Selasa, 09 Januari 2024

Siwa Ratri Malam perenungan dosa

 



Bagaimanq Penebusan dosa semasih hidup dapat dilakukan dalam agama hindu.baca dengan seksama.

Tuhan telah memberikan kebebasan berkehendak kepada umat manusia, dan sastra-sastra Veda telah memberikan tuntunan agar kita bisa hidup di jalan Dharma. Sarasamuscaya 18 menyatakan Dharma dapat melebur dosa jagat tiga ini. '"dharma mantasakenikang triloka'"
Sebelumnya, sloka 17 menyebutkan, bagaikan prilaku matahari yang terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikian pulalah orang yang melakukan Dharma. Dharma akan memusnahkan segala macam dosa. Sebaliknya, mereka yang melanggar Dharma akan dihukum dengan siklus kelahiran dan kematian (punarbhava) yang tidak jelas kapan berakhirnya. Semasih hukum Karma dan Punarbhawa mengikat kita, maka selama itu kebebasan (moksha) tidak akan tercapai.
Permohonan ampun atas dosa-dosa yang telah dilakukan diajarkan dalam Sruti. Melalui pemujaan kepada Varuna. Tuhan memberi peluang agar manusia bertobat. Disebutkan, "Bila melalui kehendak pikiran, kami melanggar hukum-Mu, sudilah Engkau tidak menghukum kami "(Rgveda VII.89.5). Mengingat mantram itu ada dalam Sruti, maka dapat dijadikan jaminan bahwa Tuhan Veda pun memberikan kesempatan kepada umat manusia untuk melakukan pertobatan. Pertobatan, yang dalam Hindu disebut prayascita, dapat dilakukan dengan upacara samskara (penyucian dari luar) tetapi yang lebih penting adalan penyucian dari dalam diri, lewat tapa, brata, yoga, dan samadhi.
Manawa Dharmasastra II. 102 memberikan petunjuk, bahwa dosa terhapus dengan melakukan sandhya mengucapkan mantra Savitri. Mantra Savitri lebih dikenal sebagai Gayatri Mantram, karena memakai chanda Gayatri. Mantram tersebut sesungguhnya terdapat dalam Rgveda III. 62.10, serta Yajurveda 11.35 dan XXX.2. Itu berarti, mantra bait pertama Puja Trisandhya itu sesungguhnya sangat utama karena dapat menghapuskan dosa orang yang merafalkannya dengan penuh ketulusan hati, apalagi dilakukan
dengan berjapa.
Lewat upacara samskara, khususnya yang berkaitan dengan manusa samskara, kita sering menggunakan banten beakala (bayakaon), pengelukatan, prayascita, sampai sesayut guru piduka. Semua itu mengemban makna mengusir sumber dosa, pembersihan diri dari dosa-papa, dan permohonan maaf kepada Tuhan. Tindakan tersebut akan semakin efektif jika dilengkapi dengan penyucian diri dari dalam dengan asucilaksana. Yajur Veda XIX. 30 menyatakan bahwa kesucian (diksa) diperoleh melalui pengendalikan indria (brata). Brata sendiri adalah disiplin akan tapa.
Berikutnya, Manawa Dharmasastra V. 109, secara bertahap menuntun umat manusia melakukan penyucian diri mulai dari pembersihan tubuh dengan air, pikiran dengan kebenaran, jiwa dengan tapa brata, kemudian kecerdasan (buddhi) dengan pengetahuan yang benar (jnana). Kitab-kitab susastra, menegaskan perlunya melaksanakan japa, dan pemakaian bhasma (Wrhaspati Tattwa dan Panca Siksa). Bahkan, bhasma sendiri dianggap sebagai pelebur dosa. Lebih rinci lontar Silakrama menyebutkan bahwa prayascita mesti akukan dengan mandi, nyurya sevana, melakukan pemujaan, berjapa, dan melaksanakan homa (agnihotra).

Dari uraian di atas, prayascita sebagai bentuk peleburan dosa, telah diajarkan dalam Veda dan susastranya. Karena itu, permohonan dalam Tri Sandhya tidaklah sia-sia. Pada bait keempat mantram tersebut ada pengakuan penyembah yang penuh nestapa. "Papo ham papakarmaham papatma papasambhavah. Lebih lanjut, pada bait kelima penyembah memohon pengampunan kepada Mahadewa. Sang Penyelamat segala makhluk. Permohonan ampun atas segala dosa yang dilakukannya, disampaikan lagi pada bait keenam (terakhir). Om ksantavyah kayiiko dosah (ampunilah segala dosa karena perbuatan hamba), ksantavyo vaciko mama (ampunilah dosa karena ucapan hamba), ksantavyo manaso dosah (ampunilah dosa yang berasal dari pikiran hamba), tat pramadat ksama-svamam (ampunilah segala kelalaian hamba).
Itu adalah mantram harian umat Hindu, yang secara eksplisit pula menepis pandangan bahwa Hindu tidak mengenal pengampunan dosa! Pandangan itu keliru, karena Sri Krishna sendiri mewejangkan, bahwa orang-orang yang telah meninggalkan (menyelesaikan) semua swadharmanya, dan datang mohon perlindungan kepada Brahman, akan dibebaskan dari segala dosa (Bhagavad gita. XVIII. 66).
Brata Sivaratri
Mengingat Veda tidak banyak dikenal oleh masyarakat awam, maka para Maharsi membuatkan menu spiritual buat mereka dalam bentuk ceritera yang mudah dimengerti. Dalam kitab-kitab Purana, pengampunan atau peleburan dosa dikemas dalam bentuk brata Sivaratri. Brata yang dilakukan pada setiap purwanining Tilem, khususnya Maha Sivaratri pada Purwanining Tilem Kepitu, ditujukan kepada Dewa Siva. Berbagai kitab Purana menyebutkan keagungan dan keutamaan brata tersebut. Ada yang mengatakan mampu menyeberangkan penyembahnya dari alam neraka (Garuda Purana), ada pula yang menyatakan akan mendatangkan kebahagiaan dan kebebasan (Agni Purana).
Sementara itu, Padma Purana menyebutkan sebagai malam peleburan atau pembebas manusia dari kepapaan. 'Sivaratri wijneya sarvapapa paharini' atau 'tesam papaninasyanti sivaratri prajagarat'. Lebih rinci lagi, dalam Siva Purana disebutkan, bahwa di antara berbagai brata, seperti tirtayatra, dana punya, yajna, tapa dan japa, semua itu tidak ada yang melebihi keutamaan brata Sivaratri. Hal senada disampaikan dalam Sivaratri Kalpa 37, 7-8 : walaupun benar-benar sangat jahat, melakukan perbuatan kotor, membunuh orang tidak bersalah, congkah dan tidak hormat kepada guru, membunuh bayi dalam kandungan, seluruh kepapaan itu lenyap dengan melakukan brata Sivaratri.
Label brata menunjukkan Sivaratri tidak cukup dilakukan sekali dalam setahun, tetapi harus setiap saat sepanjang hayat. Kata ratri yang bermakna malam mesti dimaknai sebagai kegelapan pikiran yang disebabkan oleh avidya dalam bentuk Sapta Timira, yang disimbolkan dengan Purwanining Tilem Kapitu. Brhadarannaka Up. 1.3.28 menyebutkan, tamaso ma jyotirgamaya, tuntunlah hamba dari kegelapan pikiran menuju cahaya suci-Mu, ya Tuhan. Agar bisa lepas dari peteng pitu, maka kita harus jagra, bangkit dari tidur (turu). Dalam Vrhaspati Tattwa, tidur berarti dibelenggu oleh indria dan berbuat menurut tuntutan nafsu (raga). Orang-orang demikian disebut manusia papa (khilap). Agar bebas dari papa, Deva Siva memberikan petunjuk, " ... yan matutur ikang atma ri jatinya ..." Maknanya, kesadaran akan sang diri. Orang yang sadar akan jati dirinya, bahwa dia atma bukan badan (deha), akan berbuat atas dasar kedasaran atma, sehingga bebas dari dosa.

Dalam kesadaran atma, orang melakukan upavasa yang pada akhirnya menyatu dengan Sunya. Upavasa berarti mendekatkan diri dengan penguasa, dalam hal ini Tuhan. Dalam aktivitas fisik diwujudkan dengan tidak makan. Mengingat makanan menentukan pikiran, dan pikiran menjadi pengendali perbuatan (karma), maka pengendalian pikiran secara langsung mengendalikan gerak karma kita. Monabrata yang berarti tidak berbicara, mengandung makna penyucian ucapan. Mona melahirkan kesunyian, yang merupakan simbolik Sunya, Tuhan itu sendiri. Dengan demikian, secara simbolik brata Siwaratri membuat Tri Kaya menjadi suci (suddhi). Jagra menyucikan buddhi dan manah, upavasa menyucikan karma, dan mona memprayascita ucapan.
Upaya prayascita Tri Kaya menurut brata Sivaratri sejalan dengan petunjuk Lontar Agastya Parva yang bersifat Sivaistik. Lontar tersebut menyebutkan ada tiga cara untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan, yaitu tapa, yajna, dan kirti. Tapa mengandung makna pengendalian indria. Mereka yang tidak melakukan tapa, secara spiritual sesungguhnya adalah mayat (sava) berjalan. Berdasarkan pengendalian diri, orang-orang melakukan yajna, dan jadilah mereka penyembah yang mencintai Tuhan. Mencintai Tuhan tidak cukup dengan yajna semata, tetapi mereka harus melakukan pelayanan kepada makhluk lain, sebagai wujud fisik Tuhan. Pelayanan itulah yang disebut kirti, sadhana atau seva. Mereka kini menjadi orang-orang yang dicintai Tuhan, yang pada akhirnya mereka akan menyatu dengan Siva.
Orang-orang yang mendapat berkah Sivaratri akan memiliki keluarga bahagia bagaikan keluarga besar Dewa Siva. Dalam keluarga Siva yang pluralistik semua hidup harmonis. Kata keluarga sendiri berasal dari kata kula (=pelayanan) dan warga (=jalinan). Karena itu, keluarga bermakna jalinan pelayanan atas dasar cinta. Wahana Dewa Siva berupa lembu Nandini, sementara di leher-Nya melilit ular kobra yang sangat berbisa. Parwati, Sakti Dewa Siva, mengendarai singa, sementara kedua putranya, masing-masing Ganesha mengendarai tikus dan Kumara berwahana burung merak. Dalam kehidupan nyata, betapa susahnya menyatukan sapi dengan singa, ular dengan tikus, dan buruk merak dengan ular. Namun dalam keluarga Siva, semua itu bisa hidup berdampingan karena mereka memiliki cinta sebagai unsur pemersatu. Semoga pikiran baik datang dari segala penjuru.

Minggu, 07 Januari 2024

Lis amu amuan

  


Jan banggul
Tipat pusuh simbol jantung....aksara suci "I"
Tipat tulud simbol Ati ...aksara suci "A"
Tipat lepas simbol ginjal ....aksara sucinya "KA"
Tipat lasan simbol paru" aksara sucinya " SA "
Basang wayah simbol usus besar....aksara suci "MA"
Basang Muda simbol usus halus...aksara suci "RA"
Lawat buah simbol pembuluh getah bening ....aksara sucinya "LA"
Tangge menek tangge tuwun simbol usus 12 jari aksara sucinya "WA"
Lawat Nyuh simbol urat syaraf...aksara suci "YA"
Isuh" simbul pembuluh darah....aksara suci "UNG"

LIS AMUAN memiliki makna sebagai sarana untuk memohon kekuatan penyucian dan kekuatan " DASA BAYU " yg merupakan penyangga urip dr setiap insan di alam semesta ini.
Sesuai mantra DASA BAYU :
ONG, I A KA, SA, MA, RA, LA, WA, YA, UNG
Digunakan pada banten :
Banten Durmenggala
Banten Pengulapan
Serta banten yg lainnya yg butuh/dilengkapi lis amuan

Jenis & Unsur DiBalik Banten Segehan



 Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibuat kerucut) kecil-kecil atau dananan.

Wujud banten segehan berupa ganjal taledan (daun pisang, janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem.

Makna Banten Segehan

Segehan artinya “Suguh” (menyuguhkan), dalam hal ini segehan di haturkan kepada para Bhutakala agar tidak mengganggu dan  juga Ancangan Iringan Para Betara dan Betari, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan insan dalam kala waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan mampu menetralisir dan menghilangkan dampak negative dari limbah tersebut. Segehan juga mampu dikatakan sebagai lambang harmonisnya kekerabatan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).
Segehan ini biasanya dihaturkan setiap hari. Penyajiannya diletakkan di bawah atau sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan. Segehan dan juga Caru banyak disinggung dalam lontar Kala Tattva, lontar Bhamakertih. Dalam Susastra Smerti (Manavadharmasastra) ada disebutkan bahwa setiap kepala keluarga hendaknya melaksanakan upacara Bali (suguhan makanan kepada alam) dan menghaturkan persembahan di kawasan-tempat terjadinya pembunuhan, seperti pada ulekan, pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau, pada talenan.

Jenis-Jenis Banten Segehan
1. Segehan Kepel Putih
Segehan kepel putih ini yaitu segehan yang paling sederhana dan biasanya seringkali di haturkan setiap hari.
2. Segehan Putih Kuning
Sama mirip segehan putih, hanya saja salah satu nasinya diganti menjadi warna kuning.
biasanya segehan putih kuning ini di haturkan di bawah pelinggih

3. Segehan Kepel Warna Lima (Manca Warna)
Sama mirip segehan kepel putih, hanya saja warna nasinya menjadi 5, yaitu putih, merah, kuning, hitam dan brumbun. Dan penempatan warna mempunyai daerah atau posisi yang khusus sebagi pola ;

  • Warna Hitam menempati posisi Utara.
  • Warna Putih menempati posisi Timur.
  • Warna merah menempati posis selatan.
  • Warna kuning menempati posisi Barat.
  • Sedangkan Warna Brumbun atau kombinasi dari ke empat warna di atas menempati posisi di tengah tengah, yang mampu di katakan Brumbun tersebut sebagai Pancernya.

Segehan Manca Warna ini biasanya di letakkan pada pintu masuk pekarangan (lebuh pemeda­l)atau di perempatan jalan

4. Segehan Cacahan
Segehan ini sudah lebih sempurna alasannya adalah nasinya sudah dibagi menjadi lima atau delapan tempat. sebagai bantalan dipakai taledan yang berisikan tujuh atau Sembilan buah tangkih.
Kalau menggunakan 7 (tujuh) tangkih, sebagai berikut:

  • 5 tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di timur, selatan, barat, uatara dan tengah.
  • 1 tangkih untuk daerah untuk lauk pauknya ialah bawang, jahe dan garam.
  • 1 tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras.
  • kemudian diatas disusun dengan canang genten.
  • Kalau memakai 9 (sembilan) tangkih,sebagai berikut:
  • 9 tangkih untuk kawasan nasi yang posisinya di mengikuti arah mata angin.
  • 1 tangkih untuk kawasan untuk lauk pauknya adalah bawang, jahe dan garam.
  • 1 tangkih lagi untuk kawasan base tampel, dan beras.
  • lalu diatas disusun dengan canang genten.
  • Keempat jenis segehan diatas mampu dipergunakan setiap kajeng kliwon atau pada ketika upacara–upacara kecil, artinya dibebaskan penggunaanya sesuai dengan kemampuan.

5. Segehan Agung
Merupakan tingkat segehan terakhir. Segehan ini biasanya dipergunakan pada ketika upacara piodalan, penyineban Bhatara, budal dari pemelastian, serta menyertai upacara Bhuta Yadnya yang lebih besar lainnya. Adapun isi dari segehan agung ini yakni; alasnya ngiru/ngiu, ditengahnya ditempatkan daksina penggolan (kelapanya dikupas tapi belum dihaluskan dan masih berserabut), segehan sebanyak 11 tanding, mengelilingi daksina dengan posisi canangnya menghadap keluar, tetabuhan (tuak, arak, berem dan air), anak ayam yang masih kecil, sebelum bulu kencung ( ekornya belum tumbuh bulu yang panjang) serta api takep (api yang dibentuk dengan serabut kelapa yang dibentuk sedemikian rupa sehingga membentuk tanda + atau tampak dara).
Adapun tata cara ketika menghaturkan segehan yaitu pertama menghaturkan segehannya dulu yang berdampingan dengan api takep, lalu buah kelapanya dipecah menjadi lima, diletakkan mengikuti arah mata angin, kemudian anak ayam diputuskan lehernya sehingga darahnya menciprat keluar dan dioleskan pada kelapa yang telah dipecahkan tadi, telor lalu dipecahkan, di”ayabin” lalu ditutup dengan tetabuhan.

Setiap menghaturkan segehan kemudian di siram dengan tetabuhan, tetabuhan ini mampu memakai air putih yang higienis, atau tuak, brem, dan arak. Dengan cara mengelilingi segehan yang di haturkan.

Unsur-unsur Banten Segehan
Setiap unsur-unsur dari segehan sejatinya memiliki filosofi didalamnya, berikut penjelasannya:

Di atasnya disusun canang genten. Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, ialah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai bakteri/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah  biar semua kuman, Virus, bakteri yang merugikan yang ada di sekitar kawasan itu menjadi hilang/mati. (CF/Google)

Banten Otonan, Cara Otonan, Mantra Otonan

 



Bagaimanakah tata cara yang benar saat ‘ngotonin’? Pertanyaan seperti ini sering sekali muncul dari orang tua terutama ibu-ibu muda yang akan Otonan anaknya. Seperti, apa sajakah bantennya, dan bagaimanakah langkah-langkah membuatnya, dan siapa sajakah yang boleh “Otonan”.
Bahan-bahan Persiapan Banten Otonan
Penggunaan Banten sebenarnya fleksibel, namun beberapa masyarakat menggunakan banten seperti tumpeng telu dan tumpeng lima. Pada banten tumpeng lima berisi banten : Pengambean Dapetan Peras Pejati Sesayut Segehan Sarana-sarana lain seperti, Bija, Dupa, Toya Anyar, Tirta Pelukatan, dan Tirta Hyang Guru.
Tahapan-tahapan Sebelum memulai, sang ibu wajib ngayab (menghaturkan) banten kehadapan Sang Hyang Atma. sebagai pertanda bahwa inilah hari dimana beliau manumadi (menjelma). Dilanjutkan menghaturkan Segehan ring sor ( bawah ) bale atau tempat anaknya me’otonan’. Memohon kepada Sang Hyang Butha Kala agar prosesi berjalan lancar, terbebas dari mara bahaya. Selanjutnya ritual otonan dapat dimulai.



Pertama-tama adalah mesapuh-sapuh, yaitu mengusap telapak kanan anak dengan Buu, dimulai dari tangan kanan kemudian tangan kiri, diiringi dengan sesontengan
"Cening-cening ne jani mesapuh-sapuh, apang ilang dakin liman ceninge, apang kedas cening ngisiang urip’
Dilanjutkan mengusap dengan toya anyar. Mesapuh-sapuh bertujuan untuk menghilangkan mala atau leteh pada badan kasar yang bersangkutan. Dilanjutkan dengan masegau atau matepung tawar, yaitu mengusap kedua tangan yang bersangkutan dengan don dapdap.
"Cening-cening ne jani masegau, suba leh liman ceninge melah-melah ngembel rahayu’
Selanjutnya yang bersangkutan diberi tirta pelukatan. Maknanya adalah, menyucikan, menetralisir kembali Sang Hyang Atma. Agar jiwa yang bersangkutan senantiasa suci, melah (baik), ngembel (dalam genggaman) dan rahayu (keselamatan).
Dilanjutkan dengan Matetebus. Ambil dua helai benang, pertama diletakan di atas kepala sisanya dililit dipergelangan tangan kanan yang bersangkutan, diiringi sesontengan.
Setelah itu yang bersangkutan diberi tirta Hyang Guru. Ini memiliki makna agar yang bersangkutan memperoleh kesehatan dan keselamatan lahir batin, selalu diberi perlindungan oleh sang pencipta.
Yang terakhir adalah Ngayab Sesayut diputar 3 kali searah jarum jam diiringi sesontengan
"Nah jani cening ngilehang sampan, ngilehang perahu, batu mokocok, tungked bungbungan, teked dipasisi napetang perahu bencah”.
Banten pengenteg bayu tersebut bermakna untuk memohonkan agar yang bersangkutan tetap pendirian serta berkepribadian stabil (tidak labil) didalam menjalani kehidupannya.
Tujuan yang dapat diperoleh dari meotonan antara lain, diawali Masesapuh, yakni pembersihan badan kasar dari segala leteh atau mala.
Kemudian Matepung tawar/Masegau, sebagai sarana untuk menyucikan kembali jiwa atau Sang Hyang Atma, lalu menghubungkan serta menguatkan kembali badan kasar dengan Sang Hyang Atma melalui benang tebus, dan diakhiri dengan mestabilkan pikiran (Ngayab sesayut pengenteg bayu).



Jumat, 05 Januari 2024

Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah







Byakaonan

Om sadnya astra Mpu sarining wisesa tepung tawar amunahaken segau anglusuraken mala petaka cuntake kabeh.

Durmanggala (Pangastawa)

Om indahta kita sang Kala Purwa, Sang Kala Sakti, Sang Kala Preta, Sang Kala Prajamuka, Sang Kala Ngulaleng, Sang Kala Karogan-Rogan ayua kita pati rorogani, ayuwe kita siligawe iki tadah sajinira penek lawan terasi bang iwak: (bawang jahe/antiga Bekasem /Ayam Ireng) yan manawi kirang tetadahan nira iki amet sarining daksina tukuken ring pasar agung kuwehan anak putun roang sira kinabehan aja sira kari ring kene den kedepsidhirastu Dang Guru Iswara.

Om kala byonamah swaha, Om Bhuta byo namah swaha

Om Durga byo namah swha, om Pisaca byo namah swaha.




Pengulapan (Pangastawa)

Om Mang, Ung Ang, Om Ang Ung Mang, Ah Ah

Om aksaram kertha buwana yadnya dirgayur

Trigunaatmakm Dewa dewi bakti dewam

Jagatnatha ya namah swaha




Prayascita (Pangastawa)

Om I Ba Sa Ta A sarwa mala prayascita ya namah

Om Sa Ba Ta A I sarwa pape petaka,

lara roga wigna prayascita ya namah

Om A Ta Sa Ba I sarwa klesa dasamala geleh pateleteh,

cuntaka prayascita ya namah

Om sidhi guru srongsat osat sarwa wigna winesanem.




Lis (Pangastawa)

Om pangadenganing janur kuning,

Siwa ringgiting guru

Tumurun utusan yang dewa Betara

Kalebataning sarwa dewata

Angilangaken sarwa mala, papa petaka

Geleh sarira

Om sidhirastu nama ciwaya.




Ngosokan Lis (Pengastawa)

Om mangadeg sira janur kuning

Tumurun Dewa Siwa angadaken lis

Busung mereka meringgit

Winastu denira dea siwa

Maeron sarwaning laluwes

Maweh ratna kumala intan,

mawat emas tanpetune,

Yate enggonan hulun angilangaken leteh letuh

Kasude denira Dewa Siwa

Waspu paripurna ya namah swaha




Ngastawa linggihang dewa di Palinggih/Sanggah

Om pranamya Dewa sang lingam

Sarwa dewata dewati dewanam

Tas malingga ya winamah.




Om Dewa nama maha Dewa mahat manem

Guna suwarem sarwe lingga ranityam

Tas malingga yainamah




Om Brahma lingga ya namah

Om Wisnu lingga ya namah


Om Iswara linga ya namah

Om nahadewa lingga ya namah

Om sada Ludra lingga ya namah

Om parama Siwa lingga ya namah

Om Sarwa Dewa parastista ya namah

Om sarwa dewa lingga sampurna ya namah.




Mendak Kepanggung di jaba (Baruna Astra)

Om paduka batara Baruna,

Manusanira anguntap anuwur paduka betara

Kapendak dening canang kawisan

Maduluran segehan panca warna wigraha

paduka Betara pada nodya serdah

paduka Betara melinggih ring parhyangan

sinarengan katurang pujawali ring Betara kinabehan



Ngayat segehan ring Natah Umah

Ih iki sang kala Bucari,

miwah bala amangan Betara,

iki atadah sehegan nira

ring natas soang soang,

ayuwe ta kita ngarubede,

Om sidhirastu ya namah.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI


Medatengan ring Sanggah

Om pranamya Dewa Sang lingam,

sarwa buha kala sirnam,

pranamya Siwa sirwatam,

sarwa jagat pramaditam.




Om hyang sari hyang Ratu,

miwah betara sami,

manusanira angutaraken sarining pamendak,

pasucian, sesarik, susur, keramas, lengewangi,

maduluran tingasan sapradeg,

katur ring padanira Batara kabeh,

toya pawitra pewasuhan tangan,

suku pangratan, malih paduka batara keatur Pejati pada prapta,

wigraha paduka betara,

pada nodya miwah angayap sari amukti sari.



Ngayab kawas pedatengan (angkat)

Om indahta kita sedan penyarikan,

miwah bala waduan Betara kinabehan

ajeg ajegta sira ajengan anglurah Agung Alit,

sinarengan keaturan segehe linggih,

iwak kawisan, pada ena kita ngelingan unggahanta

soang-soang pada anadah, anginum,

amukti sari kita asungane manusanira

dirghyusa paripurna

Om Ang Ah amerta ya namah

Ang Ung Mang Siwa amerta ya namah swaha.




Mapiuning Indik Piodalan.

Om paduka Betara Hyang Sari, Hyang Ratu,

Hyang Guru miwah paduka Betara kinabehan

iki manusa nira I.....................ngaturan piodalan

dening peras, sodan, daksina, pajrempenan udel kurenan,

guru iringan miwah saruntutannya.

Kaatur ring paduka Betara kinabehan.




Nganteb banten di pelinggih sami.

Om peramista peramisti paramarta namo namah

Adi Dewa isanaya nakarya namah swha

Om buktyantu sarwantu Dewa

Butyantu sri lokanatha

Segenah separa warha, suwarga sida sidhica.




Ngayab Banten Piodalan.

Om kara dyanta sang rudram

Guryam sakti pradipanam

Tarpana sarwa pujanam

Prasidyantu astu sidhinam

Sakaram nyan maha amerta

Omkara candra nyante namah

Namah nadha omkara amertha

Boktayet Dewa Sampurna

Om Hyang amuktiaken sari

Om Hynag pretama Hyang

Sama Hyang antinggala sari amerta Hyang



Miwah sang butha Raksa

Lan Nyoman Sakti Pengadangan

Om Sidhi Hyang astu ya namah swaha.




Ngayab Banten Pangemped lan Soda aturan

Om pranamya baskara dewam Sarwa klesa winasanem

Prenamya ditya sarwatem

Bukit mukti sarwa paranem

Om sarwa baktem sampurna ya namah

Om ksma sampurna ya namah

Om treptyem ya namah

Om rang ringsah parama siwa aditya ya namah





Ngayab Penagi / Sesangi

Om paduka Hyang Sari, Hyang Ratu , miwah Betara kabeh,

iki manusa nira I... punagi ipun katawur mangkin marupa .....


Om dirga ayu werdi sakti karanam mertyu jaya sarwata


roga diksenem, kusta derestem kalesem, praba candra baswaram

Om mertyum jaya dewesya, yanamami karnu kertiyet,

dirgayusean suwe peptu, sambrama wijaya bawet.




Om iyate manggalam mertyu setala satru winasanem,

Kawiwesya rakte tayem, sarwa bawa bawat bawet.




Om eka sudha, dwitya sudha, tritya sudha, catur tya suda,

Panca wisudha, sad wisudha, sapta wisudha.

Om suda suda wariwastu tatastu astu ya namah.




Ngayab banten Sambutan durung ketus Gigi

Om kaki prajapati nini prajapati kemuandaningulun

angilangaken mala petakaning wong rare sane durung kepus

untu mangde tan nagletehin ring rat kabeh.

Om sidirastu sampurna ya namah.




Tri Sandya




Muspa (Ngaggem Panca Sembah).




Sembah puyung

Om atma tattwatma suddha mam swaha




Pesaksi ring Surya

Om Adityasya param jyotir

Rakto tejo namo’stute

Sweta pankaja madhyastha

Bhaskaraya nano’stute




Sembah Ketuju ring Istedewata

Om namo nama dewa adhisthanmaya

Sarwa wyapi wai siwaya

Padmasana eka pratistaya

Ardhanareswariya namo namah





Sembah Nunas panugrahan

Om anugraha manaoharam

Dewa datta nugrahakam

Arcanam sarwa pujanam

Namo sarwa nugrahakam

Dewa dewi mahasidhi

Laksmi siddhisca dirghayuh

Nirwighna sukha wrddisca



Muspa ring Sanggar Tawang/Padmasana

Om aksam nirmalam sunyam

Guru dewa byomantaram

Siwa nirmalawiryanam

Rekto omnkara wijayam




Sembah Puyung

Om Dewa suksma parama cintyaya nama swaha

Om Santih, Santih, Santih, Om.




Tumuli masirat ring raga.

Om Ang Brahma-amrta ya namah

Om Ung Wisnu-amrta ya namah

Om Mang Iswara-ammrta ya namah




Akena bija.

Mantra bija.

Om Idham bhasman param guhyam, sarwa papa winasana ya, sarwa kalusa winasa ya, sarwa rogha winasana ya namah.

Ngremeki bija (mengaduk, di atas tangan)

Om bang Bamadwa guhya ya namah

Om Bhur Buwah Swah amrta ya namah.

Apasang bija.

ring sirah : Om Ing Isana ya namah

ring lelata : Om Tang tatpurusa ya namah

ring tangkah : Om Ang Aghora ya namah

ring bahu kanan : Om bang bamadewa ya nama

ring bahu kiri : Om Sang Sadya ya namah




Margiang Benang Tebus

Om purna candra purna bayu,

Den kadi langgengning surya candra

Teteping pageh bayu premanannya

Sang trimaggalaning yadnya

Anganti-nganti sabad rahayu

Ametuaken ratna kencana

Om sah osat ya namah swaha.




Pengaksama ring Dewa Betara

Om ksama swmam mahadewa

Sarwa prani hitangkarah

Mam moca sarwa papebyah

Palayaswa sadasiwa

Papoham papa karmham

Papatma papa sembawah,

Trahiman sarwa papebyah,

kanacin mama raksatu.

Ksantawya kayika dosah,

Ksantaowyo wacika mama,

Ksantawya manasa dosa,

Tatpramadat ksama swamam.




Hinaksaram hinapadam,

hinamantram tatwaca,

hina baktim hina werdhin,

sada siwo namo stute.






Mantrahinam kryahinam,

baktihinam maheswara,

yat pujinam mahadewa,

paripurnem tadastume.




Nyimpen Bajra.

Om Ang Ung mang,

Om Om namah,

Om apah teja bayu mulih sira

ring bayu sabda idep.

Ragane ketisin/siratan tirta x3 lan inem. (Wesesa, 2001:6-13)