Rabu, 07 Agustus 2024

CERITA RAKYAT BALI " RAJA PALA" PEMBURU TAMPAN YANG BERISTRIKAN BIDADARI KHAYANGAN

 


Tersebutlah seseorang yang bernama Rajapala, yang berasal dari Wanakeling, rupanya tampan, pekerjaannya berburu. Pada saat berada dalam perburuan di tengah hutan, ia kepayahan dan kehausan, lalu ada keinginannya untuk mencari air.

Dalam perjalanannya mencari mata air, melewati sebuah asrama yang kosong, lalu ia berteduh di bawah pohon tigaron, disampingnya ada pancuran dengan air yang jernih, dikelilingi dengan pepohonan dan bunga-bunga yang harum. Pada saat menikmati keheningan, ia melihat tujuh orang bidadari (widyadhari) yang cantik-cantik, sedang asyik mandi di kolam.

Sang Rajapala mengintip dari celah-celah pohon pudak, dengan niat untuk mendapatkan seorang dari tujuh bidadari itu, sehingga timbullah niatnya, untuk mengambil baju bidadari itu, lalu diambil menggunakan galah yang panjang.

Dengan mendapatkan baju itu lalu disembunyikannya, akhirnya seorang dari tujuh bidadari itu tidak dapat terbang kembali ke Kahyangan. Bidadari Kahyangan itu lalu bertanya kepada Rajapala, “Wahai orang laki tampan, adakah tuan melihat baju saya, jika ada saya akan menukarnya, dengan mas permata yang indah”.

Rajapala menjawab, “Wahai engkau gadis cantik, yang menawan hati, bukan mas permata yang saya inginkan, tetapi seorang anak laki, yang bijaksana,pengarang ulung, berwibawa dan dapat kelak menjadi raja, dihormati rakyat, pandai, tampan, berbudi luhur dan kata-katanya menawan hati”.

Sang bidadari lalu memberi kepastian, “Wahai kakanda yang tampan, amat berat permintaan kakanda, walaupun demikian saya bersedia, tetapi hanya berputra seorang, setelah itu saya akan kembali ke Kendran (Kahyangan)”.



Dalam perkawinan Rajapala dengan Ken Sulasih, yang berada dalam hutan, setelah lama hamillah Ken Sulasih, lalu memohon untuk kembali pulang, agar nantinya dapat merawat anak yang akan lahir dengan baik.

Akhirnya mereka pulang ke Singapanjaron, dengan hidup saling mencintai. Setelah kandungan berumur, lahirlah seorang anak laki yang tampan. Kelahirannya itu ditandai dengan sinar matahari yang redup, hujan gerimis, pelangi, diselingin dengan guntur, hujan bunga, puja dan doa dari angkasa, sloka, sruti, yang menyambut kelahiran putranya.

Dengan kelahiran putranya itu Rajapala sangat senang, setelah berumur 3 (tiga) bulan, kelihatan ketampanan putranya, bagaikan arca mas. Semua orang ikut gembira, melihat ketampanan dan kewibawaan putranya, diandaikan bagaikan penjelmaan Dewa Asmara.

Setelah berumur 7 (tujuh) oton, Ken Sulasih mohon pamit kepada Rajapala sesuai dengan perjanjiannya. Rajapala sedih ditinggal pergi oleh Ken Sulasih, mengingat anaknya masih kecil, akan hidup sengsara, karena kemiskinannya. Dengan kepergian Ken Sulasih, dengan membakar diri dan menghilang, hanya berpesan putranya agar diberi nama Durma. Ken Sulasih pulang ke Kahyangan dan Rajapala pergi bertapa ke hutan.

Sebelum pergi bertapa Rajapala menasehati dan berpesan kepada anaknya, yaitu :

Ada sawah dan tempat rumah, yang luasnya sempit, agar sawah dikerjakan dengan baik dan rajin-rajinlah bekerja.Anakku hendaknya teguh dan tahan uji.Beringkah laku yang baik.Hati-hati berbicara.Selalu senyum.Bermuka manis.Jangan mengisap candu.Jangan berjudi.Jangan membuat keonaran.Berlaku sopan santun.Hidup bermasyarakat dan bertetangga yang baik.Jangan mengharapkan imbalan.Jangan mementingkan diri sendiri.Hormat kepada raja.Bantulah tetangga dengan tulus ikhlas.Bergaullah dengan baik dan harmonis.Jangan melupakan pertolongan orang.Berlaku yang jujur.Berbuat berdasarkan kebenaran.Jangan congkak dan sombong.Jangan berpura-pura pandai.





Nasihat Rajapala diakhiri dengan ucapan, ayah orang yang bodoh, umur tua menjadi anak- anak kembali, rewel, pertimbangkanlah dalam hati, jangan melihat kekeliruan ayah.

Setelah menasihati putranya Durma, Rajapala pergi ke hutan untuk bertapa, memusatkan pikiran, samadhi yang ditujukan kepada Sanghyang Siwa. Ki Durma selalu mengingat nasihat ayahnya, sebagai pedoman hidupnya. Dengan demikian tetangganya dan orang-orang lain, sangat senang bergaul dengannya, senang belajar, menuntut pengetahuan tak lupa berdoa kepada Sanghyang Siwa.

Setelah dewasa ia menghadap raja di Wanakeling, Ki Durma diterima dengan baik, karena berbudi luhur, bijaksana dan susastra. Para menteri amat sayang dan segan kepada Ki Durma.



Pada suatu ketika Ki Durma, mohon diri kepada raja Wanakeling, untuk melihat ayahnya di hutan. Dalam perjalanannya, ia dihadang oleh 3 (tiga) orang penguasa hutan, yaitu Kala Drembha, Kala Murkha dan Durga Deni. Ketiga orang itu selalu memakan binatang dan merusak pertapaan.

Dengan kedatangan Ki Durma, yang berwajah tampan, Durga Deni terpanah hatinya, lalu berubah wujud menjadi orang cantik. Ki Durga Deni merayu Ki Durma dan bertanya, “Ai, orang tampan, apakah tidak takut datang sendirian ke dalam hutan ?”

Ki Durma menjawab, “Tujuan saya hanya mencari ayah yang sedang bertapa dan telah lama meninggalkan saya, maka saya sendirian di rumah”.

Ki Durga Deni menegaskan, “Saya ini adalah utusan Dewa Indra untuk menjaga hutan”. Ki Durga Deni terus membujuk dan merayu Ki Durma, agar mau menerimanya. Ki Durma selalu menolak permintaan Ki Durga Deni, dengan alasan, “saya masih kecil”.



Tersebutlah raja Wanakeling, yang selalu dikelilingi oleh pembesar istana, setiap pertemuan selalu menanyakan keadaan Ki Durma, yang pergi ke hutan dan lama belum datang. Sang raja Wanakeling lalu mengutus Tumenggung Gagak Baning dan Ki Demung Empuan, untuk mencari I Durma di hutan.

Tak diceriterakan keadaan dalam hutan, utusan bertemu dengan I Durma, sedang berjalan-jalan mencari tempat ayahnya bertapa. Utusan memaksa I Durma diajak pulang, karena perintah raja, hal itu didengar oleh Ki Durga Deni, lalu ia marah dan menantang utusan itu. Pertempuran tak terelakkan, utusan kalah melarikan diri, I Durma diajak oleh Ki Durga Deni, menghadap pada saudaranya.

Kedua utusan itu lari, menyelamatkan diri dan kembali ke Wanakeling, menyampaikan kepada sang raja. Sang Raja marah dan mengerahkan pasukan, untuk berperang melawan raksasa di hutan yang menyandera I Durma. Raja dengan pasukannya berangkat perang, sampai di hutan terjadilah perang yang hebat. Para patih, menteri, pimpinan perang semuanya kalah, ada yang mati dan dimangsa, ada juga yang lari menyelamatkan diri.



Pada suatu ketika I Durma dapat menghadap raja, dengan kerendahan hatinya dan bersujud, menyerahkan diri. Saat itulah ia menerima perintah, bagaimana caranya untuk dapat membunuh raksasa-raksasi itu.

Ketika hari sudah malam, I Durma menghadap kepada ke tiga raksasa bersaudara itu, I Durma diterima dengan baik dan dengan rasa sayang. I Durma membujuk Ki Durga Deni, akhirnya luluhlah hatinya, semakin menumbuhkan rasa sayang pada I Durma. Ki Durga Deni lupa akan dirinya, karena bujuk rayu I Durma, lalu mengeluarkan rahasia kematiannya, yaitu, “Tidak dikalahkan oleh manusia sakti, diatas bumi di bawah angkasa, raksasa, bhuta, pisaca, hanya ada bidadari yang kawin dengan manusia, berputra seorang laki, orang itulah yang mampu membunuh diriku, begitu pula ramanda berdua (raksasa), yang merupakan anugrah Dewa Rudra”.

Dengan bujukan dan tipu muslihatnya I Durma, sambil menghibur Ki Durga Deni, akhirnya mereka tidur berdua, bercumbu rayu, namun tidak sampai berhubungan badan. I Durma mengaku sudak mengantuk, tidak bisa ditahan, akhirnya tidur bersama-sama. Ketika Ki Durga Deni telah tidur nyenyak, I Durma bangun memakan sirih dan menghunus keris, menikam dada raksasi, darahnyapun muncrat, mendidih. Demikian juga ke dua raksasa itu dapat dibunuh dengan sigap, dadanya diparang.

Raksasa bertiga mati dibunuh, I Durma lalu menghadap raja, dengan menceritrakan segala-galanya, sampai Durga Deni terbunuh bersama saudaranya. Dengan matinya ke tiga rarksasa itu raja menjadi senang dan menitahkan kepada para punggawa, patih, menteri dan menepati janji, bahwa siapa yang mampu membunuh ke-3 raksasa itu, akan diangkat menjadi anak dan akan menggantikan kedudukannya menjadi raja Wanakeling. Dengan berbagai nasihat sang raja, kepada anak angkatnya (I Durma), demikian juga para pejabat istana, agar selalu menepati janji.

I Durma memohon agar mayat ke-3 raksasa itu dibakar dan diupacarai, dipimpin oleh seorang Resi, jika tidak demikian negara kacau, diganggu oleh Panca Korsika. Upacara dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, negara aman, rakyat berbahagia karena akan mendapatkan pemimpin atau raja yang tampan lahir bathin.

Setelah sang raja dengan bala wadwanya pulang dari hutan, sampailah di istana (Puri), sang raja menobatkan putra angkatnya (Durma), menjadi raja, dibuatkan istana di Carangsari di sebelah selatan pasar. I Durma didampingi seorang istri, hidup rukun dan berbahagia, karena mereka sama-sama memahami tentang Madhu Kama, dan hari-hari pertemuan, yang nantinya akan mendapatkan keturunan yang baik dan utama.

Demikianlah isi ringkas dari Geguritan Rajapala, semoga ada manfaatnya.


ARTIKEL BY : I WAYAN ADI SUDIATMIKA



Sumber : https://panbelog.wordpress.com



CERITA RAKYAT BALI ASAL - USUL SELAT BALI "MANIK ANGKERAN"

 



Pada jaman dahulu kala, ada seorang pemuda bernama Manik Angkeran. Ayahnya seorang Begawan yang berbudi pekerti luhur, yang bernama Begawan Sidi mantra. Walaupun ayahnya seorang yang disegani oleh masyarakat sekitar dan memiliki pengetahuan agama yang luas, tetapi Manik Angkeran adalah seorang anak yang manja, yang kerjanya hanya berjudi dan mengadu ayam seperti berandalan-berandalan yang ada di desanya. Mungkin ini karena ia telah ditinggal oleh Ibunya yang meninggal sewaktu melahirkannya. Karena kebiasaannya itu, kekayaan ayahnya makin lama makin habis dan akhirnya mereka jatuh miskin.

Walaupun keadaan mereka sudah miskin, kebiasaan Manik Angkeran tidak juga berkurang, bahkan karena dalam berjudi ia selalu kalah, hutangnya makin lama makin banyak dan ia pun di kejar-kejar oleh orang-orang yang dihutanginya. Akhirnya datanglah Manik ketempat ayahnya, dan dengan nada sedih ia meminta ayahnya untuk membayar hutang-hutangnya. Karena Manik Angkeran adalah anak satu-satunya, Begawan Sidi Mantra pun merasa kasihan dan berjanji akan membayar hutang-hutang anaknya.

Maka dengan kekuatan batinnya, Begawan Sidi Mantra mendapat petunjuk bahwa ada sebuah Gunung yang bernama Gunung Agung yang terletak di sebelah timur. Di Gunung Agung konon terdapat harta yang melimpah. Berbekal petunjuk tersebut, pergilah Begawan Sidi Mantra ke Gunung Agung dengan membawa genta pemujaannya.

Setelah sekian lama perjalanannya, sampailah ia ke Gunung Agung. Segeralah ia mengucapkan mantra sambil membunyikan gentanya. Dan keluarlah seekor naga besar bernama Naga Besukih.

“Hai Begawan Sidi Mantra, ada apa engkau memanggilku?” tanya sang Naga Besukih.

“Sang Besukih, kekayaanku telah dihabiskan anakku untuk berjudi. Sekarang karena hutangnya menumpuk, dia dikejar-kejar oleh orang-orang. Aku mohon, bantulah aku agar aku bisa membayar hutang anakku!”

“Baiklah, aku akan memenuhi permintaanmu Begawan Sidi Mantra, tapi kau harus menasehati anakmu agar tidak berjudi lagi, karena kau tahu berjudi itu dilarang agama!”

“Aku berjanji akan menasehati anakku” jawab Begawan Sidi Mantra.

Kemudian Sang Naga Besukih menggetarkan badannya dan sisik-sisiknya yang berjatuhan segera berubah emas dan intan.

“Ambillah Begawan Sidi Mantra. Bayarlah hutang-hutang anakmu. Dan jangan lupa nasehati dia agar tidak berjudi lagi.”

Sambil memungut emas dan intan serta tak lupa mengucapkan terima kasih, maka Begawan Sidi Mantra segera pergi dari Gunung Agung. Lalu pulanglah ia ke rumahnya di Jawa Timur. Sesampainya dirumah, di bayarlah semua hutang anaknya dan tak lupa ia menasehati anaknya agar tidak berjudi lagi.

Tetapi rupanya nasehat ayahnya tidak dihiraukan oleh Manik Angkeran. Dia tetap berjudi dan mengadu ayam setiap hari. Lama-kelamaan, hutang Manik Angkeran pun semakin banyak dan ia pun di kejar-kejar lagi oleh orang-orang yang dihutanginya. Dan seperti sebelumnya, pergilah Manik Angkeran menghadap ayahnya dan memohon agar hutang-hutangnya dilunasi lagi.

Walaupun dengan sedikit kesal, sebagai seorang ayah, Begawan Sidi Mantra pun berjanji akan melunasi hutang-hutang tersebut. Dan segera ia pun pergi ke Gunung Agung untuk memohon kepada Sang Naga Besukih agar diberikan pertolongan lagi.

Sesampainya ia di Gunung Agung, dibunyikannya genta dan membaca mantra-mantra agar Sang Naga Besukih keluar dari istananya.

Tidak beberapa lama, keluarlah akhirnya Sang Naga Besukih dari istananya.

“Ada apa lagi Begawan Sidi Mantra? Mengapa engkau memanggilku lagi?” tanya Sang Naga Besukih.

“Maaf Sang Besukih, sekali lagi aku memohon bantuanmu agar aku bisa membayar hutang-hutang anakku. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi dan aku sudah menasehatinya agar tidak berjudi, tapi ia tidak menghiraukanku.” mohon Begawan Sidi Mantra.

“Anakmu rupanya sudah tidak menghormati orang tuanya lagi. Tapi aku akan membantumu untuk yang terakhir kali. Ingat, terakhir kali.”

Maka Sang Naga menggerakkan tubuhnya dan Begawan Sidi Mantra mengumpulkan emas dan permata yang berasal dari sisik-sisik tubuhnya yang berjatuhan. Lalu Begawan Sidi Mantra pun memohon diri. Dan setiba dirumahnya, Begawan Sidi Mantra segera melunasi hutang-hutang anaknya.

Karena dengan mudahnya Begawan Sidi Mantra mendaptkan harta, Manik Angkeran pun merasa heran melihatnya. Maka bertanyalah Manik Angkeran kepada ayahnya, “Ayah, darimana ayah mendapatkan semua kekayaan itu?”

“Sudahlah Manik Angkeran, jangan kau tanyakan dari mana ayah mendapat harta itu. Berhentilah berjudi dan menyabung ayam, karena itu semua dilarang oleh agama. Dan inipun untuk terakhir kalinya ayah membantumu. Lain kali apabila engkau berhutang lagi, ayah tidak akan membantumu lagi.”

Tetapi ternyata Manik Angkeran tidak dapat meninggalkan kebiasaan buruknya itu, ia tetap berjudi dan berjudi terus. Sehingga dalam waktu singkat hutangnya sudah menumpuk banyak. Dan walaupun ia sudah meminta bantuan ayahnya, ayahnya tetap tidak mau membantunya lagi. Sehingga ia pun bertekad untuk mencari tahu sumber kekayaan ayahnya.





Bertanyalah ia kesana kemari, dan beberapa temannya memberitahu bahwa ayahnya mendapat kekayaan di Gunung Agung. Karena keserakahannya, Manik Angkeran pun mencuri genta ayahnya dan pergi ke Gunung Agung.

Sesampai di Gunung Agung, segeralah ia membunyikan genta tersebut. Mendengar bunyi genta, Sang Naga Besukih pun merasa terpanggil olehnya, tetapi Sang Naga heran, karena tidak mendengar mantra-mantra yang biasanya di ucapkan oleh Begawan Sidi Mantra apabila membunyikan genta tersebut.

Maka keluarlah San Naga untuk melihat siapa yang datang memangilnya.

Setelah keluar, bertemulah Sang Naga dengan Manik Angkeran. Melihat Manik Angkeran, Sang Naga Besukih pun tidak dapat menahan marahnya.

“Hai Manik Angkeran! Ada apa engkau memanggilku dengan genta yang kau curi dari ayahmu itu?”

Dengan sikap memelas, Manik pun berkata “Sang Naga bantulah aku. Berilah aku harta yang melimpah agar aku bisa membayar hutang-hutangku. Kalau kali ini aku tak bisa membayarnya, orang-orang akan membunuhku. Kasihanilah aku.”

Melihat kesedihan Manik Angkeran, Sang Naga pun merasa kasihan.

“Baiklah, aku akan membantumu.” jawab Sang Naga Besukih.

Setelah memberikan nasehat kepada Manik Angkeran, Sang Naga segera membalikkan badannya untuk mengambil harta yang akan diberikan ke Manik Angkeran. Pada saat Sang Naga membenamkan kepala dan tubuhnya kedalam bumi untuk mengambil harta, Manik Angkeran pun melihat ekor Sang Naga yang ada dipemukaan bumi dipenuhi oleh intan dan permata, maka timbullah niat jahatnya. Manik Angkeran segera menghunus keris dan memotong ekor Sang Naga Besukih. Sang Naga Besukih meronta dan segera membalikkan badannya. Akan tetapi, Manik Angkeran telah pergi. Sang Naga pun segera mengejar Manik ke segala penjuru, tetapi ia tidak dapat menemukan Manik Angkeran, yang ditemui hanyalah bekas tapak kaki Manik Angkeran.

Maka dengan kesaktiannya, Sang Naga Besukih membakar bekas tapak kaki Manik Angkeran. Walaupun Manik Angkeran sudah jauh dari Sang Naga, tetapi dengan kesaktian Sang Naga Besukih, ia pun tetap merasakan pembakaran tapak kaki tersebut sehingga tubuh Manik Angkeran terasa panas sehingga ia rebah dan lama kelamaan menjadi abu.

Di Jawa Timur, Begawan Sidi Mantra sedang gelisah karena anaknya Manik Angkeran telah hilang dan genta pemujaannya juga hilang. Tetapi Begawan Sidi Mantra tahu kalau gentanya diambil oleh anaknya Manik Angkeran dan merasa bahwa anaknya pergi ke Gunung Agung menemui Sang Naga Besukih. Maka berangkatlah ia ke Gunung Agung.

Sesampainya di Gunung Agung, dilihatnya Sang Naga Besukih sedang berada di luar istananya. Dengan tergesa-gesa Begawan Sidi Mantra bertanya kepada Sang Naga Besukih “Wahai Sang Besukih, adakah anakku Manik Angkeran datang kemari?”

“Ya, ia telah datang kemari untuk meminta harta yang akan dipakainya untuk melunasi hutang-hutangnya. Tetapi ketika aku membalikkan badan hendak mengambil harta untuknya, dipotonglah ekorku olehnya. Dan aku telah membakarnya sampai musnah, karena sikap anakmu tidak tahu balas budi itu. Sekarang apa maksud kedatanganmu kemari, Begawan Sidi Mantra?”

“Maafkan aku, Sang Besukih! Anakku Cuma satu, karena itu aku mohon agar anakku dihidupkan kembali.” mohon Sang Begawan.

“Demi persahabatan kita, aku akan memenuhi permintaanmu. Tapi dengan satu syarat, kembalikan ekorku seperti semula.” kata Sang Naga Besukih.

“Baiklah, aku pun akan memenuhi syaratmu!” jawab Begawan Sidi Mantra.

Maka dengan mengerahkan kekuatan mereka masing-masing, Manik Angkeran pun hidup kembali. Demikian pula dengan ekor Sang Naga Besukih bisa kembali utuh seperti semula.

Dinasehatinya Manik Angkeran oleh Sang Naga Besukih dan Begawan Sidi Mantra secara panjang lebar dan setelah itu pulanglah Begawan Sidi Mantra ke Jawa Timur. Tetapi Manik Angkeran tidak boleh ikut pulang, ia harus tetap tinggal di sekitar Gunung Agung. Karena Manik Angkeran sudah sadar dan berubah, ia pun tidak membangkang dan menuruti perintah ayahnya tersebut.

Dan dalam perjalanan pulangnya, ketika Begawan Sidi Mantra sampai di Tanah Benteng, di torehkannya tongkatnya ke tanah untuk membuat batas dengan anaknya. Seketika itu pula bekas torehan itu bertambah lebar dan air laut naik menggenanginya. Dan lama kelamaan menjadi sebuah selat. Selat itulah yang sekarang di beri nama “Selat Bali"

Sumber : wikipedia // 365ceritarakyatindonesia.blogspot.com



CERITA RAKYAT BALI PEMBURU YANG MASUK SURGA " I LUBDAKA "

 



Hari raya Savalatri (Sawaratri) merupakan hari Pejagran, di mana Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), dalam kepercayaan umat Hindu, memanifestasikan diri sebagai Dewa Siwa yang melakukan yoga semalam suntuk untuk melebur dosa manusia. Pada malam Savalatri ini, tiap insan mendapat kesempatan melebur segala dosa dengan melaksanakan brata Siwaratri. Ini disebutkan dalam kitab Padma Purama yang menyebutkan malam Siwaratri adalah malam peleburan dosa manusia yang pernah dilakukan sepanjang hidupnya dan lontar Lubdaka yang menyatakan bahwa walaupun seseorang sangatlah berdosa, tapi jika ia melaksanakan brata Sawaratri, niscaya masih mendapat kesempatan untuk melebur semua dosanya. Demikianlah gambaran yang dilukiskan dalam cerita rakyat Bali Lubdaka, yang kemudian masuk ke dalam khazanah cerita rakyat Indonesia.





Cerita rakyat Bali Lubdaka

Dikisahkan bahwa Lubdaka adalah seorang pemburu binatang hutan yang memakan atau menjual daging hasil buruannya. Pekerjaannya itu dilakukannya setiap hari. Namun, suatu hari, nasibnya sedang apes. Di hari yang apes itu, Lubdaka tidak memperoleh seekor pun binatang untuk dimakan atau dijual. Hal yang lebih malang baginya, karena saking ingin mendapatkan binatang buruan, ia lupa waktu hingga hari sudah gelap. Kegelapan di hutan, membuat Lubdaka tidak bisa mencari jalan untuk pulang. Walhasil, ia pun memilih memutuskan untuk menginap saja di hutan. Untuk itu, ia mencari pohon yang besar untuk tempatnya tidur karena takut terhadap ancaman binatang buas.

Kakinya membawa Lubdaka pada pohon Bila yang di bawahnya terdapat air telaga yang jernih, dengan sebuah pelinggih dan Lingga. Pelan-pelan tapi pasti, Lubdaka memanjat pohon Bila. Setelah mendapat posisi yang nyaman, Lubdaka bersandar, tapi berusaha tidak tertidur, walaupun ia mengantuk. Pasalnya, jika ia sampai tertidur pulas, tentu ia bakal terjatuh. Maka dari itu, Lubdaka memetik daun-daun pohon Bila dan menjatuhkannya ke bawah, sehingga mengenai Lingga yang ada di bawahnya. Lubdaka sendiri tidak menyadari bahwa malam itu adalah malam Siwalatri, di mana Dewa Siwa tengah melakukan yoga.

Sambil membuang daun-daun pohon Bila ke bawah, tanpa terasa Lubdaka mulai menyesali segala perbuatan jahat yang pernah dilakukannya sepanjang hidup, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Di atas pohon Bila itu, diam-diam hatinya bertekad untuk berhenti bekerja sebagai pemburu.

Lamunan panjang Lubdaka akan dosa-dosanya seolah mempercepat waktu. Rasanya baru sebentar saja Lubdaka melamun, tapi tahu-tahu pagi pun tiba. Itu menggambarkan bahwa dosa-dosa yang pernah dilakukannya sudah terlalu banyak dan tidak bisa diingatnya satu per satu lagi dalam waktu satu malam. Karena sudah pagi, ia berkemas-kemas pulang ke rumahnya.

Sejak hari itu, Lubdaka beralih pekerjaan sebagai petani. Tapi, petani tidak memberinya banyak kegesitan gerak, sehingga tubuhnya mulai kaku dan sakit, yang bertambah parah dari hari ke hari. Hingga, akhirnya hal ini membuat Lubdaka meninggal dunia.

Dikisahkan selanjutnya, roh Lubdaka, setelah lepas dari jasadnya, melayang-layang di angkasa. Roh Lubdaka bingung tidak tahu jalan harus ke mana. Pasukan Cikrabala kemudian datang hendak membawanya ke kawah Candragomuka yang berada di Neraka.

Di saat itulah, Dewa Siwa datang mencegah pasukan Cikrabala membawa roh Lubdaka ke kawah Candragomuka. Di situ, terjadi diskusi antara Dewa Siwa dengan pasukan Cikrabala. Menurut pasukan Cikrabala, roh Lubdaka harus dibawa ke neraka. Ini disebabkan, semasa ia hidup, ia kerap membunuh binatang. Pendapat itu mendapat tanggapan lain dari Dewa Siwa. Menurut Dewa Siwa, walaupun Lubdaka kerap membunuh binatang, tapi pada suatu malam di malam Savalatri, Lubdaka begadang semalam suntuk dan menyesali dosa-dosanya di masa lalu. Sehingga, roh Lubdaka berhak mendapatkan pengampunan. Singkat cerita, roh Lubdaka akhirnya dibawa ke Siwa Loka.

Sumber : wikipedia // 365ceritarakyatindonesia.blogspot.com



CERITA RAKYAT BALI KISAH PERCINTAAN JAYAPRANA DAN LAYONSARI YANG MELEGENDA

 


Pada jaman dahulu kala, ada sebuah kerajaan kecil di daerah utara pulau Bali. Kerajaan itu bernama kerajaan Wanekeling Kalianget. Di kerajaan itu, hiduplah satu keluarga sederhana, terdiri dari suami istri serta tiga anaknya, dua orang laki-laki dan seorang wanita. Kerajaan itu terkena sebuah wabah yang menyebabkan banyak warganya meninggal, baik dari kalangan kerajaan maupun rakyat biasa. Keluarga sederhana itu pun ikut terkena wabah, empat anggota keluarganya meninggal dan menyisakan si bungsu, I Nyoman Jayaprana.

Raja Kalianget saat itu, juga merasakan duka yang mendalam atas banyaknya warga yang meninggal, sehingga Raja memutuskan untuk mengunjungi rakyatnya. Pada saat kunjungan, Raja merasa tertarik dengan Jayaprana yang pada saat itu tengah menangisi kematian kedua orang tua dan kedua saudaranya. Raja merasa iba dan teringat dengan mendiang anaknya hingga membuatnya ingin menjadikan Jayaprana sebagai anak angkat.

Setelah diangkat anak oleh Raja, Jayaprana pun tumbuh di lingkungan kerajaan. Dia mendapatkan pelajaran selayaknya anak kandung Raja. Jayaprana tumbuh menjadi seorang pemuda tampan yang lihai bertarung. banyak gadis yang diam-diam memendam rasa pada Jayaprana. Melihat itu, lantas Raja memerintahkan Jayaprana memilih dayang-dayang istana atau gadis di luar istana untuk dijadikan pendamping. Jayaprana sempat menolak, karena merasa dia masih kekanak-kanakan dan belum cukup pantas untuk menjalin asmara.

Namun karena Raja terus mendesak, maka Jayaprana pun menurutinya. Pada suatu hari Jayaprana berjalan-jalan ke pasar di dekat Istana. Dia melihat para gadis berlalu-lalang di sana. Matanya terpukau pada seorang gadis jelita penjual bunga anak Jero Bendesa dari Banjar Sekar. Nama gadis jelita itu, Ni Komang Layonsari. Pandangan Jayaprana tidak mau lepas dari Layonsari, Layonsari yang merasa dirinya diamati pun berusaha menghilang diantara kerumunan pasar.

Setelah Layonsari menghilang dari pandangannya, Jayaprana buru-buru kembali ke istana untuk melapor pada Raja bahwa dia telah menemukan gadis pujaannya. Raja pun membuat sebuah surat dan memerintahkan Jayaprana membawa surat itu ke rumah Jero Bendesa. Setibanya di rumah Jero Bendesa, Jayaprana langsung menyerahkan surat tersebut. Jero Bendesa membaca isi surat Raja yang ternyata adalah surat pinangan terhadap anak gadisnya, layonsari. Dia pun tidak merasa keberatan apabila anaknya Layonsari dikawinkan dengan Jayaprana. Betapa bahagia hati Jayaprana mendengarnya dan dia pun bergegas kembali ke Istana.

Di istana, Raja sedang mengadakan rapat di pendopo, Jayaprana menyela rapat tersebut untuk memberitahukan Raja bahwa lamarannya diterima Jero Bendesa. Pada saat itu juga, Raja mengumumkan pada segenap hadirin bahwa pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya Jayaprana dengan Layonsari. Raja memerintahkan kepada segenap perbekel, supaya mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk Jayaprana. Menjelang hari perkawinannya semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan secara gotong royong, semuanya serba indah.

Tibalah hari hari upacara perkawinan Jayaprana diiringi oleh masyarakat desanya, pergi ke rumahnya Jero Bendesa, hendak meminang Layonsari dengan alat upacara selengkapnya. Di Istana, Raja sedang duduk di atas singgasana, dihadapnya ada para pegawai raja dan juga para perbekel. Kemudian datanglah rombongan Jayaprana di depan istana. Kedua mempelai itu lantas turun dari atas kereta kuda, langsung menyembah kehadapan Raja dengan hormatnya. Raja terpesona dengan kecantikan Layonsari hingga tak mampu berkata-kata.

Raja telah sekian lama menduda, diam-diam tumbuh benih cinta di hati Raja pada Layonsari. Rasa cintanya pada Layonsari membutakan akal sehat Raja yang sebelumnya dikenal sangat bijaksana. Raja pun memikirkan stategi untuk membunuh Jayaprana agar dapat memperistri Layonsari. Strategi itu disampaikan Raja kepada patih kerajaan bernama Sawung Galing. Hati Sawung Galing sebenarnya menolak untuk melaksanakan tugas tersebut, tapi Raja berkata bahwa bila dia tidak dapat memperistri Layonsari maka dia akan mati karena sedih. Sebagai abdi setia, patih Sawung Galing pun menuruti kehendak Raja. Skenario untuk membunuh Jayaprana adalah Raja menitahkan agar Jayaprana bersama rombongan pergi ke Teluktrima, untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo yang menembak binatang di kawasan Pengulon.

Pada hari ketujuh bulan madunya, datanglah seorang utusan kerajaan ke rumah Jayaprana yang menyampaikan titah Raja agar Jayaprana menghadap Raja secepatnya. Jayaprana pun bergegas menuju istana. Raja menceritakan bahwa di perbatasan istana ada pemberontakan, kemudian sesuai skenario, Jayaprana diperintahkan memimpin rombongan bersama patih Sawung Galing ke perbatasan istana di Teluktrima untuk menyelidiki kekacauan di sana.

Sepulangnya dari istana, Jayaprana menceritakan titah Raja. Malam harinya Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar, ia kemudian terbangun dari mimpinya dan menceritakan mimpi seramnya kepada sang suami. Dia meminta agar keberangkatannya besok dibatalkan karena merasa mimpi itu adalah firasat buruk, tetapi Jayaprana tidak berani menolak perintah Raja. Untuk memenangkan istrinya, Jayaprana berkata bahwa hidup dan mati ada di tangan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.





Pagi harinya Jayaprana pun berangkat ke Teluktrima, meninggalkan istrinya yang sedang sedih. Sepanjang perjalanan Jayaprana merasa ada yang tidak beres, perasaannya mengatakan bahwa dia akan dibinasakan tapi dia mengacuhkannya. Sesampainya di hutan Teluktrima dengan galaunya patih Sawung Galing menyerang Jayaprana, namun ilmu Jayaprana lebih sakti dari patih Sawung Galing hingga tidak mampu mengalahkan Jayaprana. Ditengah kebingungannya, Jayaprana bertanya pada patih Sawung Galing, mengapa patih ingin membunuhnya. Patih Sawung Galing menyerahkan sepucuk surat dari Raja kepada Jayaprana yang isinya:

Hai engkau Jayaprana

Manusia tiada berguna

Berjalan berjalanlah engkau

Akulah menyuruh membunuh kau

Dosamu sangat besar

Kau melampaui tingkah raja

Istrimu sungguh milik orang besar

Kuambil kujadikan istri raja

Serahkanlah jiwamu sekarang

Jangan engkau melawan

Layonsari jangan kau kenang

Kuperistri hingga akhir jaman.

Jayaprana menangis sesegukan membaca surat tersebut, lalu dia berkata "Lakukanlah patih, bila ini memang titah Raja, hamba siap dicabut nyawanya demi kepentingan Raja, dahulu Beliaulah yang merawat dan membesarkan hamba, kini Beliau pula yang ingin mencabut nyawa hamba". Dalam dukanya Jayaprana menyerahkan keris sakti miliknya sebagai satu-satunya senjata yang dapat digunakan untuk membunuh Jayaprana. Ia berpesan agar keris dan berita kematiannya disampaikan pada istrinya sebagai bukti kesetiaannya pada titah Raja.

Setelah menerima keris itu, dengan mudah patih Sawung Galing membunuh Jayaprana dengan berat hati. Darah menyembur namun tidak tercium bau amis, malahan wangi semerbak. Kematian Jayaprana juga ditangisi oleh alam, tiba-tiba terjadi gempa bumi, angin topan, hujan bunga dan binatang hutan menangis. Setelah mayat Jayaprana itu dikubur, maka seluruh rombongan kembali pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka mendapat bahaya, diantaranya banyak yang mati. Seekor macan putih juga tiba-tiba menyerang patih Sawung Galing dan menewaskan sang patih.

Kabar tewasnya Jayaprana pun sampai ke telinga Raja. Dengan terpongoh-pongoh Raja segera menghampiri Layonsari di rumahnya. Raja tua itu menyampaikan berita duka dan sekaligus lamaran-nya kepada istri Jayaprana. Layonsari tidak percaya pada kabar meninggalnya sang suami, Raja lalu memperlihatkan keris Jayaprana yang berlumuran darah. Dalam tangisnya Layonsari memaki Raja dan merebut keris milik Jayaprana kemudian menusukkan ke jantungnya sendiri. Layonsari tewas seketika dan dari jasadnya tersebut mengeluarkan aroma wewangian yang menyerbak keseluruh wilayah kerajaan bahkan tercium hingga lokasi jasad Jayaprana berada.

Rakyat sekitar membawa jasad yang mewangi tersebut untuk ditempatkan disebelah jasad Jayaprana agar selamanya kedua kekasih ini dapat selalu bersama. Sedangkan patih Sawung Galing yang dengan setianya menjalankan titah raja turut serta ditempatkan dilokasi tersebut sebagai simbol kesetian seorang abdi.

Lantas bagaimana nasib sang Raja? Melihat tragedi saat Layonsari menikam dirinya dengan sebilah keris dan dilandasi hati yang hancur luluh, Raja gelap mata serta mengamuk membunuh semua pengiringnya, tanpa dapat mengendalikan dirinya. Setelah mati pengiringnya, lalu Raja ke Istana dan membantai seisi rumah, setelah itu Raja menikamkan kerisnya ke dada hingga wafat.

Pengikut setia Raja, tidak percaya Raja bunuh diri, tetapi di bunuh oleh rakyat. Mereka lalu mengamuk membunuh rakyat, tak peduli anak, wanita, orang tua. Rakyat tak terima dan serentak melawan kebiadaban pengikut setia Raja. Tak terelakkan.lagi perang saudara yang maha dahsyat dan penuh kebencian pun terjadi. Akhirnya seluruh rakyat Kalianget tewas dalam perang itu. Begitulah dalam sehari Kerajaan Kalianget di Buleleng Utara itu musnah dengan bergelimpangan mayat manusia. Konon lama kelamaan kerajaan itu berubah menjadi hutan belantara hingga akhirnya dibuka kembali oleh warga lain yang akhirnya menetap di Desa Kalianget hingga kini.

Cerita ini melekat di sanubari masyarakat Bali, mereka menceritakan kisah ini dari generasi ke generasi. Pada tanggal 12 agustus 1949 dilaksanakan upacara Ngaben di Desa Kalianget yang dihadiri banyak orang dari berbagai penjuru dunia.

Sumber : wikipedia.// dongengceritarakyat.com