Senin, 18 Januari 2021

Jyotisha Ilmu Astronomi dan Astrologi Hindu Kuno






NYEPI: Surya Pramana tentukan sasih Kasanga dan jatuhnya tilem melalui perhitungan Candra Pramana untuk memastikan jatuhnya Hari Raya Nyepi. (ISTIMEWA)





Meramal nasib hingga prediksi fenomena alam berdasar posisi bintang, sudah menjadi ilmu tersendiri dalam Agama Hindu. Bahkan, sudah ada dan diterapkan ribuan tahun silam.


Astrologi dan Astronomi, dua ilmu yang tidak bisa dipisahkan walau memiliki perbedaan. Astronomi melihat posisi bintang dan dengan perhitungan khusus bisa mengetahui prediksi fenomena alam, sedangkan Astrologi adalah mengamati posisi bintang untuk mengetahui pengaruhnya pada kehidupan manusia.





Dikatakan Kepala Program Studi S-2 Ilmu Komunikasi di IHDN, DR I Gede Sutarya,
Astrologi dan Astronomi dalam Hindu masuk dalam Jyotisha yang sudah ada sejak ribuan tahun silam.


CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI


"Jyotisha adalah Ilmu Astrologi sekaligus Ilmu Astronomi Hindu Kuno. Berasal dari bahasa Sansekerta, yakni Jyoti yang berarti cahaya, dan Ish bermakna Tuhan. Sehingga Jyotisha bermakna Tuhan pengendali cahaya, " terang Sutarya, ahli wariga yang juga penyusun kalender Bali ini.


Dijelaskan Sutarya, Jyotisha masuk dalam percabangan Wedangga yang merupakan bagian tubuh dari kitab suci Weda.


Pengunaan Jyotisha bisa dilihat juga dalam film bertemakan Hindu, seperti Mahabahrata saat Rsi Jaimini memprediksi hasil perang Mahabharata dengan Marahaja Drestarata dan Maharani Gandari.


Ilmu Astronomi dan Astrologi Hindu kuno ini sampai sekarang tetap digunakan. "Hal ini dapat dilihat masih kentalnya budaya India untuk melihat ramalan jodoh anak-anak mereka yang akan dinikahkan. Bahkan di Bali masih sering dipakai, terutama dalam menentukan hari raya, masa tanam, ramalan kelahiran dan lainnya oleh umat Hindu,” ujar Sutarya kepada Bali Express (Jawa Pos Group) pekan kemarin.


Dikatakannya, penentuan posisi bintang dilakukan oleh para Maharsi terdahulu dengan melakukan pengamatan, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan. Perhitungan Astronomi ini akan menghasilkan waktu kapan sesuatu terjadi, seperti hari raya apa saja yang akan jatuh dari tilem (bulan mati) sampai tilem berikutnya, dan kapan terjadinya gerhana matahari ataupun gerhana bulan.


Perhitungan di Jyotisha menggunakan bumi sebagai patokan, dimana planet lain mengitarinya. Hal ini semata-mata digunakan untuk penyederhanaan perhitungan Astronomi yang dilakukan, sebab dalam Weda menganut Heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya), bukan geosentris (bumi sebagai pusat tata surya), seperti termuat dalam kitab Sama Weda 121. “Matahari tidak pernah terbenam ataupun terbit, sebab bumi yang berotasi,” ujar dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar ini.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Ditambahkannya, pengamatan dari posisi planet, matahari, bulan dan bintang menimbulkan pemaknaan, yang akhirnya menjadi Ilmu Astrologi. Melihat posisi planet dan bintang, para Maharsi pada zaman dahulu bisa memprediksi hadirnya kehancuran, bencana, hadirnya raja baru, dan lain sebagainya. “Di India banyak sudah riset tentang Jyotisha ini, bahkan para sarjana barat juga banyak melakukan penelitian. Sehingga kini semakin mudah mencari referensi tentang ilmu ini, sebab sudah banyak diartikan dalam Bahasa Inggris,” ujar Sutarya.


Penerapannya di Indonesia belum begitu banyak, lanjutnya, namun di Bali sudah ada pada Ilmu Wariga yang dikenal secara umum.


Ilmu Jyotisha termasuk kategori ilmu yang bersifat ilmiah, jika dilihat pada bagian Astronominya. Sebab, dengan perhitungan Astronomi, fenomena alam bisa dihitung kapan terjadinya. Sedangkan pada Astrologi tidak bisa dipastikan 100 persen kebenarannya, mengingat mengartikan posisi bintang terhadap ramalan hidup manusia perlu pembuktian jelas. “Kalau mengenai pemaknaan posisi bintang (Astrologi), saya tidak berani mengatakan ilmu Astrologi pada Jyotisha 100 persen tepat juga,” ujar Sutarya.


“Anggap saja ketika purnama misalnya kekuatan seorang sedang dalam puncaknya, kemudian ada arti hari kelahiran dan sebagainya perlu pembuktian yang tidak mudah,” tegasnya.
Film asal India bertemakan Hindu sering memperlihatkan para Maharsi meramal masa depan, lalu kenapa selalu bisa tepat?


Menurut Sutarya, hal itu terjadi karena Maharsi pada masa lampu mempelajari kitab Astrologi secara khusus. Mereka melihat konstelasi bintang dan mengartikan makna dari hasil pengamatan tersebut. Maharsi tentu dahulu mempelajari dengan baik, sedangkan kini masih riset di India.
Perkembangan Ilmu Jyotisha dari India sampai ke Jawa, kemudian akhirnya sampai di Bali sekitar abad ke-10 Masehi dengan berbagai penyesuaian. Sutarya menjelaskan diperkirakan di masa pemerintahan Mpu Sindok itu terjadi. Kala sang putri, yakni Mahendradatta menikah dengan Raja Udayana, dimana pernikahan turut juga membawa ajaran perhitungan pawukon dan wewaran. “ Pengetahuan itu masuk dari Bali Utara oleh Sang Ratu Luhur Sri Gunapriya Dharmapatni (gelar Ratu Mahendradatta). Jadi, wewaran pawukon di Bali itu dari Jawa sebenarnya,” terang Sutarya.


Perkembangannya selanjutnya di Bali, Ilmu Astronomi dan Astrologi kemudian dikenal menjadi Ilmu Wariga. Patokan yang digunakan di Bali adalah perhitungan Surya Chandra Pramana atau yang akrab di telinga sebagai solar dan lunar system yang sampai sekatang tetap dipakai di kalender khas Bali. Penggunaan itu salah satunya pada saat menentukan jatuhnya Hari Raya Nyepi, yakni menentukan sasih kasanga melalui perhitungan Surya Pramana (jatuh setiap sasih yang sama) dan menentukan jatuhnya tilem melalui perhitungan Candra Pramana.


Ditambahkannya,perkembangan Wariga di Bali juga menyebabkan ada banyak percabangan Ilmu Wariga yang mirip dengan Jyotisha. “Bisa dilihat, ada Wariga untuk pertanian, jodoh, kelahiran, pedewasan, dan lainnya. Mirip dengan Astronomi dan Astrologi pada Jyotisha,” pungkasnya.

Selasa, 12 Januari 2021

Mengenal Musik Tradisional Bordah di Desa Pegayaman, Buleleng






BORDAH: Warga Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng, saat melakukan pertunjukkan musik tradisional Bordah. (ISTIMEWA)

Sekelompok laki-laki berpakaian adat Bali duduk bersila membentuk posisi setengah lingkaran memainkan musik rebana sambil mengumandangkan syair-syair madah atau pujian kepada Nabi Muhammad. Alunan rebana terdengar bertalu-talu, berselang-seling dengan lantunan syair dari para penabuh, bersahut-shutan, timpal-menimpal dengan irama bervariasi, membuat sajian kesenian tradisonal religius tersebut terkesan sakral, indah, syahdu menyentuh kalbu.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI


ITULAH kesenian Bordah di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Kesenian Bordah merupakan salah satu contoh dari kebudayaan religius yang tumbuh dan hidup di Pegayaman. Sebuah kekayaan kebudayaan yang patut dilestarikan dan dijadikan renungan pelajaran karena membuktikan adanya suatu penyatuan kesenian muslim dan Bali.

Kepala Desa Pegayaman Asghar Ali mengungkapkan, makna atau arti kata Bordah disebutkan sebagai sinar yang memberikan kegembiraan. Sehingga dari kata Bordah itu disimpulkan kesenian Bordah di Desa Pegayaman merupakan pelampiasan kegembiraan warga Desa Pegayaman. “Bordah itu bagi kami itu adalah sinar, bersinar. Pada dasarnya bergembira ria atau kami bersenang-senang begitu istilahnya,” jelasnya.

Kesenian Bordah di Desa Pegayaman biasanya akan dipertunjukkan pada bulan Maulid. Sebab bulan Maulid oleh masyarakat muslim di pedalaman Bali Utara ini dipandang sebagai bulan istimewa. Maulid Nabi hampir tak pernah terlewatkan diperingati masyarakat Pegayaman baik lewat ritual syariat maupun pergelaran kesenian kerohanian.

Namun bila dikaitkan dengan sejarah keberadaan Desa Pegayaman, kesenian Bordah tersebut merupakan kesenian untuk mengiringi orang memasak dikala tengah menyiapkan acara istimewa keluarga. Seperti diungkapkan Asgor Ali. “Ditampilkan biasanya setiap ada acara seperti sunatan, atau hidangan dan misalnya mante. Tapi biasanya kalau pada acara seperti itu, group Bordah itu mengiringi orang memasak, dan dia bergadang sampai subuh. Karena di Pegayaman masih lekat sekali sistem kekeluargaan,” paparnya.

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

“Masak itu sampai sekarang belum menggunakan jasa catering atau apalah itu. Kami betul-betul memasak satu hari menjelang hari H, kami sudah memotong bila mau besar-besaran. Malam harinya yang bersangkutan atau yang punya hajat kan jelas masak dirumah, maka mudah aja kami dapat, disamping itu mungkin acara-acara yang lain,” tambahnya.

Asghar Ali menambahkan, Bordah merupakan kesenian tradisional Islam yang memadukan unsur seni tabuh rebana dengan syair-syair pujian pada Nabi Muhammad yang menyerupai kekidungan seperti masyarakat Bali. Demikian pula dengan pakaian yang dikenakan para penabuh dan pelantun Bordah Pegayaman berpakaian adat Bali. “Itu ciri khas, katakanlah akulturasi budaya Islam dan Bali. Bordah kalau tampil dia pakai udeng dan melancingan, itu yang pertama. Yang kedua lagu-lagunya atau syar-syairnya yang diambilkan dari kitab Albarj Anji, dalam melantunkan suaranya itu seperti orang ngidung. Itu salah satu contoh kebersamaan antara Islam dan Hindu,” sambungnya.

Dalam pementasan kesenian Bordah di Desa Pegayaman, tidak jarang dalam lantunan syair berlogat Bali serta irama lagu bernuansa Bali, diiringi tarian pencak silat kuno yang bergaya Bali. Sehingga mampu memberikan suguhan sebuah kesenian tradisional religius yang unik, menarik, sakral dan magis. “Sudah dari mungkin nenek kami, jadi pencak ini ada mulai dari Pegayaman ada. Sebab informasi yang saya dapat dari leluhur, orang yang datang ke Pegayaman semuanya itu ahli silat, ahli bela diri, ahli petani, ahli kedokteran, ahli perdagangan,” terangnya.

“Jadi ada kendali orang Blambangan yang sudah mempunyai keahlian tersendiri. Sehingga terbentuk kesenian-kesenian ini yang digabungkan dengan suatu kebudaayan itu, mungkin juga Hadrah, Bordah, Pencak Silat dan yang lainnya,” lanjutnya.

Lebih lanjut Asghar Ali menerangkan, keberadaan kesenian Bordah di Desa Pegayaman hingga saat ini masih tetap dipertahankan, dan selalu mejadi sebuah tradisi bila warga di Desa Pegayaman memiliki hajatan besar. “Kesenian ini tetap bertahan. Bahkan ini merupakan suatu kebanggaan bagi kami. Saya berusaha untuk mempertahankan. Kesenian ini bagus, bahkan banyak peminat. Ambil contoh misalnya jika dia masuk sebagai anggota, dia dengan sukarela dan tanpa tekanan masalah kostum beli sendiri. Nah itu satu contoh tidak lagi dia merasa keberatan, bila ada hari raya tertentu disepakati memakai kostum yang mereka beli sendiri bukan mengharapakan dari orang lain,” paparnya.

Karena itu, menurut Asghar Ali, Bordah Desa Pegayaman dan keberadaan kaum muslim memang menjadi fenomena menarik. Desa tua di pedalaman Bali Utara itu penduduknya beragama Islam, menjalankan syariat sebagai umat Islam pada umumnya, hanya muslim Pegayaman mempunnyai warna dan pola hidup yang sangat Bali.



(bx/dhi/yes/JPR)

Dagang Banten Bali



Rabu, 06 Januari 2021

Berubah Jadi Daerah Kosong, Pura Pulaki Pernah Menghilang






PULAKI: Suasana di Pura Pulaki, Buleleng, yang menjadi bukti jejak perjalanan Dang Hyang Nirartha. (Dian Suryantini/Bali Express)





SINGARAJA, BALI EXPRESS-Kisah berdirinya Pura Pulaki di pesisir Pantai Desa Banyupoh, Gerokgak, Buleleng, tidak terlepas dari sejarah perjalanan Dang Hyang Nirartha dari Blambangan (Jawa Timur) ke Dalem Gelgel (Bali), pada masa pemerintahan Dalem Sri Waturenggong (1460-1550 M).


Pura Pulaki yang terletak di tepi jalan Singaraja-Gilimanuk (sekitar 53,5 km dari Kota Singaraja) ini, merupakan Pura Kahyangan Jagat yang dipuja (disungsung) seluruh umat Hindu di Bali. Sejak pemugaran besar-besaran yang dimulai tahun 1984, Pura Pulaki kini tampak megah dan luas, sehingga memungkinkan umat Hindu melakukan persembahyangan bersama dengan leluasa.



Pura Pulaki sebenarnya merupakan pusat dari serangkaian pura sekitarnya, yaitu Pura Kerta Kawat di KM-51 dari Singaraja (sekitar 750 meter sebelah selatan jalan raya), Pura Melanting, Pura Pabean, dan Pura Pemuteran.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Urut-urutan upacara yang diadakan saat piodalan yang jatuh pada Purnamaning Kapat dimulai dari Pura Pulaki. Kemudian Pura Melanting dan Kerta Kawat. Lalu Pura Pemuteran, dan terakhir Pura Pabean.

Letaknya yang strategis di tepi jalan raya, sehingga tidaklah mengherankan sangat banyak mendapat kunjungan dari wisatawan asing ataupun domestik. Apalagi sudah tersedia tempat yang sangat baik untuk beristirahat dan tempat parkir yang sangat luas.

Di kawasan Pura Pulaki, tepatnya di sekitar Pura Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa perkakas yang dibuat dari batu. Antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat dari batu lainnya.

Berdasarkan temuan itu, dan jika dilihat dari tata letak maupun struktur pura, maka dapat diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.

Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang berada di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad yang lalu. Kawasan Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi perahu dagang yang memerlukan air sebagai bahan yang dibutuhkan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke Maluku.

Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah terjadi perdagangan dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan bukti dengan ditemukannya tananam lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.

Dari uraian itu, dapat diduga Pulaki sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut sampai dengan peristiwa penyerangan Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi.

Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali yang disusun Ketut Ginarsa, tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana, lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki, dan Wangaya.

Pulaki juga pernah dijadikan pusat pengembangan Agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera dalam buku 'Bhuwana Tatwa Maharesi Markandeya' yang disusun Ketut Ginarsa.

Kisah tentang Pulaki terdapat juga dalam buku 'Dwijendra Tatwa' yang ditulis I Gusti Bagus Sugriwa. Di situ terdapat uraian : "Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini yang akan kanda pralinakan, agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki”.

Panglingsir Pura Pulaki, Ida Bagus Mangku Kade Temaja, menceritakan, keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirartha dengan peristiwa dipralina-nya Pura Pulaki tanpa penghuni secara sekala berlangsung cukup lama.

Jadi, Pura Pulaki menghilang dari penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak tahun1489 sampai sekitar tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. 

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Namun sebelum itu, sejak zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Betara Dang Hyang Nirarta 1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan orang prasejarah, orang Baliaga maupun Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi Markandeya, dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai berwarna merah, hitam, dan putih yang dipetik Dang Hyang Nirarta dari kolam yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki.

“Suatu daerah yang tak dihuni selama ini, sudah pasti menjadi hutan belantara dan hanya dihuni binatang buas, babi hutan, harimau, banteng, dan lain-lainnya,” terangnya.

Kendati begitu, lanjut Ida Bagus Mangku Kade Temaja, masyarakat Desa Kalisada dan beberapa desa di sekitarnya tetap setia ngaturang bhakti kepada bhatara di Pulaki dengan naik perahu dari Pantai Kalisada.

“Namun saat itu, pura sudah tak ada lagi. Sehingga pemujaannya dilakukan pada tumpukan batu yang ada di sekitar Pura Pulaki, yang lokasinya berada pada tempat sekarang ini,” terangnya.

Ida Bagus Mangku Kade Temaja menduga Pura Pulaki sebenarnya berada di dalam hutan, bukan di tempat yang sekarang ini. Lokasi pura yang sekarang diperkirakan sebagai tempat pangayatan (pemujaan dari jarak jauh), karena warga tak berani masuk ke dalam hutan.

Mengingat tempat ini sudah dihuni binatang buas, sehingga tak mungkin ada orang yang berani masuk ke pedalaman hutan.

Tahun 1920, Pulaki mulai dibuka yang ditandai dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah Kolonial Belanda kepada orang Cina bernama Ang Tek What.

Kawasan ini kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950, yang selanjutnya dilakukan pemugaran terhadap tempat suci di kawasan itu. Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950.

Dijelaskan Ida Bagus Mangku Kade Temaja, Pura Pulaki dan pasanakan, seperti Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Melanting, Pura Belatung, Pura Puncak Manik, dan Pura Pemuteran, tidak bisa dipisahkan.

Dilihat dari lokasi sejumlah pura tersebut dan sesuai konsep Hindu Bali, lanjutnya, itu termasuk konsep Sapta Loka, yakni konsep tentang Sapta Patala atau tujuh lapisan alam semesta.

“Jadi, Pura Pulaki yang dibangun atas dasar perpaduan antara daerah pegunungan dan laut atau teluk, sehingga tata letak, struktur, dan lingkungan Pura Pulaki ini ditemukan unsur segara dan gunung yang menyatu,” lanjutnya.

Ditambahkan pula, dalam sejarah Pura Pulaki dinyatakan bahwa Dang Hyang Nirartha datang ke Bali memiliki tujuan, antara lain melantik Dalem Watu Renggong yang memerintah di Bali tahun 1460-1550 M. 

Dagang Banten Bali


Perjalanan beliau ke Klungkung dilakukan dari Desa Gading Wani. Anak-anaknya ditinggalkan di Desa Gading Wani. Beliau berjanji akan segera kembali setelah acara di Klungkung berakhir. Tetapi ternyata, Dang Hyang Nirartha tidak datang dalam jangka waktu yang lama.

Putri beliau, Ida Ayu Swabhawa akhirnya sangat gusar. Penduduk desa-desa di sekitarnya yang berjumlah delapan ribu orang dikutuk menjadi wong samar. Semua menjadi wong samar termasuk dirinya.

Ida Ayu Swabhawa dengan ribuan pengiringnya tinggal di bawah pohon-pohon besar. Pohon-pohon itu memiliki sulur-sulur tempat bergelayut (ngelanting). Di areal pohon itulah Ida Ayu Swabhawa dibuatkan palinggih yang disebut Pura Melanting.

“Beliau dengan wong samar itulah yang menjadi penguasa pasar. Barang siapa yang melakukan transaksi jual-beli pagi tidak sesuai dengan etika moral dharma, akan diganggu hidupnya oleh Dewi Melanting dengan anak buahnya. Kalau kegiatan di pasar mengikuti dharma, maka Dewi Melanting itulah yang akan melindunginya,” tuturnya.

Di samping distanakan di Pura Melanting, ada juga stana beliau yang disebut Pura Tedung Jagat. Pura inilah yang kemudian disebut Pura Pulaki, dan juga distanakan roh suci Dang Hyang Nirarta. Karena itu, Pura Melanting dan Pura Pulaki merupakan lambang predana-purusa sebagai tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran ekonomi.

Pura Pulaki disungsung subak di sekitar Pulaki. Selain itu, Pura Pabean merupakan tempat pemujaan bagi para nelayan dan para pedagang antarpulau. Mungkin identik dengan Pura Ratu Subandar di Pura Batur dan Besakih. Pura Kerta Kawat juga termasuk kompleks Pura Pulaki sebagai stana Tuhan, untuk memohon tegaknya moral etika dan hukuman dalam berbisnis.

Di pura ini disebut stana Bhatara Kertaningjagat. Selanjutnya Pura Gunung Gondol yang terletak 3 km dari pusat Pura Pulaki sebagai stana untuk memuja Dewa Mentang Yudha, yaitu Tuhan dalam fungsinya sebagai pelindung dari segala bahaya seperti Dewa Ganesa.



(bx/dhi/rin/JPR)

Senin, 04 Januari 2021

Mengenal Bahasa Atau Istilah Keseharian di Desa Pedawa






UNIK: Selain keunikan dalam bahasa sehari-hari, Desa Pedawa juga memiliki keunikan tetkait tempat pemujaan, dengan adanya Sanggah Kamulan Nganten, seperti yang tampak di salah satu rumah warga Desa Pedawa. (Dian Suryantini/Bali Express)

SINGARAJA, BALI EXPRESS-Masyarakat Desa Pedawa secara umum memiliki karakteristik bahasa yang berbeda dari masyarakat Bali pada umumnya. Bahkan, bahasa di Desa Pedawa tidak mengenal tingkatan bahasa, seperti bahasa desa lainnya di Bali. Berikut arti sejumlah bahasa di Desa Pedawa di Kecamatan Banjar, Buleleng. 

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Aisti Baa biasanya diucapkan atau diungkapkan ketika merasa sedih dan menyesal. Aku berarti saya, yang biasa digunakan dengan teman sejawat. Alanganga artinya dihabiskan. Ames berarti lahap. Apik artinya bersih dan rapi. Ara artinya tidak. Ayang artinya mengajak.


Kemudian, Babuan artinya di atas. Berek artinya bau. Binlatasan artinya sebentar lagi. Carah artinya seperti. Da artinya jangan. Dangla artinya aneh. Dot artinya ingin.


Ee artinya iya. Gubane artinya penampilan. Gujat-gujet artinya terguncang. Inem artinya minum. Ingken artinya kenapa. Jaa artinya dimana. Kado artinya percuma.

Selanjutnya, Kaka artinya kakak. Kaka merupakan bentuk penghormatan kepada seorang kakak. Kal artinya mau. Kanti artinya sama. Kayuan artinya tempat permandian. Kedeng artinya tarik. Kicak artinya kecil. Kinto artinya begitu. Ko artinya kamu. Kosen artinya boros. Kual artinya nakal.

Bahasa umum Pedawa selanjutnya, Kutanga artinya dibuang. Lem-lem artinya pucat. Likad artinya jalan yang rusak.

Madak artinya semoga. Maku artinya kesana. Mangle artinya asam. Mecacad artinya bertengkar. Mediman artinya berciuman. Megentet artinya berpegangan tangan. Meglebug artinya jatuh. Mekale artinya rebut. Mekarep artinya berpacaran. Mekepres artinya menggunakan parfum.



Melemeng artiya menginap. Men artinya menikah. Nang artinya dengan. Ngalap artinya memetik. Ngamah artinya makan. Di Bali pada umumnya Ngamah dikenal sebagai bahasa yang kasar karena biasanya ditujukan kepada binatang, namun di Desa Pedawa kata tersebut merupakan kata yang akrab.

Ngelamit artinya tidak membayar pada saat berbelanja. Ngewalek artinya mengejek. Ngulungang artinya menjatuhkan. Ngunuh artinya mencari. Ngunya merupakan prosesi yang dilakukan sebelum pernikahan antara orang Pedawa, ngunya biasanya dilakukan pada sore hari.

Selanjutnya, Nira merupakan kata yang biasa digunakan untuk menyebut diri kepada orang yang lebih tua. Nyegang artinya menaruh. Nyilem artinya menyelam.

Nyuang artinya mengambil. Panteg artinya tertimpa. Sander artinya disambar petir. Sangkol artinya menggendong. Sema artinya kuburan. Sembe artinya lampu.

Singa artinya seperti itu. Suh artinya suruh. Uba artinya sudah. Unden artinya belum. Uraang artinya katakan. Was artinya pergi. Waya artinya jalan.



(bx/dhi/rin/JPR)

Pura Taman Pule, Muasal Ajaran Siwa Sidhanta Diturunkan




UTAMA : Utama Mandala Pura Taman Pule di Desa Mas, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, pekan lalu. (Putu Agus Adegrantika/Bali Express)





GIANYAR, BALI EXPRESS-Pura Taman Pule di Desa Mas, Ubud, Gianyar, sejarahnya diyakini berawal dari pasraman Dang Hyang Nirartha saat berada di Desa Mas. Pura Dang Kahyangan ini, untuk memuliakan orang suci yang sangat berjasa dalam mengemban serta menyebarkan ajaran dharma.

- JUAL ES KRIM PESTA MURAH DI BALI KLIK DISINI

Wakil Kelihan Pura Taman Pule, Ida Bagus Ari Prama, menjelaskan, sejarah adanya pura ini berkaitan erat dengan kedatangan seorang Maha Rsi Dang Hyang Nirartha ke Bali.



Dikatakannya, dari Pantai Purancak, Dang Hyang Nirartha melakukan perjalanan masuk ke pedalaman Bali hingga menuju ke timur. Mengunjungi sejumlah desa, seperti Gading Wani, Mundeh, Kapal, hingga Kuta.


Nah ketika datang ke Desa Gading Wani, Dang Hyang Nirartha disambut Ki Bandesa Gading Wani. Sebab, ketika itu Dang Hyang Nirartha dapat menyembuhkan penduduk yang dilanda wabah penyakit.

Kemudain Ki Bandesa Gading Wani didiksa menjadi seorang pendeta, serta dianugerahi ajaran kerohanianyang tertulis dalam Geguritan Sebub Bangkung.

“Kedatadangan Dang Hyang Nirartha di Bali tersebar sampai di Desa Mas, Kecamatan Ubud. Karena itu, Ki Bandesa Mas menjemput Dang Hyang Nirartha ke Desa Gading Wani untuk diasramakan di Desa Mas,” sambungnya.

Saat itu Dang Hyang Nirartha menyetujui, dan beliau disambut dan diasramakan di pertamanan Bendesa Mas. Di desa tersebut, Dang Hyang Nirarta kemudian menyebarkan ajaran Siwa Sidhanta. Bahkan, Ki Bandesa dan rakyatnya menjadi murid Dang Hyang Nirartha.

Sebagai tanda bakti dan terimakasih, Ki Bandesa menyerahkan putrinya bernama Ni Ayu Mas agar berkenan dijadikan istri Dang Hyang Nirartha, yang kemudian melahirkan putra bernama Ida Kidul.

“Setelah Ki Bandesa Mas tamat berguru, akhirnya didiksa menjadi seorang pendeta, diberikan anugerah perihal kependetaan, ajaran kehidupan, sampai dengan ajaran kelepasan. Akhirnya Dang Hyang Niarartha pindah dari taman Bandesa. Dibuatkanlah beliau tempat tinggal yang disebut Griya,” papar Ari Prama.

- CARA SIMPLE MENDAPATKAN PENHASILAN HARIAN DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Selama Dang Hyang Nirartha menetap, disebutkan jika Desa Mas sangat aman dan damai. Selain itu, seluruh penduduk tidak ada yang tertimpa bahaya dan penyakit, bahkan segala tanaman sangat subur.

Selanjutnya pada suatu hari, tujuan beliau mendirikan sebuah pura disetujui Ki Bandesa dengan seluruh rakyat. Maka pura itu diberikan nama Pura Pule.

Selain itu, dibuatkan juga sebuah taman di sebelah timur Pura Pule yang dipakai untuk bercengkrama.

Karena Pura Pule berdekatan dengan taman, maka pura tersebut diberi nama Pura Taman Pule yang diplaspas pada Saniscara Kliwon Kuningan, tahun Saka 1411 tahun 1489 masehi.

Setelah berdiri parahyangan di Taman Pule, pasraman beliau lalu diberi nama Griya Taman Pule. Begitu juga pada taman tersebut dibuat sebagai bersuci lengkap dengan telaga (kolam) yang airnya besumber dari sumur Ki Bandesa Mas.

Kolam itu sampai sekarang kerap digunakan obat atau penetral. Seperti seorang ibu yang tidak dapat mengeluarkan air susu, maka diarahkan supaya mohon air yang berada di sumur atau kolam tersebut untuk membasuh susunya. Kolam itu pun disebut dengan Taman Kalembu atau kerap disebut Pura Beji.



(bx/ade/rin/JPR)

Jumat, 01 Januari 2021

Bung Karno dan Bhagawadgita




Bung Karno dan Bhagawadgita

Dalam pidato pembelaannya di depan pengadilan kolonial Belanda pada tahun 1929/1930 Bung Karno mengutip Bagawad Gita sloka 23, 24 dan 25 sbb:

"Weapon do not cut This,
Fire does not burn This,
Water does not wet This,
Wind does not dry This.

Indeed : It is uncleavable
It is non-inflameable
It is unwetable and undryable also!
Everlasting, all-pervading, stable, immobile,
It is Eternal. The Soul and The Spirit

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Bung Karno menerjemahkan sloka diatas sbb :

"Ketahuilah! Senjata tiada menyinggung hidup,
Api tiada membakar, tiada air membasahi,
BACA JUGA
Bhagavadgita Bab XV - Yoga Berhubungan dengan Kepribadian Yang Paling Utama
Bhagavadgita Bab XIV - Tiga Sifat Alam Material
Bhagavadgita Bab XIII - Alam, Kepribadian Yang Menikmati dan KesadaranTiada angus oleh angin yang panas,
Tiada tertembusi, tiada terserang, tiada terpijak.
Dan merdeka, kekal-abadi, dimana-mana tetap tegak.
Tiada nampak, terucapkan tiada.
Tiada terangkum oleh kata, dan pikiran.
Senantiasa pribadi tetap!
Begitulah disebut Jiwa."

(Bung Karno dalam "KEPADA BANGSAKU" tahun 1948)

Setelah diucapkan di depan hakim kolonial di Bandung, sloka di atas sering diulang-ulang lagi dalam revolusi fisik untuk menggelorakan Jiwa dan semangat perjuangan melawan kekejaman dan ketidak-adilan.


Sangat menarik, bahwa sloka di atas diangkat kembali oleh Dr H Roeslan Abdulgani dalam tulisannya di Harian Rakyat Merdeka tanggal 23 April 1999 yang dikaitkan dengan makna tahun baru Hijrah (Islam) dan Suro (Jawa). Kita kutip pernyataan tokoh nasional dan intelektual ini sbb : "Kinipun Jiwa itu secara aktif dibangkitkan kembali oleh para pemimpin dan rakyat kita yang peduli untuk mengatasi krisis multi-dimensional sekarang. Jalan ini merupakan jalan moral dan etika yang religius-Tuhaniyah. Ia diarahkan ke alam bathin kita sendiri. Ke arah mawas diri sebagai langkah pertama ke arah self-koreksi yang sangat diperlukan dalam melaksanakan Reformasi sekarang.

Dalam persepsi kita, maka Baghawad Gita adalah suatu allegori. Suatu tamsil serta ibarat yang falsafati sangat mendalam dan luas sekali. Sangat religius dan penuh mistik.

Oleh: NP. Putra

Kamis, 17 Desember 2020

Wujud Toleransi, Perang Topat Hindu-Muslim di Pura Lingsar






LINGSAR : Suasana Pura Lingsar di wilayah Batu Kumbung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Pamangku Pura Lingsar, Jero Mangku Gede Rai. (Putu Agus Adegrantika/Bali Express)


Share this




LOMBOK, BALI EXPRESS-Kerukunan umat beragama sangatlah perlu dirawat dan dijaga di Nusantara, karena sudah ada sejak dahulu.


Bahkan sampai saat ini, baik simbol, tradisi maupun budayanya masih ada, dan masing-masing daerah memiliki cara tertentu untuk menjaganya, seperti yang ada di Pura Lingsar di Nusa Tenggara Barat.


Cara Simple mendapatkan penghasilan harian dari trading forex klik disini



Pura Lingsar yang terletak di Batu Kumbung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, merupakan peninggalan Raja Karangasem Anak Agung Gede Ngurah pada tahun 1714 silam, jadi cerminan kerukunan antarumat beragama, khususnya di Lombok Barat. Kerukunan tersebut terjalin antara umat Hindu serta umat Islam Sasak Wetu Telu.


Pemangku Pura Lingsar, Jero Mangku Gede Rai yang ditemui pekan kemarin, mengatakan, yang biasanya datang ke Pura Lingsar adalah umat Hindu serta umat Islam Wetu Telu.

“Yang tangkil biasanya kesini adalah umat Hindu dari Bali yang melakukan tirta yatra. Tetapi disini juga ada suku Sasak yang beragama Islam namanya Islam Wetu Telu juga ikut bersembahyang,” jelasnya.

Dijelaskan Jero Mangku Gede Rai, panyungsung Pura Lingsar ini berasal dari tujuh banjar setempat, yakni Banjar Tragtag, Lingsar, Karang Baru, Ponikan, Pemangkalan, Motang, dan Karang Bayan. Dari ketujuh banjar ini pun ada yang dari Suku Sasak Islam Wetu Telu.

Dikatakan Jero Mangku Gede Rai, bahwa Islam Wetu Telu ini merupakan praktik unik sebagian masyarakat Suku Sasak. Khususnya yang mendiami Pulau Lombok dalam menjalankan Agama Islam yang hanya menjalankan tiga rukun Islam. Yaitu membaca dua kalimat syahadat, salat, dan puasa.

Cara Simple mendapatkan penghasilan harian dari trading forex klik disini 

“Mereka biasanya datang ke Pura Lingsar untuk bersembahyang. Cara persembahyangan mereka juga hampir sama dengan umat Hindu, hanya posisi tangannya tidak di atas, melainkan di posisi dada saja,” terangnya.

Dipaparkannya, Pura Lingsar terbangun atas konsep Tri Mandala, yakni Utama Mandala, Madya Mandala, serta Nista Mandala. Biasanya, Suku Sasak Islam Wetu Telu melakukan persembahyangan di Madya Mandala. Dimana di Madya Mandala Pura Lingsar ini terdapat palinggih.

“Disini biasanya mereka berbaur dengan umat Hindu juga. Biasanya kalau Islam Wetu Telu bersembahyang di sebelah kiri dan umat Hindu di sebelah kanan,” jelas Jero Mangku Gede Rai.

Sedangkan di Utama Mandala terdapat tiga palinggih, yaitu palinggih yang utama adalah Palinggih Bhatara Alit Sakti menjadi tempat untuk ngayeng (memuja) Ida Bhatara Alit Sakti yang berstana di Bukit Karangasem Bali.

“Saat pujawali atau piodalan Purnama Sasih kaenem, biasanya juga bersamaan dengan pujawali di Madya Mandala, Islam Wetu Telu juga melaksanakan pujawali,” ungkapnya.

Dijelaskannya, di Pura Lingsar ini terdapat enam orang pamangku, yang setiap harinya sebanyak tiga orang pamangku bertugas di pura. 

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Jero Mangku Gede Rai mengatakan, ada tradisi yang unik yang dilakukan di pura ini, yakni Perang Topat. Perang Topat adalah sebuah acara adat yang diadakan di Pura Lingsar yang merupakan simbol perdamaian antarumat Muslim dan Hindu di Lombok.

Acara ini dilakukan sore hari, setiap Bulan Purnama Ketujuh dalam penanggalan Suku Sasak. Sore hari yang merupakan puncak acara, dilakukan setelah Salat Ashar atau dalam Bahasa Sasak atau Rarak Kembang Waru yang berarti gugur bunga waru.Tanda itu dipakai oleh orang tua dahulu untuk mengetahui waktu Salat Ashar. 



Ribuan umat Hindu dan Muslim memenuhi Pura Lingsar. Dua umat beda kepercayaan ini menggelar prosesi upacara pujawali, sebagai ungkapan atas puji syukur limpahan berkah dari Sang Pencipta. Sedangkan perang yang dimaksud dilakukan dengan saling melempar ketupat di antara masyarakat Muslim dengan masyarakat Hindu.

“Ketupat yang telah digunakan untuk berperang seringkali diperebutkan. Karena dipercaya bisa membawa kesuburan bagi tanaman agar hasil panennya bisa maksimal. Kepercayaan ini sudah berlangsung ratusan tahun, dan masih terus dijalankan sampai saat ini,” tandasnya.

Tertarik berkunjung? Mencari Pura Lingsar tidaklah sulit. Sebab lokasinya masih dekat dengan Kota Mataram. Jika berangkat dari Kota Mataram, cukup menuju arah timur mencari Jalan Gora 2. Hanya menempuh perjalanan sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Mataram, maka akan sampai di Pura Lingsar. Tepatnya di depan SMA Negeri 1 Lingsar, dan terdapat pula papan nama Pura Lingsar.

(bx/ade/rin/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2020/12/16/230540/wujud-toleransi-perang-topat-hindu-muslim-di-pura-lingsar