Selasa, 28 Februari 2023

Contoh-Contoh Orang yang Dipandang Mampu Mencapai Moksa Dalam Ajaran Agama Hindu

Tujuan hidup umat Hindu ialah dapat mewujudkan catur purusartha, kebahagiaan lahir dan batin (moksartham jagadhita). Kebahagiaan batin yang tertinggi ialah bersatunya atman dengan Brahman yang disebut moksa. Moksa atau mukti atau nirwana berarti kebebasan, kemerdekaan atau terlepas dari ikatan karma, kelahiran, kematian, dan belenggu maya/penderitaan hidup keduniawian. Bersatunya atman dengan Brahman adalah tujuan terakhir atau tertinggi bagi umat Hindu.


Tujuan tertinggi umat Hindu ini dapat dicapai dengan menghayati dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari secara baik dan benar, melaksanakan sembahyang batin dengan menetapkan cipta (dharana), memusatkan cipta (dhyana) dan mengheningkan cipta (semadhi). Mokûa adalah suatu kondisi di mana seseorang mampu melampaui atau lepas bebas dari segala sesuatu yang ada di dunia. Manusia tidak lagi terikat oleh keindahan dunia. Pandangan ini sejalan dengan kisah yang dialami banyak tokoh dalam cerita rama-sitha.



Foto; Dharma Yoga

Tokoh Rama, yang digambarkan sebagai seorang yang bijaksana dan tidak lagi terikat dengan hal-hal duniawi. Ketika rama dijemput adiknya dan hendak dijadikan seorang raja namun rama menolaknya. Tokoh Anoman yang digambarkan selalu taat dan setia menjalankan kewajibannya (dharma) sebagai duta Rama ketika diutus mencari kabar tentang Devi sitha yang diculik Rahwana (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 40).


Masing-masing pribadi dari umat Hindu yang telah mencapai jiwa mukti dalam hidupnya tidak lagi terikat pada gelombang kehidupan di dunia ini. Baginya bekerja adalah sebagai pemujaan kepada Tuhan dan semua hasilnya diserahkan kepada Tuhan. Mereka memiliki pandangan yang sama terhadap keberhasilan dan kegagalan, terhadap suka dan duka, memiliki sifat cinta kasih terhadap semua yang ada di dunia ini. Dalam hubungan ini baca dan hayatilah sloka berikut:

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Man-manà bhava mad-bhakto mad-yàji màý namoskuru, màm evai ûyasi yuktvai vam àtmànaý matparàyaóaá.


Terjemahan:


Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbakti pada-Ku, sembahlah Aku sujudlah pada-Ku. Setelah melakukan disiplin pada dirimu sendiri dan Aku sebagai tujuan, engkau akan datang padaku (Bhagawadgita IX. 34).


Seseorang yang telah mencapai jiwa mukti segala perbuatannya dipandang telah berubah menjadi Yoga dan dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bagi orang yang telah mencapai moksa atau kebahagiaan hidup ini, yang bersangkutan selalu berfikir, berbicara dan berbuat senafas Brahman. Orang suci yang telah mencapai kesadaran dirinya yang sejati adalah mereka yang telah mencapai jiwa mukti. Ia telah mempersembahkan setiap pikiran, ucapan dan perbuatannya kepada Tuhan, dan dengan demikian segala perbuatannya akan menjadi ibadah.



Namun bagi masyarakat kebanyakan “biasa” yang belum mencapai kesadaran jiwa mukti, maka semua yang dikerjakannya merupakan sesuatu yang masih terikat dengan hasilnya. Mereka menganggap, semua fikiran, ucapan dan pekerjaan yang dilakukan oleh dirinya diharapkan memberikan fasilitas yang diinginkan. Mereka belum menyadari sepenuhnya bahwa semua yang ada ini diliputi dan dikuasai oleh kebutuhan. Seseorang yang demikian sesungguhnya adalah orang yang masih dipenuhi oleh sifat-sifat egoisme. Pekerjaan yang dilandasi oleh rasa egoisme dapat mendatangkan malapetaka dan penderitaan (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 41).


Sehubungan dengan hal itu baca, renungkan dan amalkanlah dalam hidup ini baik-baik sloka berikut:


Måityuá sarva-haraú càham udbhavaú ca bhavisyatàm, kirtiá úrir vàk cha nàrióàm småitir medhaa dhåtiá kûamà.


Terjemahan:


Aku ini kematian yang meliputi segala ciptaan, dan Aku ini asal mula yang akan ada nanti, dan dari sifat-sifat wanita, Aku adalah kemasyhuran, kemakmuran, ucapan, ingatan, kecerdasan, ketetapan dan kesabaran (Bhagawadgita X.34).



Dalam hubungan ini hendaklah mereka yang telah mencapai jiwa mukti dapat menuntun mereka-mereka yang belum mencapainya, sehingga hidupnya lebih berarti dan bermanfaat, serta secara pelan tetapi pasti akan menuju pada kesempurnaan. Berikut ini adalah beberapa contoh ilustrasi orang-orang yang dapat dipandang sudah mencapai “moksa” sebagai berikut:


Bhagawan Byasa (Wyasa)


Pada jamannya Waiwasta Manu ada yang bernama Bhagawan Byasa, putra bhagawan Parasara. Beliau telah mendapatkan sinar kesadaran bathin. Gelar beliau yang lain Sri Krsna Dwipayana, beliau adalah titisan Bhatara Wisnu. Kemudian beliau diminta oleh Dewa Brahma untuk mempelajari Weda pada jaman Waiwasta Manu.


Bhagawan Byasa mempunyai siswa empat orang masing-masing ahli dalam Veda. Antara lain Bhagawan Jemini, keahliannya adalah mempelajari kitab Samaveda. Bhagawan Pulaha menguasai isi kitab Rgveda keistimewaan beliau. Bhagawan Waisampayana menguasai dan memahami kitab Yajurveda sebagai kitab sucinya yang teristimewa. Bhagawan Sumantu (adalah) Atharwaveda pengetahuannya yang paling utama. Adapun hamba (Bhagawan Byasa) menguasai Itihasa dan Purana. (Gde dan Pudja. Gede, 1981:44).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Bhagawan Byasa adalah Maharsi yang mengumpulkan wahyu-wahyu suci Tuhan menjadi kitab suci Veda. Kebesaran jiwa Maharsi Wyasa ini menjiwai nenek moyang keturunan Bharata. Beliau adalah penegak keadilan dan kebenaran. Sari-sari ajarannya telah dikumpulkan oleh seorang Rsi, bernama Rsi Wararuci. Nama pustaka itu adalah “Sarasamuccaya”. Rsi Wararuci adalah penulis kitab Sarasamuccaya, yang kini menjadi sebagai salah satu kitab suci, sebagai penuntun jiwa dan prilaku umat manusia untuk mencapai kehidupan yang suci, kehidupan yang tidak terikat oleh hawa nafsu yang akhirnya dapat mencapai kebahagiaan abadi (Parisada Hindu Dharma Pusat, 1968:39) dalam Mudana dan Ngurah Dwaja,(2015: 42).


Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Bhagawan Byasa adalah orang suci Hindu yang pada masa hidupnya selalu mengabdikan dirinya kepada Tuhan demi untuk kesejahteraan dan kebahagian umat manusia. Beliau adalah putra Bhagawan Parasara sebagai titisan dari Bhatara Wisnu yang oleh Dewa Brahma disuruh untuk menerima dan mempelajari veda (catur veda) sebagai wahyu Tuhan bersama empat orang muridnya. Bhagawan Byasa telah menyatu dengan Tuhan (Brahman) dengan meninggalkan hasil karyanya yang sangat bermanfaat untuk umat manusia (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 42-43).
.
Dang Hyang Dwijendra


Seorang keturunan brahmana (Brahmana wangsa) bernama Nirartha adik dari Danghyang Angsoka, putra dari Danghyang Asmaranatha. Ketika Sang Nirartha sedang muda jejaka beliau mengambil istri, di Daha, putri dari Danghyang Panawaran yaitu golongan keturunan Bregu di Geria Mas Daha bernama Ida Istri Mas. Setelah bersuami-istri, Sang Nirartha dilantik (diniksa) oleh Danghyang Penawaran menjadi pendeta (Brahmana janma) diberi gelar Danghyang Nirartha. Dari perkawinan ini Danghyang Nirartha mendapat dua orang putra, yang sulung putri diberi nama Ida Ayu Swabhawa alias Hyangning Salaga (yang berarti dewanya kuncup bunga melur) sebagai nama sanjungan karena cantik jelita rupa dan perawakannya serta pula ahli tentang ajaran batin. Adiknya seorang putra diberi nama Ida Kulwan (artinya kawuh/ barat) dan diberi nama sanjungan Wiraga Sandhi yang berarti kuntum bunga gambir, karena tampan dan gagah. Sugriwa, (1993:8) dalam Mudana dan Ngurah Dwaja, (2015: 43).
.
Sementara itu kerusuhan yang sangat mengerikan telah melanda tanah Jawa. Banyak penduduk Majapahit berusaha menyelamatkan diri, pindah ke arah timur antara lain ke; Pasuruan, Pegunungan Tengger, Brambangan (Banyuwangi) dan sampai ada yang menyeberang ke Bali. Saat itulah Danghyang Nirartha turut pindah dari Daha ke Pasuruan yang disertai oleh dua orang putra-putrinya. Sementara itu istrinya disebutkan tidak turut pindah ke Pasuruan. Setelah beberapa lama di Pasuruan, Danghyang Nirartha beristrikan Ida Istri Pasuruan.


Diah Sanggawati (seorang wanita yang sangat menarik dalam pertemuan) karena cantiknya, adalah nama sanjungan dari Ida Istri Pasuruan. Beliau adalah putri dari Danghyang Panawasikan, dan masih merupakan saudara sepupu dari Danghyang Nirartha. Perkawinan antara Danghyang Nirartha dengan Diah Sanggawati melahirkan dua orang putra, yang sulung bernama Ida Wayahan Lor atau Manuaba. Manuaba (mulanya Manukabha) yang berarti burung yang sangat indah karena tampan dan adiknya bernama Ida Wiyatan atau Ida Wetan yang berarti fajar menyingsing.


Setelah beberapa lama berada di Pasuruan, kemudian Danghyang Nirartha bersama 4 (empat) orang putra-putrinya pindah ke Brambangan (Banyuwangi), namun istrinya tidak disebutkan turut. Brambangan (Blambangan) Banyuwangi pada saat itu diperintah oleh raja Sri Aji Juru. Danghyang Nirartha memperistri Sri Patni Keniten, dan dari perkawinannya melahirkan 3 (tiga) orang putra- putri. Yang sulung bernama Ida Rahi Istri, rupanya cantik dan pandai tentang ilmu kebatinan. Yang kedua bernama Ida Putu Wetan atau Ida Putu Telaga atau disebut juga Ida Ender (yang berarti ugal-ugalan) karena terkenal pandainya, kesaktiannya dan ahli ilmu gaib serta banyak hasil karya tulisannya.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI



Yang bungsu bernama Ida Nyoman Keniten (yang berarti tenang dan disiplin air). Sri Patni Keniten yang sungguh-sungguh cantik molek rupanya sehingga terkenal dengan sebutan “jempyaning ulangun” yaitu sebagai obat penawar jampi orang yang kena penyakit birahi asmara. Beliau adalah adik kandung dari Sri Aji Juru, turunan raja-raja (Dalem) dan turunan brahmana, terhitung buyut dari Danghyang Kresna Kepakisan di Mojopahit, dan putri kedua dari raja Brangbangan (Sugriwa, 1993:9).


Danghyang Nirartha adalah orang suci yang mulia dan istimewa. Beliau memiliki bau keringat yang harum, bagaikan minyak mawar. Setiap orang yang duduk berdekatan dengan beliau, turut harum tanpa menggunakan minyak wangi. Setelah beberapa lama berada di Brambangan terjadilah disarmoni dengan lingkungannya. Sebab itu Danghyang Nirartha berupaya untuk pindah dari Brambangan, hendak menyeberang ke Bali bersama 7 (tujuh) orang putra- putrinya beserta istrinya Sri Patni keniten (Mudana dan Ngurah Dwaja,(2015: 43-44).


Pada suatu hari menyebranglah Sang Pendeta bersama anakistrinyamengarungi laut selat Bali (Segara Rupek) dengan mempergunakan buah labu pahit (waluh pahit) bekas kele (perahu) kepunyaan orang Desa Mejaya. Sementara itu istri dan putra-putrinya diseberangkan dengan mempergunakan perahu (jukung) bocor yang disumbat dengan daun waluh pahit, kepunyaan orang Desa Mejaya. Atas tuntunan dan petunjuk Ida Sang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, dengan tiupan angin barat yang baik maka tiada berapa lama penyeberangan Danghyang Nirartha beserta istri dan putra-putrinya berlangsung dan tiba di pantai Bali barat dengan selamat. Sebab itu Danghyang Nirartha di tengah lautan berjanji “tidak akan pernah mengganggu hidupnya walan pahit seumur hidupnya sampai pada turunan-turunannya”.


Dalam penyeberangannya Danghyang Nirartha tiba lebih awal di pantai barat pulau Bali. Sambil menunggu kedatangan istri dan putra-putrinya, beliau sempat menggembalakan sapi bersama para pengembala sapi di daerah itu. Lambat laun di tempat itu didirikanlah Pura Kecil yang diberi nama Purancak. Setelah kedatangan istri dan putra-putrinya atas petunjuk dari penggembala sapi, Danghyang Nirartha beserta rombongan melanjutkan perjalanannya menuju arah timur. Selama dalam perjalanan dengan menelusuri hutan belantara, berbagai macam rintangan dan hambatan berhasil dilalui beliau dengan selamat. Atas kehendak Tuhan didirikanlah Pura Melanting sebagai tempat memuja Bhatari (Dewi) Melanting. Wilayah ini sekarang dikenal dengan nama Pulaki (Mpulaki/Dalem Melanting).

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Dari wilayah Pulaki, Danghyang Nirartha beserta rombongannya melanjutkan perjalanannya ke arah timur dan akhirnya sampailah di Desa Gading Wangi. Pada saat itu penduduk Desa Gading Wangi sedang tertimpa wabah penyakit yang sangat membahayakan jiwa. Atas permohonan Kepala Desa (Bendesa) Gading Wangi dan rasa belas kasihan serta kesaktian beliau (Danghyang Nirartha) berkenan mengobati masyarakat yang tertimpa penyakit hingga sembuh total. Atas mujizat kesembuhan yang dimilikinya, sejak itu beliau diberi gelar Pendeta Sakti yang baru datang (Pedanda Sakti Bawu Rawuh), yang pandai bahasa kawi (jawa kuno) raja pendeta guru agama (Danghyang Dwijendra).


Setelah beberapa lama Danghyang Dwijendra berasrama di Desa Wani Tegeh, Pangeran Desa Mas berhasrat memohon kedatangan beliau ke Desa Mas. Kedatangan Danghyang Dwijendra ke Desa Mas diketahui oleh Ki Bendesa Mundeh, di tengah perjalanan sampai di Desa Mundeh berhasrat memohon berguru kepada Danghyang Dwijendra, dengan belas kasihan beliau maka Ki Bendesa Mundeh dianugrahi debu tapak kaki beliau ketika berdiri di tengah jalan saat itu. Di tempat itu lambat laun dibangun tempat suci bernama Pura Resi atau Pura Gria Kawitan Resi sebagai tempat pemujaan Danghyang Dwijendra Sugriwa, (1993:16) dalam Mudana dan Ngurah Dwaja, (2015: 45).


Sangat panjang perjalanan Danghyang Dwijendra dalam pengabdiannya menegakkan dharma. Dari Jawa (Majapahit/Wilwatikta) menuju arah timur melalui; Daha, Pasuruan, dan Brambangan (Banyuwangi). Dari Banyuwangi beliau menyebrang ke Bali dengan peralatan seadanya dan sampailah di Pulaki. Dari Pulaki beliau melanjutkan perjalanan menuju ke; Desa Gading Wangi, Desa Mundeh (Pura Resi), Manga Puri (Mangui), Desa Kapal (Pura Sada), Desa Tuban, Desa Buagan (Pura Batan Nyuh), Puri Arya Tegeh Kuri (Badung), Desa Mas, Puri Gelgel (Ki Gusti Panyarikan Dawuh Baleagung sebagai utusan raja), Teluk Padang (Pura Silayukti) Padangbai.


Setelah lama berasrama di Gelgel, seijin “Dalem” beliau melanjutkan perjalanan untuk menjelajah Nusa Bali. Di mulai dari Jemberana (Pura Rambut Siwi), ke Tabanan (Pura Pakendungan dan atau Pura Tanah Lot), di Badung (Pura Hulu Watu, Pura Bukit Gong, Pura Bukit Payung, Pura Sakenan {di Serangan}), di Gianyar (Pura Air Jeruk {Sukawati}, Pura Tugu {Desa Tegal Tugu}, Genta Samprangan {Desa Samprangan}, Pura Tengkulak {di Desa Syut Tulikup}), di Klungkung (Pura Batu Klotok, Pura Gowa Lawah {Desa Kusamba}), di Buleleng, Bali Utara (Pura Pojok Batu).


Dari Pura Pojok Batu (Buleleng), beliau berhasrat untuk datang ke Lombok. Selama di Lombok beliau (Danghyang Dwijendra) diberi gelar Tuan Semeru. Di Lombok (Pura Suranadi {Lombok Barat}, Labuhan Aji {tempat pertemuan Seri Aji Selaparang – Tuan Semeru di Lombok Timur}).


Setelah Danghyang Dwijendra (Tuan Semeru) melintasi Lombok, beliau melanjutkan perjalanan menuju ke Sumbawa, untuk bertemu dengan saudaranya. Namun demikian sesuai imformasi yang disampaikan oleh penduduk sekitarnya bahwa “saudara beliau sudah tiada” dan sementara itu beliau tetap melanjutkan perjalanan menuju ke (‘Gunung Tambora’, Denden Sari {gadis kecil yang mendapatkan penyembuhan dari Tuan Semeru}) konon setelah di Bali dikawinkan dengan cucu beliau bernama Ida Ketut Buruan Manuaba Sugriwa, (1993:8-50) dalam dalam Mudana dan Ngurah Dwaja, (2015: 45-46).


Demikian perjalanan panjang Danghyang Dwijendra berawal dari Jawa (Bali – Lombok – Sumbawa) dan kembali ke Bali menuju Asrama Mas, dan sekembalinya ke Gelgel diiringkan (diantar) oleh Pangeran Dawuh menjadikan Dalem sangat gembira. Selama perjalanan beliau Danghyang Dwijendra banyak mengasilkan karya sastra (Buah Tangan Guru) yang sangat bermanfaat bagi umat sedharma. Sebelum Danghyang Dwijendra meninggalkan dunia maya ini, beliau bermaksud menyucikan (mediksa) putra-putranya dan membagikan harta warisannya yang disaksikan oleh Dalem Baturenggong.


Setelah prosesi itu selesai, Danghyang Dwijendra melanjutkan perjalanan untuk menuju alam sunya. Sampailah beliau pada penghulu sawah antara Desa Sumampan dengan Tengkulak, disana beliau disuguhi ajengan (makanan) dan lambat laun tempat itu di sebut dengan nama Pura Pangajengan. Dari tempat ini beliau melanjutkan perjalanan dan sampailah di Desa Rangkung sebelah barat yakni pelabuhan Masceti, yang lambat laun tempat ini disebut dengan nama Pura Masceti. Selama Danghyang Dwijendra bercakap-cakap dengan bhatara Masceti di pantai laut Kerobokan. Di sekitan tempat ini, pecanangan (tempat sirih dan perlengkapannya) beliau tersimpan dan dijaga oleh “Bhuto Hijo”. Lambat laun berdirilah di tempat ini Pura Peti Tenget (di tegal peti tenget).


Melalui tegal peti tenget Danghyang Dwijendra melanjutkan perjalanannya ke Pura Hulu Watu. Pada suatu hari Selasa Kliwon Wuku Medangsia Danghyang Nirartha (Danghyang Dwijendra) menerima wahyu sabda Tuhan bahwa beliau pada hari itu dipanggil untuk pulang ke surga. Merasa bahagia suci hatinya karena saat yang dinanti-nantikan telah datang. Namun masih ada sebuah pustaka yang belum dapat diserahkan kepada salah seorang putranya. Tiba- tiba Mpu Danghyang melihat seorang bendega (Nelayan) bernama Ki Pasek Nambangan sedang mendayung jukungnya di laut di bawah ujung Hulu Watu itu, yang kemudian dipanggil oleh beliau. Setelah bendega itu menghadap lalu Danghyang berkata:


“Hai bendega, aku suruh engkau menyampaikan kepada anakku empu Mas di Desa Mas, katakan kepada beliau bahwa bapak menaruh sebuah pustaka untuk mereka di sini yang berisi ajaran kesaktian”.


Jawab Ki Bendega:


“Singgih pakulun sang sinuhun”, yang kemudian mohon diri setelah menyembah.


Setelah Ki Pasek Nambangan pergi, maka Danghyang Nirartha mulai melakukan yoga semashinya, bersiap untuk meninggalkan dunia ini. Beberapa saat kemudian beliau moksa ngeluhur, cepat bagaikan kilat masuk ke angkasa. Ki Pasek Nambangan memperhatikan juga hal beliau dari tempat yang agak jauh, namun yang terlihat, hanya cahaya yang cemerlang dilihat ke angkasa Sugriwa:(1993:61) dalam dalam Mudana dan Ngurah Dwaja, (2015: 46-47).


Tentang perjalanan Danghyang Dwijendra dalam kekawin Usana Bali, ada dijelaskan sebagai berikut:


....Kunang pwa sira Danghyang Nirartha, viyoga pwa sira sakeng Wilatikta, angalih maring Pasuruwan. Wus lama sirengkana angalap pwa sira putri Pasuruwan, dê Danghyang Panawasikan, riwêkasan hana wijanira laki-laki pêtang wiji, teher inaranan Ida Kulwan, Ida Wetan, Ida Ler, Ida Lor. Wus lami pwa sirengkana, riwêkasan kinon pwa sira dê Sri Juru angalih maring Brangbangan, dera sinung putri sadhaya, tinarima pwa sira Danghyang Nirartha, hana vijanira tigang viji, têhêr inaranan Ida Têlaga, Ida Kinetên, Ni Dayu Swabhawa (Kusuma, I Nyoman Weda. 2005:58).


..... Adava yan katakna, kumênêp wong ing jêro Brangbangan, dadya ta kesah pwa sira Danghyang Nirartha sakeng Brangbangan, mahawan pwa sira dening waluh kele wohing maja ya, ikang hastapada pinaka dayung kamodi. Kunang swami nira katêkeng putra sadhaya, wiwat dening banyaga alayar jukung beser, sira tunggal wiwat dening waluh kele. Marmene tan wênang sang Dwija anginum dening tabu tikta, apan awanira angalih Bali ring dhangu. Kunang sadateng pwa sireng Bahyaga tumedun sireng pelabuhan Purancak.]


..... Enengakêna pwa lampah irengkana, wus kalumbrah ring Gelgel, yanana Sang Pandita sakeng Yawadwipa mahasiddhi, sakti ring yoga sira, karêngo dê Sri Maharaja Wisnu Atmaka ring Gelgel, atehêr pwa sira aputusan Kyayi Panulisan Bali rajya, angaturakên sira Danghyang Nirartha (Kusuma, I Nyoman Weda. 2005:59).


Terjemahannya:


.....Selanjutnya Danghyang Nirartha pindah/pergi dari Majapahit menuju Pasuruan. Beliau agak lama menetap di sana dan kemudian kawin dengan putri Pasuruan yakni anak Danghyang Panawasikan. Dan perkawinannya itu beliau memperoleh empat orang putra laki-laki yang diberi nama Ida Kulwan, Ida Wetan, Ida Ler dan Ida Lor. Setelah beberapa lama beliau berada di sana (Pasuruan) akhirnya Danghyang Nirartha disuruh oleh Sri Juru pergi menuju Brangbangan (Blambangan). Oleh Sri Juru, Danghyang Nirartha diberikan seorang putri untuk dikawini. Dari perkawinan tersebut beliau memperoleh tiga orang putra, yang diberi nama Ida Telaga, Ida Keniten dan Ni Dayu Swabhawa.


.....Panjang kalau diceriterakan, akhirnya Danghyang Nirartha pindah dari Brangbangan mempergunakan (berkendaraan) Waluh Kele, tangan dan kaki digunakan sebagai dayung dan kemudi. Istri beserta putra-putranya diangkut oleh nelayan dengan menggunakan jukung (perahu kecil) yang bocor. Danghyang Nirartha sendirian menaiki Waluh Kele. Itulah sebabnya sang pendeta tidak boleh menyantap Waluh Kele (Labu Pahit), karena dahulu merupakan kendaraan Danghyang Nirartha menuju Bali. Adapun kedatangan beliau bersama putra-putrinya di Bali mendarat di pelabuhan Purancak.


.....Sampai di sana diceriterakan dahulu, keberadaan beliau di pulau Bali, akhirnya didengar di kerajaan Gelgel. Beliau terkenal sangat sakti dalam melaksanakan yoga. Akhirnya Sri Maharaja Wisnu Atmaka di Gelgel, mengutus Raja Kyayi Panulisan Bali untuk memohon kesediaan Danghyang Nirartha tinggal di Gelgel.


Demikianlah akhir riwayat hidup Danghyang Dwijendra. Kahyangan tempat beliau ngaluhur (moksa) kemudian disebut lengkapnya bernama Pura Luhur Huluwatu.


yad-yad vibhùtimat sattvaý úrimad ùrjitam eva và,
tat-tad evàvagaccha tvam
mama tejo-‘ýsa-úaýbhavam.


Terjemahan:
Apapun yang memiliki kemuliaan, kemakmuran dan kekuasaan; ketahuilah bahwa semuanya itu, ini berasal dari sepercik kecemerlangan-Ku, (Bhagawadgita X.41).


Demikianlah beberapa contoh orang suci yang telah mencapai jiwa mukti dalam perjalanan hidupnya yang patut dicontoh oleh kalangan masyarakat biasa yang masih sangat terikat akan duniawi. Hendaklah di antara mereka dapat saling mengisi, mengasihi, sehingga kehidupan ini berlangsung dengan damai, tenteram, harmonis saling mengasihi dan menyayangi satu dengan yang lainnya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 47-49).
.



Perenungan Bhagawadgita X.20
Aham àtmà guðàkeúa sarva-bhùtàúya-sthitaá,
aham àdiú cha madhyaý ca bhùtànàm anta eva cha.


Terjemahan:


Aku adalah Sang Diri yang ada dalam hati semua makhluk, wahai Gudakesa, Aku adalah permulaan, pertengahan dan akhir dari semua makhluk.


Tuhan “Brahman” telah menciptakan semua yang ada ini. Pada semua ciptaan- Nya beliau bersemayam untuk kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini. Pada saatnya nanti semua yang diciptakan ini kembali kepada-Nya.


Referensi
https://www.mutiarahindu.com/2018/09/contoh-contoh-orang-yang-dipandang.html


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Kamis, 22 Desember 2022

Pengertian Tri Hita Karana dan Bagian-Bagiannya Serta Contohnya Dalam Kehidupan Agama Hindu



Kearifan lokal merupakan proses adaptasi pengetahuan lokal yang demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam waktu yang cukup lama. Sama halnya dengan yang terjadi di Bali, kearifan tradisional ini menjadi suatu bentuk keyakinan, pemahaman dan wawasan serta adat kebiasaan bahkan etika yang menuntun perilaku masing-masing manusia dalam kehidupan serta komunitas ekologisnya. Sehingga membentuk suatu kepercayaan hakiki yang seyogyanya meresap dalam sanubari masing-masing individu yang terkoneksi dengan Tuhan, alam dan sesama manusia.



Igame; hindulampung

Tri Hita Karana menjadi falsafah hidup yang begitu tangguh. Masing- masing hubungan yang tercipta memiliki pedoman hidup untuk menghargai sesama aspek sekelilingnya. Demikian juga, sama halnya dengan menghargai Tuhan dengan selalu mengingat-Nya kapanpun dan dimanapun, menghargai alam dengan tidak merusaknya dan tidak menyalahi aturan yang sudah ada, menghargai sesama manusia dengan menjaga perasaan dan bersikap empati agar selalu rukun dan damai. Prinsip pelaksanaan dibuat sedemikian rupa hingga seimbang dan selaras satu sama lainnya. Berdasar pada kearifan lokal ini, sekiranya kita bisa belajar mengimplementasikan filosofi hidup dengan mantap, kreatif serta dinamis semata-mata demi mewujudkan kehidupan harmonis.


Pengertian Tri Hita Karana


Kata Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sanskerta, di mana kata Tri artinya tiga, Hita artinya sejahtera atau bahagia dan Karana artinya sebab atau penyebab. Tri Hita Karana berarti tiga hubungan yang harmonis yang menyebabkan kebahagiaan bagi umat manusia. Untuk itu ketiga hal tersebut harus dijaga dan dilestarikan agar dapat mencapai hubungan yang harmonis. Sebagaimana dimuat dalam ajaran Agama Hindu bahwa "kebahagiaan dan kesejahteraan" adalah tujuan yang ingin dicapai dalam hidup manusia, baik kebahagiaan atau kesejahteraan fisik atau lahir yang disebut ” Jagadhita ” maupun kebahagiaan rohani dan batiniah yang disebut "Moksa".

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Bagian-Bagian dan Contoh Tri Hita Karana


Untuk bisa mencapai kebahagiaan yang dimaksud, kita sebagai umat manusia perlu mengusahakan hubungan yang harmonis (saling menguntungkan) dengan ketiga hal tersebut di atas. Karena melalui hubungan yang harmonis terhadap ketiga hal tersebut diatas, akan tercipta kebahagiaan dalam hidup setiap umat manusia. Oleh sebab itu dapat dikatakan hubungan harmonis dengan ketiga hal tersebut di atas adalah suatu yang harus dijalin dalam hidup setiap umat manusia. Jika tidak, manusia akan semakin jauh dari tujuan yang dicita-citakan atau akan menemukan kesengsaraan. Tri Hita Karana sebagai konsep kearifan lokal, terdiri dari;

Hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa/Sang Hyang Widhi Wasa (Parhyangan).
Hubungan manusia dengan sesama manusia (Pawongan).
Hubungan manusia dengan alam semesta (Puruûha), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 273-274)

Konsep ini (Tri Hita Karana) di Bali tercermin dalam tata kehidupan masyarakat Hindu yang meliputi tiga unit yaitu: (1) Parahyangan, yakni berupa unit tempat suci (Pura) tertentu yang mencerminkan tentang Ketuhanan. (2) Pawongan, berupa unit dalam organisasi masyarakat adat sebagai perwujudan unsur antara sesama manusia. (3) Palemahan, yaitu berupa unit atau wilayah tertentu sebagai perwujudan unsur alam semesta atau lingkungan.


Tiga unit yang disebut Tri Hita Karana yang refleksinya terwujud dalam banyak aspek kehidupan dalam masyarakat Hindu. Ketiga hubungan yang harmonis tersebut diyakini akan membawa kebahagiaan dalam hidup ini. Sebagai konsep dasar dari ajaran Tri Hita Karana dalam Agama Hindu dapatlah kiranya diperhatikan atau direnungkan melalui sloka berikut ini :

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

"Mattahparataram na nyat kimchid asti dhananjaya, mayi sarwam idam protam sutre manigana iva”.


Terjemahan:


"Tiada yang lebih tinggi daripada-Ku oh Dananjaya, yang ada disini semua terikat pada-Ku bagaikan rangkaian mutiara pada seutas tali", (Bhagawadgita, VII.7).


Dari penjelasan sloka tersebut di atas dapatlah dikemukakan bahwa segala sesuatu yang ada berasal dari Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), demikianlah pada akhirnya semua ini akan kembali kepada-Nya. Keberadaan Hyang Widhi Wasa dari sudut agama adalah mutlak, karena jika direnungkan secara mendalam bahwa segalanya adalah kehendak-Nya. Maka kalau kita menyadari hal ini sewajarnyalah kita berbakti kepada Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 274).




Hubungan manusia dengan Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam hal ini lebih ditekankan pada upaya umat manusia untuk selalu ingat dan berhubungan dengan Sang pencipta alam semesta ini, sebagai sarana untuk mendekatkan diri bisa dengan doa atau sarana dalam persembahyangan. Hal tersebut seperti biasanya dapat kita lakukan di tempat-tempat suci seperti di Pura, Candi, Mandir atau di tempat yang dipandang suci. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tidak semua orang bisa berhubungan langsung dengan Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), untuk itu perlu sarana sebagai simbol untuk memanifestasikan Tuhan itu sendiri.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Hubungan manusia dengan sesama umat manusia (masyarakat). Manusia menurut kodratnya sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup menyendiri, untuk menjaga kelangsungan hidupnya ia selalu memerlukan orang lain dan hidup berdampingan dalam persaudaraan. Dengan demikian manusia disebut sebagai makhluk sosial. Hubungan manusia dengan sesama manusia atau sesama masyarakat dengan masyarakat lainnya akan dapat terwujud secara harmonis, yang selanjutnya akan terwujud masyarakat sejahtera, aman, dan damai. Dari kondisi tersebut maka akhirnya terwujud pula negara yang tenteram. Hubungan yang aman, damai, dan harmonis terhadap sesama masyarakat sangatlah perlu ditingkatkan dan dibina berdasarkan saling asah, asih, dan asuh. Saling menghargai, saling mengasihi, saling membimbing, dan saling hormat menghormati. Oleh karena itu untuk mencapai kebahagiaan tersebut perlu menjalin hubungan yang harmonis pada unsur manusia itu sendiri.



Manusia tidak akan memiliki arti dalam kesendiriannya, sebab tidak banyak hal yang dapat dibuat dengan kesendiriannya, sedangkan kehidupannya menuntut hal-hal yang sangat kompleks dalam hidup bermasyarakat dewasa ini. Jadi di samping memiliki keahlian, profesi pada bidang-bidang tertentu maka banyak hal yang terkadang tidak dapat dikerjakannya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Di sinilah seseorang saling membutuhkan kehadiran orang lain, terutama untuk saling membantu dalam bidang-bidang tertentu dari kehidupannya yang tidak dapat diselesaikannya sendiri, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 275).

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Dalam realita hidup misalnya kita mengetahui Bima yang ahli dalam bidang listrik dan elektronik, Dharma memiliki kemampuan di bidang komputer, sedangkan Catur adalah pakar pertanian dan perikanan. Agar Bima, Dharma dan Catur dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan sempurna, maka ia harus bekerja sama antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini minta bantuan sama Adi untuk mengerjakan pekerjaan di bidang listrik dan elektronik. Bima mesti siap saling membantu dan begitu juga Dharma dan Catur harus siap membantu mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan keahliannya masing-masing, sehingga akan tercapai tujuan dan keharmonisan bersama.


Demikian kenyataannya, Tuhan Yang Maha Esa memang telah menciptakan manusia dengan keahliannya yang berbeda-beda, yang dimaksud demi kesempurnaan kehidupan manusia sebagaimana dijelaskan dalam Veda Smrti berikut:



"Lokanam tu wiwwrddhyyartham mukhabaahu rupadatah brahmanan ksatryam waisyam cudram ca nirawartayat ”.


Terjemahan:


"Tetapi demi keamanan dan kemakmuran dunia, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan Brahmana, Ksatrya, Wesya, Sudra (sesuai dengan fungsinya) yaitu dari kepalanya, dari tangannya, perutnya, dan kakinya" (Veda Smrti I. 31).


Menyadari hal demikian kita harus selalu menjalin hubungan dengan sesama manusia, hubungan yang dimaksud dalam hal ini adalah hubungan baik yang saling menghormati dan saling membantu, simbiosis mutualisme, sebab hanya hubungan yang demikian dapat memberiarti kepada hidup manusia. Untuk dapat memetik hikmah dari kehidupan bersama tersebut seseorang harus tetap berpegangan kepada ajaran dharma, yang pada intinya mengharapkan agar dalam kehidupan di muka bumi ini seseorang harus selalu mengukur diri sendiri. Setiap akan melangkah, seseorang diharapkan bertanya pada dirinya sendiri, apakah yang di lakukan tersebut jika ditujukan kepada dirinya sendiri akan menyebabkan atau memberi akibat baik atau buruk. Itulah rahasia sederhana yang diajarkan dalam menempuh hidup bersama untuk memperoleh kesuksesan. Apabila semua itu direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka tentunya tidak akan ada kesulitan dalam hidup manusia untuk mewujudkan tujuannya, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 276).

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Hubungan umat manusia dengan alam semesta (lingkungan). Dalam konteks ini umat manusia sangat erat sekali hubungannya dengan alam semesta, seperti yang kita ketahui semua kebutuhan hidup yang diperlukan oleh umat manusia bersumber dari alam semesta dan kita sama-sama merupakan ciptan Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam ajaran Tat Twam Asi dijelaskan "kamu adalah aku” yang artinya; kita semua yang ada di alam semesta ini sama- sama merupakan ciptaan-Nya. Perlu kita sadari umat manusia tidak bisa hidup tanpa alam semesta (lingkungan), dalam kitab suci Veda dijelaskan segala kebutuhan hidup umat manusia hampir semuanya berasal dari alam semesta. Sekali lagi, manusia tidak bisa hidup tanpa alam semesta (lingkungan). Seperti yang kita ketahui dari hasil hutan banyak sekali tumbuh-tumbuhan, baik yang bisa kita olah menjadi makanan, obat-obatan, bahan kecantikan, atau untuk bahan bangunan, peralatan mebel dan masih banyak lagi yang lainnya. Dalam kekawin Niti Sastra disebutkan ;


"Singa adalah penjaga hutan, akan tetapi singa itu juga selalu dijaga oleh hutan, jika singa dengan hutan berselisih, mereka akan marah lalu singa akan meninggalkan hutan. Hutannya dirusak, dibakar, dibinasakan orang. Pohon-pohonnya ditebangi sampai menjadi gundul. Singa yang berlarian dan bersembunyi, lari ke tengah-tengah ladang, diserbu orang dan akhirnya binasa”. Manusia diciptakan, dilahirkan, akan selalu berhubungan dengan alam lingkungan dan selalu bersifat saling memelihara antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini manusia memerlukan alam lingkungan sebagai tempat hidup dan alampun perlu dipelihara oleh manusia supaya tidak punah.


Mengingat sangat pentingnya alam semesta (lingkungan) ini marilah kita semua menjaga dan memelihara hutan dan hewan yang ada di sekitar kita. Memelihara hewan, menanam pohon kembali salah satu bukti bahwa kita peduli terhadap lingkungan sekitar. Hal yang demikian sudah menjadi kodrat yang tak dapat dihindari oleh semua umat manusia di manapun ia berada, sebagaimana disuratkan dalam kitab suci Veda bahwa dunia ini, sengaja diciptakan oleh Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) untuk menjadi ”sapi perahan” (kamadhuk), yang dapat mengembangkan hidup manusia. Hal ini juga ditekankan dalam Bhagawadgita sebagai berikut :


"Sahayajnah prajah srishtva puro vacha prajapatih anena prasavishya dhvam asha vo stv istha kamadhuk ”, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 277).


Terjemahan:


"Pada masa yang silam Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta atas dasar yadnya (cinta kasih dan pengorbanan) dan bersabda; "Dengan ini engkau akan berkembang biak, jadikanlah bumi ini sebagai sapi perahan yang memberi kehidupan kepada umat manusia" (Bhagawadgita III. 10).


Dengan kata lain, jagat raya ini adalah sumber artha (kebutuhan hidup) manusia. Contoh riil akan peran bumi sebagai sapi perahan (ibu) bagi segala kehidupan (termasuk manusia) yang ada di bumi, sangat mudah kita tunjukan misalnya: manusia memerlukan makanan bisa didapatkan dari tanaman padi yang tumbuh di bumi ini, kita perlu ikan, daging dan yang lainnya dapat kita peroleh dari di bumi ini. Contoh lain disamping makanan, manusia perlu sandang yang juga diperoleh dari hasil bumi.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Sepanjang sejarah manusia tidak dapat menciptakan kehidupan atau makhluk hidup yang semuanya adalah merupakan kuasa-Nya. Yang sering kita lihat adalah keberhasilan manusia untuk mengadakan kreasi dari ciptaan Yang Maha Esa, seperti adanya usaha penyilangan, sehingga dari usaha tersebut mendapatkan jenis hewan atau tanaman yang memiliki ragam yang lain dari ragam aslinya.


Dengan kenyataan ini, tentunya tidak tepat jika kita menyatakan sebagai pencipta. Oleh karena itu peran bumi tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia, sebab manusia tidak akan bisa bertahan hidupnya jika sumber artha tersebut musnah. Walaupun demikian harta bukan segala-galanya, artinya ia bukan tujuan akhir (utama) bagi hidup manusia. Harta adalah sarana untuk menunjang kehidupan manusia dalam usaha untuk mencapai tujuan yang sejati. Jika boleh diumpamakan lalu lintas laut, maka harta adalah air laut itu sendiri, yang digunakan sebagai perantara bagi perahu, guna untuk mencapai pulau harapan. Dalam kaitan ini perlu diingat bahwa dalam penggunaan perantara tersebut, perlulah adanya suatu logika tertentu, sehingga perahu tersebut tidak tenggelam, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 278).

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Begitu juga hasil penggunaan harta, maka ia harus memperhatikan ajaran- ajaran dharma, sebagaimana ditekankan dalam seloka berikut :


”Kamarthau lipsamanastu dharmamevaditascaret, nahi dharmadapetyarthah kamo vapi kadacana”.


Terjemahan:


"Pada hekikatnya, jika harta dan kama hendak dituntut, maka seharusnya dharma dilakukan lebih dahulu, tidak tersangsikan lagi pasti akan diperoleh harta dan kama itu nanti, tak akan ada artinya jika harta dan kama diperoleh menyimpang dari dharma", (Sarasamuccaya, 12).


”Yatha yatha hi purusah kalyana ramate manah tatha tathasya siddhyanti sarvartha natrasamsayah”.


Terjemahan:


"Setiap orang baik orang kaya berkecukupan atau orang miskin sekalipun, selama melaksanakan dharma sebagai kesenangannya niscaya tercapai apa yang diusahakan (Sarasamuccaya 17)".


Melalui penjelasan pada sloka tersebut di atas, tentunya orang tidak akan semena-mena menikmati alam semesta ini. Jika kondisi yang demikian dapat diciptakan, tentu tak akan ada praktik-praktik pembabatan liar (ilegal loging), pencemaran/ polusi udara, termasuk polusi spiritual. Sebagai pengamalan dari ajaran tersebut dalam praktik kehidupan beragama sehari-hari kita mengenal adanya rerahinan atau upacara tumpek seperti tumpek wariga, tumpek kandang tumpek landep dan juga upacara pakelem, pecaruan dan lain-lain. Semua upacara tersebut pada dasarnya adalah upaya (spiritual) pelestarian lingkungan, dan bukan merupakan bentuk-bentuk praktik ”totemisme” ataupun ”dinamisme”, sebagaimana yang sering dinilai oleh pihak-pihak yang tidak mengetahui secara pasti dan mendalam makna upacara tersebut.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Demikian dasar-dasar ajaran yang perlu kita perhatikan dalam rangka hubungan manusia dengan alam semesta dan segala isi ataupun kondisinya. Jika semua ini dapat diamalkan dalam peri kehidupan sehari-hari, pasti tidak akan ada masalah-masalah tentang lingkungan hidup, sebagaimana yang dikhawatirkan dewasa ini. Contoh pelaksanaan upacara yang berkaitan dengan alam semesta yang dirayakan pada Hari Raya Galungan. Hari Raya Galungan merupakan piodalan jagat atau oton bumi, yang dilaksanakan pada hari rabu kliwon wuku dungulan, yang jatuh pada tiap-tiap enam bulan sekali atau setiap 210 hari sekali, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 279).


Dari beberapa makna yang terkandung di dalamnya, Hari Raya Galungan merupakan peringatan dan perayaan tegaknya dharma di atas adharma. Berdasarkan atas tradisi dikenal adanya dua versi tentang perayaan Hari Raya Galungan diantaranya adalah: Tradisi di Bali menghubungkan sejarah Hari Raya Galungan dengan runtuhnya kerajaan Mayadanawa. Di samping itu ada juga yang menghubungkan dengan Raja Jayapangus menerima wahyu dari Bhatari Durga tatkala beliau bersemedhi atau bertapa, agar Hari Raya Galungan dirayakan oleh masyarakat Bali.


Tradisi di India mengaitkan tentang sejarah perayaan Hari Raya Galungan (Durgapuja, Navaratri, Dussera atau Dasahara) yang jatuh pada tanggal, 1 sampai dengan 10 paro terang bulan Aswasuji atau Asuji (September- Oktober) yaitu untuk memperingati kemenangan dharma terhadap adharma, upacara ini untuk menghormati kemenangan Sri Rama melawan Ravana yang disebut juga Dasamukha (berkepala sepuluh). Konon Sri Rama berhasil jaya oleh karena anugrah Devi Durga, karena itu sebagai umat Hindu memuja-Nya pada hari tersebut sebagai Durgapuja.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Versi lain menyebutkan sebagai kemenangan Sri Kresna melawan raksasa Narakasura. Upacara yang berlangsung 10 hari ini, sembilan hari pertama disebut Vijaya Dasami. Hari raya yang disebut juga Dussera ini mirip dengan Galungan dan Kuningan di Indonesia.


Tumpek wariga merupakan hari upacara untuk tumbuh-tumbuhan, sebagai ungkapan puji syukur terhadap Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) karena beliau telah menciptakan tumbuh-tumbuhan atau hutan demi kelangsungan hidup umat manusia. Tumpek kandang merupakan upacara untuk semua hewan atau binatang, sebagai ungkapan puji syukur kepada Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) karena beliau telah menciptakan hewan seperti yang telah kita nikmati untuk kebutuhan makanan demi untuk kelangsungan hidup umat manusia. Di satu sisi, umat Hindu dilarang membunuh (ahimsa), tapi di sisi lain umat Hindu sering membunuh binatang atau hewan. Dalam Slokantara 59 dijelaskan, himsa (membunuh) itu dibolehkan untuk dipersembahkan atau untuk mempertahankan diri. Himsa itu bisa dilakukan dalam beberapa hal berikut :

Deva Puja yaitu untuk upacara keagamaan atau dipersembahkan untuk kepentingan Yadnya dan lain-lain.
Atithi Puja, yaitu untuk disuguhkan kepada tamu.
Walikrama Puja, yaitu untuk upacara korban pecaruan (Bhuta Yadnya).
Untuk melindungi diri dalam keadaan perang dan lain-lain, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 280).


Perlu diketahui sebelum hewan dipotong hendaknya terlebih dahulu didoakan, adapun doanya sebagai berikut;


“Om pasu pasàya wimahe sirascadaya dhimahi tano jiwah pracodayat.
Om Santih, Santih, Santih, Om".


Terjemahan:


"Semoga atas perkenan dan berkah-Mu, para pemotong hewan dalam upacara kurban suci ini beserta orang-orang yang telah berdana punia untuk yadnya ini memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan. Tuhan, hamba memotong hewan ini, semoga rohnya menjadi suci". (Ngurah, IGM. 2003 : 14).


Diharapkan agar hewan yang dikorbankan untuk dipersembahkan, taraf hidupnya akan lebih meningkat atau lebih baik. Dengan demikian ajaran Tri Hita Karana sangat tepat bagi umat Hindu sebagai pedoman dalam melestarikan alam semesta. Karena antara yang satu dengan yang lainnya sangat berhubungan erat bahkan bahkan tidak dapat dipisahkan. Terjadinya hubungan tersebut disebabkan oleh adanya unsur atman dalam diri manusia, di mana unsur tersebut berasal dari Parama Atman (Tuhan Yang Maha Esa). Kondisi inilah yang menyebabkan manusia selalu tertarik untuk berhubungan (menyembah) Tuhan Yang Maha Esa. Jika dibandingkan dengan magnet elementernya (bagian, potongan). Sesuai dengan hukumnya, maka magnet inti yang memiliki daya tarik yang lebih besar, akan menarik magnet yang memiliki sifat lebih kecil. Hal inilah yang cenderung menyebabkan manusia ingin atau rindu mencari atau berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa (asal dan akhir tujuan hidupnya). Dalam kaitan ini Upanisad sering mengumpamakan dengan sungai; yang dengan penuh kerinduan ingin bertemu dengan laut, asalnya.



Demikianlah manusia senantiasa rindu ingin bertemu dengan Tuhannya, dan selalu ingin merealisasikan kerinduannya dengan berbagai cara, sesuai dengan kemampuannya. Ada yang melalui pemasrahan diri kepada-Nya (bakti marga) jalan karma (karma marga), jalan ilmu pengetahuan (jnana marga) ataukah ajaran Yoga (yoga marga). Setiap jalan itu tersebut memiliki keistimewaannya masing-masing, dan setiap cara tersebut mulia pada tempatnya masing- masing. Hubungan ini merupakan hubungan yang sengaja dijalin untuk dapat mewujudkan tujuan hidup manusia; yakni ”amor ing acintya ”, luluh dengan asal manusia (kehidupan).


Pencapaian tujuan tersebut sangat penting, sebab kondisi yang demikian akan membebaskan manusia dari kesengsaraan hidupnya. Tentunya pencapaian tujuan tersebut diupayakan melalui tahapan tertentu, dari yang bersifat fisik (material) hingga hubungan yang sifatnya spiritual (abstark), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 281).


Hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa misalnya, tahap awal diupayakan dengan meluluhkan ”ego” (ahamkara ), sebab hanya dengan demikian seseorang akan dapat memberi pengakuan bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah maha segala-galanya; di lain pihak luluhnya ego menyebabkan seseorang mengakui kemampuannya (jika dibandingkan dengan kemampuan Tuhan Yang Maha Esa), terbatas adanya. Pengakuan tersebut mendorong manusia tunduk dengan segala hukum yang ditentukan oleh-Nya. Dengan adanya pengakuan tersebut maka seseorang dijauhkan dari kesombongan yang cenderung menggiring seseorang untuk berperilaku yang tidak baik, yang akan merugikan manusia itu sendiri.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Menyadari adanya akibat tersebut, maka kita perlu senantiasa selalu berhubungan dengan-Nya, sehingga berangsur-angsur kita akan memperoleh ” pencerahan ”. Yang memungkinkan kita untuk mengenal hal-hal yang baik dan hal-hal yang tidak baik yang mendorong tercapainya tujuan hidup.


Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berusaha dengan segala kemampuannya sendiri. Sebagai manusia yang menyadari dirinya terbatas dan memiliki kekurangan, maka diperlukan kekuatan lain yaitu dengan menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa yaitu melalui :

Yadnya yang dilakukan setiap hari ( Yadnya sesa ) atau masegeh;
Melakukan sembahyang setiap hari atau berdoa;
Melakukan Yadnya (Deva Yadnya);
Melaksanakan Naimitika Karma, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 282).
Baca: Contoh Ceritra Tentang Kekuasaan Tuhan, Ida Sanghyang Widhi Wasa Dalam Hindu


Renungan Bhagawadgita.III.9


”Yajnaarthat karmano nyatra loko yam karma bandhanah Tadrtham karma kauateya mukta sangah samachara”


Terjemahan:


“Kecuali untuk tujuan bakti dunia ini dibelenggu oleh hukum kerja, karenanya bekerjalah demi bakti tanpa kepentingan pribadi".


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/11/pengertian-tri-hita-karana-dan-bagian.html


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015



Petapakan Ida Betara Rangda Ngereh






Petapakan adalah topeng dalam wujud sosok makhluk magis yang meyeramkan, terbuat dari kayu tertentu, dibentuk sedemikian rupa sebagai simbol unsur niskala (tidak nampak) dari adanya Ida Betara Rangda.

Ketakson berasal dari kata taksu mendapat awalan ke dan akhiran an sehingga menjadi kata ketaksuan dan orang Bali lebih mudah mengucapkan dengan kata ketakson yang artinya kesaktian dari proses sakralisasi

Panungrahan artinya Pemberian dari Dewa

Petapakan Ida Betara Rangda Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda itu, diyakini tidak saja mampu mengusir gerubug [wabah penyakit] yang pada musim-musim tertentu datang mengancam penduduk Bali, namun juga diyakini dapat mengayomi masyarakat sehingga merasa tenang dan aman dari ancaman niskala itu. Rasa aman semacam itu menjadi penting, meskipun masyarakat Bali telah menjadi masyarakat modern dan berpendidikan tinggi. Aktualisasi dari rasa aman dari ancaman niskala ini adalah di setiap desa, atau Pura mesti ada Petapakan Ida Betara, sebagai tanda atau kendaraan adanya Ida Betara Rangda, yang jika dipahami dengan baik adalah sisi lain dari kepercayaan akan kemahakuasaan Siwa.

Dalam kaitan dengan dunia mistik Hindu Bali, pemujaan terhadap Siwa dilakukan dengan banyak cara, namun terfokus pada Durga sebagai saktinya Siwa. Di bagian-bagian tertentu negeri India, mungkin Siwa tidak sepopuler di Bali, mungkin Wisnu yang lembut dan kebaikannya tidak diragukan lebih popular, atau mungkin Krisna atau Rama. Menarik diteliti mengapa Siwa dalam manifestasinya sebagai Dewa Pralina yang bertugas menghancurkan itu justru lebih popular daripada Wisnu atau Brahma yang lembut.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Dalam kisah cerita Calonarang diungkapkan, setelah Raja Airlangga memutuskan untuk menyerang kediaman Calonarang Janda Dirah, maka janda penekun ilmu hitam ini mengajak murid-muridnya ke kuburan untuk menghadap Dewi Durga. Untuk itu, janda dari Dirah itu harus menyiapkan sarana dan prosesi menyambut kedatangan Dewi Durga.

Setelah sarana upacara dan prosesi pemujaan berlangsung, muncullah Dewi Durga dalam wujud yang menyeramkan, mulut menganga, taring mencuat dan saling bergesekan, rambut mengombak, membentangkan kain selendang pada susu, penuh hiasan, letak kedua kakinya miring, memakai kain setengah badan, matanya membelalak bagaikan matahari kembar, terus menerus mengeluarkan api, kemudian dengan suara berteriak menanyakan apa tujuan walu ing girah (janda dari girah atau dirah) menghadap.

Citra perwatakan Dewi Durga yang demikian seram itu, kelak muncul dalam rangda yang sesungguhnya merupakan hasil ciptaan para seniman Bali. Entah siapa yang menjadi pelopor, tampaknya seniman pertama yang menciptakan. Sosok rangda di Bali tidak dikenal, sosok rangda muncul di sejumlah desa di Bali sebagai wujud aktualisasi rasa magis masyarakat Bali. Kelahirannya itu, agaknya tidak sekedar melewati proses penciptaan yang biasa, mesti mengacu pada petunjuk mitos atau lontar tertentu.

Lontar-lontar (daun pohon lontar yang berisi aksara suci) itu memberi petunjuk mengenai sah tidaknya sebuah petapakan untuk mendapatkan anugrah ketakson. Sementara itu, mitos-mitos yang diciptakan berfungsi untuk menambah bobot magis petapakan tersebut. Cerita-cerita mengenai makhluk-makhluk magis yang seram disampaikan oleh mitos-mitos itu, dipahami oleh penduduk Hindu Bali sebagai ancaman niskala pada kehidupan sehari-hari, jika petunjuk-petunjuknya tidak dipenuhi.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Dalam mitos-mitos itu, selalu disebutkan bahwa makhluk-makhluk magis itu menyebarkan wabah penyakit pada musim-musim tertentu. Tidak heran, bila kemudian penduduk Bali merasa takut terhadap ancaman wabah penyakit itu, lalu seniman sakral Bali menciptakan mitos baru yang merupakan perwujudan dari sosok makhluk-makhluk magis itu. Salah satu ciptaan itu adalah Petapakan Ida Betara Rangda.

Pasti ada unsur yang bertugas mentrafsormasikan kesadaran mistik orang Bali dari generasi ke generasi sehingga kesadaran mistik tersebut tetap hidup dan bertahan dalam memori penduduk Bali. Walaupun tidak harus dikatakan bahwa kesadaran mistik itu, bergerak dan hidup di dalam memori semua penduduk Bali, namun tidak dapat dipungkiri kalau pada sebagian orang Bali kesadaran mistik itu masih hidup, muncul dan tenggelam. Artinya, sebagian penduduk Bali mungkin tidak lagi memperhatikan dan terlibat di dalam prosesi untuk menghidupkan kesadaran mistik itu, namun tidak dapat ditolak kalau kesadaran mistik itu tetap hidup di dalam memori mereka. Hal ini, misalnya tampak pada sedikit orang yang masih menghidupkan tradisi ngereh, namun bukan berarti kesadaran mistiknya telah terkikis. Inilah Keajaiban Bali.


Unsur perekat macam apa yang mampu mempertahankan kesadaran purba tersebut? kalau saja tidak ada teks, lebih khusus teks cerita Calonarang, yang dengan rajin disalin dan dibuatkan teks-teks baru mengenai makhluk-makhluk magis yang mengancam keselamatan penduduk Bali bila terjadi dis-harmoni terhadap mereka pastilah “rasa takut” itu berkurang. Baiklah, kalaupun berpikir positif, ancaman secara niskala semacam itu, ternyata juga membuat seniman [undagi] Bali menjadi kreatif dan karya-karya mereka memperkaya khasanah kebudayaan Bali.

Persoalan kemudian penduduk Hindu Bali menjadi bertambah kerepotannya ketika karya-karya itu harus mendapatkan anugrah ketakson atau kesaktian melalui proses sakralisasi. Jika tidak, perasaan terancam secara niskala itu sangat mengganggu irama hidup penduduk Bali.

Dis-harmoni tidak boleh terjadi. Berbagi upakara harus diciptakan dan dipersembahkan, bukan untuk menghancurkan makhluk- makhluk magis itu, melainkan untuk dikembalikan ke wilayahnya, somnya (dinetralkan). Hal ini berarti, kedatangan wabah penyakit adalah akibat dari dis-harmonis tersebut, dan dis-harmonis terjadi karena ada yang melewati atau melanggar batas-batas wilayah masing-masing. Batas-batas itu bisa niskala, bisa juga sekala. Bagi yang melanggar batas-batas, sekali lagi, tidak harus dihancurkan atau dibunuh, melainkan dikembalikan ke alam semula, atau diberi sanksi agar kembali ke wilayah semula.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI



Puncak harmonisasi antara makhluk- makhluk mitologis itu dengan penduduk Hindu Bali adalah saling memberi kekuatan atau kesaktian, maka prosesi ngereh merupakan bukti adanya kesadaran mistik itu. Petapakan yang mendapatkan ketakson, merupakan bentuk presentasi dari kesadaran mistik Hindu Bali tersebut.

Agar petapakan itu dapat menjalankan fungsinya sebagai penangkal ancaman niskala-mistik itu, disamping dapat mengayomi penduduk dari ancaman niskala itu, maka petapakan itu harus sakti, memiliki taksu, dan agar sakti harus melalui proses sakralisasi. Sakralisasi ini sudah mulai dijalankan pada saat mencari kayu yang akan dijadikan bahan petapakan itu.

Umumnya, kayu yang digunakan bahan petapakan, adalah jenis kayu yang dipercaya memiliki kekuatan magis, antara kayu pule, kapuh (rangdu), jaran, kapas, waruh teluh, dan kepah. Masing-masing jenis kayu ini ternyata memiliki mitologinya sendiri, yang narasinya berusaha menggambarkan keunikan dan kemagisan kayu-kayu tersebut. Sakralisasi juga tampak pada hari baik yang harus dipilih saat mulai mengerjakan petapakan itu, yang disebut hari kilang-kilung menurut kalender Bali. Sakralisasi ini masih harus dijalankan dalam beberapa tahapan, antara lain tahapan pasupati, ngatep, mintonin dan akhirnya ngerehang.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI



Teknik Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda

Tempat pelaksanaan ngereh biasanya di tengah-tengah setra (kuburan) pada hari tilem (gelap) dan hari keramat di malam hari. Jam pelaksanaannya sekitar jam dua puluh tiga yang diawali dengan matur piuning (Pemujaan), ngaturang caru (menghaturkan sesajen yang ditaruh diatas tanah ) dan nyambleh kucit butuhan (memotong babi jantan yang masih muda).

Orang yang ditugaskan ngereh duduk berhadapan dengan Petapakan Ida Betara Randa. Lidah Petapakan Ida Betara Rangda dilipat ke atas kepalanya. Diantara orang yang ngereh dengan Petapakan Ida Betara Rangda itu ditempatkan upakara, yang pokok adalah getih temelung (darah dari babi jantan) yang ditaruh pada takir (daun pisang). Pengereh bersemedi, sedangkan rekan-rekannya yang lain berjaga-jaga di sekitar setra (kuburan). Malampun bertambah larut . suasana magis mulai terasa ditambah desiran angin semilir membuat bulu kuduk berdiri.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Untuk menjadi Pengereh diperlukan kesiapan mental, keberanian dan kebersihan pikiran dan badan serta yang paling penting adalah lascarya (pasrah, tulus, ikhlas). Tidak boleh sesumbar atau menambah serta melengkapi diri dengan kekuatan-kekuatan lainnya seperti : sesabukan (Jimat kesaktian). Adanya benda-benda asing di luar kekuatan asli yang berada di badan akan mengganggu masuknya kekuatan Ida Bhatara.

Gegodan (gangguan niskala) mulai mengetes keteguhan hati pengereh, apakah dia akan bisa bertahan dan berhasil atau malah kabur yang berarti gagal. Beberapa jenis gegodan, antara lain :

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Semut yang mengerubuti sekujur tubuh pengereh dan semut ini besar-besar, jika tidak tahan maka pengereh akan menggaruk-garuk seluruh tubuhnya maka gagallah dia.
Nyamuk yang menggigit serta menyengat muka sampai terasa sakit, rasa-rasanya muka akan hancur, jika tidak tahan pengereh akan mengusap atau menepuk-menepuk mukanya dan gagallah dia.
Ular besar yang melintasi paha pengereh bergerak perlahan yang terasa geli, dingin dan mengerikan. Jika pengereh geli, ketakutan maka gagallah dia.
Celeng (babi) yang datang menguntit pantat pengereh yang sedang khusuknya bersemedi jika takut dan merasa terusik, gagallah si pengereh itu.
Angin semilir yang membawa Aji sesirep, jika tidak waspada akhirnya ketiduran, gagallah dia.
Kokok ayam dan galang kangin (bahasa bali) artinya suasana hari mendekati pagi diiringi dengan ayam berkokok, jika Pengereh terpengaruh dan menghentikan semedi karena merasa hari sudah pagi, maka gagallah dia.
“Bikul nyuling” (tikus meniup seruling) menggoda, sehingga membuat si pengereh tertawa karena lucu melihat tikus meniup seruling, maka gagallah dia.
“Talenan (alas untuk memotong daging) bersama blakas (pisau besar)” yang datang dengan bunyi….tek….tek….tek….dan akan melumat si pengereh, langsung dicincang. Kalau sudah seperti ini si pengereh harus kabur menyelematkan diri, karena kehadiran talenan bersama blakas ini adalah ciri kegagalan.
Kedengaran bunyi gemerincing…..cring…….cring, cring,cring,cring, kalau sudah begini berarti sudah gagallah prosesi ngereh ini, dan si pengereh tidak perlu lagi melanjutkan dan harus secepatnya angkat kaki menyelematkan diri. Hal ini menandakan akan hadir Banaspati Raja (Raja hantu) ancangan (anak buah) Ida Betara Bairawi yang berkuasa di Setra (kuburan).

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI



Kalau yang disampaikan diatas adalah kegagalan ngereh, maka keberhasilannnya adalah ditandai dengan adanya gulungan api, atau tiga bola api yang datang menghampiri kemudian masuk ke petapakan Ida Betara Rangda. Jika sudah masuk ke Petapakan Ida Betara Rangda, ditandai dengan menjulurnya lidah Petapakan Ida Betara Rangda yang semula diatas kepalanya kemudian turun berjuntai mengarah ke takir (daun pisang ) yang berisi getih temelung (darah babi jantan) dan menyedotnya sampai habis, selanjutnya si pengereh akan kerauhan (trance) kemudian masuk ke Petapakan Ida Betara Rangda dan ngelur (berteriak) menggelegar; akhirnya tangkil (datang) ke Pura Dalem, permisi lanjut menuju pura tempat peyogan (persemadian) Ida Betara Durga.

Mengenai 9 jenis gegodan (gangguan) itu tidak terjadi sekaligus kesembilannya pada saat ritual ngereh. Gangguan (gegodan) yang terjadi bisa 1 atau 2 atau 3 atau 4 dan seterusnya tergantung situasi dan kondisi serta keberadaan si pengereh, kelengkapan upacara dan kemungkinan penyebab lainnya.







Petapakan Ida Betara Rangda diisi Kekuatan Sakti Panca Durga

Dalam ngerehang pun memanggil Panca Dhurga untuk mengisi kekuatan rangda. Untuk upacaranya perlu dibuatkan segehan agung (sesajen besar yang ditaruh di atas tanah) beserta perangkatnya yang sesuai dengan lontar pengerehan.

Adapun yang dimaksud dengan Sakti Panca Durga adalah lima macam kekuatan Durga yaitu :


Kala Durga,
Durga Suksemi,
Sri Durga,
Sri Dewi Durga, dan
Sri Aji Durga.



Lima macam kekuatan Durga inilah yang menguasai ilmu arah mata angin di dunia niskala (tidak nampak) dan bisa menimbulkan kemakmuran bagi umat manusia maupun bencana apa bila dilanggar batas-batas wilayahnya.


Bali memang tidak bisa lepas dari upacara keagamaan yang dilakukan masyarakatnya, sehingga menambah kemagisan pulau ini, begitu halnya dengan upacara ngereh atau pengerehan yang lazim dilakukan oleh masyarakat dalam rangka menghidupkan sesuatu yang ada hubungannya dengan wahana atau petapakan Ida Betara Rangda di Pura.

Dalam ajaran Agama Hindu di Bali sarat dengan lokal genius yang berdasarkan sastra-sastra Agama, termasuk diantaranya ngereh. Dalam lontar Kanda Pat, ngereh atau pengerehan erat kaitannya dengan Petapakan Ida Betara Rangda yang berupa benda yakni tapel rangda (topeng rangda).

Sedangkan ngerehan rangda sesuai dengan Lontar Pengerehan, Kanda Pat, bahwa ngerehang rangda mempunyai kekhususan sendiri. Sebab ini berhubungan dengan sifat magis yang dimiliki oleh rangda itu sendiri, karena rangda merupakan simbol rajas (emosi) yang penuh dengan nafsu untuk menguasai. Dalam lontar Calonarang, rangda artinya janda yang memiliki nafsu tak terbendung atau kemarahan yang tak tertahankan karena dendam. Rangda sendiri merupakan sifat manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya sehingga menyebabkan gejolak dalam diri kita sebagai manusia.

Rangda pengerehan dilaksanakan di setra (kuburan), karena setra (kuburan) merupakan tempat pemujaan terhadap Dewa Bhairawi yaitu Dewa kuburan dalam lontar Bhairawa Tatwa, yang merupakan wujud dari Dewi Durga. Dalam mitologinya, disini Dewa Siwa berubah wujud untuk menemui saktinya Dewi Durga berupa rangda sehingga muncullah beberapa kekuatan yang menyeramkan untuk menguasai dunia. Inilah alasannya kenapa setra (kuburan) dipakai sebagai tempat ngerehang rangda. Karena penuh dengan kekuatan black magik. Sehingga dalam ngerehang rangda, kalau sudah mencapai puncaknya ia akan hidup. Setelah hidup rangda akan memanggil anak-anak buahnya berupa leak (setan) atau makhluk halus lainnya.

Sarana Ngereh Petapakan Ida Betara Rangda Di Kuburan Berupa Pala Walung

“Sebelum ngerehan, maka disiapkan berbagai sarana dan bebantenan (sesajen sakral). Sarana yang penting tersebut adalah memohon pala walung (tengkorak manusia) sebanyak tiga buah. Untuk itu dilakukan matur piuning (pemujaan) kehadapan Ida Betara di Mrajapati. Setelah itu, sekitar jam dua belas siang jero mangku (orang suci) beserta krama (masyarakat) mencari-cari tengkorak di sekitar setra (kuburan). Pala walung atau tengkorak yang didapat tersebut kemudian dicuci dengan toya kumkuman (air suci dari air kelapa) dan ketiganya dihaturkan rayunan cenik (suguhan berupa hidangan).

“Hal lain yang perlu adalah mempersiapkan juru pundut (pengusung) ketika upacara ngereh.

“Pada hari pengerehan tersebut, juru pundut (pengusung) yang kasudi (ditugaskan) atau ditunjuk dilakukan upacara sakral di Pura Dalem. Setelah itu ngiderang (mengelilingi) gedong Pura Dalem sebanyak tiga kali. Kemudian juru pundut (pengusung) tersebut menghaturkan sembah kepada Ratu Gede Penyarikan, Mrajapati. Proses ini berlangsung sekitar jam dua puluh dua tiga puluh menit (jam 20.30 ) malam.


Pada tengah malam sekitar jam dua puluh tiga, tiga puluh menit (jam 23.30) malam, barulah Petapakan Ida Betara Rangda diikuti oleh para damuh (masyarakat penyungsung) menuju ke setra (kuburan) untuk upacara ngereh. Di sana telah disediakan banten (sesajen). Semua banten (sesajen) tersebut diastawa (dipuja) oleh jero mangku (orang suci). Di tempat tersebut ditancapkan sebuah sanggah cucuk (tempat sesajen dari pohon bambu) yang berisi sesajen sakral. Sedang Ida Betara Rangda diletakkan diatas gegumuk (gundukan tanah).

Pemundut (pengusung) kemudian duduk bersimpuh di hadapan banten (sesajen) dan prerai (muka topeng) Petapakan Ida Betara Rangda. Duduk bersimpuh dimana kedua lututnya beralaskan pala walung (tengkorak manusia), dan satu lagi di bagian pantatnya. Mencakupkan tangan memegang kuangen (sarana bunga), ngulengang kayun (konsentrasi) kehadapan Ida Betara Durga. Dihadapannya diletakkan sebuah pengasepan (tempat api). Setelah itu areal tempat ngerehan dikosongkan dari orang termasuk pemangku (orang suci). Semua berada dalam jarak yang jauh”.

Jadi pengertian ngereh pada intinya adalah Petapakan Ida Betara Rangda mesuci (membersihkan diri) di setra (kuburan). Salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kesidian (kesaktian) beliau. Setelah upacara ngereh Petapakan Ida Betara Rangda selesai, kemudian pala walung yang tadinya dimohon, dikembalikan ke tempatnya semula, agar tidak ngerebeda (mengganggu atau menimbulkan hal yang tidak diinginkan).

Petapakan Ida Betara Rangda di Bali diyakini mampu mengusir gerubug (wabah penyakit) dan dapat mengayomi masyarakat sehingga merasa tenang, aman dan tentram dalam irama kehidupan umat Hindu di Bali. Oleh Adang Suprapto




Sumber : cakepane.blogspot.com



Kisah Tentang Kekuasaan Tuhan, Ida Sanghyang Widhi Wasa Dalam Hindu



Tuhan Maha Tahu menciptakan matahari, bulan dan bintang, Ia pula yang menciptakan bumi tempat kita berpijak dan mencari makan. Tuhan Yang Maha Esa Maha Tahu Maha Mendengar, Ia mendengar semua doa kalau diucapkan dengan pikiran yang sungguh-sungguh.



Image; warungbusiki

CeritraTukang Sepatu


Di suatu desa hiduplah seorang tukang sepatu yang jujur dan taat kepada ajaran Agama. Setiap hari dari pagi hingga sore dia bekerja menambal sepatu yang sudah tua dan rusak. Dengan cara demikian ia mendapat upah yang cukup untuk keluarganya, dan suatu hari lewatlah seseorang yang kaya raya bernama Wrahaspati. Shoma si tukang sepatu tertegun melihat pakaian Wrahaspati yang terbuat dari sutra dan menaiki seekor kuda layaknya seorang raja, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 282).


"Wah alangkah bahagianya si Wrahaspati itu, kekayaan yang berlimpah dan disegani orang. Ia memiliki ribuan hektar tanah pertanian, hidupnya tentu penuh kesenangan. Sedangkan aku, bekerja siang malam memotong kulit dan menambal sepatu yang rusak dan hidupku pas-pasan. Mengapa Tuhan pilih kasih?" demikian dia menyesali dirinya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Ketika Shoma memikirkan tentang Tuhan, dia memandang patung Siwa yang ada di atas altar di samping tempatnya bekerja. Shoma lalu duduk di hadapan patung itu dan berdoa: "Ya Tuhan adalah maha kasih, engkau adalah maha tahu, engkau menyaksikan hamba telah bekerja siang dan malam. Hamba memujamu setiap waktu, tidakkah engkau menaruh belas-kasihan kepadaku? Anugerahilah hamba agar hamba memiliki rumah yang bagus, sawah untuk bertani yang cukup untuk keperluan keluarga hamba", demikianlah doanya dengan penuh perasaan.



Ada sesuatu yang aneh, pada waktu Shoma mengucapkan kata-kata permohonannya itu, dia melihat patung Deva Siwa seperti hidup dan tersenyum kepadanya. Shoma yakin tentu doanya didengar oleh Deva Siwa, tetapi mengapa Beliau tersenyum ? itulah yang menjadi tanda tanya dalam dirinya.


Tentang Wrahaspati yang kaya raya itu, dia adalah pemuja Deva Siwa yang taat juga. Dia sangat baik hati dan suka menolong orang lain. Malam hari setelah pulang dari berkeliling desa, iapun cepat tidur karena lelah. Dalam tidurnya dia mimpi bertemu Deva Siwa. "Wrahaspati, buatkanlah rumah yang bagus untuk Shoma si tukang sepatu, berikan dia dua hektar tanah pertanian dan satu peti uang emas kepadanya. Shoma adalah salah seorang pemujaku yang taat", demikian pesan Deva Siwa dalam mimpinya.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Besok paginya setelah Wrahaspati terbangun segera melaksanakan perintah Deva Siwa yang dia terima melalui mimpinya itu. Shoma hampir tidak percaya dengan keberuntungan itu, diapun mengubah kebiasaan hidupnya dari seorang tukang sepatu menjadi petani. Anak dan istrinya mulai bekerja di sawah mencangkul dan bercocok-tanam. Dia merasa bahwa Tuhan telah mengabulkan permohonannya. Tapi tidak lama kemudian dia merasakan ada masalah baru yang muncul. Mengetahui bahwa Shoma telah memiliki rumah yang bagus dan besar maka semua sanak familinya berdatangan. Sebagian dari mereka tetap tinggal disana, rumah Shoma jadi ramai, dia tidak lagi bisa tenang bekerja. Sanak saudaranya yang mengetahui Shoma sudah kaya raya ikut menikmati kekayaan itu, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 283-284).


Istri Shoma selalu sibuk melayani sanak familinya mereka, karena dia percaya dengan pesan orang tuanya bahwa tidak boleh menolak tamu dan tamu harus dilayani sebaik-baiknya. Masalah berikutnya adalah mengenai peti uang emasnya. Dia kubur peti uangnya di pojok ruang tidurnya, tetapi dia selalu merasa tidak aman. Dia takut ada orang lain mengetahui dan mencurinya. Shoma tidak berani meninggalkan rumahnya, malam-malam dia tidak bisa nyenyak tidurnya. Mendengar gonggongan anjing dia khawatir, jangan-jangan perampok yang memasuki rumahnya. Sawahnya terbengkelai tidak dikerjakan karena Shoma tidak berani meninggalkan rumahnya, sedangkan istrinya sibuk melayani tamunya.


Shoma sungguh-sungguh merasa tidak tenang dan tidak nyaman, dia mulai sakit-sakitan karena kurang tidur. Hartanya telah merampas ketenangan dan kebahagiaannya. Kembali dia teringat waktu masih menjadi tukang sepatu, walaupun dia miskin, hanya cukup makan, tetapi hatinya tenang, tidurnya nyenyak dan setiap hari dia bisa menyanyikan kidung pujian kepada Deva Siwa. Setelah menimbang dalam-dalam akhirnya dia (Shoma) memutuskan; sambil sembahyang dengan sebatang dupa dia memohon kepada Deva Siwa ;

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI

"Tuhan yang hamba puja, akhirnya hamba sadar mengapa Engkau tersenyum waktu hamba memohon rumah, harta kekayaan dan tanah. Semua benda-benda itu tidak menambah kebahagiaan hamba, benda-benda itu telah merampas kebahagiaan hamba. Ampunilah keserakahan hamba ini, kembalikanlah hamba kepada pekerjaan hamba semula. Biarlah hamba menjadi tukang sepatu, tetapi hamba bisa memujaMu dengan penuh kebahagiaan. Hidupkanlah rasa bhakti hamba, akan hamba persembahkan hasil kerja ini kepadaMu. Engkau Maha Tahu, apa yang patut dan baik untuk hamba. Bimbinglah hamba menuju jalan yang Engkau kehendaki".


Demikian Shoma menyampaikan permohonan dengan penuh kesungguhan dan berlinang air mata karena terharu. Keesokan harinya Shoma kembali menjadi tukang sepatu, dan semua hartanya dikembalikan lagi kepada Wrahaspati pemiliknya. Ketenangan, kesehatan dan kebahagiaan lebih mulia dari segala harta kekayaan, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 284).



Ceritra “Welas-asih”


Ibu adalah perwujudan Tuhan. Lonceng berbunyi dua belas kali, anak-anak saling mendahului keluar dari ruang kelas ingin cepat-cepat pulang dan sampai di rumah. Di langit masih mendung, setelah turun hujan dan jalanan masih becek sekali. Sebuah desa yang sangat terpencil di pegunungan ini hanya ada jalan setapak yang menghubungkan ke sekolah mereka. Dengan kondisi yang curam dan licin, karena tanahnya tanah liat berlumpur.


Di sebelah sekolah ada seorang ibu tua yang sedang berdiri sambil memegang tongkatnya akan pulang ke rumahnya, sepertinya sedang kesulitan dan membutuhkan bantuan orang lain. Dengan sisa tenaga yang dia miliki, tubuhnya yang gemetar, badannya yang lemah, basah dan kelihatan sedih dan putus asa. Dia tidak berani beranjak dari tempatnya berdiri, menunggu orang yang mau membantunya karena jalan sangat licin. Tak seorang yang lewat menaruh perhatian kepadanya, banyak murid-murid yang melihat tapi dia langsung lari dan ingin cepat-cepat pulang.


Muditha adalah seorang anak dari salah satu siswa tersebut yang kebetulan melihat si ibu tua itu memandang kepadanya dengan penuh harapan yang membutuhkan bantuan. Muditha langsung mendekati si ibu tua sambil berkata; "Ibu, Ibu begitu kelihatan sangat lemah, gemetar dan kedinginan apakah boleh saya membantu Ibu?" Ibu tua itu matanya bersinar karena gembira. Sudah lama ia menunggu mengharapkan pertolongan, tapi tak seorangpun yang menaruh perhatian. Namun tiba-tiba ada seorang anak yang dengan suara penuh kasih sayang, memangil dirinya dengan sebutan "ibu" dan menawarkan pertolongan.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Si Ibu tuapun lalu berkata; anakku maukah kamu membantu ibu menyeberangi jalan ini, karena jalan sangat licin dan rumah ibu ada di seberang jalan sana. Muditha menghampiri dan memegang tangan si ibu dan mengalungkan di lehernya sambil berkata; "mari ibu kita berjalan pelan-pelan, saya akan menuntun ibu sampai ke rumah". Ketika mereka berjalan berdua si ibu bercakap-cakap dengan Muditha, dengan nada yang penuh kasih. Si ibu menanyakan nama, rumah dan orang tuanya dan dijawab oleh Muditha dengan sangat ramah.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Setelah sampai di rumah si ibu tua itu, lalu Muditha mohon pamit, si ibu dengan berlinang air mata lalu berkata: "Semoga Tuhan merestuimu anakku. ibu akan selalu mendoakan agar kamu bahagia". Muditha merasa bahagia karena mendapat kesempatan menolong orang lain. Ketika dia menemui kembali teman-temannya, mereka menanyakan kepadanya mengapa dia mau berusaha bersusah-susah menolong si ibu tua itu, padahal dia tidak kenal dengannya, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 285).


Muditha menjawab "saya menolong karena saya yakin dia adalah ibu dari seseorang. Mengapa kamu menolong ibu orang lain? tanya temannya. Tentu saja, bukan sa ja menghormati tapi menyayangi, bahkan sangat menyayangi. Bila saya menemui wanita yang sebaya dengan ibu saya, saya selalu ingat sama ibu saya", kata Muditha.


Mengapa kamu lebih sayang sama ibumu bukan sama ayahmu, tanya temannya. Kedua-duanya saya sayangi, tapi saya lebih sayang sama ibu saya, karena ibu saya lebih menderita dari ayah saya. Penderitaan waktu melahirkan, pengorbanan waktu merawat saya dari bayi sampai sekarang. Mungkin selama hidup tidaklah pernah saya dapat melunasi hutang budi kepada Ibu.


Di samping itu ayah saya pernah berkata : "Anakku di dunia ini tidak ada hutang yang lebih berat dari pada kepada ibu. Barang siapa yang tidak menghormati dan menyayangi ibunya, dia tidak akan bisa menjadi manusia yang baik", Demikian ayah saya menasehati saya. Semua teman-temannya sangat terkesan dengan Muditha. Kutukan orang tua seperti awan di langit, sinar matahari tidak akan bisa menembus kalau awan menghalangi. Betapa pun taat dan bhakti seseorang kepada Tuhan, kalau dia tidak hormat kepada orang tuanya, maka anugerah Tuhan tidak akan bisa sampai kepadanya. Demikianlah ceritanya, camkanlah......! (oleh : Kimudà), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 286).


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/11/contoh-ceritra-tentang-kekuasaan-tuhan.html


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015