Kamis, 21 April 2022
BEBANTENAN DI TEMPAT MENANAM ARI ARI DAN MAKNA DARI BATU GULITAN DAN PANDAN.
Rabu, 20 April 2022
Alasan Kenapa Banten Bayakaon Gunakan Andong Merah
Hampir di setiap upacara yadnya, menggunakan banten Beakala atau Bayakaon. Entah itu Bhuta Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya hingga Dewa Yadnya. Penggunaan banten Beakala wajib ada sebagai sarana penyucian lahiriah.
Banten Bayakaon berasal dari kata Baya dan Kaon. Baya artinya segala sesuatu yang membahayakan. Marabahaya yang bisa terjadi pada setiap upakara yadnya, pralingga, badan manusia, yang menyebabkan gejolak negatif ketika berpikir, berucap dan berprilaku yang bersumber dari egoisme. Sedangkan kata Kaon artinya menghilangkan. Bahkan, dalam Lontar Rare Angon tersurat jelas : “Banten Bayakaon inggih punika maka sarana ngicalang sekancanin pikobet-pikobet sane nenten becik, dumugi sidha galang apadang.”
Maksudnya, banten Bayakaon berfungsi sebagai sarana untuk menghilangkan semua gejolak negatif yang bersumber dari egoisme.
Ketut Agus Nova, S.Fil.H, M.Ag yang akrab disebut Jro Anom menjelaskan, sesuai dengan namanya banten Bayakaon mengandung makna simbolis, yakni bertujuan untuk menjauhkan kekuatan Bhutakala (kekuatan negatif) yang mengganggu umat manusia. “Banten Beakala berfungsi untuk menetralisasi sang Bhutakala. Itu bisa dikatakan sebagai lelabaan (santapan) Sang Bhutakala,”ujar Jro Anom kepada Bali Express (Jawa Pos Group), Selasa (26/12) lalu di Buleleng.
Jro Anom menyebut, banten Bayakaon dipergunakan sebagai manggala (upacara pendahuluan), selaku upacara penyucian, baik untuk unsur Bhuana Agung maupun Bhuana Alit. Tujuannya untuk mencapai keseimbangan antara lahir dan bhatin. Secara niskala, untuk menghilangkan kekuatan-kekuatan buruk Bhutakala serta mengembalikan ke sumbernya agar tidak mengganggu jalannya upacara.
Dikatakan Jro Anom, penyucian itu meliputi dua macam. Ada penyucian yang bermakna lahiriah dan ada penyucian yang bermakna rohaniah. Banten Byakala adalah banten yang melambangkan upacara penyucian lahiriah. Sedangkan upacara penyucian rohaniah dilaksanakan dengan menggunakan upakara atau banten Prayascitta. “Banten Bayakaon ini dipergunakan sebagai banten pendahulu, di semua jenis upacara panca yadnya. Itu wajib ada. Jika banten Bayakaon itu untuk penyucian lahiriah, maka penyucian rohanian mempergunakan banten Prayascita,” terangnya. Karena itu, lanjutnya, banten Prayascita ini selalu menyertai banten Bayakaon, agar penyucian secara jasmani dan rohani bisa dilakukan.
Menurutnya, ada beberapa komponen yang menyusun banten Bayakaon. Ada Sidi (ayakan bambu) yang di atasnya diletakkan Kulit Sasayut, Kulit Peras Pandan Berduri, Nasi Matajuh dan Matimpuh. Kemudian ada Lis Bayakaon, sampian Padma, Pabersian Payasan dan Sampian Nagasari dari daun Andong Merah berisi Plawa, Porosan, Bunga, Rampe dan Boreh Miyik.
Dikatakan Jro Anom, penggunaan Sidi atau ayakan ini sangat jelas fungsinya dalam kehidupan sehari-hari. Ayakan ini alat untuk menyaring tepung beras untuk mendapatkan tepung yang halus. Hal ini melambangkan tujuan banten Byakala ini adalah untuk menyaring wujud yang kasar menjadi lebih halus.
“Upacara Bayakaon itu untuk meningkatkan sifat-sifat Bhutakala dari yang kasar menjadi lebih halus, untuk membantu manusia dalam menangani berbagai perkerjaan dalam rangka beryadnya,” ungkap pria yang juga dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja ini.
Di atas ayakan itu kemudian diletakan Kulit Sasayut. Kulit Sesayut dibuat dari daun janur yang masih hijau yang disebut Selepan. Jro Anom mengatakan, Sasayut memiliki arti menuju karahayuan. “Dengan Kulit Sasayut itu telah tergambar bahwa tujuan banten Byakala itu adalah mengubah keadaaan dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Dari yang kotor menjadi bersih dan suci tahap demi tahap,” terangnya.
Banten Byakala dilengkai dengan Nasi Matajuh dan Nasi Matimpuh. Nasi ini dibuat dengan nasi dan garam dan lauk pauk lainya. Nasi kemudian dibungkus dengan daun pisang sedemikian rupa, sehingga ada yang berbentuk segi empat (Nasi Matajuh) dan Segi Tiga (Nasi Matimpuh).
- JUAL ES KRIM PERNIKAHAN KLIK DISINI
“Membungkus nasi dengan lauk pauknya dalam dua bentuk tadi dengan menggunakan daun pisang,” ujarnya. Nasi dalam dua bentuk itu, lanjutnya, melambangkan isi alam yang dibutuhkan oleh manusia sehari-hari. “Isi alam tersebut patut dilindungi dari pencemaran Bhutakala. Daun pisang yang dijadikan pembungkus itu lambang perlindungan dari pengaruh Bhutakala” imbuhnya.
Banten Byakala juga menggunakaan Sampian yang disebut Lis Alit atau Lis Bebuu sebagai Lis Pabyakalaan. Sampian Lis Bebuu ini lambang alam dalam keadaan seimbang. Dalam Sampian Lis ini terdapat beberapa Sampian jejahitan seperti tangga menek, tangga tuwun, jan sesapi, ancak bingin, alang-alang, tipat pusuh, tipat tulud, basang wayah basang nguda, tampak, tipat lelasan, tipat lepas, dan yang lainnya.
“Menurut mantram, tujuan pernggunaan Lis Bebuu ini untuk menghilangkan Dasa Mala, yaitu sepuluh perbuatan yang kotor yang tidak layak dilakukan,” paparnya.
Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah penggunaan sarana daun Andong Merah yang wajib ada saat pembuatan banten Bayakaon. Jro Anom menyebut dalam konsep banten Bayakaon, daun Andong Merah merupakan simbol dari Dewa Brahma.
“Dalam Lontar Taru Pramana dijelaskan, jika daun Andong tersebut memang wajib ada di banten Bayakaon. Jika ada banten Bayakaon yang tidak terdapat panyeneng Andong Merah, maka banten tersebut bukanlah banten Bayakaon. Karena daun Andong tersebut berperan sebagai penolak bala,” tegasnya. Selain sebagai sarana upacara, daun Andong Merah, lanjut Jro Anom, sangat cocok ditanam di pekarangan rumah untuk menolak bala. “Daun Andong Merah cocok untuk penetralisasi pekarangan rumah, karena dapat menolak segala kekuatan negatif yang hendak menyerang rumah,” tutupnya.
(bx/dik/rin/yes/JPR) –sumber
Minggu, 17 April 2022
Candi Tebing, Jejak Meditasi Kebo Iwa di Gianyar
Ceruk yang ada di aliran Sungai Pakerisan, Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, yang diyakini sebagai tempat meditasi Kebo Iwa, hingga kini dijadikan tempat meditasi penekun spiritual.
Jero Bendesa Desa Pakraman Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar
Wayan Biata mengatakan, Candi Tebing yang menjadi lokasi bersejarah ini, memang sering dikunjungi krama dari luar desa. Bahkan, mereka yang datang tidak hanya menikmati pemandangan karena juga sebagai tempat wisata religius. “Saat rerahinan (hari baik) banyak sekali warga dari luar datang untuk meditasi dan malukat . Memang ada sebuah pancuran yang bisa digunakan untuk malukat, yakni pancuran Sudamala,” terang pensiunan guru ini ketika ditemui Bali Express (Jawa Pos Group), pekan kemarin. Selain untuk malukat, lanjutnya, juga difungsikan ke luhur karena sebagai tempat mlasti ketika piodalan di pura khayangan tiga dan pura dang khayangan setempat.
Biata menyebutkan, rentetan tersebut dengan prosesi ngening, agar sasuhunan secara niskala hening kembali atau bersih kembali. Begitu juga dia mengungkapkan ketika ada pamedek yang malukat di sana agar bersih jiwanya.
Dikatakannya, prosesi piodalan di Candi Tebing tidak dilaksanakan secara khusus. Tetapi, ketika pelaksanaan ngening dihaturkan juga banten piodalan alit karena pada candi tidak terdapat hari piodalan. Hal itu dilakukan karena tradisinya sejak dulu berlangsung, hanya sebagai tempat masucian saja. Tanpa ada sebuah tegak piodalan yang khusus dilaksanakan.
“Sasuhunan yang mlasti ke sini berasal dari Pura Khayangan Tiga Desa Pakraman Tegallinggah. Pura Pucak Manik dan Pura Dalem Rsi yang ada di lingkungan Kecamatan Blahbatuh juga menggunakan tempat ini sebagai pasucian,” jelas Biata.
Diakuinya krama yang otonan, apalagi saat melaksanakan otonan pabayuhan pasti nunas tirta. Dikarenakan selain difungsikan untuk prosesi Dewa Yadnya juga dapat sebagai panglukat Manusa Yadnya. Biata menjelaskan yang ditunas juga tidak sembarangan pancuran.
Ada lima buah pancuran, tetapi yang disakralkan hanya pancuran Sudamala yang menghadap ke timur laut dan dikenakan wastra. Sedangkan sisanya hanya digunakan untuk permandian biasa atau untuk kebutuhan diminum warga.
Sarana yang digunakan untuk malukat, cukup menghaturkan canang secukupnya. Itupun jika malukat pada hari biasa, sedangkan pada rahinan disarankan untuk menghaturkan sebuah pajati. Setelah malukat,baru melaksanakan persembahyangan di depan candi tebing.
Salah seorang warga setempat yang kerap sembahyang Dewa Made Suparsa mengatakan, kerap melihat orang sakit datang untuk malukat. Warga setempat, lanjutnya, banyak datang saat Banyupinaruh. Dan, saat rahinan kebanyakan yang datang dari luar desa. “ Ada orang yang datang malukat terus berteriak teriak karena gangguan jiwa. Setelah melukat dan melakukan persembahyangan sadar kembali,”urainya. Dikatakannya, pemangku memang tidak ada, yang malukat bisa bawa pemangku sendiri atau tanpa pemangku.
Ayah dua anak ini mengaku sering mengambil air untuk diminum. Bahkan, ia berani tidak memasaknya lagi kalau untuk diminum.
Dewa Suparsa menunjukkan ada delapan buah ceruk. Bahkan di ceruk paling ujung terlihat seseorang yang sedang melakukan meditasi. “Karena berada di dinding tebing, tidak akan basah bila hujan. Namun, kalau banjir besar kemungkinan ceruk akan dimasuki air sungai yang meluap,” terangnya.
Beberapa ceruk yang terdapat di areal Candi Tebing Tegallinggah sampai saat ini, memang difungsikan untuk meditasi. Suasananya yang masih sangat asri ini, sangat mendukung untuk menenangkan pikiran.
Dikatakannya, beberapa ceruk sering digunakan sebagai tempat bertapa. Bahkan, setiap hari pasti ada saja orang yang datang ke sana dari pagi sampai sore. “Setiap hari pasti ada saja orang yang ada pada ceruk ini. Entah itu beryoga atau sekedar mencari ketenangan. Bisa dilihat juga di depan candi ada yang sedang bermeditasi,” papar Dewa Suparsa sambil menunjukkan orang yang sedang bertapa di sebuah ceruk.
Dia mengaku hampir setiap hari mengambil air untuk dikonsumsi.
Suparsa juga menunjukkan sebuah goa yang ada di samping pancuran yang dinamai Goa Garba. Goa inilah yang diyakini menjadi tempat bertapanya Patih Kebo Iwa zaman kerjaan dulu.
Kebo Iwa adalah salah seorang panglima militer Bali pada masa pemerintahan Prabu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten pada awal abad ke-14. Nama lain dari Kebo Iwa adalah Kebo Wandira atau Kebo Taruna yang bermakna kerbau yang perjaka. Pada masa itu, nama-nama binatang tertentu seperti kebo (kerbau), gajah, mahisa (banteng), banyak (angsa) lazim dipakai sebagai titel kehormatan, khususnya di Bali ataupun Jawa.
Panglima muda yang bertempat tinggal di Desa Blahbatuh dan anak dari Panglima Rakyan Buncing ini, sering digambarkan sebagai pemuda bertubuh tinggi besar yang mengusai seni perang selain ilmu arsitektur. “Undagi (arsitek tradisonal Bali) ini membangun berbagai tempat suci Bali dan tak segan-segan mengangkut sendiri batu-batu besar dengan kekuatan fisiknya,” urainya.
Lebih lanjut Suparsa menjelaskan, candi tersebut dipahat pada dua sisi tebing yang berseberangan. Di mana yang memisahkan adalah aliran Sungai Pakerisan. Pada dinding juga terdapat sebuah bangunan, bahkan penduduk desa setempat dulu mengetahui berupa gapura saja. Dikarenakan terus digali dan dibersihkan, segingga ada tangga di dalamnya.
Di sebelah kanan gapura ada bangunan yang lebih besar, namun sebagian telah menjadi reruntuhan. “Bersamaan candi ini ditemukan, juga ditemukan tiga lingga yang diyakini sebagai lambamg Tri Murti, yaitu perlambang Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa,” terangnya.
Saat ini di areal tersebut sedang dalam proses penataan. Sudah dibuatkan juga tempat parkir, toilet, dan bale bengong.
Jalan menuju candi juga sudah ada anak tangga yang ada di tebing. Sebelum ada tangga warga harus berhati-hati karena licin.
Lokasi Candi Tebing Tegallinggah ini harus ditempuh selama satu jam dari Pusat Kota Denpasar. Dari Pasar Blahbatuh susuri jalan ke utara hingga tiba di pertigaan Tegallinggah yang ada Tugu Patung Dewi Kadru. Kemudian tempuh jalan ke kanan sekitar 100 meter akan terlihat gang pertama di kiri jalan. Masuk terus ke gang yang menuju wilayah Desa Pakraman Tegallinggah, sekitar 800 meter akan sampai depan parkiran candi. Untuk masuk ke areal candi saat ini belum dikenakan tiket masuk karena masih dalam proses penataan.
(bx/ade/rin/yes/JPR) –sumber
Sabtu, 16 April 2022
Jejak Kebo Iwa di Bedha; Arca Sang Patih Dibangun karena Ada Bisikan
Kemegahan dan kereligiusan Bale Agung Desa Pakraman Bedha, Tabanan, memang langsung terasa ketika pertama kali melihatnya. Bale Agung tersebut menjadi simbol keagungan dan kekuatan Patih Kebo Iwa sebagai patih yang kuat dan undagi yang terkenal dengan arsitekturnya.
Bale Agung juga dikelilingi dengan relief yang menceritakan sejarah kehidupan Kebo Iwa, dari sejak lahir sampai menyerahkan diri kepada Patih Gajahmada saat dijebak di Majapahit. “Bale Agung ini dikelilingi relief yang memang sudah ada sejak dulu yang menceritakaan kehidupan Kebo Iwa,” ujar Bendesa Adat Bedha I Nyoman Surata.
Di dinding-dinding pura juga terdapat relief yang begitu indah, namun dengan cerita yang berbeda, yakni menceritakan tentang pemutaran Gunung Mandara Giri. Pujawali di pura ini jatuh pada Buda Kliwon Pahang.
Yang lebih menakjubkan adalah, sejak dibangun oleh Patih Kebo Iwa pada abad ke 13, Bale Agung tersebut belum pernah diganti kayunya, terutama kayu yang membentuk atap. Surata pun menunjukkan kepada wartawan Bali Express kayu-kayu yang menyusun atap Bale Agung yang panjangnya memang berbeda dari kayu-kayu yang dijualbelikan saat ini.
“Beberapa kali memang sudah direnovasi, tetapi bagian bawahnya saja, kalau untuk kayu-kayunya dari dulu memang seperti itu,” terang Surata.
Di Bale Agung tersebut dikatakan berstana Ida Betara Begawan Penyarikan dan Ida Betara Nusa Mecaling yang selama ini mengayomi Desa Pskraman Bedha agar senantiasa diberikan keselamatan. Selain sebagai Kahyangan Tiga, Bale Agung ini juga menjadi Kahyangan Subak, mengingat Patih Kebo Iwa dahulu merupakan tokoh yang memperkenalkan sistem irigasi dan subak, sehingga dahulu masyarakat sejahtera dengan hasil sawah yang melimpah.
“Kalau ada upacara Subak di Tabanan pasti berkaitan dengan Bale Agung di sini,” lanjutnya.
Pura ini disungsung oleh 38 banjar yang tersebar di tiga Kecamatan di Kabupaten Tabanan, yakni Kecamatan Tabanan, Kediri, dan Kerambitan. Maka , jangan heran jika saat pujawali tiba, pura ini akan menjadi penuh sesak oleh pamedek .
Selain dibuat terkagum-kagum dengan Bale Agung yang dulunya adalah tempat peristirahatan Patih Kebo Iwa, setiap orang yang tangkil akan disambut dengan Patih Kebo Iwa yang berwujud arca yang terletak di sebelah timur Bale Agung.
Surata menjelaskan, jika arca Kebo Iwa tersebut dijuluki Palinggih Ida Betara Bagus Kebo Iwa atau Kebo Taruna. Kebo Taruna sendiri merupakan julukan Patih Kebo Iwa karena perjalanan hidupnya yang melajang hingga akhir hayat. “Arca ini dibangun sekitar tiga tahun yang lalu,” imbuhnya.
Dibangunnya arca tersebut didasari oleh pawisik yang didapatkan pemangku setempat sebagai wujud keberadaan Kebo Iwa di pura tersebut. “ Dan, akhirnya kami membangun sebuah arca dengan wujud Patih Kebo Iwa sesuai dengan gambaran wujud Patih Kebo Iwa semasa hidup ,yaitu setinggi 2,25 meter, berbeda dengan manusia kebanyakan,” pungkasnya.
Kebo Iwa dan pasukannya pun membangun benteng-benteng pertahanan yang disebut Bedog, yang digadang-gadang menjadi asal mula nama Desa Pakraman Bedha. Selain benteng, Kebo Iwa juga membuat tempat peristirahatan. “Tempat peristirahatan inilah yang menjadi Bale Agung Desa Pakraman Bedha,” tegasnya.
Dijelaskan oleh Wirata, pembuatan Bale Agung tersebut oleh Kebo Iwa menggunakan kayu-kayu yang terdampar di pesisir pantai Selatan Tabanan. “Saat itu ada banjir dan badai besar, jadi kayu-kayu besar dari Jembrana hanyut dan terdampar di pesisir pantai Selatan. Itulah yang digunakan untuk membangun tempat peristirahatan Kebo Iwa bersama 800 pasukannya,” tandasnya.
(bx/ras/yes/JPR) –sumber
Selasa, 12 April 2022
catur sanak dan pertiwi
Minggu, 03 April 2022
Sejarah Tradisi Ngaro Warga Madura Sanur di Pura Tengah Laut
BALI EXPRESS, DENPASAR – Beragam tradisi keagamaan dilakukan turun temurun oleh umat Hingu di Bali, sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya. Tradisi Ngaro misalnya, yang dilaksanakan di lautan oleh warga Madura.
Tradisi Ngaro yang digelar warga Madura di Desa Sanur ini, dilaksanakan bertepatan dengan Purnama Kapat, Jumat (15/10/2016) lalu di Pura Dalem Segara. Sesuai dengan namanya, Pura Dalem Segara memang berada di lautan, yakni sekitar 150 meter dari bibir pantai. Jika air laut pasang, kawasan yang disucikan tersebut seperti ditelan lautan.
Menurut Pangempon Pura Dalem Segara, Nyoman Sunarta, tradisi Ngaro yang dilaksanakan warga Madura yang tinggal di Desa Sanur ini, merupakan tradisi yang sudah diselenggarakan secara turun temurun dari leluhur warga Madura sebelumnya. “Tradisi Ngaro yang diselenggarakan pada Purnama Kapat ini sudah diselenggarakansejak abad ke-10 silam, sebagai ungkapan terima kasih leluhur kami kepada Dewa Baruna sebagai penguasa Samudra,” jelas Sunarta.
Dikatakan Sunarta, sejarah dari tradisi Ngaro ini erat kaitannya dengan perjalanan tokoh suci Mpu Baradah dan Hyang Yogi Swara ke Pulau Bali. Ketika runtuhnya Kerajaan Singasari pada abad ke -10 lalu, kondisi keamanan dan wilayah di Kerajaan Singasari sangat kacau, sehingga Sang Hyang Yogi Swara yang merupakan seorang pendeta kerajaan bersama dengan Mpu Baradah memutuskan untuk berlayar ke wilayah timur Pulau Jawa. Setelah menyeberangi Pulau Jawa, akhirnya Mpu Baradah dan Sang Hyang Yogi Swara sampai di sisi utara Pulau Bali. Di tempat pertama kalinya berlabuh itu, Sang Hyang Yogi Swara dan Mpu Beradah mendirikan tempat pemujaan yang akhirnya dinamai Pura Dalem Sari yang terletak di Bukit Gondol, Singaraja. “Setelah itu, perjalanan pun dilanjutkan ke arah Timur dan Sang Hyang Yogi Swara sampai di Tulamben dan di tempat ini juga mendirikan pura dengan nama Pura Manik Sakti di Tulamben,” paparnya.
Setelah beberapa lama tinggal di Tulamben akhirnya Sang Hyang Yogi Swara dan Mpu Baradah melanjutkan perjalanan ke arah barat melalui samudera, hingga sampailah di Kawasan Sanur. Sesampainya di Desa Sanur ini, Sang Hyang Yogi Swara melakukan semedi di tengah lautan di Sanur. Sedangkan Mpu Baradah melanjutkan perjalanan ke daratan dan mendirikan banyak pura di wilayah Sanur dan Kabuparen Badung, hingga akhirnya juga mendirikan sebuah Pura, yakni Pura Dalem Madura di Desa Cemagi, Kabupaten Badung.
Setelah melakukan tapa semedi, akhirnya Sang Hyang Yogi Swara dan Mpu Baradah bertemu lagi. Tempat pertemuan itulah yang disebut dengan Madura yang beradal dari dua kata, yakni “Madu” yang artinya bertemu dan “Ara” yang artinya ari. Jadi, Madura ini berarti pertemuan daratan dan air laut. “Sehingga rawa-rawa tempat pertemuan tersebut disebut sebagai wilayah Madura dan keturunan Hyang Yogi Swara di tempat tersebut disebut dengan warga Madura, dan sampai sekarang tempat wilayah ini disebut dengan Banjar Madura,” ungkapnya.
Setelah memiliki wilayah dan akhirnya punya keturunan, Sang Hyang Yogi Swara memerintahkan kepada keturunannya untuk membuat suatu persembahan bagi Sang Hyang Baruna dan dihaturkan di tempat Sang Hyang Yogi Swara melakukan semedi ketika air laut surut. Selanjutny, ritual menghaturkan persembahan tersebut disebut dengan nama Ngaro. Sedangkan tempat Sang Hyang Yogi Swara melakukan pemujaan di tengah segara dijadikan sebagai tempat pemujaan terhadap Dewa Baruna. Dan, hingga saat ini tempat tersebut dinamai sebagai Pura Dalem Segara, dan secara turun temurun tempat tersebut digunakan sebagai tempat untuk melakukan ritual Ngaro setiap Purnama Kapat. Adapun bentuk persembahan yang dihaturkan ketika upacara Ngaro adalah banten sederhana yang terdiri dari buah-buahan dan dua jenis bubur, yakni bubur merah dan bubur putih. Seluruh perlengkapan upacara ini, lanjut Sunarta, dipersiapkan pada malam hari sebelum upacara Ngaro dilaksanakan. “Untuk buah-buahan yang digunakan adalah buah lokal, termasuk juga bunga yang digunakan adalah bunga jepun putih dan bunga jepun merah,” paparnya. Hal ini menurut Sunarta untuk menjaga nilai kesucian dari bahan baku dan proses yang digunakan dalam pembuatan sesajen untuk upacara Ngaro. Selain bahan baku yang digunakan dipersiapkan pada malam harinya, seluruh proses pembuatannya juga tidak menggunakan teknologi modern. Seperti membuat tepung, beras yang digunakan harus ditepung dengan lumpang dan proses memasaknyapun harus mengunakan kayu bakar. Setelah banten selesai dibuat, selanjutnya banten dibawa ke segara (laut). Saat upacara Ngaro dilakukan, tanpa perlu mengunakan penerangan dari lampu, karena ketika upacara Ngaro, sinar bulan menyinari bumi dengan maksimal, karena posisi bulan tepat berada di atas katulistiwa.
(bx/gek/bay/yes/JPR) –sumber
Jumat, 25 Februari 2022
PENGERTIAN PADEWASAN PENANGGAL PANGLONG, SASIH, DAUH
Pengertian dan Perhitungan Padewasan Penanggal dan Panglong, Sasih dan Dauh - Pada pembahasan materi agama Hindu kali ini mengenai pengertian padewasan penanggal dan panglong, sasih dan dauh beserta contoh dan cara menggunakannya, untuk lebih jelasnya dapat kalian simak dalam penjelasan singkat berikut ini!
Padewasan Menurut Penanggal dan Panglong, Sasih dan Dauh
Berdasarkan Penanggal dan PanglongPenanggal dan Panglong perhitungannya berdasarkan peredaran bulan satelit dari bumi. Penanggal (tanggal) disebut pula Suklapaksa yaitu perhitungan hari-harinya dimulai sesudah bulan mati (tilem) sampai dengan purnama (bulan sempurna). Lama penanggal 1 sampai dengan 15 lamanya 15 hari. Penanggal ke 14 atau sehari sebelum purnama disebut Purwani artinya bulan mulai akan sempurna nampak dari bumi.
Sedangkan Penanggal ke 15 disebut purnama artinya bulan sempurna nampak dari bumi. Pada hari Purnama merupakan hari beryoganya Sang Hyang Candra (Wulan).
Panglong disebut pula Krsnapaksa yaitu perhitungan hari dimulai sesudah purnama yang lamanya juga 15 hari dari panglong 1 sampai dengan pangglong 15. Panglong ke 14 sehari sebelum tilem disebut Purwaning Tilem artinya bulan mulai tidak akan nampak dari bumi. Sedangkan pangglong 15 disebut tilem artinya bulan sama sekali tidak nampak dari bumi. Pada hari tilem beryoganya Sang Hyang Surya.
Pengertian Padewasan Penanggal Panglong, Sasih, Dauh
Padewasan Pananggal-Panglong terdapat pada tabel sebagai berikut :Baik Buruknya Pananggal menurut Teks Wariga Diwasa
PananggalDewa YajñaPitra YajñaManusa YajñaWiwaha YajñaBhuta Yajña
1 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
2 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
3 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
4 X X X X X
5 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
6 X X X X X
7 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
8 X X X X X
9 X X X X X
10 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
11 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
12 X X X X X
13 Ayu Ayu Ayu Ayu Ayu
14 X X X X X
15 Ayu X X X X
Baik Buruknya Pananggal Persefektif Teks Sundariterus
PananggalWujud HariBaik/Buruk
1 Jaran/kuda Baik untuk Dewa Yajña
2 Kidang/kijang Baik
3 Macan Baik
4 Kucit/anak babi Baik
5 Sampi/sapi Buruk
6 Kebo/kerbau Baik
7 bikul/tikus Buruk
8 Lembu Baik
9 Asu/anjing Buruk
10 Naga Baik
11 Kambing Baik
12 Menjangan Baik
13 Gajah Baik
14 Singa Buruk
15 Mina/ikan Baik
Baik Buruknya Panglong Persefektif Teks Sundariterus
PanglongWujud HariBaik/Buruk
1 Celeng/babi Buruk
2 sikep/elang baik untuk menghadap raja
3 lelipan/lipan baik untuk dewa Yajña
4 klesih/trenggiling Buruk
5 konta/unta Baik
6 manusa/manusia Buruk
7 manusa sakti Baik
8 bala/prajurit Baik
9 padang/rumput Baik
10 pacet/lintah Buruk
11 lutung/monyet Baik
12 lelipi/ular Baik
13 gruda/garuda Baik
14 uled/ulat Buruk
15 kekua/kura-kura Buruk
Berdasarkan SasihPadewasan sasih adalah hitungan baik buruknya bulan bulan tertentu yang berpedoman pada letak matahari, apakah berada di Uttarayana (utara), Wiswayana (tengah) atau Daksinayana (selatan). Berikut akan diuraikan Ala Ayuning Sasih berdasarkan Teks Wariga Dewasa seperti tabel berikut ini:
Ala Ayuning Sasih berdasarkan Teks Wariga Dewasa
Agama Hindu mempergunakan panduan sasih antara sasih Candra dengan Sasih Surya sehingga ada perhitungan “pengrapetang sasih”. Hal ini dilakukan karena disadari betul bahwa bulan dan matahari mempunyai pengaruh besar terhadap bumi dan isinya. Selain penentuan Padewasan, hari suci agama Hindu, yang berdasarkan sasih adalah:
1) Pada hari Purnama beryoga Sang Hynag Candra (wulan),
Pada hari Tilem beryoga Sang Hynag Surya. Jadi pada hari Purnama-Tilem adalah hari penyucian Sang Hyang Rwa Bhineda, yaitu Sang Hyang Surya dan Sang Hyang Candra. Pada waktu Candra Graha (gerhana bulan) pujalah beliau dengan Candrastawa (Somastawa). Pada waktu Sūrya graham (gerhana matahari) pujalah beliau dengan Sūryacakra Bhuanasthawa.
2) Sasih Kapat
Purnama Kapat merupakan beryoganya Bhatara Parameswara, beliau Sang hynag Purusangkara diiringi oleh Para Dewa, Widyadara-Widyadari dan para Rsigna. Selanjutnya pada Tilem dapat dilakukan penyucian batin, persembahan kepada Widyadara-widyadari.
3) Sasih Kepitu
Purwaning Tilem Kepitu disebut hari Sivaratri, yaitu beryoganya Bhatara Siva dalam rangka melebur kotoran alam semesta termasuk dosa manusia. Pada hari ini umat Hindu melakukan Bratha Sivaratri, yaitu Mona, Upawasa, dan Jagra.
4) Sasih Kesanga
Tilem Kesanga adalah hari pesucian para dewata, dilakukan Bhuta Yajna, yaitu tawur agung kesanga sebagai tutup tahun Saka.
5) Sasih Kedasa
Penanggal 1 (bulan terang pertama) sasih Kedasa disebut hari Suci Nyepi, yaitu tahun baru Saka. Pada saat ini turunlah Sang Hyang Darma. Purnama Kedasa beryoganya Sang Hyang Surya Amertha pada Sad Khayangan Wisesa.
6) Sasih Sada
Pada Purnama Sadha, patutlah umat Hindu memuja Bhatara Kawitan di Sanggah Kemulan.
Berdasarkan DauhPadewasan menurut dauh merupakan ketetapan dalam menentukan waktu yang baik dalam sehari guna penyelenggaraan suatu upacara-upacara tertentu.
Pentingnya dari dewasa dauh akan sangat diperlukan apabila upacara-upacara yang akan dilakukan sulit mendapatkan hari baik (dewasa ayu). Dauh jika dibandingkan mirip dengan pembagian waktu menurut jam, namun bedanya hanya penempatan panjangnya waktu. Hitungan jam dalam sehari dibagi 24, hingga sehari dalam hitungan jam panjangnya 24 jam. Dalam perhitungan dewasa dauh mengandung makna dalam waktu satu hari terdapat dauh (waktu-waktu tertentu) yang cocok untuk melakukan suatu kegiatan. Signifikasi dari dewasa dauh diperlukan apabila upacaraupacara yang dilakukan sulit mendapatkan hari baik (dewasa ayu). Dalam perhitungan dewasa berdasarkan dauh mempunyai beberapa hitungan, yakni berdasarkan Panca dauh dan Asta dauh.
a. Sistem Panca dauh (Sukaranti) adalah pembagian waktu (hari) dalam sehari menjadi 10 bagian, dengan hitungan 5 dauh untuk menghitung panjangnya siang (setelah matahari terbit hingga menjelang terbenam) dan 5 dauh lagi untuk menghitung panjangnya malam/wengi (dari matahari tenggelam hingga terbit).
Sistem Panca Dauh
Kr: Kerta: Ayu (baik)
Pe: Peta: Madya (menengah)
Pa: Pati: Ala (Jelek)
Su: Sunia: Ala (buruk)
Ke: Ketara: Ayu (baik)
Catatan: Ala-Ayu dauh Sukaranti pada Pengelong dihitung terbalik (1 menjadi 5)
b. Sistem Asta dauh yang memiliki konsep yang sama dengan Panca dauh, bedanya hanya pembagian waktunya menjadi 16, dengan perincian 8 dauh untuk menghitung panjang waktu mulai matahari terbit, hingga menjelang terbenam dan 8 dauh lagi untuk untuk menghitung panjangnya malam hari dari terbenamnya matahari hingga menjelang terbit.
Sistem Asta Dauh
Perbandingan Asta Dauh dengan Jam Indonesia Tengah