NYEPI: Surya Pramana tentukan sasih Kasanga dan jatuhnya tilem melalui perhitungan Candra Pramana untuk memastikan jatuhnya Hari Raya Nyepi. (ISTIMEWA)
Meramal nasib hingga prediksi fenomena alam berdasar posisi bintang, sudah menjadi ilmu tersendiri dalam Agama Hindu. Bahkan, sudah ada dan diterapkan ribuan tahun silam.
Astrologi dan Astronomi, dua ilmu yang tidak bisa dipisahkan walau memiliki perbedaan. Astronomi melihat posisi bintang dan dengan perhitungan khusus bisa mengetahui prediksi fenomena alam, sedangkan Astrologi adalah mengamati posisi bintang untuk mengetahui pengaruhnya pada kehidupan manusia.
Dikatakan Kepala Program Studi S-2 Ilmu Komunikasi di IHDN, DR I Gede Sutarya,
Astrologi dan Astronomi dalam Hindu masuk dalam Jyotisha yang sudah ada sejak ribuan tahun silam.
CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
"Jyotisha adalah Ilmu Astrologi sekaligus Ilmu Astronomi Hindu Kuno. Berasal dari bahasa Sansekerta, yakni Jyoti yang berarti cahaya, dan Ish bermakna Tuhan. Sehingga Jyotisha bermakna Tuhan pengendali cahaya, " terang Sutarya, ahli wariga yang juga penyusun kalender Bali ini.
Dijelaskan Sutarya, Jyotisha masuk dalam percabangan Wedangga yang merupakan bagian tubuh dari kitab suci Weda.
Pengunaan Jyotisha bisa dilihat juga dalam film bertemakan Hindu, seperti Mahabahrata saat Rsi Jaimini memprediksi hasil perang Mahabharata dengan Marahaja Drestarata dan Maharani Gandari.
Ilmu Astronomi dan Astrologi Hindu kuno ini sampai sekarang tetap digunakan. "Hal ini dapat dilihat masih kentalnya budaya India untuk melihat ramalan jodoh anak-anak mereka yang akan dinikahkan. Bahkan di Bali masih sering dipakai, terutama dalam menentukan hari raya, masa tanam, ramalan kelahiran dan lainnya oleh umat Hindu,” ujar Sutarya kepada Bali Express (Jawa Pos Group) pekan kemarin.
Dikatakannya, penentuan posisi bintang dilakukan oleh para Maharsi terdahulu dengan melakukan pengamatan, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan. Perhitungan Astronomi ini akan menghasilkan waktu kapan sesuatu terjadi, seperti hari raya apa saja yang akan jatuh dari tilem (bulan mati) sampai tilem berikutnya, dan kapan terjadinya gerhana matahari ataupun gerhana bulan.
Perhitungan di Jyotisha menggunakan bumi sebagai patokan, dimana planet lain mengitarinya. Hal ini semata-mata digunakan untuk penyederhanaan perhitungan Astronomi yang dilakukan, sebab dalam Weda menganut Heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya), bukan geosentris (bumi sebagai pusat tata surya), seperti termuat dalam kitab Sama Weda 121. “Matahari tidak pernah terbenam ataupun terbit, sebab bumi yang berotasi,” ujar dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar ini.
CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI
Ditambahkannya, pengamatan dari posisi planet, matahari, bulan dan bintang menimbulkan pemaknaan, yang akhirnya menjadi Ilmu Astrologi. Melihat posisi planet dan bintang, para Maharsi pada zaman dahulu bisa memprediksi hadirnya kehancuran, bencana, hadirnya raja baru, dan lain sebagainya. “Di India banyak sudah riset tentang Jyotisha ini, bahkan para sarjana barat juga banyak melakukan penelitian. Sehingga kini semakin mudah mencari referensi tentang ilmu ini, sebab sudah banyak diartikan dalam Bahasa Inggris,” ujar Sutarya.
Penerapannya di Indonesia belum begitu banyak, lanjutnya, namun di Bali sudah ada pada Ilmu Wariga yang dikenal secara umum.
Ilmu Jyotisha termasuk kategori ilmu yang bersifat ilmiah, jika dilihat pada bagian Astronominya. Sebab, dengan perhitungan Astronomi, fenomena alam bisa dihitung kapan terjadinya. Sedangkan pada Astrologi tidak bisa dipastikan 100 persen kebenarannya, mengingat mengartikan posisi bintang terhadap ramalan hidup manusia perlu pembuktian jelas. “Kalau mengenai pemaknaan posisi bintang (Astrologi), saya tidak berani mengatakan ilmu Astrologi pada Jyotisha 100 persen tepat juga,” ujar Sutarya.
“Anggap saja ketika purnama misalnya kekuatan seorang sedang dalam puncaknya, kemudian ada arti hari kelahiran dan sebagainya perlu pembuktian yang tidak mudah,” tegasnya.
Film asal India bertemakan Hindu sering memperlihatkan para Maharsi meramal masa depan, lalu kenapa selalu bisa tepat?
Menurut Sutarya, hal itu terjadi karena Maharsi pada masa lampu mempelajari kitab Astrologi secara khusus. Mereka melihat konstelasi bintang dan mengartikan makna dari hasil pengamatan tersebut. Maharsi tentu dahulu mempelajari dengan baik, sedangkan kini masih riset di India.
Perkembangan Ilmu Jyotisha dari India sampai ke Jawa, kemudian akhirnya sampai di Bali sekitar abad ke-10 Masehi dengan berbagai penyesuaian. Sutarya menjelaskan diperkirakan di masa pemerintahan Mpu Sindok itu terjadi. Kala sang putri, yakni Mahendradatta menikah dengan Raja Udayana, dimana pernikahan turut juga membawa ajaran perhitungan pawukon dan wewaran. “ Pengetahuan itu masuk dari Bali Utara oleh Sang Ratu Luhur Sri Gunapriya Dharmapatni (gelar Ratu Mahendradatta). Jadi, wewaran pawukon di Bali itu dari Jawa sebenarnya,” terang Sutarya.
Perkembangannya selanjutnya di Bali, Ilmu Astronomi dan Astrologi kemudian dikenal menjadi Ilmu Wariga. Patokan yang digunakan di Bali adalah perhitungan Surya Chandra Pramana atau yang akrab di telinga sebagai solar dan lunar system yang sampai sekatang tetap dipakai di kalender khas Bali. Penggunaan itu salah satunya pada saat menentukan jatuhnya Hari Raya Nyepi, yakni menentukan sasih kasanga melalui perhitungan Surya Pramana (jatuh setiap sasih yang sama) dan menentukan jatuhnya tilem melalui perhitungan Candra Pramana.
Ditambahkannya,perkembangan Wariga di Bali juga menyebabkan ada banyak percabangan Ilmu Wariga yang mirip dengan Jyotisha. “Bisa dilihat, ada Wariga untuk pertanian, jodoh, kelahiran, pedewasan, dan lainnya. Mirip dengan Astronomi dan Astrologi pada Jyotisha,” pungkasnya.