Rabu, 10 April 2024

Ida Pedanda Ngoerah

 


Ida Pedanda Ngoerah adalah salah satu contoh Brahmana yang masih menerapkan tradisi Brahmana Weda dimana Beliau melakukan perjalanan suci.
Beliau menyadari bahwa sebagaimana tersirat dan tersurat pada Kidung Yadnyeng Ukir ada tujuh gunung yang ada di dalam diri (sapta parwwatĕ minusti haneng garbbha), tujuh sungai suci (sapta gangga), tujuh danau (sapta ranu), hingga tujuh tingkat kasunyatan (sapta sunya). Dengan kekuatan jnyana, amerta diturunkan dengan gagelaran wisarga dan nungswara. Maka menyadari hal tersebut sejatinya penyucian dilakukan di dalam sarira.
===
Pada tahun 1919 dalam Tirta Yatra Beliau ke Bali utara dengan pengiring yang membawa bedil yang dipinjam dari seorang tokoh di Desa Wanagiri oleh karena akan melintasi hutan malam hari, Beliau turun dari Gobleg sampai di Banjar dan kemudian melanjutkan perjalanan lewat laut ke Pulaki lalu terus ke arah barat. Terekam dalam kidung perjumpaan Ida Pedanda Ngoerah dengan tiga ekor Harimau Bali saat sampai di Banyuwedang.


===
Dari Banjar Beliau menaiki perahu ke Pulaki dan di segara “laut”, Ida Padanda Ngoerah menyaksikan jajaran keindahan giri “gunung‟ (katon kalangwaning ukir). Berbagai gunung yang dilihat di sepanjang perjalanan disebutkan oleh Ida Padanda Ngoerah seperti Gunung Gondhol, Gunung Patas, Gunung Malang, Gunung Candi Bunga, Gunung Rebuk, hingga akhirnya tiba di Gunung Pulaki.

Di Pulaki, Ida Padanda Ngurah menguraikan keindahan pegunungan dengan sangat mempesona. Gunung itu seperti bersinar ketika diterangi oleh matahari. Di puncaknya ada dua batu besar yang bercahaya bagaikan candi bentar. Batu di pinggir jurang yang tinggi bagaikan pendeta suci yang kata-katanya utama dan nirmala.

Ida Pedanda Ngoerah kemudian berkonsentrasi pada tujuh gunung yang ada di dalam diri (sapta parwwatĕ minusti haneng garbbha), termasuk pula tujuh sungai (sapta gangga), tujuh danau (sapta ranu), hingga tujuh tingkat kasunyatan (sapta sunya). Dengan kekuatan jnyana, amerta diturunkan dengan gagelaran wisarga dan nungswara. Maka, penyucian dilakukan di dalam sarira.

Lalu Ida Pedanda melanjutkan perjalanan ke Barat merekam berbagai telaga suci yang ditemui dari sekitar wilayah pemuteran ke barat. Ketika sampai di Banyuwedang tengah malam dan air laut surut, rombongan Ida Pedanda tersentak melihat di dalam hutan ada tirta yang berkilau karena disinari Hyang Sitangsu (Bulan). Ketika air suci itu hendak diambil saat itu terlihat Tiga Ekor Harimau yang sedang berendam ditengah telaga.

Hana rakwa tinon dhening wadwanning ngwang, mrĕggha natta ya katriṇi, ring saṇdhinging sĕndhang, sigra yā umintar (Kidung Yajnyeng Ukir, bait 315).

Terjemahan.

Ada yang dilihat oleh pengiringku, yaitu tiga ekor harimau, di tengah telaga, dengan segera mereka pergi.

Mreggha natta disini bermakna Samong atau Harimau kendaraan dari Bhatari Durga.

Melihat sempat ada Harimau di sekitar telaga itu, para pengiring Beliau melarang Ida Pedanda Ngoerah untuk menyucikan diri di telaga tersebut. Ida Pedanda tetap teguh untuk menyucikan diri di tempat itu. Ketika menyentuhkan kaki untuk pertama kalinya di air, beliau terperangah karena airnya ternyata panas. Sesuai dengan nama wilayahnya, tirta itu memang Banyu Wedang: Tirta/Air Panas. Ida Padanda Ngoerah sangat meyakini air panas tersebut dapat mengobati berbagai penyakit.
Silakan
Sumber Putu Eka Guna Yasa Tatkala.co


Minggu, 31 Maret 2024

Perang Asimetris Dari Mahabharata Hingga Kini



Presiden ke-35 Amerika Serikat, John F. Kennedy pada tahun 1962 telah mengungkapkan adanya perang gaya baru yang mencari kemenangan bukan dengan menghadapinya, namun dengan cara merontokkan dan menyusutkan musuhnya. Jenis perang ini dikenal dengan peperangan asimetris (asymmetric warfare). Pasalnya dalam perang tidak semata-mata mengangkat senjata api maupun bambu runcing untuk melawan musuh.



Foto; Mutiarahindu.com

Dalam perang asimetris, tidak dapat diketahui dengan pasti siapa musuh yang sebenarnya. Sehingga dalam peperangan ini tidak akan tercium bau mesiu maupun suara tembakan, tetapi pengaruhnya lebih mengerikan dari bom nuklir.



Namun tidak dapat dipungkiri jika terjadi aksi fisik di dalamnya. Teknik penyerangan nir-militer ini biasanya digunakan oleh aktor, kelompok, maupun negara yang memiliki kekuatan militer lemah menghadapi sebuah negara dengan militer yang kuat.


Perang ini dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim dan di luar aturan peperangan yang berlaku dengan spektrum perang yang sangat luas mencakup astagatra (perpaduan antara trigatra: geografi, demografi dan sumber daya alam; dan pancagatra: ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya).

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Perang asimetris memiliki ciri yang lebih soft dan seolah lebih murah dari perang simetris yang cenderung high cost. Namun di balik permainan yang lembut dan murah ini, serangan perang asmetris mampu menghasilkan korban dan kerugian yang tidak kalah besarnya dari perang militer.


Serangan perang asimetris bertujuan untuk membelokkan sistem sebuah negara sesuai kepentingan kolonialisme, melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyat dan menghancurkan ketahanan pangan dan energy security yang menyebabkan ketergantungan negara target atas dua hal tersebut.


Rod Thorton menyebutkan tiga bagian perang asimetris, pertama cyber warfare atau operasi ofensif dalam perang informasi; kedua, senjata penghancur massal seperti senjata biologi, kimia, nuklir, dan radiologi; dan ketiga, senjata konvensional yang direkayasa menjadi non-konvensional dengan taktik-taktik modern, seperti peningkatan teknologi amunisi dengan daya ledak besar. Penyerangan nir-militer sendiri memiliki dampak yang sangat dasyat karena dalam melumpuhkan suatu negara. Selain itu, masa pemulihannya juga relatif lama dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.


Perang asimetris atau perang generasi keempat yang dalam perkembangannya lebih banyak menggunakan kekuatan intelektual daripada militer ini bukanlah teknik baru. Teknik ini telah diterapkan ketika dan sebelum perang saudara Bharatayudha oleh Sri Krishna di pihak Pandava dan Sakuni di pihak Kaurava.

Sejak awal kemunculan Sakuni dalam Mahabharata, ia telah menerapkan metode pertempuran asimetris terhadap Pandava. Mulai dari upaya pembunuhan Bima, istana kardus hingga permainan dadu, yang semua ini dilakukan untuk menyingkirkan Pandava dari Bumi Astinapura. Sebagai upaya pertahanan Pandava, Sri Krishna hadir untuk mengimbangi siasat Sakuni, sehingga Pandava dapat memenangkan pertempuran meskipun dengan jumlah pasukan yang jauh lebih kecil.


Pada masa kini, upaya serangan asimetris salah satunya dilakukan melalui cyber (dunia maya). Dunia maya sebagai alat penghubung interaksi tanpa terhalangi oleh jarak dan waktu ini dalam waktu yang bersamaan memiliki ancaman akibat penyalahgunaan teknologi yang dapat mengacaukan kehidupan masyarakat bahkan negara sejalan dengan tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap suatu teknologi.


Seperti dalam Mahabharata (teknik perang asimetris juga dilawan dengan teknik perang asimetris) sehingga suatu negara wajib memiliki cyber-security atau cyber-army. Mengapa? karena serangan dunia maya tidak dapat dihentikan dengan meriam, pesawat tempur dan alat perang militer lainnya.
Maka, setiap warga negara harus cerdas dalam memilih dan menggunakan teknologi informasi, tidak mudah tersulut oleh api kebohongan dan isu-isu permecah persatuan yang gentayangan di dunia maya.


Penulis: Ni Made Sumaryani (Tim peneliti The Hindu Center Of Indonesia, Anggota Vivekananda Spirit Indonesia. https://www.mutiarahindu.com/2018/04/perang-asimetris-dari-mahabharata.html


Sumber; Media Hindu hal 52-53 edisi 169. Maret 2018



4 Ajaran Sewaka Dharma Kirthanam Dalam Kontek Sosial Yang Dapat Dilakukan

Ajaran bhakti dalam Agama Hindu mengajarkan umat manusia untuk bersembah sujud kehadapan yang dihormati ‘Tuhan Yang Maha Esa’ beserta manifestasi dan prabhawa-Nya. Bhakti atau menyembah kepada-Nya dapat dilaksanakan secara abstrak dan juga dengan mempergunakan nyasa atau pratima berupa arca atau mantra. Menyembah Tuhan dalam wujud abstrak dapat dilakukan dengan menanggalkan pikiran kepada yang disembah adalah amat baik namun kesulitan, hambatan, dan tantangan tetap ada, karena Tuhan tanpa wujud, kekal abadi, dan tidak berubah-ubah. Memuja Tuhan dalam wujud nyata seperti yang dilakukan oleh umat kebanyakan ‘yoga biasa’ diperlukan adanya sarana seperti pratima atau arca, umat sedharma akan lebih mudah untuk mewujudkan rasa baktinya, tetapi ini bukan berarti satu-satunya jalan yang terbaik bagi umat semua.



Photo ; mumbaicha_krishnapingak

Nawa Widha Bhakti adalah salah satu ajaran yang dapat dimaknai dan dipedomani untuk meningkatkan såadha dan bhakti umat sedharma terhadap Tuhan sebagai hamba-Nya. Nawa widha bhakti dapat dimaknai untuk membangun dan menciptakan masyarakat yang berbudi dan individual dalam menciptakan situasi dan kondisi yang damai dan sentosa di tengah-tengah jalinan hubungan sosial yang serasi, selaras dan harmonis. Umat sedharma juga dapat menumbuh-kembangkan kesadaran prinsip hidup bersama yang saling menghargai, menghormati, melayani dan dilayani satu sama yang lainnya dalam satu kesatuan organ-organ sosial sesuai dengan prinsip-prinsip dasar aturan keimanan, kebajikan dan acara keagamaan yang dianutnya serta aturan-aturan etika, moralitas dan kebajikan yang berlaku untuk umum (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 216).


Kitab Ågveda menjelaskan sebagai berikut;


“Yaste stanaá úaúayo yo mayobhür yena viúvàà pusyasi vàryàni,
yo ratnadhà vasuvid yaá sudatraá saraswati tam iha dhatave kaá.


Terjemahan:


‘Sarasvati! air susu-Mu yang berlimpah-limpah sebagai sumber kesejahteraan, yang Engkau berikan kepada semua yang baik, yang mengandung harta benda, mengandung kekayaan, memberikan hadiah yang baik, Susu-Mu Engkau sediakan untuk kehidupan kami (Ågveda, I.164.49).


Dengan Bhakti Kirthanam yakni bhakti dengan jalan melantunkan Gita (nyayian atau kidung suci) memuja dan memuji nama suci, keagungan dan kekuasaan Tuhan, umat dapat melaksanakan pemujaan kepada-Nya. Melalui arah vertikal wujud sadhana Bhakti Kirtanam ini di antaranya; dengan jalan berekspresi atau ber-sadhana melalui media gita (nyanyian suci atau kidung suci) memuji dan memuja keagungan dan kemahakuasaan Tuhan (Brahman) yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari (nitya karma) maupun di saat-saat hari-hari tertentu (naimitika karma), juga umat sedharma dapat melaksanakan pemujaan kehadapan-Nya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Sedangkan pada arah gerak horizantal yaitu pada konteks kehidupan sosial dengan melakukan Sadhana pelayanan khususnya dalam hal ini adalah Sewaka Dharma Kirthanam. Maksud dari Sewaka Dharma Kirthanam pada konteks sosial ini adalah kesadaran untuk berbesar hati membuka diri dan berbagi dalam memberikan pelayanan yang tulus dengan cara memuji dan memuja sesama dan lingkungan ini. Sehingga terjadi keseimbangan arah yang menyerupai tanda tambah (tapak dara bhs.Bali)” arah garis vertikal dan arah garis horizontal” yang mengisyaratkan terjadinya keseimbangan antara hubungan vertical dan horizontal (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 217).



Ajaran Sewaka Dharma Kirthanam ini diyakini mengandung pesan dan perintah yang harus ditindak lanjuti sebagai tanggung jawab moral untuk dilaksanakan dalam konteks kehidupan sosial seperti tersebut di atas. Hal ini diperkuat oleh dasar keimanan Hindu yaitu konsep teologi (Brahmavidya) dalam Hindu, yang paling universal seperti “Sarwam Khalu Idam Brahman”, “Vasudeva Kuntum Bhakam”, “Tat Tvam Asi” (Chand. Up VI. 8. 7), dan sebagainya. Semua pesan moral dari ajaran Nawa widha bhakti mengandung konsep teologi kasih semesta.


Dasar keimanan dalam kitab suci Veda yang memperkuat ajaran ini menyatakan “bahwa semua yang ada dan yang nyata di dunia ini adalah perwujudan Tuhan dan ada dalam kandungan Tuhan (Brahman) baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, yang nyata maupun yang tidak nyata berasal dari dan di kendalikan oleh Tuhan’. Maka berdasarkan konsep teologi Hindu ini, yang selanjutnya di arahkan pada konteks sosial dapat dimaknai bahwa konsep ajaran Bhakti Kirthanam sesungguhnya juga mengadung konsep teologi sosial yaitu sebuah ajaran teologi Hindu yang mengacu kepada kebijaksanaan sosial dengan kesadaran menempatkan spirit Ketuhanan dalam kehidupan sosial dan kesadaran prinsip hidup bersama yang saling menghargai, menghormati, melayani dan dilayani satu sama yang lainnya dalam satu kesatuan organ- organ sosial berlandaskan prinsip-prinsip dasar aturan keimanan, aturan kebajikan dan aturan acara keagamaan yang dianutnya serta aturan-aturan etika, moralitas dan kebajikan yang berlaku untuk umum. Namun jangan dianggap bahwa konsep ajaran ini sebagai sesuatu konsep keyakinan yang menyangsikan kekuatan Tuhan atau ke-Esaan Tuhan. Melainkan konsep Sewaka Dharma Bhakti Kirthanam dalam konteks sosial yang dimaksud pada buku ini adalah bagaimana masyarakat manusia memberikan pelayanan yang tulus dengan cara memuji dan memuja terhadap sesamanya dalam wujud memberikan pujian, pengakuan, penghargaan, penghormatan, baik itu pada ranah pemikiran, perkataan, sikap dan perilaku.


Kesadaran menempatkan spirit Ketuhanan dalam kehidupan sosial sangat dibutuhkan dewasa ini, karena sifat teologi konvensional atau materialistis yang menitik beratkan kemampuan individu dengan segala macam ritualnya sangat membutuhkan kebijaksanaan sosial untuk menyeimbangkan dan menyempurnakannya. Hal ini juga dipandang sangat penting karena kemampuan individu ternyata belum mampu membangkitkan kesadaran terhadap tanggung-jawab sosial selaku makhluk yang memiliki Tri Pramana (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 218).


Sebaliknya, konsep teologi haruslah memberikan jiwa terhadap sradha dan bhakti itu, sehingga sradha dan bhakti tidak memisahkan individu dari lingkungan sosialnya. Dalam cara pandang manusia seperti ini, maka kehidupan ini akan berpusat pada lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, konsep teologi dapat membangkitkan tema-tema bermakna seperti Teologi Sosial yang memandang masyarakat sebagai sebuah sistem organ, layaknya organ tubuh yang hakekatnya satu/bersaudara, yang perlu saling menghormati, menghargai, melayani dan dilayani serta saling melengkapi satu sama yang lainnya.


Sewaka Dharma Kirthanam dalam kontek sosial dari sudut pandang Teologi Sosial merupakan suatu langkah maju guna mencarikan solusi dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat manusia itu sendiri. Nilai-nilai ketuhanan harus diangkat untuk memberi jiwa atau spirit terhadap berbagai permasalahan sosial. Dengan menempatkan nilai-nilai ketuhanan di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (sosial). Konsep-konsep, ide-ide, dan inspirasi teologis khususnya tentang sewaka dharma kirthanam dalam jalinan hubungan sosial antara sesama masyarakat diharapkan dapat berkontribusi positif kepada masyarakat (sosial) agar tercipta suatu situasi dan kondisi masyarakat yang penuh kedewasaan yang dapat hidup berdampingan secara rukun, damai, harmonis dan dinamis.


Sewaka Dharma Kirthanam dalam kontek sosial dari sudut pandang Teologi Sosial merupakan sebuah konsep yang begitu luhurnya, namun kenyataannya, masyarakat dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mengabaikan sisi-sisi sosialnya. Masyarakat justeru, melakukan kompetisi sosial tanpa batas, saling menjatuhkan melalui kritik, umpatan, cacian, hinaan, fitnah, dan sebagainya. Hal inilah yang menyebabkan muncul kesenjangan-kesenjangan dalam kehidupan sosial.
Dalam upaya membangkitkan dan memberikan kembali spirit nilai-nilai Ketuhanan yang mulia itu dalam kontek kehidupan sosial, hal yang dapat diupayakan salah satunya adalah mempraktekkan ajaran Sewaka Dharma Kirthanam dalam kehidupan sosial.


Ajaran Sewaka Dharma Kirthanam akan dapat berkontribusi positif terhadap upaya keselamatan sosial. Atas dasar ajaran tersebut, kesadaran Sewaka Dharma Kirthanam dalam konteks sosial itu dipandang sangat penting. Kesadaran bahwa misi kehadiran manusia di muka bumi untuk mewujudkan keseimbangan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan pencipta-Nya (Tri Hita Karana) dapat diwujudkan (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 219).


Beberapa ajaran Sewaka Dharma Kirthanam dalam kontek sosial yang dapat dilakukan, di antaranya seperti berikut ini:


1. Penghargaan


Pentingnya Sebuah Penghargaan dan Pengakuan dengan cara memberikan ucapan selamat dan pujian. Semua orang termasuk saya dan juga anda tentunya menginginkan bahwa orang yang kita cintai, sayangi dan kasihi menjadi bahagia dan sukses dalam segala aspek kehidupan mereka. Misalnya kasih cinta kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya. Ini merupakan sebuah sentimen yang indah dari tips hubungan bahkan dunia menjadi lebih baik. Ini juga bisa menjadi salah satu cara meningkatkan semangat dan efektivitas kerja seluruh anggota keluarga dan seluruh lapisan masyarakat. Jika semua anggota masyarakat bisa memberikan apresiasi dan bersikap sama kepada semua orang. Tentu ini akan membuat dunia ini jadi sangat luar biasa membahagiakan. Namun semua itu tidaklah cukup hanya meberikan dukungan dengan penuh kasih. Ada beberapa cara lainnya yang dibutuhkan untuk memberikan semangat bagi mereka yang kita cintai, sayangi dan kasihi. Dalam hal ini sesuai dengan konsep ajaran Sewaka Dharma Kirthanam adalah dengan cara memberikan “pujian”.


2. Pujian


Kita semua tahu bahwa pujian akan membangkitkan gairah dan semangat seseorang untuk berlaku lebih dengan apa yang sedang dia kerjakan. Ketika kita memberikan pujian, kita harus memberikannya dengan cara yang tepat agar orang yang kita puji benar-benar bisa meresapi dan bertambah semangat. Kita mungkin sudah terbiasa memuji teman atau para sahabat-sahabat (mitra) kita, atau anak-anak, saudara, tetangga, dan lingkungan masyarakat kita atas keberhasilan mereka. Misalnya, kita mungkin memberitahu mereka betapa bangganya kita karena kebaikan mereka, kesosialan mereka, sikap dan perilaku sosial mereka yang baik, prestasi atau keberhasilan mereka, atau hal-hal lain berkaitan dengan gagasan, ide, pemikiran mereka, perkataan atau tutur mereka, serta sikap dan perilaku meraka yang sangat cerdas, tepat, sopan, santun, baik, arif dan bijaksana atau keberhasilan mereka telah mencapai beberapa tujuan lainnya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 220).

Hal itu merupakan hal yang indah dan membahagiakan saat kita ikhlas dan berbesar hati untuk berbagi kekaguman kita. Namun, jenis kita juga harus akui bahwa pujian juga memiliki sisi negatifnya. Apabila kita menumbuhkan kesadaran Sewaka Dharma Kirthanam maka pastinya pujian yang kita berikan bukanlah sebuah peribahasa atau bahasa kiasan dengan bermasud menyindir atau berbanding terbalik dengan apa yang dipujikan, atau pujian yang penuh kepura-puraan. Sewaka Dharma Kirthanam dalam kontek sosial bisa menjadi salah satu tekanan untuk menjaga kinerja masyarakat semakin hebat dan maju. Lebih penting dari itu semua terciptanya suasana dan kondisi kehidupan sosial yang tenang dan nyaman yang dapat hidup berdampingan secara rukun, harmonis, damai sentosa, saleh dan sejahtera.


3. Rukun, Harmonis, Damai Sentosa, Saleh dan Sejahtera


Kesadaran Sewaka Dharma Kirthanam secara arif dan bijaksana sesuai dengan aturan keimanan, aturan kebajikan dan acara keagamaan dan aturan etika dan moralitas yang berlaku umum ini sangat dibutuhkan Devasa ini, hal ini disebabkan karena terkadang orang yang kita puji mungkin merasa “rendah” ketika mereka gagal, tidak melakukan seseuai dengan harapan, atau ketika mereka melakukan hal-hal di luar kekuatan mereka. Dalam hal ini, orang yang kita puji cenderung mempertanyakan nilai kualitas diri mereka. Bahkan terkadang mereka mungkin mempertanyakan apakah kita akan terus mencintai, mengasihi, menyayangi, bangga, dan sebagainya dengan mereka.

GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI

Penting bagi kita untuk memvalidasi dan memuji orang dengan kesadaran Sewaka Dharma Kirthanam sehingga pujian yang dilontarkan atau diucapkan penuh dengan pertimbangan atau wiweka dari olah rasa, olah pikir, olah kata, dan olah laku sehingga Sewaka Dharma Kirthanam itu dapat berkontribusi positif terhadap pembentukan tubuh fisik dan rohani masyarakat manusia secara utuh dan menyeluruh. Sewaka Dharma Kirthanam dalam proses perjalanannya dapat membantu membentuk karakter atau kepribadian kita dan seseorang yang kita berikan pujian ke dalam bentuk kualitas diri yang paling baik serta berkepribadian yang mawas diri berbesar hati untuk membuka diri dan berbagi, santun, ramah, arif dan bijaksana, toleran, memiliki cinta kasih sayang, harmonis, indah,dan sebagainya.


4. Beban dan Kewajiban


Mengubah paradigma yang tadinya beragama dirasakan menjadi beban, kita usahakan menjadi sesuatu yang ringan dengan cara membiasakan menjadi kebiasaan, dari kebiasaan menjadi suatu kewajiban, semoga dari kewajiban ini menjadi suatu kebutuhan, dan akhirnya ketika ini sudah dirasakan menjadilah suatu cintakasih, perwujudan cinta kasih kepada Sang Maha Pencipta beserta ciptaan-Nya, inilah yang akan diajarkan dalam bentuk “Nawa Widha Bhakti” karena di jaman kaliyuga ini perangkat yang paling ampuh untuk mendekatkan diri adalah 9 jalan bhakti ke hadapan-Nya (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 221).


Berdasarkan uraian di atas, dapat dimaknai bahwa ajaran Sewaka Dharma Kirthanam dalam kontek sosial mengandung konsep dalam upaya tertentu untuk mencapai dan menciptakan kehidupan masyarakat (sosial) yang lebih baik, kreatif, kuat, saling menghargai satu sama yang lainnya, saling melayani dan dilayani dalam lingkaran cakra yajna, serta berkepribadian yang mawas diri, santun, ramah, arif dan bijaksana, toleran, memiliki cinta kasih sayang, harmonis, indah, dan sebagainya yang dilandasi dan menempatkan nilai-nilai atau spirit Ketuhanan dalam kehidupan masyarakat dengan sebuah kesadaran prinsip hidup bersama dalam satu kesatuan organ-organ tubuh sosiokultural sesuai dengan prinsip-prinsip dasar aturan keimanan, aturan kebajikan dan aturan acara keagamaan yang dianutnya serta aturan-aturan etika, moralitas dan kebajikan yang berlaku untuk umum. Guna sebuah pencapaian situasi dan kondisi masyarakat manusia yang Jagadhita sesuai dengan pesan dan tanggung jawab moral (swadharma) dari ajaran Tri Hita Karana yang harus di-sadhana-kan dan dipraktiskan dalam kehidupan sehari-hari (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 222).


Renungan Bhagawadgita, VII.16

“Chatur-vidhà bhajante màm, janàh sukritino ‘rjuna,
àrto jijñàsur arthàrthi, jnàni cha bharatashabha”


Terjemahan:


"Ada empat macam orang yang baik hati memuja pada Ku, wahai Bharatasabha, mereka yang sengsara, yang mengejar ilmu, yang mengejar artha dan yang berbudhi, wahai Arjuna."


“Pra te yakûi pra ta iyarmi manma bhùvo yathà vandhyo no haveûu, ghanvatriva prapà asi tvagagna iyakûave purave pratna ràjan.


Terjemahan:


‘Kepada-Mu kami persembahkan sesajian, kepada-Mu kami panjatkan do’a kami; Engkau adalah ibarat mata air dalam gurun pasir, ya Tuhan Yang Maha Esa! Bagi manusia yang menyembah-Mu, oh raja yang abadi (Ågveda, X.4.1).


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/09/4-ajaran-sewaka-dharma-kirthanam-dalam.html


Ngurah Dwaja, I Gusti dan Mudana, I Nengah. 2015. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.


Sumber: Buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti kelas XII
Kontributor Naskah : I Gusti Ngurah Dwaja dan I Nengah Mudana
Penelaah : I Made Suparta, I Made Sutresna, dan I Wayan Budi Utama Penyelia Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Cetakan Ke-1, 2015



Jenis-Jenis Uang Kepeng dan Fungsinya

Uang kepeng merupakan salah satu sarana yang tidak lepas dari upacara agama Hindu, baik itu dalam upacara Manusa yajna, bhuta yajna, Dewa Yajna, Pitra Yajna mau pun Rsi Yajna. Uang kepeng dianggap sebagai sarana yang sangat penting dalam setiap upacara. Tak heran jika tanpa uang kepeng suatu upacara tidak dapat dilaksanakan. Berdasarkan jenisnya uang kepeng dapat diklasifikasikan menjadi enam jenis diantaranya yakni Uang kepeng Lumrah, Uang kepeng Koci, Uang kepeng Kerinyah, uang kepeng Lembang, uang kepeng Jahi dan uang kepeng Jimat (Sudarma, 2008:15-16).



Foto; Mutiarahindu.com

Jika dilihat bentuk dan fungsinya, maka ke-enam uang kepeng diatas dapat dijelaskan sebagai berikut;


1. Uang kepeng Lumrah


Yaitu uang kepeng yang digunakan dalam setiap upacara agama. Ada pun bentuk dari uang kepeng Lumrah adalah pada bagian tengahnya bergaris tengah sekitar tiga sentimeter dengan warna hitam. Biasanya uang ini terbuat dari perunggu yang kadar tembagahnya tampak lebih besar (Sudarma, 2008:16). Uang kepeng lumrah dinilai memiliki nilaireligius dan lasim digunakan untuk membuat patung dewa seperti patung Dewa rambut sedana.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

2. Uang kepeng Koci


Yaitu uang kepeng yang bentuknya lebih kecil dari uang kepeng biasa dengan garis tengah sekitar dua sentimeter. Uang kepeng koci berwarna hitam dan terbuat dari perunggu yang campuran tembagahnya tampak lebih besar. (Sudarma, 2008:16).





3. Uang kepeng Kerinyah,


Yaitu uang kepeng yang bentuknya sama dengan uang kepeng biasa, hanya saja yang membedakan dengan yang lain yakni warnanya berwarna kuning, sebab bahanya terbuat dari campuran kuningan. Uang kepeng ini tidak memiliki keistimewaan tertentu. (Sudarma, 2008:16).


4. Uang kepeng Lembang


Yaitu uang kepeng yang memiliki ukuran lebih besar dibandingkan dengan uang kepeng biasa. Uang kepeng Lembang memiliki ukuran garis tengah tiga setengah sentimeter dengan warna kuning seperti uang kepeng Kerinyah. Pada umumnya uang kepeng Lembang digunakan sebagai alat judi yang disebut dengan makeles. (Sudarma, 2008:16).





5. Uang kepeng Jahi


Yaitu uang kepeng yang ukurannya sama dengan uang kepeng Koci. Uang kepeng ini pada umumnya juga digunakan sebagai alat judi yang disebut dengan Mapincer. (Sudarma, 2008:16).

6. Uang kepeng Jimat


Yaitu uang kepeng yang digunakan khusus untuk hal-hal tertentu dan tidak digunakan untuk pembayaran. Sebab dinilai memiliki nilai magis dan mistis. Uang ini memiliki beberapa jenis antara lain pipis arjuna, pipis bima, pipis jaran, dan pipis gajah. (Sudarma, 2008:16).

Pipis arjuna, dipercaya bahwa seseorang yang memakai Pipis ini sebagai jimat akan memperoleh sifat-sifat yang menyerupai Arjuna yakni memiliki kemampuan untuk bercumbur rayu dan menaklukan wanita.
Pipis bima, dipercaya bahwa seseorang yang memakai Pipis ini sebagai jimat akan memperoleh sifat-sifat yang menyerupai Bima yaitu jujur, berwibawa mempunyai kekuatan seperti Bima, berwibawa, mempunyai ketahanan dan kekuatan fisik.
Pipis jaran, dipercaya bahwa seseorang yang memakai Pipis ini sebagai jimat akan memperoleh karakteristik seperti kekuatan untuk berlari seperti kuda.
Pipis gajah dipercaya bahwa seseorang yang memakai Pipis ini sebagai jimat akan memperoleh karakteristik seperti memiliki kekuatan sekuat gajah (Sidemen, 1998: 37 – 40).

Selain dari keenam jenis uang kepeng diatas masih banyak lagi uang kepeng yang pernah ada di negeri Nusantara. Seperti misalnya uang kepeng Bobongan Jawa (Pis Bolong Gobongan Jawa), dan Uang Kepeng Gobongan Bali (Pis Bolong Gobongan Bali). Uang kepeng dini diperkirakan ada pada tahun 1769 Masehi sampai 1860 Masehi.

Kemudian Uang kepeng Rerajahan, Uang Kepeng Paica dan Uang kepeng Pretima. Uang kepeng Rerajahan termasuk dalam uang kepeng Jimat, sebab uang kepeng ini dibuat khusus dengan gambar-gambar (dirajah) yang memiliki kekuatan magis. Pada umumnya uang kepeng ini dibuat dari Tembaga, Kuningan dan perunggu.


Uang Kepeng Paica yaitu uang kepeng yang diperoleh karena melakukan tapa samadi pada tempat-tempat suci. Jenis uang ini tergolong Uang kepeng Jimat karena gambarnya merupakan tokoh-tokoh dalam pewayangan seperti dalam kisah Mahabrata dan Ramayana. Uang kepeng Pretima yaitu jenis uang kepeng yang digunakan untuk memuja Tuhan dalam bentuk simbol-simbol. Pada umumnya uang kepeng ini hanya ditemui pada tempat-tempat suci yang sacral.


Seperti kita ketahui bahwa uang Kepeng atau Pis Bolong secara umum dapat diartikan sebagai jenis uang logam yang berbentuk bulat dan ditengahnya berlubang segi empat. Arjan Van Aelst (1995: 357-359) mengatakan bahwa pemerintah majapahit sengaja mengimpor uang kepeng untuk mempermudah transaksi di wilayah Indonesia. Demikianlah jenis-jenis uang kepeng yang penulis dapat rangkum. Semoga bermanfaat.


Referensi https://www.mutiarahindu.com/2018/05/uang-kepeng-merupakan-salah-satu-sarana.html


Arjan, Van Aelst, 1995, Batavia Cas Cain, dalam oriental Numismatic News Letter.
Sudarma, I Putu. 2008. Esensi Uang Kepeng Dalam Ritual Hindu. Surabaya. Paramita.
Sidemen, Ida Bagus. Dkk. 1998. Sejarah Alih Fungsi Uang Kepeng Dalam Lontar Majalah Dokumentasi Budaya Bali, No 11 Tahun III. Denpasar: Tanpa Nama Penerbit

Kamis, 28 Maret 2024

Kisah Anggulimala Thera/ si pemotong jari.

 


Angulimala sebenarnya orang yang terpelajar,karna seringnya membunuh, maka kesadarannya mulai hilang.
Ahimsaka melakukan pembunuhan manusia, dan tidak pernah lalai menghitung. Dia merangkai setiap jari dari setiap orang yang dibunuhnya. Oleh karena itu dia terkenal dengan nama Angulimala, dan menjadi pengacau daerah itu. Raja mendengar perihal perbuatan Angulimala, dan ia membuat persiapan untuk menangkapnya. Mantani, ibu dari Angulimala, mendengar maksud raja. Karena cinta kepada anaknya, ia memasuki hutan, dan berusaha untuk menyelamatkan anaknya. Pada waktu itu, kalung jari di leher Angulimala telah mencapau sembilan ratus sembilan puluh sembilan jari, dan tinggal satu jari akan menjadi seribu.
Pagi-pagi sekali pada hari itu, Sang Buddha melihat Angulimala dalam penglihatan-Nya, dan berpikir bahwa jika Beliau tidak menghalangi Angulimala, yang sedang menunggu orang terakhir untuk memperoleh seribu jari, akan melihat ibunya dan bisa membunuhnya. Karena hal itu, Agulimala akan menderita di alam neraka (niraya) yang tiada akhirnya. Dengan perasaan cinta kasih, Sang Buddha menuju hutan di mana Angulimala berada.
Angulimala, setelah lama tidak tidur siang dan malam, sangat letih dan lelah. Pada saat yang sama, dia sangat cemas untuk membunuh orang terakhir agar jumlah seribu jari terpenuhi, dan menyempurnakan tugasnya. Dia memutuskan untuk membunuh orang pertama yang dijumpainya. Ketika sedang menunggu, tiba-tiba dia melihat Sang Buddha dan ia mengejar-Nya dengan pedang terhunus. Tetapi Sang Buddha tidak dapat dikejar sehingga dirinya sangat lelah. Sambil memperhatikan Sang Buddha, dia menangis, “O bhikkhu, berhenti! berhenti!” dan Sang Buddha menjawab, “Aku telah berhenti, kamulah yang belum berhenti.” Angulimala tidak mengerti arti kata-kata Sang Buddha, sehingga dia bertanya, “O bhikkhu! Mengapa engkau berkata bahwa engkau telah berhenti dan saya belum berhenti?”

Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya, “Aku berkata bahwa Aku telah berhenti, karena Aku telah berhenti membunuh semua mahluk, Aku telah berhenti menyiksa semua mahluk, dan karena Aku telah mengembangkan diriKu dalam cinta kasih yang universal, kesabaran, dan pengetahuan tanpa cela. Tetapi, kamu belum berhenti membunuh atau menyiksa mahluk lain dan kamu belum mengembangkan dirimu dalam cinta kasih yang universal dan kesabaran. Karena itu, kamulah yang belum berhenti.”
Begitu mendengar kata-kata ini dari mulut Sang Buddha, Angulimala berpikir, “Ini adalah kata-kata orang yang bijaksana. Bhikkhu ini amat sangat bijaksana dan amat sangat berani, dia pasti adalah pemimpin para bhikkhu. Tentu dia adalah Sang Buddha sendiri! Dia pasti datang kemari khusus untuk membuat saya menjadi sadar.” Dengan berpikir demikian, dia melemparkan senjatanya dan memohon kepada Sang Buddha untuk diterima menjadi bhikkhu. Kemudian di tempat itu juga, Sang Buddha menerimanya menjadi seorang bhikkhu.
Ibu Angulimala mencari anaknya di dalam hutan dengan menyebut-nyebut namanya, tetapi gagal menemukannya. Ia kembali ke rumah. Ketika raja dan para prajuritnya datang untuk menangkap Angulimala, mereka menemukannya di vihara Sang Buddha. Mengetahui bahwa Angulimala telah menghentikan perbuatan jahatnya dan menjadi seorang bhikkhu, raja dan para prajuritnya kembali pulang. Selama tinggal di vihara, Angulimala dengan rajin dan tekun melatih meditasi, dalam waktu yang singkat dia mencapai tingkat kesucian arahat.
Pada suatu hari ketika Angulimala sedang berjalan untuk menerima dana makanan, dia melewati suatu tempat dimana terjadi pertengkaran antara sekumpulan orang. Ketika mereka saling melemparkan batu, beberapa batu mengenai kepala Angulimala dan melukainya. Dia berjalan pulang menemui Sang Buddha, dan Sang Buddha berkata kepadanya, “Angulimala anakku! Kamu telah melepaskan perbuatan jahat. Bersabarlah. Saat ini kamu sedang menerima akibat perbuatan-perbuatan jahat yang telah kamu lakukan. Perbuatan-perbuatan jahat itu bisa menyebabkan penderitaan yang tak terkira lamanya dalam alam neraka (niraya).” Segera setelah itu, Angulimala meninggal dunia dengan tenang, dia telah merealisasi ‘Kebebasan Akhir’ (parinibbana).
Para bhikkhu yang lain bertanya kepada Sang Buddha di manakah Angulimala akan bertumimbal lahir, Sang Buddha menjawab, “Anakku telah merealisasi kebebasan akhir (parinibbana).”
Mereka hampir tidak mempercayainya. Sehingga mereka bertanya lagi kepada Sang Buddha apakah mungkin seseorang yang sudah begitu banyak membunuh manusia dapat mencapai parinibbana. Terhadap pertanyaan ini, Sang Buddha menjawab, “Para bhikkhu, Angulimala telah banyak melakukan perbuatan jahat karena dia tidak memiliki teman-teman yang baik. Tetapi kemudian, dia menemukan teman-teman yang baik dan dengan bantuan mereka serta nasehat yang baik dia telah dengan mantap dan penuh perhatian melaksanakan Dhamma. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan jahatnya telah disingkirkan oleh kebaikan (arahatta magga).”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 173 berikut:
Barang siapa meninggalkan perbuatan jahat yang pernah dilakukan
dengan jalan berbuat kebajikan,
maka ia akan menerangi dunia ini
bagai bulan yang bebas dari awan.

Rabu, 27 Maret 2024

Manfaat ajaran Siwa-Durga

 


Siwa-durga akan menuntun kita untuk masuk jauh lebih dalam lagi ke alam yang lebih hening, karena hanya dengan keheningan kita akan mampu mendapatkan tuntunan langsung dari sang jiwa yang merupakan percikan terkecil dariNya.
Siwa-Durga akan selalu hadir memegang tangan kita dan mengajak kita untuk melangkah bersamanya, hanya hati yang dipenuhi kasih yang akan mampu mendengar bisikan ini.
Siwa-Durga akan menuntun kita untuk melihat semua adalah wujudnya walau kadang sulit bagi kita untuk menjelaskan hal itu, dan kalaupun terjelaskan semua penjelasan yang terkumpul tak akan dapat mewujudkan wujudnya yang tak berwujud.
 
Siwa-durga adalah tempat mengadu bagi sang diri yang sedang dikunjungi kesedihan dan penderitaan serta tempat menumpahkan segala rasa bahagia dalam kehidupan. dengan mempelajari ajaran Siwa-Durga kita akan belajar melihat segala kejadian di dunia ini sebagai sebuah kebahagiaan seperti Tuhan yang mampu melihat semua dengan rasa yang sama yaitu bahagia.
Siwa-Durga hadir dalam diri sebagai pencipta, pemelihara serta pelebur, inilah sesungguhnya yang membuat kita mampu menciptakan kebahagiaan dari dalam, memelihara rasa itu serta meleburnya, kemenangan atas sang diri akan mudah diraih apabila kita selalu terkoneksi dengan Siwa-Durga
Siwa-durga bukanlah rasa namun selalu hadir memberri rasa pada segala yang ada, Siwa-Durga hadir disetiap tubuh namun beliau bukanlah sang tubuh, Siwa-Durga hadir sebagai sebuah pemikiran namun beliau bukanlah pikiran itu sendiri.
Jadi barang siapa yang telah bertemu dengan Siwa-Durga dalam dirinya maka dia akan meraih kebahagiaan selama menjalani kehidupan, dengan asas kesadaran serta penerimaan, karena kesadaran Siwa -Durga adalah kesadaran tertinggi yang akan menuntun kita untuk terbebas dari segala ikatan pahala-karma.
Bersatu dengan sang kebahagiaan abadi adalah tujuan kelahiran manusia, dengan ajaran Siwa-Durga, serta dengan melibatkan Siwa-durga dalam setiap lembaran hari kita maka kita akan semakin mendekat, bukan saja mendekat kita akan mampu menyatu dengan rasa itu kelak. Dan Beliau menunggu kita untuk hadir serta menyatu denganNya.
Dengan melakukan pewintenan Siwa Durga maka segala selaput yang masih menyelaputi diri kita akan terkelupas menyisakan pintu terbuka yang akan menyatukan kesadaran kita dengan kesadaran Siwa-Durga...
Om Siwa Dhurga Ya Nama