Kamis, 20 Oktober 2022

Bungkak Punya Daya Magis Bagi Umat Hindu Bali

 



BALI EXPRESS, DENPASAR – Bungkak atau buah kelapa muda kerap dijadikan sarana pengobatan secara medis (sekala) dan non medis (niskala). Apa istimewanya sehingga bungkak menjadi bagian penting dari proses pengobatan dan sarana ritual?

Jero Dalang dan tokoh masyarakat Desa Sayan, Ubud, Gianyar, I Made Tragia, tak menyanggah bahwa bungkak jadi bagian vital untuk proses pengobatan maupun pembersihan, seperti untuk panglukatan untuk urusan niskala. Khusus untuk yang sekala, lanjutnya, ketika seseorang yang mabuk karena minuman keras juga bisa diatasi dengan minum air bungkak untuk menyadarkan kembali.

Menurutnya, berdasarkan Lontar Siwa Gama, bungkak berasal dari salah satu kepala Ida Bhatara Brahma. Awalnya Bhatara Brahma mintonin Sang Hyang Gana dan Bhatara Wisnu, sehingga Bhatara Wisnu dilindungi oleh Sang Hyang Brahma Makusara. “Saat itu datanglah Sang Hyang Gana dari linggih Ida Sang Hyang Gana untuk mencari kejelasan. Ketika diketahui ada permasalahan seperti itu, mereka bertaruh kalau Brahma kalah akan mau menjadi murid Sang Hyang Gana,” jelas Jero Tragia kepada Bali Expresss (Jawa Pos Group) di Desa Sayan, Ubud Gianyar, pekan kemarin.

Sedangkan jika sebaliknya yang terjadi, maka Sang Hyang Gana akan dimakan oleh Brahma.
Karena diketahui bahwa Brahma memiliki empat kepala yang disembunyikan dalam perutnya sendiri, Sang Hyang Gana lantas mencuri kepalanya Brahma dengan tangan kirinya Dewa Siwa. ” Hal itu mengakibatkan Brahma tidak dapat menunjukkan kepalanya lagi satu, karena kepalanya dicuri secara misterius. Makanya, ketika akan memperlihatkan kepalanya lagi satu, hanya keluar darah saja dari bahu Brahma,” urainya.

DikatakanTragia, darah yang keluar itu menjadi satus sakutus, yakni 108 butha. Lantaran banyaknya keluar butha yang menyerbu, Sang Hyang Ghana kalah. Maka sebelum bernama Catur Muka, lanjutnya, ada sebutan Panca Brahma, karena merasa jengah Sang Siwa dan hadirnya Panca Rsi yang terdiri atas Korsika, Garga, Matri, Kurusya, dan Patanjala.



Tragia mengatakan, kepala Brahma sebelumnya dibuang ke samudra yang mengakibatkan meluapnya air laut. Maka diproteslah kejadian itu oleh Ida Sang Naga Baruna dan kemudian diambil kembali untuk dibuang ke tanah. Hal itu juga membuat tanah menjadi berlubang dan diprotes kembali oleh Naga Bhasuki yang kemudian dibuang ke udara. Karena mengakibatkan suhu udara menjadi panas, maka diambil kembali dan dibawa ke Gunung Kampud di wilayah Pulau Jawa.

“Di sana kemudian ditanam di bawah Gunung Mahameru, yang sekarang disebut dengan Gunung Jembada Geni. Lama-kelamaan di sana muncullah pohon kelapa yang pertama kali. Karena semua bagian tumbuhannya dapat berfungsi untuk kelangsungan hidup dan upacara, maka disebut pohon sudamala,” urianya.

Tragia mengungkapkan pohon kelapa itu muasalnya merupakan kepala Brahma. Disebut pohon Sudamala karena dari ujung pohon sampai akarnya berfungsi untuk kehidupan di dunia ini.
Selain itu, bhuta yang berjumlah 108 itu juga dikalahkan oleh Panca Rsi. Brahma kemudian memohon kepada Hyang Adi Suksma dan akhirnya diberikan lugraha atau tempat, yang diberi nama Sang Hyang Catur Muka. Sedangkan bhutanya sampai saat ini ada banten segan yang jumlahnya 108.

“Sampai saat ini Catur Muka berada di titik nol,sebagai pusat. Baik pusat kegiatan atau pusat pertemuan dari segala arah. Sedangkan pada perempatan penyacah disebut dengan Catur Bhuana,” tandasnya.

Ia mengatakan, Sudamala berasal dari Panyudamala yang berarti bisa digunakan apa saja.
Disinggung soal penggunaan bungkak gading dan gadang, Tragia mengaku tak ada bedanya, karena disesuaikan dengan penggunaan dan tempat. “Setiap penggunaan bungkak dijadikan obat, disesuaikan dengan arah ataupun kegunaan dari tempat malukat ataupun tempat berobat,” urainya.


Secara sekala, lanjutnya, mengonsumsi air bungkak bermanfaat bagi badan, yaitu untuk menetralkan panas yang ada dalam tubuh. Biasanya ketika petani bekerja di sawah, untuk menghilangkan dahaga dan capek, mereka minum bungkak yang langsung dicari di pohonnya. Air bungkak dapat juga mengurangi dehidrasi saat bekerja di bawah panas teriknya matahari. Sedangkan tuahnya secara niskala, penggunaan bungkak di Bali sudah lumrah sebagai media penyembuhan. Dikarenakan setiap banten hampir selalu menggunakan kelapa, dan dianggap menjadi bahan penting dan utama. Tragia mencontohkan dapat digunakan sebagai daksina, panglukatan, prayascita, bahkan simbol para dewa.

“Bungkak memiliki filosofi yang sangat dalam, apalagi dipergunakan dalam yadnya. Terdiri atas air yang berarti sukla, sebagai sumber kekuatan tirtha Mahamerta, juga sebagai sumber nyomia kekuatan Sad Ripu atau enam sifat buruk yang ada di diri manusia yang bersifat keraksasaan, di samping sebagai kekuatan Dewa Brahma dan juga Dewa Wisnu,” ungkapnya.

Di sisi lain, lanjut Tragia, setelah dibuangnya kepala Brahma tersebut, menjadikan kekuatan sendiri pada unsur Tri Lokha karena terjadi penyucian terhadap alam bawah atau bhur loka, alam tengah atau bwah loka, dan alam atas yang disebut dengan swah loka. Sehingga, hal tersebut juga mengartikan sebagai perantara guna manyomia (menyeimbangkan) Panca Mahabuta ke asalnya masing-masing. Pemahaman seperti ini, lanjutnya, perlu diperdalam oleh umat Hindu, termasuk soal asal-usul sarana dan ritualnya. “Jadi, tidak ada kata-kata yang muncul bahwa semuanya nak mula keto,” bebernya.

Tragia mengatakan kelapa memiliki peranan dalam setiap upacara Hindu, dapat dikaitkan dengan makna magis dan mistik karena secara tidak langsung kelapa telah melewati rangkaian upacara. Baik itu dari asal-usulnya yang bisa sampai tumbuh dan semua unsurnya dapat dipergunakan.
“Ini juga yang menyebabkan para balian atau praktisi dalam dunia kesehatan tradisional menggunakan bungkak sebagai sarana pengobatan. Karena memiliki kekuatan kedewataan dan energi positif,” pungkasnya.

(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber

Rabu, 12 Oktober 2022

Sumber Hukum Hindu dalam Arti Sejarah, Sosiologi, Formal, dan Filsafat,


Menurut tradisi yang lazim telah diterima oleh para Maharsi tentang penyusunan atau pengelompokan materi yang lebih sistematis sebagai sumber Hukum Hindu berasal dari Veda Sruti dan Veda Smrti. Veda Sruti adalah kitab suci Hindu yang berasal dari wahyu Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa yang didengar langsung oleh para Maharsi, yang isinya patut dipedomani dan dilaksanakan oleh umat sedharma. Veda Smrti adalah kitab suci Hindu yang ditulis oleh para Maharsi berdasarkan ingatan yang bersumber dari wahyu Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, yang isinya patut juga dipedomani dan dilaksanakan oleh umat sedharma (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:58).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


Foto: shounakcl
Veda Smrti sebagai sumber Hukum Hindu dapat kita kelompokkan menjadi dua kelompok yaitu :

Kelompok Vedangga/Batang tubuh Veda ( Siksa, Wyakarana, Chanda, Nirukta, Jyotisa dan Kalpa ).
Kelompok UpaVeda /Veda tambahan ( Itihasa, Purana, Arthasastra, Ayur Veda dan Gandharwa Veda ).
Bagian terpenting dari kelompok Vedangga adalah Kalpa yang padat dengan isi Hukum Hindu, yaitu Dharmasastra, sumber hukum ini membahas aspek kehidupan manusia yang disebut dharma. Sedangkan sumber hukum Hindu yang lain yang juga menjadi sumber Hukum Hindu adalah dapat dilihat dari berbagai kitab-kitab lain yang telah ditulis yang bersumber pada Veda diantaranya:
Kitab Sarasamuscaya
Kitab Suara Jambu
Kitab Siwasasana
Kitab Purwadigama
Kitab Purwagama
Kitab Devagama (Kerthopati)
Kitab Kutara Manawa
Kitab Adigama
Kitab Kerthasima
Kitab Kerthasima Subak
Kitab Paswara
Dari berbagai jenis kitab di atas memang tidak ada gambaran yang jelas atas saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Semua kitab tersebut memuat berbagai peraturan yang tidak sama satu dengan yang lainya karena masing- masing kitab tersebut bersumber pada inti pokok peraturan yang ditekankan (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 59).


Bidang-bidang Hukum Hindu sesuai dengan sumber Hukum Hindu yang paling terkenal adalah Manawa Dharmasastra yang mengambil sumber ajaran Dharmasastra yang paling tua, adapun pembagian terdiri dari :

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

1. Bidang Hukum Keagamaan, bidang ini banyak memuat ajaran-ajaran yang mengatur tentang tata cara keagamaan yaitu menyangkut tentang antara lain;


a. Bahwa semua alam semesta ini diciptakan dan dipelihara oleh suatu hukum yang disebut rta atau dharma.
b. Ajaran-ajaran yang diturunkan bersifat anjuran dan larangan yang semuanya mengandung konsekuensi atau akibat (sanksi ).
c. Tiap-tiap ajaran mengandung sifat relatif yaitu dapat disesuaikan dengan zaman atau waktu dan dimana tempat dan kedudukan hukum itu dilaksanakan, dan absolut berarti mengikat dan wajib hukumnya dilaksanakan.

d. Pengertian warna dharma berdasarkan pengertian golongan fungsional.


2. Bidang Hukum Kemasyarakatan, bidang ini banyak memuat tentang aturan atau tata cara hidup bermasyarakat satu dengan yang lainnya, atau sosial. Dalam bidang ini banyak diatur tentang konsekuensi atau akibat dari sebuah pelanggaran, kalau kita telusuri lebih jauh saat ini lebih dikenal dengan hukum perdata dan pidana.


Lembaga yang memegang peranan penting yang mengurusi tata kemasyarakatan adalah Badan Legislatif, yang menurut Hukum Hindu adalah Parisadha. Lembaga ini dapat membantu menyelesaikan masalah dengan cara pendekatan perdamaian, dan jika tidak berhasil maka ke pengadilan.


3. Bidang Hukum Tata Kenegaraan, bidang ini banyak memuat tentang tata cara bernegara, dimana terjalinnya hubungan warga masyarakat dengan negara sebagai pengatur tata pemerintahan yang juga menyangkut hubungan dengan bidang keagamaan. Disamping sistem pembagian wilayah administrasi dalam suatu negara, Hukum Hindu ini juga mengatur sistem masyarakat menjadi kelompok-kelompok hukum yang disebut ; Warna, Kula, Gotra, Ghana, Puga, dan Sreni, pembagian ini tidak bersifat kaku karena dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.


Kekuasaan Yudikatif diletakkan pada tangan seorang raja atau kepala negara, yang bertugas, memutuskan semua perkara yang timbul pada masyarakat. Raja dibantu oleh Devan Brahmana yang merupakan Majelis Hakim Ahli, baik sebagai lembaga yang berdiri sendiri maupun sebagai pembantu pemerintah didalam memutuskan perkara dalam sidang pengadilan (dharma sabha), pengadilan biasa (dharmaastha), pengadilan tinggi (pradiwaka) dan pengadilan istimewa (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 60).


Bagi umat sedharma atau masyarakat yang beragama Hindu, sumber hukumnya adalah kitab suci Veda. Ketentuan mengenai Veda sebagai sumber Hukum Hindu dinyatakan dengan tegas di dalam berbagai jenis kitab suci veda. Sruti adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum. Smrti bersumber pada kitab Sruti. Baik Sruti maupun Smrti keduanya adalah merupakan sumber Hukum Hindu. Kedudukan Smrti sebagai sumber Hukum Hindu sama kuatnya dengan Sruti. Smrti sebagai sumber Hukum Hindu lebih populer dengan istilah Manusmrti atau Dharmasastra.


Dharmasastra dinyatakan sebagai kitab Hukum Hindu karena didalamnya memuat banyak peraturan-peraturan yang bersifat mendasar yang berfungsi untuk mengatur dan menentukan sanksi bila diperlukan. Di dalam kitab Dharmasastra termuat serangkaian materi hukum dasar yang dapat dijadikan pedoman oleh umat Hindu dalam rangka mencapai tujuan hidup “catur purusartha” yang utama. Setiap pelanggaran baik itu merupakan delik biasa atau delik adat, tindak pidana, dan yang lainnya semuanya itu diancam hukuman. Sifat ancamannya mulai dari yang ringan sampai yang terberat yaitu ”hukuman mati”. Ancaman hukuman mati sebagai hukuman berat berlaku terhadap siapa saja yang melakukan tindak kejahatan.


Manawa Dharmasastra atau Manusmrti adalah kitab hukum yang telah tersusun secara teratur, dan sistematis. Kitab ini terbagi menjadi dua belas (12) bab atau adyaya. Bila kita mempelajari kitab-kitab Hukum Hindu maka banyak kita menemukan pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan titel hukum. Hal ini menunjukkan bahwa Hukum Hindu mengalami proses perkembangan. Adapun pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam Hukum Hindu, antara lain:


Kitab Hukum Hindu yang pertama dikenal adalah Dharmasutra. Ada tiga penulis yang terkenal terkait dengan keberadaan kitab Dharmasutra, diantaranya adalah;

Gautama adalah penulis kitab Dharmasutra yang karya hukumnya lebih menekankan pembahasan aspek hukum dalam rangkaian peletakan dasar tentang fungsi dan tugas raja sebagai pemegang dharma. Pada dasarnya beliau membahas tentang pokok-pokok hukum pidana dan hukum perdata.
Apastamba adalah penulis kitab Dharmasutra yang karya hukumnya lebih menekankan pembahasan tentang pokok-pokok materi wyawaharapada dengan beberapa masalah yang belum dibahas dalam kitab Gautama, seperti; mengenai hukum perzinahan, hukuman karena membunuh diri, hukuman karena melanggar dharma, hukum yang timbul karena sengketa antara buruh dengan majikan, dan hukum yang timbul karena penyalah- gunaan hak milik.
Baudhayana adalah penulis kitab Dharmasutra yang karya hukumnya lebih menekankan pembahasan tentang pokok-pokok hukum seperti; hukum mengenai bela diri, penghukuman karena seorang brahmana, penghukuman atas golongan rendah membunuh brahmana, dan penghukuman atas pembunuhan yang dilakukan terhadap ternak orang lain (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 61).
Dharmasastra adalah kitab hukum Hindu selain Dharmasutra. Ada beberapa penulis kitab Dharmasastra yang patut kita ketahui karya sastranya dibidang hukum Hindu, seperti; Wisnu, Manu, dan Yajnawalkya. Manu adalah penulis kitab Dharmasastra yang terkenal. Manu sebagai penulis Dharmasastra, berbicara tentang Hukum Hindu untuk mewakili karyanya sendiri. Kitab Dharmasastra karya Manu, menjadi sumber Hukum Hindu berlaku dan memiliki pengaruh yang sangat luas termasuk di Indonesia.


Hal ini dapat kita ketahui dari pokok-pokok ajarannya yang banyak kita jumpai dalam berbagai lontar yang ada seperti di Bali. Sedangkan Yajnawalkya menjadi terkenal di bidang penulisan dharmasastra sebagai sumber Hukum Hindu, karena mewakili salah satu mahzab hukum yang berkembang dalam Hukum Hindu. Diantara mahzab-mahzab tersebut adalah; Mitaksara, Dayabhaga, dan Yajnawalkya.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Menurut kitab Dharmasastra yang ditulis oleh Manu, keberadaan titel hukum atau wyawaharapada dibedakan jenisnya menjadi delapan belas (18), antara lain;

Rinadana yaitu ketentuan tentang tidak membayar hutang.
Niksepa adalah hukum mengenai deposito dan perjanjian.
Aswamiwikrya adalah tentang penjualan barang tidak bertuan.
Sambhuya-samutthana yaitu perikatan antara firman.
Dattasyanapakarma adalah ketentuan mengenai hibah dan pemberian.
Wetanadana yaitu hukum mengenai tidak membayar upah.
Samwidwyatikarma adalah hukum mengenai tidak melakukan tugas yang diperjanjikan.
Krayawikrayanusaya artinya pelaksanaan jual beli.
Swamipalawiwada artinya perselisihan antara buruh dengan majikan.
Simawiwada artinya perselisihan mengenai perbatasan
Waparusya adalah mengenai penghinaan.
Dandaparusya artinya penyerangan dan kekerasan.
Steya adalah hukum mengenai pencurian.
Sahasa artinya mengenai kekerasan.
Stripundharma adalah hukum mengenai kewajiban suami-istri (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 62).
Stridharma artinya hukum mengenai kewajiban seorang istri.
Wibhaga adalah hukum pembagian waris.
Dyutasamahwya adalah hukum perjudian dan pertaruhan (Lestawi, I Nengah dan Kusuma, I Made Wirahadi. 2014 : 55-56).

Dalam pembelajaran Hukum Hindu yang bersumber pada kitab-kitab tersebut di atas, maka banyak kita menemukan pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan titel hukum. Hal ini menunjukkan bahwa Hukum Hindu mengalami proses perkembangan. Perkembangan yang dimaksud antara lain;

Hutang piutang (Rinadana). Dalam kitab Dharmasastra, VIII.49. Manu menyatakan bahwa seorang kreditur dapat menuntut atau memperoleh piutangnya dari debitur melalui persuasif moril, keputusan pengadilan, melalui upaya akal, melalui cara puasa di pintu masuk rumah debitur, dan yang akhirnya dengan cara kekerasan. Yang terpenting dari hukum utang piutang itu adalah ketentuan mengenai kebolehan menaikkan bunga sebagai hak yang dapat dituntut oleh kreditur atas piutang yang diberikan kepada debitur. Selanjutnya disebutkan bahwa hutang seorang debitur jatuh kepada ahli warisnya. Apabila debitur meninggal dunia sebelum sempat melunasi hutangnya, maka ahli waris bersangkutan berkewajiban melunasinya (Dharmasastra, XII.40).
Deposito (Niksepa). Rsi Gautama mulai mengajarkan tentang hukum yang berkaitan dengan Niksepa (deposito). Ajarannya diikuti oleh Rsi Narada dan Rsi Yajnawalkya, dengan pembahasan yang lebih mendalam dan meluas. Baik Rsi Narada maupun Rsi Yajnawalkya membedakan ajaran hukum Niksepa menjadi beberapa jenis bentuk deposito, diantaranya adalah; Yachita, Ayachita, Anwahita, dan Nyasa.
Penjualan barang tidak bertuan (Aswamiwikraya). Penjelasan tentang permasalahan hukum penjualan barang tidak bertuan tidak dijumpai di dalam kitab hukum karya Rsi Gautama. Didalam kitab beliau hanya terdapat adanya klausal yang mengemukakan dan menegaskan bahwa penadah atau penerima barang curian dapat dihukum (Dharmasutra, XII.50). Dengan demikian, orang yang membeli barang curian dapat dihukum. Pernyataan ini dipertegas dan diperluas kembali oleh Rsi Yajnawalkya, yang dalam bukunya menyebutkan bahwa; baik pembeli maupun penjualnya dapat dituntut melalui hukum. Oleh karena itu, ia harus dapat mmbuktikan bahwa benda itu adalah haknya yang sah (Dharmasastra, II.168-174). Ini berarti, bahwa saat itu telah ada dan dibuatkan aturan tentang pemanfaatan dan pembuktian bahwa barang itu bertuan atau barang tidak bertuan (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:63).
Persekutuan (Sambhayasamutthana). Persekutuan antara firma dalam bidang hukum dagang menurut Hukum Hindu baru pertama kali kita jumpai dalam kitab Dharmasastra karya Rsi Wisnu. Premi atau keuntungan atau upah yang diterima oleh para anggota harus berbanding sama menurut aturan. Berdasarkan pertumbuhan kesadaran hukum masyarakat, lembaga itu mungkin sudah berkembang sebelum Rsi Manu dan mencapai bentuknya pada zamannya Rsi Manu. Ajaran ini selanjutnya dikembangkan oleh Rsi Yajnawalkya, Rsi Narada, dan Rsi Brhaspati.
Dana atau pemberian (Dattasyanapakarma). Dana atau pemberian baik berdasarkan agama maupun tidak dikenal dengan titel ”Datta Pradanika” atau juga disebut Syanapakarma, yang artinya; menghadiahkan atau penuntutan atas pemberian. Menurut Agama Hindu berbuat dana merupakan kewajiban yang terpuji dan diatur berdasarkan ajaran agama dan kepercayaan masyarakat. Bentuk pemberian yang pertama kita jumpai adalah bentuk daksina, yaitu semacam pemberian sebagai upah kepada Pendeta (brahmana) yang melakukan upacara untuk orang lain. Besarnya pemberian tidak sama, yang terpenting adalah nilai pemberian itu.

Selanjutnya sloka kitab hukum Manawa Dharmasastra II. 6 menjelaskan bahwa; Seluruh Veda merupakan sumber utama dari pada dharma (Agama Hindu) kemudian barulah Smrti di samping kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Veda serta kemudian acara tradisi dari orang-orang suci dan akhirnya atmanatusti “rasa puas diri sendiri”.



Berdasarkan sloka tersebut di atas kita dapat mengenal sumber-sumber Hukum Hindu menurut urut-urutannya adalah sebagaimana istilah berikut ;

Veda Sruti.
Veda Smrti.
Sila.
Acara (Sadacara).
Atmanastusti (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 64).
Kitab Manawa Dharmasatra, II.10 menjelaskan bahwa; sesungguhnya Sruti adalah Veda demikian pula Smrti itu adalah dharmasastra, keduanya tidak boleh diragukan kebenarannya dalam hal apapun yang karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber dari Agama Hindu “Dharma”. Sruti dan Smrti adalah sumber Hukum Hindu, dan merupakan dasar utama yang kebenarannya tidak boleh dibantah. Kedudukan Menawa Dharmasastra II.10 dan 6, merupakan dasar yang patut dipegang teguh dalam hal kemungkinan timbulnya perbedaan pengertian mengenai panafsiran hukum yang terdapat didalam berbagai kitab agama, maka yang pertama lebih penting dari yang berikutnya. Ketentuan ini ditegaskan lebih lanjut di dalam Manawa Dharmasastra, II.14, sebagai berikut:

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

“Sruti dvaidhaý tu yastra syàt tatra dharmàvubhau småtau, Ubhàvapi hi tau dharmau samyag uktau maniûibhiá.


Terjemahan:


Bila dua dari kitab Sruti bertentangan satu dengan yang lainnya, keduanya diterima sebagai hukum karena keduanya telah diterima oleh orang-orang suci sebagai hukum (Manawa Dharmasastra, II. 14).


Dari ketentuan ini maka tidak ada ketentuan yang membenarkan adanya sloka yang satu harus dihapus oleh sloka yang lain, melainkan keduanya haruslah diterima sebagai hukum. Di samping sloka-sloka itu, masih terdapat sloka- sloka lainnya yang penting pula artinya di dalam memberi definisi tentang pengertian sumber hukum itu, yaitu Menawa Dharmasastra, yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut:


“Vedaá Smrtiá sadàcaraá svasya ca priyam àtmanaá, etac catur vidhaý pràhuá sàkûàd dharmasya laksanam.


Terjemahan:


Pustaka suci Veda, adat istiadat luhur, tatacara kehidupan orang suci serta kepuasan diri sendiri, dikatakan sebagai dasar empat jalan untuk merumuskan kebajikan (dharma) yang positif (Manawa Dharmasastra, II. 12) (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 65).


Kitab Manawa Dharmasastra II sloka 12 ini lebih menyederhanakan sloka 6, dengan meniadakan Sila, karena sila dan sadacara dipandang memiliki arti yang sama dengan kebiasaan. Sila artinya kebiasaan sedangkan sadacara artinya tradisi. Tradisi dan kebiasaan termasuk dalam kebiasaan pula. Kitab Sarasamuscaya hanya memberi penjelasan singkat mengenai status Veda, di mana dalam sloka 37 dan 39 kita jumpai keterangan berikut:
- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI





“Çrutivedah samàkhyàto dharmaûàstram tuvai småti, te sarvathesvamimàmsye tàbhyàm dharmo winirbhåtah.


Nyang ujareka sakareng, ûruti ngaranya sang hyang caturveda, sang hyang dharmaçastra; småti ngaranira, sang hyang ûruti, lawan sang hyang småti, sira juga pramànàkèna, tùtakena warawarah nira, ring asing prayojana, yàwat mangkana paripùrna alèp sang hyang dharmaprawåtti.


Terjemahan:


Yang perlu dibicarakan sekarang Çruti yaitu catur Veda dan Smrti yaitu Dharmasastra; Çruti dan Smrti kedua-duanya harus diyakini, dituruti ajaran- ajarannya pada setiap usaha; jika telah demikian, maka sempurnalah tindakan kebaikan anda dalam bidang dharma (Sarasamuscaya, 37).


Penjelasan dan terjemahan dalam kitab Sarasamuscaya yang diterbitkan oleh Departemen Agama hanya berdasarkan terjemahan bahasa Jawa kuno. Menurut terjemahan bahasa Jawa kuno itu, pemahaman tentang Veda sebagai sumber hukum telah diperluas, seperti; istilah Veda diterjemahkan dengan Catur Veda. Walaupun demikian pengertian semula tidaklah berubah maknanya. Yang menarik perhatian dan perlu dicamkan ialah bahwa kitab Manawa Dharmasastra maupun kitab Sarasamuscaya menganggap bahwa Sruti dan Smrti itu adalah dua sumber pokok dari pada Dharma. Berikut ini adalah petikan sloka yang dimaksud:


“Itihàsapurànàbhyàm vedam samupavrmhayet, bibhetyalpaûrutàdwedo màmayam pracarisyati.
Ndan Sang Hyang Veda, paripùrnakena sira, makasàdhana sang hyang itihàsa, sang hyang pùrana, apan atakut, sang hyang Veda ring akèdik ajinya, ling nira, kamung hyang, haywa tiki umarà ri kami, ling nira mangkana rakwa atakut.


Terjemahan:


Veda itu hendaklah dipelajari dengan sempurna dengan jalan mempelajari Itihasa dan Purana, sebab Veda itu merasa takut akan orang-orang yang sedikit pengetahuannya, sabdanya “wahai tuan-tuan, janganlah tuan-tuan datang kepadaku” demikian konon sabdanya, karena takut (Sarasamuscaya, 39) (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 66).


Dalam sloka ini dan sloka sebelumnya telah pula diperluas artinya dengan demikian menjadi sangat jelas artinya. Yang terpenting dapat kita pelajari dari ketentuan ini adalah penambahan ketentuan ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari dari kitab Itihasa dan Purana. Kitab-kitab Itihasa adalah seperti;


kitab Mahabharata dan Ramayana, sedangkan Purana adalah merupakan kitab-kitab yang termasuk kuno, misalnya babad-babad, yang memuat sejarah keturunan, dinasti raja-raja Hindu. Jadi secara ilmu hukum modern kedua jenis buku ini merupakan buku tambahan yang memuat ajaran-ajaran hukum yang bersifat doktrinisasi, memuat sumber keterangan mengenai jurisprudensi dalam bidang Hukum Hindu.


Pemahaman umum tentang hukum yang bersifat mengatur dan mengikat, terkait dengan ajaran Agama Hindu yang bersumber pada kitab suci Veda. Salah satu dari unsur kepercayaan umat Hindu dalam Panca Sradha, setelah percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa “Brahman” adalah percaya akan adanya Hukum yang ditentukan oleh Tuhan. Hukum itu adalah semacam sifat dari kekuasaan Tuhan, yang diperlihatkan dengan bentuk yang dapat dilihat dan dialami oleh manusia. Bentuk hukum Tuhan yang murni disebut dengan istilah “Rta”. Rta adalah hukum murni yang bersifat absolut transcendental. Bentuk hukum alam yang dijabarkan ke dalam amalan manusia disebut Dharma. Dharma bersifat mengatur tingkah laku manusia guna dapat mewujudkan kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan di dalam hidup.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Kata Rta sering diartikan hukum, tetapi dalam arti yang kekal. Kitab suci Veda menjelaskan bahwa mula-mula setelah Tuhan menciptakan alam semesta ini, kemudian beliau menciptakan hukumnya yang mengatur hubungan antara unsur-unsur yang diciptakan-Nya itu. Sekali beliau menentukan hukumnya itu, untuk selanjutnya demikianlah jalannya hukum itu selama-lamanya. Tuhan sebagai pencipta dan pengendali atas hukumnya itu disebut dengan Rtavan. Dalam perkembangan sastra sansekerta, istilah Rta kemudian diartikan sama dengan Widhi yang artinya sama dengan aturan yang ditetapkan oleh Tuhan.


Dari kata itulah kemudian lahirlah istilah Sang Hyang Widhi, yang artinya sama dengan penguasa atas hukumnya. Dalam ilmu sosial konsep istilah hukum itu kemudian berkembang dalam bentuk dua istilah, yaitu hukum alam dan hukum bangsa-bangsa “manusia”. Hukum alam inilah yang disebut dengan Rta, sedangkan hukum bangsa atau kelompok manusia disebut dengan dharma yang bentuknya berbeda-beda menurut tempat setempat. Oleh karena itu istilah dharma sebagai hukum tidak sama bentuknya disemua tempat melainkan dihubungkan dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku setempat.


Adapun ajaran hukum abadi “Rta” dalam sejarah perkembangan agama Hindu itu tumbuh sebagai landasan idiil mengenai bentuk-bentuk hukum yang ingin diterapkan dalam mengatur masyarakat di dunia ini yang kemudian dikenal dengan ajaran dharma. Dalam perkembangan ajaran dharma itu, kemudian dharma dianggap bersumber pada Veda, Smrti, Sila, Acara dan Atmanastusti. Sedangkan Rta berkembang menjadi bentuk kepercayaan akan adanya nasib yang ditentukan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ajaran Rta dan Dharma inilah yang menjadi landasan ajaran karma dan karma phala. Rta mengatur sebab dan akibat dari pada tingkah laku manusia sebagai satu kekuatan yang tampak oleh manusia. Rta sebagai hukum hanya dapat dilihat berdasarkan keyakinan akan adanya kebenaran.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Dengan adanya keyakinan akan kebenaran itu, Rta dapat dihayati sehingga dengan penghayatan itu akan terciptalah keyakinan akan adanya Rta dan Dharma sebagai salah satu unsur dalam keyakinan Agama Hindu. Rta dan Dharma mencakup pengertian yang sangat luas, meliputi pengertian hukum abadi, sebagai ajaran kesusilaan, mengandung ajaran estetika dan mencakup pengertian hukum sosial. Oleh karena itu Rta selalu menjadi dasar pemikiran yang idiil dan sangat diharapkan akan dapat diwujudkan dalam kehidupan di dunia ini (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 67-68).


Di dalam kitab suci Veda kita sering menjumpai beberapa istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan istilah hukum yang abadi, seperti Rta, Wrata dan dharman, di samping kebiasaan-kebiasaan abadi yang juga merupakan hukum yang bersumber pada Veda yaitu dharma atau dharman. Menurut sistim Hukum Hindu, para penulis hukum Hindu menyimpulkan bahwa ada empat macam masalah yang mencakup hukum itu, antara lain:

Mengenai kekuasaan atau kompetensi hukum dan kebiasaan.
Mengenai asal-usul tertib sosial.
Mengenai wewenang penguasa yang berkuasa yang juga menyangkut kopetensi relatif.
Mengenai kedudukan penguasa rohani dan hubungannya dengan penguasa negara dengan menonjolkan sifat-sifat imunitas kedua jenis penguasa itu, yaitu Brahmana dan Raja atau Presiden sebagai kepala negara.
Adapun mengenai kompetensi hukum dan kebiasaan yang mengatur kehidupan seseorang bermasyarakat berdasarkan Hukum Hindu, bersumber pada kekuasaan Tuhan yang menciptakan atau menurut hukum abadi. Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan Agama Hindu istilah hukum ini lebih dikenal dengan istilah Rta. Terkait dengan sifat kekuasaan hukum atas kehidupan seseorang telah dikembangkan secara sistematis pada zaman Veda, sehingga keseluruhan model dan bentuk-bentuk hubungan hukum sosial telah banyak dirumuskan secara sadar didalam buku-buku karya ilmiah di zaman Hindu purba.


Pembagian kelompok kerja berdasarkan spesialisasi telah pula mulai dikemas sejak zaman Veda dengan memperkenalkan konsep masyarakat ideal dengan mengelompokkan anggota-anggota masyarakat berdasarkan kelompok-kelompok ahli yang lebih dikenal dengan istilah “catur varna” yang kemudian berkembang menjadi konsep “kasta”. Kejadian seperti ini tentu tidak terlepas dari hegemoni kaum Brahmana pada zaman Brahmana. Hal semacam ini perlu kita renungkan dan sikapi dengan bijak (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 68).


Konsep “kasta” inilah yang kemudian merombak sikap pandangan para penulis terdahulu “warna” menjadi bentuk kelompok berdasarkan kelahiran “geneotis atau jati”, dan sekaligus mengaburkan arti-istilah fungsionalisasinya menjadi status sosial berdasarkan keturunan. Perubahan pandangan seperti itu nampaknya tidak dapat dihindari lagi, karena disamping masalah komunikasi yang sulit, juga kesulitan bahasa telah memungkinkan timbulnya golongan elit tertentu untuk menggunakan fungsinya lebih menonjolkan arti dan istilah jati (kelahiran) menjadi konsep-konsep ‘kasta’ yang menyempit dan kaku. Dengan demikian akhirnya munculah konsep-konsep sosial baru yang merubah pola berpikir orde sosial berdasarkan Veda menjadi orde sosial berdasarkan versi brahmanaisme.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Salah satu sumber hukum yang merupakan landasan ideal dari model-model pembentukan lembaga sosial berdasarkan Veda, bersumber pada kitab suci Rg Veda mandala X yang dikenal dengan istilah “Purusa Sukta”. Dari ayat kitab ini kita dapat mengenal fungsionalisasi sosial masyarakat yang dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam kelompok kerja yang profesional, antara lain: Brahmana, Ksatria, Wesya dan Sudra. Uraian tentang konsep sosial ini ternyata diulangi lagi didalam kitab Atharwa Veda dengan bermacam- macam implikasinya serta memasukkan teori-teori baru yang bersendikan ajaran teokrasi secara lebih intensif dan extensif. Melalui kemajuan teori baru berdasarkan konsep-konsep teokrasi tampak kepada kita adanya tiga jalur pertumbuhan dan perkembangan ideologi yang akan merubah nilai-nilai sosial dalam sejarah manusia dan kemanusiaan (Hindu) yaitu:

Pemahaman tentang orde sosial.
Pemahaman tentang asal-usul penguasa negara.
Penegasan tentang hubungan antara dua jenis kekuasaan di dalam negara yaitu kekuasaan kelompok agama dan penguasa negara (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 69).

Ciri pokok dari pada pertumbuhan pemahaman orde sosial itu ialah munculnya kesadaran-kesadaran baru yang menyadari kekuasaan hukum terhadap individu serta kesatuan-kesatuan unit sosial masyarakat yang pengaturan selanjutnya didasarkan atas kehendak Tuhan. Kehendak beliau tersebut dituangkan dalam bentuk hukum abadi dan kekuasaan adat kebiasaan dari orang-orang suci.


Pandangan tentang nilai-nilai sosial mengalami perubahan secara evolusi oleh kelompok kedua penguasa itu dalam wujud hukum yang disebut “dharma”. Tentang asal-usul penguasa negara sebagaimana dijelaskan dalam kitab suci Veda, yang disimpulkan dari ayat Purusa Sukta X.90 dan Rg Veda X.173, melukiskan bagaimana penyair itu berdoa agar raja atau penguasa untuk menertibkan penduduk negara dan membayar pajak untuk negara. Untuk memberikan bentuk kekuatan kepada raja atau penguasa dalam negara teokrasi, raja dipersamakan sebagaimana halnya Deva Indra terhadap deva-deva lainnya. Demikian pulalah halnya raja terhadap penduduk negara sehingga raja dianggap sekutu dari Deva Indra (Indrasakha).


Pada umumnya lembaga kerajaan yang bersifat teokrasi itu tidaklah statis, karena sebagai lembaga penguasa. Dalam bentuk negara kerajaan itu sifat-sifat teokrasinya lebih menonjol dari pada bentuk negara republik. Raja sebagai pembuat hukum atau bertindak sebagai yudikatif. Walaupun kedudukan raja sedemikian penting tetapi kecenderungan untuk pembagian kekuasaan telah nampak pula dalam kitab Veda dengan tidak mengharuskan raja secara pribadi memutuskan segala macam sengketa yang diajukan kepadanya. Oleh karena itu timbulah lembaga yudikatif dalam bentuk Parisada dan kemudian pada bentuk Peradilan Kerta, ini menunjukkan bagaimana evolusi sejarah pertumbuhan Hukum Hindu secara umum. Peninjauan tentang sumber Hukum Hindu dapat kita lihat dalam berbagai segi. Peninjauan seperti ini dibenarkan berdasarkan ilmu hukum, mengingat pengertian sumber hukum itu sendiri belum ada persamaan secara utuh dan menyeluruh.


L. Oppenheim mengemukakan bahwa masalah sumber hukum itu dilihatnya dari arti kata, yakni kata sumber yang oleh beliau menyebutnya “source”. Menurut Oppenheim di dalam bukunya yang berjudul International Law A Treatire I, mengemukakan bahwa sumber yang dimaksud adalah asal darimana kaedah-kaedah itu bertumbuhan dan berkembang. Pengertian ini dibandingkan sebagai mata air yang mempunyai berbagai anak sungai dari mana air-air sungai itu berasal dan akhirnya sampai ke tempat tujuan (Puja, Gde. 1984:79). Selanjutnya berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan, peninjauan sumber Hukum Hindu dapat dilakukan melalui berbagai macam kemungkinan antara lain:


1. Sumber Hukum dalam Arti Sejarah.


Sumber hukum dalam arti sejarah adalah peninjauan dasar-dasar hukum yang dipergunakan oleh para ahli sejarah dalam menyusun dan meninjau pertumbuhan suatu bangsa terutama di bidang politik, sosial, kebudayaan, hukum dan lain-lain, termasuk berbagai lembaga negara (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 70).


Perkembangan dan pertumbuhan Negara Indonesia dari zaman kerajaan Hindu sampai zaman merdeka, telah memperlihatkan berbagai perkembangan hukum dan sistem pemerintahan. Untuk dapat menemukan sumber-sumber ini, dapat kita jumpai berbagai prasasti-prasasti, piagam-piagam, dan tulisan-tulisan yang mempunyai sifat hukum yang dikembangkan atau ditulis pada jaman-jaman tertentu. Sumber-sumber tulisan inilah yang juga dipergunakan untuk menyusun konsep-konsep hukum dalam usaha pembentukan masyarakat yang dicita-citakan. Sejarah telah membuktikan bahwa lahirnya Pancasila digali dari sumber- sumber yang diangkat dari sejarah dan pengalaman bangsa, falsafah yang dianut masyarakat dan struktur yang telah ada dalam masyarakat. Bukti-bukti pengaruh hukum Hindu di Indonesia dapat ditemukan dalam catatan-catatan seperti Siwasasana dan Kuttaramanawa.


Sumber Hukum Hindu dalam arti sejarah adalah sumber Hukum Hindu yang dipergunakan oleh para ahli Hindulogi dalam peninjauan dan penulisannya mengenai pertumbuhan serta kejadian Hukum Hindu itu terutama dalam rangka pengamatan dan peninjauan masalah aspek politik, filosofis, sosiologi, kebudayaan dan hukumnya sampai pada bentuk materiil yang tampak berlaku pada satu masa dan tempat tertentu.


Peninjauan Hukum Hindu secara historis ditujukan pada penelitian data-data mengenai berlakunya kaidah-kaidah hukum berdasarkan dokumen tertulis yang ada. Penekanan disini harus pada dokumen tertulis karena pengertian sejarah dan bukan sejarah adalah terbatas, pada bukti tertulis. Kaidah-kaidah yang ada dalam bentuk tidak tertulis (Pra Sejarah), tidak bersifat sejarah melainkan secara tradisional atau kebiasaan yang didalam Hukum Hindu disebut Acara.


Kemungkinan kaidah-kaidah yang berasal dari pra-sejarah ditulis dalam zaman sejarah, dapat dinilai sebagai satu proses pertumbuhan sejarah hukum dari satu phase ke phase yang baru. Dari pengertian sumber hukum tertulis, peninjauan sumber Hukum Hindu dapat dilihat berdasarkan penemuan dokumen yang dapat kita baca dengan melihat secara umum dan otensitasnya. Menurut bukti- bukti sejarah, dokumen tertua yang memuat pokok-pokok Hukum Hindu, untuk pertama kalinya kita jumpai di dalam Veda yang dikenal dengan nama Sruti. Kitab Veda Sruti tertua adalah kitab Reg Veda yang diduga mulai ada pada tahun 2000 SM. Kita harus bisa membedakan antara phase turunnya wahyu (Sruti) dengan phase penulisannya. Saat penulisannya itu merupakan phase baru dalam sejarah Hukum Hindu dan diperkirakan telah dimulai pada abad ke X SM. Berdasarkan penemuan huruf yang mulai dikenal dan banyak dipakai pada zaman itu. Sejak tahun 2000 SM – 1000 SM. Ajaran hukum yang ada masih bersifat tradisional dimana isi seluruh kitab suci Veda itu disampaikan secara lisan dari satu generasi ke generasi yang baru. Sementara itu jumlah kaidah-kaidah itu berkembang dan bertambah banyak (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 71).


Adapun kitab-kitab berikutnya yang merupakan sumber hukum pula timbul dan berkembang pada jaman Smrti. Dalam zaman ini terdapat Yajur Veda, Atharwa Veda dan Sama Veda. Kemudian dikembangkan pula kitab Brahmana dan Aranyaka. Semua kitab-kitab yang dimaksud adalah merupakan dokumen tertulis yang memuat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada zaman itu. Phase berikutnya dalam sejarah pertumbuhan sumber Hukum Hindu adalah adanya kitab Dharmasastra yang merupakan kitab undang-undang murni bila dibandingkan dengan kitab Sruti. Kitab ini dikenal dengan nama kitab smrti, yang memiliki jenis-jenis buku dalam jumlah yang banyak dan mulai berkembang sejak abad ke X SM. Di dalam buku-buku ini pula kita dapat mengetahui keterangan tentang berbagai macam cabang ilmu dalam bentuk kaidah-kaidah yang dapat dipergunakan sebagai landasan pola pikir dan berbuat dalam kehidupan ini. Kitab smrti ini dikelompokkan menjadi enam jenis yang dikenal dengan istilah Sad Vedangga. Dalam kaitannya dengan hukum yang terpenting dari Sad Vedangga tersebut adalah dharma sastra (Ilmu Hukum). Kitab dharma sastra menurut bentuk penulisannya dapat dibedakan menjadi dua macam, antara lain:

Sutra, yaitu bentuk penulisan yang amat singkat yakni semacam aphorisme.
Sastra, yaitu bentuk penulisan yang berupa uraian-uraian panjang atau lebih terinci.

Di antara kedua bentuk tersebut diatas, bentuk sutra dipandang lebih tua waktu penulisannya yakni disekitar kurang lebih tahun 1000 SM. Sedangkan bentuk sastra kemungkinannya ditulis disekitar abad ke VI SM. Kitab smrti merupakan sumber hukum baru yang menambahkan jumlah kaidah-kaidah hukum yang berlaku bagi masyarakat Hindu. Disamping kitab-kitab tersebut diatas yang dipergunakan sebagai sumber hukum Hindu, juga diberlakukan adat-istiadat. Hal ini merupakan langkah maju dalam perkembangan Hukum Hindu. Menurut catatan sejarah perkembangan Hukum Hindu, periode berlakunya hukum tersebut pun dibedakan menjadi beberapa bagian, antara lain:

Pada zaman Krta Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis oleh Manu.
Pada zaman Treta Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis oleh Gautama.
Pada zaman Dwapara Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra yang ditulis oleh Samkhalikhita.
Pada zaman Kali Yuga, berlaku Hukum Hindu (Manawa Dharmasastra) yang ditulis oleh Parasara (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 72).
Keempat bentuk kitab Dharmasastra di atas, sangat penting kita ketahui dalam hubungannya dengan perjalanan sejarah Hukum Hindu. Hal ini patut kita camkan mengingat Agama Hindu bersifat universal, yang berarti kitab Manawa Dharmasatra yang berlaku pada zaman Kali Yuga juga dapat berlaku pada zaman Trata Yuga. Demikian juga sebaliknya.


2. Sumber Hukum Hindu dalam Arti Sosiologi.


Penggunaan sumber hukum ini biasanya dipergunakan oleh para sosiolog dalam menyusun thesa-thesanya, sumber hukum itu dilihat dari keadaan ekonomi masyarakat pada zaman-zaman sebelumnya. Sumber hukum ini tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus ditunjang oleh data-data sejarah dari masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu sumber hukum ini tidak bersifat murni berdasarkan ilmu sosial semata melainkan memerlukan ilmu bantu lainnya.


Masyarakat adalah kelompok manusia pada daerah tertentu yang mempunyai hubungan, baik hubungan agama, budaya, bahasa, suku, darah dan yang lainnya. Hubungan diantara mereka telah mempunyai aturan yang melembaga, baik berdasarkan tradisi maupun pengaruh-pengaruh baru lainnya yang datang kemudian. Pemikiran tentang berbagai kaidah hukum tidak terlepas dari pandangan-pandangan masyarakat setempat. Terlebih pada umumnya hukum itu bersifat dinamis, maka peranan para pemikir, orang-orang tua, lembaga desa, Parisada dan lembaga yang lainnya turut juga mewarnai perkembangan hukum yang dimaksud. Didalam mempelajari data-data tertentu yang bersumber pada kitab Veda, kitab Manawa Dharmasastra menyebutkan sebagai berikut:


“Idanim dharma pramananya ha, wedo’khilo dharmamulam smrtisile ca tadwidam, acarassaiwa sadhunam atmanastustirewa ca”.


Terjemahan:


Seluruh pustaka suci Veda adalah sumber pertama dari pada dharma, kemudian adat-istiadat, dan lalu tingkah-laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mendalami Veda, juga kebiasaan orang-orang suci dan akhirnya kepuasan diri-sendiri (Manawa Dharmasastra, II.6).


Kitab suci tersebut di atas secara tegas menyatakan bahwa, sumber hukum (dharma) bukan saja hanya kitab-kitab sruti dan smrti, melainkan juga termasuk sila (tingkah laku orang-orang beradab), acara (adat-istiadat atau kebiasaan setempat) dan atmanastusti yaitu segala sesuatu yang memberikan kebahagiaan pada diri sendiri. Oleh karena aspek sosiologi tidak hanya sebatas mempelajari bentuk masyarakat tetapi juga kebiasaan dan moral yang berkembang dalam masyarakat setempat (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:73).


Sesungguhnya masih banyak lagi sloka-sloka suci Veda yang menekankan betapa pentingnya Veda, baik sebagai ilmu maupun sebagai alat didalam membina masayarakat. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada itu penghayatan Veda bersifat sangat penting karena bermanfaat bukan saja kepada orang itu tetapi juga yang akan dibinanya. Karena itu Veda bersifat obligator baik untuk dihayati, diamalkan, dan maupun sebagai ilmu. Dengan mengutip beberapa sloka yang relatif penting artinya dalam menghayati Veda itu, nampaknya semakin jelas mengapa Veda, baik Sruti maupun Smrti sangat penting artinya. Kebajikan dan kebahagiaan adalah karena dharma berfungsi sebagaimana mestinya. Inilah yang menjadi hakikat dan tujuan dari pada menyebaran Veda itu, seiring dengan tuntutan memperoleh pengetahuan Devasa ini yakni dengan mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi dan mencipta atau mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta sesuai dengan tatanan yang berlaku.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

3. Sumber Hukum Hindu dalam arti Formal


Yang dimaksud dengan sumber hukum dalam arti formal menurut Mr.J.L.Van Aveldoorm adalah sumber hukum yang berdasarkan bentuknya dapat menimbulkan hukum positif, artinya sumber hukum yang dibuat oleh badan atau lembaga yang berwenang. Yang termasuk sumber hukum dalam arti formal dan bersifat pasti yaitu; Undang-undang, Kebiasaan dan adat, serta Traktat (Puja, Gde. 1984:85).


Di samping sumber-sumber hukum yang disebutkan di atas, ada juga penunjukan sumber hukum dengan menambahkan kata yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum. Dengan demikian dapat kita lihat susunan sumber hukum dalam arti formil sebagai berikut:


a. Undang-undang.
b. Kebiasaan dan adat.
c. Traktat
d. Yurisprudensi
e. Pendapat ahli hukum yang terkenal (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 74).


Sistematika susunan sumber hukum seperti tersebut di atas ini, dianut pula dalam hukum Internasional sebagai tertera dalam pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional dengan menambahkan azas-azas umum hukum yang diakui oleh berbagai bangsa yang beradab sebagai sumber hukum juga. Dengan demikian, terdapat susunan hukum sebagai berikut:


a. Traktat Internasional yang kedudukannya sama dengan undang-undang terhadap negara itu.
b. Kebiasaan Internasional.
c. Azas-azas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab.
d. Keputusan-keputusan hukum sebagai yurisprudensi bagi suatu negara.
e. Ajaran-ajaran yang dipublikasikan oleh para ahli dari berbagai negara hukum tersebut sebagai alat tambahan dalam bidang pengetahuan hukum.


Sistem dan azas yang dipergunakan mengenai sumber hukum terdapat pula dalam kitab Veda, sebagaimana tersurat dalam kitab Manawa Dharmasastra bahwa “seluruh pustaka suci Veda (sruti) merupakan sumber utama dari pada dharma (Agama Hindu), kemudian barulah smrti di samping sila (kebiasaan- kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Veda) dan kemudian acara (tradisi-tradisi dari orang-orang suci) serta akhirnya atmanastuti yakni rasa puas diri sendiri”.


Berdasarkan penjelasan sloka suci kitab Hukum Hindu tersebut di atas, maka dapat kita mengetahui bahwa sumber-sumber Hukum Hindu menurut Menawa Dharmasastra, adalah sebagai berikut; Veda Sruti, Veda Smrti, Sila, Acara (Sadacara), Atmanastuti.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI




Sruti berdasarkan penafsiran yang autentik dalam kitab smrti adalah Veda dalam arti murni, yaitu wahyu-wahyu yang dihimpun dalam beberapa buah buku, yang disebut mantra samhita. Kitab Veda samhita ada empat jenis yang disebut dengan catur Veda samhita. Bila keberadaan kitab-kitab ini kita bandingkan dengan kitab-kitab perundang-undangan, maka sruti adalah undang-undang dasar itu, karena sruti merupakan sumber atau asal dari segala aturan (sumber dari segala sumber hukum). Sedangkan smrti merupakan peraturan-peraturan atau ajaran-ajaran yang dibuat bersumberkan pada sruti. Oleh karena itu, dalam perundang-undangan smrti disamakan dengan undang- undang, baik undang-undang organik maupun undang-undang anorganik (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 75).


Sila merupakan tingkah laku orang-orang beradab, dalam kaitannya dengan hukum, sila adalah menjadikan tingkah laku orang-orang beradab sebagai contoh dalam kehidupan. Sedangkan acarya adalah adat-istiadat yang hidup dalam masyarakat yang merupakan hukum positif. Atmanastuti adalah rasa puas pada diri. Rasa puas merupakan ukuran yang selalu diusahakan oleh setiap manusia. Namun, kalau rasa puas itu diukur pada diri pribadi seseorang akan menimbulkan berbagai kesulitan karena setiap manusia memiliki rasa puas yang berbeda-beda. Oleh karena itu, rasa puas tersebut harus diukur atas dasar kepentingan publik. Penunjukan rasa puas secara umum tidak dapat dibuat tanpa pelembagaannya. Veda mempergunakan sistem kemajelisan sebagai dasar ukuran untuk dapat mewujudkan rasa puas tersebut. Majelis Parisada adalah majelis para ahli yang disebut para wipra (brahmana) ahli dari berbagai cabang ilmu pengetahuan.


Demikian keberadaan hukum formal bila dikaitkan dengan keberadaan hukum agama, berserta lembaganya yang ada sampai sekarang ini.



4. Sumber Hukum Hindu dalam arti Filsafat


Filsafat merupakan dasar pembentukan kaidah-kaidah hukum itu sendiri. Sumber hukum ini dapat bersumber dari banyak sumber dan luas, karena isi sumber hukum ini meliputi seluruh proses pembentukan sumber hukum sejak zaman dahulu hingga sekarang. Daya mengikat hukum ini terhadap para anggotanya tergantung pada sifat dan bentuk kaidah-kaidah hukum ini, apakah bersifat normatif.


Sumber hukum dalam arti filsafat merupakan aspek rasional dari agama dan merupakan satu bagian yang tak terpisahkan atau integral dari agama. Filsafat adalah ilmu pikir, yang merupakan fleksibilitas rasional ke dalam sifat kebenaran, dan memberikan pemecahan yang jelas dalam mengemukakan permasalahan-permasalahan yang kurang tampak dari kehidupan ini, dimana ia juga menunjukkan jalan untuk mendapatkan pembebasan abadi dari penderitaan akibat kelahiran dan kematian.


Berfilsafat bermula dari keperluan praktis umat manusia yang menginginkan untuk mengetahui masalah-masalah transendental ketika ia berada dalam perenungan tentang hakikat kehidupan itu sendiri. Filsafat membimbing manusia tidak saja menjadi pandai tetapi juga menuntun manusia untuk mencapai tujuan hidup, yaitu jagadhita dan moksa. Untuk dapat hidup bahagia, baik di dunia maupun di akhirat diperlukan adanya keharmonisan hidup. Hal ini, bisa diajarkan dan diberikan filsafat. Untuk mencapai tingkat kebahagiaan itu ilmu filsafat Hindu menegaskan sistem dan metode pelaksanaannya sebagai berikut:


a. Harus berdasarkan pada dharma
b. Harus diusahakan melalui keilmuan (Jnana)
c. Hukum didasarkan pada kepercayaan (Sadhana)
d. Harus didasarkan pada usaha yang secara terus menerus dengan pengendalian; pikiran, ucapan, dan perilaku
e. Harus ditebus dengan usaha prayascita atau penyucian (Puja, Gde. 1984:84) (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 76).


Filsafat Hindu mengajarkan sistem dan metode penyampaian buah pikiran. Logika dan pragmatisme guna mendapatkan kebenaran ilmu (pramana) yang disebut satya. Kita harus menyadari bahwa hukum itu menyangkut berbagai bidang, oleh sebab itu, filsafat sangat diperlukan untuk menyusun hipotesis hukum. Bahkan boleh dikatakan filsafat menduduki kedudukan yang amat penting di dalam ilmu hukum yang disebut ”filsafat hukum”. Agama bukan hanya mengajarkan bagaimana manusia menyembah Tuhan, tetapi juga memuat tentang; filsafat, hukum, dan lain-lain.


Manawa Dharmasastra adalah kitab suci Agama Hindu, yang memuat berbagai masalah hukum dilihat dari sistem kefilsafatannya, sosiologinya, dan bahkan dari aspek politik. Mengingat masalah hukum tersebut menyangkut berbagai bidang yang sangat luas, maka tidak akan terelakkan betapa pentingnya arti filsafat dalam menyusun suatu hipotesa hukum, bahkan filsafat menduduki tempat yang terpenting dalam ilmu hukum yang dituangkan dalam suatu cabang ilmu hukum yang disebut ”filsafat hukum”.

Baca: Sumber Hukum Hindu Menurut Veda


Demikianlah dapat diuraikan secara singkat beberapa sumber hukum Hindu yang diharapkan dapat dijadikan pedoman dalam mengamati, menanya, mengumpulkan, menalar/mengasosiasi, dan mengomunikasikan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitarnya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 79).




Perenungan Manawa Dharmasastra, II.10“úrutis tu vedo wijñeyo dharmasàstram tu vai småtiá, te sarvàrtheûvamimàýsye tabhyàm dharmo hi nirbabhau.

Terjemahan:

YangdimaksuddenganSruti,adalahVedadandenganSmrtiituadalahdharmasàstra, kedua macam pustaka suci ini tidak boleh diragukan kebenaran ajarannya, karena keduanya itulah sumber Dharma.

Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/09/sumber-hukum-hindu-dalam-arti-sejarah.html

Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Dasa Nyama Bratha

 




Dasa Nyama (Niyama) Bratha adalah 10 bagian dari prilaku yang baik subha karma yang terdiri dari :
  • Dhana, suka berderma, beramal saleh tanpa pamrih.
  • Ijya, pemujaan dan sujud kehadapan Hyang Widhi dan leluhur.
  • Tapa, melatih diri untuk daya tahan dari emosi yang buruk agar dapat mencapai ketenangan batin.
  • Dhyana, tekun memusatkan pikiran terhadap Hyang Widhi.
  • Upasthanigraha, mengendalikan hawa nafsu birahi (sanggrahana, dll).

    • - JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI



    • Swadhyaya, tekun mempelajari ajaran-ajaran suci khususnya, juga pengetahuan umum.
    • Bratha, taat akan sumpah atau janji.
    • Upawasa, menjalankan puasa atau berpantang terhadap sesuatu makanan atau minuman yang dilarang oleh agama.
    • Mona, membatasi perkataan.
    • Sanana, tekun melakukan penyucian diri pada tiap-tiap hari dengan cara mandi dan sembahyang.
    Beramal / memberikan dana punia tanpa pamrih, suka mempelajari pengetahuan umum dan mentaati setiap pantangan oleh agama merupakan hal dasar dalam Dasa Nyama Bratha ini yang baik dilaksanakan untuk kehidupan sehari – hari.
     –sumber

    Jumat, 16 September 2022

    Upacara Melaspas

     



    Jero Mangku I Wayan Satra mengatakan, tujuan Melaspas untuk membersihkan dan menyucikan benda atau pun bangunan baru secara niskala sebelum digunakan atau ditempati. Upacara Melaspas juga dilakukan dengan tujuan agar terciptanya ketenangan dan kedamaian bagi anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut, serta terhindar dari hal-hal yang tidak diiginkan.
    Melaspas terdiri dari dua suku kata, yaitu Melas dan Pas. Melas berarti pisah dan Pas artinya cocok. Jadi, penjabaran arti Melaspas yaitu sebuah bangunan dibuat terdiri dari unsur yang berbeda, ada kayu ada pula tanah (bata) dan batu, kemudian disatukan terbentuklah bangunan yang layak (cocok) untuk ditempati.
    Melaspas terdiri dari beberapa tingkatan sesuai kemampuan umat. Tingkatan upacara Melaspas, seperti halnya upacara-upacara lainnya, yaitu Kanista, upacara yang dilakukan paling sederhana. Madya, upacara yang dilakukan tergolong sedang. Utama, upacara yang dilakukan tergolong besar.


    Sebelum upacara Melaspas, yang dilakukan terlebih dahulu adalah macaru. "Hal ini memiliki tujuan untuk nedunang Bhutakala atau mengundang sang Bhutakala untuk dhaturkan Labaan (sesajen). Dengan harapan agar Bhutakala tersebut kembali ke tempatnya masing-masing atau mengembalikan berbagai roh-roh yang tadinya tinggal atau mendiami bangunan tersebut ke tempat asalnya.
    "Kemudian menghadirkan Dewa Ghana yang diyakini sebagai Dewa Rintangan yang bertujuan untuk menghalangi hadirnya roh-roh pengganggu," imbuhnya.
    Setelah Pacaruan selesai, baru dilanjutkan dengan rangkaian dari upacara Melaspas, yaitu mengucapkan orti pada mudra bangunan sebagai permohonan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Arti adalah simbol komunikasi, sebagai permohonan dalam perlengkapan upacara dalam pemakuhan atau pamelaspasan.
    Selanjutnya memasang ulap-ulap pada bangunan. Ulap-ulap yang dipasang tergantung jenis bangunan (ulap-ulap kertas yang ditulis dengan hurup rajahan). Selanjutnya pangurip urip, arang bunga digoreskan pada tiap-tiap bangunan (melambangkan Tri Murti).
    Sumber: Jawa Bali Express.