Sabtu, 28 September 2024

Ni Timun Mas dan I Lantang Hidung (Cerita Rakyat Bali)

 

Cerita rakyat dengan judul Ni Ketimun Mas ini
adalah cerita masyarakat daerah Bali.Cerita
rakyat dengan judul serupa yaitu “Timun Emas”
atau “Timun Mas” juga ada di daerah Jawa
Tengah. Mungkin ceritanya agak mirip dengan
kisah Ni Ketimun Mas ini. tidak ada yang tahu cerita dari daerah mana yang ada lebih dulu. Namun,itu rasanya tak penting dan jangan
dipermasalahkan. Karena terlepas dari “mana
yang lebih dulu”, semuanya adalah warisan
nusantara yang patut kita lestarikan
keberadaannya.

Dan berikut adalah kisah selengkapnya :

Alkisah, di sebuah desa tinggallah seorang janda
bersama anak semata wayangnya yang bernama
Ni Timun Mas. Ni Timun Mas memiliki tubuh
yang sangat kurus dan terlihat lemah, namun
parasnya cantik sekali. Apabila telah akil balik
serta sudah berisi badannya, tentulah tidak ada
yang akan mengalahkan kecantikannya di dunia
ini. Setiap pagi, apabila ibunya akan pergi ke
sawah, Ni Timun Mas tinggal di rumah dengan
pintu yang selalu dikuncinya dari dalam.
Apabila hari telah senja dan ibunya telah datang
dari sawah, maka ia akan memberikan isyarat
kepada Ni Timun Mas untuk membukakan pintu
rumah. Isyarat itu berupa sebuah nyanyian yang
liriknya: Timun Mas, bukakanlah ibu pintu
sejenak. Ibu sudah datang dari menuai padi.
Mendengar lagu itu, Ni Timun Mas biasanya akan
keluar dari rumah untuk menyambut ibunya.
Setelah itu, mereka berdua lantas ke dapur
untuk memasak makanan. Begitulah kegiatan
keseharian ibu dan anak tersebut.
Suatu hari ketika ibunya sedang berada di
sawah, ada raksasa yang bernama I Lantang
hidung melewati rumah Ni Timun Mas. Ia adalah
raksasa yang senang minum darah dan makan
daging manusia. Oleh karena waktu itu ia sedang
lapar, maka didekatinya rumah Ni Timun Mas dan
kemudian menggoncang-goncangkan pintunya.
Namun, karena tidak ada sahutan dari dalam,
raksasa itu pun pergi lagi.
Sebenarnya di dalam rumah itu ada Ni Timun
Mas, tetapi dia tidak berani bersuara karena
takut. Setelah ibunya datang, ia langsung
menceritakan kejadian tersebut: “Ibu, tadi ada
raksasa yang datang ke rumah yang
menggoncang-goncangkan daun pintu.”
Mendengar cerita anaknya itu, ibu Timun Mas
takut sekali. Ia tahu bahwa raksasa yang
diceritakan oleh anaknya itu pastilah I Lantang
Hidung, yang tinggal di dalam hutan yang
berdekatan dengan desa tempat tinggal mereka.
Lalu ibunya berkata: “Anakku, kalau tidak ada
orang yang bertembang seperti ibu, jangan
sekali-kali engkau bukakan pintu.”
“Ya, Baiklah bu,” sahut Ni Timun Mas.
Keesokan harinya, I Lantang Hidung
menghampiri lagi rumah Ni Timun Mas. Ia
kembali menggoncang-goncangkan pintu rumah
yang dari luar terlihat kosong itu. Namun,
karena tidak ada juga yang menjawab atau
berteriak, maka I Lantang Hidung memutuskan
untuk mengintainya. Ia lalu pergi bersembunyi di
balik rerimbunan pohon yang ada di samping
rumah itu.
Tidak berapa lama setelah I Lantang Hidung
bersembunyi, ibu Ni Timun Mas pun datang dari
sawah. Si ibu kemudian mulai menembang
seperti biasanya, agar dibukakan pintu oleh
anaknya: “Timun Mas, bukakanlah Ibu pintu
sejenak. Ibu sudah datang dari menuai padi.”
Setelah mengetahui “rahasia” rumah itu, I
Lantang Hidung segera pulang ke rumahnya. Ia
berencana akan menculik Ni Timun Mas setelah
ibunya pergi ke sawah untuk menuai padi.
Keesokan harinya, I Lantang Hidung berangkat
lagi ke rumah Ni Timun Mas. Setelah tiba di
depan pintu, ia kemudian menirukan tembang
yang biasa dinyanyikan oleh ibu Ni Timun Mas:
“Timun Mas, bukakanlah Ibu pintu sejenak. Ibu
sudah datang dari menuai padi.”
Mendengar tembang itu, seperti biasanya, tanpa
merasa curiga sedikit pun Ni Timun Mas
langsung membuka pintu dan berlari keluar
untuk menyambut orang yang dikira ibunya.
Namun, ketika Ni Timun Mas keluar, ia lalu
disergap dan dilarikan oleh I Lantang Hidung
menuju rumahnya yang ada di dalam hutan. Ni
Timun Mas hanya bisa menangis dan menjerit-
jerit, tetapi tidak ada orang yang menolongnya
karena rumah-rumah di desa itu letaknya saling
berjauhan.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Sesampai di rumahnya, I Lantang Hidung lantas
memasukkan dan mengurung Ni Timun Mas di
atap rumahnya. Ia tidak berniat untuk langsung
memakan Ni Timun Mas, karena tubuhnya terlalu
kurus dan tidak ada dagingnya. Nanti apabila
tubuh Ni Timun Mas sudah gemuk dan berisi,
barulah ia akan memakannya.
Beberapa jam kemudian, ibu Timun Mas pun
pulang dari sawah. Saat sampai di depan rumah,
ia terkejut melihat pintu rumahnya sudah
terbuka. Ia lalu memanggil anaknya tanpa
bersenandung lagi: “Timun Mas, Timun Maaaas.”
Si ibu lalu mencari-cari anaknya di sekeliling
rumah hingga ke perigi, tempat biasanya Ni
Timun Mas mencuci pakaian atau piring. Setelah
berada di perigi dan tidak menjumpai anaknya, ia
mulai menangis. Ia menyangka kalau anak
semata wayangnya itu telah dibawa lari oleh I
Lantang Hidung.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ibu Timun
Mas sudah pergi untuk mencari anaknya. Ketika
ia sampai di perempatan jalan, ia melihat ada
orang yang sedang memukuli seekor kucing.
Karena merasa kasihan, ia kemudian
menghampiri orang tersebut dan bermaksud
membeli kucing yang sedang disiksa itu.
“Kalau engkau menghendaki, ambillah kucing
jahat ini!” demikian kata pemilik kucing itu.
Kucing itu pun kemudian dibawanya pulang dan
dipelihara. Hari berikutnya ia berjalan lagi
mencari anaknya. Saat di tengah jalan, dilihatnya
seseorang yang sedang mengejar tikus. Begitu
sang tikus tertangkap dan akan dibunuh, ia
berlari mendekati orang tersebut dan bermaksud
membeli tikus itu.
“Wah, mau dibunuh malah diminta untuk dibeli.
Kalau memang mau, ambilah tikus sialan ini!”
demikian gerutu orang itu.
Lalu tikus itu dibawa ke rumah dan dipelihara
oleh ibu Timun Mas. Setelah itu, ia pergi lagi
mencari anaknya. Dalam usahanya untuk mencari
anaknya itu, di tengah jalan ia bertemu lagi
dengan orang yang sedang memegang ular dan
golok. Ketika ular yang dipegangnya itu akan
dibunuhnya, ibu Timun Mas berlari mendekatinya
dan membeli ular itu.
Dalam perjalanan pulang sambil membawa ular,
ia melihat orang menghunus pedang dan hendak
membunuh anjing. Anjing itu diminta pula oleh
ibu Timun Mas. Kedua binatang itu pun lalu
dibawa pulang dan dipelihara bersama-sama
dengan tikus dan kucing.
Begitulah, setiap hari ibu Timun Mas pergi
mencari anaknya dan baru pulang setelah
matahari hampir terbenam. Dan, sesampainya di
rumah, si ibu selalu menangis, mengenang nasib
anaknya yang dibawa lari oleh I Lantang Hidung.
Melihat kejadian itu, keempat hewan yang
dipeliharanya merasa kasihan dan mendekati ibu
Timun Mas. Setelah agak renda tangisnya,
mewakili ketiga temannya, si kucing bertanya
kepada ibu Timun Mas: “Mengapa setiap tiba di
rumah ibu selalu menangis? Apakah ibu tidak
sanggup lagi memberi makan kami?”
Mendengar kuncing peliharaannya tiba-tiba dapat
berbicara, ibu Timun Mas menjadi kaget
setengah mati. Beberapa saat kamudian, setelah
dapat mengatasi keterkejutannya itu, ia berkata
“Ah, bukan demikian. Kalian jangan salah sangka,
aku hanya merindukan anakku Ni Timun Mas
yang diculik oleh I Lantang Hidung.”
Tiba-tiba menyahutlah sang ular: “Kalau
demikian mari kita mencarinya. Aku tahu dimana
rumah si Lantang Hidung.”
“Tapi, bagaimana caranya? Kita sama-sama
kecil, sedangkan I Lantang Hidung adalah
raksasa,” kata si anjing.
Sang tikus berkata: “Jangan takut pada orang
yang lebih besar. Kalau memang salah, pasti ia
akan kalah. Dan, meskipun tubuhku paling kecil,
aku tidak takut. Apalagi sudah demikian besar
jasa dan kasih sayang yang kita peroleh dari ibu
Timun Mas.”
“Kalau begitu, marilah kita berangkat ke rumah I
Lantang Hidung,” kata si kucing sambil berjalan
keluar rumah.
Tidak berapa lama kemudian, mereka pun telah
tiba di rumah I Lantang Hidung. Mereka lalu
membagi tugas. Kucing dan tikus akan
menyelinap masuk melewati lubang yang ada di
tembok rumah itu. Sedangkan, anjing dan ular
akan berdiri di depan pintu, berjaga-jaga kalau I
Lantang Hidung tiba-tiba terbangun.
Setelah itu, si kucing dan tikus pun masuk ke
dalam rumah dan mulai mencari di mana Ni
Timun Mas disembunyikan. Saat berkeliling
mencari itu, akhirnya mereka melihat Ni Timun
Mas sedang dikurung di atap rumah. Si kucing
kemudian berbisik pada tikus: “Wah, bagaimana
cara mengeluarkannya?”
“Mudah, akan kugigit tali pengikat di pintu
kurungan itu!” kata tikus sambil berjalan ke arah
kurungan.
Saat si tikus sedang menggerogoti tali pengikat
itu, I Lantang Hidung tersadar dan berkata:
“Wah, suara apa itu?”
Si kucing yang melihat I Lantang Hidung bangun,
segera mengeong untuk mengalihkan
perhatiannya.
“Wah, sepertinya ada kucing yang sedang
memburu tikus,” kata I Lantang Hidung lalu
melanjutkan tidurnya kembali.
Singkat certia, setelah berhasil membuka pintu
kurungan, si tikus berkata: “Timun Mas, marilah
kita pulang. Ibumu sudah menunggu di rumah.”
Tanpa berkata sepatah pun Ni Timun Mas lalu
mengikuti kucing dan tikus keluar dari rumah I
Lantang Hidung. Namun, pada saat mereka
berhasil membuka pintu dan berada di serambi
rumah, I Lantang Hidung tiba-tiba terbangun dan
melompat hendak menangkap.
Ketika ia berlari hendak mengejar Ni Timun Mas,
dengan gesit sang ular mematuk kakinya. Dan,
saat I Lantang Hidung menunduk hendak
mengetahui binatang apa yang telah
mematuknya itu, tiba-tiba sang anjing segera
melompat dan menggigit lehernya hingga
mengeluarkan banyak sekali darah. Sang raksasa
pun langsung ambruk dan mati karena kehabisan
darah.
Setelah raksasa itu mati, Ni Timun Mas bersama
keempat binatang itu lalu pulang. Sesampai di
rumah, mereka disambut dengan gembira oleh
ibu Ni Timun Mas. Alangkah bahagianya hati
mereka karena telah dapat berkumpul kembali
seperti sedia kala.

Sumber:
Diadaptasi bebas dari
Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata
Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan
Budaya Bagian Proyek Pengkajian dan
Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Bali. 2002.
Cerita Rakyat Daerah Bali. Denpasar:
Departeman Kebudayaan dan Pariwisata.

CERITA RAKYAT BALI I CEKER CIPAK









Alkisah, di sebuah kampung di Pulau Dewata atau Bali, Indonesia, ada seorang pemuda tampan bernama I Ceker Cipak. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah gubuk di pinggir kampung. Ia dan ibunya sangat teguh memegang dan menjalankan
dharma.[2] Untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, ibu dan anak tersebut mencari kayu bakar dan hasil-hasil hutan lainnya. Hidup mereka serba kekurangan. Oleh karena tidak ingin terusbterbelenggu oleh keadaan tersebut, I Ceker Cipak
memutuskan untuk berdagang jagung. Ia ingin pergi ke kota untuk membeli jagung untuk direbus dan dijual kembali.
“Bu, apakah Ibu mempunyai uang tabungan?”
tanya I Ceker Cipak kepada ibunya.
“Untuk apa uang itu, Anakku?” ibunya balik
bertanya. I Ceker Cipak pun menceritakan niatnya ingin berdagang ke kota. Alangkah bahagianya perasaan sang Ibu mendengar niat baik anaknya itu.

“Wah, Ibu merasa senang dan mendukung niatmu itu, Anakku! Ibu ingin sekali membantu usahamu itu, tapi Ibu hanya mempunyai uang 200 kepeng.
[3] Uang tersebut Ibu tabung selama bertahun- tahun. Apakah uang itu cukup untuk membuka usaha barumu itu, Anakku?” tanya ibunya.
“Cukup, Bu! Uang tersebut akan Ceker gunakan untuk membeli jagung secukupnya,” jawab I Ceker Cipak.
Mendengar jawaban itu, ibu I Ceker Cipak segera mengambil uang tabungannya, lalu memberikan kepada anak semata wayangnya. Keesokan harinya, I Ceker Cipak pun berangkat ke kota
dengan membawa modal 200 kepeng dan sebuah keranjang . Untuk sampai ke kota, ia harus melewati perkampungan, persawahan, dan hutan lebat yang jaraknya cukup berjauhan. Setelah berjalan setengah hari, sampailah I Ceker
Cipak di sebuah perkampungan. Ketika akan melewati perkampungan itu, ia melihat seorang warga yang sedang menyiksa seekor kucing.

Melihat tindakan warga yang tidak
berbelaskasihan itu, ia segera mendekati dan memintanya agar menghentikan penyiksaan terhadap kucing tersebut.
“Maaf, Tuan! Jangan bunuh kucing itu! Jika Tuan berkenan, saya akan menebusnya dengan uang 50 kepeng,” pinta I Ceker Cipak.

Warga itu pun menerima permintaannya. Setelah menyerahkan uang 50 kepeng kepada warga itu, I Ceker Cipak melanjutkan perjalanan dengan
membawa serta kucing itu. Tak berapa jauh
berjalan, ia kembali melihat seorang warga
sedang memukuli seekor anjing karena mencuri telur ayam. Melihat hal itu, ia pun menebus anjing itu dengan harga 50 kepeng. Setelah itu, ia kembali melanjutkan perjalanan dan membawa serta anjing itu. Kini, ia tidak berjalan sendirian.
Ia ditemani oleh kucing dan anjing yang telah ditebusnya.
Ketika hari menjelang sore, I Ceker Cipak
bersama kucing dan anjing tebusannya tiba di sebuah hutan lebat. Saat melewati hutan lebat itu, ia melihat beberapa orang warga sedang memukuli seekor ular yang telah memangsa seekor bebek. Karena merasa kasihan, ia pun menebus ular itu dengan 50 kepeng. Para warga yang telah memukuli ular itu terheran-heran melihat perilaku I Ceker Cipak.

“Hai, teman-teman! Anak Muda itu sudah gila.Untuk apa dia menebus ular yang tidak ada gunanya itu?” celetuk seorang warga.
I Ceker Cipak tidak menghiraukan celetukan warga itu. Setelah memasukkan ular itu ke dalam keranjangnya, ia segera berlalu dari tempat itu untuk melanjutkan perjalanan. Setelah menyusuri
hutan lebat, I Ceker Cipak memasuki daerah persawahan. Ketika itu, ia menemui para petani sedang menangkap seekor tikus dan memukulinya. I Ceker Cipak tidak sampai hati melihat tikus itu disiksa oleh mereka.

“Maaf, Tuan-Tuan! Tolong jangan siksa tikus itu!Jika Tuan-Tuan berkenan, biarlah aku tebus tikus itu dengan harga 25 kepeng,” pinta I Ceker
Cipak.

Para petani itu pun mengabulkan permintaannya.Setelah menyerahkan uang tebusan sebesar 25 kepeng kepada para petani tersebut, I Ceker Cipak kembali melanjutkan perjalanan dengan
ditemani oleh kempat hewan tebusannya, yaitu seekor anjing, kucing, ular, dan tikus. Mereka tiba di pasar Kota Raja saat hari mulai gelap. I Ceker Cipak merasa sangat lapar. Setelah memeriksa sakunya, ternyata uangnya hanya tersisa 25 kepeng . Akhirnya, uang tersebut ia pakai membeli makanan untuk dirinya dan keempat binatang tebusannya. Ia terpaksa batal
membeli jagung, karena sudah kehabisan uang.

Ketika I Ceker Cipak bersama keempat binatang tebusannya sedang asyik makan, tiba-tiba seorang prajurit istana yang sedang patroli datang menghampirinya.
“Hai, Anak Muda! Kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya prajurit itu.
“Nama saya I Ceker Cipak, Tuan! Maaf jika
kedatangan saya mengganggu ketenteraman kota ini,” jawab I Ceker Cipak sambil memberi hormat.

“Apa maksud kedatanganmu ke kota ini? Dan, untuk apa kamu membawa hewan-hewan piaraanmu itu?” prajurit itu kembali bertanya.“Maaf, Tuan! Sebenarnya, saya datang ke kota ini untuk membeli jagung, namun uang saya telah habis untuk menebus keempat binatang ini yang
sedang dianiaya orang,” jawab I Ceker Cipak.

“Wah, hatimu sungguh mulia, Anak Muda!” puji Prajurit itu kemudian mengajak I Ceker Cipak ke istana untuk menghadap sang Raja. Setibanya di istana, prajurit itu menceritakan maksud kedatangan I Ceker Cipak ke kota dan semua peristiwa yang dialaminya di perjalanan.
Mendengar cerita tersebut, Raja yang baik hati itu pun mengizinkan I Ceker Cipak untuk menginap semalam di istana. Sang Raja juga memerintahkan kepada dayang-dayang istana untuk melayani segala keperluan I Ceker Cipak dan keempat hewan piaraannya. Alangkah senang
hati I Ceker Cipak mendapat kehormatan tidur di dalam istana dan pelayanan istimewa dari sang Raja.
Malam telah larut, namun I Ceker Cipak belum bisa memejamkan matanya, karena memikirkan ibunya yang tidur sendirian di gubuk. Ia juga memikirkan uang pemberian ibunya yang telah habis untuk menebus keempat binatang tersebut.
Ia bingung untuk menjelaskan semua itu kepada ibunya. Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba si Ular merayap mendekatinya.
“Wahai, Tuanku yang berbudi luhur! Jika besok saat pulang dan bertemu dengan seekor ular besar, Tuan jangan takut! Dia adalah ibuku yang bernama Naga Gombang. Meskipun terkenal
sangat ganas, tapi dia tidak akan mengganggu orang yang tekun menjalankan dharma. Jika ia
memintaku darimu, maka mintalah tebusan
kepadanya!” ujar si Ular.
I Ceker Cipak tersentak kaget, karena tidak
pernah mengira sebelumnya jika ular itu dapat berbicara seperti manusia. Namun, ia tidak ingin terlalu memikirkan hal itu, yang penting ia berjanji akan melaksanakan pesan ular itu.
Keesokan harinya, I Ceker Cipak pun berpamitan kepada sang Raja. Raja yang baik hati itu membekalinya kain, uang, dan sepuluh ikat jagung.
“Bawalah kain, uang dan jagung ini sebagai oleh-oleh untuk ibumu di rumah!” ujar sang Raja.
“Terima kasih banyak atas semua kebaikan,
Gusti! Semoga Tuhan senantiasa memberkahi
Gusti!” ucap I Ceker Cipak seraya memberi
hormat untuk memohon diri.
I Ceker Cipak kembali ke kampung halamannya melewati jalan semula. Ketika ia memasuki hutan belantara, tiba-tiba ia dihadang oleh seekor ular yang sangat besar. “Hai, Anak Muda! Berhenti dan serahkan ular itu kepadaku!” seru ular besar itu.

“Hai, Ular Besar! Pasti kamu yang bernama Naga Gombang. Ketahuilah wahai Naga Gombang, akulah yang telah menyelamatkan anakmu! Jika
kamu hendak mengambil anakmu dariku, kamu harus menebusnya!” kata I Ceker Cipak.
“Wahai, Anak Muda! Jika memang benar yang kamu katakan itu, ambillah cincin permata yang ada di ekorku sebagai penebus! Semua barang
akan menjadi emas jika kamu gosokkan dengan cincin itu,” ujar Naga Gombang.
I Ceker Cipak pun mengeluarkan ular yang ada di dalam keranjangnya lalu menyerahkannya kepada
Naga Gombang. Setelah itu, ia segera mengambil cincin permata di ekor Naga Gombang, kemudian menyelipkan di ikat pinggangnya dan melanjutkan
perjalanan. Ketika sampai di gubuknya, ia
dikejutkan oleh sebuah peristiwa ajaib, ikat
pinggangnya telah berubah menjadi emas. Ibunya pun sangat heran menyaksikan peristiwa ajaib itu.
“Bagaimana hal itu bisa terjadi, Anakku?” tanya ibunya heran.
I Ceker Cipak pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya selama dalam perjalanan hingga tiba kembali ke rumah. Ibunya merasa amat bahagia memiliki anak yang taat menjalankan dharma. Sejak memiliki cincin permata itu,
kehidupan keluarga I Ceker Cipak berubah. Kini, ia telah menjadi kaya raya di kampungnya. Ia hidup berbahagia bersama ibu dan ketiga hewan piaraannya, yakni si tikus, kucing, dan ajingnya.
Meskipun sudah menjadi orang kaya, I Ceker Cipak tetap rajin bekerja.
Pada suatu hari, I Ceker Cipak membantu ibunya menumbuk padi, namun ia lupa melepas cincin permata dari jari tangannya. Tanpa disadarinya, cincin permata itu patah dan jatuh ke dalam lesung. Maka seketika itu pula lesung dan alu itu tiba-tiba berubah menjadi emas. Ia dan ibunya
sangat heran bercampur gembira menyaksikan peristiwa ajaib terserbut. Sejak itu, I Ceker Cipak semakin terkenal dengan kekayaannya hingga ke berbagai penjuru negeri. Setelah itu, I Ceker Cipak membawa cincinnya yang patah ke tukang emas untuk diperbaiki.
Rupanya, tukang emas itu mengerti bahwa cincin itu memiliki tuah yang dapat mendatangkan kekayaan. Oleh karena itu, ia berniat untuk memilikinya. Agar tidak ketahuan oleh pemiliknya, ia pun membuat sebuah cincin palsu yang sangat mirip dengan cincin permata ajaib
itu. Ketika I Ceker Cipak datang hendak
mengambil cincinnya, ia memberikan cincin yang palsu. I Ceker Cipak tidak merasa curiga sedikit pun. Setibanya di rumah, ia ingin menguji kesaktian cincin permata itu. Perlahan-lahan ia
menggosokkan cincin itu pada sebuah batu, namun batu itu tak kunjung berubah menjadi emas. Dari situlah I Ceker Cipak mulai curiga. “Bu! Coba periksa cincin permata ini! Sepertinya ia tidak sakti lagi,” kata I Ceker Cipak. “Wah,
jangan-jangan tukang emas itu telah
menukarnya!”
Setelah diperiksa oleh ibunya, ternyata benar cincin itu palsu. Ibunya sangat mengenal bentuk cincin permata yang asli itu.
“Dugaanmu benar, Anakku! Tukang emas itu telah menukar cincinmu dengan cincin palsu,” kata ibunya.

- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI



“Apa yang harus kita lakukan, Bu?” tanya I Ceker Cipak.
Ibu I Ceker Cipak pun bingung harus berbuat apa. Ia berpikir keras untuk mencari agar dapat mengambil kembali cincin permata sakti itu.
Suasana di rumah itu menjadi hening. Hingga malam larut, mereka belum juga menemukan jalan keluar. Hati mereka diselimuti perasaan sedih. Melihat tuannya bersedih, si Tikus, Kucing, dan Anjing melakukan musyawarah secara diam-
diam. Mereka ingin membantu tuannya untuk mendapatkan kembali cincin permata tersebut dari si tukang emas. Setelah mengatur siasat,
mereka pun berangkat ke rumah si tukang emas tanpa sepengetuhuan I Ceker Cipak dan ibunya.
Setibanya di rumah si tukang emas, ketiga
binatang piaraan I Ceker Cipak tersebut membagi tugas. Si Kucing bertugas menunggu di depan pintu, dan si Anjing menunggu di depan tangga.
Sementara, si Tikus bertugas bersiap-siap untuk menyelinap masuk ke dalam rumah untuk mencari cincin tuannya.
Setelah semuanya sudah siap, mereka pun mulai menjalankan tugas masing-masing. Si Kucing mulai mencakar-cakar pintu rumah, sehingga si tukang emas terbangun. Begitu tukang emas itu
membuka pintu, si Kucing mencakar-cakar
kakinya hingga jatuh terguling-guling di tangga. Si Anjing yang sedang menunggu di depan tangga segera menggigitnya. Tukang emas itu pun tergeletak tak sadarkan diri. Pada saat itulah, si
Tikus segera masuk ke dalam rumah. Dengan ganasnya, ia melubangi peti tempat penyimpanan perhiasan tukang emas itu, lalu mengambil cincin permata tuannya. Setelah itu, mereka segera kembali ke rumah untuk menyerahkan cincin itu
kepada I Ceker Cipak. Hari sudah pagi, namun mereka belum juga sampai di rumah tuannya.
Sementara itu, I Ceker Cipak yang baru bangun tidur sangat cemas, karena ketiga binatang piaraannya tidak ada di rumah.
“Bu! Apakah Ibu tahu ke mana binatang piaraanku pergi?” tanya I Ceker Cipak.
“Wah, Ibu tidak tahu, Anakku! Sejak tadi Ibu juga
belum melihatnya,” jawab Ibunya.
Baru saja I Ceker Cipak akan pergi mencarinya di
sekitar gubuk, ketiga binatang piaraannya
tersebut tiba-tiba muncul dari balik semak-
semak. Alangkah terkenjutnya ia ketika melihat
cincin permatanya ada di mulut si Tikus. Ia baru
sadar bahwa ternyata ketiga binatang piaraannya
pergi ke rumah si tukang emas untuk mengambil
cincin permata itu. Ia pun menyambut mereka
dengan perasaan gembira.
“Terima kasih, kalian telah membantuku
mendapatkan kembali cincin permata ini,” ucap I
Ceker Cipak setelah si Tikus menyerahkan cincin
itu kepadanya.
Sejak itu, I Ceker Cipak sangat berhati-hati dalam
menjaga cincin permata saktinya. Semakin hari,
harta kekayaannya pun semakin bertambah. Ia
adalah orang kaya yang dermawan. Ia senantiasa
membantu para warga di sekitarnya yang
membutuhkan. Ia juga selalu mengingat semua
orang-orang yang telah berbuat baik kepadanya.
Pada suatu hari, I Ceker Cipak bersama ibu dan
ketiga hewan piaraannya datang menghadap
kepada sang Raja untuk mengucapkan terima
kasih. Ia datang dengan pakaian yang sangat rapi
dan bersih, sehingga terlihat tampan dan gagah.
Sebagai ucapan terima kasih, ia persembahkan
sebagian emasnya kepada sang Raja.
Kedatangannya pun langsung diterima dan
disambut baik oleh sang Raja. Melihat
ketampanan dan kegagahan I Ceker Cipak, sang
Raja tiba-tiba terpikat hatinya ingin menikahkan
dia dengan putrinya yang bernama Ni Seroja. I
Ceker Cipak pun tidak menolak keinginan sang
Raja. Akhirnya, I Ceker Cipak menikah dengan
Putri Ni Seroja. Sejak itu, I Ceker Cipak tinggal di
istana bersama istri, ibu, dan hewan-hewan
piaraannya. Mereka hidup bahagia dan sejahtera.
* * *
Demikian cerita I Ceker Cipak dari daerah Bali,
Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori
dongeng yang mengandung pesan-pesan moral.
Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat
dipetik dari cerita di atas. Pertama: orang yang
rajin dan tekun menjalankan perintah agama akan
mendapat imbalan berlipat ganda dari Tuhan
Yang Mahakuasa, baik langsung maupun tidak
langsung. Hal ini ditunjukkan oleh sifat dan
perilaku I Ceker Cipak. Berkat ketekunannya
menjalankan dharma dengan cara suka menolong
antarsesama makhluk, maka ia pun mendapat
imbalan berlipat ganda. Ia menjadi kaya raya dan
memperoleh istri seorang putri raja. Dikatakan
dalam tunjuk ajar Melayu:
supaya hidup beroleh rahmat,
amal ibadah jangan disukat
wahai ananda cahaya rumah,
dalam ibadah janganlah lengah
kerjakan suruh, jauhkan cegah
supaya hidupmu beroleh berkah
Kedua, orang yang suka mengambil hak milik
orang lain akan mendapat balasan yang setimpal,
seperti si tukang emas. Karena kelicikannya ingin
memiliki cincin permata I Ceker Cipak, ia pun
mendapat ganjaran setimpal. Ia tergeletak tidak
sadarkan diri setelah dicakar oleh si Kucing dan
digigit oleh si Anjing. Dikatakan dalam tunjuk ajar
Melayu:
siapa merampas hak milik orang,
azabnya keras bukan kepalang

Sumber : ceritarakyatnusantara.com

Jyotisha Ilmu Astronomi dan Astrologi Hindu Kuno

 






NYEPI: Surya Pramana tentukan sasih Kasanga dan jatuhnya tilem melalui perhitungan Candra Pramana untuk memastikan jatuhnya Hari Raya Nyepi. (ISTIMEWA)





Meramal nasib hingga prediksi fenomena alam berdasar posisi bintang, sudah menjadi ilmu tersendiri dalam Agama Hindu. Bahkan, sudah ada dan diterapkan ribuan tahun silam.


Astrologi dan Astronomi, dua ilmu yang tidak bisa dipisahkan walau memiliki perbedaan. Astronomi melihat posisi bintang dan dengan perhitungan khusus bisa mengetahui prediksi fenomena alam, sedangkan Astrologi adalah mengamati posisi bintang untuk mengetahui pengaruhnya pada kehidupan manusia.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI



Dikatakan Kepala Program Studi S-2 Ilmu Komunikasi di IHDN, DR I Gede Sutarya,
Astrologi dan Astronomi dalam Hindu masuk dalam Jyotisha yang sudah ada sejak ribuan tahun silam.





"Jyotisha adalah Ilmu Astrologi sekaligus Ilmu Astronomi Hindu Kuno. Berasal dari bahasa Sansekerta, yakni Jyoti yang berarti cahaya, dan Ish bermakna Tuhan. Sehingga Jyotisha bermakna Tuhan pengendali cahaya, " terang Sutarya, ahli wariga yang juga penyusun kalender Bali ini.


Dijelaskan Sutarya, Jyotisha masuk dalam percabangan Wedangga yang merupakan bagian tubuh dari kitab suci Weda.


Pengunaan Jyotisha bisa dilihat juga dalam film bertemakan Hindu, seperti Mahabahrata saat Rsi Jaimini memprediksi hasil perang Mahabharata dengan Marahaja Drestarata dan Maharani Gandari.


Ilmu Astronomi dan Astrologi Hindu kuno ini sampai sekarang tetap digunakan. "Hal ini dapat dilihat masih kentalnya budaya India untuk melihat ramalan jodoh anak-anak mereka yang akan dinikahkan. Bahkan di Bali masih sering dipakai, terutama dalam menentukan hari raya, masa tanam, ramalan kelahiran dan lainnya oleh umat Hindu,” ujar Sutarya kepada Bali Express (Jawa Pos Group) pekan kemarin.


Dikatakannya, penentuan posisi bintang dilakukan oleh para Maharsi terdahulu dengan melakukan pengamatan, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan. Perhitungan Astronomi ini akan menghasilkan waktu kapan sesuatu terjadi, seperti hari raya apa saja yang akan jatuh dari tilem (bulan mati) sampai tilem berikutnya, dan kapan terjadinya gerhana matahari ataupun gerhana bulan.


Perhitungan di Jyotisha menggunakan bumi sebagai patokan, dimana planet lain mengitarinya. Hal ini semata-mata digunakan untuk penyederhanaan perhitungan Astronomi yang dilakukan, sebab dalam Weda menganut Heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya), bukan geosentris (bumi sebagai pusat tata surya), seperti termuat dalam kitab Sama Weda 121. “Matahari tidak pernah terbenam ataupun terbit, sebab bumi yang berotasi,” ujar dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar ini.



Ditambahkannya, pengamatan dari posisi planet, matahari, bulan dan bintang menimbulkan pemaknaan, yang akhirnya menjadi Ilmu Astrologi. Melihat posisi planet dan bintang, para Maharsi pada zaman dahulu bisa memprediksi hadirnya kehancuran, bencana, hadirnya raja baru, dan lain sebagainya. “Di India banyak sudah riset tentang Jyotisha ini, bahkan para sarjana barat juga banyak melakukan penelitian. Sehingga kini semakin mudah mencari referensi tentang ilmu ini, sebab sudah banyak diartikan dalam Bahasa Inggris,” ujar Sutarya.


Penerapannya di Indonesia belum begitu banyak, lanjutnya, namun di Bali sudah ada pada Ilmu Wariga yang dikenal secara umum.


Ilmu Jyotisha termasuk kategori ilmu yang bersifat ilmiah, jika dilihat pada bagian Astronominya. Sebab, dengan perhitungan Astronomi, fenomena alam bisa dihitung kapan terjadinya. Sedangkan pada Astrologi tidak bisa dipastikan 100 persen kebenarannya, mengingat mengartikan posisi bintang terhadap ramalan hidup manusia perlu pembuktian jelas. “Kalau mengenai pemaknaan posisi bintang (Astrologi), saya tidak berani mengatakan ilmu Astrologi pada Jyotisha 100 persen tepat juga,” ujar Sutarya.


“Anggap saja ketika purnama misalnya kekuatan seorang sedang dalam puncaknya, kemudian ada arti hari kelahiran dan sebagainya perlu pembuktian yang tidak mudah,” tegasnya.
Film asal India bertemakan Hindu sering memperlihatkan para Maharsi meramal masa depan, lalu kenapa selalu bisa tepat?


Menurut Sutarya, hal itu terjadi karena Maharsi pada masa lampu mempelajari kitab Astrologi secara khusus. Mereka melihat konstelasi bintang dan mengartikan makna dari hasil pengamatan tersebut. Maharsi tentu dahulu mempelajari dengan baik, sedangkan kini masih riset di India.
Perkembangan Ilmu Jyotisha dari India sampai ke Jawa, kemudian akhirnya sampai di Bali sekitar abad ke-10 Masehi dengan berbagai penyesuaian. Sutarya menjelaskan diperkirakan di masa pemerintahan Mpu Sindok itu terjadi. Kala sang putri, yakni Mahendradatta menikah dengan Raja Udayana, dimana pernikahan turut juga membawa ajaran perhitungan pawukon dan wewaran. “ Pengetahuan itu masuk dari Bali Utara oleh Sang Ratu Luhur Sri Gunapriya Dharmapatni (gelar Ratu Mahendradatta). Jadi, wewaran pawukon di Bali itu dari Jawa sebenarnya,” terang Sutarya.


Perkembangannya selanjutnya di Bali, Ilmu Astronomi dan Astrologi kemudian dikenal menjadi Ilmu Wariga. Patokan yang digunakan di Bali adalah perhitungan Surya Chandra Pramana atau yang akrab di telinga sebagai solar dan lunar system yang sampai sekatang tetap dipakai di kalender khas Bali. Penggunaan itu salah satunya pada saat menentukan jatuhnya Hari Raya Nyepi, yakni menentukan sasih kasanga melalui perhitungan Surya Pramana (jatuh setiap sasih yang sama) dan menentukan jatuhnya tilem melalui perhitungan Candra Pramana.


Ditambahkannya,perkembangan Wariga di Bali juga menyebabkan ada banyak percabangan Ilmu Wariga yang mirip dengan Jyotisha. “Bisa dilihat, ada Wariga untuk pertanian, jodoh, kelahiran, pedewasan, dan lainnya. Mirip dengan Astronomi dan Astrologi pada Jyotisha,” pungkasnya.

TINGKATAN CARU DAN BINATANG YANG DIPAKAI

  


CARU pada hakikatanya dipahami sebagai persembahan untuk Bhuta Kala. Upacara caru dimaknai sebagai upacara untuk menjaga keharmonisan alam,
manusia dan waktu.
Di Bali Dikenal Tiga Jenis Caru
1. Caru Palemahan Bumi Sudha yaitu upacara caru untuk tempat atau wilayah. Baik itu untuk mengharmoniskan tempat untuk dipakai tempat suci,
dibangun rumah, atau sebuah wilayah yang tertimpa musibah.
2. Caru Sasih yaitu caru yang dilaksanakan berkaitan dengan waktu-waktu tertentu yang dipandang perlu diharmoniskan. Misalnya Caru Sasih
Sanga (sehari sebelum Nyepi)
3. Caru Oton yaitu caru untuk orang atau benda sebagai unsur bhuana agung yang mengalami berbagai siklus, baik terhadap waktu maupun
perkembangannya. Misalnya caru oton untuk anak yang baru lahir, untuk perkawinan, akil balik, kematian dll. yang sering juga disebut dengan
byakala.
Banten caru biasanya berisikan hal-hal khas
1. Aneka macam nasi, baik warna maupun bentuk
2. Aneka bumbu-bumbuan (bawang, jahe, terasi, garam)
3. Daging (terutama bagian jeroan)
4. Arang
5. Darah
6. Blulang atau bayang-bayang binatang
7. Tuak, arak dan berem
8. Api takep
9. Aneka bunyi-bunyian
Dewasa Caru
Upacara caru yang baik dilakukan pada:
- Sasih Kanem, Kapitu, Kawolu dan Kasanga.
- Hari/tanggal Panglong, atau Tilem
- Kajeng Kliwon
- Ingkel Bhuta.



Jenis Caru Palemahan:
* Caru Eka Sata
Sarana: Olahan ayam putih dengan bayang-bayangnya (blulang --bahasa Bali-red) dialasi sengkuwi dibagi lima tanding. Disertai dengan datengan, daksina,
penyeneng dan canang (untuk semua jenis caru).
* Caru Panca Sata
Sarana memakai 5 (lima) ekor ayam.
Ayam bulu hitam tempatnya Kaja (utara), putih siung (kuning) tempatnya Kauh (barat), ayam bulu merah (barak) Kelod (selatan). Kangin (timur) ayam bulu
berwarna putih dan di tengah ayam bulu berwarna brumbun (segala warna). Selain itu dilengkapi juga dengan seekor bebek blang kalung.
* Caru Panca Sanak
Untuk Caru Panca Sanak dasarnya adalah caru Panca Sata sedangkan kelengkapannya ada beberapa jenis binatang, jika dilengkapi:
a. Asu atau Anjing maka tempatnya terletak di arah Barat Daya/Kelod-Kauh.
b. Bebek bulu Singkep diperuntukkan diletakan di arah Kelod-Kangin (Tenggara).
c. Angsa letaknya Timur Laut/Kaja-Kangin
d. Kambing nerupakan caru yang diperuntukkan pada arah Kaja Kauh (Barat Laut)
Itulah beberapa caru dari segi sarana hewannya dan masih banyak lagi caru sesuai dengan namanya dan sarana hewan yang dipersembahkan.
Yang disebutkan tadi dengan sarana bebek, kambing, anjing, ini merupakan tingkatan caru yang disebut dengan Panca Sanak. Ini pun dapat dibagi lagi
menjadi Panca Sanak yang sarananya asu, dan bebek bulu sikep. Sedangkan Panca Sanak Agung sarananya, hewan angsa dan asu atau anjing.
* Caru Panca Sanak Madurga
Sarananya sama dengan Caru Panca Sanak ditambah dengan anak babi jantan hitam yang belum dikebiri (kucit selem butuhan) dengan tambahan bebek
atau yang lain.
* Caru Sanak Magodel
Sarana tambahannya dipakai anak sapi atau yang dalam bahasa Balinya disebut godel.
* Caru Rsigana
Adalah Caru Panca Sanak yang disertai dengan menghadirkan Dewa Ghana sebagai dewa penghalau rintangan.
* Caru Balik Sumpah
Di tingkat yang lebih tinggi ada juga caru yang dikenal dengan nama Caru Balik Sumpah yang sarana hewannya berupa kerbau dan kambing. Sedangkan yang
lebih tingi lagi ada sejenis upakara Malinggia Bhumi dan ini sarana binatangnya adalah sebanyak 45 kurban.
CARU secara wedik hanya mempersembahkan 10 nasi kepel yang diolisi minyak ghee. Caru ini dipersembahkan kepada 10 dewa penguasa butha, yaitu: 1) agnaye, 2) soma, 3) agnesomabyam, 4) danvantaraye, 5) kuhwae, 6) visvebyo devabyah, 7) anumatyae, 😎 prajapataye, 9) diawahpertivibyah, 10) suistakrte. Nasi kepel dipersembahkan ke dalam kunda.