Senin, 20 Mei 2024

GARIS DARAH RAJA AIRLANGGA

 


Berikut daftar raja-raja Jenggala dan Panjalu:
◾Janggala
1. Sri Maharaja Mapanji Garasakan (prasasti Turun Hyang yang dikeluarkan oleh Mapanji Garasakan, 1044 M dan prasasti Malenga, 1052 M)
2. Sri Maharaja Alanjung Ayes (prasasti Banjaran yang berasal dari daerah Surabaya, 1052 M)
3. Sri Maharaja Rakai Halu Pu Juru Samarotsaha Karnnakesana Ratnasangkha Kirritisingha Jayanntaka Tungga Dewa (prasasti Sumengka, 1059 M)
◾Panjalu (Kadiri)
1. Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttungga Dewa (prasasti pucangan, 1041 M dan prasasti Pamwatan, 1042 M)
2. Aji Linggajaya (prasasti Malenga, 1052 M)
3. Sri Jayawarsa Digjaya (prasasti Sirah Keting, 1104 M)
4. Sri Maharaja Sri Bameswara Sakalabhumwana Tustikarana Sarwaniwariwirya Parakrama Digjya Uttungga Dewa (prasasti Pikatan, 11 Januari 1117 dan prasasti Tangkilan, 14 Mei 1130)
5. Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudanawatara Anindita Suhtrisingha Parakrama Uttungga Dewa (prasasti Ngantang, 1135 M dan prasasti Talan, 24 Agustus 1136)
6. Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara Janardanawatara Wijaya Agrajasama Singhanadari Waryawirya Parakarama Digjaya Uttungga Dewa (prasasti Padelaga II, 23 September 1159 dan prasasti Kahyunan, 23 Februari 1161)

7. Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryeswara Madhusudanawatara Arijayamuka (prasasti Angin, 23 Maret 1171)
8. Sri Maharaja Sri Kroncaryadipa Bhuwanapalaka Parakrama Anindita Digjaya Uttungga Dewa Sri Gadra (prasasti Jaring, 19 November 1181)
9. Sri Maharaja Sri Kamesware Triwikrama Awatara Aniwariwirya Parakrama Digjaya Uttungga Dewa (prasasti Ceker, 11 September 1185)
10. Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttungga Dewa (prasasti Kamulan, 31 Agustus 1194, prasasti Galungan 20 April dan prasasti Wates atau prasasti Lawadan, 18 November 1205).
Yang segera menarik perhatian tercantum nama Kertajaya dalam prasasti Wates. Anugerah tanah di Lawadan pada awal prasasti Wates diberikan oleh Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttungga Dewa. Di kompleks candi Panataran terdapat prasasti Palah. Prasasti Palah (1197 M) menyebutkan seorang raja Kadiri yang bernama Srengga, beliau memberikan hadiah sima untuk Mpu Iswara Mapaรฑji Jagwata yang telah berjasa kepada raja karena telah melakukan pemujaan untuk Bhatara ri Palah. Nama Palah juga terdapat dalam Kakawin Nagarakretagama yang menerangkan saat Raja Hayam Wuruk berkeliling dan singgah ke Palah. Puja sastra Nagarakretagama mengatakan bahwa setelah raja Kertajaya "pergi" pada tahun 1222 M, atas perintah Sri Parwatadhindrasuta (Ken Angrok), Jayasabha menggantikannya berkuasa di Kadiri. Pada tahun 1258 M, Sastrajaya menggantikan Jayasabha dan pada tahun 1271 M Jayakatwang menggantikan Jayasabha di Kadiri (Nag.,44.2).
Pecahnya perang antara Janggala dan Panjalu yang berkepanjangan dimenangkan oleh Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya, diuraikan pada prasasti Ngantang, 17 September 1135. Kemenangan Panjalu terhadap Janggala ditandai dengan tulisan di atas prasasti Ngantang, yaitu Panjalu Jayati, artinya Panjalu menang.
Sumber informasi:
• Boechari. 2012. ๐˜”๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ข๐˜ค๐˜ข๐˜ฌ ๐˜š๐˜ฆ๐˜ซ๐˜ข๐˜ณ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜’๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ฐ ๐˜๐˜ฏ๐˜ฅ๐˜ฐ๐˜ฏ๐˜ฆ๐˜ด๐˜ช๐˜ข ๐˜ญ๐˜ฆ๐˜ธ๐˜ข๐˜ต ๐˜—๐˜ณ๐˜ข๐˜ด๐˜ข๐˜ด๐˜ต๐˜ช/๐˜›๐˜ณ๐˜ข๐˜ค๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ˆ๐˜ฏ๐˜ค๐˜ช๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ต ๐˜๐˜ฏ๐˜ฅ๐˜ฐ๐˜ฏ๐˜ฆ๐˜ด๐˜ช๐˜ข๐˜ฏ ๐˜๐˜ช๐˜ด๐˜ต๐˜ฐ๐˜ณ๐˜บ ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ณ๐˜ฐ๐˜ถ๐˜จ๐˜ฉ ๐˜๐˜ฏ๐˜ด๐˜ค๐˜ณ๐˜ช๐˜ฑ๐˜ต๐˜ช๐˜ฐ๐˜ฏ๐˜ด/ ๐˜’๐˜ถ๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜›๐˜ถ๐˜ญ๐˜ช๐˜ด๐˜ข๐˜ฏ/๐˜ž๐˜ณ๐˜ช๐˜ต๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ๐˜ด ๐˜ฐ๐˜ง ๐˜‰๐˜ฐ๐˜ฆ๐˜ค๐˜ฉ๐˜ข๐˜ณ๐˜ช. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
• Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah Nagara Kretagama. Yogyakarta: LKiS

 

MAKNA BANTEN PEJATI

 


Banten Pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Paรฑca Yajรฑa.
Banten Pejati setiap daerah di Bali memiliki bentuk dan cara penyajian yang berbeda-beda, selain itu penyajian Banten Pejati juga sesuai dengan tingkatan upacara yadnya.
Banten pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu:
1. Peras kepada Sanghyang Iswara
2. Daksina kepada Sanghyang Brahma
3. Ketupat kelanan kepada Sanghyang Wisnu
4. Ajuman kepada Sanghyang Mahadewa

Adapun unsur-unsur banten pejati antara lain:
1. Daksina dipergunakan sebagai mana persembahan atau tanda terimakasih, selalu menyertai banten-banten yang agak besar dan sebagainya perwujudan atau pertapakan.
2. Banten peras dimaksud untuk mengesahkan anak/cucu, dan bila suatu kumpulan sesajen tidak dilengkapi dengan peras akan dikatakan penyelenggaraan upacaranya dikatakan tidak sah, oleh karena itu banten peras selalu menyertai sesajen-sesajen yang lain terutama yang mempunyai tujuan tertentu.
3. Penyeneng/ tehenan/ pabuat dibuat untul tujuan untuk membangun hidup yang seimbang sejak dari baru lahir hingga maninggal.
4. Ketupat kelanan merupakan lambang dari sad ripu yang telah dapag dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebijakam senantiasa meliputi kehidupan manusia.
5. Soda/ajuman digunakan sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina yang ditujukan kepada para leluhur.
6. Pasucian dipergunakan sebagai alat untuk menyucikan Ida Bhatara dalam suatu upacara keagamaan.
7. Segehan digunakan untuk menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatif.
Sumber:

 

Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa

 


Leluhur para Arya Bali
Nama Airlangga berarti “Air yang melompat”. Ia lahir tahun 990 M. Ayahnya bernama Raja Udayana, raja Kerajaan Bali Kuno dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang.
Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata).
Menurut prasasti Pucangan, Maharaja Airlangga dan Narotama berasal dari Bali. Keduanya datang ke Jawa tahun 1006. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Maharaja Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat
Dikutip Unair News, ketika berusia 16 tahun, Airlangga dikirim ke Jawa untuk menjalani pernikahan dengan Galuh Sekar ( mohon dikoreksi jika ada pendapat lain ) putri Raja Dharmawangsa Teguh. Sayangnya, tak lama setelah perayaan pernikahan Airlangga dan Galuh Sekar, ibukota kerajaan diserbu oleh Wurawari.
Di kemudian hari wilayah kekuasaan Kahuripan terbagi menjadi dua bagian untuk kedua putranya. Selanjutnya, Maharaja Airlangga meninggalkan istana dan meletakkan tahtanya. Dia memilih menuju suatu tempat yang jauh dari keramaian duniawi.
Di sana Maharaja Airlangga menjadi pertapa. Sejumlah nama sebutan Maharaja Airlangga mengemuka saat menjalani pertapaan ini, di naskah Serat Calon Arang Airlangga disebut Resi Airlangga Jatiningrat, kemudian juga dengan sebutan Resi Gentayu pada Babad Tanah Jawa, dan berdasarkan Prasasti Gandhakuti dengan Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Citraning Bhuwana.

Minggu, 19 Mei 2024

Kenapa di Bali banyak Rahinan?

 


Om Swastyastu.
Penulis adalah Tamatan IHD Dps doeloe...
Tanya : "Kenapa di Bali banyak Rahinan ?"
Jawab : "Karena Kalender di Bali hanya Sapta Wara, ketemu Panca Wara , setelah Sapta Wara ketemu Panca Wara, akhirnya ketemu Wuku.
Atau ringkasannya : "Sapta Wara + Panca Wara + Wuku"...
Pertanyaan selanjutnya : "Apa itu Rahinan ?"
Jawab : Pada Jempol : Buda Kliwon + Nama Wukunya , misalkan Buda Kliwon Sinta (Nama Wuku sesuai Gambar dst...).

Pada Telunjuk tersebutlah : Tumpek + Nama Wukunya , misalkan Tumpek Landep dst...
Pada Jari Tengah : Buda Cemeng + Nama Wukunya misalkan Buda Cemeng Ukir dst...
Pada Jari Manis adalah Anggar Kasih + (ditambahi) ingat Nama Wukunya ya, misalkan Anggar Kasih Kulantir dan Nama-Nama Wuku seterusnya (Wuku dalam Kotak)...
Pada Kelingking kosong...
Silakan Konfirmasi Umat SeDharma-Umat SeDharma di Grup...
Catatan Tambahan : maaf, Ring/ di Rahina Saraswati adalah di Wuku Watu Gunung, tepatnya Saniscara Umanis Wuku Watugunung.


TALUH BUKASEM (sari pati Durga Dewi)


 

Bhagawan Dunggulan mewejangkan hakekat "manik urip' kemudian diwujudkan menjadi telor pada beragam persembahan banten. bahkan dari telor inilah beragam ulam banten (daging persembahan) berasal.
selanjutnya Bhagawan Dunggulan melanjutkan yoga, memusatkan bhatin, "muah ana teja maya ri lep ning hasta kiwa" lalu munculah cahaya maya dari telapak tangan kiri beliau. cahaya ini kemudian berangsur berwarna kehitaman. singkat cerita cahaya kehitaman ini kemudian menjadi "Taluh Bukasem", telur bekasem. telur ini mengandung kekuatan Durga, "sira pinaka durga dewi" ini (telor bukasem) sebagai perwujudan Durga Dewi.
taluh bukasem adalah salah satu cara pengolahan telur yang bertujuan untuk mengawetkan melalui proses perebusan dengan berbagai macam bumbu, termasuk arang sehingga terjadi proses fermentasi.
oleh peneliti dari Balai Arkeologi Medan, Churmatin Nasoichah dalam “Pengawetan Makanan: Upaya Manusia dalam Mempertahankan Kualitas Makanan (Berdasarkan Data Prasasti Masa Jawa Kuno)” yang terbit di Jejak Pangan dalam Arkeologi, menyebut Prasasti Sangguran (928),Prasasti Jeru-Jeru (930) mencatat proses pengolahan telur dengan cara tertentu agar lebih awet dengan cita rasa khas.
di Bali taluh bukasem tampaknya bukan hanya tentang ragam upaya pengawetan telur untuk kepentingan pangan saja, tetapi memiliki nilai magis religius.
bahkan Widisastra Bhatara Nawa Dunggulan menyebut melalui wejangan bhatara Siwa bahwa taluh Bukasem merupakan perwujudan Durga Dewi.
taluh bukasem memang tak banyak dijadikan serana tetandingan banten terutama yang "kehatur ka luhur" (persembahan kepada para dewa). ada beberapa banten khusus yang mewajibkan penggunaan taluh bukasem misalnya banten yang digunakan untuk laban sang catur sanak pada ritual memohon kawisesan (kekuatan gaib).

pada tetandingan banten tebasan ada beberapa tebasan yang wajib menggunakan taluh bukasem, misalnya tebasan Jayasatru. banten tebasan Jayasatru digunakan saat otonan untuk memohon jaya (kemenangan) satru (musuh), atau saat perayaan tumpek landep.
taluh bukasem muncul melalui yoga Bhagawan Nawa Dunggulan mengandung kekuatan Durga Dewi. kerap dilibatkan pada banten yang bertuah mendatangkan kekuatan magis, ataupun memohon kemenangan. tentu ini bukan sesuatu yang baru, Siwa (bhagawan Dunggulan) kemudian Durga Dewi (taluh bukasem) lalu magis dan kemenangan (banten catur sanak, tebasan jayasatru) ini sangat bisa disimpulkan sebagai alur Durga Puja (pemujaan durga). Ibu Hariani Santiko pada tulisan Bhatari Durga menyebut pemujaan Durga selalu berhubungan dengan daya magis, dan permohonan kemenangan.
konon taluh bukasem juga bisa digunakan sebagai pengganti babi guling untuk banten yang harus menggunakan babi guling tetapi tak mampu menghaturkan. petikan mantra ngayaban banten Guling pun ada yang menyebut nama Durga.
============

Telor, Taluh, anda, antiga, ndog


telur digunakan hampir disemua sarana bebantenan di Bali, mulai dari yang paling sederhana hingg rumit.
Telur yang digunakan diolah dengan dua cara; matah (mentah), lebeng (dimasak).
Taluh lebeng (telur masak) diolah dengan beberapa teknik lalab (rebus), Ginoreng (goreng), Guling (ditusuk lalu dibakar), medadah (dipecahkan digoreng tanpa minyak).
telur yang digunakan pun beragam, dari telur siap (ayam), itik (bebek), angsa.
Pada ritual misalnya pada banten sanggar tawang, sebagai uluning yandya, telur bebek wajib menyertai banten "suci tiba rwa".
lalu kenapa telur itu penting?
dikisahkan pada teks Widi Sastra Bhatara Nawa dunggulan, ketika "jadma" (manusia) sedang sibuk mempersiapkan banten persembahan kepada para Dewata, untuk memastikan banten persembahan sesuai dengan aturan widisastra, maka Bhatara Siwa turun merubah wujud menjadi Bhagawan Dunggulan. singkat cerita diperiksalah semua banten tersebut lalu disimpulkan banten yang dibuat kurang sempurna. untuk menyempurnakan banten tersebut, bhagwan Dunggulan kemudian beryoga, dari yoga yang telah tasak (matang) dari tangan kanan beliau munculah teja maya (cahaya gaib), yang pelan pelan berubah menggumpal lalu menjadi "teja manik". teja manik inilah yang oleh bhagawan disebut "Pinaka Uriping banten" roh dari persembahan.

atas petunjuk bhagawan Dunggulan teja manik ini diwujudkan berupa "manik urip" yang tiada lain adalah telur. diberikan wejangan jika manusia hendak mempersembahkan banten agar memiliki urip (roh) maka wajib menggunakan telor.
TELOR lalu DAGING (lanjutan)
======================
setelah menjelaskan hakekat penyempurna persembahan banten melalaui "manik urip" yang kemudian dirupakan sebagai antiga (telor), pawarah (wejangan) bhagawan Dunggulan pun berlanjut. dari telur ini sarana banten berupa daging bekembang.
pada tutur inilah salah satu rujukan muasal penggunaan daging dari berbagai binatang sebagai bagian penting banten. dari esensi manik urip ini tercipta "antiganing sawung" telur ayam. selain disekalakan menjadi daging sawung (ayam) pada berbagai ulam banten, maka dari telur ayam ini ditumbuhkan makin komplek mejadi segala macam daging berkaki empat.
melalui tutur ini harap jangan salah tafsir bahwa babi berasal dari telur ayam, itu terlalu dangkal. sastra ini bicara tentang esensi urip pada telor ayam yang disejajarkan dengan binatang berkaki empat yang lazim dijadikan ulam banten.
bisa jadi antiganing sawung (telur ayam) mewakili sifat rajasik (liar) dan tamasik (lembam) pada beragam jenis "patikawnang" (segala jenis binatang yang diperbolehkan untuk makanan dan persembahan) yang berciri "catur pada" berkaki empat, babi, kambing misalkan.
pada kisah ini pun dilanjutkan manik urip, bermanifestasi menjadi telur bebek, yang nanti nya berkembang menjadi jenis ulam banten yang berbeda.
jika ditarik mengkerucut naik maka teks ini bisa jadi pelokalan ajaran tantra terutama mamsa (persembahan daging). baik ajaran tantra ataupun teks widi sastra Bhatara Nawa Dunggulan "pasu-bali "(persembahan berupa daging) adalah atas kontrol pengawasan Bhatara Siwa.
===================

 

WARIGA (Wariga gemet lebih banyak ketepatannya)

 


Semut sedulur n kala gotongan
Dalam kepercayaan tentang semut sedulur dan kala gotongan terungkap bahwa hari-hari dimana perhitungan gabungan antara Sapta Wara dan Panca Wara menghasilkan bilangan angka "13" dan terjadi berturut-turut selama 3 hari maka itu dianggap sebagai hari tidak baik (pantangan) untuk melakukan upacara Pitra Yajna (ngaben/Atiwa- tiwa) sebab sesuai artinya akan membawa akibat pada kematian yg berturut-turut di lingkup krama/ braya setempat.
Bagaikan semut yg selalu berjalan beriringan begitu pula masyarakat memahami makna "Semut Sedulur" sebagai isyarat akan adanya iringan mayat bersusulan. Oleh sebab itu ketika perhitungan hari jatuh pada semut sedulur seperti: Sukra-Pon (6+7=13), Saniscara-Wage (9+4=13), dan Redite-Kliwon (5+8=13) maka akan dihindari untuk melaksanakan upacara Pitra Yajna (ngaben/Atiwa-tiwa).
Kala Gotongan jumlah urip gabungannya adalah "14" dan terjadi berturut-turut selama 3 hari seperti: Sukra Kliwon (6+8=14), Saniscara umanis (9+5=14) dan Redite Pahing (5+9=14). Kalau hasil perhitungan jumlah jumlah urip Sapta Wara dan Panca Wara hanya sekali terjadi bilangan "13" atau "14" tentu tidak dapat disebut "Semut Sedulur" atau "Kala Gotongan".
Ingkel wong
Ingkel = lung/pegat
Wong= manusa/manusia. Jadi ingkel wong tidak baik untuk pedewasan yg melibatkan manusia. Mesakapan potong gigi upacara manusa yadnya.

Penuntun wariga dewasa,dan wariga siwamandala, dalam kalender ada yg disebut ingkel = pantangan untuk melakukan suatu pekerjaan/yadnya
1.ingkel wong,wong =manusia.tidak baik melakukan upacara manusa yadnya
Ingkel sato = patangan untuk mulai memelihara ternak,ingkel mina = tidak baik mulai memelihara ikan,tambak,telaga dan sejenisnya.Ingkel manuk = tidak baik untuk mulai memelihara bangsa unggas,: bebek,angsa,ayam,dan burung.Ikel taru = tidak baik menanam pohon"an,mencari kayu untuk bangunan rumah.Ingkel buku = tidak baik menanam/ menebang tanaman yg berbuku misalnya tebu,bambu dan sejenisnya.
Ingkel itu berlangsung selama 7 hari mulai hari minggu - hari sabtu,jadi pantangan berlangsung selama 1minggu sesuai ingkel saat itu.
Pantangan yg tergolong dlm upacara manusa yadnya ada 13 macam :
1.upacara megedong- gedongan
2.upacara bayi baru lahir,
3.upacara kepus puser
4.upacara bayi 12 hari,
5 upaca bayi42 hari,
6.upcara bayi 3 bulan,
7,upacara bayi 6 bulan ( otonan ),
8.upcara tumbuh gigi,
9.upacara tanggal gigi,
10. Upacara mewinten saraswati,
11.upacara enek kelih ( ngrajaswala )
12.Upacara potong gigi,
13.dan upacara pernikahan.