Senin, 27 November 2023

Sejarah Pura Agung Besakih

 

Gunung Agung sering juga disebut dengan Giri To Langkir untuk menyatakan keagungannya. Giri artinya gunung, to artinya orang, sedangkan langkir artinya menjulang tinggi. R.Goris seorang ahli sastra membandingkan perkataan to yang berarti orang dengan keluarga bahasa yang terdapat di tempat-tempat lain yang hampir sama ejaannya menunjukkan persamaan asal. Misalnya, orang-orang Bugis, Makasar dan Toraja, mereka menyebutkan orang itu dengan perkataan tou atau tow, orang Sasak di Pulau Lombok mengatakan “TAU”, orang-orang Bima di Pulau Sumbawa mengatakan dou, sedangkan orang-orang Philipina mengatakan tawuw. Perkataan langkir dalam bahasa sanskerta dapat juga diartikan Maha Dewa (Rencana Induk Pembinaan dan Pengembangan Pura Besakih). Di dalam Lontar Sangkul Putih, ada disebutkan : “...Kang umungguh ring tolangkir Bhatara Pasupati Ngaran... “artinya: “... yang bersthana di Gunung Agung adalah Bhatara Pasupati namanya...”
Kata Tolangkir berasal dari kata to (tu) yang berarti terhormat dan langkir artinya melangkahi atau gunung yang dimuliakan atau terhormat tempat linggih (stana) Hyang Pasupati (Dewa) yang paling dimuliakan oleh masyarakat Bali (panitia Pembangunan Pura Pasar Agung Besakih). Gunung Agung itu disebut Giri To Langkir karena besar dan tingginya, sebagai ungkapan lain untuk menerangkan Maha Agung. Letak Pura Besakih di desa yang dianggap suci karena berada di ketinggian, yang disebut Hulundang Basukih yang kemudian menjadi Desa Besakih. Nama Besakih diambil dari Bahasa Sansekerta, wasuki atau dalam bahasa Jawa Kuno basuki yang berarti selamat. Selain itu, nama Pura Besakih didasari pula oleh mithologi Naga Basuki sebagai penyeimbang Gunung Mandara.


Dengan keagungan Gunung Agung inilah didirikan stana beliau Hyang Pasupati yang diberi nama Pura Besakih. Pura Besakih merupakan salah satu Pura Sad Kahyangan di Bali. Pura ini terdiri atas 86 buah kelompok pura, yaitu terbagi ke dalam 18 (delapan belas) buah pura umum, 4 buah Pura Catur Lawa, 11 buah Pura Padharman, 6 buah Pura yang bukan Padharman, 29 Pura Dadia, dan 11 buah tidak termasuk kelompok tersebut. Semua kelompok pura ini tidak dibangun sekaligus, tetapi dibangun secara bertahap. Diperkirakan Pura ini dibangun pertama kali oleh Raja Wira Dalem Kesari Warmadewa (th. 913 Masehi), kemudian dilanjutkan oleh Raja Sri Kesari Warmadewa yang berpermaisurikan Sri Gunapriya Dharmapatni (th. 1007 Masehi). Perkembangan pembangunan yang pesat terjadi zaman Dalem Waturenggong, dimana Danghyang Nirartha dan Empu Kuturan amat berperan (Nala, 1996:1). Tata letak bangunan suci (pelinggih) di dalam dan di luar area Pura Agung Besakih.
Diceritakan dalam Lontar Babad Gunung Agung bertahun Çaka 11, pada tahun tersebut terjadi letusan dan perpindahan empat gunung yang dinyatakan dengan sebutan Candra Sangkala yang berbunyi Rudhira Bumi. Rudhira dan Bumi masing-masing berarti angka 1 (satu) sehingga Rudhira Bumi berarti angka 11 (sebelas) atau 89 Masehi. Pada tahun Çaka 13 yang dinyatakan dengan sebutan Candra Sangkala Gni Bhudara: Gni artinya angka tiga dan Bhudara sama dengan satu, jadi Çaka 13 tahun 92 Masehi, terjadi letusan kembali. Letusan itu menimbulkan gempa bumi yang amat hebat disertai hujan lebat tiada henti-hentinya siang dan malam selama 2 (dua) bulan. Sesudah turunnya Hyang Putran Jaya, Hyang Gni Jaya dan Dewi Danuh ke Bali. Di antara ketiganya itu Hyang Putran Jayalah yang paling dimuliakan dengan sebutan Hyang Maha Desa berkahyangan di Pucak Gunung Agung sebagai Çiwa. Sedangkan Hyang Gni Jaya berkahyangan di Puncak Gunung Lempuyang dan Dewi Danuh berkahyangan di Danau Batur yang dipuja sebagai Wisnu.
Di Pura Besakih terdapat pemujaan bagi para Dewa-Dewa yakni; di Pura Kiduling Kreteg tempat memuja Dewa Brahma, di Pura Gelap tempat memuja Dewa Iswara, di Pura Ulun Kulkul tempat memuja Dewa Mahadewa, dan Pura Batumadeg tempat memuja Dewa Wisnu, Pura Penataran Agung letaknya di tengah-tengah karena dianggap paling terkemuka. Disitulah umat Hindu Dharma mengadakan persembahyangan tiap-tiap setahun sekali yang dinamai Karya Bhatara Turun Kabeh yang jatuh pada hari Purnamaning sasih kadasa. Sedangkan tiap sepuluh tahun sekali diselenggarakan Upacara Panca Wali Krama dan yang paling utama dilangsungkan tiap-tiap 100 (seratus) tahun sekali yang disebut Upacara Eka Dasa Rudra.
Lebih lanjut dalam Babad Gunung Agung diceritakan bahwa Gunung Agung meletus kedua kalinya pada tahun Çaka 70 atau tahun 148 Masehi, haru Jumat Keliwon Wuku Tolu bulan Kelima atau Çasih kalima Wara Sukra Kaliwon Tolu menurut kalender Bali. Sementara itu di kawah gunung agung terdapat jenis benda yang disebut Salodaka (belerang). Salodaka ini dipandang mempunyai kekuatan gaib oleh penduduk di Bali dan dipergunakan sebagai sarana upakara-upakara agama Hindu yang bersifat besar.


Kemudian Gunung Agung meletus untuk ketiga kalinya pada tahun Çaka 111 (seratus sebelas) disebut dengan Candra Sangkala “Wak Çasih Wak” yang masing-masing kata berarti angka 1 (satu), atau tahun 189 Masehi. Pada waktu itulah konon Karya Eka Dasa Rudra yang pertama kalinya diselenggarakan di Pura Besakih. Karya-karya Eka Dasa Rudra berikutnya pernah beberapa kali tidak dilaksanakan. Adapun Eka Dasa Rufdra berikutnya diselenggarkan pada tahun 1963 Masehi, atau tepatnya pada tanggal 18 Maret 1963 Purnama Kedasa, hari Sukra Pon Julungwangi Çaka 1885, dimaksudkan sebagai Karya Eka Dasa Rudra itu tidak diselenggarakan. Pada saati itu (1963) terjadi letusan Gunung Agung yang sangat hebat dan menyebabkan Pulau Bali menjadi gelap gulita.
Sumber yang bersifat mythologi tradisional disebut-sebut tokoh yang bernama Sri Wira Dalem Kesari yang nmembuat Merajan Selonding lebih kurang 250 Masehi berlokasi disebelah barat Pura Penataran Agung, yang sekarang tersimpan gambelan Selonding. Beliau dikatakan pernah melakukan perbaikan Pura Besakih. Kata Dalem adalah gelar seorang raja di Bali, dengan demikian yang dimaksud dengan Dalem Kesari kemungkinan sekali adalah Raja Kesari Warmadewa yang memerintah sekitar tahun 917 Masehi. Ini dintunjukkan dari prasasti-prasasti Pura Puseh Penempahan dan Belanjong (sanur). Dari prasasti-prasasti tersebut hanya yang ada di Belanjong, yang memakai angka tahun berbentuk Candra Sangkala Cara Wahni Murti. Cara artinya bintang dan angkanya 5, Wahni artinya api angkanya 3, murti artinya badan dari Dewa Çiwa angkanya 8. Oleh karena itu cara membaca Candra Sangkala dimulai dari belakang, maka akan terdapat angka 835 Çaka, dan kalau dijadikan tahun masehi harus ditambah dengan 78 dan menjadi tahun 913 masehi.
Zaman pemerintahan Sri Udayana, Pura Besakih juga mendapat perhatian besar, hal ini dapat dijumpai di dalam 2 prasasti yaitu prasasti Bradah yang sekarang salinannya ada disimpan di Merajan Selonding dan Prasasti Gedung Sakti di Selat (Karangasem) yang memuat angka tahun Candra Sangkala “Nawa Sangapit Lawang dan Candra Sangkala Lawang Apit Lawang”. Kedua Candra Sangkaal ini sama artinya yaitu: nawa artinya 9, apit artinya 2 dan lawang artinya 9 (simbol 9 lobang tubuh manusia). Candra Sangkala ini menjadi angka tahun 929 Çaka dan menjadi tahun 1007 masehi. Oleh karena tahun 1007 adalah zaman Pemerintahan Udayana Warmadewa maka rupa-rupanya raja mempunyai cukup perhatian terhadap Pura Besakih.
Pada waktu pemerintahan raja-raja keturunan Sri Kresna Kepakisan, Pura Besakih mendapat pengaturan yang lebih khusus, hal ini dapat diketahui dalam raja Purana Besakih (berbentuk lontar), yang menyebutkan jenis pengaci/upacara, nama palinggih, tanah palaba (wakaf), susunan para pangemong, tingkatan-tingkatan upacara semuanya diatur dengan baik. di samping itu adanya 2 buah prasasti yang berangka tahun 1444 M dan 1454 M yang isinya mengenai pengukuhan terhadap otonomi “Desa Hila-hila Hulundang Ing Besuki” yang mana orang luar termasuk pula petugas-petugas Raja tidak boleh memungut pajak di wilayah Pura Besakih dan rakyat Besakih beretugas memelihara Pura Besakih dan palinggih Sasuhunan Kidul (Kasuhunan Kidul). Keadaan yang demikian berlangsung terus sampai jatuhnya Kerajaan Klungkung oleh Belanda tahun 1908.
Pada zaman penjajahan Belanda, pemerintah Belandapun manaruh perhatian terhadap Pura Besakih, terbukti pada tahun 1918-1923 terjadi bencana alam sehingga banyak bangunan-bangunan yang rusak; pemerintah mengadakan restorasi secara besar-besaran. Selanjutnya sesudah Indonesia merdeka, maka pemerintah daerah Bali yang menangani perbaikan-perbaikan dan upacara-upacara di Pura Besakih. Pada tahun 1967 pengawasan dan pemeliharaan terhadap Pura Besakih oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali diserahkan kepada PHDI yang kemudian dimandatkan lagi kepada Yayasan Prawartakan Pura Besakih. Oleh Prawartaka Pura Besakih dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh bencana alam (Rencana Induk Pembinaan dan Pengembangan Pura Besakih).


Besarnya perhatian pemerintah Provinsi Bali beserta Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Se-Bali, maka sampai sekarang perbaikan-perbaikan itu tetap dilanjutkan. Di samping perhatian dari lembaga Adat dan lembaga agama melalui paruman-paruman Sulinggih dan Walaka, seminar-seminar keagamaan dan paruman-paruman lainnya, maka tuntunan upacara-upacara yang harus dilaksanakan di Pura Besakih terungkap melalui sasrta dresta-nya, sehingga dilaksanakanlah upacara-upacara besar yang secara periodik dilakukan, antara lain:
1. Upacara Eka Dasa Rudra pada tahun 1979 (Çaka 1900)
2. Upacara Pancawalikrama pada tahun 1989 (Çaka 1910)
3. Upacara Candi Narmada, di Batu Klotok, Pancawalikrama ring Danu (Batur) dan Upacara Tri Bhuana pada tahun 1993,
4. Upacara Eka bhuana pada tahun 1996 di bencingah Pura Besakih sebagai rangkaian dari Uipacara Eka Dasa Rudra.
🙏🙏🙏
Sumber : DR. Dra. Relin D.E. M.Ag. 2012.TEOLOGI HINDU PURA AGUNG BESAKIH DI DESA BESAKIH, KECAMATAN RENDANG KABUPATEN KARANGASEM. INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar