Rabu, 31 Agustus 2022

Nangluk Merana, Pembersihan Pancaroba

 


Selain untuk menetralisasi hal negatif dan terhindar dari mara bahaya, prosesi Nangluk Merana juga diyakini sebagai pembersih pancaroba.

Pancaroba sebagai peralihan antara musim hujan dengan musim kemarau, kerap muncul berbagai macam penyakit yang diakibatkan kondisi alam. Hal itu dipaparkan oleh salah satu anggota Sekaa Teruna Banjar Segara Kuta, I Wayan Pande Budiasa, ketika diwawancarai Bali Express (Jawa Pos Group) di sela-sela upacara Nangluk Merana, Senin (11/12) lalu di Kuta.

Budiasa mengatakan, bahwa upacara Nangluk Merana sebagai media untuk membersihkan Bhuana Agung dan Bhuana Alit, agar tetap terjaga dan selalu menganugerahkan keselamatan. “Ini kan berlangsung sekali dalam setahun, tepatnya pada peralihan musim kemarau dengan musim hujan yang berdampak juga dengan adanya beberapa penyakit yang muncul,” paparnya.


- JUAL ES KRIM / ES PUTER PERNIKAHAN KLIK DISINI


Suasana magis diakuinya kental terasa saat ritual berlangsung, apalagi ada beberapa orang kesurupan. “ Orang yang karauhan atau kesurupan tetap ada, namun jumlahnya tidak bisa dipastikan. Karena sesuai dengan petunjuk Ida Sasuhunan yang memberikan damuhnya (warga) sebuah tanda, di mana beliau datang melalui orang yang kesurupan tersebut,” terang pria 25 tahun ini.

Bahkan ia sendiri menyebutkan, orang yang kesurupan tersebut merupakan orang yang bertugas untuk ngamong sungsungan pura selanjutnya. Tak jarang, lanjutnya,ada orang lain yang ikut karauhan, kemungkinan karena sensitif terimbas vibrasi suasana Nangluk Merana berlangsung.

Terlebih juga di Desa Adat Kuta memiliki palawatan yang berada di masing-masing banjar.

Ditambahkannya, banjar yang memiliki palawatan wajib arahannya untuk mengikuti upacara, sebagai wujud rasa bhakti kepada Tuhan, yang dimanifestasikan berwujud sasuhunan Barong dan Rangda, yang yang menjadi penjaga krama yang menyungsung di desa setempat.

(bx/ade/bay/rin/yes/JPR) –sumber


Sabtu, 27 Agustus 2022

Wastra

 



Wastra adalah kain berwarna - warni yang memiliki makna dan simbol tersendiri. Masang wastra berarti menghiasi setiap pelinggih dengan tedung, umbul-umbul dan kain-kain tertentu menjelang menjelang hari raya maupun pelaksanaan upacara yadnya dan piodalan.
Wastra putih-kuning biasanya dipasang pada palinggih-palinggih, kecuali taksu yang biasanya menggunakan warna merah atau panunggun karang dengan warna poleng.
Pemasangan wastra pada palinggih sesungguhnya merupakan salah satu wujud pemuliaan umat Hindu terhadap Tuhan. Wastra yang dipasang pada palinggih tersebut diibaratkan sebuah pakaian. Dengan demikian, perlakukan palinggih tersebut layaknya perlakukan kepada manusia yang sangat dihormati. Dengan demikian, ketika Tuhan, dewa-dewa, atau leluhur beristana di palinggih tersebut, diharapkan ‘’berpenampilan’’ indah.

Secara filosofi, memang banyak pandangan sebagai bentuk pemaknaan kain putih dan kuning. Namun, jika dilihat dari konsep Dewata Nawasanga, perpaduan warna putih dan kuning merupakan simbol kesejahteraan. Jadi, selama ini kebanyakan orang belum mengtahui jika sebenarnya, warna dasar ini yang melambangkan sebuah kesejahteraan untuk masyarakat Bali.
Di Bali, wastra juga biasanya disebut sebagai busana atau pengangge, khususnya wastra dalam penggunaan pelinggih yang dalam Piagem Besakih perihal Padma Bhuwana disebutkan pengertian dari simbol warna wastra atau pengangge pelinggih tersebut yaitu :
• Hitam artinya tanpa sifat atau manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan Yang Mahakuasa itu.
• Putih kuning artinya Tuhan sudah menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera. Putih lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan.
• Merah melukiskan keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida sebagai Tri Kona.
Sedangkan makna warna kain putih sebagai simbol kesucian disebutkan seperti halnya dalam penggunaan wastra yang digunakan dalam pelinggih Surya sebagai pesaksi dalam setiap upacara yadnya.


Pura Melanting Jambe Pole


Pura Melanting Jambe Pole, satu diantara pura di Bali yang memiliki kisah unik dan menarik untuk dikupas. Kisah mistis juga menjadi bagian pura yang berada di tengah-tengah area, bekas Taman Festival Bali di Padang Galak, Kesiman, Denpasar, Bali.
Walau Taman Festival Bali telah lama mati suri, namun pura ini tetap memiliki denyut nadinya.
Apalagi banyak pamedek dari seluruh Bali, bahkan hingga tanah Jawa datang ke pura ini.
Dahulu sebelum dibangun palinggih, pura ini hanya berisi turus lumbung. Sebagai pertanda bahwa kawasan tersebut memiliki aura niskala yang kuat. Namun saat ini, sudah dalam bentuk bangunan layaknya pura yang ada di Pulau Dewata. Hanya saja, beberapa bagian terlihat mulai rusak dimakan zaman. Kisahnya dahulu dari bapak dari pria bernama Jero Mangku Lilir.

Pria tersebut sering membawa sapi, dan mencari rumput di area sana. Tepat di sebelahnya adalah aliran sungai Ayung, yang langsung bermuara ke pantai Padang Galak. “Turus lumbung itu dibuat, karena ia (ayah Mangku Lilir) melihat pohon pole kembar. Sehingga harus dibuat turus lumbung atau palinggih di sana,” jelasnya.
Setelah itu, Jero Mangku Lilir juga akhirnya sering membawa sapi untuk makan rumput di area sana. Uniknya, ketika ia sedang mandi di sungai Ayung. Entah bagaimana, tiba-tiba saja pohon pole kembar ini hilang. Kagetlah ia karena siang hari bolong, pohon pole kembar ini hilang. Namun anehnya lagi, ketika selesai mandi di sungai Ayung. Pohon pole kembar itu, sudah ada lagi di tempatnya.
“Makanya didirikanlah turus lumbung ini. Sebelum Bali festival ada, nah setelah Bali festival dibangun baru dibuat satu palinggih di ajeng gedong itu,” jelasnya.
Apabila pamedek datang sendiri, bisa membawa peras pejati, canang sari, dan memakai kamen serta selendang. Serta tidak dalam keadaan cuntaka.


 

Rabu, 24 Agustus 2022

Tugu penunggun karang

 



Tugu Karang berasal dari kata ‘tuhu’ yang artinya tahu atau mengetahui dan berpengetahuan. Karang artinya pekarangan atau halaman rumah, bisa juga karang diri atau tubuh. Siapa yang memahami dan mengetahui karang dirinya dengan baik, maka ia adalah yang mencapai keseimbangan sekala dan niskala.
Banyak umat Hindu Bali, akibat pekarangan yang sempit, kesulitan tata ruang, ditambah petunjuk yang keliru, lalu menempatkan penunggun karang pada posisi yang tidak benar. Jika sudah begitu, maka bukan hanya posisi tidak benar saja yang dilihat, namun ada juga yang beberapa hal yang akan sering terjadi jika ada kesalahan penempatan penunggun karang, antara lain:
1. Jika penunggun karang berada di dalam merajan, akibatnya adalah mudah selisih paham. Penghuni rumah sering bertengkar, mudah sakit kepala belakang, inguh, tidak betah di rumah dan pekarangan mudah dimasuki makhluk gaib.
2. Penunggun Karang yang posisinya kaja kangin menyebabkan penghuni mudah selisih paham, sering diganggu manusia sakti, kowos atau boros.

3. Penunggun karang yang posisinya menghadap ke barat menyebabkan penghuni sering sakit kepala belakang, sering mendapat serangan ilmu hitam.
4. Penunggu karang yang tidak memiliki pagar, menyebabkan penghuni kowos atau boros dan sering inguh.
5. Penunggu karang tabrak lebuh, menyebabkan penghuni sering sakit pingganng dan punggung.
Pelinggih tidak perlu mewah, jika posisinya benar, mengetahui siapa yang berstana dan mengerti tata cara berdoa sebagai umat Hindu yang benar, maka pasti akan mendapatkan panugrahan dari beliau.
Selalulah ingat, perbuatan yang baik dan benar akan menghasilkan sesuatu yang baik pula. Rahayu sareng sami!


Nyiam tanah sema

 


Iri! Segala cara akan dilakukan untuk membuat orang lain menderita. Alasannya itu mungkin karena dendam atau persaingan bisnis bahkan ada karena warisan.
Salah satunya adalah (nyiam tanah sema) atau menabur tanah kuburan yang di lempar ke rumah korban atau warung korban.
Tidak heran jika di Bali masih banyak mendengar kejadian seperti ini, dan ada juga yang menabur tanah kuburan dicampur tulang hewan dengan doa-doanya.

Berikut ini adalah ciri-ciri rumah atau warung yang di Tabur tanah kuburan seperti, sakit yang tak wajar, bau Busuk, merasa ada yang mengawasi, makanan akan cepat basi, kadang pelanggan batal mampir sampai pendapatan menurun
Jika anda merasa rumah anda terkena tanah kuburan karena ulah musuh atau orang iri persaingan bisnis ini, maka anda harus waspada dan melakukan tindakan. Salah satu upaya adalah selalu sembahyang, kalau masyarakat Hindu Bali tetap Mesegeh pada Rahina Kajeng Kliwon, purnama, dan tilem. Lukat rumah menggunakan bungkak nyuh gading atau Tirta dari griya atau segara.


Minggu, 21 Agustus 2022

Banten Ayaban Tumpeng 11







Banten Ayaban Tumpeng 11 antara lain:

1. Banten Peras: 2 tumpeng
2. Banten Pengambian: 2 tumpeng
3. Banten Dapetan: 1 tumpeng
4. Banten Guru: 1 tumpeng
5. Banten Penyeneng: 3 tumpeng
6. Banten Pengiring (2 soroh): 1 tumpeng
7. Banten Gebogan.
8. Banten Sesayut.
9. Banten Rayunan.
10. Banten Teterag.
11. Jerimpen

Makna
1. Banten Peras
Kata “Peras” berarti “Sah” atau “Resmi”, dengan demikian penggunaan banten “Peras” bertujuan untuk mengesahkan dan atau meresmikan suatu upacara yang telah diselenggarakan secara lahir bathin.

2. Banten Pengambean
Pengambean berasal dari akar kata “Ngambe” berarti memanggil atau memohon. Banten Pengambeyan mengandung makna simbolis memohon karunia Sang Hyang Widhi dan para leluhur. Sehingga memunculkan makna untuk memohon tuntunan dan bimbingan hidup agar diarahkan dan diberikan penyinaran demi kehidupan yang lebih berkualitas.

3. Banten Dapetan
Banten dapetan disimbolkan sebagai wujud permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi agar dikaruniai atau dikembalikan kekuatan Tri Pramana termasuk kekuatan Tri Bhuwananya.

4. Banten Guru
Banten Guru ini sebagai lambang untuk memohon persaksian dari Tuhan sebagai Siwa Guru.

5. Banten Penyeneng
Penyeneng memiliki makna permohonan kehadapan Sang Hyang Widhi, agar dianugerahi kehidupan baik untuk bhuwana agung dan bhuwana alit dalam keseimbangan/keselarasannya. Banten penyeneng ini berfungsi untuk mendudukan atau menstanakan Ida Sang Hyang Widhi Wtempat yang telah disediakan.
Selain itu Banten Penyeneng sebagai lambang konsep hidup yang berkeseimbangan, dinamis dan produktif

6. Banten Pengiring

Banten pengiring adalah sesajen yang alasnya adalah sebuah taledan/tamas, kemudian secara berturut-turut diisi pisang, buah-buahan, tebi, kue, dua buah tumpeng, sampian tangga dan canang genten.


7. Banten Gebogan
Gebogan merupakan simbol persembahan dan rasa syukur pada Tuhan/Hyang Widhi. Gebogan atau juga disebut Pajegan adalah suatu bentuk persembahan berupa susunan dan rangkaian buah buahan dan bunga.

8. Banten Sesayut
Banten sesayut berasal dari kata “sayut” atau “nyayut” dapat diartikan mempersilakan atau mensthanakan, karena sayut disimbulkan sebagai lingga dari Ista Dewata, sakti dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

9. Banten Rayunan
Rayunan juga sering disebut sebagai Ajuman/Sodan/Ajengan, yang mana dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina suci dan lain-lain.

10. Banten Teterag
Banten Teterag merupakan banten yang digunakan dalam upakara Yadnya dan difungsikan sebagai bentuk penyucian buana agung dan buana alit.

11. Jerimpen
Banten jerimpen adalah merupakan simbol permohonan kehadapan Tuhan beserta manifestasiNya (Asta Aiswarya) jerimpen selalu dibuat dua buah dan ditempatkan di samping kanan dan kiri dari banten lainnya, memakai sampyan windha (jit kokokan), windha berasal dari kata windhu yang artinya suniya, dan suniya diartikan Sang Hyang Widhi. Dua buah jerimpen mengandung maksud dan makna sebagai simbol lahiriah dan bathiniah.

Atasi Pamali dengan Caru Sederhana, Penyebabnya Dipindah Atau Pralina

 


Mengatasi pamali sebenarnya susah-susah gampang. Susah kalau sumber psmali sulit ditemukan, dan gampang jika tahu cara yang tepat untuk mengatasinya.

Pinandita Ketut Pasek Swastika mengatakan, caranya tentu dengan memindahkan atau memperbaiki benda yang menyebabkan pamali. Selanjutnya ada sarana berupa banten berupa caru pamali. “Sebenarnya dengan memindahkan saja sudah selesai masalahnya. Namun, ada konsep para bhakta dan apara bhakta,” ungkapnya.

Para bhakta, menurutnya merupakan manusia yang telah memiliki tingkat spiritual yang tinggi. “Misalnya kita adalah seorang yogi yang bisa langsung berhubungan atau berkomunikasi dengan alam gaib, tentu bisa mengatasi pamali meski tanpa sarana,” ujarnya. Namun, sebagai apara bhakta, manusia dalam tingkatan spiritual yang belum mumpuni punya keterbatasan, sehingga memerlukan sarana. “Ini juga berkaitan dengan nilai rasa. Sehingga kita benar-benar merasa puas dan yakin telah menyelesaikan permasalahan berupa pamali itu,” imbuhnya.

Pinandita berusia 58 tahun tersebut, mengaku punya pengalaman langsung soal pamali. Suatu ketika, rebung bambu milik keluarganya lewat ke tegalan orang lain. Ayah beliau yang merupakan seorang sulinggih kemudian mengeluhkan sakit di pinggang. Pinandita Pasek pun diminta untuk mengecek ke arah selatan dari rumah.




“Ternyata benar ada mbung (rebung) yang lewat pagar tegalan,” ujarnya.
Berdasarkan petunjuk orang tuanya, Pinandita Pasek kemudian membawa nasi kepel tiga beralaskan daun pisang dua lembar yang ditumpuk dengan bagian bawahnya saling bertemu untuk dihaturkan di lokasi sebelum rebung dipotong.

“Itu caru pamali paling sederhana. Mantranya adalah Om, Om, Om, Ih ta kita sang pamali, manusanta angaturken segehan kepelan telung kepel. Ayuwa ta kita ngrabeda, awehing manusanta kadigayusan mangda sukerta, rahayu, rahajeng,” paparnya.

Nasi tersebut kemudian dioles-oleskan pada rebung. Setelah itu, diberikan tabuh arak berem. Setelah dirasa cukup, dilakukan pemotongan rebung beserta sejumlah bambu yang diperkirakan akan lewat pagar lagi. Sebagian rebung dihancurkan dan digunakan untuk obat luar pinggang yang sakit. Sedangkan sisa bambu-bambu yang sudah diambil kemudian dipralina dengan cara dibakar.

“Benar saja. Tidak lama kemudian sakit pinggang beliau hilang. Percaya atau tidak, begitulah adanya,” ujarnya.

Lalu, bagaimana kalau bangunan mengalami kesalahan pengukuran, padahal sudah selesai dibangun? Konsekuensinya, dikatakannya dengan melakukan ubahan pada bagian yang salah atau secara berkala macaru untuk membuat rumah dan penghuninya harmonis. Namun demikian, ia juga mengatakan tingkatan pamali akan berpengaruh pada besar kecilnya caru yang diperlukan.

(bx/adi/rin/yes/JPR) –sumber