Minggu, 21 Mei 2023

Bentuk-bentuk Tantra, Yantra, dan Mantra yang Dipergunakan dalam Praktik Kehidupan Sesuai Ajaran Agama Hindu



Tantra adalah konsep pemujaan Ida Sanghyang Widhi Wasa di mana manusia kagum pada sifat-sifat kemahakuasaan-Nya, sehingga ada keinginan untuk mendapatkan sedikit kesaktian. Tantra adalah suatu kombinasi yang unik antara mantra, upacara dan pemujaan secara total. Ia adalah agama dan juga philosopy, yang berkembang baik dalam Hinduisme maupun Budhisme. Tantra adalah cabang dari Agama Hindu. Kebanyakan kitab-kitab Tantra masih dirahasiakan dari arti sebenarnya dan yang sudah diketahui masih merupakan teka-teki. Ada baiknya diantara kita mulai belajar mendiskusikan ajaran tantra berlandaskan makna ajaran tersebut yang sesungguhnya, dengan demikian kita akan dapat mengetahui dan melaksanakan dengan bentuknya yang baik dan benar.


Secara umum dapat dinyatakan bahwa yantra dan mantra adalah bentuk- bentuk ajaran tantra yang sudah dilaksanakan oleh masyarakat pengikutnya guna memuja kebesaran Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur semua yang ada ini. Namun demikian pelaksanaannya masih perlu disesuaikan dengan kemampuan dan keadaan pelaksananya, sehingga mereka dapat terhindar dari sesuatu yang tidak kita inginkan bersama.



Foto; laddu_gopal_sofa

Yantra


Di dalam pemujaan yantra adalah sarana tempat memusatkan pikiran. Yantra adalah sebuah bentuk geometrik. Bentuk yantra yang paling sederhana adalah sebuah titik (Bindu) atau segi tiga terbalik. Disamping ada bentuk yantra yang sederhana, ada juga bentuknya yang sangat rumit (simetris dan non-simetris) yang semuanya itu dapat disebut Yantra. Semua bentuk-bentuk ini didasarkan atas bentuk-bentuk matematika dan metode-metode tertentu. Yantra tersebut dipergunakan untuk melambangkan para Deva seperti Siwa, Wishnu, Ganesha, dan yang lainnya termasuk Sakti. Keadaan mantra dan yantra adalah saling terkait. Pikiran dinyatakan dalam bentuk halus sebagai satu mantra dan pikiran yang sama dinyatakan dalam bentuk gambar sebagai sebuah Yantra. Dinyatakan terdapat lebih dari sembilan ratus Yantra. Salah satu dari Yantra yang terpenting adalah Sri Yantra, atau Navayoni Chakra, melambangkan Siwa dan Sakti. Yantra itu dapat dicermati dari berbagai praktik aliran atau pengikut Sakti (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:191)
Adapun bentuk-bentuk yantra yang dapat dikemukakan dalam tulisan ini adalah;
1. Banten


Banten adalah salah satu bentuk Yantra, sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Yadnya Parakerti. Banten itu memiliki arti yang demikian dalam dan universal. Banten dalam upacara agama Hindu adalah wujudnya sangat lokal, namun di dalamnya terkandung nilai-nilai yang universal. Banten itu adalah bahasa untuk menjelaskan ajaran Agama Hindu dalam bentuk simbol. Banten menurut Lontar Yadnya Prakerti menyatakan sebagai simbol ekspresi diri manusia. Misalnya; banten caru sebagai lambang penetralisir kekuaan negatif, banten peras sebagai lambang permohonan untuk hidup sukses dengan menguatkan Tri Guna ‘Peras Ngarania Prasidha Tri Guna Sakti’ artinya hidup sukses itu dengan memproporsikan dan memposisikan dengan tepat dinamika Tri Guna (Sattwam Rajas Tamas) sampai mencapai Sakti.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

2. Susastra


Dalam tradisi Hindu, yantra umumnya digunakan untuk melakukan upakara puja dengan mengikut-sertakan bija mantra sesuai yantra tersebut. Banyaknya jenis puja dan setiap puja menggunakan yantra maka penggunaan mantra juga menjadi berbeda. Adapun bentuk-bentuk yantra dalam kesusteraan Hindu antara lain:


a. Bhu Pristha yantra; adalah yantra yang biasanya dibuat secara timbul atau dipahat pada suatu bahan tertentu. Bhu Pristha yantra biasanya hanya ditulis pada selembar kertas atau kain.
b. Meru Pristha yantra; adalah yantra yang berbentuk seperti gunung atau piramid dimana di bagian dasar penampangnya dibuat lebar atau besar semakin keatas semakin mengecil misalnya bentuk meru pada bangunan pelinggih yang ada di Bali.
c. Meru parastar yantra; adalah bentuk yantra yang dipotong sesuai garis yantra tersebut atau dipotong bagian tertentu.
d. Ruram Pristha yantra; adalah yantra dimana bagian dasarnya membentuk mandala segi empat dan diatasnya dibentuk sebuah bentuk tertelungkup atau seperti pundak kura-kura
e. Patala yantra: adalah yantra yang di bagian atas bentuknya lebih besaran dari pada bentuk bagian bawahnya yang ‘kecil’. Bentuk ini kebalikan dari meru Pristha yantra (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:192).


Setiap Yantra baik dari segi bentuk maupun goresan yang tertera pada Yantra tersebut akan mempunyai arti yang berbeda serta tujuan yang berbeda pula. Karena yantra mempunyai tujuan dan manfaat yang berbeda. Bentuk-bentuk yantra dikembangkan dan diberi sentuhan artistik modern sehingga yantra tidak lagi kelihatan seperti barang seni atau sebuah perhiasan belaka, tetapi disesuaikan dengan makna dan ciri yantra serta kebutuhan si pemakainya. Sesuai perkembangan jaman sekarang banyak sekali yantra dibentuk kecil, misalanya dalam bentuk kalung, gelang dan cincin. memang sebaiknya yantra tersebut diusahakan selalu dekat dengan si pemakainya, dengan kedekatan itu maka energi yang ada dalam yantra dan energi pemakai menjadi saling menyesuaikan. Yantra dapat diibaratkan sebagai polaritas energi positif yang secara terus menerus mempengaruhi si pemakainya sehingga dalam waktu singkat fungsi yantra yang dikenakan dapat dirasakan manfaatnya atau hasilnya.

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Siwa lingga adalah bagian dari Tantrisme. Dewasa ini hampir di semua tempat suci (Pura) seseorang dapat melihat Siwalingga yang diwujudkan dengan lingga – yoni. Menurut Siwa Purana, itu melambangkan ruang di mana alam semesta menciptakan dan melenyapkan dirinya berulang-kali. Sedangkan menurut Tantra mewujudkannya dengan phalus dan yoni sebagai perlambang dari sifat laki-laki dan wanita. Ia juga melambangkan prinsip- prinsip kreatif dari kehidupan. Siwalingga bisa bersifat Chala (bergerak) atau Achala


(tidak bergerak). Chala Lingga dapat ditempatkan di Pura atau rumah atau dapat dibuat secara sementara dari tanah liat atau adonan atau nasi. Achala Linga biasanya ditempatkan di Pura, terbuat dari batu.

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Bagian terbawah dari Siwalingga disebut Brahmabhaga yang melambangkan Brahma, bagian tengah yang berbentuk segi delapan disebut Wishnubhaga yang melambangkan Wishnu, dan bagian menonjol yang berbentuk silinder disebut Rudrabhaga, serta pemujaan kepadanya disebut Pujabhaga (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:193)


Mandala artinya “lingkaran.” Ia sesungguhnya bentuk yantra yang paling rumit. Ia berwujud dalam segala bentuk dan sifatnya sangat artisitik. Dalam agama Hindu, mandala digunakan sebagai alat bantu meditasi. Keindahan dari tempat-tempat suci (Pura) Hindu terletak dalam jumlah mandala yang dipahat di batu-batu di dinding Pura. Sebuah mandala terdiri dari satu pusat titik, garis-garis dan lingkaran-lingkaran yang diletakkan secara geometrik di sekeliling lingkaran. Pusatnya biasanya adalah sebuah titik (Bindu). Kita juga dapat melihat mandala di Wihara Buddha. Dibalik setiap mandala terdapat sejumlah besar pikiran-pikiran. Kadang-kadang melihat sebuah mandala sepertinya kita melihat melalui sebuah kaleidoskop.



Sri Chakra adalah satu dari yantra yang paling kuat dalam ajaran agama Hindu, yang biasanya digunakan oleh penganut sakti Devi ibu, dalam pemujaan-Nya. Sri Chakra adalah simbol dari Lalitha aspek dari Ibu Suci. Ia terdiri dari sebuah titik (Bindu) pada pusatnya, yang dikelilingi oleh sembilan Trikona, lima dari padanya dengan puncak menghadap ke bawah dan empat yang lain menghadap ke atas. . Interseksi


atau persinggungan dari sembilan segi tiga ini menghasilkan empat puluh tiga segi tiga secara total. Ini dikelilingi oleh lingkaran konsentris dari delapan daun bunga teratai dan juga oleh tiga lingkaran konsentris. Akhirnya pada sisi paling luar, ada sebuah segi empat (Chaturasra) yang dibuat dari tiga garis, garis yang satu ada di dalam garis yang lain, membuka ditengah-tengahnya masing-masing sisi sebagai empat gerbang.


Mandala dalam konsep Agama Hindu adalah gambaran dari alam semesta. Secara harafiah mandala berarti “lingkaran.” Mandala ini terkait dengan kosmologi India kuno yang berpusatkan Gunung Mahameru, sebuah gunung yang diyakini sebagai pusat alam semesta. Di dalam Tantrayana mandala juga menggambarkan alam kediaman para makhluk suci, yang sangat penting bagi ritual atau sadhana Tantra (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:194)

DAPATKAN CARA MENGHASILKAN PASSIVE INCOME KLIK DISINI

Saat berlangsungnya sadhana, sadhaka akan menyusun ulang mandala ini baik secara nyata ataupun visualisasi. Sesungguhnya semua orang diantara kita setiap hari telah menyusun mandalanya masing-masing. Mandala adalah melambangkan cakupan karya dan medan pemikiran seseorang. Menurut ajaran Vajrayana, mandala hendaknya disusun secara cermat. Ini menandakan bahwa dalam berkarya seseorang hendaknya cermat dan melakukan yang sebaik-baiknya.


3. Doa (Mantra)


Maharsi Manu yang disebut sebagai peletak dasar hukum yang digambarkan sebagai orang yang pertama memperoleh mantra. Beliau mengajarkan mantra itu kepada umat manusia dengan menjelaskan hubungan antara mantra dengan objeknya. Demikianlah mantra merupakan bahasa ciptaan yang pertama. Mantra-mantra digambarkan dalam bentuk yang sangat halus dari sesuatu, bersifat abadi, berbentuk formula yang tidak dapat dihancurkan yang merupakan asal dari semua bentuk yang tidak abadi. Bahasa yang pertama diajarkan oleh Manu adalah bahasa awal dari segalanya, bersifat abadi, penuh makna.


Bahasa Sansekerta diyakini sebagai bahasa yang langsung barasal dari bahasa yang pertama, sedang bahasa-bahasa lainnya dianggap perkembangan dari bahasa Sansekerta (Majumdar, 1916, p.603). Sebagai asal dari bahasa yang benar, merupakan ucapan suci yang digunakan dalam pemujaan disebut mantra. Kata mantra berarti “bentuk pikiran”. Seseorang yang mampu memahami makna yang terkandung di dalam mantra dapat merealisasikan apa yang digambarkan di dalam mantra itu (Danielou, 1964, 334).


Bentuk abstrak yang dimanifestasikan itu berasal dan diidentikkan dengan para deva (devata). Mantra merupakan sifat alami dari deva-deva dan tidak dapat dipisahkan (keduanya) itu. Kekuasaan para Deva merupakan satu kesatuan dengan nama-Nya. Aksara suci dan mantra, yang menjadi kendaraan gaib para deva dapat menghubungkan penyembah dengan devata yang dipuja. Dengan mantra yang memadai mahluk-mahluk halus dapat dimohon kehadirannya. Mantra, oleh karenanya merupakan kunci yang penting dalam aktivitas ritual dari semua agama dan juga digunakan dalam aktivitas bentuk-bentuk kekuatan gaib.

PERTANYAAN YG SERING DITANYAKAN SEPUTAR COVID 19

Pustaka Yamala Tantra menjelaskan sebagai berikut; “sesungguhnya, tubuh devata muncul dari mantra atau bijamantra”. Masing-masing devata digambarkan dengan sebuah mantra yang jelas, dan melalui bunyi-bunyi yang misterius. Arca dapat disucikan dengan mantra dan arca tersebut menjadi ‘hidup’. Demikianlah kekuatan sebuah mantra yang menghadirkan devata dan masuk ke dalam arca, sebagai jembatan penghubung dunia yang berbeda, dimana, mantra-mantra sebagai instrumen, sehingga dapat dicapai sesuatu di luar kemampuan logika manusia (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:195)


“Sebuah mantra; dinamakan demikian karena membimbing pikiran (manana) dan hal itu merupakan pengetahuan tentang alam semesta dan perlindungan (trana) dari perpindahan jiwa, dapat dicapai” (Pingala Tantra) “Disebut sebagai sebuah mantra karena pikiran terlindungi” (Mantra Maharnava, dikutip oleh Devaraja Vidya Vacaspati) Sumber: http://ngarayana.web.ugm.ac.id/2010/10/ tantra/.


Persepsi yang pertama tentang sebuah mantra selalu ditandai sebagai hubungan langsung antara umat manusia dengan deva. Mantra, diperoleh pertama kali oleh seorang rsi. “karenanya seorang rsi adalah yang pertama merapalkan mantra” (Sarvanukramani). Selanjutnya, mantra ditegaskan dengan karakter matrik (irama) dihubungkan dengan karakter garis-garis lurus berkaitan denga yantra; kenyataannya ini merujuk kepada sesuatu yang dimiliki oleh mantra. Mantra menggambarkan devata tertentu yang dipuja dan dipuji; “mantra itu membicarakan devata” (Sarvanukramani). Selanjutnya pula, seseorang melakukan tindakan dan untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan mantra itu.


Unsur-unsur bunyi digunakan dalam semua bahasa untuk membentuk “ucapan suku kata” atau varna-varna yang dibatasi oleh kemampuan alat-alat wicara manusia kecerdasan membedakannya melalui pendengaran. Unsur-unsur ini adalah umum dalam setiap bahasa, walaupun umumnya bahasa-bahasa itu adalah sebuah bagian dari padanya. Unsur-unsur bunyi dari bahasa sifatnya sungguh-sungguh permanen, bebas dari evolusi atau perkembangan bahasa, dan dapat diucapkan sebagai sesuatu yang tidak terbatas dan abadi.


Kitab- kitab Tantra melengkapi hal itu sebagai eksistensi yang bebas dan digambarkan sebagai yang hidup, kekuatan kesadaran bunyi, disamakan dengan deva-deva. Kekuatan dasar dari bunyi (mantra) berhubugan dengan semua lingkungan dari manifestasinya. Setiap bentuk dijangkau oleh pikiran dan indria yang seimbang dengan pola-pola bunyi, sebagai sebuah nama yang alami. Dasar mantra satu suku kata disebuat sebagai bijamantra atau vijamantra (benih atau bentuk dasar dari pikiran) Danielou, 1964: 335.


Mantra disusun dengan menggunakan aksara-aksara tertentu, diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk bunyi, sedang huruf-huruf itu sebagai perlambang-perlambang dari bunyi tersebut. Untuk menghasilkan pengaruh yang dikehendaki, mantra harus disuarakan dengan cara yang tepat, sesuai dengan “svara” atau ritme, dan varna atau bunyi. Mantra mempunyai getaran atau suara tersendiri, karena itu apabila diterjemahkan ke alam bahasa lain, mantra itu tidak memiliki warna yang sama, sehingga terjemahannya itu hanya sekedar kalimat (Avalon, 1997: 85) (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:196)


Mantra itu mungkin jelas dan mungkin pula tidak jelas artinya. Vijra (vijaksara) mantra seperti misalnya Aim, Klim, Hrim, tidak mempunyai arti dalam bahasa sehari-hari. Tetapi mereka yang sudah menerima inisiasi mantra mengetahui bahwa artinya itu terkandung dalam perwujudnnya itu sendiri (svarupa) yang adalah perwujudan devata yang sedemikian itulah mantra-Nya, dan bahwa vija mantra itu adalah dhvani yang menjadikan semua aksara memiliki bunyi dan selalu hadir di dalam apa yang diucapkan dan yang didengar, karena itu setiap mantra merupakan perwujudan (rupa) dari Brahman.




Dari manana atau berpikir didapatkan pengertian terhadap kesejatian yang bersifat Esa, bahwa substansi Brahman dan Brahmanda itu satu dari man yang sama, dan mantra datang dari suku pertama manana, sedangkan tra berawal dari trana, atau pembebasan dari ikatan samsara atau dunia fenomena ini. Dari kombinasi man dan tra itulah disebut mantra yang dapat memanggil datang (matrana) catur varga atau empat tujuan dari mahluk-mahluk luhur.


Mantra adalah daya kekuatan yang mendorong, ucapan berkekuatan (yang buah dari padanya disebut mantra-siddhi) dan karena itu sangat efektif untuk menghasilkan catur varga, persepsi kesejatian tunggal, dan mukti. Karena itu dikatakan bahwa siddhi merupakan hasil yang pasti dari Japa. Dengan mantra devata itu dicapai (Sadhya). Dengan siddhi yang terkandung di dalam mantra itu terbukalah visi tri bhuvana. Tujuan dari suatu puja (pemujaan), patha (pembacaan), stava (himne), homa (pengorbanan), dhyana (kontemplasi) dan dharana (konsentrasi) serta Samadhi adalah sama. Namun yang terakhir yaitu diksa mantra, sadhana sakti bekerja bersama-sama dengan mantra.


Sakti yang memiliki daya revelasi dan api dengan demikian lalu memiliki kekuatan yang luar biasa. Mantra khusus yang diterima ketika diinisiasi (diksa) adalah vija mantra, yang ditabur di dalam tanah nurani seorang sadhaka. Terkait dengan ajaran tantra seperti sandhya, nyasa, puja dan sebagainya merupakan pohon dari cabang-cabang, daun-daunnya ialah stuti, vandana bunganya, sedangkan kavaca terdiri atas mantra adalah buahnya (Avalon, 1997: 86).


Nitya Tantra menyebutkan berbagai nama terhadap mantra menurut jumlah suku katanya. Mantra yang terdiri dari satu suku kata disebut Pinda, tiga suku kata disebut Kartari. Mantra yang terdiri dari empat sampai sembilan suku kata disebut Vija mantra. Sepuluh sampai dua puluh disebut mantra, dan mantra yang terdiri lebih dari 20 suku kata disebut Mala. Tetapi biasanya istilah Vija diberikan kepada mantra yang bersuku kata tunggal. Mantra-mantra Tantrika disebut Vija mantra, disebut demikian karena mantra-mantra itu merupakan inti dari sidhhi, dan mantra-mantra Tantrika itu adalah saripatinya mantra. Mantra-mantra Tantrika pada umumnya pendek, tidak dapat dikupas lagi secara etimologi, seperti misalnya Hrim, Srm, Krim, Hum, Am, Phat dan sebagainya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:197)


Setiap devata memiliki vija. Mantra primer satu devata disebut mula mantra. Kata mula berarti jasad sangat halus dari devata yang disebut Kamakala. Mengucapkan mantra dengan tidak mengetahui artinya atau mengucapkan tanpa metode tidak lebih dari sekedar gerakan-gerakan bibir. Matra itu tidur. Beberapa proses harus dilakukan sebelum mantra itu diucapkan secara benar, dan proses-proses itu kembali menggunakan mantra-mantra, seperti usaha penyucian mulut ‘mukhasodhana’, penyucian lidah ‘jihvasodhana’, dan penyucian terhadap mantra-mantra itu sendiri ‘asaucabhanga’, kulluka, nirvana, setu, nidrabhanga ‘menbangunkan mantra’, mantra chaitanya atau memberi daya hidup kepada mantra dan mantrarthabhavana, yaitu membentuk bayangan mental terhadap devata yang menyatu di dalam mantra itu.


Terdapat 10 samskara terhadap mantra itu. Mantra tentang devata adalah devata itu sendiri. Getaran-getaran ritmis dari bunyi yang dikandung oleh mantra itu bukan sekedar bertujuan mengatur getaran yang tidak teratur dari kosa-kosa seorang pemuja, tetapi lebih jauh lagi dari irama mantra itu muncul perwujudan devata, demikianlah kesejatiannya. Mantra sisshi ialah kemampuan untuk mebuat mantra itu menjadi efektif dan mengasilkan buah, dalam hal itu mantra itu disebut siddha (Avalon. 1997: 87). Berikut ini adalah beberapa mantra yang dikutip dari buku Doa sehari-hari menurut Hindu, dapat dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh umat sedharma, sebagai berikut:


Doa, bangun pagi:


Om jagrasca prabhata kalasca ya namah swaha.


Terjemahan:


Oh Hyang Widhi, hamba memuja-Mu, bahwa hamba telah bangun pagi dalam keadaan selamat.


Doa, membersihkan diri (mandi) :


Om gangga amrtha sarira sudhamam swaha, Om sarira parisudhamam swaha.


Terjemahan:



Ya Tuhan, Engkau adalah sumber kehidupan abadi nan suci, semoga badan hamba menjadi bersih dan suci.


Doa, di waktu akan menikmati makanan:


Om Ang Kang kasolkaya ica na ya namah swaha, swasti swasti sarwa Deva bhuta pradhana purusa sang yoga ya namah (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:198)


Terjemahan:


Oh Hyang Widhi yang bergelar Icana (bergerak cepat) para Deva bhutam, dan unsur Pradhana Purusa, para Yogi, semoga senang berkumpul menikmati makanan ini.


Doa, memohon bimbingan:


Om asato ma sadyamaya tamaso ma jyoti gamaya mrtyor ma amrtam gamaya, Om agne brahma grbhniswa dharrunama syanta riksam drdvamha, brahmawanitwa ksatrawani sajata, wahyu dadhami bhratrwyasya wadhyaya.


Terjemahan:


Tuhan yang maha suci, bimbinglah hamba dari yang tidak benar menuju yang benar, bimbinglah hamba dari kegelapan menuju cahaya pengetahuan yang terang, lepaskanlah hamba dari kematian menuju kehidupan yang abadi, Tuhan yang Maha Suci, terimalah pujian yang hamba persembahkan melalui Veda mantra dan kembangkanlah dan kembangkanlah pengetahuan rohani hamba agar hamba dapat menghancurkan musuh yang ada pada diri hamba (nafsu). Hamba menyadari bahwa engkaulah yang berada dalam setiap insani (Jiwatman), menolong orang terpelajar, pemimpin negara dan para pejabat. Hamba menuju Engkau semoga melimpahkan anugerah kekuatan kepada hamba (Ngurah, IGM. dan Wardhana, IB. Rai. 2003 : 7 – 17).


Demikian dapat diuraikan beberapa bentuk-bentuk Yantra, Tantra dan Mantra yang dipergunakan dalam praktik kehidupan berdasarkan ajaran Agama Hindu dalam tulisan ini. Menjadi kewajiban umat sedharma untuk mempraktikannya, sehingga apa yang menjadi tujuan bersama dapat diwujudkan dengan baik (damai) (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015:199)
Renungan RV.VI.47.11
“Tràtàram indram avitàram handraýhavehave suhavaý úuram indram, hvayāmi úakram puruhūtam indraý svasti no maghavā dhātvindrah".


Terjemahan:


"Tuhan sebagai penolong, Tuhan sebagai penyelamat, Tuhan yang maha kuasa, yang dipuja dengan gembira dalam setiap pemujaan, Tuhan, maha kuasa, selalu dipuja, kami memohon, semoga Tuhan, yang maha pemurah, melimpahkan rahmat kepada kami".


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/09/bentuk-bentuk-tantra-yantra-dan-mantra.html


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

Pengertian, Rangkaian dan Makna Pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan dan Kuningan



Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.





Hari raya Galungan merupakan hari suci agama hindu berdasarkan pawukon, deperingati setiap 210 hari (6 bulan) sekali yaitu pada hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan. Hari raya Galungan juga disebut hari Pawedalan Jagat mengandung makna untuk pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa karena telah diciptakan dunia dengan segala isinya. Selain itu juga Galungan merupakan hari kemenangan dharma melawan adharma. Hari raya Galungan diperkirakan sudah ada di Indonesia sudah sejak abad XI. Hal ini didasasarkan antara lain :


Kidung panji malat rasmi dan pararaton kerajaan Majapahit. Perayaan semacam ini di India dinamakan hari raya Sradha Wijaya Dasami.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Di Bali sebelum pemerintahan raja Sri Jaya Kasunu, perayaan galungan pernah tidak dilaksanakan, oleh karena itu raja-raja pada jaman itu kurang memperhatikan upacara keagamaan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kehidupan rakyat sangat menderita dan umur raja-raja sangat pendek-pendek. Kemudian setelah Sri Haji Jaya Kusunu baik tahta dan juga setelah mendapatkan pawarah-warah dari Bhatari Durga atas permohonannya, maka Galungan kembali dirayakan dengan suatu ketetapan tidak ada Galungan Buwung atau tidak ada galungan batal.


Rangkaian Upacara Hari Raya Galunagan


1# Tumpek Wariga


Yaitu 25 hari sebelum Galungan yang jatuh pada hari sabtu kliwon Wuku Wariga. Tumpek wariga ini juga disebut dengan nama Tumpek Pengatag, pengarah, Bubuh, dan uduh, yang intinya mohon keselamatan pada semua jenis-jenis tumbuh-tumbuhan agar dapat hidup dengan sempurna dan dapat memberikan hasil bekal merayakan Galungan.


2# Hari Sugihan Jawa



Sugihan Jawa dilaksanakan setiap dua ratus sepuluh hari pada hari Kamis Wage wuku Sungsang yaitu 6 hari sebelum hari raya Galungan. Perayaan ini bermakna memohon kesucian terhadap bhuana agung(alam semesta). Kata Sugihan berasal dari urat kata Sugi yang artinya membersihkan dan Jaba artinya luar, jadi Hari Sugihan Jawa tersebut bukanlah hari Sugihan bagi para pengungsi leluhur-leluhur dari jawa pasca bubarnya Majapahit. Maksud sebenarnya adalah pembersihan Bhuana Agung - sekala-niskala. Dalam lontar Sundarigama dijelaskan: bahwa Sugihan Jawa merupakan "Pasucian dewa kalinggania pamrastista bhatara kabeh" (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini dengan membersihkan alam lingkungan, baik pura, tempat tinggal, dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Dan yang terpenting adalah membersihkan badan phisik dari debu kotoran dunia Maya, agar layak dihuni oleh Sang Jiwa Suci sebagai Brahma Pura.


3# Hari Sugihan Bali


Sugihan Bali dilaksanakan setiap 6 bulan skali pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang, yaitu 5 hari sebelum perayaan Galungan. Perayaan ini bertujuan untuk memohon kesucian terhadap diri pribadi (bhuana Alit), sesuai dengan lontar Sundarigama: "Kalinggania amrestista raga tawulan" (oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-masing /mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan /penglukatan. Manusia tidak saja terdiri dari badan phisik tetapi juga badan rohani (Suksma Sarira dan Antahkarana Sarira). Persiapan phisik dan rohani adalah modal awal yang harus diperkuat sehingga sistem kekebalan tubuh ini menjadi maksimal untuk menghadapi musuh yang akan menggoda pertapaan kita.


4# Hari Penyeban


Penyekeban jatuh pada hari minggu/radite Paing Wuku Dunggulan yaitu 3 hari sebelum Galungan. Hari ini merupakan awal Wuku Dungulan yang bermakna patutu waspada, karena para bhuta kala (Sang Tiga Wisesa) mulai turun menggoda kemampuan dan keyakinan manusia dalam wujud bhuta Galungan. Dalam lontar sundarigama di sebutkan “anyengkuyung Jnana Sudha Nirmala” agar terhindar dari godaan-godaannya. Melihat pesan Panyekeban ini mewajibkan umat Hindu untuk mulai melaksanakan Brata atau Upavasa sehingga pemenuhan akan kebutuhan semua Indriya tidak jatuh kedalam kubangan dosa; pikirkan yang baik dan benar, berbicara kebenaran, berprilaku bijak dan bajik, mendengar kebenaran, menikmati makanan yang sattvika, dan yang lain, agar tetap memiliki kekuatan untuk menghalau godaan Sang Mara. Jadi tidak hanya nyekeb pisang (biu) atau tape untuk bebantenan saja.


5# Hari Penyajaan Galungan


Hari penyajaan Galungan jatuh pada hari Senin Pon Wuku Dungulan, 2 hari sebelum hari raya Galunga. Hari ini dipergunakan sebagai hari persiapan membuat jajan. Juga dimaksudkan sebagai hari-hari yang patut diwaspadai terhadap godaan sangkala Tiga Wisesa dalam wujud Bhuta Dungulan. Hari penyajaan bermakna sebagai hari kesungguhan hati untuk menyambut dan merayakan Galungan. Pada hari ini umat mengadakan Tapa Brata Yoga Samadhi dengan pemujaan kepada Ista Dewata. Penyajaan dalam lontar Sundarigama disebutkan : "Pangastawaning Sang Ngamong Yoga Samadhi" upacara ini dilaksanakan pada hari Senin Pon Dungulan. Dengan Wiweka dan Winaya, manusia Hindu diajak untuk dapat memilah kemudian memilih yang mana benar dan salah. Bukan semata-mata membuat kue untuk upacara.


6# Hari Penampahan Galungan


Penampahan Galungan jatuh pada hari Selasa Wage Wuku Dungulan yaitu sehari sebelum prayaan Galungan. Pada hari ini dilaksanakan untuk memotong hewan, membuat sate dan lawar untuk perlengkapan sesajen. Pada hari ini juga patut diwaspadai, karena merupakan hari terakhir bagi Sang Kala Tiga dalam wujud sebagai Amangkurat untuk menggangu manusia. Hindarkan diri dari pertengkaran agar terhindar dari godaannya. Bagi ibu-ibu dan remaja putri saat ini dipergunakan untuk mengatur sesajen yang akan dipersembahkan besoknya, sedangkan pada sore hari setelah selesai memasak diselenggarakan upacara Mabyakala yakni untuk memangkas dan mengeliminir sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri, bukan semata-mata membunuh hewan korban, karena musuh sebenarnya ada di dalam diri (Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira, dll), dan bukan di luar diri kita termasuk sifat- sifat hewani tersebut.


Ini sesuai dengan lontar Sundarigama yaitu ; "Pamyakala kala malaradan". Inilah puncak dari Brata dan Upavasa umat Hindu, bertempur melawan semua bentuk Ahamkara - kegelapan yang bercokol dalam diri. Hari Penampahan Galungan inilah yang pada dewasa ini paling kehilangan makna spiritualnya yang paling penting. Konsentrasi kebanyakan keluarga membuat makanan yang enak-enak. Padahal ada upakara penting di Madya Mandala untuk Memohon Tirta dari Luhuring Akasa dalam rangka me-nyomia Buta Kala di Bhana Agung dan Alit yang sering terlewatkan. Selama ini justru sebagain besar dari kita malah berpesta pora makan, lupa terhadap jati diri, menikmati makanan, mabuk. Sehingga bukan Nyomya Bhuta Kala- Nyupat Angga Sarira, malah kita akhirnya menjelma jadi Bhuta itu sendiri. Dan setelah itu dan lanjut para bapak-bapak atau pemudannya mulai memasang penjor.




7# Hari Raya Galungan


Galungan jatuh pada hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan, merupakan puncak upacara peringatan kemenangan dharma melawan adharma sebagai hari Pawedalan Jagad dengan mempersembahkan upacara sesajen pada setiap tempat-tempat suci dilanjutkan dengan tempat sembahyang, dan merupakan titik balik agar manusia senantiasa mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan dharma dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai anandam atau jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang berwiweka.


8# Manis Galungan


Setelah merayakan kemenangan , manusia merasakan nikmatnya (manisnya) kemenangan dengan mengunjungi sanak saudara mesima krama dengan penuh keceriaan, berbagi suka cita, mengabarkan ajaran kebenaran betapa nikmatnya bisa meneguk kemenangan. Jadi pada hari ini umat Hindu wajib mewartakan-menyampaikan pesan dharma kepada semua manusia inilah misi umat Hindu Dharma. Cara menyampaikan ajaran kebenaran adalah dengan Satyam Vada yaitu mengatakan dengan kesungguhan dan kejujuran.


9# Hari Pemaridan Guru


Pemaridan Guru jatuh pada hari Sabtu Pon Wuku Dungulan, hari terakhir Wuku Dungulan. Pada hari ini dipergunakan sebagai hari penyucian diri dan dilanjutkan dengan memohon keselamatan ditandi dengan memakan sisa yajna berupa tumpeng guru secara bersama-sama sekeluarga. Maknanya pada hari ini dilambangkan dengan kembalinya Dewata-dewati, pitara-pitari, para leluhur ke tempat payogannya masing-masing dan meninggalkan anugrah berupa kadirgayusan yaitu ; hidup sehat umur panjang, dan hari ini umat menikmati waranugraha dari dewata. Di beberapa daerah dibali biasanya dilakukan dengan sarana banten "tegen-tegenan" yang berisi hasil bumi berupa padi, buah-buahan dan aneka rupa jajanan yang tujuannya diperuntukkan untuk memberikan bekal kepada para leluhur yang akan mantuk kembali ke sunya loka.


Pengertian Kuningan


Hari Kuningan merupakan hari suci agama Hindu yang dirayakan setip 6 bulan sekali atau 210 hari sekali, yaitu setiap hari Sabtu Kliwon Wuku Kuningan, 10 hari setel;ah hari raya Galungan, dan Hari Kuningan merupakan hari resepsi bagi hari Galungan sebagai kemenangan dharma melawan adharma yang pemujaannya ditunjukan pada para dewa agar turun melaksanakan penycian serta mukti atau menikmati sesajen-sesajen yang dipersembahkan. Penyelenggaraan upacara kuningan disyaratkan supaya dilaksanakan semasih pagi dan tidak dibenarkan setelah matahari condong kebarat. Semua upacara sebagai simbul kesemarakan, kemeriahan, terdiri dari berbagai macam jejahitan yang mempunyai simbolis sebagai alat-alat perang yang diperadegkan seperti tamiyang kolem, ter, endogan, wayang-wayang, dan lain sejenisnya. Tujuan pelaksanaan upacara Kuningan ini adalah untuk memohon kemerosotan, kedirgahyun serta perlindungan dan tuntunan lahir batin.



RELATED:
Pengertian dan Makna Simbol Atribut Dewi Saraswati
Pengertian dan Makna Pelaksanaan Hari Raya Nyepi Bagi Umat Hindu
Makna Filosofis Hari Suci Siwaratri dalam Ajaran Agama Hindu
Makna Hari Suci Galungan


Penjelasan Hari Raya Galungan tersurat dalam Lontar Sunarigama, di mana hari raya ini dirayakan setiap Budha Kliwon Dungulan sesuai penanggalan kalender Bali. Kata Galungan dalam bahasa Jawa bersinonim dengan kata ‘Dungulan’ yang artinya menang atau unggul yang maknanya adalah mendapatkan kemenangan yang benar dalam hidup ini merupakan sesuatu yang seharusnya kita perjuangkan. Pada hakekatnya Galungan adalah perayaan bagi kemenangan “Dharma” (kebenaran) melawan “Adharma”(Kebatilan). Selain itu, Galungan pada hakikatnya untuk mensinergikan kekuatan suci yang ada dalam diri setiap manusia untuk membangun jiwa yang terang untuk menghapuskan kekuatan gelap (adharma) dalam diri.


Tuhan sebagai pencipta dipuji dan di puja, termasuk leluhur dan nenek moyang keluarga diundang turun ke dunia untuk sementara kembali berada di tengah–tengah anggota keluarga yang masih hidup. Sesajen menyambut kedatangan leluhur itu disajikan pada di sebuah Merajan/sanggah keluarga. Penjor selamat datang dibuat dari bambu melengkung, dihiasi janur dan bunga dan diisi sanggah di bagian bawahnya serta hiasan lamak di pancang di depan pintu masuk rumah masing-masing.



Sebelum puncak perayaan Galungan ada rangkaian yang disebut sugian, embang sugian, penyajaan, dan penampahan. Sugian terdiri dari tiga kali, yaitu Budha Pon wuku Sungsang yang sering disebut Sugian Tenten. Sugian itu penyucian awal. Tenten artinya sadar atau kesadaran. Galungan hendaknya dirayakan dengan kesadaran rohani. Mengikuti tradisi hendaknya dengan kesadaran, orang yang sadar adalah orang yang bisa membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang patut dan mana yang tidak patut. Wrehaspati Wage wuku Sungsang adalah Sugian Jawa, maknanya perayaan ini untuk menyucikan bhuwana agung/alam semesta.



Bhuana agung menyucikan alam lingkungan hidup kita ini. Sedangkan Sugian Bali pada Sukra Kliwon Sungsang yang bermakna sebagai media untuk menyucikan diri pribadi. Embang Sugian pada Redite Paing Wuku Dungulan yaitu untuk mengheningkan kesadaran diri sampai suci (nirmala). Esoknya pada hari penyajahan dinyatakan untuk memohon air suci sebagai permohonan restu pada Tuhan. Pada Anggara Wage wuku Dungulan disebut penampahan yang maknanya dalam hal ini adalah ”menyembelih” sifat-sifat kebinatangan yang bersembunyi dalam diri kita, seperti sifat Rajah dan Tamah. Setelah dilakukan tahapan-tahapan tersebut barulah mencapai puncak Hari Raya Galungan. Perayaan ini biasanya diakukan persembahyangan di pagi hari dan setelah itu semua orang keluar ke jalan dengan berpakaian baru yang indah, mengunjungi sanak saudara dan handai tolan, sambil menikmati kebesaran hari raya tersebut dan bersyukur atas segala berkah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan yang Maha Esa.


Makna Hari Suci Kuningan


Hari Raya Kuningan diperingati setiap 210 hari atau 6 bulan sekali dalam kalender Bali tepatnya pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan. (1 bulan dalam kalender Bali = 35 hari). Di hari Raya Kuningan yang suci ini diceritakan Ida Sang Hyang Widi turun ke dunia untuk memberikan berkah kesejahteraan buat seluruh umat di dunia. Masyarakat Hindu di Bali yakini, pelaksanaan upacara pada hari raya Kuningan sebaiknya dilakukan sebelum tengah hari, sebelum waktu para Dewa, Bhatara, dan Pitara kembali ke sorga.


Hari raya Kuningan adalah rangkaian upacara Galungan, 10 hari sebelum Kuningan. Ada beberapa perlengkapan Hari Kuningan yang khas yaitu: Endongan sebagai simbol persembahan kepada Hyang Widhi. Tamyang sebagai simbol penolak malabahaya. Kolem sebagai simbol tempat peristirahatan hyang Widhi, para Dewa dan leluhur kita.



Pada hari Raya ini dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terima kasih kita sebagai umat manusia atas anugrah yang telah diberikan Hyang Widhi, sesajen itu berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Tamyang ini mengingatkan manusia pada hukum alam, bila alam lingkungan kita jaga dan pelihara itu semua akan mendatangkan anugerah dan kemakmuran, namun sebaliknya bila alam dirusak akan menimbulkan bencana dan petaka buat kita dan umat manusia. Sedangkan endongan bermakna perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti Oleh karena itu melalui perayaan Hari Kuningan ini umat Hindu khususnya di bali, diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan tujuan yang telah di gariskan oleh Hyang Widhi.



Seluruh umat Hindu yang ada di Bali melakukan upacara adat Hari Raya Kuningan ini tidak di wajibkan melaksanakannya di pura, apa lagi bila jarak pura terlalu jauh dari tempat tinggal. Pelaksanaan upacara ini bisa dilakukan juga dirumah mengingat waktu nya yang terlalu singkat, kebiasaaan ini menjadi salah satu adat yang terus dilestarikan hingga saat ini, Pada hari Rabu, Kliwon, wuku Pahang, disebut dengan hari Pegat Wakan yang merupakan hari terakhir dari semua rangkaian Hari Raya Galungan-Kuningan. Sesajen yang dihaturkan pada hari ini yaitu sesayut Dirgayusa, panyeneng, tatebus kehadapan Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta bumi dan alam seisinya. Dengan demikian berakhirlah semua rangkaian hari raya Galungan-Kuningan selama 42 hari. Jadi inti dan makna dari Hari Raya Kuningan itu sendiri adalah memohon keselamatan, kemakmuran,kesejahteraan, perlindungan juga tuntunan lahir-bathin kepada para Dewa, Bhatara, dan para Pitara agar semua yang diinginkan bisa terkabul dan terlaksana seijin Hyang Widhi.

Minggu, 14 Mei 2023

Arak dan Brem, Miras (Alkohol) yang Juga Bahan Upakara di Bali




Ceramah agama dari para sulinggih/pendeta dan dari buku-buku agama mengatakan bahwa arak dan berem (minuman beralkohol) adalah “minuman Bhuta Kala”, yang dapat meimbulakan kemabukan, dan bukankah mabuk merupakan salah satu dari sad ripu yg harus kita kendalikan?

Harus dipahami dulu apa itu Butha Kala,
Bhuta Kala berasal dari kata Bhuta yang artinya Kekuatan (Power), unsur-unsur alam kita ini. Bhuta dibangun oleh lima elemen yang disebut Panca Maha Bhuta, yaitu;

Pertiwi, yang merupakan unsur padat/tanah
Apah, merupakan unsur cair/air
Teja, merupakan unsur cahaya/api
Bayu, merupakan unsur angin/udara
Akasa adalah Ruang/eterLima unsur itulah yang membangun alam ini seperti planet-planet yang bertebaran di kolong langit ini. Planet-planet yang paling dekat dengan kita adalah bumi, bulan dan matahari. Perputaran planet-planet itu menimbulkan waktu dan musim. Waktu dalam bahasa Sanskerta adalah Kala.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

"Bhuta Kala adalah Ruang dan Waktu"

Manusia hidup dalam suatu ruang dan waktu tertentu. Tidak ada manusia hidup tidak berada pada ruang dan waktu tertentu itu. Ruang dan wakru itu dapat menjadi sahabat manusia dapat pula menjadi musuh yang menyusahkan manusia. Dalam persahabatan ini manusialah yang semestinya aktif menjalin persahabatan dengan ruang dan waktu itu. Untuk itu manusia hendaknya memahami peredaran ruang dan waktu itu dan segala potensi yang dikandung dalam peredaran tersebut. Bila kekuatan yang tidak pada tempatnya atau dengan kata lain Butha (Power) ini hadir pada Kala (waktu) yang tidak tepat maka timbul musibah : Tanah lonsor, Tsunami, Kebakaran besar, dll

Bhuta Kala yang digambarkan itu tidak lain dari pada sifat-sifat alam kita ini. Manusia hidup bersama alam bahkan jasmani manusia juga disebut alam kecil atau Bhuwana Alit. Sifat alam kadang-kadang sebagai sahabat manusia kadang-kadang sebagai musuh manusia. Bhuta Kala umumnya dibayangkan sebagai suatu makhluk ajaib yang berwajah serem menakutkan. Mulutnya lebar, bertaring panjang, mata merah mendelik, rambut tergerai tanpa aturan, perut gendut dengan sikap garang. Penggambaran Bhuta Kala itu sangatlah wajar sebagai imajinasi para seniman dan rohaniawan. Karena kalau manusia. tidak harmonis dengan Bhuta Kala perasaan ngeri seperti melihat Bhuta Kala yang digambarkan di atas.

Agar alam itu selalu dapat bersahabat dengan manusia, yang harus aktif membangun persahabatan itu adalah manusia itu sendiri. Persahabatan dengan alam itu dapat dilakukan dengan cara sekala atau nyata dan dengan cara niskala atau dengan cara kerokhanian. Upacara mecaru adalah membangun persahabatan dengan alam dengan cara niskala. Cara niskala ini harus seimbang dengan cara sekala. Dengan demikian Bhuta Kala itu akan selalu menjadi sahabat membantu kehidupan manusia. Dengan caru itu berarti kita dapat memanfaatkan secara positif ruang dan waktu atau Bhuta Kala, sehingga Bhuta Kala tidak lagi mengerikan.


Dalam bahasa sehari-hari di kalangan umat Hindu terutama di Bali ada istilah “mecaru untuk nyomia Bhuta Kala”. Upacara nyomia Bhuta Kala artinya mengubah sifat ganas Bhuta Kala menjadi bersifat lembut membantu manusia untuk mengembangkan perbuatan baik.
BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bali, Fengshui Membangun Bangunan di Bali
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Jadi, untuk menjaga keseimbangan dari Butha (Power) ini maka diadakanlah upacara Butha Yadnya (korban suci yang tulus ikhlas) yang ditujukan pada kekuatan (Power) di bawah manusia baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Salah satu bentuknya dengan menghaturkan Segehan/Caru yang selalu dikaitkan dengan Arak dan Berem.

Semuanya menggunakan Arak/Berem (minuman keras) sebagai tetadahan (minuman) dari mereka, Arak/Berem ini tergolong minuman yang bersifat Tamasika. Bila diminum bisa menyebabkan kelembaman, inactivity.

Metoda untuk menghaturkannya adalah dengan menyiratkan/menuangkan secara simbolis, ini juga sangat bergantung kepada tradisi di daerah masing-masing.

Namun perlu diingat bahwa kita sebagai manusia (keturunan Manu=Manusia pertama) menggunakan “viveka jnana” (kemampuan untuk memilih dan mempertimbangkan) untuk memilih makanan. Secara umum makanan itu bisa dikatagorikan menjadi tiga:

Satwika : Bila dimakan memberikan ketenangan dan kekuatan
Rajasika : Bila dimakan membuat agresif dan aktif
Tamasika : Bila dimakan membuat lembam/malas.Minum Arak Berem (Tamasika) akan membuat malas/lembam, yang sangat tidak diinginkan dalam masyarakat, oleh karena itu maka kita menjauhi minum ini. Namun untuk pengobatan, nah itu tidak masalah sesuai dengan anjuran dokter.

"apapun yang digunakan/dilakukan/dimakan, apabila berlebihan sangatlah tidak baik"
jangankan arak berem, nasi-pun bila dimakan berlebihan akan berakibat buruk...

Sumber : cakepane.blogspot.com



SUNARI

  


Sunari di buat sebatang bambu
(bambu uri ) dan pada bambu tersebut di buatkan lubang- lubang yg berbentuk melengkung atau tegak lurus, sebagai simbul suci " ARDHA CANDRA ," kemudian memiliki lobang berbentuk lingkaran sebagai simbul suci " WINDHU," dan memiliki lobang berbentuk segitiga, sebagai simbul suci " NADHA", sehingga makna dari sunari secara utuh adalah sebagai simbul suci aksara " ONGKARA", sunari di gunakan bila ada pelaksanaan upacara Dewa yadnya dalam ukuran utama seperti KARYA NGENTEG LINGGIH di pemerajan, atau di pura-pura.


sunari ini biasanya dipasangkan pada utamaning mandhala di bagian arah timur laut, dan bila sunari itu di tiup angin maka akan keluar bunyi menyerupai lagu-lagu kesucian.
oleh karena itu sunari juga merupakan simbul-simbul suci dari sloka-sloka atau syair-syair
dari weda dan juga mantram, termasuk SAHA SANG PEMANGKU , KEKIDUNGAN, KEKAWIN yang di sampaikan oleh umat, sebagai kekuatan RELIGIOMAGIS untuk menarik kekuatan SANG HYANG WIDI beserta manifestasinya
maka dari itu sunari ini patut di lestarikan dgn menjaga kesakralannya.
sesungguhnya dengan adanya sunari ini , merupakan penjabaran dari ajaran ITIHASA RAMAYANA, yg intinya pada saat sang ANOMAN naik di pohon Trijata sambil bersenandung dgn tujuan, agar DEWI SITHA cepat keluar dari gedong batu agar sang Anoman dapat menunjukan sebuah cincin emas bermatakan mirah sebagai bukti bahwa dia adalah merupakan utusan dari SRI RAMA , serta dpt memberikan informasi kehadapan Dewi sitha bahwa sri rama masih di hutan dalam keadaan selamat , dan beliau akan siap menjemput -
( kekawin ramayana ).

Pisang jati

 



Sangku mekamen meudeng, serobong bagian bungax di udeng belakangx rambut (daun lontar dibentuk seperti gigi diiketin 10 benang item ujungx diiket pis bolong),
beras sejumput 5 pis bolong
Matah2 (tamas, beras, base tampel, pangi, tingkih, pesel gantusan, sampyan sodan, payasan),
4 celemik berisi beras merah n benang merah, beras n benang kuning, ketan n benang putih, injin n benang item
Peras tulung sayut, peras sodan n tipat nasi akelan, daksina, panak/bibit pisang

Men Tiwas Teken Men Sugih

 


Ada katuturan satua Men Tiwas teken Men Sugih. Men Tiwas buka adane Ia mula tiwas pisan. Gegaene tuah ngalih saang kaalase. Kerana Ia tuah megae ngalih saang, apa tuara gelahanga. Kadirasa baas lakar jakan jani Ia tuara ngelah.

Yadin Ia tiwas buka keto nanging solahne melah, demen ia matetulung, jemet maturan, lan setata mabikas sane beneh. Len pesan teken Men Sugih. Men Sugih mula saja buka adane Ia sugih pesan nanging bikasne jele. Sombong, demit, jail teken anak tiwas, miwah setata mabikas jele.

Sedek dina anu ritatkala Men Tiwas nyakan, ia tusing ngelah api. Kemu lantas Ia ka umah Men Sugihe ngidih api.

“Mbok mbok ngidih ja tiang apine” keto Men Tiwas makaukan

“Ngujang nyai mai ngdidih api? Kanti api nyai sing ngelah?” keto pasutne Men Sugih sada bangras pesu uling jumahan umahnee.

“Tiang lakar nyakan mbok nanging tusing ngelah api jumah”

“Nah lakar kebaang nyai api, kewala opin malu ngaliin kutu di sirah wakene. Aliin nganti kedas sirah wakene nyanan baanga ja upah baas acrongcong” keto pesautne Men Sugih. Nyak lantas Men Tiwas ngaliin kutune Men Sugih nganti tengai mare suud. Men Tiwas lantas baanga upah baas acrongcong teked jumahne baase ento jakana. Sesampune Men Tiwas mulih, Men Sugih nyiksikin sirahne lan bakatanga kutu aukud. Gedeg basange Men Sugih kerana makatang kutu aukud. Kemu lantas Ia ka umah Men Tiwase.

“Eh Nyai jelema tiwas, tolih ne wake makatang kutu aukud di sirah wakene. Mai jak baase ne baang wake busan!” keto Men Sugih ngomong neked jumahne Men Tiwas.


“Baase busan suba bakat jakan tiang mbok” Men Tiwas nyautin.

“Nah ento suba mai aba, kadong ja suba dadi nasi!” lantas Men Sugih nyemak baase ane lakar lebeng dadi nasi ento.

“Nyai masi busan ngidih api teken wake, jani saange ne misi api ene jemak wake aba mulih!” Men Sugih merondong nasine Men Tiwas ane makiken lebeng lan saange ane misi api abane ke umahne. Men Tiwas tusing ngidaang ngomong apa. Ia tuah ngidaang bengong ningalin tingkahne Men Sugih sambilanga naanang basangne seduk.

Buin manine Men Sugih nundenin Men Tiwas ngopin nebukang padi lan nyanjiang upah baas duang crongcong. Men Tiwas nyak nebukang padine Men Sugih. Nganti tengai mare ia suud lan baanga upah baas duang crongcong teken Men Sugih. Sesampune Men Tiwas mulih, Men Sugih maliin baasne lan bakatanga latah dadua. Gedeg pisan Men Sugih lantas Ia kemu ka umah Men Tiwase lakar nuntun Men Tiwas.

“Eh nyai Men Tiwas, mula saja nyai tusing bisa magarapan. Ibi tunden ngaliin kutu tusing kedas. Jani tunden nebuk padi, ne tolih wake maan latah dadua. Kerana nyai tusing melah nyemak gae, jani mai aba baase ane wake baang teken nyai I nuni semeng!” keto omongne Men Sugih dawa malemad.

“Kenkenang tiang nguliang mbok, baase suba jakan tiang lan mekiken lebeng” Men Tiwas mesaut.

“Nah ento suba mai aba!” Men Sugih merondong baase ane mekiken lebeng ke umahne. Men Tiwas engsek atine ningalin tingkah Men Sugihe buka keto. Sing kerasa ngetel yeh paningalane ngenehang basang seduk uli semengan tusing misi apa, jani buin kajailin olih Men sugih.

Sedek dina anu Men Tiwas kemu ka alase ngalih saang teken paku. Sedek iteha ngalih paku di bet-bete saget teka kidang kencana.

“Eh Men Tiwas, apa kaalih ditu?” keto Sang Kidang metakon. Men Tiwas makesiab nepukin ada kidang bisa ngomong.

“Tiang ngalih saang teken paku nika jero Kidang” pesautne Men Tiwas sada ngejer.

“Anggon gena ngalih keketo?”.

“Lakar adep tiang nika, yen ada sisa wawu ja anggen tiang jumah”.

“Eh Men Tiwas, yen nyai nyak nyeluk jit nirane, ditu ada pabaang nira  tekening nyai!”. Men tiwas lantas nyak nyeluk jit kidange ento. Mara kedenga limane bek misi emas. Kendel pesan Men Tiwas maan mas bek pesan. Mara konanga Men Tiwas lakar ngaturang suksma teken Sang Kidang, lautan Sang Kidang suba ilang.

Men Tiwas ngaba emase ento mulih. Prejani Men Tiwas dadi anak sugih. Ia teken pianakne mekejang nganggo bungah dugase mablanja ka peken. Men Sugih iri ningalin Men Tiwas lan pianakne makejang makronyoh nganggo mas. Kisi-kisi ia matakon teken Men Tiwas.

“Men Tiwas, dija nyai maan emas kene ebekne?”

“Kene mbok, ibi tiang ngalih saang teken paku. Saget teka kidang bisa ngomong nunden nyelek jitne. Nyak lantas tiang, mara kedeng adi bek limane misi emas” keto Men Tiwas nyatuaang undukne ibi. Ningeh satuane Men Tiwas buka keto, ngencolang ia mulih lan mapanganggo buka anak tiwas. Men Sugih lantas kemu ke alase lan manyaru buka anak tiwas. Teka lantas Sang Kidang lan nakonin Men Sugih.

“Eh jadma tiwas ngudiang nyai ditu krasak-krosok? Apa kaaliah?”.

“Uduh jero Kidang, tiang niki durung ngajeng. Awinan nika tiang driki ngalih saang lan paku lakar adep tiang lan pipisne anggon tiang meli baas” Men Sugih melog-melogin Kidang Kencana.

“Lamun keto lan seluk jit nirane, ditu ada pabaang nira”. Nyak lantas Men Sugih nyelek jit kidange ento. Kendel pesan kenehne kadenanga lakar maan mas. Nanging pas seluka jit kidange, Sang Kidang ngijemang jitne. Men Sugih paida abana ka dui-duine nganti awakne telah matatu.

“Uduh tulung tulung! Tiang kapok, tiang kapok!” keto Men Sugih makuuk kesakitan. Mare neked di pangkunge mare elebanga Men Sugih. Men Sugih tusing nyidaang naanang sakit lantas ia pingsan. Disubane ingetan megaang ia mulih. Teked jumahne ia gelem keras lantas ngemasin ia mati.

Yen iraga dadi manusa mangda ten sekadi Men Sugih. Bikasne jele, iri ati, demit, lan setata nyailin anak lacur. Yadin iraga sugih, nanging iraga tusing dadi mabikas serasa ngisi gumi. Patutne iraga eling lan setata matetulung teken anak sane lacuran mangda kasugihan iraga maguna. –sumber

Minggu, 07 Mei 2023

PENGLUKATAN KALIMASADA

 



Umat Hindu selalu melakukan ritual pensucian diri sebelum mengikuti prosesi sembahyang yang dinamakan penglukatan atau pensucian diri dengan air suci. melukat atau penglukatan merupakan bagian dari pelaksaan pembersihan diri yang memiliki tujuan untuk menyucikan pribadi secara lahir dan batin Bagi mental dan jiwa. Penglukatan adalah penyucian segala bentuk hal negatif dalam tubuh berupa dosa-dosa baik berasal dari sisa perbuatan terdahulu atau dari perbuatan hidup saat ini.


Penglukatan kalimasada Penglukatan untuk pembersihan areal pekarangan yang terkontaminasi energi negatif atau pekarangan yang kena pepasangan dan tetanemenan maupun warung toko yang di tutup gaib Sarana payuk tanah tirta segara bunga 11 macam daun kelor 3 helai dan ilalang 9 helai ikat daun kelor dan ilang dengan benang tridatu tirta segara di masukan dalam payuk tanah dan bunga 11 macem...sarana bisa canang dan pejati kalau yang udah meekajati bisa gunakan mantra ini “Ong isa musa kalam molah Waringin nyungsang bunut nyungsang tan sah batu lempeh bulitan tirta hening pesiraman betara guru tunggil saput maring anakan putra dewa Brahma wisnu iswara ale gawenia ale temunia. Ayu gawenia ayu temunia ya namah swaha “, namun Kalau blm meekajati pakai perasaan minta pengeburan pada brama wisnu iswara....lalu pakai daun kelor dan lalang percikan areal pekarangan atau warung yang kena hal hal negatif , rahayu