapat ditaati dengan penuh kesadaran. Di samping itu penggunaan cane pada pertemuan-pertemuan (rapat) juga bertujuan untuk mengingatkan, bahwa apa pun yang telah dicapai oleh seseorang adalah atas anugerah Ida Hyang Widhi Wasa melalui manifestasiNya.
Pemanfaatan cane sesuai dengan desa kala patra dan desa mawa cara, yaitu ada yang setelah rapat selesai baru cane itu di-lebar dan ada juga yang sebelum acara rapat dimulai yang pemanfaatannya setelah rapat selesai yakni, cane akan di-lebar, yaitu dengan jalan membagi-bagikan air cendana, bija, bunga serta perlengkapan lainnya termasuk diperciki tirta wangsuhpada Ida Bhatara. Pemakaian bija atau bunga adalah sebagai simbul telah mendapatkan anugerah dalam hal ini kiranya anugerah yang dimaksud adalah berupa hasil (keputusan-keputusan rapat). Jadi pemanfaatan cane itu sebelum atau setelah rapat, maknanya sama saja, yakni memohon rapat menghasilkan sesuatu yang baik.


Suci 9 tamas cenik ala bajra Tabanan

  


5 tandingan banten suci yi:
Tamas 1 paling atas:
Tipat kelanan
Tamas 2:
Clemik 6 yi; Kacang batu merah goreng, jagung brondong, kacang mentik, sambal nyuh, saur, kacang putih, takir rasmen ditengah.
Tamas 3:
6 clemik nasi misi paya mengseb
Tamas 4:
Peras putih kuning; kulit peras, raka, tumpeng putih kuning, kj rasmen, sampyan peras sep taledn metagel
tamas 5:
raka, celemik rasmen, celemik isi nasi kuning samuhan kuning n celemik isi nasi putih n samuhan putih, celemik pala bungkah pala gantung, celemik porosan n base tampelan
tamas 6:
raka, celemik rasmen, 2 celemik nasi samuhan putih n nasi kuning kuning, celemik pala bungkah pala gantung, celemik base gulung 1
Tamas 7:
raka, celemik rasmen, 2 celemik nasi samuhan putih n nasi kuning kuning, celemik pala bungkah pala gantung, celemik base gulung 2
Tamas 8:
raka, celemik rasmen, 2 celemik nasi samuhan putih n nasi kuning kuning, celemik pala bungkah pala gantung, celemik base gulung 3
Tamas 9:
Matah-matah 8 clemik isi; kacang komak, jagung, beras, sela, keladi, gula , tepung tawar kapas, porosan


Suci sari ida bgs sudarsana 3 tamas
Tamas 1:
Raka (biu, tape bantal lambang keteguhan, tebu lambang isap yi meresap, pelas lascarya, begina lambang surya, uli lambang chandra), 4 nasi sodan 5 clemik isi rasmen, timun tuung, uyah, telor bebek lebeng, gerang, sampyan plaus
Tamas 2
Raka, ceper panca pala (5 celemik tempel don bingin isi 5 macam buah bergantung), ceper palabungkah (5 clemik don bingin isi 5 umbi2an), ceper samuan putih, ceper 5 samuan kuning
Putih
Bungan temu simbul bajra aksara sucix sang
Klongkang simbul gada aksara sucix bang
Kekulub simbul nagapasa aksara sucix tang
Karna simbul cakra aksara sucix ang
Dedalas simbul yoni/padma aksara sucix ing
Kuning
Canigara simbul trisula aksara sucix wang
Kerang simbul dupa aksara sucix nang
Panji simbul danda aksara sucix mang
Kebeber simbul moksala aksara sucix sing
Dedalas kuning simbul yoni aksara sucix ing
Clekontong isi 2 biu n samuan yoni lambang rwa bhineda
Tamas 3
Raka, 2 ceper pala bungkah palagantung, 2 ceper isi 2 samuan putih n kuning isi masing2 2, ceper 5 celemik isi masing2 samuan putih n kuning, clekontong isi 2 biu tetukon (takir isi porosan beras benang pis bolong muncuk bingin) n samuan saraswati.
Suci cenik utk caru
Beli di pasar agung jl padma Penatih dentim
2 tamas:
Tamas 1;
Raka, 3 celemik samuan putih
Tamas 2;
Raka, 3 celemik samuan kuning
Ceper payasan
Ceper peras
Suci 5 tamas
Tamas 1
Pisang diiris garis 4 5 samuan nanas
5 tape 5 bantal 5 tebu 5 jaja uli putih 5 jaja uli kuning 1 begina
2 sugituman (ketan kelapa), 2 jaja apit putih kanan kuning kiri, irung, karna kanan kiri, mata 2
Kanan putih; kebeber 2, pecuk3 2, ratu megelung 2, kuluban 2, bungan teleng 2
Kiri kuning; kuluban 2, payasan 2, cinigara 2
Tamas 2
Biu diris garis 3, 4 samuan nanas 4 tape 4 bantal 4 tebu 4 uli putih 4 uli kuning 1 begina
Sugituman (beras kelapa) mewadah kojong, 1 clemik apit putih,
Kanan putih; ratu megelung, kuluban, bungan teleng, ong kebeber, pecuk3
Kiri kuning; payasan, kuluban, cinigara
Irung di clemik, karna di clemik kanan kiri, mata di clemik kanan kiri


Tamas 3
Biu iris 2, 3 nanas 3 tape 3 bantal 3 tebu 3 uli putih 3 uli kuning 3 begina 1 putih, irung diclemik, sugituman di kojong, karna 2 mata2 di clemik
Kanan putih; kuluban, kebeber, rt megelung, b teleng, pecuk3
Kiri kuning; kuluban, payasan cinigara
Jj saraswati canang genten
Tamas 4
Biu iris 1, 2 nanas, 2 tape bantal tebu uli putih uli kuning begina
Sugituman akojong, clemik irung, clemik karna 2, clemik mata 2, clemik apit
Kanan putih; b teleng, rt megelung, kebeber, kulubn, pecuk3
Kiri kuning; kulubn, payasan, cinigara
Jj taman canang genten
Tamas 5
Raka, sugituman kj, apit di clemik, irung, 2 karna, 2 mata,
Kanan putih; kulubn, rt megl, kebeber, b tleng, pecuk3
Kiri kuning; kulubn, cinigr, payasan
Canang base suci (5 lb base wadah lengis bunga)
Macam Suci
Suci Sari....
Suci berwarna
Suci tiburo....
Suci lekah......
Suci laksana.....
Lanjut catur