Senin, 27 November 2023

Upacara Eka Dasa Rudra

 

Upacara Eka Dasa Rudra, sebagaimana tersurat dalam tuntunan sastra, adalah upacara Tawur yang dilaksanakan setiap 100 tahun sekali manakala angka satuan dan puluhan tahun Saka mencapai angka 0, disebut pula rah windu tenggek windu.
Di Pura Agung Besakih, sejauh catatan yang ada, Tawur Agung Eka Dasa Rudra pernah dilaksanakan tahun 1963, tepatnya pada Sukra Pon Julungwangi tanggal 9 Maret 1963. Upacara Eka Dasa Rudra 1963 yang disebut sebagai Eka Dasa Rudra paneregteg dilaksanakan karena hingga saat itu tidak diperoleh bukti catatan tentang pelaksanaan Eka Dasa Rudra pada masa-masa sebelumnya.
Tahun 1979, pada Buda Paing Wariga tanggal 28 Maret 1979, kembali diselenggarakan upacara Tawur Agung Eka Dasa Rudra. Upacara Tawur Eka Dasa Rudra 1979 ini sesuai dengan perhitungan perputaran tahun Saka saat satuan dan puluhan mencapai angka nol, yaitu pada tahun Saka 1900.
Rangkaian (dudonan) prosesi Tawur Agung Eka Dasa Rudra dilaksanakan dengan berpedoman pada sumber sastra yang ada disertai berbagai kajian para Sulinggih terhadap tata laksana yadnya Tawur. Pelaksanaan upacara diawali dengan Matur Piuning, Nuwasen Karya, Nuwur Tirtha, Melasti hingga puncak Karya Agung. Dengan waktu pelaksanaan yang berhimpitan dengan Sasih Kadasa (puncak Tawur Eka Dasa Rudra dilaksanakan pada Tilem Kasanga), pelaksanaan Eka Dasa Rudra 1979 dilanjutkan dengan upacara tahunan Bhatara Turun Kabeh pada Purnama Kadasa.
Setelah pelaksanaan upacara Tawur Agung Eka Dasa Rudra 1979, sebagaimana dengan tahun-tahun sebelumnya, di Pura Agung Besakih secara tetap diselenggarakan upacara tahunan yaitu Tawur Tabuh Gentuh pada Tilem Kasanga dan Bhatara Turun Kabeh pada Purnama Kadasa dan setiap sepuluh tahun dilaksankan Karya Agung Panca Bali Krama (tahun 1989 dan 1999).
--- Ditulis oleh Made Widnyana Sudibya 22 DESEMBER 2008 ---
------------------------------------------------
Perayaan Eka Dasa Rudra terdiri atas berbagai macam upacara dan ritual, di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Pamalik Sumpah. Tujuan upacara ini adalah supaya manusia tidak ingkar janji kepada alam dan leluhur dengan cara melaksanakan upacara korban di tujuh gunung.
b. Madu Parka. Upacara ini merepresentasikan permohonan manusia kepada Sang Pencipta supaya diberikan kehidupan yang manis dan sejahtera.
c. Ngingsah. Memiliki arti “membersihkan beras yang akan dimasak”. Beras ini nantinya akan dijadikan bahan makanan untuk para pelaku kegiatan Eka Dasa Rudra.
d. Pekelem. Tujuan upacara ini adalah untuk menanamkan rasa rela berkorban untuk alam ini dan memelihara keseimbangannya.
e. Mapepada. Ritual ini merupakan aksi arak-arakan sarana upacara menuju laut atau danau.
f. Taur Eka Dasa Rudra. Memiliki arti “korban suci untuk sebelas Dewata Agung (Rudra) yang menguasai seluruh mata angin”. Upacara ini memiliki maksud supaya kehidupan manusia senantiasa serasi dengan alam sehingga manusia selalu mendapat kehidupan yang layak dengan selalu memelihara lingkungan.


g. Mapedanan. Tujuan upacara ini adalah untuk menanamkan rasa syukur kepada Sang Pencipta alam semesta.
h. Mapeselang. Ritual ini berbeda dengan ritual yang lainnya karena bertujuan untuk istirahat dari segala prosesi ritual, diisi dengan berbagai hiburan supaya para peserta tidak merasa jenuh, antara lain berbagai jenis tarian atau pertunjukan wayang.
i. Bhatara Turun Kabeh. Memiliki arti “para Dewata sebagai sinar suci Tuhan hadir dalam upacara”.
j. Megat Sot. Tujuan upacara ini adalah sebagai pengingat manusia supaya mampu memutus ikatan keduniawian karena ikatan keduniawian akan membawa sengsara.
k. Panyimpenan. Upacara ini betujuan untuk mengingatkan manusia bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini akan senantiasa kembali ke sumber asalnya.
(Sumber : Talisha Alvini, Jurnal Tingkat Sarjana Senirupa dan Desain No.1 )
Foto-foto Eka Dasa Rudra diambil (scan) dari Buku "Album Eka Dasa Rudra" yang diterbitkan oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia. Foto-foto tersebut merupakan sumbangan dari berbagai pihak yang turut mengabadikan Karya Agung Eka Dasa Rudra 1979. Terbanyak dari penyumbang foto-foto tersebut adalah fotografer John Wiranatha (alm), Fred B. Eiseman Jr., Gusti Ngurah Oka Supartha (alm).

Nangluk Merana dan Panglepeh Sasih Jadi Ritual Penangkal Bala

 


Warga Desa Adat Kuta menggelar upacara Nangluk Merana dan Panglepeh Sasih berbarengan, yang dipusatkan di Pura Penataran Dalem Khayangan, Kuta, Badung, Senin (11/12) lalu. Apa sejatinya tujuan khusus dua upacara ini?

Sebuah upacara yang dilaksanakan setiap setahun sekali, tentu memiliki makna dan fungsi khusus, di samping sebagai wujud bhakti pada Bhuwana Alit dan Bhuwana Agung.

Seperti yang jelaskan Bendesa Adat Kuta, I Wayan Swarsa, terkait upacara Nangluk Merana dan Panglepeh Sasih yang digelar masyarakat Kuta di Pura Penataran Dalem Khayangan, Kuta, Badung, Senin (11/12) lalu

Dikatakan Swarsa, dalam sehari terdapat dua upacara. Yang pertama upacara Nangluk Merana dipusatkan pada Pura Segara, yang kemudian dilaksanakan pada masing-masing catus pata. “Ketika rentetan di catus pata selesai, maka akan menuju ke sini yaitu di jeroan pura. Untuk melaksanakan upacara ke dua, yaitu Panglepeh Sasih,” jelas pria yang telah lima tahun menjadi bendesa tersebut.

Swarsa mengatakan, semua prosesi tersebut diselanggarakan secara sederhana. Sebab hanya mengahaturkan banten seadanya, dan tidak terlalu besar. Selain itu, dalam pelaksanaannya masing-masing pelawatan (sasuhunan) diamong oleh krama banjar yang ada di lingkungan pura masing-masing. Yang terdiri atas tujuh pelawatan dengan banjar yang jumlahnya 14 banjar.

Pada catus pata, lanjutnya, sudah dilaksanakan setelah menghaturkan Nangluk Merana di Pura Segara. Setelah itu, dilaksanakan dengan serentak, hanya menuju Pura Penataran Dalem Khayangan, yang kemudian waktunya diatur bergiliran.

Tujuh palawatan tersebut juga diamong oleh seluruh banjar yang ada. Pada pangamong yang pertama, Banjar Plasa mendapat ngamong satu palawatan. Selanjutnya ada juga palawatan yang diamong oleh Banjar Temacun dengan Banjar Pemamoran. Palawatan ketiga diamong oleh Banjar Pande Mas Kuta. Swarsa menjelaskan, palawatan berupa Barong Singa yang berada di Puri Satria Kuta, diamong oleh Banjar Pengabetan dengan Banjar Pering.

Selanjutnya ada juga sasuhunan berupa Barong Selem yang diamong oleh Banjar Tegal.

Palawatan yang dinamai Ratu Ayu dari Pura Lamun, diamong oleh Banjar Segara. Sedangkan palawatan ketujuh berupa Barong Landung diamong oleh Banjar Segara. Setelah berkumpul, semua palawatan akan dilinggihkan, juga dihaturkan sesajen, dan krama semua akan diberi pica berupa tirta.

“Tradisi ini sudah berlangsung dari turun – temurun. Saya hanya menjalanakan ritual dan bhakti. Terlebih juga dengan gejolak Gunung Agung, agar diberikan jalan yang terbaik. Sehingga situasi jagat Bali menjadi normal,”terang Swarsa kepada Bali Express (Jawa Pos Group) di jeroan Pura Penataran Dalem Khayangan, Kuta, Badung, Senin (11/12) lalu.

Krama yang ikut prosesi upacara ini berasal dari warga dari 2268 kepala keluarga yang ada.

Swarsa juga menerangkan prosesi hanya berlangsung sehari. Jalur menuju Kuta diberlakukan sistem buka tutup, dan setelah berakhir upacara sore hari, jalur masuk Kuta sudah dibuka kembali seperti biasanya.

Ditemui pada tempat yang sama, Pemangku Pura Penataran Dalem Khayangan, Jro Mangku I Wayan Durna mengungkapkan, semua krama diberikan tirta, seusai melaksanakan prosesi upacara Nangkuk Merana dan Panglepeh Sasih tersebut. Di mana yang ia yakini sebagai tirta menolak segala bala. “Kalau sudah selesai upacara, krama semua akan diberikan pica berupa tirta. Yang dihaturkan pada kerabat keluarganya yang datang ke pura. Kalau semua krama datang ke pura kan juga tidak memungkinkan tempatnya, maka diberikan juga krama yang masih ada di rumah,” jelas Jro Mangku I Wayan Durna.

Khusus untuk di rumah warga, pada angkul-angkul dihaturkan juga sebuah sesajen, terdiri atas sanggah cucuk dan sebuah pajati, yang tujuannya untuk menetralisir mala pada pekarangan. Sebab, dalam satu hari itu di catus pata dilaksankaan nangluk merana. Jadi, pada catus pata pekarangan juga dipandang perlu diupacarai , yakni pada tengah-tengah halaman rumah,” urainya.

Ditanya pantangan dalam mengikuti tradisi tersebut, ia menjelaskan hanya yang cuntaka saja tidak diperbolehkan. Supaya tidak membuat leteh (kotor), terlebih juga sasuhunan yang ada ngider bhuana, keliling desa.

Seperti biasa, bila sasuhunan yang ada tedun, ada bebepara warga yang kesurupan. Baik itu berawal dari prosesi upacara pada catus pata, atau ketika sudah sampai di jaba pura. “Ada karena ngiring menjadi dasaran, atau kaencepang rencangan (dimasuki oleh penjaga pura) dari salah satu sasuhunan yang sedang melancaran saat itu,” imbuhnya.

Untuk menangani yang kesurupan tersebut, cukup diperciki dengan tirta. Maka mereka yang mengalami kesurupan akan kembali lagi sadar seperti biasa. Saat kesurupan, mereka akan berlari, bahkan ada juga yang teriak-teriak sambil menari, sebelum mendekati palawatan yang ada di depannya. Demi keamanan, yang kerauhan akan diawasi oleh kerabatnya dan pecalang yang sedang ngayah di sana.

Nah, jika penasaran akan tradisi Nangluk Merana dan Panglepeh Sasih di Desa Adat Kuta, harus bersabar karena dilaksanakan setahun sekali, yakni pada Kajeng Kliwon bertepatan dengan sasih kaenem yang jatuh pada bulan Desember. Tempatnya digelar di masing-masing perempatan jalan, dan upacara inti di Pura Dalem Desa Adat Kuta.

(bx/ade/bay/rin/yes/JPR) –sumber


Minggu, 26 November 2023

Tujuan dan Manfaat Ajaran Dasa Nyama Bratha (Brata) dalam Pembentukan Kepribadian dan Budi Pekerti yang Luhur



Berbahagia atau hidup selalu dalam kebahagiaan sangat didambakan oleh umat sedharma “manusia” yang masih diberikan kesempatan untuk hidup di dunia sampai saat ini. Suasana hati yang berbahagia dapat dilambangkan dengan: seperti saat bertemunya orang tua dengan anak-anak dan cucunya; merasakan tidak kekurangan segala sesuatu ‘uang’ karena nilai kebahagiaan itu tidak dapat diukur dengan banyak atau sedikitnya seseorang memiliki uang; hidup yang berfaedah serta bermanfaat bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara; selalu merasa memiliki (tenaga yang sehat, kekayaan, kerajinan, kecemerlangan dan kejernihan hati). Atas petunjuk dan tuntunan dari Sang Hyang Surya/Tuhan Yang Mahaesa, bagaimana umat dapat mencapai tujuan dan memanfaatkan ajaran Dasa Nyama Bratha untuk mewujudkan kesempurnaan batin dalam hidup ini?






Image; folkbadung
Dasa Nyama Bratha adalah ajaran yang dapat dipergunakan sebagai pegangan bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan batin melalui pengamatan hidup di dunia ini. Pegangan untuk mewujudkan kesempuraan batin yang dimaksud adalah berupa pelaksanaan dharma guna mencapai tingkatan kebahagiaan yang kekal abadi yang disebut moksa. Selama manusia hidup pengamalan ajaran Dasa Nyama Brata di dunia inilah tempatnya. Sebab dari perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari itulah dapat diketahui tingkatan keluhuran mental manusia itu sendiri. Oleh karena itu orang dapat dinilai memiliki mental baik dan sehat dapat diperhatikan dari cara seseorang berperilaku.

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa tujuan dari pada ajaran Dasa Nyama Bratha adalah untuk mewujudkan kesempurnaan batin (bahagia - abadi - moksa) melalui pengamatan dan pengamalan hidup di dunia ini dengan melaksanakan dharma serta berkepribadian luhur. Manfaat dari ajaran Dasa Nyama Bratha adalah sebagai media pembelajaran, pendidikan, pendalaman, pengamalan ajaran Agama Hindu dalam mewujudkan umat sedharma yang berkepribadian luhur berlandaskan pelaksanaan dharma guna mencapai tingkat kebahagiaan batin yang kekal abadi yang disebut moksa. Berikut ini adalah pelaksanaan dharma berdasarkan ajaran dasa nyama bratha yang bermanfaat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” adalah dengan melaksanakan:



1. Dana berarti pemberian-pemberian makanan dan minuman, dan lain-lainnya


Dana Artinya suka berderma (bersedekah) berupa makan dan minum dan bentuk pemberian lain yang sejenis dengan itu. Memberikan dana kepada orang lain berarti orang telah dapat meringankan beban penderitaan orang lain. Membantu seseorang yang sedang dan sangat memerlukan untuk menyambung hidupnya adalah perbuatan yang mulia, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 314).


Dalam hidup dan kehidupan ini seseorang harus saling bantu membantu karena setiap orang mempunyai kelemahan-kelemahan sendiri yang harus dibantu oleh orang lain. Apalagi kalau kita renungkan bahwa sebagian besar kebutuhan hidup ini kita didapati dari orang lain, seperti perabot rumah tangga, barang-barang dari besi, makan, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Dalam hidup bersama ini orang tidak dibenarkan mementingkan diri sendiri dengan menginjak- injak, menindas yang lain. Memberikan dana puniya dengan sesama adalah merupakan kewajiban hidup sebagai manusia. Kitab suci veda menjelaskan sebagai berikut;


"Na màtà na pità kiñcit kasyacit pratipadate,
dàna pathyodano jantuh swakarmaphalamacnute.
Ika tang dàna, tan bapa, tan ibu, umukti phalanika, anghing ika wwang gumawayaken ikang dànapunya, ya juga umukti phalanikang danapunya".

Terjemahan:


"Itulah hakikat suatu dana, bukan si bapa, bukan si ibu yang menikmati pahalanya, melainkan hanya orang yang melakukan kebajikan berdana puniya itu, dia saja yang akan menikmati pahala dari berbuat dana punia itu", (Sarasamuscaya, 169).


Manfaat dari ajaran Dana (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka berderma (bersedekah) berupa makan dan minum dan bentuk pemberian lain yang sejenis dengan itu.



2. Ijya berarti pujaan kepada Deva, kepada leluhur, dan lain-lainnya


Ijya artinya pemujaan kepada para Deva, leluhur dan pemujaan lainnya yang sejenis dengan itu. Di samping pemujaan kepada Tuhan, maka pemujaan kepada para Deva dan leluhur pun hendaknya dilakukan oleh seseorang yang berkecimpung dalam hidup suci. Kita percaya dan yakin bahwa Deva itu manifestasi Tuhan, dan melalui bantuan manifestasi Tuhan itulah maka manusia adalah memohon dan menikmati berkahnya. Pemujaan itu pula dilakukan oleh para leluhur untuk memohon doa restu-Nya agar sehat dan sejahtera di dunia. Kitab suci veda menjelaskan sebagai berikut;


"Mayi sarvàói karmàói saònyasyàdhyàtma-cetasà, niràúir nirmamo bhùtvà yudhyasva vigatajvaraá," (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 315).


Terjemahan:


"Pasrahkan semua kegiatan kerjamu itu kepada-Ku, dengan pikiran terpusat pada sang àtma, bebas dari nafsu keinginan dan ke-akuan, berperanglah, enyahkanlah rasa gentarmu itu", (Bhagavadgita. III. 30).


Sebagai pemuja yang baik adalah tulus, lepas, menyerahkan sepenuhnya kehadapan-Nya beserta prabhawa. Yakinlah bahwa beliau Sang Pencipta Mahatahu, pemurah dan penyayang kepada ciptaan-Nya.


Manfaat dari ajaran Ijya (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur untuk mewujudkan kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat pemuja Tuhan Yang Maha Esa, para Deva, para leluhur, dan pemujaan lainnya yang sejenis dengan itu.


3. Tapa berarti pengekangan hawa nafsu jasmani


Tapa berasal dari kata “tap” artinya mengekang, mengendalikan hawa nafsu agar memperoleh hidup suci. Tapa merupakan salah satu keimanan dalam ajaran Agama Hindu, sebab dengan tapa itu umat Hindu dapat meyakini suatu cita-cita atau tujuan dapat tercapai melalui pelaksanaan tapa itu. Misalnya melalui pengekangan nafsu jasmaniah seseorang dapat mengurangi porsi makanan yang dimakan setiap hari. Cara ini bertujuan untuk mengendorkan gejolak emosi seseorang dapat berpikir dengan tenang.


"Widyām mānāwamānābhyāmātmānam tu pramādatah.
Nihan tang kayatnākena ikang tapa raksan, makasādhana kapa-demaning krodha ika, kuneng hyang çrī, pademning īrsyā pangraksa
ri sira, kuneng sang hyang aji, pademning ahangkāra mwang awa-mana pangraksa ri sira, yapwan karaksanyawakta, si tan pramada sadhana irika", (Sarasamuccaya 103)


Terjemahan:


"Inilah hendaknya engkau perhatikan, pegang teguh tapa dengan jalan memunahkan nafsu amarah itu, adapun Devi Sri (kebahagiaan tertinggi) melalui pengendalian kedengkian (sebagai) penyelamat-Nya, adapun ilmu dharma sastra pemunah keakuan dan lenyapnya kecongkakan yang ada pada dirinya, karena itu supaya engkau menjaga dirimu, orang yang tidak lalai merupakan jalan baginya di situ," (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 316).

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

Manfaat dari ajaran Tapa (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat pengekangan atau memunahkan nafsu amarah.


4. Dhyana berarti merenung memuja Tuhan


Dhyana artinya tekun merenung dan memusatkan pikiran kepada Tuhan sebagai usaha tercapainya kesatuan antara pikiran dengan Tuhan. Usaha tersebut bertujuan untuk tercapainya kondisi mantap dalam konsentrasi sebagai dasar memperoleh kesucian batin. Kondisi ini akan diperoleh secara bertahap, melalui dari tingkatan pemusatan dengan waktu yang singkat sampai dengan tenggang waktu cukup lama. Akhirnya karena sudah terbiasa, maka makin hari makin mencapai tingkat konsentrasi yang makin lama dan mantap, lalu mencapai tingkat semadhi.


Namun demikian menyadari akan kekurangsempurnaan manusia ketika seseorang didorong oleh insting mengarahkan pikiran kepada benda- benda menyenangkan tanpa didasari pengertian kesadaran, atau ketika jiwa pada akhirnya menjadi kasar karena selalu melekat pada motivasi yang mementingkan diri sendiri, apakah ketika itu berpikir menyakiti orang lain atau tidak, maka ketika itupun jiwa kita telah rusak.


Keadaan yang menyebabkan terjadinya kerusakan jiwa ini tidak lain dari kekotoran dan kekeruhan pikiran. Sama seperti pakaian dan rumah yang akan menjadi kotor dalam sekejap ketika bertiup angin kencang. Orang harus selalu waspada terhadap badai nafsu yang melanda dan berusahalah untuk menekan ego yang ada dalam diri. Karena suatu keadaan pikiran akan sangat tercermin melalui perkataan dan perbuatan, jadi dengan selalu berbuat dan berkata yang jujur sudah tentu mencerminkan pikiran yang bersih. Kitab suci veda menjelaskan sebagai berikut;


“Teûu samyag warttamāno gacchatya mara lokatām, yathā samkalpitāýúceha sarvān kāmān samaúnute”.


Terjemahan:


"Ketahuilah bahwa ia yang selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diatur dengan cara yang benar, mencapai tingkat kebebasan yang sempurna kelak dan memperoleh semua keinginan yang ia mungkin inginkan", (Manawa Dharmasastra, II.5), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 317).


Sesungguhnya semua yang kita lakukan dalam pengabdian hidup ini telah ada yang menentukan ‘Sang Hyang Widhi Wasa’. Kewajiban kita adalah hanya berbuat/melaksanakannya apa yang patut dilaksanakan, akan semuanya itu adalah sudah menjadi kehendaknya. Beliau tidak akan pernah melupakan apa yang dilakukan oleh umat-Nya. Oleh karena itu pujalah Tuhan sesuai petunjuk yang telah ada.


Manfaat dari ajaran Dhyana (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka merenung untuk memuja Deva Siwa sebagai wujud keyakinan kita semua.



5. Swadhyaya berarti mempelajari Veda


Swadhyaya artinya yakin mempelajari kitab suci Veda. Mempelajari kitab suci kerohanian bagi mereka yang berkecimpung dalam hidup suci adalah kewajiban. Di dalam kitab kerohanian terdapat tuntunan atau petunjuk bagi mereka yang sedang akan menjalani hidup suci. Dalam berbagai jenis kitab Veda terdapat penuntun untuk menempuh kehidupan suci. Kitab yang dimaksud menjelaskan sebagai berikut:


"Na karmanàm anàrambhàn Naishkarmyam purusho’snute, Na cha samnyasanàd ewa Siddhim samadhigachchhati".


Terjemahan:


"Orang tidak akan mencapai kebebasan karena diam tiada bekerja juga ia takkan mencapai kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja", (Bhagawadgita. III. 4)


Dalam sloka selanjutnya disebutkan:


"Yajñàrthàt karmano ‘nyatra Loko ‘yam karma bandhnah, Tadartham karma kaunteya Mukta saògah samàçhara".


Terjemahan:


"Kecuali tujuan berbhakti dunia ini dibelenggu oleh hukum kerja karenanya, bekerjalah demi bhakti tanpa kepentingan pribadi, oh Kunti Putra", (Bhagawadgita. III. 9), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 318).


"Båhaspate pratamaý vàco agraý yat prairata nàmadheyaý dadhànaá, yad eûàý sreûtaý yad aripram àsit prenà tad eûàý nihitaý guvàviá. saktum iva titaunà punanto yatra ghirà manasà vàcam akrata,
atrà sakhàyaá sàkhayàni janàte bhadraiûaý lakûmiá nihitàdhi vàci".


Terjemahan:


"Sabda pertama dan yang utama, ya Brihaspati, yang disampaikan kepada orang-orang suci, menyebut nama-Nya sabda yang mulia, tiada cahaya yang diungkapkan dengan cinta kasih mengungkapkan yang maha suci dan gaib. Dan mereka mengucapkan sabda itu, tersaring dalam batin, seperti mereka mengayak tepung dengan ayakan, disitulah terjadi ikatan persahabatan, dalam sabda itulah terkandung keindahan", (Ågveda X. 71. 1. 2).


Demikianlah sabda Tuhan Yang Maha Esa, yang patut kita camkan bersama untuk memelajari, memedomani, mendalami, dan menerapkan ajaran- Nya yang mulia ini. Manfaat dari ajaran Swadhyaya (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka mempelajari Veda dan kita yang sejenis dengan itu.

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

6. Upasthanigraha berarti pengekangan nafsu kelamin


Upasthanigraha berarti pengekangan upastha (alat kelamin) dari nafsu birahi. Upaya untuk mendapatkan kesucian jiwa bagi umat sedharma yang ingin menjalani hidup suci, maka pengekangan jiwa atas nafsu birahi hendaknya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Seseorang yang selalu mengumbar hawa nafsunya adalah sebagai akibat dari yang bersangkutan telah tahu dan merasakan nikmatnya birahi itu, sehingga selalu dipenuhi keinginan seksual- nya dengan berbagai cara yang akhirnya sampai menjadi pemerkosaan. Memperkosa sering disebut berzinah, termasuk sikap-mental yang tidak terpuji. Berzinah merupakan perbuatan yang sangat hina dan terkutuk. Perbuatan ini harus dikendalikan karena bisa menimbulkan kemerosotan moral. Berzinah artinya sikap suka memperkosa wanita atau istri orang lain. Adapun yang termasuk perbuatan berzinah (paradara) antara lain :


a. Mengadakan hubungan kelamin dengan istri/suami orang lain.
b. Mengadakan hubungan kelamin (seksual) antara pria dengan wanita dengan cara-cara yang tidak sah.
c. Mengadakan hubungan kelamin dengan paksa, artinya tidak atas dasar cinta (memperkosa).
d. Mengadakan hubungan kelamin yang dilarang oleh agama, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 319).


Larangan melakukan zinah itu adalah sangat wajar, karena kalau itu dibiarkan maka kemerosotan moral akan semakin merajalela dan memuncak. Semakin banyak kasus pelacuran terjadi maka kehidupan kita sebagai manusia yang menjunjung tinggi budaya dan agama akan menjadi hancur. Dengan berbuat seperti itu menandakan sebagai jiwa manusia yang tetap terikat oleh duniawi. Oleh sebab itu yang bersangkutan harus cepat-cepat mengendalikan nafsu birahi agar segera memperoleh kehidupan suci. Kehidupan yang suci sebagaimana tertulis dalam kitab suci veda yang menyatakan sebagai berikut ;


"Tadvajjàticatairjivah ûuddhyate’lpenà karmanà, yatnena mahatà càpi kyekajatàu viçuddhyate.
Mangkana tang hurip, an ûinocan pinakaûuddhi, kinlabakëràgàdi malanya, yan alpayatna ngwang, alawas ya tan çuddhya, yapwan tibrayatna ngwang, kumlabakë malanya, enggal ûuddhinya".


Terjemahan:


"Demikian jiwa itu, yang dibersihkan agar menjadi suci, dikendalikan nafsu birahi itu dan segala nodanya, jika kurang giat dan pandai melaksanakannya, lemahlah jiwa itu tidak menjadi suci, beratus-ratus kelahiran lamanya, sebelum jiwa itu menjadi suci, jika ia pandai dan sangat giat melenyapkan nodanya, cepatlah suci jiwa itu", (Sarasamuçchaya, 406).


Makna sloka suci patut dipedomani oleh setiap umat sedharma yang mengupayakan kesucian moralnya untuk mempercepat usahanya dapat mewujudkan kesempurnaan batin yang dicita-citakannya.


Manfaat dari ajaran Upasthanigraha (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat pengendalian atau pengekangan nafsu birahi yang ada pada pribadinya.


7. Bratha berarti pengekangan nafsu terhadap makanan


Bratha adalah pengekangan nafsu dalam mengonsumsi makanan dan minuman. Seseorang atau umat sedharma yang bercita-cita untuk mencapai kesucian jiwa hendaknya mampu membatasi diri untuk mengonsumsi makanan dan minuman dari segi jumlah maupun mutunya. Seperti membatasi makanan yang berlebihan, membatasi makanan yang mengandung bahan kimia, makan pedas, makan yang terlalu manis dan sebagainya. Mengonsumsi makanan yang berlebihan sangat memengaruhi perkembangan jasmani dan rohani yang mengonsumsinya, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 320).

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

"Yathà yathà prakstànam ksetrànàm sasyasampadah, Sàkhà phalabhàrena namrah sadhustathàtathà.
Paramàrthanya, upasama ta pwa sang sàdhu ngaranira, Tumukul dening kweh gunanira, mwang wruhnira, kadyangga ning pari,tumungkul dening wwahnya,
mwang pang ning kayu, tumungkul de ning tob ning phalanya", (Sarasamuscaya, 308).


Terjemahan:


"Kesimpulannya, sabar dan tenang pembawaan sang sadhu, merunduk karena banyak kebajikan dan ilmunya, sebagai halnya padi runduk karena beratnya buahnya dan dahan pohon kayu itu runduk, disebabkan karena lebat buahnya".


Manfaat dari ajaran Brata (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka melakukan pengekangan nafsu terhadap makanan.

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

8. Upawasa berarti pengekangan diri


Upawasa adalah berpuasa. Cara ini banyak ragamnya, ada puasa makan minum, puasa tidak tidur, puasa melihat, puasa tidak bicara, tidak bepergian, tidak bekerja dan sebagainya. Khusus untuk umat Hindu jenis puasa ini pelaksanaannya dirangkaikan dengan pelaksanaan hari raya, seperti Nyepi, Siwaratri. Misalnya dalam pelaksanaan upawasa nyepi, umat Hindu berkumpul pada suatu tempat yang suci yang telah disepakati dengan harapan puasanya menjadi lebih mantap dan khusuk. Adapun jenis puasa pada hari nyepi umumnya:


a). Puasa makan dan minum
b). Tidak bekerja
c). Tidak tidur (melek)
d). Tidak bepergian, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 321).


Tujuan pokok keempat puasa ini dimaksudkan untuk mendukung keberhasilan meditasi (semadhi) yang merupakan acara pokok dari perayaan hari nyepi.


Bratha penyepian telah dirumuskan menjadi Catur Bratha Penyepian, yang terdiri dari;


a). Amati geni yakni tidak menyalakan api termasuk memasak, itu berarti melakukan upawasa (puasa).
b). Amati karya yakni tidak bekerja, menyepikan indria.
c). Amati lelungan berarti tidak bepergian termasuk tidak keluar rumah.
d). Amati lelanguan berarti tidak menghibur diri.


Pada prinsipnya, saat nyepi panca indria umat sedharma hendaknya diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Dengan meredakan nafsu indria itu umat sedharma dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup ini semakin meningkat. Melaksanakan pengendalian diri pada saat nyepi adalah merupakan kewajiban bagi umat sedharma. Kitab Sarasamuscaya menjelaskan sebagai berikut;


"Àryavåttamidaý vrttamiti vijñàya sàsvatam, santah Paràrthaý, kurvànà nàveksante pratikriyàm.
Tatan pakanimittha hyunira ring pratyupakàra sang sajjana ar gawayaken ikang kaparàrthan, kunang wiwekanira, prawrtti sang sadhu ta pwa iki, maryada sang mahapurusa, mangkana juga wiwekanira, tan prakoseka ring phala".


Terjemahan:


"Bukan karena keinginanannya akan pembalasannya, sang utama budi mengusahakan kesejahteraan orang lain, melainkan karena hal itu telah merupakan keyakinannya. Pembawaan sang sadhu memang demikian. Itulah ciri orang yang berjiwa besar. Demikianlah keyakinan beliau, tidak memandang akan buah hasilnya" (Sarasamuscaya, 313).


"Caritraniyatà ràjan ye krsàh krsavrttayaá, Arthinascopacchanti tesudattam mahà phalam.
Lwirning yukti ikang wehana dana wwang suddhàcara, wwang daridra, tan panemu ahara, wwang mara angegong harep kuneng, ikang dana ring wwang mangkana agong phalanika", (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 322).


Terjemahan


"Orang yang diberikan dana, ialah orang yang berkelakuan baik, orang miskin, yang tidak memperoleh makanan, orang-orang yang benar mengharapkan bantuan, pemberian dana kepada orang yang demikian besar pahalanya", (Sarasamuscaya,187).

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

Manfaat dari ajaran Upawasa (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat suka melakukan pengekangan diri.


9. Mona berarti tidak bersuara


Mona artinya tidak berkata, membatasi bersuara. Dalam kehidupan sehari – hari mona tidak diartikan tidak berkata-kata sama sekali, melainkan adalah kata-kata itu harus dibatasi dalam batasan-batasan kewajaran. Misalnya dianggap wajar bila berkata baik dan benar, berkata menyenangkan orang lain bila didengar.


Dalam perilaku hidup suci upaya membatasi kata-kata itu memang penting, sebab dari kata atau suara itulah seseorang akan disenangi atau tidak, dari kata atau suara itulah akan terletak celaka tidaknya seseorang. Terutama dari kata atau suara itulah akan terdapat kebahagiaan, kedamaian rohani. Orang yang ternoda rohaninya, dia sendiri akan merasakan ketidak- tenteraman dalam batinnya. Lebih-lebih kata-kata itu sengaja diucapkan agar orang lain sakit hati. Sikap demikian itu sama saja membikin batin sendiri ternoda. Selama ucapan itu ternoda maka selama itu pula batin menjadi tidak damai. Minimal ia akan selalu menimbang-nimbang kata yang telah diucapkan. Hal ini tak dapat dihindari, karena semua manusia punya perasaan, pikiran yang selalu membututi dan ikut menimbang-nimbang ucapan yang telah dikeluarkan. Perasaan dan pikiran inilah akan selalu membayangi kehidupan suasana batin tidak tenang.



Berkata-kata baik, menyenangkan, bermanfaat, penuh makna dan suci disebut wacika. Wacika adalah perkataan yang baik (suci). Kata-kata ibarat pisau bermata dua, di satu pihak akan bisa mendatangkan kebaikan dan di lain pihak akan bisa mendatangkan penderitaan bahkan kematian, seperti termuat dalam kitab Nitisastra sargah V.3 sebagai berikut:


“Wasita nimittanta manemu laksmi, Wasita nimittanta pati kapangguh, Wasita nimittanta manemu dukha, Wasita nimittanta manemu mitra”, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 323).


Terjemahan


"Oleh perkataan engkau akan mendapat bahagia, oleh perkataan engkau akan menemui ajalmu, oleh perkataan engkau akan mendapatkan kesusahan, oleh perkataan engkau akan mendapatkan sahabat".


Demikianlah akibat dari perkataan yang diucapkan ada yang baik dan ada yang buruk. Kata-kata kotor atau buruk disebut Mada (dalam Tri Mala). Kata-kata yang kotor seperti raja pisuna (fitnah), wak purusa (berkata kasar), berbohong dan sebagainya tidak usah dipelihara, sebab hal tersebut akan bisa mendatangkan penderitaan bahkan lebih fatal lagi bisa menyebabkan kematian. Oleh karena itu marilah kita sucikan wak/kata-kata sehingga menjadi “wacika” yaitu kata-kata yang suci, karena kata-kata yang suci ini akan dapat mengantarkan kita kepada sahabat atau mitra dan kepada kebahagiaan atau laksmi. Ada empat cara (karma patha) untuk menyucikan perkataan yaitu :


a. Tidak berkata jahat (ujar ahala). Kata-kata jahat yang terucap akan dapat mencemarkan vibrasi kesucian, baik kesucian yang mengucapkan maupun yang mendengarkan. Karena dalam kata-kata yang jahat itu ada gelombang yang mengganggu keseimbangan vibrasi kesucian.


b. Tidak berkata kasar (ujar akrodha), seperti menghardik, mencaci, mencela. Kata-kata kasar itu sangat menyakitkan bagi yang mendengarkan dan sesungguhnya akan dapat mengurangi vibrasi kesucian bagi yang mengucapkan. Perlu diperhatikan, meskipun niat baik, kalau diucapkan dengan kata-kata yang kasar maka niat baik itu akan turun nilainya (menjadi tidak baik). Bagi yang mempunyai kebiasaan berkata kasar, berjuanglah untuk mengubahnya.


c. Tidak memfitnah (raja pisuna). Ada pepatah mengatakan fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Dalam persaingan hidup orang sering mengalahkan persaingan dengan cara memfitnah agar lawan dengan mudah dikalahkan. Salah satu sifat manusia yang dapat menimbulkan akibat negatif adalah yang disebut “distingsi” yaitu suatu dorongan untuk lebih dari orang lain. Kalau ia tidak mampu berbuat lebih dari kenyataan maka fitnahpun akan dipakai senjata agar ia kelihatan lebih dari yang lain. Cegahlah lidah agar tidak mengucapkan kata-kata fitnah.


d. Tidak mengeluarkan kata-kata yang mengandung kebohongan. Kebiasaan berbohong ini juga sering didorong oleh nafsu distingsi tadi. Agar ia kelihatan lebih dari orang lain berbohongpun sering dilakukan. Berbohongpun sering dilakukan untuk menutupi kekurangan diri. Menghilangkan kebiasaan berbohong memang susah, namun ini haruslah dibiasakan untuk rela menerima apa adanya sesuai karma kita, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 324).


Demikianlah empat hal yang harus dibiasakan agar tidak keluar dari lidah kita kata-kata yang tidak baik atau menyakitkan. Untuk melatih itu biasakanlah menyanyikan nama-nama Tuhan atau Dharmagita atau Mantram-mantram tertentu secara terus menerus, sampai kebiasaan ‘kurang baik’ itu dapat dihapuskan. Hal ini memang memerlukan kesungguhan, karena mengubah kebiasaan jelek memang tidak mudah. Kebaikan itu hanya dapat diwujudkan dengan cara membiasakannya sampai melembaga dalam tingkah laku. Pada mulanya memang dirasakan beban, tetapi lama-kelamaan akan menjadi kebutuhan. Orang suci sudah menjadi kewajibannya untuk selalu bertutur- kata suci, oleh karenanya kebahagiaan batin itu dapat terwujudkan.


Manfaat dari ajaran “mona” (dalam ajaran Dasa Nyama Bratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat selalu mengusahakan untuk berbicara yang baik dan suci.

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

10. Snana berarti melakukan pemujaan dengan Tri Sandhya


Snana artinya tekun melaksanakan pembersihan dan penyucian batin dengan sembahyang tiga kali sehari atau tri sandhya. Melaksanakan tri sandhya bila dicermati suasana pelaksanaannya, sesungguhnya adalah dasar dari dhyana. Biasanya seseorang sebelum secara tekun dapat melakukan dhyana maka tingkatan dasar (tri sandhya) dilakukan terlebih dahulu. Praktik ini diawali dengan membersihkan badan, seperti mandi. Aktivitas antara mandi dengan tri sandhya sangat erat hubungannya, di mana dengan membersihkan badan terlebih dahulu pelaksanaan tri sandhya itu akan menjadi lebih mantap. Dengan kata lain terbiasa membersihkan diri, badan, mandi sebelum akan melakukan pemujaan ke hadapan-Nya dapat mendukung suksesnya sembahyang dengan baik. Seperti yang telah terbiasa dipraktikkan atau dilaksanakan oleh umat sedharma dalam memuja isthaDevata, panca sembah atau kramaning sembah dilaksanakan setelah melakukan pemujaan dengan mantram tri sadhya bersama.


Kitab suci veda menjelaskan sebagai berikut;


"Sarvà pavitrà vitatà-adhyasmat".


Terjemahan:


"Semua hal (benda) yang suci mengelilingi kita", (Atharvaveda VI.124. 3), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 325).


Dengan kesucian diri dan hati dapat menyebabkan seseorang memperoleh kebahagiaan, menghancurkan pikiran atau perbuatan yang tercela. Orang yang memiliki kesucian hati mencapai sorga dan bila kita berpikiran yang jernih serta suci, maka kesucian akan selalu melindungi kita. Kesucian atau hidup suci telah diamanatkan sebagai sarana untuk mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu ada baiknya sebagai umat sedharma selalu terjaga untuk hidup suci.


Manfaat dari ajaran Snana (dalam ajaran Dasa Nyamabratha) ini adalah dapat membentuk umat sedharma menjadi insan yang berkepribadian luhur dan mencapai kesempurnaan batin “moksa” dengan sikap-mental yang dimotivasi oleh sifat-sifat kesucian yang secara tekun melakukan pemujaan dengan ‘Tri Sandhya, dan do’a sehari-hari’ yang lainnya.


Ajaran Dasa Nyama Bratha yang terdapat dalam sloka kitab Saracamucchaya, adalah merupakan pegangan hidup bagi umat sedharma yang hendak mencapai kesempurnaan batin. Upaya itu dapat dicapai ‘moksa‘kehidupan yang abadi melalui pengamalan hidup di dunia dengan berlaksana yang benar. Dunia ini tempat berbuat, oleh sebab itu perilaku sehari-hari yang ditampilkan oleh umat sedharma dapat dijadikan ukuran sampai di mana tingkat kesempurnaan jiwa-nya. Seseorang dalam hidupnya. Dalam pengamalannya keluar, maka sebelumnya orang hendaknya mengadakan pembenahan ke dalam diri sendiri terlebih dahulu, baru mengadakan pembenahan ke luar diri. Hal ini wajar karena bagaimana orang dapat membenahi orang lain jika dirinya belum dibenahi.


Atma merupakan percikan terkecil dari Brahman yang sudah memasuki tubuh sehingga menimbulkan adanya penghidupan, dan gerak yang disemangati oleh atma itu sendiri. Ia menjadi pelaku lima klesa atau sumber kesedihan yakni avidya (ketidaktahuan), asmita (kesombongan/ keakuan), Raga (keterikatan dan kesukaan), Dvesa (kemarahan, keserakahan) dan Abhinivesa (ketakutan yang berlebihan terhadap kematian). Selama adanya perubahan dan kegoncangan pada pikiran, selama itu pula atma terpantulkan pada perubahan-perubahan itu. Dan untuk melepaskan atma dari cengkeraman lima klesa tersebut di dalam yoga dapat dilakukan dengan disiplin kriya-yoga di mana kriya-yoga sekaligus membawa pikiran pada keadaan Samadhi. Di dalam Kriya-yoga itu sendiri di antaranya berisikan beberapa aktivitas yaitu: tapas (kesederhanaan), svadhyaya (mempelajari dan memahami kitab suci), (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 326).

Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan

Akal atau budi merupakan azas kejiwaan namun bukan merupakan roh yang memiliki kesadaran. Ia yang halus dari segala proses kecakapan mental untuk lebih mempertimbangkan dan memutuskan segala sesuatu yang diajukan oleh indria yang lebih rendah, namun ia (budi). Sebagai azas kejiwaan atau psikologis, ia memiliki sifat jnana (pengetahuan), dharma (kebajikan, tidak bernafsu / wairagya) dan aiswarya (ketuhanan). Namun terkadang suara-suara kebajikan yang keluar dari budi itu sendiri masih belum mampu mengalahkan kuatnya pengaruh daripada indria-indria yang ada pada diri kita sehingga timbul perbuatan yang tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh budi itu sendiri. Melalui kebijaksanaan yang dapat kita peroleh dengan jnana atau pengetahuan akan dapat membersihkan akal itu sendiri sehingga sinar sattva mampu merefleksikan kesadaran jiwa (purusha) itu sendiri, (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 327).


Renungan Ågveda X. 37. 7


"Viúvàhà tvà sumanasah sucaksasah, prajàvanto anamivà anàgasah. udyantaý tvà mitramaho divedive, jyogjivàh prati paúyema sùrya".


Terjemahan:


"Sang Hyang Surya, semoga kami dalam suasana hati yang berbahagia, dalam pandangan yang bagus, mempunyai anak cucu yang baik, dalam kesehatan yang bagus, dalam keadaan tanpa dosa, senantiasa menghaturkan persembahan kepadamu. Sang Hyang Surya, yang berfaedah untuk semua sahabat, hendaknyalah kami melihat engkau yang terbit terus-menerus".

Referensi

Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015

CARA MEMPERSEMBAHKAN CANANG SARI DAN MANTRA MEBANTEN

 


Bila canang dihaturkan sesuai dengan pengider-ideran Panca Dewata yang tepat, canang merupakan segel suci niskala yang memiliki kekuatan kerja-nya sendiri. Tapi kekuatan-nya akan menjadi lebih aktif jika kemudian segel suci suci niskala ini kita hidupkan dan gerakkan dengan kekuatan mantra-mantra suci, tirtha [air suci], dupa dan kekuatan sredaning manah [kemurnian pikiran]. Sehingga turunlah karunia kekuatan suci semua Ista Dewata, yang memberikan kebaikan bagi alam sekitar dan semua mahluk.

Inilah urutan caranya :

[Sebelum memulai Mebanten/Menghaturkan Persembahan, sebaiknya di mulai dengan memurnikan persembahan, sebagai berikut]

Memurnikan Persembahan

(Cakupkan tangan di dahi) ucapkan mantra,

OM AWIGNAM ASTU NAMO SIDDHAM
OM SIDDHIRASTU TAT ASTU ASTU SWAHA.

(Ambil sekuntum bunga, Apit bunga dengan membentuk mudra amusti-karana/ mudra saat trisandya) ucapkan,

OM PUSPA DANTA YA NAMAH SWAHA,
OMKARA MURCYATE PRAS PRAS PRANAMYA YA NAMAH SWAHA.

(Setelah selesai mengucapkan mantra, bunga kita lempar atau buang ke depan ke arah persembahan.)
Selanjutnya..

(Siratkan tirtha ke Canang) ucapkan mantra,

OM PRATAMA SUDHA, DWITYA SUDHA, TRITYA SUDHA, CATURTHI SUDHA, PANCAMINI SUDHA,
OM SUDHA SUDHA WARIASTU,
OM PUSPHAM SAMARPAYAMI,
OM DUPHAM SAMARPAYAMI,
OM TOYAM SAMARPAYAMI,
OM SARWA BAKTYAM SAMARPAYAMI.

Dengan demikian semua sarana persembahan telah tersucikan dan siap untuk kita haturkan.

[Setelah proses pemurnian selesai, semeton bisa langsung menghaturkan persembahan canang maupun pejati.]

Menghaturkan Persembahan/Mebanten

(Unggah/taruk canang) ucapkan mantra,
OM TA MOLAH PANCA UPACARA GURU PADUKA YA NAMAH SWAHA.

(Unggah/taruk dupa) ucapkan mantra,
ONG ANG DUPA DIPA ASTRAYA NAMAH SWAHA.

(Sirat/ketis tirtha ke canang) ucapkan mantra,
ONG MANG PARAMASHIWA AMERTHA YA NAMAH SWAHA.

(Ngayab dupa) ucapkan mantra,
OM AGNIR-AGNIR JYOTIR-JYOTIR SWAHA
ONG DUPHAM SAMARPAYAMI SWAHA

(Ngayab canang) ucapkan mantra,
OM DEWA-DEWI AMUKTI SUKHAM BHAWANTU NAMO NAMAH SWAHA,
OM SHANTI SHANTI SHANTI OM.

Demikian lah teknik ringkas MANTRA MEBANTEN,

Om A no bhadraah kratavo yantu visvato ( Semoga pikiran baik datang dari segala penjuru) OM SWAHA.

Persembahan yang baik adalah persembahan yang memiliki kualitas kesucian. Karena dengan kualitas yang suci barulah persembahan bisa menjadi segel suci niskala yang terang cahaya-nya.



Ini adalah tata-cara dasar untuk menghaturkan persembahan ke luhur [ke alam-alam suci]. Sekali lagi bahwa cara ini tidak terbatas hanya untuk menghaturkan canang saja, tapi juga dapat digunakan untuk menghaturkan segala jenis persembahan ke alam-alam suci. Seperti misalnya pada saat kita tangkil ke sebuah pura dan kita menghaturkan pejati, dsb-nya.

Sebuah catatan penting untuk diperhatikan, yaitu nanti ketika kita menghaturkan canang sangat penting untuk meletakkan warna-warni bunga pada posisi arah mata angin yang tepat. Supaya sesuai dengan arah mata angin pengider-ideran Panca Dewata. Jangan diletakkan secara sembarangan agar canang sebagai segel suci niskala ini nantinya dapat bekerja secara maksimal.

– Bunga berwarna putih diletakkan pada posisi arah timur, sebagai segel mengundang kehadiran Sanghyang Iswara untuk melimpahkan karunia tirtha sanjiwani yang memberikan kesucian sekala dan niskala.

– Bunga berwarna merah diletakkan pada posisi arah selatan, sebagai segel mengundang kehadiran Sanghyang Brahma untuk melimpahkankarunia tirtha kamandalu yang memberikan kekuatan kebijaksanaan dan taksu.

– Bunga berwarna kuning diletakkan pada posisi arah barat, sebagai segel mengundang kehadiran Sanghyang Mahadewa untuk melimpahkan karunia tirtha kundalini yang memberikan kekuatan intuisi dan kemajuan spiritual.

– Bunga berwarna hitam [atau ungu tua] diletakkan pada posisi arah utara, sebagai segel mengundang kehadiran Sanghyang Wishnu untuk melimpahkan karunia tirtha pawitra yang melebur segala bentuk keletehan atau kekotoran sekala dan niskala.



– Kembang rampe [irisan pandan-arum] diletakkan pada posisi di tengah-tengah, sebagai segel mengundang kehadiran Sanghyang Shiwa untuk melimpahkan karunia tirtha maha-amertha yang memberikan kekuatan moksha [pembebasan].

Sekali lagi bahwa ini adalah konsep paling ringkas [inti] atau paling mendasar. Tentunya para pembaca saudara-saudara se-dharma memiliki bentuk tradisi dan tattwa yang beragam di tempat masing-masing. Hendaknya tetaplah dijalankan sesuai tradisi dan tattwa masing-masing, agar sesuai dengan desa, kala, patra. Tapi hendaknya juga dilaksanakan dengan berlandaskan pengetahuan tentang tattwa. –sumber