Seiring berjalannya waktu, mode, dan tren globalisasi banyak memberikan perubahan, dan berimbas juga kepada cara berpakaian adat di Bali, terutama anak muda yang mudah terbawa arus peradaban.
Memang, cara berpakaian adalah kebebasan berkreasi dari masing-masing individu, tapi perlu diketahui, apa makna dari pakaian adat Bali itu sendiri.
Pakian adat Bali, selain digunakan sehari hari untuk kepentingan adat, juga digunakan dalam prosesi persembahyangan. “Karenanya, tentu saja ketika melakukan kegiatan adat (sosial) maupun persembahyangan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menunjang kesopanan serta filosofi dari pakian adat Bali tersebut,” ujar Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran.
Lebih lanjut dijelaskannya, dasar konsep dari busana adat Bali adalah konsep Tri Angga yang terdiri dari, Dewa Angga merupakan busana yang dikenakan mulai dari leher hingga kepala, yaitu udeng atau ikat kepala. Manusa Angga, merupakan busana yang dugunakan mulai dari atas pusar sampai leher, yakni baju, kebaya, dan saput. Kemudian Butha Angga yang merupakan busana yang digunakan mulai dari pusar sampai bawah, yakni kain (kamen).
Adapun yang dimaksud dengan komposisi dan jenis pakaian adat Bali adalah busana agung (payas agung) yang identik digunakan saat upacara pernikahan, busana jangkep atau lengkap (Madia), yaitu pakian adat ke pura, dan busana adat alit atau sederhana, yang sering kita jumpai ketika seseorang ngayah di pura atau banjar.
Pakaian adat Bali haruslah sopan, beretika, dan mencerminkan kedamaian. Adapun penjelasan dari konsep Tri Angga tersebut, dalam menggunakan busana adat Bali, khususnya pria diawali dengan menggunakan kain atau kamen, dengan lipatan untuk putra kamen atau wastra melingkar dari kiri kekanan (melawan arah jarum jam) karena merupakan pemegang Dharma. “Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab Dharma harus melangkah dengan panjang, tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah Dharma,’ imbuhnya.
Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang ke bawah sebagai simbol penghormatan terhadap ibu pertiwi. Kancut juga merupakan simbol kejantanan.
Untuk persembahyangan maupun kegiatan sosial yang bersifat formal, orang Bali tidak diperkenankan untuk menunjukkan kejantanan yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh ditunjukkan. Untuk menutupi kejantanan itu, maka ditutupi dengan saputan (kampuh). Seperti halnya dengan pemakaian kamen, saputan melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya).
Pada zaman dahulu, pemakaian saput dikenakan di dada pada lingkar ketiak. Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen atau selutut, selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagai penghadang musuh dari luar, karena di zaman dahulu, dalam saput, dipinggang orang Bali (warna ksatria) diselipkan sebilah keris yang merupakan senjata di zamannya. “Tetapi dalam perkembangannya saput dikenakan di pingang, yang tujuan utamanya hanya untuk menutupi kejantanan (simbolisasi dari nafsu) saja,” jelasnya.
Setelah pemakaian kamen dan saputan, dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal yang buruk. Ikatan umpal berada di sisi kanan, yang artinya dharma memegang kendali. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua, yaitu Bhuta Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai simbol pengendalian emosi dan manyama.
Pada saat putra memakai baju, umpal harus terlihat sedikit agar seseorang pada saat kondisi apapun siap memegang teguh Dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju adalah pengganti saput sedada (di zaman dahulu), merupakan penutup dada dan perut, yakni sekaligus simbolisasi menutup ego dan kesombongan pada diri manusia.
Baju pada saat busana adat terus berubah-ubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura harus menunjukan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Di bagian kepala yang kerap diistilahkan prabu, adalah tempat bersemayamnya Dewa. “Akal, pikiran, serta awal dari semua perbuatan yang diberkati oleh Hyang Widhi,” jelas Sudarsana
Awalnya agar adanya keseragaman, PHDI Bali (Parisadha Hindu Darma Indonesia) menetapkan udeng untuk ke pura haruslah berwarna putih agar menciptakan kesan kejernihan pikiran dan kedamaian pikiran. Untuk berkabung berwarna hitam, dan untuk kegiatan sosial lainnya berwarna batik atau selain hitam atau putih. Di samping itu, udeng simbol ‘ngiket manah’ (memusatkan pikiran) yang merupakan sumber penggerak panca indria. Karena itu, lanjutnya, udeng harusnya diikat dengan kedua ujung simpul atau muncuk udeng harus lurus ke arah atas. Mengapa? Karena itu simbol sang pemakai memantapkan sang pemakai berpikir lurus, memuja Yang Mahasempurna. Kedua ujung udeng merupakan simbolisasi menjunjung konsep ‘Rwabhineda’ yang merupakan akar dari keyakinan pada karma phala. Namun, simbol penting itu sekarang mulai bergeser dengan berbagai variasi (mereng ke kiri atau ke kanan).
Udeng (destar) secara umum dibagi tiga, yakni udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan) menggunakan simpul hidup di depan, di sela-sela mata, sebagai lambang cundamani atau mata ketiga. Juga sebagai lambang pemusatan pikiran, dengan ujung menghadap ke atas sebagai simbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan, yakni sebelah kanan lebih tinggi, dan sebelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan dharma.
Bebidakan yang kiri simbol Dewa Brahma, yang kanan simbol Dewa Siwa dan simpul hidup melambangkan Dewa Wisnu. Sementara udeng jejataran bagian atas kepala atau rambut masih tidak tertutupi yang berarti masih brahmacara dan masih meminta. Oleh beberapa sumber menyebutkan bahwa bidak udeng jejateran merupakan simbolisasi catur purusa artha, dimana bidak kanan – lebih tinggi yang artinya dalam hibup, materi (artha) merupakan tujuan yang diutamakan untuk mejalankan kehidupan ini. Bidak kiri – lebih rendah, merupakan simbol keinginan (kama) yang hanya bisa dicapai apabila artha sudah dicapai. “Lis lipatan udeng dengan simpul udeng (ngiket) di depan merupakan simbol Dharma, di mana setiap kegiatan dalam pencapaian artha dan kama harus berdasarkan dharma agama, “ terangnya.
Dengan tiga simbolisasi tersebut, lanjutnya, maka diharapkan pencapaian tujuan awal dari agama hindu yaitu Jagadhita yang artinya kebahagiaan duniawi. “Dengan tercapainya jagadhita diharapkan pencapaian tujuan akhir agama yaitu moksa,” bebernya. Udeng dara kepak (dipakai oleh warna ksatria), masih ada bebidakan, tetapi ada tambahan penutup kepala yang berarti simbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan. Udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku) tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di belakang dengan diikat kebawah sebagai simbol lebih mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.
Busana adat Bali untuk wanita hampir sama seperti halnya untuk putra. Pertama diawali dengan memakai kamen, tetapi lipatan kamen melingkar dari kanan ke kiri (searah jarum jam) sesuai dengan konsep sakti. “Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran Dharma,” ujar pria yang juga narasumber Dharmawacana ini.
Lebih lanjut dijelaskannya, tinggi kamen putri kira-kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti, sehingga langkahnya lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, untuk mengendalikan emosi.
Pada putri menggunakan selendang atau senteng diikat menggunakan simpul hidup di kiri yang berarti sebagai sakti dan mabraya. Putri memakai selendang di luar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra kalau melenceng dari ajaran Dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kebaya) dengan lengan panjang hingga pergelangan tangan.
Untuk acara Dewa Yadnya, kaum putri menggunakan ikat kepala berbahan kain berwarna putih, serta menggunakan papusungan. Papusungan ada tiga jenis, yakni, Pusung gonjer yaitu di buat dengan cara rambut dilipat sebagaian dan sebagian lagi digerai. Pusung gonjer digunakan untuk putri yang masih lajang atau belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipilih pasangannya. Pusung gonjer juga sebagai simbol keindahan sebagai mahkota serta sebagai stana Tri Murti. Pusung tagel adalah untuk putri yang sudah menikah. Pusung podgala atau pusung kekupu, yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambang Tri Murti
Filosofi pakaian adat Bali pada dasarnya bersumber pada ajaran Sang Hyang Widhi, yakni Tuhan yang diyakini memberikan keteduhan, kedamaian, dan kegembiraan bagi umat Hindu yang mempercayainya. “Pakaian adat Bali pada dasarnya adalah sama, yakni kepatuhan terhadap Sang Hyang Widhi, ” tutup Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran.
(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber