Rabu, 25 Oktober 2023

Pakaian Adat Ungkap Simbolik Dharma

 


Seiring berjalannya waktu, mode, dan tren globalisasi banyak memberikan perubahan, dan berimbas juga kepada cara berpakaian adat di Bali, terutama anak muda yang mudah terbawa arus peradaban.

Memang, cara berpakaian adalah kebebasan berkreasi dari masing-masing individu, tapi perlu diketahui, apa makna dari pakaian adat Bali itu sendiri.

Pakian adat Bali, selain digunakan sehari hari untuk kepentingan adat, juga digunakan dalam prosesi persembahyangan. “Karenanya, tentu saja ketika melakukan kegiatan adat (sosial) maupun persembahyangan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menunjang kesopanan serta filosofi dari pakian adat Bali tersebut,” ujar Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran.

Lebih lanjut dijelaskannya, dasar konsep dari busana adat Bali adalah konsep Tri Angga yang terdiri dari, Dewa Angga merupakan busana yang dikenakan mulai dari leher hingga kepala, yaitu udeng atau ikat kepala. Manusa Angga, merupakan busana yang dugunakan mulai dari atas pusar sampai leher, yakni baju, kebaya, dan saput. Kemudian Butha Angga yang merupakan busana yang digunakan mulai dari pusar sampai bawah, yakni kain (kamen).

Adapun yang dimaksud dengan komposisi dan jenis pakaian adat Bali adalah busana agung (payas agung) yang identik digunakan saat upacara pernikahan, busana jangkep atau lengkap (Madia), yaitu pakian adat ke pura, dan busana adat alit atau sederhana, yang sering kita jumpai ketika seseorang ngayah di pura atau banjar.

Pakaian adat Bali haruslah sopan, beretika, dan mencerminkan kedamaian. Adapun penjelasan dari konsep Tri Angga tersebut, dalam menggunakan busana adat Bali, khususnya pria diawali dengan menggunakan kain atau kamen, dengan lipatan untuk putra kamen atau wastra melingkar dari kiri kekanan (melawan arah jarum jam) karena merupakan pemegang Dharma. “Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab Dharma harus melangkah dengan panjang, tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah Dharma,’ imbuhnya.

Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang ke bawah sebagai simbol penghormatan terhadap ibu pertiwi. Kancut juga merupakan simbol kejantanan.

Untuk persembahyangan maupun kegiatan sosial yang bersifat formal, orang Bali tidak diperkenankan untuk menunjukkan kejantanan yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh ditunjukkan. Untuk menutupi kejantanan itu, maka ditutupi dengan saputan (kampuh). Seperti halnya dengan pemakaian kamen, saputan melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya).

Pada zaman dahulu, pemakaian saput dikenakan di dada pada lingkar ketiak. Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen atau selutut, selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagai penghadang musuh dari luar, karena di zaman dahulu, dalam saput, dipinggang orang Bali (warna ksatria) diselipkan sebilah keris yang merupakan senjata di zamannya. “Tetapi dalam perkembangannya saput dikenakan di pingang, yang tujuan utamanya hanya untuk menutupi kejantanan (simbolisasi dari nafsu) saja,” jelasnya.



Setelah pemakaian kamen dan saputan, dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal yang buruk. Ikatan umpal berada di sisi kanan, yang artinya dharma memegang kendali. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua, yaitu Bhuta Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai simbol pengendalian emosi dan manyama.

Pada saat putra memakai baju, umpal harus terlihat sedikit agar seseorang pada saat kondisi apapun siap memegang teguh Dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju adalah pengganti saput sedada (di zaman dahulu), merupakan penutup dada dan perut, yakni sekaligus simbolisasi menutup ego dan kesombongan pada diri manusia.

Baju pada saat busana adat terus berubah-ubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura harus menunjukan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Di bagian kepala yang kerap diistilahkan prabu, adalah tempat bersemayamnya Dewa. “Akal, pikiran, serta awal dari semua perbuatan yang diberkati oleh Hyang Widhi,” jelas Sudarsana

Awalnya agar adanya keseragaman, PHDI Bali (Parisadha Hindu Darma Indonesia) menetapkan udeng untuk ke pura haruslah berwarna putih agar menciptakan kesan kejernihan pikiran dan kedamaian pikiran. Untuk berkabung berwarna hitam, dan untuk kegiatan sosial lainnya berwarna batik atau selain hitam atau putih. Di samping itu, udeng simbol ‘ngiket manah’ (memusatkan pikiran) yang merupakan sumber penggerak panca indria. Karena itu, lanjutnya, udeng harusnya diikat dengan kedua ujung simpul atau muncuk udeng harus lurus ke arah atas. Mengapa? Karena itu simbol sang pemakai memantapkan sang pemakai berpikir lurus, memuja Yang Mahasempurna. Kedua ujung udeng merupakan simbolisasi menjunjung konsep ‘Rwabhineda’ yang merupakan akar dari keyakinan pada karma phala. Namun, simbol penting itu sekarang mulai bergeser dengan berbagai variasi (mereng ke kiri atau ke kanan).

Udeng (destar) secara umum dibagi tiga, yakni udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan) menggunakan simpul hidup di depan, di sela-sela mata, sebagai lambang cundamani atau mata ketiga. Juga sebagai lambang pemusatan pikiran, dengan ujung menghadap ke atas sebagai simbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan, yakni sebelah kanan lebih tinggi, dan sebelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan dharma.

Bebidakan yang kiri simbol Dewa Brahma, yang kanan simbol Dewa Siwa dan simpul hidup melambangkan Dewa Wisnu. Sementara udeng jejataran bagian atas kepala atau rambut masih tidak tertutupi yang berarti masih brahmacara dan masih meminta. Oleh beberapa sumber menyebutkan bahwa bidak udeng jejateran merupakan simbolisasi catur purusa artha, dimana bidak kanan – lebih tinggi yang artinya dalam hibup, materi (artha) merupakan tujuan yang diutamakan untuk mejalankan kehidupan ini. Bidak kiri – lebih rendah, merupakan simbol keinginan (kama) yang hanya bisa dicapai apabila artha sudah dicapai. “Lis lipatan udeng dengan simpul udeng (ngiket) di depan merupakan simbol Dharma, di mana setiap kegiatan dalam pencapaian artha dan kama harus berdasarkan dharma agama, “ terangnya.

Dengan tiga simbolisasi tersebut, lanjutnya, maka diharapkan pencapaian tujuan awal dari agama hindu yaitu Jagadhita yang artinya kebahagiaan duniawi. “Dengan tercapainya jagadhita diharapkan pencapaian tujuan akhir agama yaitu moksa,” bebernya. Udeng dara kepak (dipakai oleh warna ksatria), masih ada bebidakan, tetapi ada tambahan penutup kepala yang berarti simbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan. Udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku) tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di belakang dengan diikat kebawah sebagai simbol lebih mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.

Busana adat Bali untuk wanita hampir sama seperti halnya untuk putra. Pertama diawali dengan memakai kamen, tetapi lipatan kamen melingkar dari kanan ke kiri (searah jarum jam) sesuai dengan konsep sakti. “Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran Dharma,” ujar pria yang juga narasumber Dharmawacana ini.

Lebih lanjut dijelaskannya, tinggi kamen putri kira-kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti, sehingga langkahnya lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, untuk mengendalikan emosi.

Pada putri menggunakan selendang atau senteng diikat menggunakan simpul hidup di kiri yang berarti sebagai sakti dan mabraya. Putri memakai selendang di luar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra kalau melenceng dari ajaran Dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kebaya) dengan lengan panjang hingga pergelangan tangan.

Untuk acara Dewa Yadnya, kaum putri menggunakan ikat kepala berbahan kain berwarna putih, serta menggunakan papusungan. Papusungan ada tiga jenis, yakni, Pusung gonjer yaitu di buat dengan cara rambut dilipat sebagaian dan sebagian lagi digerai. Pusung gonjer digunakan untuk putri yang masih lajang atau belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipilih pasangannya. Pusung gonjer juga sebagai simbol keindahan sebagai mahkota serta sebagai stana Tri Murti. Pusung tagel adalah untuk putri yang sudah menikah. Pusung podgala atau pusung kekupu, yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambang Tri Murti

Filosofi pakaian adat Bali pada dasarnya bersumber pada ajaran Sang Hyang Widhi, yakni Tuhan yang diyakini memberikan keteduhan, kedamaian, dan kegembiraan bagi umat Hindu yang mempercayainya. “Pakaian adat Bali pada dasarnya adalah sama, yakni kepatuhan terhadap Sang Hyang Widhi, ” tutup Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran.

(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber

Ketika Ilmu Leak Jadi Salah Kaprah

 




Ketika Ilmu Leak Jadi Salah Kaprah



LONTAR : Pembaca dan Penulis Lontar, Putu Suarsana, menunjukkan jejeran lontar, koleksi Gedong Kirtya, Singaraja. (Dian Suryantini/Bali Express, Amurwa Bhumi.)





SINGARAJA, BALI EXPRESS-Fenomena ilmu hitam atau black magic di Bali sangat kental. Bahkan, di zaman modern ini, ilmu hitam masih dipercaya, seperti halnya Ilmu Leak di Bali.


Sejak lama berbagai fenomena bermunculan akibat kesalahpahaman masyarakat tentang ajaran Ilmu Leak. Tak terkecuali masyarakat Bali, yang juga sering 'salah kaprah' terhadap budaya, tradisi, seni, dan ritualnya sendiri.


Hal tersebut terjadi karena budaya yang diturunkan masih sebagian besar bersifat lisan, sehingga belum ada usaha mencari akar dari pelaksanaan budaya, tradisi, seni dan ritualnya.


Sama halnya seperti Ilmu Pangleakan ini. Banyak orang bermunculan memiliki cara pandang tersendiri. Sebagian besar orang memandang Leak tersebut adalah sosok manusia jadi-jadian. Atau ada pula yang menafsirkan, Leak tersebut adalah manusia yang berubah wujud menjadi makhluk yang menyeramkan.

Banyaknya spekulasi yang bermunculan membuat Leak tersebut secara tidak langsung telah terdoktrin dalam pikiran, bahwa Leak tersebut menyeramkan serta berbahaya. Namun, dalam lontar Aji Pangleakan, Pangiwa hingga Surya Panengen, tidak dijelaskan definisi Leak. Begitu pula dengan perubahan wujud yang sering menjadi perbincangan di masyarakat.

“Dalam lontar tidak disebutkan apa itu Leak. Tidak ada definisi tentang itu. Sebenarnya bukan Leak, tapi Liak. Linggih Aksara. Li adalah Linggih, Ak maksudnya Aksara. Jadi, yang disebut oleh orang-orang itu adalah Tutur Tinular. Tutur yang dituturkan lagi,” jelas Putu Suarsana, Pembaca dan Penulis Lontar Gedong Kirtya, Singaraja, Jumat (2/10) lalu.

Suarsana menambahkan, Ilmu Liak dikenal masyarakat sebagai ilmu hitam. Hal tersebut menyebar hingga masyarakat luar Pulau Bali. Liak didefinisikan sebagai sosok menyeramkan yang memiliki lidah panjang dan dapat terbang untuk mencari tumbal. 



Pemikiran tersebut tentu datang ketika melihat sebuah sumber yang berbasis hiburan, sehingga masyarakat percaya, itu adalah hal yang sebenarnya. “Padahal Ilmu Liak adalah salah satu ilmu warisan nenek moyang Bali yang telah ada sebelum agama

masuk ke Indonesia. Berbagai isu tentang Ilmu Liak menjadi terkesan menyeramkan, mulai dari perubahan fisik yang akan terjadi bila mempelajari Ilmu Liak,” jelasnya.

Ilmu Liak sering dikaitkan dengan cerita Calonarang dengan lakon bernama Nyi Calon Arang. Cerita tersebut dianggap menjadi sejarah kemunculan Ilmu Liak di Bali. Nyi Calon Arang membawa lontar saktinya dari Girah ke Bali pada zaman Kerajaan Kediri, masa pemerintahan Raja Airlangga.

Padahal, yang dilakukan Nyi Calon Arang dengan menyebarkan wabah penyakit saat itu, merupakan salah satu pengaplikasian Ilmu Liak yang buruk. “Sekarang tergantung pelakunya saja. Mau dibawa kemana ilmu yang dipelajari ini. Kalau dibawa ke hal yang buruk, maka dampaknya akan buruk, begitu juga sebaliknya,” ungkapnya.

Ilmu Liak merupakan bagian dari Ilmu Tantra. Dan, biasanya praktik Ilmu Tantra bersifat rahasia. Hal tersebut menimbulkan banyak persepsi masyarakat yang menduga-duga, sehingga berita yang terdengar menjadi simpang siur.

“Ketika seseorang bercerita, tentu yang diceritakan adalah hal yang seru. Salah satu gosip yang beredar adalah mengenai tingkatan Ilmu Liak dengan perubahan fisik, seperti Rangda, Celuluk atau lainnya yang menyeramkan,” kata dia.

Suarsana menegaskan, sesungguhnya tidak ada tingkatan Ilmu Liak hingga perubahan fisik saat mempelajari Ilmu Liak. Dalam lontar itu tidak dijelaskan. “Yang jelas Ilmu Liak ini seperti Pangiwa, Panengen, dan yang lainnya, dan itu tidak dijelaskan tingkatannya seperti apa. Begitu juga perubahan fisik.

Lontar Liak ini dibuat bukan untuk menyakiti seseorang atau berbuat buruk untuk orang lain. Melainkan Ilmu Liak ini dibuat untuk kepuasan diri sendiri dan mencapai kebahagiaan yang sempurna. Selain itu, juga untuk kadirgayusan, dan agar mendapat tempat yang baik saat menuju alam baka,” tutur Suarsana.



(bx/dhi/rin/JPR)

Rangkaian upacara adat Bali untuk keselamatan sang buah hati

 



Hingga saat ini Bali masih memegang teguh adat istiadat, budaya, serta kearifan lokal yang ada. Meski perkembangan zaman sudah semakin maju, namun Bali tak mudah tergerus dan tetap menjunjung tinggi adat istiadatnya.
Masih banyak upacara adat di Bali sampai kini tetap dipertahankan oleh umat Hindu. Masing-masing untuk pemujaan kepada Tuhan, bakti kepada leluhur, selamatan untuk manusia, bakti kepada guru, serta menghormati alam semesta. Salah satunya adalah rentetan keselamatan untuk si buah hati, mulai dari dalam kandungan hingga bayi lahir ke dunia dan menyentuh periode usia tertentu.

Berikut ini adalah delapan rangkaian upacara adat Bali untuk keselamatan sang buah hati.
1. Magedong-gedongan untuk ibu hamil usia kandungan 5-7 bulan
2. Nanem ari-ari ketika bayi baru lahir
3. Kepus pungsed ketika tali pusar bayi sudah terlepas
4. Ngelepas aon ketika bayi berumur 12 hari
5. Tutug kambuhan saat bayi berusia 42 hari
6. Nelu bulanin saat bayi berumur 3 bulan (Kalender Bali)
7. Otonan saat bayi berumur 6 bulan (Kalender Bali)
8. Mepetik rambut saat berumur 6 bulan (Kalender Bali)
Nah itulah delapan rangkaian upacara adat Hindu Bali untuk keselamatan sang buah hati. Semoga alam semesta selalu memberikan kebaikan.

Upacara Magedong-gedongan (Garbha Wedana)

  


Secara rohaniah adalah suatu usaha pembersihan dan pemeliharaan atas keselamatan si anak dan ibunya. Yang disertai pula dengan suatu pengharapan, agar anak yang lahir kelak menjadi orang yang berguna di masyarakat, dan dapat memenuhi harapan orang tuanya.
Adapun upacara pagedong-gedongan itu pada pokoknya terdiri atas :
byakala, Peras, Daksina, Ajuman, Prayascita, Pagedong-gedongan (gedong), Sayut Pengambean atau sesayut Pemahayu tuwuh.
Pagedong-gedongan (gedong) itu sendiri, adalah : sejenis sesajen yang berbentuk sebuah gedong (rumah-rumahan), yang didalamnya dimasukkan beberapa perlengkapan, seperti misalnya : beras, sebutir telur ayam, klungah nyuh gading, segulung benang, uang kepeng 225 butir, dilengkapi dengan beberapa jenis banten lainnya, seperti canang tubungan, dan beberapa jenis rempah-rempah.

Banten pagedong-gedongan ini merupakan simbolik dari perut ibu, yang menggambarkan si bayi beserta saudara-saudaranya (Sang Catur Sanak). Tujuan banten ini adalah mengandung arti simbolik, agar kandungan si ibu menjadi selamat, dan peliharaan keselamatan si bayi agar kuat nidasi, serta selamat ada dalam kandungan, dapat berproses dengan sempurna sampai pada saat kelahirannya nanti. Dan terakhir adalah upacara Ngelukat Bobotan. Upacara ini agak jarang dilakukan masyarakat. Namun, tetap saja saya tulis disini, karena masih berhubungan dengan bayi dalam kandungan. Kata Ngelukat Bobotan itu mengandung pengertian, peleburan segala dosa, dan korotan (ngelukat) dari kandungan (bobotan) seorang ibu. Jadi upacara Ngelukat Bobotan ini, adalah suatu upacara yang bertujuan melenyapkan atau melebur segala noda kotoran (leteh) suatu kandungan dengan sarana bebantenan, sesajen. Adapun sesajen (banten) yang digunakan dalam upacara ngelukat bobotan ini, antara lain yang terpenting adalah :
air (tirta) penglukatan, canang, peras, daksina, lis, isuh-isuh, serta banten penglukatan di paon (dapur), biasanya berupa peras pengambeyan. Di haturkan kehadapan Bhatara Brahma, agar beliau berkenan untuk melebur kotoran, leteh si ibu hamil. Pengelukatan tersebut secara rohaniah dianggap mengandung suatu mujijat, yang dapat melebur atau melenyapkan segala noda kotoran, yang mungkin masih melekat pada ibu yang sedan mengandung. Dengan demikian, diharapkan agar ibu yang mengandung beserta bayinya itu menjadi bersih dan suci.Mantra Tirtha penglukatan tersebut :
*_“Om Sang Hyang Ayu munggah Pritiwi, Pritiwi melomba-lomba, angebeking Bwana, Om pengelukatan dasamala, kalukat metu sira anadi Dewa, kalukat metu anadi Bhujangga, kalukat metu sira anadi Jadma Manusa, kalukat mameneng kapanggih sukha sugih, saisining rat bwana kabeh, sapangangoning bumi, kelod kauh yeh minagaken, sudha dewa, suda manusa. Om Sa Ba Ta A I Na Ma Si Wa Ya”._*
Dari makna mantra tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa, tujuannya adalah memohon keselamatan dan kesucian agar ibu beserta bayinya menjadi selamat, dan bersih lahir batin. Ucapan mantra itu mengandung pengertian dan pengharapan, agar ibu dan bayi yang dikandungnya itu mempunyai sifat-sifat Dewa (kebaikan), Bhujangga (orang yang memiliki ilmu pengetahuan, sastra dan ilmu agama), dan juga memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Disamping juga bertujuan agar hidupnya nanti memperoleh kesenangan, kekayaan, dengan berbagai isi dunia dan lain-lainnya.

Pura Pucak Bukit Sari, Sangeh; Misteri Hutan Pala dan Kera yang Unik

 


Hutan pohon Pala di Desa Sangeh, Abiansemal, Badung, tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan Pura Pucak Bukit Sari yang berada di tengah hutan Pala tersebut. Keberadaan pohon Pala ini memang unik, lantaran di sekitar daerah tersebut tidak ada pohon sejenis. Hutan pohon Pala ini juga disebut Bukit Sari, padahal daerah di mana pohon itu tumbuh berupa dataran , bukan kawasan perbukitan.

Dalam bahasa Sansekerta kata ‘Pala’ artinya melindungi, sedangkan kata ‘Phala’ artinya buah. Untuk menyebutkan nama pohon di Pura Pucak Bukit Sari Sangeh ini, apa Pala atau Phala, tidak jelas tahu asal-usulnya. Kalau digunakan kata Pala, memang pohon besar dan tinggi-tinggi tersebut sebagai pohon pelindung.

Bagaimana dengan nama Sangeh? Berdasarkan mitologi masyarakat setempat, nama Sangeh diambil dari kata ‘Sang’ yang berarti ‘orang’ dan ‘Ngeh’ artinya ‘melihat’. Jadi, Sangeh berarti ada orang yang melihat. Lantas, apa yang dilihat? Konon, pohon Pala yang berasal dari Gunung Agung, Karangasem, pernah melakukan perjalanan menuju Taman Ayun, Mengwi, Badung. Pohon-pohon Pala yang berjalan beriringan di malam hari karena kekuatan gaib itu, akan digunakan menghiasi Taman Ayun, milik Kerajaan Mengwi. Namun, dalam perjalanannya, ternyata ada orang yang melihatnya, sehingga pohon itu berhenti. Dan, tempat berhentinya pohon-pohon Pala ini kemudian diberi nama Sangeh, yang artinya ‘ada orang melihat’. Karena itu pula pohon Pala di kawasan itu tumbuh subur, tak ada yang berani merusaknya. Ratusan kera yang kemudian menghuni tempat ini pun dianggap bukan kera biasa. Sementara di tengah hutan berdiri bangunan Pura Pucak Bukit Sari.



Menurut sejarah, pura ini dibangun Anak Agung Anglurah Made Karangasem Sakti, anak angkat Raja Mengwi, Tjokorda Sakti Blambangan. Konon, Anak Agung Anglurah Made Karangasem Sakti, sejak kecil melakukan ‘tapa rare’ yaitu bertapa seperti tingkah laku anak-anak. Setelah kesaktiannya makin kokoh, beliau juga mendapat bisikan gaib, agar membuat palinggih (tempat sembahyang) di hutan Pala Sangeh. Sejak itulah, Pura Pucak Bukit Sari ini ada di tengah-tengah hutan Pala, sebagai tanda sujudnya keturunan Raja Mengwi terhadap Ida Bhatara di Gunung Agung.

Dalam versi lain, adanya Pura Pucak Bukit Sari di hutan pohon Pala ini dibeber pula dalam Lontar Babad Mengwi. Diceritakan bahwa putri Ida Batara di Gunung Agung berkeinginan untuk disungsung di Kerajaan Mengwi. Atas kehendak beliau maka hutan pala yang ada di Gunung Agung tempat putri Ida Batara Gunung Agung bermukim pindah secara misterius pada waktu malam. Perjalanan belum sampai di Kerajaan Mengwi, keadaan sudah siang dan telanjur ada yang mengetahui perjalanan tersebut. Hal ini konon yang menyebabkan hutan Pala tersebut tidak bisa berjalan lagi menuju Mengwi dan berhenti di Desa Sangeh sekarang. Konon putra angkat Raja Mengwi yang pertama I Gusti Agung Putu yang bergelar Cokorda Sakti Blambangan menemukan bekas bangunan palinggih. Putra angkat Raja Mengwi tersebut bernama Anak Agung Ketut Karangasem. Atas penemuan tersebut Cokorda Sakti Blambangan memerintahkan untuk membangun kembali pura tersebut dan diberi nama Pura Pucak Bukit Sari. Yang dipuja di pura tersebut adalah Ida Batara Gunung Agung dan Batara Melanting. Di Pura Pucak Bukit Sari ini terdapat tidak kurang dari 36 bangunan suci. Ada palinggih utama dan ada pelengkap. Ada Palinggih Padmasari panyawangan Ulun Danu Beratan. Ada dua Padmasari sebagai Palinggih Ratu Puncak Kangin dan Ratu Puncak Kauh. Kemungkinan palinggih ini untuk penyawangan ke Gunung Agung dan ke Pura Batur atau Ratu Batara Melanting. Ada Palinggih utama berupa Meru Tumpang Sembilan dan ada Palinggih Padmasana sebagai pemujaan Batara Sada Siwa. Selain itu, ada empat Padmasari lagi, masing-masing sebagai pemujaan Pucak Batur, sebagai Palinggih Ratu Entap, Ratu Manik Galih dan Batara Wisnu. Ada juga Palinggih Bale Paselang. Pelinggih ini umumnya digunakan untuk upacara Pedanaan yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan. Di palinggih ini dilukiskan secara ritual sakral hubungan bakti manusia kepada Tuhan dan anugerah Tuhan yang di Bali disebut sweca. Di Palinggih Paselang inilah dilukiskan bahwa hanya manusia yang sungguh-sungguh bakti pada Tuhan akan mendapatkan sweca atau anugerah dari Tuhan berupa raksanam atau rasa aman dan damai serta dhanam alias hidup sejahtera. Ini artinya, palinggih yang disebut Bale Paselang ini memotivasi umat Hindu agar jangan hanya memohon wara nugraha Hyang Widhi tanpa melakukan bakti dan pelayanan pada sesama dan menyayangi isi alam ini.

Obyek wisata Sangeh yang terletak sekitar 30 km arah Utara Kota Denpasar, salah satu tempat wisata alam yang unik di Bali. Di kawasan hutan pohon Pala seluas 14 hektare itu, dihuni ratusan kera yang jinak. Taman hutan homogen pohon Pala (Dipterocarpustrinervis) yang dihuni ratusan kera, merupakan hutan kera pertama kali dikembangkan sebagai hutan wisata di Bali.

Pohon Pala tertua diperkirakan berumur 350 tahun, masih kokoh berdiri, tidak jauh dari pura. Pohon-pohon pala yang tinggi tersebut meneduhi Pura Pucak Bukit Sari yang ada di tengah-tengah hutan. “Pura yang dibangun abad ke-17 ini adalah tempat suci yang diwariskan kepada Desa Sangeh oleh Kerajaan Mengwi,” ujar Ida Bagus Nyoman Purna, Pamangku Pura Pucak Bukit Sari, ketika ditemui beberapa bulan lalu, sebelum bencana menerjang .

Selain pohon Pala, masih ada tanaman yang terkenal di hutan Sangeh. Masyarakat setempat biasa menyebutnya Pohon Lanang Wadon, karena bagian bawah pohon itu berlobang sehingga menyerupai alat kelamin perempuan, sedangkan di tengah lobang tersebut tumbuh batang yang mengarah ke bawah yang terlihat seperti alat kelamin pria. Pohon Pule itu tumbuh persis di pelataran depan tempat wisata Sangeh.

Bila berkunjung ke kawasan ini, ratusan ekor kera (Macaca facisulais, jenis kera abu-abu), tampak hilir mudik di dalam pura. Kera-kera yang telah jinak ini tak segan mendekati turis yang membawa makanan, seperti kacang dan pisang. Soal makan, kera-kera ini memiliki jadwal makan yang cukup teratur, yaitu pagi hari mereka akan diberi pisang, siangnya diberi makan ketela atau ubi, sedangkan sorenya diberikan beras sebagai santapan terakhir.

Tidak seperti bayangan orang sebelumnya, kera-kera di Sangeh sama sekali tidak nampak galak, apalagi menyerang pengunjung. Pun tidak ada yang mengandung virus rabies seperti yang pernah dituduhkan, karena semua kera di Sangeh telah divaksin dan mendapat pengawasan secara khusus dari ahlinya, terutama dari Balai Penelitian Primata yang dibangun dekat lokasi.

“Balai ini berfungsi sebagai karantina kera yang sakit maupun untuk keperluan penelitian. Selain itu, seorang pawang kera berpengalaman ditugaskan mengawasi kera-kera ini,” terangnya.

Wisatawan yang berkunjung pun tak perlu cemas karena sudah ada pemandu wisata berpakaian adat Bali yang siap mengantarkan keliling dan memanggil-manggil kera agar menampakkan dirinya.

(bx/adi/rin/yes/JPR) –sumber

Minggu, 22 Oktober 2023

Om Swastiastu Merupakan Salam Sekaligus Doa

  





Om Swastiastu, merupakan salam pembuka yang biasa diberikan oleh orang bali kepada seseorang yang ditemuinya. Dan saat ini UMAT Hindu di Indonesia, kalau saling berjumpa dengan sesamanya, umumnya mengucapkan Om Swastyastu. Salam umat ini sekarang telah menjadi salam resmi dalam sidang-sidang Dewan Perwakilan maupun pertemuan resmi lainnya, adapun maksud dari salam tersebut adalah sapaan sekalugus doa untuk lawan bicara agar orang tersebut selalu diberkahi oleh Tuhan YME.
adapun penjelasan mengenai kata tersebut, dapat dilihat dari percakapan Rsi dengan seorang suyasa. Setelah sang Suyasa memperbaiki cara duduknya.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Rsi Dharmakertipun mulailah:
“Anakku, tadi anakku mengucapkan panganjali: “Om Swastyastu”. Tahukah anakndaapa artinya?
Jika belum, dengarlah! OM adalah aksara suci untuk Sang Hyang Widhi. Nanti akan Guru terangkan lebih lanjut. Kata Swastyastu terdiri dari kata-kata Sansekerta: SU + ASTI + ASTU, Su artinya baik, Asti artinya adalah, Astu artinya mudah-mudahan.

Jadi arti keseluruhan OM SWASTYASTU ialah “Semoga ada dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi”.

Kata Swastyastu ini berhubungan erat dengan simbol suci Agama kita yaitu SWASTIKA yang merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan Buana Agung (Makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Bentuk Swastika ini dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan galaksi atau kumpulan bintang-bintang di cakrawala yang merupakan dasar kekuatan dari perputaran alam ini. Keadaan alam ini sudah diketahui oleh nenek moyang kita sejak dahulu kala dan lambang Swastika ini telah ada beribu-ribu tahun sebelum Masehi.

Dan dengan ucapan panganjali Swastyastu itu anakku sebenarnya kita sudah memohon perlindungan kepada Sang Hyang Widhi yang menguasai seluruh alam semesta ini. Dan dari bentuk Swastika itu timbullah bentuk Padma (teratai) yang berdaun bunga delapan (asta dala) yang kita pakai dasar keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian abadi.

Sang Suyasa : 
Oh Gurunda, maafkan kalau hamba memotong. Hamba tidak mengira demikian luas maksud dari ucapan panganjali atau penghormatan hamba tadi itu. Betul-betul hamba tidak tahu artinya. Hamba hanya mendengar demikian, lalu hamba ikut-ikutan saja.

Rsi Dharmakerti : 
Memanglah demikian tinggi nilai dari ajaran Agama kita anaknda. Guru gembira bahwa anaknda senang mendengarnya. Ketahuilah bahwa kata SWASTI (su + asti) itulah menjadi kata SWASTIKA. Akhiran “ka” adalah untuk membentuk kata sifat menjadi kata benda. Umpamanya: jana - lahir; janaka - ayah; pawa - membakar; pawaka - api, dan lain-lainnya. Ingatkah anaknda apa yang Guru pakai untuk menjawab ucapan panganjali itu?

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Rsi Dharmakerti : 
Tidak mengapa anaknda, Guru akan jelaskan bahwa arti kata OM SHANTI, SHANTI, SHANTI itu ialah: Semoga damai atas karunia Hyang Widhi” Shanti artinya damai. Dan jawaban ini hanya diberikan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Sedangkan jawaban atau sambutan terhadap panganjali “Om Suastiastu” dari orang yang sebaya atau dari orang yang lebih tua cukuplah dengan Om Swastiastu yaitu sama-sama mendoakan semoga selamat.
Hanya yang lebih tua patut memakai Om Shanti, Shanti, Shanti terhadap yang lebih muda. Atau dipakai juga untuk menutup suatu uraian atau tulisan.

Sang Suyasa : 
Gurunda, maafkan atas kebodohan diri hamba. Akan sangat banyak yang hamba tanyakan supaya benar-benar sirnalah segala kegelapan yang melekat di jiwa hamba. Gurunda, walaupun kedengarannya agak ke-kanak-kanakan maafkanlah jika anaknda bertanya apa arti agama itu sendiri. Selanjutnya perlu kita pahami bersama makna apa yang berada di balik ucapan Om Swastyastu tersebut.

Umat Hindu di India umumnya mengucapkan NAMASTE kalau bertemu dengan sesamanya. Bahkan, ucapan itu dilakukan secara umum oleh masyarakat India. Para pandita maupun pinandita dalam memanjatkan pujastawa sering kita dengar menutup pujastawanya dengan Om naamo namah. Inti semua ucapan itu pada kata naama, yang dalam bahasa Sansekerta artinya menghormat.

Dalam bahasa Jawa Kuno disebut dengan sembah. Kata sembah dalam bahasa Jawa Kuno memiliki lima arti.

Sembah berarti menghormati, menyayangi, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri.

Karena itu, umat Hindu di Bali mengenal adanya Panca Sembah yang diuraikan dalam lontar Panca Sembah. Dalam tradisi Hindu di Bali ada sembah ke bhuta, ke manusa, ke pitra, ke dewa dan Hyang Widhi.

Adapun posisi cakupan tangan yang biasa dipakai saat menyembah:

Kalau menyembah bhuta atau alam semesta tangan dicakupkan di pusar. Sembah seperti itu berarti untuk mencurahkan kasih sayang kita pada alam untuk menjaga kelestariannya. 
Menyembah sesama atau pitra, mencakupkan tangan di dada. Sembah seperti itu adalah untuk menghormati sesama manusia. 
Menyembah dewa tangan dicakupkan di selaning lelata yaitu di antara kening di atas mata. 
Hanya menyembah Tuhanlah tangan dikatupkan dengan sikap anjali di atas ubun-ubun. Ini artinya hanya menyembah Tuhanlah kita serahkan diri secara bulat dan satukan diri sepenuh hati. Biasanya penggunaan “Swastyastu” disertai dengan kata “Om” menjadi “Om Swastyastu”. Kata ini lumrah digunakan sebagai salam awal, begitu juga dengan kata “Swastiprapta” (selamat datang). Namun di beberapa tempat di luar bali kata “Swastyastu” juga digunakan sebagai salam akhir perjumpaan atau percakapan. Itu yang membuat rasa ingin tahu saya semakin besar untuk mengetahui arti sebenarnya kata tersebut agar tidak menjadi sebuah kekeliruan yang membudaya. Memang pada dasarnya bahasa bersifat mana suka dan berlaku jika diakui dan digunakan oleh banyak orang. Dalam kesempatan ini saya mencoba menelaah kata tersebut dengan mencari artinya pada beberapa literatur kamus yang ada (apang tusing oranga milu-milu tuwung, nak mula keto….!!!).

Salam Om Swastyastu yang ditampilkan dalam bahasa Sansekerta dipadukan dari tiga kata yaitu: Om, swasti dan astu. Istilah Om ini merupakan istilah sakral sebagai sebutan atau seruan pada Tuhan Yang Maha esa. Om adalah seruan yang tertua kepada Tuhan dalam Hindu. Setelah zaman Purana-lah Tuhan Yang Mahaesa itu diseru dengan ribuan nama. Kata Om sebagai seruan suci kepada Tuhan yang memiliki tiga fungsi kemahakuasaan Tuhan. Tiga fungsi itu adalah, mencipta, memelihara dan mengakhiri segala ciptaan-Nya di alam ini. Mengucapkan Om itu artinya seruan untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan.

Dalam Bhagawad Gita kata "Om" ini dinyatakan sebagai simbol untuk memanjatkan doa pada Tuhan. Karena itu mengucapkan Om dengan sepenuh hati berarti kita memanjatkan doa pada Tuhan yang artinya ya Tuhan.

Setelah mengucapkan Om dilanjutkan dengan kata swasti.

Dalam bahasa Sansekerta kata swasti artinya selamat atau bahagia, sejahtera. Dari kata inilah muncul istilah swastika, simbol agama Hindu yang universal. Kata swastika itu bermakna sebagai keadaan yang bahagia atau keselamatan yang langgeng sebagai tujuan beragama Hindu. Lambang swastika itu sebagai visualisasi dari dinamika kehidupan alam semesta yang memberikan kebahagiaan yang langgeng.

Menurut ajaran Hindu alam semesta ini berproses dalam tiga tahap. Pertama, alam ini dalam keadaan tercipta yang disebut Srsti. Kedua, dalam keadaan stabil menjadi tempat dan sumber kehidupan yang membahagiakan. Keadaan alam yang dinamikanya stabil memberikan kebahagiaan itulah yang disebut swastika.



Dalam istilah swastika itu sudah tersirat suatu konsep bahwa dinamika alam yang stabil itulah sebagai dinamika yang dapat memberikan kehidupan yang bahagia dan langgeng. Dinamika alam yang stabil adalah dinamika yang sesuai dengan hak asasinya masing-masing. Ketiga, adalah alam ini akan kembali pada Sang Pencipta. Keadaan itulah yang disebut alam ini akan pralaya atau dalam istilah lain disebut kiamat.

Kamus Bahasa Bali Kata “Swastyastu” berasal dari kata suasti, yang berarti selamat, menjadi suastiastu yang berarti semoga selamat. 
Kamus Kawi-Bali “Swastyastu berasal dari kata swasti yang berarti raharja, rahayu, bagia, dan rahajeng. Astu yang berarti dumadak, patut, sujati, sinah. Kata astu berkembang menjadi “Astungkara” yang berarti puji, alem dan sembah. Sehingga “swastyastu” berarti semoga selamat, semoga berbahagia
Kamus Jawa Kuna-Indonesia “Swasti” berarti kesejahteraan, nasib baik, sukses; hidup, semoga terjadilah (istilah salam pembukaan khususnya pada awal surat atau dalam penerimaan dengan baik). Sedangkan “astu” memiliki 2 arti yaitu: 1. Semoga terjadi, terjadilah…. (seringkali pada awal sesuatu kutuk, makian, berkah, ramalan), pasti akan….. 2. Nyata-nyata, sungguh-sungguh (campuran dengan “wastu”?). Kata "astu" berkembang menjadi “astungkara” yang berarti berkata “astu”, mengakui, mengiyakan dengan segan, perkataan “astu”. Dari pengertian tersebut kata “swastyastu” berarti semoga terjadilah nasib baik, sungguh sejahtera. 
Kamus Sanskerta-Indonesia “Svasti” berarti hujan batu es, salam, selamat berpisah, selamat tinggal. Berkembang menjadi “svastika”, “svastimukha”, “svastivacya”. Kata svastika berarti tanda sasaran gaib, tidak mendapat halangan, pertemuan empat jalan, lambang agama Hindu. Svastimukha berarti yang belakang, terakhir, penyanyi, penyair. Svastivacya berarti salam ucapan selamat. Kata “astu” berarti sungguh, memuji. Dari pengertian kedua kata tersebut dapat disimpukan “svastiastu” berarti menyatakan selamat berpisah. Dari beberapa pengertian kata dalam kamus-kamus tersebut, dapat ditarik sebuah benang merah yang saling terkait satu sama lainnya yaitu:



Pengertian “Swastyastu” dalam kamus Bahasa Bali, Kawi Bali dan Jawa Kuna memiliki pengertian yang hampir sama, yaitu berarti semoga selamat, semoga bahagia, semoga sejahtera. Sedangkan dalam kamus Sanskerta berarti pernyataan selamat berpisah, selamat tinggal
Kata “astu” sebagai penutup hanya mempertegas kata “svasti” yang memang memiliki arti semoga, selamat berpisah, selamat jalan.


Pada dasarnya pengertian “swastyastu” pada keempat kamus itu adalah sama, saling melengkapi satu sama lainnya, yaitu Ya Tuhan semoga kami selamat, selamat tinggal dan semoga sejahtera (Semoga sejahtera dalam lindungan Hyang Widhi), tidak ada manusia yang hidup di dunia ini tidak mendambakan keselamatan atau kerahayuan di bumi ini. Selamat tinggal disini maksudnya adalah selamat tinggal pada hal-hal sebelumnya yang telah dialami atau dilalui dan semoga selamat dan sejahtera pada apa yang akan dialami atau dilalui pada kehidupan sekarang. Dalam hidup tidak bisa dipisahkan dari tiga waktu yaitu: atita, nagata, dan wartamana (dahulu, sekarang, dan yang akan datang).

Dalam penggunaannya pada kehidupan sehari-hari kata “swastyastu” diawali dengan kata “Om” sebagai ucapan aksara suci Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sehingga menjadi “Om Swastyastu”. Kata ini biasa atau lumrah digunakan sebagai salam pembuka (selain swastiprapta, yang berarti selamat datang) kemudian diakhiri dengan “Om Santih, Santih, Santih Om” yang berarti semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai di akhirat (selain swastimukha yang berarti salam penutup yang belakang).

Namun kini di kota-kota besar, kata “swastyastu” juga digunakan sebagai salam penutup atau akhir sebuah percakapan. Bagi orang desa seperti saya, terus terang saja ketika mendengarnya terasa aneh di telinga saya, sampai pada akhirnya saya penasaran tentang penggunaan kata tersebut sebagai salam penutup dan mencari arti kata tersebut dalam beberapa kamus-kamus yang ada. Jika dilihat dari pengertian arti katanya dalam kamus memang wajar kata itu dipergunakan sebagai salam penutup sesuai dengan artinya, namun jika melihat nilai rasa maka akan terasa janggal atau kurang pas (mungkin karena saya awam atau kurang terbiasa mendengarnya).

Dalam agama Hindu, sebuah awal adalah akhir dari semua yang terjadi, sedangkan akhir adalah sebuah awal sesuatu yang baru. Hal ini yang mungkin dijadikan patokan penggunaan kata “swastiastu” sebagai salam pembukaan dan salam penutup perjumpaan atau percakapan (selain mungkin penunjukan eksistensi terhadap agama lain bahwa agama Hindu juga memiliki salam awal dan akhir seperti halnya agama lain). Namun, jika melihat lagi pada nilai rasa, rasanya kedengaran janggal. Pada kesempatan ini saya juga mencoba menyampaikan beberapa padanan kata, yang mudah-mudahan tidak jauh berbeda artinya dengan “swastyastu” sebagai salam penutup perjumpaan atau percakapan. Beberapa kata tersebut antara lain: “swastimukha”, yang berarti permulaan (mukha) kesejahteraan, permulaan nasib baik, permulaan keselamatan; “swastisanti”, yang berarti ucapan selamat berpisah dan damai (santi), selamat jalan dan semoga damai.



Jadi, salam Om Swastyastu itu, meskipun ia terkemas dalam bahasa Sansekerta bahasa pengantar kitab suci Veda, makna yang terkandung di dalamnya sangatlah universal. Pada hakikatnya semua salam yang muncul dari komunitas berbagai agama memiliki arti dan makna yang universal. Yang berbeda adalah kemasan bahasanya sebagai ciri khas budayanya. Dengan Om Swastyastu itu doa dipanjatkan untuk keselamatan semua pihak tanpa kecuali.

Salam Om Swastyastu itu tidak memilih waktu. Ia dapat diucapkan pagi, siang, sore dan malam. Semoga salam Om Swastyastu bertuah untuk meraih karunia Tuhan memberikan umat manusia keselamatan.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Pengertian dan Makna Matur Piuning



Kita sering mendengar kata matur piuning, bahkan kita juga sering terlibat dalam acara matur piuning, namun tahukah anda apa itu matur piuning? Untuk itu pada tulisan ini, mutiara hindu akan menjelaskan pengertian dan makna pelaksanaan matur piunung. Hal ini sesuai dengan petunjuk weda yang mengatakan bahwa tidak gunanya untuk melakukan suatu upacara jika kita tidak mengetahui apa makna dari upacara tersebut.


“Nasyanti hawwyah kawyani naranamawijajanatam, bhasmi bhutesu wipresu mohad dattani datrbhid”


Terjemahan:


“Persembahan kepada Dewa dan Leluhur yang dilakukan oleh orang yang tidak tahu peratunyanya adalah sia-sia, kalau memberi karena kebodohanya memberikan bagianya kepada Brahmana, persembahannya tidak ada bedanya dengan abu.”


Dari sloka yang diambil dari Manawa Dharmasastra 3.97 diatas, dapat disimpulkan bahwa wajib hukumnya untuk mengetahui tujuan dan makna matur piuning yang dilaksanakan agar tidak sia-sia.



Persembahyangan di pura Aditya Jaya Rawamangun. Foto: Mutiarahindu.com

Pengertian Matur Piuning


Secara etimologi matur piuning berasal dari bahasa Jawa Kuno dari kata Matur dan Piuning. Matur berarti menghadap, sedangkan Piuning yang artinya memberitahukan atau mengabarkan. Jadi secara arti kata matur piuning adalah menghadap untuk memberitahukan atau mengabarkan.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Lalu pertanyaannya siapa yang diberitahukan atau dikabarkan? Tentu kita harus memperhatikan tempat acara matur piuning tersebut dilaksanakan. Dalam tradisi agama Hindu, matur piuning dilaksanakan ditempat suci seperti Pura, Candi dan lainnya. Matur piuning, dilaksanakan sebagai suatu upacara memohon restu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan Para Batara atau leluhur agar diberi keselamatan.


Matur piuning pada umumnya dilaksanakan ketika akan melakukan suatu kegiatan seperti tirtayatra, perjalanan liburan, melaksanakan suatu kegiatan seperti bazar, kuliah kerja nyata (KKN), melakukan pujawali, saat ingin mengikuti suatu kegiatan, penerimaan siswa atau mahasiswa baru, ngaben dan lain sebagainya.


Makna Pelaksanaan Upacara Matur Piuning


Ada pun makna dari pelaksanaan matur piuning adalah agar kegiatan yang dilaksanakan mendapatkan, kelancaran, keselamatan dan kesuksesan. Untuk itu, kita harus menghadap dan memberitahukan (matur piuning) kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa bahwa kita akan melaksanalan kegiatan.


Matur piuning juga bermakna sebagai simbol akan dimulainya suatu acara, sebab dilaksanakan sebelum acara atau kegiatan dilaksanakan.



Acara ini, dilaksanakan dengan mempersembahkan daksina, banten dan canang sari, kemudian dipimpin oleh seorang pemangku atau pinandita sebagai perantara pesan yang diharapkan oleh orang yang akan melakukan matur piuning kepada Tuhan.

Pada umumnya acara matur piuning diikuti oleh panitia atau orang yang akan berperan dalam acara yang akan dilaksanakan. Salah satu contoh misalnya, Mahasiswa IHDN Denpasar akan melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Yang ikut dalam matur piuning adalah panitia dan mahasiswa yang akan ikut dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN).

Ada pun yang harus diperhatikan dalam melaksanakan matur piuning adalah baik buruknya hari. Sebab, umat hindu percaya bahwa baik buruknya hari sangat menentukan keberhasilan suatu upacara. Ini dapat ditentukan berdasarkan pananggal dan panglon, sasih, wuku dan dawu. Selain itu, hari baik melakukan matur piuning juga bisa dilakukan dengan meperhatikan hari-hari suci hindu seperti hari Purnama dan Tilem.


Kegiatan matur piuning dalam masyarakat Hindu khususnya Hindu Bali merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan. Karena mereka percaya bahwa jika hal tersebut tidak dilaksanakan, maka akan terjadi musiba yang tidak diinginkan. Untuk itu majib hukumnya untuk melaksanakan matur piuning meminta restu dan bimbingan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar kegiatan yang dilakukan dapat berjalan dengan baik sesuai dengn rencana.


Reff: https://www.mutiarahindu.com/2018/03/pengertian-dan-makna-matur-piuning.html
Hasil wawancara mutiarahindu.com