Minggu, 29 Oktober 2023
BAYUH OTON "NADI"
NYAMA BAJANG
1. Anggapati = Dengen.... Bajang Papah,
Rabu, 25 Oktober 2023
Leak keturunan
Pakaian Adat Ungkap Simbolik Dharma
Seiring berjalannya waktu, mode, dan tren globalisasi banyak memberikan perubahan, dan berimbas juga kepada cara berpakaian adat di Bali, terutama anak muda yang mudah terbawa arus peradaban.
Memang, cara berpakaian adalah kebebasan berkreasi dari masing-masing individu, tapi perlu diketahui, apa makna dari pakaian adat Bali itu sendiri.
Pakian adat Bali, selain digunakan sehari hari untuk kepentingan adat, juga digunakan dalam prosesi persembahyangan. “Karenanya, tentu saja ketika melakukan kegiatan adat (sosial) maupun persembahyangan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menunjang kesopanan serta filosofi dari pakian adat Bali tersebut,” ujar Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran.
Lebih lanjut dijelaskannya, dasar konsep dari busana adat Bali adalah konsep Tri Angga yang terdiri dari, Dewa Angga merupakan busana yang dikenakan mulai dari leher hingga kepala, yaitu udeng atau ikat kepala. Manusa Angga, merupakan busana yang dugunakan mulai dari atas pusar sampai leher, yakni baju, kebaya, dan saput. Kemudian Butha Angga yang merupakan busana yang digunakan mulai dari pusar sampai bawah, yakni kain (kamen).
Adapun yang dimaksud dengan komposisi dan jenis pakaian adat Bali adalah busana agung (payas agung) yang identik digunakan saat upacara pernikahan, busana jangkep atau lengkap (Madia), yaitu pakian adat ke pura, dan busana adat alit atau sederhana, yang sering kita jumpai ketika seseorang ngayah di pura atau banjar.
Pakaian adat Bali haruslah sopan, beretika, dan mencerminkan kedamaian. Adapun penjelasan dari konsep Tri Angga tersebut, dalam menggunakan busana adat Bali, khususnya pria diawali dengan menggunakan kain atau kamen, dengan lipatan untuk putra kamen atau wastra melingkar dari kiri kekanan (melawan arah jarum jam) karena merupakan pemegang Dharma. “Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab Dharma harus melangkah dengan panjang, tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah Dharma,’ imbuhnya.
Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang ke bawah sebagai simbol penghormatan terhadap ibu pertiwi. Kancut juga merupakan simbol kejantanan.
Untuk persembahyangan maupun kegiatan sosial yang bersifat formal, orang Bali tidak diperkenankan untuk menunjukkan kejantanan yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh ditunjukkan. Untuk menutupi kejantanan itu, maka ditutupi dengan saputan (kampuh). Seperti halnya dengan pemakaian kamen, saputan melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya).
Pada zaman dahulu, pemakaian saput dikenakan di dada pada lingkar ketiak. Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen atau selutut, selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagai penghadang musuh dari luar, karena di zaman dahulu, dalam saput, dipinggang orang Bali (warna ksatria) diselipkan sebilah keris yang merupakan senjata di zamannya. “Tetapi dalam perkembangannya saput dikenakan di pingang, yang tujuan utamanya hanya untuk menutupi kejantanan (simbolisasi dari nafsu) saja,” jelasnya.
Setelah pemakaian kamen dan saputan, dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal yang buruk. Ikatan umpal berada di sisi kanan, yang artinya dharma memegang kendali. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua, yaitu Bhuta Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai simbol pengendalian emosi dan manyama.
Pada saat putra memakai baju, umpal harus terlihat sedikit agar seseorang pada saat kondisi apapun siap memegang teguh Dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju adalah pengganti saput sedada (di zaman dahulu), merupakan penutup dada dan perut, yakni sekaligus simbolisasi menutup ego dan kesombongan pada diri manusia.
Baju pada saat busana adat terus berubah-ubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura harus menunjukan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Di bagian kepala yang kerap diistilahkan prabu, adalah tempat bersemayamnya Dewa. “Akal, pikiran, serta awal dari semua perbuatan yang diberkati oleh Hyang Widhi,” jelas Sudarsana
Awalnya agar adanya keseragaman, PHDI Bali (Parisadha Hindu Darma Indonesia) menetapkan udeng untuk ke pura haruslah berwarna putih agar menciptakan kesan kejernihan pikiran dan kedamaian pikiran. Untuk berkabung berwarna hitam, dan untuk kegiatan sosial lainnya berwarna batik atau selain hitam atau putih. Di samping itu, udeng simbol ‘ngiket manah’ (memusatkan pikiran) yang merupakan sumber penggerak panca indria. Karena itu, lanjutnya, udeng harusnya diikat dengan kedua ujung simpul atau muncuk udeng harus lurus ke arah atas. Mengapa? Karena itu simbol sang pemakai memantapkan sang pemakai berpikir lurus, memuja Yang Mahasempurna. Kedua ujung udeng merupakan simbolisasi menjunjung konsep ‘Rwabhineda’ yang merupakan akar dari keyakinan pada karma phala. Namun, simbol penting itu sekarang mulai bergeser dengan berbagai variasi (mereng ke kiri atau ke kanan).
Udeng (destar) secara umum dibagi tiga, yakni udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan) menggunakan simpul hidup di depan, di sela-sela mata, sebagai lambang cundamani atau mata ketiga. Juga sebagai lambang pemusatan pikiran, dengan ujung menghadap ke atas sebagai simbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan, yakni sebelah kanan lebih tinggi, dan sebelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan dharma.
Bebidakan yang kiri simbol Dewa Brahma, yang kanan simbol Dewa Siwa dan simpul hidup melambangkan Dewa Wisnu. Sementara udeng jejataran bagian atas kepala atau rambut masih tidak tertutupi yang berarti masih brahmacara dan masih meminta. Oleh beberapa sumber menyebutkan bahwa bidak udeng jejateran merupakan simbolisasi catur purusa artha, dimana bidak kanan – lebih tinggi yang artinya dalam hibup, materi (artha) merupakan tujuan yang diutamakan untuk mejalankan kehidupan ini. Bidak kiri – lebih rendah, merupakan simbol keinginan (kama) yang hanya bisa dicapai apabila artha sudah dicapai. “Lis lipatan udeng dengan simpul udeng (ngiket) di depan merupakan simbol Dharma, di mana setiap kegiatan dalam pencapaian artha dan kama harus berdasarkan dharma agama, “ terangnya.
Dengan tiga simbolisasi tersebut, lanjutnya, maka diharapkan pencapaian tujuan awal dari agama hindu yaitu Jagadhita yang artinya kebahagiaan duniawi. “Dengan tercapainya jagadhita diharapkan pencapaian tujuan akhir agama yaitu moksa,” bebernya. Udeng dara kepak (dipakai oleh warna ksatria), masih ada bebidakan, tetapi ada tambahan penutup kepala yang berarti simbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan. Udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku) tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di belakang dengan diikat kebawah sebagai simbol lebih mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.
Busana adat Bali untuk wanita hampir sama seperti halnya untuk putra. Pertama diawali dengan memakai kamen, tetapi lipatan kamen melingkar dari kanan ke kiri (searah jarum jam) sesuai dengan konsep sakti. “Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran Dharma,” ujar pria yang juga narasumber Dharmawacana ini.
Lebih lanjut dijelaskannya, tinggi kamen putri kira-kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti, sehingga langkahnya lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, untuk mengendalikan emosi.
Pada putri menggunakan selendang atau senteng diikat menggunakan simpul hidup di kiri yang berarti sebagai sakti dan mabraya. Putri memakai selendang di luar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra kalau melenceng dari ajaran Dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kebaya) dengan lengan panjang hingga pergelangan tangan.
Untuk acara Dewa Yadnya, kaum putri menggunakan ikat kepala berbahan kain berwarna putih, serta menggunakan papusungan. Papusungan ada tiga jenis, yakni, Pusung gonjer yaitu di buat dengan cara rambut dilipat sebagaian dan sebagian lagi digerai. Pusung gonjer digunakan untuk putri yang masih lajang atau belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipilih pasangannya. Pusung gonjer juga sebagai simbol keindahan sebagai mahkota serta sebagai stana Tri Murti. Pusung tagel adalah untuk putri yang sudah menikah. Pusung podgala atau pusung kekupu, yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambang Tri Murti
Filosofi pakaian adat Bali pada dasarnya bersumber pada ajaran Sang Hyang Widhi, yakni Tuhan yang diyakini memberikan keteduhan, kedamaian, dan kegembiraan bagi umat Hindu yang mempercayainya. “Pakaian adat Bali pada dasarnya adalah sama, yakni kepatuhan terhadap Sang Hyang Widhi, ” tutup Ida Pedanda Gde Manara Putra Kekeran.
(bx/gus /rin/yes/JPR) –sumber
Ketika Ilmu Leak Jadi Salah Kaprah
Ketika Ilmu Leak Jadi Salah Kaprah
LONTAR : Pembaca dan Penulis Lontar, Putu Suarsana, menunjukkan jejeran lontar, koleksi Gedong Kirtya, Singaraja. (Dian Suryantini/Bali Express, Amurwa Bhumi.)
SINGARAJA, BALI EXPRESS-Fenomena ilmu hitam atau black magic di Bali sangat kental. Bahkan, di zaman modern ini, ilmu hitam masih dipercaya, seperti halnya Ilmu Leak di Bali.
Sejak lama berbagai fenomena bermunculan akibat kesalahpahaman masyarakat tentang ajaran Ilmu Leak. Tak terkecuali masyarakat Bali, yang juga sering 'salah kaprah' terhadap budaya, tradisi, seni, dan ritualnya sendiri.
Hal tersebut terjadi karena budaya yang diturunkan masih sebagian besar bersifat lisan, sehingga belum ada usaha mencari akar dari pelaksanaan budaya, tradisi, seni dan ritualnya.
Sama halnya seperti Ilmu Pangleakan ini. Banyak orang bermunculan memiliki cara pandang tersendiri. Sebagian besar orang memandang Leak tersebut adalah sosok manusia jadi-jadian. Atau ada pula yang menafsirkan, Leak tersebut adalah manusia yang berubah wujud menjadi makhluk yang menyeramkan.
Banyaknya spekulasi yang bermunculan membuat Leak tersebut secara tidak langsung telah terdoktrin dalam pikiran, bahwa Leak tersebut menyeramkan serta berbahaya. Namun, dalam lontar Aji Pangleakan, Pangiwa hingga Surya Panengen, tidak dijelaskan definisi Leak. Begitu pula dengan perubahan wujud yang sering menjadi perbincangan di masyarakat.
“Dalam lontar tidak disebutkan apa itu Leak. Tidak ada definisi tentang itu. Sebenarnya bukan Leak, tapi Liak. Linggih Aksara. Li adalah Linggih, Ak maksudnya Aksara. Jadi, yang disebut oleh orang-orang itu adalah Tutur Tinular. Tutur yang dituturkan lagi,” jelas Putu Suarsana, Pembaca dan Penulis Lontar Gedong Kirtya, Singaraja, Jumat (2/10) lalu.
Suarsana menambahkan, Ilmu Liak dikenal masyarakat sebagai ilmu hitam. Hal tersebut menyebar hingga masyarakat luar Pulau Bali. Liak didefinisikan sebagai sosok menyeramkan yang memiliki lidah panjang dan dapat terbang untuk mencari tumbal.
Pemikiran tersebut tentu datang ketika melihat sebuah sumber yang berbasis hiburan, sehingga masyarakat percaya, itu adalah hal yang sebenarnya. “Padahal Ilmu Liak adalah salah satu ilmu warisan nenek moyang Bali yang telah ada sebelum agama
masuk ke Indonesia. Berbagai isu tentang Ilmu Liak menjadi terkesan menyeramkan, mulai dari perubahan fisik yang akan terjadi bila mempelajari Ilmu Liak,” jelasnya.
Ilmu Liak sering dikaitkan dengan cerita Calonarang dengan lakon bernama Nyi Calon Arang. Cerita tersebut dianggap menjadi sejarah kemunculan Ilmu Liak di Bali. Nyi Calon Arang membawa lontar saktinya dari Girah ke Bali pada zaman Kerajaan Kediri, masa pemerintahan Raja Airlangga.
Padahal, yang dilakukan Nyi Calon Arang dengan menyebarkan wabah penyakit saat itu, merupakan salah satu pengaplikasian Ilmu Liak yang buruk. “Sekarang tergantung pelakunya saja. Mau dibawa kemana ilmu yang dipelajari ini. Kalau dibawa ke hal yang buruk, maka dampaknya akan buruk, begitu juga sebaliknya,” ungkapnya.
Ilmu Liak merupakan bagian dari Ilmu Tantra. Dan, biasanya praktik Ilmu Tantra bersifat rahasia. Hal tersebut menimbulkan banyak persepsi masyarakat yang menduga-duga, sehingga berita yang terdengar menjadi simpang siur.
“Ketika seseorang bercerita, tentu yang diceritakan adalah hal yang seru. Salah satu gosip yang beredar adalah mengenai tingkatan Ilmu Liak dengan perubahan fisik, seperti Rangda, Celuluk atau lainnya yang menyeramkan,” kata dia.
Suarsana menegaskan, sesungguhnya tidak ada tingkatan Ilmu Liak hingga perubahan fisik saat mempelajari Ilmu Liak. Dalam lontar itu tidak dijelaskan. “Yang jelas Ilmu Liak ini seperti Pangiwa, Panengen, dan yang lainnya, dan itu tidak dijelaskan tingkatannya seperti apa. Begitu juga perubahan fisik.
Lontar Liak ini dibuat bukan untuk menyakiti seseorang atau berbuat buruk untuk orang lain. Melainkan Ilmu Liak ini dibuat untuk kepuasan diri sendiri dan mencapai kebahagiaan yang sempurna. Selain itu, juga untuk kadirgayusan, dan agar mendapat tempat yang baik saat menuju alam baka,” tutur Suarsana.
(bx/dhi/rin/JPR)
Rangkaian upacara adat Bali untuk keselamatan sang buah hati
Upacara Magedong-gedongan (Garbha Wedana)
Pura Pucak Bukit Sari, Sangeh; Misteri Hutan Pala dan Kera yang Unik
Hutan pohon Pala di Desa Sangeh, Abiansemal, Badung, tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan Pura Pucak Bukit Sari yang berada di tengah hutan Pala tersebut. Keberadaan pohon Pala ini memang unik, lantaran di sekitar daerah tersebut tidak ada pohon sejenis. Hutan pohon Pala ini juga disebut Bukit Sari, padahal daerah di mana pohon itu tumbuh berupa dataran , bukan kawasan perbukitan.
Dalam bahasa Sansekerta kata ‘Pala’ artinya melindungi, sedangkan kata ‘Phala’ artinya buah. Untuk menyebutkan nama pohon di Pura Pucak Bukit Sari Sangeh ini, apa Pala atau Phala, tidak jelas tahu asal-usulnya. Kalau digunakan kata Pala, memang pohon besar dan tinggi-tinggi tersebut sebagai pohon pelindung.
Bagaimana dengan nama Sangeh? Berdasarkan mitologi masyarakat setempat, nama Sangeh diambil dari kata ‘Sang’ yang berarti ‘orang’ dan ‘Ngeh’ artinya ‘melihat’. Jadi, Sangeh berarti ada orang yang melihat. Lantas, apa yang dilihat? Konon, pohon Pala yang berasal dari Gunung Agung, Karangasem, pernah melakukan perjalanan menuju Taman Ayun, Mengwi, Badung. Pohon-pohon Pala yang berjalan beriringan di malam hari karena kekuatan gaib itu, akan digunakan menghiasi Taman Ayun, milik Kerajaan Mengwi. Namun, dalam perjalanannya, ternyata ada orang yang melihatnya, sehingga pohon itu berhenti. Dan, tempat berhentinya pohon-pohon Pala ini kemudian diberi nama Sangeh, yang artinya ‘ada orang melihat’. Karena itu pula pohon Pala di kawasan itu tumbuh subur, tak ada yang berani merusaknya. Ratusan kera yang kemudian menghuni tempat ini pun dianggap bukan kera biasa. Sementara di tengah hutan berdiri bangunan Pura Pucak Bukit Sari.
Menurut sejarah, pura ini dibangun Anak Agung Anglurah Made Karangasem Sakti, anak angkat Raja Mengwi, Tjokorda Sakti Blambangan. Konon, Anak Agung Anglurah Made Karangasem Sakti, sejak kecil melakukan ‘tapa rare’ yaitu bertapa seperti tingkah laku anak-anak. Setelah kesaktiannya makin kokoh, beliau juga mendapat bisikan gaib, agar membuat palinggih (tempat sembahyang) di hutan Pala Sangeh. Sejak itulah, Pura Pucak Bukit Sari ini ada di tengah-tengah hutan Pala, sebagai tanda sujudnya keturunan Raja Mengwi terhadap Ida Bhatara di Gunung Agung.
Dalam versi lain, adanya Pura Pucak Bukit Sari di hutan pohon Pala ini dibeber pula dalam Lontar Babad Mengwi. Diceritakan bahwa putri Ida Batara di Gunung Agung berkeinginan untuk disungsung di Kerajaan Mengwi. Atas kehendak beliau maka hutan pala yang ada di Gunung Agung tempat putri Ida Batara Gunung Agung bermukim pindah secara misterius pada waktu malam. Perjalanan belum sampai di Kerajaan Mengwi, keadaan sudah siang dan telanjur ada yang mengetahui perjalanan tersebut. Hal ini konon yang menyebabkan hutan Pala tersebut tidak bisa berjalan lagi menuju Mengwi dan berhenti di Desa Sangeh sekarang. Konon putra angkat Raja Mengwi yang pertama I Gusti Agung Putu yang bergelar Cokorda Sakti Blambangan menemukan bekas bangunan palinggih. Putra angkat Raja Mengwi tersebut bernama Anak Agung Ketut Karangasem. Atas penemuan tersebut Cokorda Sakti Blambangan memerintahkan untuk membangun kembali pura tersebut dan diberi nama Pura Pucak Bukit Sari. Yang dipuja di pura tersebut adalah Ida Batara Gunung Agung dan Batara Melanting. Di Pura Pucak Bukit Sari ini terdapat tidak kurang dari 36 bangunan suci. Ada palinggih utama dan ada pelengkap. Ada Palinggih Padmasari panyawangan Ulun Danu Beratan. Ada dua Padmasari sebagai Palinggih Ratu Puncak Kangin dan Ratu Puncak Kauh. Kemungkinan palinggih ini untuk penyawangan ke Gunung Agung dan ke Pura Batur atau Ratu Batara Melanting. Ada Palinggih utama berupa Meru Tumpang Sembilan dan ada Palinggih Padmasana sebagai pemujaan Batara Sada Siwa. Selain itu, ada empat Padmasari lagi, masing-masing sebagai pemujaan Pucak Batur, sebagai Palinggih Ratu Entap, Ratu Manik Galih dan Batara Wisnu. Ada juga Palinggih Bale Paselang. Pelinggih ini umumnya digunakan untuk upacara Pedanaan yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan. Di palinggih ini dilukiskan secara ritual sakral hubungan bakti manusia kepada Tuhan dan anugerah Tuhan yang di Bali disebut sweca. Di Palinggih Paselang inilah dilukiskan bahwa hanya manusia yang sungguh-sungguh bakti pada Tuhan akan mendapatkan sweca atau anugerah dari Tuhan berupa raksanam atau rasa aman dan damai serta dhanam alias hidup sejahtera. Ini artinya, palinggih yang disebut Bale Paselang ini memotivasi umat Hindu agar jangan hanya memohon wara nugraha Hyang Widhi tanpa melakukan bakti dan pelayanan pada sesama dan menyayangi isi alam ini.
Obyek wisata Sangeh yang terletak sekitar 30 km arah Utara Kota Denpasar, salah satu tempat wisata alam yang unik di Bali. Di kawasan hutan pohon Pala seluas 14 hektare itu, dihuni ratusan kera yang jinak. Taman hutan homogen pohon Pala (Dipterocarpustrinervis) yang dihuni ratusan kera, merupakan hutan kera pertama kali dikembangkan sebagai hutan wisata di Bali.
Pohon Pala tertua diperkirakan berumur 350 tahun, masih kokoh berdiri, tidak jauh dari pura. Pohon-pohon pala yang tinggi tersebut meneduhi Pura Pucak Bukit Sari yang ada di tengah-tengah hutan. “Pura yang dibangun abad ke-17 ini adalah tempat suci yang diwariskan kepada Desa Sangeh oleh Kerajaan Mengwi,” ujar Ida Bagus Nyoman Purna, Pamangku Pura Pucak Bukit Sari, ketika ditemui beberapa bulan lalu, sebelum bencana menerjang .
Selain pohon Pala, masih ada tanaman yang terkenal di hutan Sangeh. Masyarakat setempat biasa menyebutnya Pohon Lanang Wadon, karena bagian bawah pohon itu berlobang sehingga menyerupai alat kelamin perempuan, sedangkan di tengah lobang tersebut tumbuh batang yang mengarah ke bawah yang terlihat seperti alat kelamin pria. Pohon Pule itu tumbuh persis di pelataran depan tempat wisata Sangeh.
Bila berkunjung ke kawasan ini, ratusan ekor kera (Macaca facisulais, jenis kera abu-abu), tampak hilir mudik di dalam pura. Kera-kera yang telah jinak ini tak segan mendekati turis yang membawa makanan, seperti kacang dan pisang. Soal makan, kera-kera ini memiliki jadwal makan yang cukup teratur, yaitu pagi hari mereka akan diberi pisang, siangnya diberi makan ketela atau ubi, sedangkan sorenya diberikan beras sebagai santapan terakhir.
Tidak seperti bayangan orang sebelumnya, kera-kera di Sangeh sama sekali tidak nampak galak, apalagi menyerang pengunjung. Pun tidak ada yang mengandung virus rabies seperti yang pernah dituduhkan, karena semua kera di Sangeh telah divaksin dan mendapat pengawasan secara khusus dari ahlinya, terutama dari Balai Penelitian Primata yang dibangun dekat lokasi.
“Balai ini berfungsi sebagai karantina kera yang sakit maupun untuk keperluan penelitian. Selain itu, seorang pawang kera berpengalaman ditugaskan mengawasi kera-kera ini,” terangnya.
Wisatawan yang berkunjung pun tak perlu cemas karena sudah ada pemandu wisata berpakaian adat Bali yang siap mengantarkan keliling dan memanggil-manggil kera agar menampakkan dirinya.
(bx/adi/rin/yes/JPR) –sumber