Senin, 20 Mei 2024

Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa

 


Leluhur para Arya Bali
Nama Airlangga berarti “Air yang melompat”. Ia lahir tahun 990 M. Ayahnya bernama Raja Udayana, raja Kerajaan Bali Kuno dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang.
Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata).
Menurut prasasti Pucangan, Maharaja Airlangga dan Narotama berasal dari Bali. Keduanya datang ke Jawa tahun 1006. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Maharaja Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat
Dikutip Unair News, ketika berusia 16 tahun, Airlangga dikirim ke Jawa untuk menjalani pernikahan dengan Galuh Sekar ( mohon dikoreksi jika ada pendapat lain ) putri Raja Dharmawangsa Teguh. Sayangnya, tak lama setelah perayaan pernikahan Airlangga dan Galuh Sekar, ibukota kerajaan diserbu oleh Wurawari.
Di kemudian hari wilayah kekuasaan Kahuripan terbagi menjadi dua bagian untuk kedua putranya. Selanjutnya, Maharaja Airlangga meninggalkan istana dan meletakkan tahtanya. Dia memilih menuju suatu tempat yang jauh dari keramaian duniawi.
Di sana Maharaja Airlangga menjadi pertapa. Sejumlah nama sebutan Maharaja Airlangga mengemuka saat menjalani pertapaan ini, di naskah Serat Calon Arang Airlangga disebut Resi Airlangga Jatiningrat, kemudian juga dengan sebutan Resi Gentayu pada Babad Tanah Jawa, dan berdasarkan Prasasti Gandhakuti dengan Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Citraning Bhuwana.

Minggu, 19 Mei 2024

Kenapa di Bali banyak Rahinan?

 


Om Swastyastu.
Penulis adalah Tamatan IHD Dps doeloe...
Tanya : "Kenapa di Bali banyak Rahinan ?"
Jawab : "Karena Kalender di Bali hanya Sapta Wara, ketemu Panca Wara , setelah Sapta Wara ketemu Panca Wara, akhirnya ketemu Wuku.
Atau ringkasannya : "Sapta Wara + Panca Wara + Wuku"...
Pertanyaan selanjutnya : "Apa itu Rahinan ?"
Jawab : Pada Jempol : Buda Kliwon + Nama Wukunya , misalkan Buda Kliwon Sinta (Nama Wuku sesuai Gambar dst...).

Pada Telunjuk tersebutlah : Tumpek + Nama Wukunya , misalkan Tumpek Landep dst...
Pada Jari Tengah : Buda Cemeng + Nama Wukunya misalkan Buda Cemeng Ukir dst...
Pada Jari Manis adalah Anggar Kasih + (ditambahi) ingat Nama Wukunya ya, misalkan Anggar Kasih Kulantir dan Nama-Nama Wuku seterusnya (Wuku dalam Kotak)...
Pada Kelingking kosong...
Silakan Konfirmasi Umat SeDharma-Umat SeDharma di Grup...
Catatan Tambahan : maaf, Ring/ di Rahina Saraswati adalah di Wuku Watu Gunung, tepatnya Saniscara Umanis Wuku Watugunung.


TALUH BUKASEM (sari pati Durga Dewi)


 

Bhagawan Dunggulan mewejangkan hakekat "manik urip' kemudian diwujudkan menjadi telor pada beragam persembahan banten. bahkan dari telor inilah beragam ulam banten (daging persembahan) berasal.
selanjutnya Bhagawan Dunggulan melanjutkan yoga, memusatkan bhatin, "muah ana teja maya ri lep ning hasta kiwa" lalu munculah cahaya maya dari telapak tangan kiri beliau. cahaya ini kemudian berangsur berwarna kehitaman. singkat cerita cahaya kehitaman ini kemudian menjadi "Taluh Bukasem", telur bekasem. telur ini mengandung kekuatan Durga, "sira pinaka durga dewi" ini (telor bukasem) sebagai perwujudan Durga Dewi.
taluh bukasem adalah salah satu cara pengolahan telur yang bertujuan untuk mengawetkan melalui proses perebusan dengan berbagai macam bumbu, termasuk arang sehingga terjadi proses fermentasi.
oleh peneliti dari Balai Arkeologi Medan, Churmatin Nasoichah dalam “Pengawetan Makanan: Upaya Manusia dalam Mempertahankan Kualitas Makanan (Berdasarkan Data Prasasti Masa Jawa Kuno)” yang terbit di Jejak Pangan dalam Arkeologi, menyebut Prasasti Sangguran (928),Prasasti Jeru-Jeru (930) mencatat proses pengolahan telur dengan cara tertentu agar lebih awet dengan cita rasa khas.
di Bali taluh bukasem tampaknya bukan hanya tentang ragam upaya pengawetan telur untuk kepentingan pangan saja, tetapi memiliki nilai magis religius.
bahkan Widisastra Bhatara Nawa Dunggulan menyebut melalui wejangan bhatara Siwa bahwa taluh Bukasem merupakan perwujudan Durga Dewi.
taluh bukasem memang tak banyak dijadikan serana tetandingan banten terutama yang "kehatur ka luhur" (persembahan kepada para dewa). ada beberapa banten khusus yang mewajibkan penggunaan taluh bukasem misalnya banten yang digunakan untuk laban sang catur sanak pada ritual memohon kawisesan (kekuatan gaib).

pada tetandingan banten tebasan ada beberapa tebasan yang wajib menggunakan taluh bukasem, misalnya tebasan Jayasatru. banten tebasan Jayasatru digunakan saat otonan untuk memohon jaya (kemenangan) satru (musuh), atau saat perayaan tumpek landep.
taluh bukasem muncul melalui yoga Bhagawan Nawa Dunggulan mengandung kekuatan Durga Dewi. kerap dilibatkan pada banten yang bertuah mendatangkan kekuatan magis, ataupun memohon kemenangan. tentu ini bukan sesuatu yang baru, Siwa (bhagawan Dunggulan) kemudian Durga Dewi (taluh bukasem) lalu magis dan kemenangan (banten catur sanak, tebasan jayasatru) ini sangat bisa disimpulkan sebagai alur Durga Puja (pemujaan durga). Ibu Hariani Santiko pada tulisan Bhatari Durga menyebut pemujaan Durga selalu berhubungan dengan daya magis, dan permohonan kemenangan.
konon taluh bukasem juga bisa digunakan sebagai pengganti babi guling untuk banten yang harus menggunakan babi guling tetapi tak mampu menghaturkan. petikan mantra ngayaban banten Guling pun ada yang menyebut nama Durga.
============

Telor, Taluh, anda, antiga, ndog


telur digunakan hampir disemua sarana bebantenan di Bali, mulai dari yang paling sederhana hingg rumit.
Telur yang digunakan diolah dengan dua cara; matah (mentah), lebeng (dimasak).
Taluh lebeng (telur masak) diolah dengan beberapa teknik lalab (rebus), Ginoreng (goreng), Guling (ditusuk lalu dibakar), medadah (dipecahkan digoreng tanpa minyak).
telur yang digunakan pun beragam, dari telur siap (ayam), itik (bebek), angsa.
Pada ritual misalnya pada banten sanggar tawang, sebagai uluning yandya, telur bebek wajib menyertai banten "suci tiba rwa".
lalu kenapa telur itu penting?
dikisahkan pada teks Widi Sastra Bhatara Nawa dunggulan, ketika "jadma" (manusia) sedang sibuk mempersiapkan banten persembahan kepada para Dewata, untuk memastikan banten persembahan sesuai dengan aturan widisastra, maka Bhatara Siwa turun merubah wujud menjadi Bhagawan Dunggulan. singkat cerita diperiksalah semua banten tersebut lalu disimpulkan banten yang dibuat kurang sempurna. untuk menyempurnakan banten tersebut, bhagwan Dunggulan kemudian beryoga, dari yoga yang telah tasak (matang) dari tangan kanan beliau munculah teja maya (cahaya gaib), yang pelan pelan berubah menggumpal lalu menjadi "teja manik". teja manik inilah yang oleh bhagawan disebut "Pinaka Uriping banten" roh dari persembahan.

atas petunjuk bhagawan Dunggulan teja manik ini diwujudkan berupa "manik urip" yang tiada lain adalah telur. diberikan wejangan jika manusia hendak mempersembahkan banten agar memiliki urip (roh) maka wajib menggunakan telor.
TELOR lalu DAGING (lanjutan)
======================
setelah menjelaskan hakekat penyempurna persembahan banten melalaui "manik urip" yang kemudian dirupakan sebagai antiga (telor), pawarah (wejangan) bhagawan Dunggulan pun berlanjut. dari telur ini sarana banten berupa daging bekembang.
pada tutur inilah salah satu rujukan muasal penggunaan daging dari berbagai binatang sebagai bagian penting banten. dari esensi manik urip ini tercipta "antiganing sawung" telur ayam. selain disekalakan menjadi daging sawung (ayam) pada berbagai ulam banten, maka dari telur ayam ini ditumbuhkan makin komplek mejadi segala macam daging berkaki empat.
melalui tutur ini harap jangan salah tafsir bahwa babi berasal dari telur ayam, itu terlalu dangkal. sastra ini bicara tentang esensi urip pada telor ayam yang disejajarkan dengan binatang berkaki empat yang lazim dijadikan ulam banten.
bisa jadi antiganing sawung (telur ayam) mewakili sifat rajasik (liar) dan tamasik (lembam) pada beragam jenis "patikawnang" (segala jenis binatang yang diperbolehkan untuk makanan dan persembahan) yang berciri "catur pada" berkaki empat, babi, kambing misalkan.
pada kisah ini pun dilanjutkan manik urip, bermanifestasi menjadi telur bebek, yang nanti nya berkembang menjadi jenis ulam banten yang berbeda.
jika ditarik mengkerucut naik maka teks ini bisa jadi pelokalan ajaran tantra terutama mamsa (persembahan daging). baik ajaran tantra ataupun teks widi sastra Bhatara Nawa Dunggulan "pasu-bali "(persembahan berupa daging) adalah atas kontrol pengawasan Bhatara Siwa.
===================

 

WARIGA (Wariga gemet lebih banyak ketepatannya)

 


Semut sedulur n kala gotongan
Dalam kepercayaan tentang semut sedulur dan kala gotongan terungkap bahwa hari-hari dimana perhitungan gabungan antara Sapta Wara dan Panca Wara menghasilkan bilangan angka "13" dan terjadi berturut-turut selama 3 hari maka itu dianggap sebagai hari tidak baik (pantangan) untuk melakukan upacara Pitra Yajna (ngaben/Atiwa- tiwa) sebab sesuai artinya akan membawa akibat pada kematian yg berturut-turut di lingkup krama/ braya setempat.
Bagaikan semut yg selalu berjalan beriringan begitu pula masyarakat memahami makna "Semut Sedulur" sebagai isyarat akan adanya iringan mayat bersusulan. Oleh sebab itu ketika perhitungan hari jatuh pada semut sedulur seperti: Sukra-Pon (6+7=13), Saniscara-Wage (9+4=13), dan Redite-Kliwon (5+8=13) maka akan dihindari untuk melaksanakan upacara Pitra Yajna (ngaben/Atiwa-tiwa).
Kala Gotongan jumlah urip gabungannya adalah "14" dan terjadi berturut-turut selama 3 hari seperti: Sukra Kliwon (6+8=14), Saniscara umanis (9+5=14) dan Redite Pahing (5+9=14). Kalau hasil perhitungan jumlah jumlah urip Sapta Wara dan Panca Wara hanya sekali terjadi bilangan "13" atau "14" tentu tidak dapat disebut "Semut Sedulur" atau "Kala Gotongan".
Ingkel wong
Ingkel = lung/pegat
Wong= manusa/manusia. Jadi ingkel wong tidak baik untuk pedewasan yg melibatkan manusia. Mesakapan potong gigi upacara manusa yadnya.

Penuntun wariga dewasa,dan wariga siwamandala, dalam kalender ada yg disebut ingkel = pantangan untuk melakukan suatu pekerjaan/yadnya
1.ingkel wong,wong =manusia.tidak baik melakukan upacara manusa yadnya
Ingkel sato = patangan untuk mulai memelihara ternak,ingkel mina = tidak baik mulai memelihara ikan,tambak,telaga dan sejenisnya.Ingkel manuk = tidak baik untuk mulai memelihara bangsa unggas,: bebek,angsa,ayam,dan burung.Ikel taru = tidak baik menanam pohon"an,mencari kayu untuk bangunan rumah.Ingkel buku = tidak baik menanam/ menebang tanaman yg berbuku misalnya tebu,bambu dan sejenisnya.
Ingkel itu berlangsung selama 7 hari mulai hari minggu - hari sabtu,jadi pantangan berlangsung selama 1minggu sesuai ingkel saat itu.
Pantangan yg tergolong dlm upacara manusa yadnya ada 13 macam :
1.upacara megedong- gedongan
2.upacara bayi baru lahir,
3.upacara kepus puser
4.upacara bayi 12 hari,
5 upaca bayi42 hari,
6.upcara bayi 3 bulan,
7,upacara bayi 6 bulan ( otonan ),
8.upcara tumbuh gigi,
9.upacara tanggal gigi,
10. Upacara mewinten saraswati,
11.upacara enek kelih ( ngrajaswala )
12.Upacara potong gigi,
13.dan upacara pernikahan.

SANG HYANG CANDRA

 


Ini adalah kidung yang sangat sering dikumandangkan ketika ada persembahyangan dan upacara lainnya. Maknanya begitu medalam, dan sangat relevan dengan kehidupan kita. Sangat cocok bukan saja untuk orang tua, tapi juga bagi anak-anak, generasi yang akan datang..
Sang hyang Candra taraanggana pinaka dipa
Memadangi ri kaala ning wengi
Sang hyang Surya sedeng prabhasa maka dipa memadangi ri bhumi mandala
Widya sastra sudharma dipanikanang tri bhuvana sumene prabhaasvara
Yaning putra suputra saadhu gunawaan memadangi kula wandhu wandhawa
(Sumber: Kekawin Nitisastra sarga IV.1)
Seperti Bulan dan bintang menerangi pada waktu malam.
Matahari yang sedang bersinar menerangi wilayah Bumi.
Ilmu pengetahuan, ajaran dan Dharma (Kebenaran/Aturan) memberikan penerangan pada ke tiga Jagat Raya.
Anak baik, yang berbudi luhur dan berguna, menerangi keluarga dan kerabat.
Sumber dari kidung atau nyanyian ini termuat dalam Kekawin Nitisastra yang banyak berisi berbagai ajaran, etika, tuntutan, dll ibarat sebagai penerang dalam menjalani kehidupan.. dan diri kita yang penuh dengan kegelapan..
Sebagai awal, saya mencoba menterjemahkan kata-per-kata yang saya ambil dari buku/referensi dalam Daftar Pustaka, sbb:
Arti kata per kata
Sang hyang Candra – Dewa Bulan; taraanggana – bintang ; pinaka – sebagai; dipa – lampu, cahaya;
Memadangi – menerangi; ri kaala – pada saat; ning – di saat; wengi – malam;
Sang hyang Surya – Dewa Surya, Matahari; sedeng – sedang; prabhasa – menjadi terang; maka – oleh karena; dipa - lampu, cahaya memadangi - menerangi ; ri bhumi – di Bumi; mandala – lingkaran, wilayah
Widya – ilmu pengathuan; sastra – ajaran Sastra (agama); sudharma – kebenaran, hukum; dipanikanang – sebagai lampu, cahaya; tri bhuvana - tiga dunia; sumene – menerangi; prabhaasvara – bersinar;
Yaning – jika; putra – anak; suputra – anak yang baik; saadhu – suci, berbudi luhur; gunawaan – berguna, pandai; memadangi – menerangi; kula – kulawarga/keluarga; wandhu wandhawa – sanak saudara, kerabat.
Bandingkan dengan lontar Slokantara, yang mengandung hal yang sama:
Sarwaridiipakarscandrah prabhate rawadipakah,
Trilokye dipako dharmah suputerah kuladipakah
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Kawi
Kalinganya, yan ing wengi Sang Hyang Candra sira pinaka damar, Yan ring rahina, Sang Hyang Rawi pinaka damar, Yan ring tri loka, Sang Hyang Dharma pinaka damar, Kunang yan ing kula, ikang anak suputra puika damar, ling ning aji
(Slokantara 24 (52))
Terjemahan Bahasa Sansekerta
Bulan itu lampu malam, Surya itu lampu dunia di siang hari, Dharma ialah lampu bagi ke tiga dunia ini, dan putra yang baik itu cahaya keluarga.
Terjemahan Bahasa Kawinya
Waktu malam, Bulanlah sebagai lampunya, di siang hari Mataharilah lampunya, di ketiga dunia ini, Dharma lah sebagai lampunya; dan dalam keluarga, putera yang baik itulah cahayanya. Demikian kata kitab suci.
Kedua lontar Bali/Nusantara: Kekawin Niti sastra dan lontar Slokantara, sepertinya bersumber dari Canakya Nitisatra, berbahasa Sansekerta.
Ekenapi suputrena
Vidya yuktena sadhuna
Ahladitam kulam sarvam
Yatha candrena sarvari
(Canakya Nitisastra, sloka 16)
Sebagaimana Bulan menerangi malam hari dengan cahayanya yang terang menyejukkan,
Begitulah seorang anak suputra yang berpengatuhuan rokhani, insaf akan dirinya, dan bijaksana. Anak suputra ini menyebabkan seluruh keluarganya selalu dalam kebahagiaan.

Rasanya perlu sedikit ada ulasan, untuk lebih memahamami makna spiritualnya..
Bulan, Matahari dan Bintang sebagai penerang kehidupan kita, baik ketika malam maupun pada siang hari. Jika tidak ada Matahari... maka bumi akan selalu gelap, ya tidak ada siang-maupun malam.. yang ada hanyalah malam gelap gulita.
Peranan Bulan-Matahari dan Bintang adalah sebagai kalender.. baik yang didasarkan peredaran Bulan mengelilingi Bumi kita yang lamanya 1 bulan, dikenal dengan Sasih – Sasi (Bulan) atau Month yang juga artinya Bulan. Sitem kalender yang atas dasar bulan ini dikenal dengan Sistem Lunar. Kita banyak merayakan upacara.. pada sasih tertentu.. terutama Purnama pada Sasih tertentu. Misalnya Sasih Kapat, Sasih Ke dasa, dll. Purnama-Tilem dan Gerhana Bulan, adalah waktu yang dipandang suci untuk sembahyang. Matahari juga dijadikan sebagai kalender, dikenal dengan Solar Sistem, dimana Bumi mengitari Matahari selama 1 tahun. Bintang juga, misalnya Bintang Kartika, juga dipakai pedoman dalam kehidupan kita. Dari ke tiga benda langit ini dijadikan sebagai pedoman dalam sembahyang, ala-ayuning devasa.. dll jadi tepatlah Bulan-Matahari-Bintang sebagai penerang dalam kehidupan kita.
Vidya atau ilmu pengetahuan, Sastra atau ajaran agama dan Dharma... inilah pedoman, petunjuk dan patokan.. sebagai penerang dalam menjali kehidupan di ketiga dunia termasuk di dunia ini dan kelak pada dunia lain. Tiga dunia tsb adalah Bhur, Bhuwah dan Swah.. dikenal sebagai Tri Loka.. yang mengawali mantra Gayatri. Ilmu Pengetahuan dan teknologi seperti Sosial – Ekonomi, Politik, Seni.. Teknologi, Fisika, dll adalah Vidya, pengetahuan untuk kehidupan material, sementara untuk kehidupan agama-spiritual adalah sastra dan penerapannya yng dikenal dengan Dharma.
Pustaka suci Brahma Sutra atau Vedanta Sutra yang ditulis oleh Badanarayana atau Maha Rsi Vyasa yang menulis wiracarita Mahabharata dan banyak Purana, menyatakan sastra lah yang yang seharusnya menjadi petunjuk dan pegangan dalam melaksanakan ajaran-ajaran Agama
Sastrayonitvat
(Brahma sutra, sutra 3)
Sastra atau kitab suci (sajalah) jalan menuju kepada pengetahuan yang benar
Jadi sastra atau kitab suci lah yang dipakai pegangan utama yang menuntun manusia Hindu dalam kehidupan sehari-hari dan bidang agama, bukan sekedar olah pikir, spekulatif dan kebiasaan-kebiasaan yang bisa saja bertentangan dengan agama atau Dharma. Atau kadang lebih percaya kepada pewisik, kerawuhan, dll yang mungkin belum tentu adalah sabda Betara atau Dewa.
Pandangan sastra Bali-Nusantara
Bagaimana dengan pelaksanaan agama (dan adat) terutama di Bali?
Secara umum, seperti dimuat dalam lontar Aji Dresti Loka Kretih, menyatakan bahwa dalam menjalankan agama dan adat, khususnya di Bali, hendaknya berpedoman pada Catur Dresta: Niti Agama, Purwwa Dresta, Loka Dresta dan Desa Dresta.
Mangkana temahan ira, apan karaketan letuh sariranya, hetunya yatna pwa sira aniti kramaning Agama Siwa Tirtha, hetuya Sang Hyang Siwaagni juga maka pamari puurnna ning merana kabeh, hana ring sang pandhita, apan sang pandhita Siwa Dharmma putusing tatwa ajnaana, wruhing pasurupaning gring marana, kabeh, anggawe kretta supuurnnaning raat, anresti upapatting wwang kabeh, de nira padha trepti Niti Agama, manuting Purwwa Dresta, Loka Dresta, Desa Dresta, ika tang Catur Dresta, maka sipating wwang amrinh hayuning nagara, wwang sariranya samangke, wwang katekaning kapatyanya, haywa tan weruh ri katatwaning sariranya, mwang sangkan paranya, bhuwanaagung mwang bhuvanaalit.
(lontar Aji Dresta Loka Kretih)
Demikian jadinya, karena dilekati kekotoran tubuhnya, karena itu waspadalah mengikuti peraturannya Agama Siwa Tirta, sebab itu Sang Hyang Siwagni juga sebagai penyempurnaannya (pembasmiannya) hama semuanya, ada pada sang pendeta, karena sang pendeta Siwa Dharma telah sempurna dalam tatwajnana (pengetahuan filsafat), mengetahui penyusupan penyakit hama semua, menjadikan aman tenteram lebih sempurna dunia ini, menjadi hakim semua orang, oleh karenanya sama-sama puas mengikuti Agama, Purwwa Dresta (tradisi kuna), Loka Dresta (tradisi dunia), Desa Dresta (tradisi setempat), itu disebut Catur Dresta (empat tradisi), sebagai patokan mengusahakan kesejahteraan negara, dan dirinya sekarang san sampai kematiannya, janganlah tidak mengetahui akan sejatinya diri, dan asal serta tujuannya, bhuwan agung (jagat raya) dan bhuwana alit (diri manusia).
Jadi menurut lontar Aji Dresta Loka Kretih, untuk mensejahterakan dunia dan diri manusia, hendaknya berpedoman pada Agama (Sastra agama), dan berbagai dresta (pandangan atau tradisi), seperti Purwwa Dresta (tradisi kuna), Loka dresta (tradisi dunia), dan Desa Dresta (tradisi desa setempa).
Dilihat dari kedudukan, dan otoritasi atau kewenangan perincian dari catur dresta tersebut, maka Sastra Dresta berada dalam keduduklan tertinggi begitupula dengan memiliki kewenangan yang tertinggi dalam menentukan benar-salah, baik-buruk, patut-tidak patut dalam mematuhi agama, baru kemudian diikuti dengan dresta yang kedudukannya lebih rendah: Loka Dresta, Purwwa Dresta dan terakhir Desa Dresta. Bukan sebaliknya, yang mana Desa Dresta atau tradisi setempat desa ”mengalahkan” sastra dresta atau agama.
Sebaliknya, ada peringatan bagi yang tidak mengindahkan ajaran Veda, apalagi yang melecehkannya.
Bahkan pustaka Chanakya Nitisastra, lebih tegas lagi memberikan peringatan bagi orang-orang yang melalaikan Veda, apalagi sampai meremehkan atau menghina ajaran Veda:
aanyatha vedapandityam
sastramacaramansyatha
anyatha vadacchantam
lokah klisyanti canyathad
(Chanakya Nitisastra, sloka V.10)
Meremehkan kebijaksanaan ajaran Veda, menghina tingkah laku/kegiatan yang sesuai dengan ajaran-ajaran Sastra / Veda, menjelekkan orang yang selalu berkata lembut bijaksana, tidak ada lain lagi inilah yang menyebabkan kekalutan Dunia.
Kembali pada baris terakhir dari kidung Kekawin Nitisastra tersebut,
Seorang anak, seorang Putra yang suputra, sepatutnya adalah orang yang berguna, bermanfaat bagi keluarga, masyarakat dan negara. Bukan yang menjadi beban, bersifat konsumtif, yang selalu memenuhi kama (nafsu – keinginan) dan harta, tetapi sebaliknya adalah anak yang produktif, yang bekerja dan menghasilkan sesuatu yang berguna. Disamping itu, seorang anak yang sadhu, orang yang suci karena mampu mengendalikan indrianya. Orang sadhu, adalah orang yang sidha, orang yang berhasil dan memiliki sidhi, karena telah menjalankan sadhana dengan tekun. Konon, seorang anak disebut Putraka, karena anak yang suputra akan membebaskan leluhurnya dari siksa neraka.
Astungkara !!
Made Astana
Daftar Pustaka
1. Miwanto”Kekawin Nitisatra – teks, terjemahan dan komentra”, Penerbit Paramita Surabaya, 2015.
2. I Made Darmayasa “Canakya Nitisastra “, Yayasan Dharma Narada, 1995
3. Prof Dr. Tjok Rai Sudharta, M.A. “Slokantara – Untaian Ajaran Etika, Teks, Terjemahan dan Ulasan”, Upada Sstra, 1991.