Sabtu, 06 Juli 2024

Misteri Tangisan Bayi di Areal Patung Bayi Raksasa

 


Sebuah Patung Bayi di catus pata di Banjar Blah Tanah, Batuan Kaler, Sukawati, Gianyar, punya cerita tersendiri. Mulai dari pembuatan, pemilihan tempat hingga kajian fisolofisnya, benar-benar diperhatikan. Apa istimewanya patung bayi ukuran raksasa ini?

Pemangku yang pertama ngayah di kawasan tempat Patung Bayi itu dibangun, Jero Mangku Ketut Widiantara mengatakan, lokasinya memang memilih catus pata. “Pertigaan di sana dianggap sebagai marga agung secara niskala. Seorang tokoh spiritual dari Desa Mas, Ubud mendapatkan pawisik lewat mimpi agar di catus pata didirikan sebuah patung bayi,” ungkap pria 50 tahun tersebut, ketika diwawancari Bali Express (Jawa Pos Group) di rumahnya, pekan kemarin.

Jero Mangku Ketut Widiantara juga mengungkapkan, bahwa patung bayi merupakan sebuah simbol dari Sang Hyang Siwa Budha. Di mana masyarakat sekitar juga menyebut Palinggih Sang Hyang Brahma Lerare. Dikatakannya, seorang anak hasil dari pertemuan Siwa Budha, maka lahirlah Brahmana Lelara yang perwujudannya seorang bayi, namun sudah pintar dengan sastra.

Soal dibangun di wilayah Banjar Blah Tanah, Sakah,

Jero Mangku Ketut Widiantara menerangkan, lokasi itu mempunyai makna secara niskala, yakni Blah Tanah yang mempunyai arti berada di tengah belahan tanah.

“Kenapa juga ada yang menyebutnya di Sakah, sebab Sakah sendiri berasal dari kata Saka, yang berarti sebuah tiang yang kokoh. Maka dibuatkanlah di sana sebuah patung sebagai Palinggih Brahmana Lerara dengan bentuknya yang kokoh,” papar ayah dua anak tersebut.

Ide awal untuk membangun patung, lanjutnya berasal dari tokoh yang juga mantan Bupati Gianyar pada tahun 1989, Cokorda Darana. Kala itu, Cokorda Darana mengajak beberapa sejarahwan, seniman, dan prajuru desa setempat untuk menyelenggarakan rapat, membahas soal pembuatan patung.



Jero Mangku Ketut Widiantara menerangkan, rapat yang diselenggarakan tersebut sempat ada gejolak, ketika membahas patung apa yang cocok dibangun. Namun, akhirnya sepakat mengacu pada pawisik dari orang yang mendalami spiritual, yang menyarankan agar patung yang dibangun adalah Palinggih Brahama Lerara. Maka sesuai saran itu, maka dibangunlah patung di sana, dan diawali dengan prosesi upacara sesuai dresta. “Karena merupakan sebuah hasil dari Siwa Budha, saya yang ngayah jadi pemangku harus juga menggunakan pakaian simbolis Siwa Budha. Yang berisi warna putih dan kuning. Di mana saya berbusana serba putih, sedangkan jero mangku istri menggunakan sentengnya saja yang berwarna kuning. Sebagai simbol saja, agar ada yang berwarna kuning,” papar pegawai PT.Garuda Indonesia tersebut.

Diakuinya, kerap orang mendengar suara tangisan anak kecil yang berasal dari areal Patung Bayi tersebut. “Terkadang masyarakat yang lewat, melihat bahwa bagian kepala patung seperti menoleh ke arahnya. Banyak masyarakat di luar desa yang mengaku melihat kejadian aneh seperti itu,” imbuhnya.

Kejadian aneh seperti itu, lanjutnya, hanya mengingatkan warga setempat atau di luar desa bahwa memang benar patung tersebut memiliki nilai magis.

Dikatakannya, selain digunakan untuk persembahyangan biasa, tidak jarang ada yang nangkil untuk memohon kelancaran, dalam proses mendapatkan keturunan bagi pasangan yang sudah lama menikah, namun belum dikaruniai seorang anak.

“Bahkan ada juga umat non Hindu mohon diberkati keturunan atas petunjuk keluarganya yang Hindu. Ketika orang tersebut datang kembali, mengaku sudah dikaruniai anak,”ulasnya.

Jero Mangku Istri, Ni Made Sutini mengungkapkan, kadang ia kewalahan menjalani sebagai pangayah. Sebab, pelaksanaan pujawali di Patung Bayi berbarengan dengan piodalan di merajannya. “Semua persiapannya harus dilakukan dari jauh-jauh hari. Ya mau gimana lagi, orang sudah kasudi (ditunjuk) untuk ngayah. Hanya bisa menjalankan dengan ikhlas saja, yang penting diberi kesehatan saja sudah syukur,” akunya.

Apalagi, lanjutnya, Jero Mangku Lanang yang sampai saat ini masih aktif bekerja. “Ketika piodalan, maupun dalam persiapannya mau tidak mau ia harus mengambil cuti,” terangnya disela-sela pembuatan banten. Ditambahkannya, banyak warga yang melintas, berhenti untuk menghaturkan canang, memohon keselamatan di perjalanan.

Nah, jika ingin nangkil ke Patung Bayi atau ke Palinggih Brahmana Lelara tersebut, sangat gampang dan jangan takut kesasar. Sebab mencarinya sangatlah mudah, karena lokasinya sekitar dua kilometer utara Pasar Sukawati.

(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber

Pura Goa Raja Taksaka Stana Ratu Niang Sakti

 


Pura Goa Raja Taksaka berlokasi di Banjar Gerokgak Gede, Desa Delod Peken, Kecamatan/Kabupaten Tabanan mulai dikunjungi umat dan penekun spritual. Pura ini ditemukan tanpa sengaja oleh Mangku Rawet sekitar 1980. Bermula dari nasib naas Mangku Rawet yang terjatuh ke jurang di depan rumahnya. Jurang ini berkedalaman sekitar tujuh meter dan di sisi baratnya terdapat gua yang cukup besar. Anehnya, pada saat akan menyentuh dasar jurang, tubuh Mangku Rawet seakan ada yang menyangga. Rasa sakit tidak dirasakannya meski ia sempat pingsan.

Sesaat setelah tersadar, Mangku Rawet melihat-lihat kondisi di sekitar jurang tersebut. Merasa ada keajaiban dengan tidak ada rasa sakit dari terjatuhnya ke jurang, Mangku Rawet memberanikan diri memasuki goa. Saat itulah ia menyaksikan reruntuhan palinggih. Ia pun memutuskan makemit ditemani sang istri, Ni Wayan Putri. Pada saat melakukan pakemitan, Mangku Rawet merasakan kehadiran sosok orang bertubuh besar yang sekujur tubuhnya dipenuhi bulu. Saking besarnya ia tidak bisa melihat wajah sosok tersebut. Sementara sang istri merasakan nyaman dan damai.


Dua bulan setelah terjatuh ke jurang, Mangku Rawet kembali mendapat musibah. Kali ini mengalami kecelakaan hingga kakinya patah. Semalam sebelum kecelakaan ia bermimpi bertarung dengan sahabatnya. Akibat dari kecelakaan tadi, Mangku Rawet harus dirawat di Rumah Sakit Sanglah. Teringat dengan keberadaan reruntuhan palinggih di dalam goa, Mangku Istri kemudian tangkil dengan banten seadanya untuk memohon kesembuhan suaminya. Di hadapan reruntuhan palinggih ini Mangku Istri masesangi (berkaul). Apabila suaminya cepat sembuh maka ia dan suami akan memperbaiki reruntuhan palinggih tersebut dan siap menghaturkan pujawali setiap 210 hari sekali.

Mangku Rawet akhirnya sembuh total dan kaul untuk membangun palinggih di dalam goa pun ia bayar. Setelah pembangunan palinggih usai, dilanjutkan dengan upacara pemelaspasan atas biaya sendiri. Bersamaan dengan digelarnya pemelaspasan ini juga dilakukan prosesi nunas bawos untuk mengetahui yang berstana dan nama tempat tersebut. Hasilnya, diketahui yang berstana tiada lain Ida Ratu Biyang Sakti dan Ratu Niang Sakti. Sementara untuk nama tempat, Pura Goa Raja Taksaka. Terungkap pula Ida Sasuhunan yang berstana di Pura Goa Raja Taksaka ini berhubungan erat dengan Ida Sasuhunan yang berstana di Pura Goa Giri Putri Nusa Penida.

Usai prosesi nunas bawos berlangsung, Mangku Rawet dan istrinya melakukan prosesi pawintenan sebagai juru sapuhdi Pura Goa Raja Taksaka. Mangku Wayan Putri menjelaskan, jika ingin sembahyang ke pura ini, diawali dengan persembahyangan di palinggih Ratu Dalem Gumi di jaba sisi. Selanjutnya turun ke jurang untuk masuk ke dalam goa atau jeroan Pura Goa Raja Taksaka dan melakukan persembahyangan di Pura Beji. Letak beji masuk sekitar sepuluh meter ke dalam goa. Usai dari beji persembahyangan dilakukan di palinggih Ratu Lingsir di goa lainnya yang mengarah ke selatan dan di palinggih Ibu Dewi Kwam In. Terakhir persembahyangan di Palinggih Ageng.

Pura Goa Raja Taksaka mulai ramai dikunjungi umat dan penekun spiritual yang kebanyakan datang dari luar Tabanan, bahkan dari luar Bali. Pura Goa Raja Taksaka hanya diempon Mangku Rawet dan keluarga kecilnya. Pujawali setiap Buda Kliwon Gumbereg. gus –sumber


Banten Pengenteg Hyang

 



(Pejati, Sorohan tumpeng pitu cenik n prasita, Sesayut pengambyan, segehan selem adanan)
di haturkan ring soang - soang merajan sebagai Yasa Kerti Upacara Bhumi Sudha.
Pejati:
Banten tumpeng pitu:
Sesayut Pengambean:
Segehan selem adanan:
Banten tumpeng pitu:
Taledan; peras 2 tumpeng, pengambean 2 tumpeng, tulung 1 slingkut 1 tumpeng, sayut 2 tumpeng, kojong rasmen, penyeneng, sodan, pesucian, bungkak gading

Jumat, 05 Juli 2024

Ciri-ciri Anak Melik dan Cara Merawatnya








Melik adalah suatu anugrah pada saat kelahiran anak yang teramat besar dari Ida Sang Hyang Widhi. Dalam Lontar Purwa Gama disebutkan bahwa Anak yang memiliki melik mempunyai rerajahan sejak lahir yang dapat menimbulkan kematian, sehingga diperlukan upacara pebayuhan otonan melik pada si anak untuk menetralisir kekuatan tersebut dan selalu ingat dalam melaksanakan suci laksana untuk mempertahankan dan meningkatkan kesucian diri.

Rerajahan yang terdapat pada orang melik biasanya terdapat di telapak tangan, dijidat atau di bagian tubuh tertentu selain itu juga bisa terdapat tanda senjata terkadang terdapat salah satu dari sembilan senjata pengider bhuwana tergantung tugas yang diemban sang anak lahir ke dunia, dengan rerajahan senjata para dewa seperti:




Bajra
Gada
Nagapasa
Cakra
Dupa
Angkus
Trisula
Moksala,
Api dan Angin


Tentu jika ingin melihat tanda-tanda berupa sejata diatas pada orang melik tidak dapat dilihat dengan kasat mata/ mata orang biasa. Melik atau tidaknya seseorang biasanya diketahui setelah matetuun atau mepinunas pada sulinggih atau balian. Orang yang melik mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang biasa pada umumnya.

Ia disenangi semua golongan roh halus, baik itu roh yang bersifat negatif (butha) juga para dewa-dewi.


Ciri-ciri Anak Melik

Kelahiran “melik” terlihat dari tanda-tanda di tubuhnya, antara lain :

1. Ketika lahir, badannya dililit tali plasenta beberapa kali putaran. Kelahiran seperti ini sangat jarang terjadi, dan kalau ada, kebanyakan mati beberapa saat sebelum keluar dari rahim ibunya.

2. Ketika tumbuh berumur +/- 2 tahun, rambut di kepalanya kusut (sempuut). Walau digundul, tumbuhnya sempuut lagi.

3. Kepalanya mempunyai pusaran (usehan) 3 atau lebih

4. Lidahnya poleng (ada warna hitam/coklat)

5. Ada tahi lalat besar (maaf) di kemaluannya


Semakin cepat seseorang mengetahui dirinya memelik maka semakin bagus sehingga akan segera dibuatkan upacara penebusan untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk dari memelik.

Jika tidak mendapat banten penebusan maka biasanya orang yang memelik sesuai dengan kelahirannya ada yang diambil pada saat baru bisa berjalan, ketika baru menikah dalam upacara pawiwahan, dan ada juga pada saat baru mempunyai anak. Dengan pebayuhan melik akan dinetralisir kekurangan yang ada dalam dirinya (menghilangkan apes pengaruh melik). Supaya semua kekuatan bersinergi, agar dapat keseimbangan antara Bhuana Agung dan Bhuana Alit.


Sesungguhnya orang Melik itu adalah berkah bagi keluarganya karena dia ibarat lokomitif atau pesawat terbang yang akan mengantarkan keluarganya ke alam kebahagiaan sekala-niskala. Maka tolong bantu dan bimbing orang-orang Melik itu karena dia akan berguna tidak hanya bagi keluarga yang memiliki tetapi juga bagi masyarakat luar, bahkan bangsa.

Dalam sejarah Bali, ada contoh kelahiran melik yang sangat heboh, yakni kelahiran bayi tahun 1599 M, hasil perkawinan (tidak resmi) Dalem Seganing dengan Si Luh Pasek Panji. Ketika lahir, tubuh bayi itu seluruhnya berwarna merah darah, dan di malam hari dari ubun-ubunnya keluar sinar terang berwarna biru. Oleh karena itu bayi itu dinamakan Ki Barak Panji. Ternyata setelah besar beliau sangat sakti sehingga berhasil menjadi Raja Buleleng I dengan gelar I Gusti Anglurah Panji Sakti.

Bahkan ada pula yang mengatakan entah benar atau tidaknya kami sendiri belum berani memberi kepastian, dikutip dari blog I Gede Junidwaja menyebutkan “Jangan lupa Presiden RI Pertama Soekarno pun orang memelik, saya tahu dan pernah bertemu dengan saksi yang masih hidup dan memang mampu mengenali orang memelik.”

Merawat Anak Melik

Anak melik biasanya “kerinyi” (bahasa Indonesia : sensitif, mudah tersinggung, mudah marah, dll). Jadi ia perlu diperlakukan beda, misalnya kamar tidurnya harus selalu bersih dan suci, ada pelangkiran diatas hulu tidurnya. Ia perlu sering-sering melukat ke Gerya, makanannya di jaga agar selalu memakan makanan yang satwika (lihat tt hal ini di website ini). Banyak bergaul dengan orang-orang suci, karena dia merasa dekat dengannya. Kalau makin dewasa, berikan pelajaran agama yang intensif, panggilkan guru agama kerumah untuk les, dan berikan pelajaran spiritual secara bertahap. Nanti ia akan berumur panjang dan menjadi orang suci, karena atman (roh) nya sudah dalam kondisi siap menerima lanjutan kemampuan supranatural.

Bagaimana caranya agar orang Memelik tidak pendek umur?
Syarat pertama adalah jaga makanannya, jangan sampai makan makanan kotor sekala niskala.

Makanan jenis: darah, tulang dan jeroan hindari; Kalau bisa pantang daging hewan berkali empat. Minumuan jenis: beralkohol, arak, tuak, berem jauhi. Idealnya adalah makan makanan organik dan vegetarian.

Lalu yang terpenting berikutnya adalah jangan melakukan hubungan sex di luar pernikahan.

Jangan menginap dan tidur di sembarang tempat. Kalau terpaksa maka sebelum tidur harus dilakukan pemberisihan dan pengamanan terlebih dahulu. Sebenarnya jika sudah punya Guru maka Guru itu pasti mengajarkan tata cara ini.



 





KAKAWIN SUTASOMA



Kitab Sutasoma digubah oleh Mpu Tantular dalam bentuk kakawin (syair) pada masa puncak kejayaan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk (1350 – 1389) atau +/- abad ke-14. Kitab yang berupa lembaran-lembaran lontar ini demikian masyhur dalam khazanah sejarah negeri ini karena pada pupuh ke-139 (bait V) terdapat sebaris kalimat yang kemudian disunting oleh para ‘founding fathers’ republik ini untuk dijadikan motto dalam Garuda Pancasila lambang Negara RI. Bait yang memuat kalimat tersebut selengkapnya berbunyi:

Hyāng Buddha tanpāhi Çiva rajādeva

Rwāneka dhātu vinuvus vara Buddha Visvā,

Bhimukti rakva ring apan kenā parvvanosĕn,

Mangka ng Jinatvā kalavan Çivatatva tunggal,

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Terjemahan bebasnya:

Hyang Buddha tiada berbeda dengan Syiwa Mahadewa

Keduanya itu merupakan sesuatu yang satu

Tiada mungkin memisahkan satu dengan lainnya

Karena hyang agama Buddha dan hyang agama Syiwa sesungguhnya tunggal

Keduanya memang hanya satu, tiada dharma (hukum) yang mendua.

Dengan demikian pernyataan bhinneka tunggal ika tersebut sebenarnya merupakan bagian amat kecil dari buah karya Mpu Tantular. Sebagai bagian yang amat kecil, tak ada yang istimewa pada kata tersebut, apa lagi kemuliaan, bahkan arti harfiahnya pun sangatlah sederhana: berbeda itu satu itu (bhinne = berbeda; ika = itu; tunggal = satu; ika = itu). Lain dari itu, kalimat tersebut pun adalah bagian dari konsep beragama, samasekali jauh hubungannya dengan konsep politik seperti pada pengertian sekarang.

Motto atau semboyan Indonesia tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini. Kakawin ini mengenai sebuah cerita dengan pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya. Amanat kitab ini mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha. Kakawin ini digubah oleh mpu Tantular pada abad ke-14.
SINOPSIS KAKAWIN SUTASOMA

Dikisahkan pada zaman kaliyuga di kerajaan Hastina, memerintahlah raja Mahaketu dengan permaisurinya Prajnyadhari. Mereka berdua sedang bersusah hati karena belum mempunyai keturunan, namun mereka tidak hentinya berdoa kepada sang Budha agar diberikan keturunan. Hingga akhirnya suatu saat sang Budha menampakkan dirinya dan berkata bahwa Beliau akan lahir sebagai putra dari Raja Mahaketu.

Beberapa lama kemudian lahirlah putra dari sang raja yang diberi nama Sutasoma, dia adalah pangeran yang sangat tampan dan juga cerdas. Sesudah pangeran dewasa, raja dan seluruh punggawa kerajaan meminta agar pangeran bersedia menjadi raja, namun tanpa disangka pangeran menolak menjadi raja dan memilih untuk menjadi pertapa. Tentu saja keinginan pangeran ini ditentang oleh raja dan ratu dan juga oleh para punggawa kerajaan. Semuanya silih berganti menasehatinya, namun pangeran tetap berkeras dengan keinginnanya.

Keesokan harinya, pangeran pergi meninggalkan istana untuk menjadi pertapa tanpa diketahui oleh siapapun dan tentu saja seisi Istana menajdi panik mencarinya dan raja dan ratu sangat berduka. Dikisahkan perjalanan pangeran ke hutan menuju gunung semeru, diperjalanan dia bertemu dengan para pertapa, dan sekali lagi para pertapa ini juga mengingatkan pangeran agar kembali ke istana untuk menjadi raja yang akan memberikan kedamaian pada dunia. Mengingat keadaan dunia yang sedang kacau akibat tingkah seorang raja yang bernama Purusada. Kemudian diceritakan juga asal-usul Purusada yang pada kehidupan sebelumnya bernama Suciloma yaitu seorang raksasa yang sangat sakti, namun akhirnya bisa dikalahkan oleh Agrakumara yang merupakan titisan Budha. Suciloma kemudian menjadi seorang pertapa dan kemudian wafat. Suciloma lahir kembali menjadi putra dari raja Sudasa yang bernama Sudanda, pada awalnya dia adalah raja yang tekun dalam melakukan ajaran agama, dia kemudian diberi gelar Jayantaka. Akan tetapi setelah diberikan sebuah anugerah oleh Rudra, dia berubah menjadi raja yang bengis. Adapun sebab berubahnya sifat raja tesebut karena dia menyantap daging manusia secara tidak sengaja yang disiapkan oleh juru masak instana. Sejak saat itu Jayantaka selalu ingin memakan daging manusia, dan dia menjadi penganut Bhairawa dan menjadi raja dari para raksasa serta menciptakan kekacauan di dunia. Oleh karena Jayantaka merupakan kelahiran dari Suciloma dan Sutasoma adalah titisan Budha maka hanya Sutasoma yang mampu mengalahkannya. Namun, Sutasoma tetap menolak untuk menjadi raja dan berperang, dia lebih memilih untuk menjadi pertapa.

Kemudian Sutasoma melanjutkan perjalanannya, dimana dia bertemua raksasa berkepala gajah yang menyerangnya, namun oleh kesucian pikirannya akhirnya raksasa yang bernama gajawaktra itupun tunduk kepadanya dan bersedia menjadi biksu pengikut Sutasoma. Ditengah perjalanan mereka kembali dihadang oleh seekor naga, namun akhirnya naga ini pun berhasil dikalahkan dan akhirnya menjadi pengikut Sutasoma juga. Di suatu tempat mereka bertemu dengan macan betina yang hendak memangsa anaknya karena susahnya mencari makanan di hutan itu. Oleh Sutasoma, dia merelakan dirinya untuk dimangsa oleh Macan betina tersebut asalkan anak macan tersebut dibebaskan. Macan tersebut setuju dan akhirnya Sutasoma dimakan oleh Macan tersebut dan dia pun meninggal. Setelah itu macan betina menjadi menyesal setelah membunuh orang yang baik hati, yang berhati mulya dan penuh cinta kasih. Oleh dewa Indra, Sutasoma dihidupkan kembali. Namun Sutasoma manjadi sedih hidup kembali, karena tujuannya adalah memang bersatu kembali dengan sang Budha. Namun Dewa Indra berkata bahwa pengorbanan Sutasoma adalah bentuk cinta kasihnya kepada kehidupan, dan dunia membutuhkan orang sepertia dia. Kemudian diceritakan Sutasoma memberikan wejangan agama kepada para pengikutnya yaitu gajawaktra, sang naga dan macan betina mengenai ajaran dharma yaitu jalan Siwa dan Budha.


Diceritakan kemudian mengenai pertapaan Sang Sutasoma, para dewa kemudian mengirim bidadari untuk menggoda tapa dari Sutasoma, namun itu tidak berhasil. Akhirnya kembali Dewa Indra turun ke dunia menjadi bidadari dan menggoda tapa Sutasoma namun tidak berhasil juga. Sutasoma kemudian berubah menjadi Wairocana (perwujudan Budha). Indra kemudian memberikan sembahnya dan mengingatkan kembali bahwa tujuan kelahiran Budha kembali bukanlah untuk menjadi pertapa melainkan untuk menegakkan kebenaran dan memberikan kedamain di dunia yaitu dengan menaklukan Purusada. Indra juga menceritakan bahwa saat ini Purusada sedang terluka dan dia berkaul kepada Bhatara Kala, jika dia sembuh dia akan menghaturkan 100 orang raja kepada Bhatara Kala. Akhirnya Sutasoma terbangun dari tapanya dan menyadari tugasnya di dunia ini dan dia memutuskan kembali ke kerajaannya.

Dalam perjalanan pulang, kembali dia bertemu dengan raksasa yang bernama Sudahana. Raksasa ini merupakan pengikut dari Purusada. Sudahana sedang terluka setelah diserang oleh Raja Dasabahu yang merupakan sepupu dari Sutasoma. Raksasa ini memohon agar diberikan pengampunan oleh Sutasoma dan berjanji akan menjalankan ajaran Budha setelah sembuh. Sutasoma mengabulkan permintaan raksasa tersebut, namu tiba-tiba datanglah Raja Dasabahu yang berkeinginan membunuh Sudahana, dia berpikiran bahwa Sutasoma adalah pelindungnya oleh karenanya dia menyerang Sutasoma.

Manggala
Pada Kakawin Sutasoma terdapat sebuah manggala. Manggala ini memuja Sri Bajrajñana yang merupakan intisari kasunyatan.Jika beliau menampakkan dirinya, maka hal ini keluar dalam samadi sang Boddhacitta dan bersemayam di dalam benak. Lalu beberapa yuga disebut di mana Brahman, Wisnu dan Siwa melindungi. Maka sekarang datanglah Kaliyuga di mana sang Buddha datang ke dunia untuk membinasakan kekuasaan jahat.


Pengarang, waktu penulisan, dan Hal yang Terkait dengan Sutasoma :

Dalam sastra kakawin yang berasal dari jaman Kediri, pengaruh Budhisme hampir tidak ada, baik dalam pemilihan tema, cara pembahasan, manggala maupun deskripsinya. Dalam Arjunawijaya, Budha disebutkan pada bagian perjalanan Arjuna Sasrabahu beserta permaisurinya, dimana mereka menjumpai candi Budha. Sedangkan pada Sutasoma, jelas sekali terlihat yaitu penyebutan Sutasoma sebagai titsan Budha.

Sutasoma dapat dikatakan sebagai kakawin yang menggabungkan unsur Budha dan Hindu menjadi satu (kemanunggalan) serupa dengan situasi dan kondisi saat itu, yaitu agama pada masa kerajaan Majapahit (Budhisme Mahayana dan Siwaisme). Ada kemungkinan Raja Sutasoma merupakan raja Kertanegara yang beragama Budha Tantra, raja ini dinobatkan sebagai Jina (Dhyani Budha) hal ini disebutkan dalam Negarakertagama (Siwabudhaloka). Kemanunggalan antara agama Hindu dan Budha dapat dilihat dari inti cerita kisah ini, yaitu Sutasoma (mewakili ajaran Budha) berseteru dengan raksasa Purusada (mewakili Siwa (Hindu)), Purusada sebagai penganut Siwaisme tidak menyukai Sutasoma yang merupakan titisan Budha, pada akhirnya Purusada (siwa) ‘ditundukkan’ oleh kewelas asihan Sutasoma (Budha) Siwa merupakan Budha dan begitupun sebaliknya mereka adalah satu dan sama. Menurut saya pribadi, cerita ini dimaksudkan untuk menyatukan penganut Budha dan Hindu (Siwaisme) pada masa kerajaan Majapahit, supaya tetap bersatu tanpa ada perselisihan karena kedua ajaran itu pada intinya bermuara pada satu tujuan yang sama yaitu mencapai kemanunggalan (menjadi Budha atau Siwa). Sampai saat ini kakawin Sutasoma sangat digemari di pulau Bali, atau sekurang-kurangnya dalam kalangan tertentu yang menempatkannya di atas kakawin lain. Bahkan di suatu forum diskusi, Sutasoma masih menjadi topik yang menarik untuk dibahas, terutama oleh penganut Budha. Nama mpu Tantular saat ini lebih dikenal sebagai nama museum di Surabaya.
ALIH AKSARA KAKAWIN SUTASOMA

1). Çrî Bajrajñâna çûnyâtmaka parama sirânindya ring rat wiçesa

lîlâ çuddha pratis.t.hêng hredaya jaya-jayângken mahâswargaloka

ekacchattrêng çarîrânghuripi sahananing bhur bhuwah swah prakîrn.a

sâks.ât candrârka pûrn.âdbhuta ri wijilira n sangka ring Boddhacitta

2). Singgih yan siddhayogîçwara wekasira sang sâtmya lâwan bhatâra

Sarwajñâmûrti çûnyâganal alit inucap mus.t.ining dharmatattwa

Sangsipta n pèt wulik ring hati sira sekung ing yoga lâwan samâdhi

Byakta lwir bhrântacittângrasa riwa-riwaning nirmalâcintyarûpa

3 ). Ndah yêka n mangkana ng çânti kineñep i tutur sang huwus siddhayogi

Pûjan ring jñâna çuddhâprimita çaran.âning miket langwa-langwan

Dûrâ ngwang siddhakawyângitung ahiwang apan tan wruh ing çâstra mâtra

Nghing kêwran déning ambek raga-ragan i manah sang kawîrâja çobha

4 ). Pûrwaprastâwaning parwaracana ginelar sangka ring Boddhakâwya

Ngûni dwâpâra ring treat kretayuga sirang sarwadharmânggaraksa

Tan lèn hyang Brahma Wisnwîçwara sira matemah bhûpati martyaloka

Mangké n prâpta ng kali çrî Jinapati manurun matyana ng kâla murkha

5). Sambandhan sri mahâketu kurukula sirânak nirâng korawângsa,

Dewi prajnadhari kâsih-ira pinuji ring rât putus ring kahaywan,

Ngkâneng râjyâdhimkeng hastina siniwi tkap ning mahâwira sangghya,

Sakweh-kweh sang watek bhupati sira mararem bhakti ring sri narendra.

6). Sobhang râjyâ halep lwir smara bhawana leyep sarwwa dibyâprameya,

Dwâranyâ marppat atyâbhuta kanaka murub lwir gunung bahni muntab,

Sok rangkang mas manindre dalem-ika kumnar râtna sangghyânya muncar,

Diptâng wâratri denyâ rahina sama hidep ning wwang-ing jro kadatwan..

7). Kintu pwekang sarat durbbhala kinarana ning daitya len râksasâkweh,

Kirnnâglar sok penuh ring wanacala nikanang râtna kandâdirâjya,

Kruramrp kuwwa mungpang mamirurut anawan wanwasancurnna denya,

Wrin-wrin sakwehwatek bhâratakula karuhun sang tapvswi nagâgra.

8). Nâ hetu sri narendrângutus i sahanan ning wira yodhâdbhuteng prang,

Mwang sang yogiswarângampeha ri panasing detya kâlâgni tulya,

Ndatân mantuk jugânghing suta haji karengo bhasmya ning satru sakti,

Mangkâ ling sang munindrâkira-kira ri hajeng sri mahâketu raja.

9). Warnnan sang sri narendrâdhipa sira maharep mânakâ mwang sudewi,

Hetunyân boddhi cittenulah-ulah-ira ring sthâna sang hyang jinârcca,

Rep prâtang ratri tistis marengi hning-ikang jnana cândropamanya,

Ngkâ tâ sri boddhisatwâja ri gati nira yan sunwa sang sri narendra.

10). Tustâmbek sri mahâketu manemu paramânugrahâ hyang jinendra,

Sighron ampeh nirang yoga wkasan-umijil sobha sangkeng pahoman,

Prapte ngkaneng sudewi sira mawara-warah yan huwus labda kâryya,

Byaktang rât swastha curnnang kali helem-iwijil sri mahâsakya snghâ.

11). Ndah sighrang kâla tandwângidam-ika sira sang sri maharaja putri,

Hârsâmbek sri narendrângariwuwus ri manah sang sdeng kesyanâmrat,

Pujâ mantra stuti mwang sayu-sayut-iniwohoma yajnânukâri,

Sakweh sang bhiksukâcâryya nagara humiring yoga sang sri narendrâ.

12). Ndah sakweh-kweh nikang stri dalem-ika rumngo garbbhini sri supatni,

Wrddhâ lek sighra molah wteng-ira matutur sang haneng garbha dibya,

Lindu tang bumi tejâ narawata dumilah trus tekeng swargaloka,

Hung hung ning dewa sangghyeng langit-ajaya-jayan sottaning budha janma.

Pupuh nomor 148

Nâhan tântyanikang kathâtiçaya Boddhacarita ng iniket

Dé sang kawy aparab mpu Tantular amarn.a kakawin alangö

Khyâtîng rat Purus.âdaçânta pangaranya katuturakena

Dîrghâyuh sira sang rumengwa tuwi sang mamaca manulisa

Bhras.t.a ng durjana çûnyakâya kumeter mawedi giri-girin

Dé çrî râjasa raja bhûpati sang angd.iri ratu ri Jawa

Çuddhâmbek sang aséwa tan salah ulah sawarahira tinut

Sök wîrâdhika mêwwu yêka magawé resaning ari teka

Ramya ng sâgara parwatêki sakapunpunan i sira lengeng

Mwang tang râjya ri Wilwatikta pakarâjyanira n anupama

Kîrn.êkang kawi gîta lambing atuhânwam umarek i haji

Lwir sang hyang çaçi rakwa pûrn.a pangapusnira n anuluhi rat

Bhéda mwang damel I nghulun kadi patangga n umiber i lemah

Ndan dûra n mad.anêka pan wwang atimûd.ha kumawih alangö

Lwir bhrân.tâgati dharma ring kawi turung wruh ing aji sakathâ

Nghing sang çrî Ran.amanggalêki sira sang titir anganumata.
TERJEMAHAN KAKAWIN SUTASOMA

1). -Sri Bajrajñana, manifestasi sempurna Kasunyatan adalah yang utama didunia.

-Nikmat dan murni teguh di hati, menguasai semuanya bagai kahyangan agung.


-Ia adalah titisan Pelindung tunggal yang menganugrahi kehidupan kepada tri buwana bumi, langit dan sorga – seru sekalian alam.

-Bagaikan terang bulan dan matahari sifat yang keluar dari batin orang yang telah sadar.

2). -Ia yang diterangi, yang manunggal dengan Tuhan, memang benar-benar Raja kaum Yogi yang berhasil.

– Perwujudan segala ilmu Kasunyatan baik kasar ataupun halus, diajikan dalam sebuah doa dan puja yang khusyuk.

-Singkatnya, mari mencari-Nya dengan betul dalam hati, didukung dengan yoga dan samadi penuh.

-Persis bagaikan seseorang yang merana hatinya merasakan rasa kemurnian Yang Tak Bisa Dibayangkan.

3). -Maka itulah ketentraman hati yang dituju seorang yogi sempurna.

-Biarkan aku memuja dengan kemurnian dan kebaktian tak tertara sebagai sarana untuk menulis syair indah.

-Mustahil aku akan berhasil menulis kakawin sebab tiada tahu akan tatacara bersastra.

-Namun, sungguh malu dan terganggu oleh pikiran akan sebuah penyair sempurna di ibukota.

4). -Pertama dari semua cerita yang saya gubah diturunkan dari kisah-kisah sang Buddha.

– Dahulukala ketika dwapara-, treta- dan kretayuga, dia merupakan perwujudan segala bentuk dharma.

-Tiada lain sang hyang Brahma, Wisnu dan Siwa. Semuanya menjadi raja-raja di Mercapada (dunia fana).

-Dan sekarang pada masa Kaliyuga, Sri Jinapati turun di sini untuk menghancurkan kejahatan dan keburukan.

5). kemampuan sri mahâketu kurukula sirânak pirang korawângsa,

Dewi prajnadhari mengira kasih memuji jagat di kahaywan,

Ngkâneng râjyâdhimkeng hastina siniwi tkap ning mahâwira sangghya,

Banyaknya kebiasaan siapapun berbakti kepada sri narendra

6). Setiap jagat cinta yang indah dan segala kelebihan raja

Seperti emas yang menyala murka seperti gunung yang mengeluarkan api ,

Sok melata penyangga Dalem itu seperti intan yang memancar,

Bagus menyinari malam di hari sampai pikiran suci dan jernih orang di kerajaan

7). Sarat pancaran kelemahan ketika memperlihatkan sosok raksasa

Menjadi raja hutan seperti intan diraja,

Kruramrp kuwwa mungpang yang menawan seperti dewa

Sangat takut keluarga bharata kedatangan sang tapswi nagagra

8). sri narendrâ mengutus para prajurit ke medan peperangan,

Dan sang yogiswarâ dibuat marah oleh raksasa Kalagni tulya,

Dan anak haji karengo kembali setelah membasmi musuh yang sakti,

Padahal sang munindrâk menduga-duga dihadapan Raja sri mahâketu

9). sang sri narendrâdhipa sira mengharapkan angan-angan dengan sudewi,

Memikirkan kesadaran itu di tempat Sang Hyang Jinaracca,

Kemasyuran malam menemani kesunyian itu pengetahuan bulan

Sri |boddhisatwa penting sekali sunwa sang narendra

10). Utusan sri mahâketubertemu paramânugrahâ hyang jinendra,

Sighron ampeh nirang yoga wkasan-umijil sobha sangkeng pahoman

Kedatangan sudewi memberitahu keberhasilan kerja,

Byaktang didunia keluar sri mahâsakya snghâ

11). Waku segera tanda itu siapa sang sri putrid maharaja

Keinginan sri narendra sudah memikirkan berat sang sdeng

Dan melantumkan puja-puji mantram pengharapan yajna

Banyak sang bhiksu bijaksana di neraga pemujaan sang sri narendra

12). Banyak istri dalem itu mengandung sri Supatni,

Bertuturkata belas kasih sang haneng dirumah utama,

Lindu bumi panas sinar bercahaya merata di alam sorga,

Ohh dewa penyangga langit selalu menang dan jaya budha jaina.

Terjemahan Pupuh penutup nomor 148

-Maka inilah akhir dari sebuah cerita indah dan digubah dari kisah sang Buddha.

-Oleh seorang penyair bernama mpu Tantular yang menggubah kakawin indah.

-Termasyhur di dunia dengan nama Purusadasanta (pasifikasi raja Purusada).

-Semoga semua yang mendengarkan, membaca dan menyalin akan panjang umurnya.

-Hancur lebur para durjana, tak berdaya, gemetar, takut karena ngeri.

-Oleh Sri Rajasa yang bertakhta di Jawa.

-Para abdinya berhati murni dan melaksanakan segala perintahnya tanpa salah.

-Sungguh banyak para pahlawan unggul, jumlahnya ada ribuan yang memberikan rasa takut kepada para musuh.

-Indahlah laut dan gunung di bawah penguasaannya.

-Dan ibukota Wilwatikta (= Majapahit) sungguh indah di luar bayangan.

-Banyaklah jumlah para penyair, tua dan muda yang menggubah nyanyian dan kakawin yang menghadap sang ratu.

-Bagaikan Dewa Candra kekuasaannya menyinari dunia.

-Berbeda dengan karyaku bagaikan gajah yang terbang di atas tanah.

-Mustahillah menyamai karena orang bodoh yang seolah-olah menulis kakawin indah.

-Seperti seseorang yang bingung mengenai kewajiban seorang penyair tidak mengenal peraturan bersyair.

-Namun Sri Ranamanggala juga yang menjadi panutanku.






KAKAWIN SUTASOMA



Tugas Mata Kuliah : Sastra Hindu II (Bahasa Jawa Kuno)

Dosen : Prof. Dr. Drs. I Made Suweta, M.Si..

Oleh :

÷ med yud hsßr.

I Made Yuda Asmara.

(14.1.2.5.2.0775)

INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR

PROGRAM PASCA SARJANA

DHARMA ACARYA

2015

Bhagavadgita Pengabdian Suci Bhakti





Bhagavadgita Bab XII - Pengabdian Suci Bhakti

Bhagavad-gita 12.1
12.1 Arjuna bertanya; yang mana dianggap lebih sempurna; orang yang selalu tekun dalam bhakti kepada Anda dengan cara yang benar ataukah orang yang menyembah Brahman, yang tidak bersifat pribadi dan tidak terwujud?

Bhagavad-gita 12.2
12.2 Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Orang yang memusatkan pikirannya pada bentuk pribadi-Ku dan selalu tekun menyembah-Ku dengan keyakinan besar yang rohani dan melampaui hal-hal duniawi Aku anggap paling sempurna.

Bhagavad-gita 12.3
Bhagavad-gita 12.4
12.3-4 Tetapi orang yang sepenuhnya menyembah yang tidak terwujud , di luar jangkauan indria-indria, yang berada di mana-mana, tidak dapat dipahami, tidak pernah berubah, mantap dan tidak dapat dipindahkan-paham tentang kebenaran Mutlak yang tidak mengakui bentuk pribadi Tuhan-dengan mengendalikan indria-indria, bersikap yang sama terhadap semua orang, dan sibuk demi kesejahteraan semua orang, akhirnya mencapai kepada-Ku.

Bhagavad-gita 12.5
12.5 Orang yang pikirannya terikat pada aspek Yang Mahakuasa yang tidak berwujud dan tidak bersifat pribadi sulit sekali maju. Kemajuan dalam disiplin itu selalu sulit sekali bagi orang yang mempunyai badan.




Bhagavad-gita 12.6
Bhagavad-gita 12.7
12.6 -7 Tetapi orang yang menyembah-Ku, menyerahkan segala kegiatannya kepada-Ku, setia kepada-Ku tanpa menyimpang, tekun dalam pengabdian suci bhakti, selalu bersemadi kepada-Ku, dan sudah memusatkan pikirannya kepada-Ku- cepat Kuselamatkan dari lautan kelahiran dan kematian, wahai putera Prtha.

Bhagavad-gita 12.8
12.8 Pusatkanlah pikiranmu kepada-Ku, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, dan gunakanlah segala kecerdasanmu dalam Diri-Ku. Dengan cara demikian, engkau akan selalu hidup di dalam Diri-Ku, tanpa keragu-raguan.

Bhagavad-gita 12.9
12.9 Arjuna yang baik hati, perebut kekayaan, kalau engkau tidak dapat memusatkan pikiranmu kepada-Ku tanpa menyimpang, ikutilah prinsip-prinsip yang mengatur bhakti-yoga. Dengan cara demikian, kembangkanlah keinginan untuk mencapai kepada-Ku.

Bhagavad-gita 12.10
12.10 Kalau engkau tidak sanggup mengikuti latihan aturan bhakti- yoga, cobalah bekerja untuk-Ku, sebab dengan bekerja untuk-Ku, engkau akan mencapai tingkat yang sempurna.

Bhagavad-gita 12.11
12.11 Akan tetapi, kalau engkau tidak sanggup bekerja sambil sadar kepada-Ku seperti ini, cobalah bertindak dengan melepaskan segala hasil dari pekerjaanmu dan berusaha menjadi mantap dalam diri sendiri.

Bhagavad-gita 12.12
12.12 Kalau engkau tidak sanggup mengikuti latihan tersebut, tekunilah pengembangan pengetahuan. Akan tetapi, semadi lebih baik daripada pengetahuan, dan melepaskan ikatan terhadap hasil perbuatan lebih baik daripada semadi, sebab dengan melepaskan ikatan seperti itu seseorang dapat mencapai kedamaian jiwa.



Bhagavad-gita 12.13
Bhagavad-gita 12.14
12.13-14 Orang yang tidak iri tetapi menjadi kawan baik bagi semua makhluk hidup, tidak menganggap dirinya pemilik, bebas dari keakuan palsu, bersikap sama baik dalam suka maupun duka, bersikap toleransi, selalu puas, mengendalikan diri, tekun dalam bhakti dengan ketabahan hati, dengan pikiran dan kecerdasannya dipusatkan kepada-Ku- penyembah-Ku yang seperti itu sangat Ku-cintai.

Bhagavad-gita 12.15
12.15 Aku sangat mencintai orang yang tidak menyebabkan siapapun dipersulit, tidak digoyahkan oleh siapapun dan bersikap yang sama, baik dalam suka, duka, rasa takut maupun kecemasan.

Bhagavad-gita 12.16
12.16 Aku sangat mencintai penyembah-Ku yang tidak bergantung pada jalan kegiatan yang biasa, yang suci, ahli. Bebas dari rasa prihatin, bebas dari segala dukacita, dan tidak berusaha memperoleh suatu hasil atau pahala.

Bhagavad-gita 12.17
12.17 Orang yang tidak bersenang hati atau bersedih hati, tidak menyesalkan atau menginginkan, dan melepaskan ikatan terhadap hal-hal yang menguntungkan dan tidak menguntungkan- seorang penyembah seperti itu sangat Ku- cintai.

Bhagavad-gita 12.18
Bhagavad-gita 12.19
12.18-19 Orang yang bersikap sama terhadap kawan dan musuh, seimbang dalam penghormatan dan penghinaan, panas dan dingin, suka dan duka, kemasyuran dan fitnah, selalu bebas dari pergaulan yang mencemarkan, selalu diam dan puas dengan segala sesuatu, yang tidak mempedulikan tempat tinggal apapun, mantap dalam pengetahuan dan tekun dalam bhakti-orang seperti itu sangat ku-cintai.

Bhagavad-gita 12.20
12.20 Aku sangat mencintai orang yang mengikuti jalan bhakti yang kekal ini, tekun sepenuhnya dengan keyakinan, dan menjadikan Aku sebagai tujuan tertinggi

Sumber : cakepane.blogspot.com

Rabu, 03 Juli 2024

Ken Dedes: Cahaya Singasari yang Mengubah Jawa

 

Ken Dedes adalah permaisuri dari Ken Arok, pendiri Kerajaan Singasari di Malang, Jawa Timur, dan ratu pertama kerajaan tersebut. Dia juga dihormati sebagai leluhur dari Wangsa Rajasa, dinasti yang memerintah Pulau Jawa dari zaman Singasari hingga Majapahit.
Ken Dedes lahir di Desa Panawijil, Polowijen, sebagai putri dari Mpu Purwa, seorang Brahmana terhormat. Hubungan mereka sangat dekat, sering membuat Brahmana lain terharu. Bersama-sama, mereka bermeditasi untuk mengakhiri pemerintahan Tunggul Ametung, memohon agar akuwu Tumapel dapat dikalahkan.
Sejak kecil, Ken Dedes dididik oleh ayahnya untuk menghormati Dewa Siwa dan menolak siapa pun yang tidak. Tunggul Ametung, yang sering menghina Dewa Siwa, dianggap jahat. Orang-orang yang menghormati Dewa Siwa dikenal memiliki kesadaran diri dan kemampuan untuk menghukum diri sendiri atas kesalahan. Sementara itu, mereka yang tidak menghormati Dewa Siwa cenderung sombong dan melakukan kejahatan, seperti Tunggul Ametung. Meskipun demikian, Ken Dedes sempat menjadi istrinya.
 
Kecantikan Ken Dedes terkenal luas, termasuk di wilayah Tunggul Ametung. Ketika Tunggul Ametung berkunjung ke rumah Mpu Purwa dan jatuh cinta pada Ken Dedes, ia ingin segera mempersuntingnya. Namun, karena Mpu Purwa tidak ada di rumah, Ken Dedes meminta Tunggul Ametung untuk menunggu. Tidak sabar, Tunggul Ametung membawa Ken Dedes secara paksa untuk dinikahi. Mpu Purwa mengutuk Tunggul Ametung, mengatakan bahwa ia akan mati karena kecantikan Ken Dedes.
Setelah menikahi Ken Dedes, Tunggul Ametung memiliki pengawal bernama Ken Arok. Suatu hari, saat berjalan-jalan di Hutan Baboji, Ken Arok terpesona oleh kecantikan Ken Dedes yang terlihat saat kainnya tersingkap. Ken Arok kemudian mendatangi gurunya, Lohgawe, dan menceritakan apa yang dilihatnya. Lohgawe mengatakan bahwa Ken Dedes memiliki ciri-ciri Stri Naricwari, yang diramalkan akan melahirkan raja-raja di Tanah Jawa. Mendengar ini, Ken Arok bertekad untuk menikahi Ken Dedes dan menggulingkan Tunggul Ametung agar bisa menjadi raja.
Dengan keris buatan Mpu Gandring, Ken Arok membunuh Tunggul Ametung yang sedang tidur, memenuhi kutukan Mpu Purwa. Ken Arok juga licik, ia menyalahkan Kebo Hijo atas pembunuhan tersebut, sehingga ia dapat menikahi Ken Dedes dan menjadi akuwu baru di Tumapel. Kemudian, Ken Arok menggulingkan Kerajaan Kediri dan mendirikan Kerajaan Singasari pada tahun 1222. Dari pernikahannya dengan Ken Arok, Ken Dedes melahirkan beberapa anak, termasuk Anusapati, yang sebenarnya adalah putra Tunggul Ametung.
Seiring waktu, Anusapati merasa diabaikan oleh Ken Arok dan mengetahui bahwa Ken Arok telah membunuh ayah kandungnya. Pada tahun 1227, Anusapati membunuh Ken Arok dengan Keris Mpu Gandring sebagai balas dendam.